13
BAB II
KONSEP DAKWAH DAN JIHAD DALAM ISLAM
2.1. Konsep Dakwah dalam Islam
2.1.1. Pengertian Dakwah
Pengertian dakwah dapat ditinjau dari dua segi; secara bahasa
(etimologi), dan secara istilah (terminologi).
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab da’wah
yang asal katanya adalah da’a, yad’u, yang berarti panggilan, ajakan, seruan
(M. Ali Aziz, 2004: 2).
Sedangkan secara istilah (terminologi) dakwah dapat diartikan sebagai
sisi positif dari ajakan untuk menuju keselamatan dunia dan akhirat. Para
ulama sendiri memberikan definisi berbeda-beda mengenai dakwah,
sebagai berikut:
Hamzah Ya’qub sebagaimana dikutip Asep Muhyiddin dan Agus
Ahmad Safi’i (2002: 28) mendefinisikan dakwah sebagai aktivitas mengajak
ummat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk
Allah dan Rasul-Nya. Asep Muhyiddin mengartikan dakwah adalah segala
rekayasa dan rekadaya untuk mengubah segala bentuk penyembahan kepada
selain Allah menuju keyakinan tauhid, mengubah semua jenis kehidupan
yang timpang ke arah kehidupan yang lempang, yang penuh dengan
ketenangan batin dan kesejahteraan lahir berdasarkan nilai-nilai Islam.
14
Asmuni Syukir (1983: 20) memberikan definisi bahwa dakwah adalah
suatu usaha mempertahankan, melestarikan dan menyempurnakan umat
manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah, dengan menjalankan
syariat-Nya sehingga mereka menjadi manusia yang hidup bahagia di dunia
maupun akhirat.
Sedangkan Amrullah Ahmad (1983: 17) memberikan definisi bahwa
dakwah adalah mengadakan dan memberikan arah perubahan. Mengubah
struktur masyarakat dan budaya dari kedhaliman ke arah keadilan,
kebodohan kearah kemajuan/kecerdasan, kemiskinan ke arah kemakmuran,
keterbelakangan ke arah kemajuan yang semuanya dalam rangka
meningkatkan derajat manusia dan masyarakat ke arah puncak
kemanusiaan.
Pemakaian kata dakwah dalam masyarakat Islam, terutama di
Indonesia merupakan suatu yang tidak asing. Arti dari kata dakwah yang
dimaksudkan adalah seruan dan ajakan. Kalau kata dakwah diberi arti
“seruan”, maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau seruan
Islam. Demikian juga halnya kalau diberi arti “ajakan”, maka yang
dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Karenanya, Islam
disebut sebagai agama dakwah, maksudnya agama yang disebarluaskan
melalui dakwah.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
dakwah merupakan himbauan untuk melakukan perubahan dari kedhaliman
15
menuju keadilan, dari kebodohan kepada kemajuan, menuju keselamatan
dunia dan akhirat.
2.1.2. Dasar Hukum Dakwah
Pijakan dasar pelaksanaan dakwah adalah Al-Quran dan Hadits. Dua
landasan normatif tersebut memberikan dalil naqli yang ditafsirkan sebagai
bentuk perintah untuk berdakwah yang di dalamnya juga memuat tata cara
dan pelaksanaan kegiatan dakwah.
Perintah untuk berdakwah pertama kali ditujukan kepada para utusan
Allah, kemudian kepada umatnya baik secara umum, berkelompok atau
berorganisasi. Ada pula yang ditujukan kepada individu maupun keluarga
dan sanak famili. Dasar hukum pelaksanaan dakwah tersebut adalah:
Pertama, perintah dakwah yang ditujukan kepada para utusan Allah
tercantum pada Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 67:
ياأيل ف هفعت إن لمو كبر من كزل إليا أنلغ مول بسا الر صمعي اللهو هالترس تلغا بم ك اس إن الله لا يهدي القوم الكافريننن الم
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q.S. al-Maidah: 67)
Kedua, perintah dakwah yang ditunjukkan kepada umat Islam secara
umum tercantum dalam Al-Quran Surat Nahl ayat 125.
إاد ى لعيلبس بر كب وه كبإن ر نسأح بالتي هي مادلهجة ونسعظة الحوالمة والحكم دينتهبالم لمأع وهبيله وس نل عض نبم لمأع .
16
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berbantahlah kepada mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. al-Nahl: 125)
Ketiga, perintah dakwah yang ditunjukkan kepada muslim yang sudah
berupa panduan praktis tercantum dalam hadits yang artinya:
منكم منكرا فليغريه بيده فان مل يستطع فبلسانه وان مل يستطع فبقلبه وذالك أى رمن .ميانأضعف اال
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, apabila tidak mampu (mencegah denagn tangan) maka hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan apabila (dengan lisan) tidak mampu maka hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman”. (H.R. Muslim).
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa dasar hukum
pelaksanaan dakwah sangat kuat, yaitu al-Qur’an dan hadits. Selain ayat-
ayat dan hadits di atas, masih banyak pula ayat atau hadits lain.
2.1.3. Fungsi dan Tujuan Dakwah
Sejak Rasulullah secara resmi diangkat sebagai Nabi dan Rasul, maka
sejak itulah timbul dakwah, kemudian bergeraklah juru-juru dakwah
menyebarkan ajaran Islam ke penjuru dunia. Nabi sendiri tidak ingin
dinamika dakwah berhenti sepeninggalnya. Sebelum ia meninggal di
hadapan umat ia menyerahkan estafet dakwah kepada umatnya.
Islam sendiri menghendaki tatanan masyarakat yang ideal baik
akidahnya, ibadah, maupun akhlaknya. Namun dalam sejarah kemanusiaan,
masyarakat demikian belum pernah terwujud secara utuh. Karenanya,
17
dakwah selalu diperlakukan untuk meningkatkan kualitas spiritual manusia
secara perorangan maupun masyarakat.
Penyebaran dakwah sendiri setidaknya memiliki tiga fungsi sebagai
berikut:
1. Dakwah berfungsi untuk menyebarkan Islam kepada manusia sebagai
individu dan masyarakat sehingga mereka merasakan rahmat Islam
sebagai rahmat bagi seluruh alam.
2. Dakwah berfungsi melestarikan nilai-nilai Islam dari generasi ke
generasi kaum muslimin berikutnya sehingga kelangsungan ajaran
Islam beserta pemeluknya dari generasi ke generasi berikutnya tidak
putus.
3. Dakwah berfungsi korektif, artinya meluruskan akhlak yang bengkok,
mencegah kemungkaran dan mengeluarkan manusia dari kegelapan
rohani (M. Ali Aziz, 2004: 59-60)..
Sedangkan mengenai tujuan dakwah adalah sebagaimana
diturunkannya Islam bagi umat manusia sendiri, yaitu untuk membuat
manusia memiliki kualitas akidah, ibadah serta akhlak yang tinggi (M. Ali
Aziz, 2004: 61).
Menurut Bisri Afandi (1984: 3) bahwa yang diharapkan oleh dakwah
adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan adil maupun
aktual, baik pribadi maupun keluarga masyarakat, cara berpikirnya berubah,
cara hidupnya berubah menjadi lebih baik ditinjau dari segi kualitas maupun
kuantitas. Yang dimaksud adalah nilai-nilai agama sedangkan kualitas
18
adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin dimiliki banyak
orang dalam segala situasi dan kondisi.
Dakwah merupakan element vital bagi pertumbuhan dan
perkembangan Islam. Oleh sebab itu, dakwah sebagaimana dikemukakan
oleh Moh. Ali Aziz memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengajak orang-orang bukan Islam untuk memeluk agama Islam
(mengislamkan non muslim).
2. Mengislamkan orang Islam artinya meningkatkan kualitas iman, Islam,
dan ihsan kaum muslim sehingga mereka menjadi orang-orang yang
mengamalkan Islam secara keseluruhan (kaffah).
3. Menyebarkan kebaikan dan mencegah timbul dan tersebarnya bentuk-
bentuk kemaksiatan yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan
individu dan masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang tentram
dengan penuh keridhaan Allah.
4. Membentuk individu dan masyarakat agar menjadikan Islam sebagai
pegangan dan pandangan hidup dalam segala segi kehidupan baik
politik, ekonomi, sosial dan budaya (M. Ali Aziz, 2004: 68-69)..
Dari keterangan di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi dakwah adalah
untuk menyebarkan Islam dan melestarikannya, dan juga melakukan koreksi
terhadap penyimpangan akhlak. Adapun mengenai tujuan dakwah ialah
sebagaimana diturunkannya Islam yaitu untuk membuat manusia memiliki
akidah, ibadah dan akhlak.
19
2.1.4. Metode (Thariqah) Dakwah
Metode dakwah merupakan jalan atau cara yang dipakai juru dakwah
untuk menyampaikan ajaran atau materi dakwah Islam. Pemilihan metode
yang tepat sangat penting peranannya dalam menyampaikan pesan dakwah.
Sebab, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang
tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Karenanya,
kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih metode penyampaian
dakwah sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah.
Menurutnya M. Yunan Yusuf (2003: vii), bahwa persoalan prinsip
yang harus diperhatikan dalam berdakwah, yaitu pilihan metode yang
digunakan. Penggunaan metode ini dapat dianalogikan bahwa dalam
kehidupan sehari-hari sering dijumpai kenyataan bahwa tata memberikan
sesuatu lebih penting dari sesuatu yang diberikan itu sendiri. Semangkuk teh
pahit dan sepotong ubi goreng yang disajikan dengan cara sopan, ramah dan
tanpa sikap yang dibuat-buat, akan lebih terasa enak disantap ketimbang
seporsi makanan lezat, mewah dan mahal harganya, tetapi disajikan dengan
cara kurang ajar dan tidak sopan. Analogi ini mensiratkan bahwa tata cara
atau metode lebih penting dari materi yang dalam bahasa Arab dikenal al-
Thariqah ahammu min al-maddah. Ungkapan ini sangat relevan dengan
kegiatan dakwah, sehingga dapat memilih metode dakwah yang efektif,
simpatik dan empatik.
Pada umumnya, para ulama dalam membahas metode dakwah merujuk
pada al-Qur’an surat al-Nahl ayat 125:
20
إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو دعا س نل عض نبم لمأعدينتهبالم لمأع وهبيله و
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. al-Nahl: 125).
Ayat di atas menyebutkan bahwa metode dakwah ada tiga, yaitu;
dengan hikmah (bijaksana), dengan mau’idzah hasanah (nasihat yang baik)
dan dengan mujadalah (diskusi).
Pertama, metode hikmah. Hikmah sendiri menurut pengertian sehari-
hari adalah bijaksana. Metode hikmah yaitu berdakwah dengan
memperhatikan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan
menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan
ajaran-ajaran Islam, tidak merasa terpaksa atau keberatan. Sukses dakwah
yang dilakukan Nabi Muhammad ialah karena merupakan manusia
sempurna dalam bidang hikmah ini, artinya orang sangat bijaksana.
Kedua, metode mau’idhah hasanah, yaitu berdakwah dengan cara
memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan
rasa kasih sayang kepada masyarakat luas sehingga bisa menyentuh.
Mau’idhah hasanah dapat dikembangkan pelaksanaannya dalam lembaga-
lembaga formal seperti lembaga pendidikan dan sebagaimana dengan
mengajarkan al-Qur’an dengan arti yang luas.
Ketiga, metode mujadalah, yaitu berdakwah dengan cara bertukar
pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak
21
memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjalankan yang
menjadi sasaran dakwah. Di antara manusia ada golongan yang tidak
mudah menerima panggilan dan keterangan hikmah, ilmiah, juga tidak
mudah dipanggil dengan seruan mau’idhah hasanah. Mereka ini harus
dihadapi dengan mujadalah atau diskusi dan bertukar pikiran. Kepadanya
harus ditunjukkan argumentasi yang meyakinkan. Pintu kalbunya harus
dibuka dengan cara yang bijaksana untuk menerima nilai-nilai baru sebagai
suatu kebenaran yang harus ia yakini dan diamalkan. Karenanya, setiap
pembawa risalah harus menggunakan ilmu dan diskusi (M. Ali Aziz, 2004:
135-136).
Ketiga metode di atas merupakan metode pokok dalam berdakwah
yang dapat dapat dikembangkan dan dirinci menjadi metode-metode lain
yang lebih luas dan disesuaikan dengan perkembangan lingkungan
2.1.5. Media dan Efek Dakwah
Media dakwah merupakan peralatan yang digunakan untuk
menyampaikan materi dakwah, seperti televisi, radio, surat kabar dan film.
Media dakwah merupakan salah satu unsur penting yang harus diperhatikan
dalam aktivitas dakwah. Sebab sebaik apapun metode, materi, dan kapasitas
seorang da’i jika tidak menggunakan media yang tepat seringkali hasilnya
kurang maksimal. Media itu sendiri memiliki relativitas yang sangat
bergantung dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
22
Media merupakan alat obyektif yang menghubungkan ide dengan
audien, atau dengan kata lain suatu elemen yang menghubungkan urat nadi
dalam totaliter (Hamzah Ya’kub, 1998: 47-48). Berdasarkan hal itu, media
dakwah dapat diklasifikasikan sebagai berikut; 1) Dakwah melalui saluran
lisan, yaitu dakwah secara langsung di mana da’i menyampaikan ajakan
dakwahnya kepada mad’u. 2) Dakwah melalui saluran tertulis, yaitu
kegiatan dakwah yang dilakukan melalui tulisan-tulisan. 3) Dakwah melalui
alat visual, yaitu kegiatan dakwah yang dilakukan dengan melalui alat-alat
yang dapat dilihat dan dinikmati oleh mata manusia. 4) Dakwah melalui alat
audio, yaitu alat yang dapat dinikmati melalui perantaraan pendengaran. 5)
Dakwah melalui alat audio visual, yaitu alat yang dipakai untuk
menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinikmati dengan mendengar dan
melihat. 6) Dakwah melalui keteladanan, yaitu bentuk penyampaian pesan
dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan dari da’i (Aminudin
Sanwar, 1986: 77-78).
Sedangkan mengenai efek dakwah, bahwa setiap aksi dakwah akan
menimbulkan reaksi. Demikian jika dakwah telah dilakukan oleh seorang
da’i dengan materi dakwah, wasilah, thariqah tertentu, maka akan timbul
respons dan efek (atsar) pada ma’du (mitra atau penerima dakwah).
Atsar sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti
bekasan, sisa, atau tanda. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang berasal dari sahabat atau
23
tabi’in yang pada perkembangan selanjutnya dianggap sebagai hadits,
karena memiliki ciri-ciri sebagai hadits (Abuddin Nata, 1998:363).
Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses
dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i.
Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan,
maka selesailah dakwah. Padahal, efek sangat besar artinya dalam
penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis efek
dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan
pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan
menganalisis efek dakwah secara cermat dan tepat maka kesalahan strategis
dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada
langkah-langkah berikutnya (correctiveaction) demikian juga strategi
dakwah termasuk di dalam penentu unsur-unsur dakwah yang dianggap baik
dapat ditingkatkan (M. Ali Aziz, 2004: 138-139).
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa media dakwah
merupakan peralatan yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah.
Peralatan dalam penyampaian dakwah sendiri bermacam-macam jumlahnya,
dan peralatan dakwah ini merupakan unsur penting yang harus diperhatikan
dalam dakwah. Sedangkan efek (atsar) dakwah merupakan akibat dari
pelaksanaan proses dakwah yang terjadi pada obyek dakwah. Efek tersebut
bisa berupa efek positif bisa pula negatif. Efek negatif ataupun positif dari
proses dakwah berkaitan dengan unsur-unsur dakwah lainnya. Efek dakwah
menjadi ukuran berhasil atau tidaknya sebuah proses dakwah.
24
2.2. Konsep Jihad dalam Islam
2.2.1. Pengertian Jihad
Konsep jihad sendiri dapat dilihat secara kebahasaan dan secara
teologis, yakni pengertian jihad dalam konsep hukum Islam baik yang
didasarkan pada al-Qur’an maupun hadits. Secara bahasa (etimologi), kamus
al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alam lebih lanjut menyebutkan lafad العدوا - جهد
artinya الدين عن مغمة قتله yang artinya "Memerangi musuh dalam rangka
membela agama" (Abu Luwis Ma’luf, 1986: 106) .
Kamus Arab-Indonesia al-Munawir karangan Ahmad Warson
Munawir mengartikan lafad jihad sebagai "Kegiatan mencurahkan segala
kemampuan". Jika dirangkai dengan kata fi sabilillah, berarti "Berjuang,
berjihad, berperang di jalan Allah". Jadi kata jihad artinya perjuangan
(Ahmad Warson Munawir, 1984: 66). Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab
sebagaimana dikutip Muhammad Chirzin menyebutkan bahwa jihad ialah
"Memerangi musuh, mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa
kata-kata, perbuatan atau segala sesuatu semampunya". Hans Wehr dalam A
Dictionary of Modern Written Arabic mengartikan jihad sebagai "Fight,
battle, holy war (against the infidles as a religious duty)". Artinya, jihad
ialah perjuangan, pertempuan, perang suci melawan musuh-musuh sebagai
kewajiban agama (Muhammad Chirzin, 2004: 12).
Sedangkan secara terminologis, para pemikir Islam memberikan
pengertian berbeda mengenai konsep jihad. Misalnya, Wahbah al-Zuhaili
menyebutkan bahwa jihad adalah "Pengerahan segala kemampuan dan
25
potensi dalam memerangi musuh". Jihad diwajibkan bagi kaum muslim
demi membela agama Allah, baik secara fisik maupun pemikiran (Wahbah
al-Zuhaili, 1987: 8).
Muhammad Ismail dalam Bunga Rampai Pemikiran Islam
menyebutkan; jihad adalah "Upaya mengerahkan segenap kemampuan
untuk melakukan peperangan di jalan Allah, baik secara langsung atau
dengan cara membantu dalam sektor keuangan, menyampaikan pendapat
(tentang jihad), atau menggugah semangat". Menurutnya bahwa jihad
pengertiannya khusus untuk perang atau yang berkaitan langsung dengan
urusan peperangan (M. Ismail, 1998: 117).
Hasan al-Bana, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Chirzin,
menyebutkan jihad adalah sebagai suatu kewajiban muslim yang
berkelanjutan hingga akhir kiamat, tingkat terendahnya berupa penolakan
hati atas keburukan atau kemungkaran dan yang tertinggi berupa perang di
jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan dengan lisan, pena,
tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadapan penguasa yang
zalim (M. Chirzin, 1997: 12).
Sayyed Husen Nasr menyebutkan bahwa makna pokok jihad adalah
"Pengerahan tenaga atau usaha dan di antaranya hanya sebagian saja yang
berarti perang. Bahkan, dalam pengertian perang, jihad berarti berperang di
jalan Allah melawan kekuatan-kekuatan jahat dengan mempertaruhkan
nyawa dan harta untuk membuat jalan Allah berjaya di muka bumi dan
bukan berperang untuk tujuan duniawi" (Sayyid Hossen Nasr, 2002: 168).
26
Azyumardi Azra memberikan pengertian bahwa jihad berarti
"Mengerahkan kemampuan diri sendiri dengan sungguh-sungguh". Di
dalam bahasa Inggris disebut sebagai to exert oneself yaitu 'melakukan
usaha keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan disetujui agama
yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama seperti membangun kesejahteraan
bagi umat manusia'. Lebih lanjut Azra menyebutkan bahwa jihad dapat
dilakukan dalam bidang apa saja seperti menuntut ilmu ke negeri yang jauh
atau di negeri sendiri dengan bersungguh-sungguh. Orang yang menuntut
ilmu itu pun disebut orang yang berjihad di jalan Allah, disebut jihad fi
sabilillah (Azyumardi Azra, 2000: 14).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa para pemikir Islam
memberikan pengertian berbeda mengenai jihad, mulai dari aktivitas yang
berhubungan dengan peperangan melawan musuh, melawan hawa nafsu,
sampai pengertian sebagai usaha yang dilakukan secara serius untuk tujuan-
tujuan yang baik.
2.2.2. Dasar Hukum Jihad
Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa awal-awal
perkembangan Islam hingga masa kontemporer. Pembicaraan tentang jihad
dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit atau banyak mengalami
pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan masing-
masing pemikir (Azyumardi Azra, 1996: 127). Demikian sentralnya jihad
27
dalam Islam hingga cukup beralasan jika kalangan Khawarij menetapkannya
sebagai “rukun Islam keenam” (Hamid Enayat, 1988: 2).
Menurut M. Ismail (1998: 117) bahwa hukum jihad dalam arti perang
di jalan Allah adalah fardhu kifayah yang didasarkan pada nash-nash al-
Qur’an maupun hadits Nabi. Namun jika kondisi umat Islam dalam bahaya
atau dalam ancaman serangan musuh, maka hukum jihad menjadi fardhu
a’in.. Ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan pentingnya jihad antara lain
dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 218 yang menyebutkan:
. والله غفور رحيم ئك يرجون رحمة الله لوه أللدوا في سبيل اها وجاوين ءامنوا والذين هاجرذ النإ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah, mereka itu mengharap ridha Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 218).
Surat al-Baqarah (2) ayat 244 menyebutkan:
بي فاواتلقوهل اللي س س وا أن اللهلماعموع ليعيم. “Dan berperanglah di jalan Allah, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(Q.S. al-Baqarah [2]: 244).
Selain itu, surat al-Nisa’(4) ayat 74 menyebutkan:
و أ ل الله فيقت ي سبيل فلاتقي ن ومرةلآخبا يانالد اةحيل انروش ي ن الله الذييل في سبلتايقلفليغفب سفون أهتيؤ جظيما عار
“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”(Q.S. al-Nisa’ [4]: 74).
28
Surat al-Nisa’ (4) ayat 84 menyebutkan:
كف بأس الذين ينألا تكلف إلا نفسك وحرض المؤمنني عسى الله هي سبيل اللف اتلقف . بأسا وأشد تنكيلاده أشكفروا والل
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu'min (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya)”(Q.S. al-Nisa’ [4]: 84).
Di samping ayat-ayat di atas, masih berpuluh-puluh ayat lain yang
secara khusus dijadikan sandaran mengenai pentingnya jihad.
Sedangkan hadits-hadits yang dijadikan rujukan pentingnya jihad
dalam Islam, misalnya dapat dilihat pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang kesahihannya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim sebagai
berikut:
ل مث ماذا؟ قيرسوله و صلى اهللا عليه وسلم أي العمل أفضل؟ قال اميان باهللاهللا رسوللئس ) ومسلم عن ايب هريرةيلبخاره اروا ( ...قال اجلهاد يف سبيل اهللا
“Rasulullah saw ditanya,“Amal apa yang paling utama?” Jawab beliau, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Ditanya lagi, “Kemudian amal apa lagi?” Jawab Nabi, “Berjihad di jalan Allah”(H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud yang keshahihannya
disepakati pula oleh al-Bukhari dan Muslim:
ري ومسلم اخباه الور( .يف سبيل اهللا اجلهادل اهللا أي العمل أحب اىل اهللا تعاىل؟ قالورس ا يتلق
) عن ايب هريرة “Saya bertanya kepada Rasul saw, “Wahai Rasul Allah, amalan apakah yang lebih utama?” Beliau bersabda,“Beriman kepada Allah dan berjihad di jalan Allah” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
29
Selanjutnya hadits yang diriwayatkan oleh Anas dan keshahihannya
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim:
)سنا ري ومسلم عناخباه الور( .الدنيا وما فيها يل اهللا أو روحة خري من بس وة ىفدغل Ghudwah (pergi di awal siang untuk berjuang) di jalan Allah atau Rauhan (pulang dari bepergian dalam rangka berjuang di jalan Allah) lebih baik dari dunia dan isinya”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Dari beberapa kutipan ayat al-Qur’an maupun hadits di atas dapat
diketahui tentang pentingnya jihad dalam Islam. Nash di atas dapat
dijadikan rujukan jihad, baik dalam pengertian aktivitas yang berhubungan
dengan perang maupun pengertian sebagai usaha yang serius di jalan Allah.
2.2.3. Macam-macam Jihad
Sebagaimana telah disebutkan bahwa secara teologis para pemikir
Islam memberikan pengertian berbeda mengenai konsep jihad. Cakupannya
sangat luas, sejak dari berjuang melawan hawa nafsu, mengangkat senjata
ke medan perang sampai pengertian sebagai suatu usaha dengan sungguh-
sungguh untuk tujuan yang baik. Namun, ada substansi jihad yang bisa
dibenarkan, yaitu jihad berinti suatu seruan kepada agama yang hak.
Karenanya, jika jihad dikaitkan dengan kata fi sabilillah berarti berjuang
atau berperang di jalan Allah, suatu perjuangan yang bisa dilakukan dengan
tangan ataupun lisan (Kacung Marijan, 2003: 202-203).
Cakupan makna jihad yang luas tersebut sebenarnya dapat
dikerucutkan pada dua klasifikasi, yaitu jihad dalam pengertian aktivitas
perang dan jihad dalam cakupan universal.
30
Pertama, konsep jihad sebagai aktivitas perang. Jihad dalam cakupan
ini sebagaimana stereotipe pandangan Barat, jihad fi sabilillah yaitu perang
suci (holy war) untuk menyebarluaskan agama Islam. Bernard Shaw, seperti
dikutip Muhammad Husein Fadullah, menyatakan bahwa “Islam disebarkan
melalui ketajaman pedang” (M. Hasan Fadhullah, 1995: 158).
Istilah the holy war itu sebenarnya tidak dikenal dalam perbendaharaan
Islam klasik. Ia berasal dari sejarah Eropa dan dimengerti sebagai perang
karena alasan-alasan keagamaan. Pandangan Barat tersebut memberi corak
bahwa Islam merupakan agama yang melegitimasi cara-cara kekerasan, dan
disebarkan dengan cara kejam dan sebagai agama yang menjauhkan
manusia dari kebebasan.
Dari kalangan Islam sendiri, muncul sejumlah orang yang mengartikan
jihad hanya dengan satu makna; perjuangan senjata yang menawarkan
alternatif hidup mulia atau mati syahid. Bagi mereka perjuangan senjata
merupakan langkah pertama dan utama. Dimensi perjuangan lainnya,
misalnya menyampaikan pendapat atau pemikiran yang benar tidak dihitung
sebagai jihad. Di sisi lain, sejumlah orang berpendapat bahwa karena yang
disebut jihad akbar, adalah perjuangan melawan hawa nafsu, maka
perjuangan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan apalagi militer, tidak
perlu diprioritaskan (Abu Fahmi, 1992: 8).
Murtadha Muthahari juga menitikberatkan jihad dalam arti perang.
Bahwa perang yang sifatnya defensif itu sah bagi individu, satu suku atau
31
satu bangsa, untuk membela diri dan harta benda. Hal itu merupakan salah
satu dari tuntutan hidup manusia (Murthada Muthahari, 1987: 27).
Sedangkan Ali bin Nafayyi’ al-Alyani juga merumuskan langkah-
langkah atau tahapan yang ditempuh dalam jihad, yaitu: pertama, melawan
orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kedua, menghilangkan
fitnah dari umat manusia, sehingga mereka mau mendengarkan dalil-dalil
tauhid tanpa ada penghalang. Ketiga, melindungi negeri-negeri Islam dari
kejahatan orang-orang kafir. Keempat, membunuh orang kafir,
mencelakakan dan membinasakan mereka. Kelima, membuat orang-orang
kafir ketakutan, hina dan marah (M. Chirzin, 1997: 14).
Terjemahan jihad menjadi “perang suci”, yang dikombinasikan dengan
pemikiran Barat yang keliru tentang Islam sebagai “agama pedang”,
mengurangi arti batini dan spiritualnya serta mengubah konotasinya. Karena
kehidupan pada hakikatnya mengimplikasikan gerak, maka untuk tetap
berada dalam equilibrium (keseimbangan), diperlukan upaya
berkesinambungan, dengan melaksanakan jihad batini pada setiap tahap
kehidupan dalam menuju Realitas Ilahi. Melalui jihad batini, manusia
spiritual mengakhiri semua mimpi, menuju Realitas yang merupakan
sumber semua realitas (Sayyed Hossen Nasr, 2002: 168-169).
Kedua, konsep jihad secara universal. Menurut Azyumardi Azra,
konsep jihad Islam yang dipahami sebagai aktivitas perang semata seperti
yang dikemukakan oleh pemikir Barat maupun pemikir muslim sendiri
tidaklah benar. Menurutnya, jihad secara harfiah berarti bersungguh-
32
sungguh, karenanya orang yang bersungguh-sungguh itu disebut mujtahid.
Jihad dilakukan dalam bidang apa saja, misalnya menuntut ilmu dan
mengajar dengan sungguh-sungguh. Aktivitas keilmuan juga disebut sebagai
orang yang berjihad di jalan Allah. Karenanya, pengertian jihad menurut
Azra sangat luas, mulai dari menuntut dan mengajarkan ilmu, mencari
nafkah, menghidupi anak istri, dan sebagainya (Azyumardi Azra, 2000: 14).
Jihad juga bisa dalam lingkup diri sendiri dalam arti mengontrol
emosi, hawa nafsu. Bahkan, itulah yang disebut jihad akbar, jihad paling
besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu diri sendiri. Karenanya, ketika
memasuki bulan suci Ramadhan, umat Islam dikatakan Nabi Muhammad
akan memasuki jihad besar, yaitu jihad melawan godaan, hawwa nafsu, dan
diri sendiri.
Banyak nilai universal yang terkandung dalam jihad. Jihad dalam
pengertian usaha yang sungguh-sungguh menciptakan kebaikan bagi
lingkungan, alam, dunia secara keseluruhan. Karenanya, dalam konteks ini
jihad berarti mengerahkan kemampuan diri sendiri dnegan sungguh-
sungguh seperti membangun kesejahteraan bagi umat manusia, menegakkan
disiplin nasional, membangun negara yang lebih demokratis, lebih
berkeadilan adalah nilai-nilai jihad yang universal, yang bisa berlaku untuk
siapa saja, baik Islam maupun non-Islam.
Menjelaskan nilai-nilai seperti keadilan, demokrasi, penghormatan
terhadap pluralisme, baik pluralisme keagamaan, suku, maupun tradisi
budaya, menurut Azyumardi Azra (2000: 15) itu adalah bagian dari jihad.
33
Karenanya, jihad adalah bersungguh-sungguh mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk kepentingan, tidak hanya kepentingan umat Islam, tetapi
juga kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Apalagi Islam itu
dipercaya oleh kaum muslim menjadi rahmat bagi alam semesta. Jadi kalau
umat Islam mau menjadi rahmat bagi alam semesta, dia harus bersungguh-
sungguh menegakkan nilai-nilai yang accaptable, dan universal bagi umat
manusia.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa cakupan aktivitas jihad
sangat luas, mulai dari berjuang melawan hawa nafsu, mengangkat senjata
ke medan perang sampai segala usaha untuk tujuan yang baik. Namun,
sebenarnya cakupan konsep jihad tersebut dapat dikerucutkan pada dua
klasifikasi, yaitu konsep jihad sebagai aktivitas perang, dan konsep jihad
yang universal.
2.3. Hubungan Dakwah dengan Jihad
Apabila ditelusuri dalam sejarah Islam, bahwa Nabi Muhammad dalam
menyebarkan Islam dapat dipilah dalam dua fase, yaitu fase Makkah dan
fase Madinah. Setiap fase memiliki watak dan bentuk masing-masing. Jihad
fase Makkah berfokus pada cara membentuk pribadi muslim secara utuh
dan mengokohkannya untuk menghadapi gelombang tantangan yang
dilancarkan kaum kafir Quraisy (Muhammad Chirzin, 2004: 71-73).
Garis-garis besar jihad pada fase Makkah yaitu; Pertama, menguatkan
akidah. Kedua, memantapkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu dari Allah.
34
Ketiga, menegaskan bahwa Rasulullah Muhammad adalah Nabi terakhir.
Keempat, menanamkan keimanan terhadap hari kebangkitan. Tahap-tahap
ini dilakukan oleh Rasulullah karena perlawanan yang dilakukan kaum kafir
Quraisy terutama dalalam dimensi teologis ini (Ahmad Satori Ismail, 2006:
22).
Untuk memantapkan jihad di fase ini, dakwah Islam menentukan cara-
cara yang berfokus pada tiga hal. Pertama, mengarahkan risalah atau misi
dakwah untuk meghadapi para tokoh kekufuran. Kedua, memberikan
teladan yang baik, dan ketiga, berusaha menampilkan eksistensi dakwah di
hadapan musuh dengan cara lapang dada untuk memberi maaf dan
menguatkan kesabaran.
Dengan kecerdasan dan kehebatan strategi Rasulullah, ketika fase
Makkah berakhir, dakwah di Madinah sudah memiliki pendukung inti yaitu
para sahabat yang ikut Bai’at Aqabah II, sehingga jihad pada fase Madinah
tidak lagi hanya mengarah pada kesabaran dalam menanggung beban
perjuangan, tetapi sudah disyari’atkan berupa peperangan fisik.
Jihad dengan cara ini sudah pasti memerlukan persiapan yang sangat
besar, terutama yang berkaitan dengan pembentukan kekuatan sosial berupa
masyarakat Islam yang kokoh. Dengan begitu, Islam terlebih dahulu
memberikan kesempatan kepada kaum yang ingin memusuhinya untuk
melihat, memperhitungkan dan menentukan sikap terhadap komunitas baru
ini.
35
Pada fase ini, ada beragam cara jihad yang dicontohkan oleh
Rasulullah s.a.w. Kadang-kadang Rasulullah mengambil jalan diplomasi
dengan cara mengirim duta ke berbagai negara. Terkadang pula Rasulullah
mengambil cara perang (qital) yang terdiri dari tiga bentuk; Pertama, qital
ta’diby, yaitu perang untuk memberikan pelajaran kepada musuh yang
melanggar perjanjian damai. Kedua, qital difa’ay, yaitu perang untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh. Ketiga, qital wiqa’aiy, yaitu
perang preventif untuk melemahkan kekuatan musuh yang menyerang
sebelum mereka mejadi kuat (Ahmad Satori Ismail, 2006: 22).
Islam diturunkan ke bumi dengan membawa nilai-nilai kebaikan,
mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik dan menghiasi dirinya
dengan kebaikan. Bersamaan dengan itu, Islam menganjurkan pula
umatnya untuk menyebarkan kebaikan sehingga segala bentuk keburukan
dan kejahatan lenyap di muka bumi. Namun semua itu baru dapat terlaksana
manakala ada upaya yang sungguh-sungguh, terencana dan sistematis.
Upaya yang seperti itu dalam Islam disebut dengan jihad (Hamim Tohari,
2006: 20).
Tanpa jihad, kebanaran akan dikalahkan oleh kebatilan. Kebatilan
selamanya akan tetap ada di muka bumi bila tidak ada jihad. Padahal Allah
menghendaki agar kebenaran menghancurkan kebatilan sehingga kebatilan
terhapuskan. Faktor yang dipercaya untuk memainkan peran itu adalah
kaum muslimin. Seharusnya bumi ini menjadi lahan berdakwah bagi kaum
muslimin untuk menyebarkan Islam dan menegakkannya.
36
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa jihad dalam pengertian
perang membela Islam merupakan bagian dari dakwah. Sebaliknya, dakwah
dalam upaya menyebarkan Islam merupakan bagian dari jihad dalam
pengertian yang lebih luas.