11
BAB II
KONTROL DIRI DAN PERILAKU SOSIAL
A. Kajian Teori
1. Kontrol Diri
a. Pengertian Kontrol Diri
Skala kontrol diri mengungkap seberapa besar kontrol diri
dalam diri yang mengacu pada teori kontrol personal Averill. Averill
(1973 : 286-303) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol
personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif
(Control Cognitive), dan mengontrol keputusan (Decisional Control).
Calhoun dan Acocella (Ghufron, 2010 : 21) mendefinisikan
kontrol diri (self control) sebagai pengaturan proses-proses fisik,
psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian
proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum
dalam (Ghufron, 2010: 22) telah mendefinisikan kontrol diri sebagai
suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan
mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah
konsekuensi positif.
Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam
kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu, juga
kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku
sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam
melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku,
kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar
sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform
dengan orang lain, dan menutupi perasaannya (Ghufron, 2010: 21).
Dalam Kartini Kartono (2009), self-control atau kotrol diri
adalah mengatur sendiri tingkah laku yang dimiliki. Kontrol diri juga
12
menggambarkan keputusan individu melalui pertimbangan kognitif
untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan
hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan. Menurut Mahoney
dan Thoresen dalam Ghufron (2010 : 23), kontrol diri merupakan
jalinan secara utuh yang dilakukan individu terhadap lingkungannya.
Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara
yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu
cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan
situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat
perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih
fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap
hangat, dan terbuka (Ghufron, 2010 : 23).
Berk (1993) mengemukakan bahwa self control adalah
kemampuan individu untuk menahan keinginan dan dorongan sesaat
yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
norma sosial. Sementara Messina dan Messina (2003) menyatakan
bahwa pengendalian diri merupakan seperangkat tingkah laku yang
terfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, menangkal self-
destructive, perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan outonomy,
atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan,
kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional,
seperangkat tingkah laku yang terfokus pada tanggung jawab pribadi
(Daniel Goleman, 1996).
Menurut Chaplin sebagaimana dikutip oleh Rahmat Aziz
dalam jurnal Psikologi Islami mengemukakan bahwa kontrol diri (self
control) adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah
lakunya sendiri, kemampuan untuk menekan atau menghambat
dorongan yang ada. Sementara itu menurut Marvin dan Merbaum
bahwa kontrol diri secara fungsional didefinisikan sebagai konsep
dimana ada atau tidak adanya seseorang memiliki kemampuan untuk
mengontrol tingkah lakunya yang tidak hanya ditentukan cara atau
13
teknik yang digunakan, melainkan juga berdasarkan konsekuensi dari
apa yang mereka lakukan (Aziz, 2005: 156).
Berdasarkan pengertian-pengertian dari beberapa ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana
individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam
dirinya. Kontrol diri melibatkan kemampuan untuk memanipulasi diri
baik untuk mengurangi maupun meningkatkan perilakunya. Logue
mengatakan bahwa pembentukan self control dipengaruhi oleh faktor
genetik dan miliu. Anak-anak keturunan orang yang impulsif akan
mempunyai kecenderungan berperilaku impulsif. Faktor miliu yang
mempengaruhi perkembangan self control antara lain perilaku orang
tua yang diamati anak, gaya pengasuhan, termasuk aspek budaya. Usia
turut mempengaruhi kondisi kontrol diri pada anak. Kanak-kanak
cenderung lebih impulsif dibanding anak yang lebih dewasa, artinya
sejalan dengan bertambahnya usia anak, kemampuan mengen-dalikan
diri akan semakin baik. Hal ini terjadi karena anak mengalami proses
adaptasi ketika dihadapkan pada berbagai situasi yang menuntut
kontrol diri (Logue,1995).
Pembentukan self control sudah diawali sejak masa kanak-
kanak, ketika anak masih dalam buaian orang tuanya. Dalam hal ini
orang tua menjadi pembentuk pertama self control pada anak. Cara
orang tua menegakkan disiplin, cara orang tua merespon kegagalan
anak, gaya berkomunikasi, cara orang tua mengekspresikan
kemarahan (penuh emosi atau mampu menahan diri) merupakan awal
anak belajar tentang kontrol diri. Sejalan dengan bertambahnya usia
anak, bertambah luas pula komunitas sosial mempengaruhi anak, serta
bertambah banyak pengalaman-pengalaman sosial yang dialami. Anak
belajar dari lingkungan bagaimana cara orang merespon terhadap
suatu keadaan, anak belajar bagaimana merespon ketidaksukaan atau
kekecewaan, bagaimana merespon kegagalan, bagaimana orang-orang
14
mengekspresikan keinginan atau pandangannya yang menuntut
kemampuan kontrol diri.
Dari berbagai kejadian, ada orang yang dapat mengendalikan
diri secara baik, ada pula orang yang pengendalian dirinya rendah,
setiap perilaku akan memberikan efek tertentu dan anak bisa belajar
dari semua itu termasuk dari efek yang ditimbulkan dari suatu
perilaku. Sebagaimana Bandura menyatakan bahwa seseorang tidak
hanya belajar dari mengamati perilaku orang lain, tetapi juga belajar
dari efek yang ditimbulkan oleh suatu perilaku (Bandura, 1977).
Self control mempunyai peran besar untuk pembentukan
perilaku yang baik dan kontruktif, Gul dan Pesendofer (2000)
menyatakan fungsi pengendalian diri adalah untuk menyelaraskan
antara keinginan pribadi self interest dengan godaan (temptation).
Kemampuan seseorang mengendalikan keinginan-keinginan diri dan
menghindari godaan ini sangat berperan dalam pembentukan perilaku
yang baik. Ada kecenderungan manusiawi dalam diri anak untuk
berperilaku semaunya, ada kecenderungan anak untuk menentang
aturan, tidak patuh pada orang tua serta menuruti kemauan sendiri.
Malas belajar, menyontek, tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR),
menonton TV/film berjam-jam, bermain game, pulang larut malam,
minuman keras adalah godaan-godaan yang mengganggu anak. Godaan
tersebut dapat ditangkal dengan self control yang baik (Hart & Matsuba,
2008 : 1048-1061).
Gilliot et.al (2002) menyebutkan bahwa pengendalian diri
dipengaruhi oleh emotion regulation antara lain: active distraction,
pasive waiting, information gathering, comfort seeking, focus on dealy
object, peach anger. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-
anak yang dibesarkan dari keluarga miskin lebih sulit menahan diri
(delayed gratification), resiliensi (kemampuan menghadapi stres dan
tantangan hidup) yang lebih rendah, lebih aktif secara seksual, dan
juga lebih tidak mengindahkan metode-metode pengamanan yang
15
dapat mencegah kehamilan atau penyakit menular seksual (Hart &
Matsuba, 2008 : 1048-1061).
Menurut Hanley dan Spatis menyatakan bahwa salah satu
usaha untuk meningkatkan kontrol diri adalah dengan melakukan
meditasi. Meditasi menurut Wals adalah atau metode latihan yang
digunakan untuk melatih perhatian agar dapat meningkatkan taraf
kesadarn, dan selanjutnya dapat membawa proses mental yang lebih
terkontrol. Sementara itu Ornstein (1985) mengungkapkan bahwa
esensi meditasi adalah usaha untuk membatasi kesadaran pada satu
objek stimulasi yang tidak berubah pada waktu tertentu. Dari kedua
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa meditasi dapat diartikan
sebagai sekelompok teknik atau metode latihan yang digunakan untuk
melatih perhatian agar terpusat dengan menggunakan objek stimuli
yang tidak berubah pada waktu tertentu, sehingga kesadarannya
menyatu dan proses mentalnya dapat dikontrol yang pada akhirnya
perilaku seseorang akan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Kontrol diri merupakan kemampuan untuk mengatur membimbing
dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan
kognitif sehingga bisa membawa ke arah positif (Hurlock, 2002).
Kontrol diri melibatkan kemampuan untuk menahan keinginan dan
menunda kepuasan termasuk kemampuan untuk memanipulasi diri,
baik untuk mengurangi maupun meningkatkan perilaku (Bukhori,
2008:11).
b. Jenis dan Aspek Kontrol Diri
Kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu :
1) Kontrol Perilaku (Behavior control)
Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu
respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau
memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
16
2) Kontrol kognitif (Cognitive control)
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam
mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara
menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian
dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau
mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu
memperoleh informasi (information gain) dan melakukan
penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh
individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan,
individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai
pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha
menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan
cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
3) Mengontrol keputusan (Decisional control)
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang
untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada
sesuatu yang diyakini atau yang disetujuinya. Kontrol diri dalam
menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu
kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu
untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan (Ghufron, 2010:
31).
Frederic Skiner dalam (Budiraharjo, 1997:119) telah
menguraikan sejumlah teknik yang digunakan untuk mengendalikan
perilaku, yang kemudian banyak diantaranya dipelajari oleh social-
learning theorist. Teknik tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pengekangan Fisik (physical restrains)
Individu mengendalikan diri melalui pengekangan terhadap
fisik, misalnya menutup mulut, untuk menghindari diri dari
mentertawakan kesalahan orang lain.
17
2) Bantuan Fisik (physical aids)
Menurut Skinner bantuan fisik dapat digunakan untuk
mengendalikan perilaku. Seseorang meminum obat untuk
mengendalikan perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya
seorang pengendara mobil minum obat perangsang supaya
terhindar dari ketiduran pada waktu mengemudi sewaktu
perjalanan jauh. Bantuan fisik juga dapat digunakan untuk
memudahkan perilaku tertentu, yang bias dilihat pada situasi
dimana seseorang memiliki masalah penglihatan dengan
memakai kaca mata.
3) Mengubah Kondisi Stimulus (changing the stimulus condition)
Dengan kata lain yaitu mengubah stimulus yang
bertanggung jawab, tidak menyingkirkan dan tidak
mendatangkan stimulus agar melakukan suatu perilaku
tertentu, misalnya orang yang mempunyai kelebihan berat
badan menyisihkan sekotak permen dari hadapanya untuk
mengekang diri sendiri.
4) Memanipulasi Kondisi Emosional (Manupulation Emosional
Condition)
Skinner mengatakan bahwa terkadang seseorang
mengadakan perubahan emosional dalam diri untuk
mengendalikan dirinya, misalnya beberapa orang
menggunakan teknik meditasi untuk menghadapi stress.
5) Melakukan Respon-Respon lain (pervorming alternative
responses)
Menahan diri dari perilaku yang membawa hukuman
dengan melakukan hal lain, misalnya untuk menahan diri agar
tidak menyerang orang yang sangat tidak disukai, seseorang,
mungkin melakukan tindakan yang tidak berhubungan dengan
pendapat kita tentang mereka.
18
6) Menguatkan Diri Secara Positif (positif self reinforcement)
Individu menghadiahkan diri sendiri atas perilaku yang
patut dihargai, misalnya seorang pelajar menghadiahkan diri
sendiri karena telah belajar keras dan dapat mengerjakan ujian
dengan baik, dengan makan makanan yang lezat, atau
menonton film yang bagus.
7) Menghukum Diri Sendiri (self punishment)
Menghukum diri sendiri karena gagal melakukan
pekerjaan, misalnya karena gagal mendapatkan nilai yang
bagus, seseorang menghukum diri dengan berdiam diri di
dalam kamar (Budiraharjo, 1997: 119). Adapun dalam
prakteknya terdiri dari tiga cara yaitu: Pertama, Self
Monitoring, yaitu suatu proses dimana individu mengamati dan
merasa peka terhadap segala sesuatu tentang diri dan
lingkungannya. Kedua, Self Reward, yaitu suatu teknik dimana
individu mengatur dan memperkuat perilakunya dengan
memberikan hadiah atau hal-hal yang menyenangkan, jika hal
yang diinginkan berhasil. Ketiga, Stimulus Control, yaitu suatu
teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi ataupun
meningkatkan perilaku tertentu. Kontrol stimulus menekan
pada pengaturan kembali atau modifikasi lingkungan sebagai
isyarat khusus atau respon tertentu (Aziz, 2005: 157).
c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kontrol Diri
Faktor kontrol diri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :
1) Faktor Internal
Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah
usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik
kemampuan mengontrol diri seseorang. Dengan demikian faktor
ini sangat membantu individu untuk memantau dan mencatat
perilakunya sendiri dengan pola hidup dan berfikir yang lebih
19
baik lagi. Hal ini berkaitan dengan kemasakan kognitif yang
terjadi selama masa pra sekolah dan masa kanak-kanak secara
bertahap dapat meningkatkan kapasitas individu untuk membuat
pertimbangan sosial dan mengontrol perilaku individu tersebut.
Dengan demikian ketika beranjak dewasa inidividu yang telah
memasuki perguruan tinggi akan mempunyai kemampuan berfikir
yang lebih kompleks dan kemampuan intelektual yang lebih
besar.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan
keluarga. Lingkungan keluarga terutama orang tua menentukan
bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Sebagai orang
tua kita dianjurkan menerapkan sikap disiplin terhadap anak sejak
dini. Dengan mengajarkan sikap disiplin terhadap anak, pada
akhirnya mereka akan membentuk kepribadian yang baik dan
dapat mengendalikan perilaku mereka. Disiplin yang diterapkan
orang tua merupakan hal penting dalam kehidupan, karena dapat
mengembangkan kontrol diri dan self directions sehingga
seseorang bisa mempertanggungjawabkan dengan baik segala
tindakan yang dilakukan. Individu tidak dilahirkan dalam konsep
yang benar dan salah atau dalam suatu pemahaman tentang
perilaku yang diperbolehkan dan dilarang (Ghufron, 2010 : 32).
d. Fungsi Kontrol Diri
Surya dalam Gunarsa (2009) menambahkan fungsi self control
adalah mengatur kekuatan dorongan yang menjadi inti tingkat
kesanggupan, keinginan, keyakinan, keberanian dan emosi yang ada
dalam diri seseorang.
Messina dan Messina dalam Gunarsa (2009 : 40)
mengemukakan fungsi dari self control sebagaimana tertuang di
bawah ini:
20
1) membatasi perhatian individu pada orang lain
2) membatasi keinginan untuk mengendalikan orang lain
dilingkungannya
3) membatasi untuk bertingkah laku negatif
4) membantu memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang
Self control sangat diperlukan agar seseorang tidak terlibat
dalam pelanggaran norma keluarga, sekolah dan masyarakat. Santrock
(1998) menyebut beberapa perilaku yang melanggar norma yang
memerlukan self control kuat meliputi dua jenis pelanggaran, yaitu
tipe tindakan pelanggaran ringan (status-offenses) dan pelanggara
berat (index-offenses). Pelanggaran norma tersebut secara rinci
meliputi:
a. tindakan yang tidak diterima masyarakat sekitar karena
bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku masyarakat,
seperti bicara kasar dengan orang tua dan guru
b. pelanggaran ringan yaitu; melarikan diri dari rumah dan membolos
c. pelanggaran berat merupakan tindakan kriminal seperti merampok,
menodong, membunuh, menggunakan obat terlarang. Berbagai
pelanggaran yang muncul karena rendahnya self control, sekaligus
bersumber dari sikap orang tua yang salah.
Rice dalam Gunarsa (2009) mengemukakan beberapa sikap
orang tua yang kurang tepat yang mengangggu self control anak
adalah:
1) pengabaian fisik (physical neglect) yang meliputi kegagalan dalam
memenuhi kebutuhan atas makanan, pakaian, dan tempat tinggal
yang memadai,
2) pengabaian emosional (emotional neglect) yang meliputi perhatian,
perawatan, kasih sayang, dan afeksi yang tidak memadai dari orang
tua, atau kegagalan untuk memenuhi kebutuhan remaja akan
penerimaan, persetujuan, dan persahabatan,
21
3) pengabaian intelektual (intellectual neglect), termasuk di dalamnya
kegagalan untuk memberikan pengalaman yang menstimulasi
intelek remaja, membiarkan remaja membolos sekolah tanpa alasan
apa pun, dan semacamnya,
4) pengabaian sosial (social neglect) meliputi pengawasan yang tidak
memadai atas aktivitas sosial remaja, kurangnya perhatian dengan
siapa remaja bergaul, atau karena gagal mengajarkan atau
mensosialisasikan kepada remaja mengenai bagaimana bergaul
secara baik dengan orang lain,
5) pengabaian moral (moral neglect), kegagalan dalam memberikan
contoh moral atau pendidikan moral yang positif
e. Teknik Kontrol Diri
Skinner dalam (Budiraharjo, 1997:118) telah menguraikan
sejumlah teknik yang digunakan untuk mengendalikan perilaku, yang
kemudian telah banyak dipelajari oleh social-learning theorist yang
tertarik dalam bidang modeling dan modifikasi. Seseorang dikatakan
mempunyai kontrol diri apabila mereka secara aktif mengubah
variabel-variabel yang menentukan perilaku mereka. Misalnya ketika
seseorang tidak bisa belajar karena radio dengan suara musik yang
sangat keras, mereka mematikanya. Dengan demikian kita secara aktif
melakukan perubahan pada variabel yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Menurut Sukadji ada 5 teknik yang dapat digunakan untuk
mengontrol diri. Teknik mengontrol diri tersebut adalah:
1) Teknik Pemantauan Diri
Teknik ini berdasarkan asumsi bahwa dengan memantau dan
mencatat perilakunya sendiri, individu akan memiliki pemahaman
yang objektif tentang perilakunya sendiri.
2) Teknik Pengukuhan Diri
Dasar pikiran teknik ini ialah asumsi bahwa perilaku yang
diikuti dengan sesuatu yang menyenangkan akan cenderung di
22
ulangi dimasa mendatang. Teknik ini menekankan pada pemberian
pengukuh positif segera setelah perilaku yang diharapkan muncul.
Bentuk pengukuhan yang diberikan seperti yang disarankan
Sukadji yaitu bentuk pengukuhan yang wajar dan bersifat intrinsik,
seperti senyum puas atas keberhasilan usaha yang dilakukan, serta
pernyataan-pernyataan diri yang menimbulkan perasaan bangga.
3) Teknik Kontrol Stimulus
Dasar teknik ini adalah asumsi bahwa respon dapat
dipengaruhi oleh hadir atau tidaknya stimulasi yang mendahului
respon tersebut. Teknik ini bertujuan untuk mengontrol kecemasan
dengan cara mengatur stimulus yang berpengaruh, cara ini bisa
berupa pengarahan diri untuk berfikir positif, rasional dan objektif
sehingga individu lebih mampu mengendalikan dirinya.
4) Teknik Kognitif
Proses kognitif berpengaruh terhadap perilaku individu,
dengan demikian apabila individu mampu menggantikan pemikiran
yang menyimpang dengan pikiran-pikiran yang objektif, rasional,
maka individu akan lebih mampu mengendalikan dirinya.
5) Teknik Relaksasi
Asumsi yang mendasari teknik ini adalah individu dapat secara
sadar belajar untuk merelaksasikan ototnya sesuai keinginannya
melalui usaha yang sistematis. Oleh karena itu, teknik ini
mengajarkan kepada individu untuk belajar meregangkan otot yang
terjadi saat individu mengalami kecemasan. Seiring dengan
peredaan otot ini, reda pula kecemasannya (Andjani, 1991:55).
2. Perilaku Sosial
a. Pengertian Perilaku Sosial
Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga
sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya
atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi
23
interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik
aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru
melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu
dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.
Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang
merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia. Sebagai
bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri
pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan
bantuan dari orang lain. Ada ikatan saling ketergantungan diantara
satu orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup
manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam
kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu bekerja sama,
saling menghormati, tidak menggangu hak orang lain, toleran dalam
hidup bermasyarakat. Karena perilaku manusia dalam interaksi sosial
dilihat sebagai respons atau tanggapan (reaksi mekanis yang bersifat
otomatis) dari sejumlah stimulus atau rangsangan yang muncul dari
interaksi tersebut. Reaksi mekanis dan otomatis seperti itu kerap
terjadi dalam interaksi antar individu tertentu. (I.B Wirawan, 2012 :
169)
Menurut Krech (1962:104-106), perilaku sosial seseorang itu
tampak dalam pola respons antar orang yang dinyatakan dengan
hubungan timbal balik antar pribadi. Perilaku sosial juga identik
dengan reaksi seseorang terhadap orang lain. Perilaku itu ditunjukkan
dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa
hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat
relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbeda-
beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada orang yang
melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan
kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya. Sementara di
pihak lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan
hanya ingin mencari untung sendiri.
24
Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan bahwa untuk
memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-
kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari : (1)
Kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan
yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki
seorang individu, (2) Kecenderungan Sosiometrik
(Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan
dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, dan (3)
Kecenderungan Ekspressi (Expression Disposition), yaitu
kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan
menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan
peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang
bipolar, yaitu :
1) Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan
diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan
malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum
dikenal.
2) Dominace-Submissive
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang
lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu
mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.
3) Social Initiative-Social Passivity
Social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin
orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu
kecenderungan pasif dan tak acuh.
4) Independent-Depence
Independent yaitu bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah
berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung
pada orang lain.
25
Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari
kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai,
manakala menunjukkan ciri-ciri respon interpersonal sebagai berikut :
1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial;
2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya;
3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan
4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul.
Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau
tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respon interpersonal
sebagai berikut :
1) kurang mampu bergaul secara sosial;
2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain;
3) pasif dalam mengelola kelompok; dan
4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut merupakan hasil dan
pengaruh dari faktor konstitusional, pertumbuhan dan perkembangan
individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan
dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau.
Sementara itu, Buhler mengemukakan tahapan dan ciri-ciri
perkembangan perilaku sosial individu sebagaimana dapat dilihat
dalam tabel berikut (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
26
Tabel 2.1
Ciri-ciri Perkembangan Perilaku Sosial Individu
Tahap Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3)
Subyektif
Segala sesuatu dilihat berdasarkan
pandangan sendiri
Kritis I ( 3 – 4 )
Trozt Alter Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai bisa menyesuaikan diri dengan
aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Masa Obyektif
Membandingkan dengan aturan –
aturan
Kritis II ( 12 – 13 )
Masa Pre Puber
Perilaku coba-coba, serba salah, ingin
diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai menyadari adanya kenyataan
yang berbeda dengan sudut
pandangnya
Remaja Akhir ( 16 – 18 )
Masa Obyektif
Berperilaku sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan kemampuan dirinya
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial.
Sejak dilahirkan manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju
kedewasaan, interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan
kehidupannya secara individual. Hal ini dikarenakan jika tidak ada
timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak dapat
merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang utuh
sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada
awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat
bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku sosial.
Pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat
eksternal. Pada aspek eksternal situasi sosial memegang
pernana yang cukup penting. Situasi sosial diartikan sebagai tiap-
tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang
satu dengan yang lain. Dengan kata lain setiap situasi yang
27
menyebabkan terjadinya interaksi social dapatlah dikatakan
sebagai situasi sosial. Contoh situasi sosial misalnya di
lingkungan pasar, pada saat rapat, atau dalam lingkungan
pembelajaran pendidikan jasmani (W.A. Gerungan, 1978:28-77).
b. Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial
Baron dan Byrne berpendapat bahwa ada empat kategori utama
yang dapat membentuk perilaku sosial seseorang, yaitu :
1) Perilaku dan karakteristik orang lain
Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang
yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan
berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun
dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan
orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh
perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru memegang peranan
penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi
pembentukan perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan
pengaruh yang cukup besar dalam mengarahkan siswa untuk
melakukan sesuatu perbuatan.
2) Proses kognitif
Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan
pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan
berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang
calon pelatih yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari
menjadi pelatih yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan orang
lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan
memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain
misalnya seorang siswa karena selalu memperoleh tantangan dan
pengalaman sukses dalam pembelajaran penjas maka ia memiliki
sikap positif terhadap aktivitas jasmani yang ditunjukkan
28
oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung teman-temannya
untuk beraktivitas jasmani dengan benar.
3) Faktor lingkungan
Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku
sosial seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai
atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka
perilaku sosialnya seolah keras pula, ketika berada di lingkungan
masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalambertutur kata.
4) Tatar Budaya sebagai tampat perilaku dan pemikiran sosial itu
terjadi
Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu
mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada
dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain
atau berbeda. Dalam konteks pembelajaran
pendidikan jasmani yang terpenting adalah untuk saling
menghargai perbedaan yang dimiliki oleh setiap anak (W.A.
Gerungan, 1978 : 28-77).
c. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial
Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan
oleh sikap sosialnya. Sikap menurut Akyas Azhari adalah “suatu cara
bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Sedangkan sikap sosial
dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang
terhadap obyek sosial yang menyebabkan terjadinya cara-cara
tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap salah satu
obyek sosial (W.A. Gerungan, 1978:151-152).
Berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang pada
dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian
yang dapat teramati ketika seseorang berinteraksi dengan orang
lain. Seperti dalam kehidupan berkelompok, kecenderungan
perilaku sosial seseorang yang menjadi anggota kelompok akan
29
terlihat jelas diantara anggota kelompok yang lainnya. Perilaku sosial
dapat dilihat melalui sifat-sifat dan pola respon antarpribadi, yaitu :
1) Kecenderungan Perilaku Peran
a) Sifat pemberani dan pengecut secara sosial
Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial,
biasanya dia suka mempertahankan dan membela haknya,
tidak malu-malu atau tidak segan melakukan
sesuatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat dalam
mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat tenaga.
Sedangkan sifat pengecut menunjukkan perilaku atau keadaan
sebaliknya, seperti kurang suka mempertahankan haknya,
malu dan segan berbuat untuk mengedepankan
kepentingannya.
b) Sifat berkuasa dan sifat patuh
Orang yang memiliki sifat sok berkuasa dalam perilaku
sosial biasanya ditunjukkan oleh perilaku seperti bertindak
tegas, berorientasi kepada kekuatan,
percaya diri, berkemauan keras, suka memberi perintah
dan memimpin langsung. Sedangkan sifat yang patuh atau
penyerah menunjukkan perilaku sosial yang sebaliknya,
misalnya kurang tegas dalam bertindak, tidak suka memberi
perintah dan tidak berorientasi kepada kekuatan dan
kekerasan.
c) Sifat inisiatif secara sosial dan pasif
Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka
mengorganisasi kelompok, tidak suka mempersoalkan latar
belakang, suka memberi masukan atau saran-saran dalam
berbagai pertemuan, dan biasanya suka mengambil alih
kepemimpinan. Sedangkan sifat orang yang pasif secara
sosial ditunjukkan oleh perilaku yang bertentangan dengan
sifat orang yang aktif, misalnya perilakunya yang dominan
30
diam, kurang berinisiatif, tidak suka memberi saran atau
masukan.
d) Sifat mandiri dan tergantung
Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat
segala sesuatunya dilakukan oleh dirinya sendiri, seperti
membuat rencana sendiri, melakukan sesuatu dengan cara-cara
sendiri, tidak suka berusaha mencari nasihat atau dukungan
dari orang lain, dan secara emosional cukup stabil. Sedangkan
sifat orang yang ketergantungan cenderung menunjukkan
perilaku sosial sebaliknya dari sifat orang mandiri,
misalnya membuat rencana dan melakukan segala sesuatu
harus selalu mendapat saran dan dukungan orang lain, dan
keadaan emosionalnya relatif labil.
2) Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial
a) Dapat diterima atau ditolak oleh orang lain
Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang lain
biasanya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, loyal,
dipercaya, pemaaf dan tulus menghargai kelebihan orang lain.
Sementara sifat orang yang ditolak biasanya suka mencari
kesalahan dan tidak mengakui kelebihan orang lain.
b) Suka bergaul dan tidak suka bergaul
Orang yang suka bergaul biasanya memiliki hubungan
sosial yang baik, senang bersama dengan yang lain dan
senang bepergian. Sedangkan orang yang tidak suka bergaul
menunjukkan sifat dan perilaku yang sebaliknya.
c) Sifat ramah dan tidak ramah
Orang yang ramah biasanya periang, hangat, terbuka,
mudah didekati orang, dan suka bersosialisasi. Sedang orang
yang tidak ramah cenderung bersifat sebaliknya.
31
d) Simpatik atau tidak simpatik
Orang yang memiliki sifat simpatik biasanya peduli
terhadap perasaan dan keinginan orang lain, murah hati dan
suka membela orang tertindas. Sedangkan orang yang tidak
simpatik menunjukkna sifat-sifat yang sebaliknya.
3) Kecenderungan perilaku ekspresif
a) Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka bersaing
(suka bekerjasama)
Orang yang suka bersaing biasanya menganggap
hubungan sosial sebagai perlombaan, lawan adalah saingan
yang harus dikalahkan, memperkaya diri sendiri. Sedangkan
orang yang tidak suka bersaing menunjukkan sifat-sifatyang
sebaliknya.
b) Sifat agresif dan tidak agresif
Orang yang agresif biasanya suka menyerang orang
lain baik langsung ataupun tidak langsung, pendendam,
menentang atau tidak patuh pada penguasa, suka
bertengkar dan suka menyangkal. Sifat orang yang tidak
agresif menunjukkan perilaku yang sebaliknya.
c) Sifat kalem atau tenang secara sosial
Orang yang kalem biasanya tidak nyaman jika berbeda
dengan orang lain, mengalami kegugupan, malu, ragu-ragu,
dan merasa terganggu jika ditonton orang.
d) Sifat suka pamer atau menonjolkan diri
Orang yang suka pamer biasanya berperilaku berlebihan,
suka mencari pengakuan, berperilaku aneh untuk mencari
perhatian orang lain (Ridwan dan Elly, 2007).
d. Perilaku Peserta Didik Sebagai Individu
Siswa atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar atau
mengikuti proses pendidikan, adalah individu. Baik di dalam kegiatan
32
klasikal, kelompok ataupun individual, proses dan kegiatan belajarnya
tidak dapat dilepaskan dari karakteristik, kemampuan dan perilaku
individunya. Sebenarnya dalam proses pendidikan, bukan hanya siswa
yang terikat dengan karakteristik, kemampuan dan perilaku individual
tersebut, tetapi juga guru serta para petugas pendidikan lainnya.
Karena siswa atau peserta didik merupakan subjek pendidikan, maka
karakteristik, kemampuan dan perilaku siswalah yang mendapat kajian
dan sorotan utama (Nana Syaodih, 2011:35).
Secara garis besar manusia terdiri atas dua aspek, yaitu aspek
jasmani dan rohani. Kedua aspek ini terbagi lagi atas sejumlah sub
aspek dengan ciri-ciri tertentu. Aspek jasmani meliputi tinggi dan
besar badan, panca indra yang terdiri atas indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan, dan pencecapan; anggota badan,
kondisi dan peredaran darah, kondisi dan aktivitas hormon, dll. Aspek
rohani meliputi kecerdasan, bakat, kecakapan hasil belajar, sikap,
minat, motivasi, emosi dan perasaan, watak, kemampuan sosial,
kemampuan berbahasa dan komunikasi, peranan interaksi sosial, dll
(Nana Syaodih, 2011:36).
Semua ciri atau sifat-sifat yang dimiliki individu membentuk
satu integrasi yang harmonis, walaupun pada individu-individu
tertentu mungkin saja terbentuk suatu integrasi yang tidak harmonis,
atau mungkin pula terjadi disintegrasi (ketidakselarasan sifat atau ciri-
ciri) (Nana Syaodih, 2011:37).
Perilaku atau kegiatan individu menyangkut hal-hal yang dia
sadari dan juga yang dia tidak sadari. Menurut konsep psikoanalisis
sebagian besar dari kehidupan individu terdiri atas bagian yang tidak
disadari (ketidaksadaran), hanya sebagian kecil saja yang dapat
disadari oleh individu (Nana Syaodih, 2011:41).
Menurut Sigmund Freud dalam hidupnya individu tidak pernah
berhenti melakukan kegiatan atau berperilaku. Kegiatan-kegiatan
individu mungkin dilakukan dengan sadar, tetapi mungkin juga
33
setengah sadar atau bahkan tidak sadar. Menurut Freud selanjutnya
bahwa semua kegiatan, baik yang ada dalam kesadaran mau pun
dalam ketidaksadaran tidak tinggal diam dan tidak hilang, selalu
bergerak dan sewaktu-waktu apabila ambang kesadarannya lemah,
maka individu melakukan hal-hal di luar kontrol dirinya (Nana
Syaodih, 2011:41-41).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah
sebagai berikut :
1) Faktor keturunan
2) Faktor lingkungan
3) Faktor antara pembawaan, lingkungan, dan kematangan
e. Perilaku Peserta Didik Dalam Lingkungan Sekolah
Peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah
tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang
diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat
berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang berlaku di
sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan
dan tata tertib yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin
siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan
lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin
sekolah. Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara
perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa
untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang
berlaku di sekolah.
Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolah “refers to
students complying with a code of behavior often known as the school
rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut,
seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing),
ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian
34
disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan
hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap
aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam menerapkan
metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan
perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan
psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan
oleh Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snock dalam bukunya
“Dangerous School” (1999). Berkenaan dengan tujuan disiplin
sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan
disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya
perilaku yang tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan
yang baik dan benar, (3) membantu siswa memahami dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi
melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar
hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya
serta lingkungannya.
Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan
dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi
di kalangan siswa remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat
mengkhawatirkan, seperti: kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam
narkoba, gang motor dan berbagai tindakan yang menjurus ke arah
kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, tetapi
juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah
pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah
masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat
ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus
bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk
penyimpangan perilaku lainnya. Tentu saja, semua itu membutuhkan
upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan di sinilah arti penting
disiplin sekolah.
35
Hasil penelitian Liau-bei Wu (2004) terhadap 1000 anak
sekolah menengah menguatkan peran orang tua dalam pembentukan
self control dan pengaruh self control terhadap berbagai perilaku
buruk. Kesimpulan penelitian tersebut antara lain, gaya pengasuhan
orang tua mempengaruhi perilaku menyimpang, ada hubungan antara
kontrol diri dengan perilaku menyimpang pada remaja. Hal yang sama
diperoleh dari hasil penelitian Gottfredson dan Hirschi bahwa semua
kejahatan berasal dari kontrol diri yang rendah. (Liau-bei Wu. 2004).
Di SMP 16 Kota Cirebon peneliti menemukan perilaku peserta
didik di sekolah, diantaranya adalah :
1) Membolos / tidak masuk sekolah tanpa keterangan
2) Mencorat-coret dinding dan benda-benda milik sekolah
3) Bercanda di kelas saat pelajaran berlangsung
4) Berisik di kelas saat ada guru yang sedang mengajar
5) Membaca sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran saat
jam belajar
6) Mencontek saat ada ujian atau ulangan
7) Menyalin PR (pekerjaan rumah) milik temannya
8) Izin keluar kelas tanpa ada keperluan yang mendesak
9) Main handphone ketika ada guru sedang memberikan pengajaran
10) Berantem / berkelahi dengan temannya
11) Menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan standar seragam
sekolah
12) Tidak pulang ke rumah segera setelah sekolah bubar
13) Saling mengejek dengan teman-temannya
14) Sendiri maupun bersama-sama mengisengi temannya
15) Melawan perintah guru untuk melakukan sesuatu yang baik
16) Tidak mengerjakan PR yang diberikan bapak/ibu gurunya
17) Mengotori lingkungan sekolah.
36
3. Implementasi Kontrol Diri dan Perilaku Sosial terhadap Pendidikan
Self control atau kontrol diri merupakan bentuk kondisi mental
yang mempengaruhi pembentukan perilaku lain. Terbentuknya perilaku
yang baik, positif dan produktif, keharmonisan hubungan dengan orang
lain juga dipengaruhi oleh kemampuan kontrol diri. Kebiasaan belajar
yang benar, kedisiplinan, perilaku tertib di sekolah dan di masyarakat,
perilaku seksual sehat, serta pembentukan kebiasaan hidup lain
dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian diri (self control).
Ada hubungan yang dekat antara perilaku anak dengan gaya
pengasuhan orang tua dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat
setempat. Kemampuan mengendalikan diri merupakan hasil belajar, yang
berhubungan dengan proses pendidikan, sementara pendidikan selalu
dilatarbelakangi oleh kultur dimana pendidikan tersebut berlangsung.
Bagaimana cara orang tua mengasuh dan mengajarkan anak-anaknya
selalu melibatkan aspek budaya. Mengajar, mendidik dan mengasuh
berarti juga menanamkan nilai-nilai tertentu pada anak, sehingga nilai
etnis, budaya dan subkultur akan memberikan warna terhadap hasil belajar
atau perilaku anak termasuk di dalamnya kemampuan kontrol diri.
Orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama mengambil
peran sentral terhadap pembentukan kepribadian anak. Berbagai penelitian
dalam psikologi melaporkan bahwa lingkungan berpengaruh terhadap
kondisi anak termasuk menentukan perkembangan intelektual dan
kemampuan mengendalikan diri. Rich (1999) dan Santrock (2004)
mengatakan bahwa peran orang tua sangat besar pengaruhnya terutama
dalam pembentukan sikap otonomi dan attachment. Kesulitan dan
gangguan perilaku banyak bersumber dari rendahnya kontrol diri,
sebagaimana Messina dan Messina (2003) nyatakan bahwa self-destructive
bersumber dari self control yang rendah (Atkins, & Matsuba, 2008 : 1048-
1061).
Para Teoretis perilaku melihat perilaku sebagai fungsi dari
lingkungan langsung yang secara khusus memberikan rangsangan dan
37
penguatan. Ciri yang paling esensial ialah hubungan antara respon dan
stimulus yang diberi penguatan. Penguatan hanya diberikan apabila telah
ada respon. Kondisi ini disebut “contingent” atau tergantung pada
pengelolaan ketergantungan pada atau “contingency management”
yang menjadi ini dari model Kontrol Diri, merupakan usaha yang
sistematis untuk memberikan rangsangan yang bersifat menguatkan yang
diberikan pada saat-saat tertentu setelah munculnya respon. Orang yang
membangun hubungan kontingensi antara stimulus dan respon ini harus
menyadari akan adanya respon yang memang diinginkan dan yang tidak
diinginkan. Disamping itu juga harus disadari bahwa stimulus yang
bersifat menggali respon sangatlah penting (Bruce Joyce , Weil Marsha,
and Emily Calhoun, 2009).
Kontrol diri bisa diterjemahkan sebagai pakem yang akan menjadi
rem terhadap perilaku tertentu. Kaitannya dalam pembelajaran, model ini
bisa menjadi salah satu cara membentuk perilaku peserta didik terhadap
kompetensi dasar tertentu. Tapi tanpa adanya kontrol diri, maka peserta
didik bisa saja terkesan tidak serius dan main-main. Hal ini disebabkan
tidak semua peserta didik mampu membentuk perilaku sosial baru secara
serta merta.
Diperlukan adanya suatu model atau pendekatan yang dapat
membentuk perilaku yang baik karena menurut beberapa ahli, perilaku
bisa di dapat melalui belajar. Kontrol diri ini dapat diterapkan pada sebuah
model pembelajaran yang dinamakan dengan model kontrol diri.
Tujuannya adalah agar pendidikan bukan hanya menciptakan pengetahuan
saja, tapi juga mampu membentuk perilaku positif dari sebuah
pembelajaran melalui pengkontrolan diri pada perilaku yang negatif ( M.
D. Dahlan, 1990).
Pendekatan belajar control/pengawasan diri bertolak dari
keyakinan bahwa perilaku peserta didik merupakan hasil belajar (learned).
Karena itu peserta didik harus diberi kemudahan untuk belajar bagaimana
38
bertanggung jawab secara moral atas lingkungan personal dan sosial
memahami dirinya secara utuh.
Pendekatan ini digunakan oleh guru untuk menciptakan lingkungan
belajar yang produktif dan menghindarkan peserta didik dari keengganan
untuk melibatkan diri dalam kesempatan belajar yang tersedia secara
umum. Peserta didik yang suka mengganggu temannya, dapat belajar
secara lebih produktif untuk berhubungan dengan temannya. Kemudian
peserta didik yang memiliki rasa takut terhadap mata pelajaran tertentu,
dapat belajar bagaimana menghilangkan rasa takut itu dengan membangun
perasaan yang tegar ( M. D. Dahlan, 1990).
Sehubungan dengan permasalahan di atas, seorang guru harus
mampu menumbuhkan disiplin dalam diri siswa, terutama disiplin diri.
Dalam kaitan ini, guru harus mampu melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Membantu peserta didik mengembangkan pola perilaku untuk
dirinya; setiap peserta didik berasal dari latar belakang yang berbeda,
mempunyai karakteristik yang berbeda dan kemampuan yang
berbeda pula, dalam kaitan ini guru harus mampu melayani berbagai
perbedaan tersebut agar setiap peserta didik dapat menemukan jati
dirinya dan mengembangkan dirinya secara optimal.
b. Membantu peserta didik meningkatkan standar perilakunya karena
peserta didik berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, jelas
mereka akan memiliki standar perilaku tinggi, bahkan ada yang
mempunyai standar perilaku yang sangat rendah. Hal tersebut harus
dapat diantisipasi oleh setiap guru dan berusaha meningkatkannya,
baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam pergaulan pada
umumnya.
c. Menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat; di setiap sekolah
terdapat aturan-aturan umum, maupun aturan-aturan khusus.
Peraturan-peraturan tersebut harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran
yang mendorong perilaku negatif atau tidak disiplin.
39
B. Kajian Yang Relevan
Peneliti melakukan penelitian tentang Hubungan Antara Kontrol Diri
Dengan Perilaku Sosial Peserta Didik Di SMP Negeri 16 Kota Cirebon.
Peneliti mengetahui bahwa sebelum penelitian tentang judul tersebut, ada
penelitian mengenai Kontrol Diri, yaitu :
1. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Yuniar Rachdianti yang berjudul
Hubungan Antara Self-Control Dengan Intensitas Penggunaan Internet
Remaja Akhir, yang penelitiannya dilakukan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 2011 memiliki persamaan penelitian dengan peneliti,
yaitu sama-sama meneliti tentang kajian kontrol diri sebagai Variabel X
dan jenis penelitiannya adalah kuantitatif. Penelitian ini pun memiliki
perbedaan, yaitu Variabel Y, tempat penelitian objek untuk penelitian.
Penelitian dari Yuniar memilih Intensitas Penggunaan Internet Remaja
Akhir sebagai Variabel Y, sedangkan peneliti menggunakan perilaku
sosial sebagai variabel Y. Tempat penelitian Yuniar adalah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, sedangkan peneliti memilih sekolah SMP Negeri 16
Kota Cirebon sebagai tempat penelitian. Objek penelitian dari Yuniar
adalah mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah, sedangkan objek peneliti
untuk penelitian adalah peserta didik kelas VIII di SMP Negeri 16 Kota
Cirebon. Hasil penelitian skripsi Yuniar adalah bahwa self-control
memiliki hubungan negatif dengan intensitas penggunaan internet dan
memberikan sumbangan dalam pengaruh penggunaan internet, maka hal
ini seharusnya dapat dijadikan sebagai tolak ukur terhadap upaya dalam
mengendalikan diri agar terhindar dari penggunaan internet yang
berlebihan. Sedangkan hasil yang diinginkan oleh peneliti dalam penelitian
ini adalah bagaimana hubungan antara kontrol diri dengan perilaku sosial
peserta didik di SMP Negeri 16 Kota Cirebon.
2. Penelitian kedua dilakukan Masruroh yang berjudul Pengaruh Intensitas
Mengikuti Mujahadah Nihadlul Mustaghfirin Terhadap Kontrol Diri Santri
Di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Sidayu Batang, yang penelitiannya
dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Sidayu Batang Semarang
40
pada tahun 2012 memiliki persamaan yaitu, sama-sama mengkaji tentang
kontrol diri individu dan jenis penelitiannya adalah kuantitatif. Penelitian
Masruroh pun memiliki perbedaan, yaitu variabel dan tempat penelitian.
Variabel yang berkaitan dengan penelitian Masruroh adalah intensitas
mujahadah nihadlul mustaghfirin, sedangkan variabel yang berkaitan
tentang penelitian peneliti adalah perilaku sosial. Tempat penelitian
Masruroh dilakukan di Pondok pesantren, sedangkan tempat penelitian
peneliti adalah SMP Negeri 16 Kota Cirebon. Hasil dari penelitian
Masruruoh adalah bahwa intensitas melaksanakan Mujahadah nihadlul
mustaghfirin sangat berpengaruh dalam mengendalikan dan mengontrol
timbulnya perilaku yang menyimpang pada Santri di Pondok Pesantren
Nurul Hidayah Sidayu Batang, Sedangkan hasil yang diinginkan oleh
peneliti dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara kontrol
diri dengan perilaku sosial peserta didik di SMP Negeri 16 Kota Cirebon.
3. Penelitian ketiga dilakukan Maulana Imron yang berjudul Hubungan
Antara Pembinaan Nilai-nilai Keagamaan dan Perilaku Sosial Siswa
Terhadap Semangat Belajar IPS di SLTPN Astanajapura Kabupaten
Cirebon, memiliki persamaan yaitu sama-sama meneliti tentang perilaku
sosial dan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian dari Maulana juga
memiliki perbedaan, yaitu variabel dan tempat penelitian. Variabel yang
berkaitan dengan penelitian Maulana adalah pembinaan nilai-nilai
keagamaan, sedangkan variabel yang berkaitan tentang penelitian peneliti
adalah kontrol diri. Tempat penelitian Maulana dilakukan di SLTPN
Astanajapura, sedangkan tempat penelitian peneliti adalah SMP Negeri 16
Kota Cirebon. Hasil penelitian dari Maulana adalah ada hubungan Antara
Pembinaan Nilai-nilai Keagamaan dan Perilaku Sosial Siswa Terhadap
Semangat Belajar IPS di SLTPN Astanajapura, Sedangkan hasil yang
diinginkan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan
antara kontrol diri dengan perilaku sosial peserta didik di SMP Negeri 16
Kota Cirebon.
41
C. Kerangka Pikir
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kontrol dapat di artikan sebagai
pengawasan, pemeriksaan, pengendalian. Kontrol Sosial yaitu, kesadaran
bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi
intensitas dengan lingkungan untuk bertingkah laku secara tertentu tanpa
memandang secara berlebih-lebihan kepentingan sendiri.
Kontrol diri merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau
suatu tindakan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri
dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu
kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri Individu berbagai
kemungkinan dan tindakan (Zulkarnain, 2002 : 10).
Siswa atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar atau mengikuti
proses pendidikan, adalah individu. Baik di dalam kegiatan klasikal,
kelompok maupun individual, proses dan kegiatan belajarnya tidak lepas dari
karakteristik, kemampuan dan perilaku individualnya. Karena siswa atau
peserta didik merupakan subjek pendidikan, maka karakteristik, kemampuan
dan perilaku siswalah yang mendapat kajian dan sorotan utama (Nana
Syaodih .S, 2011:35).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1996 : 775) di sebut bahwa
perilaku ialah tanggapan atau reaksi Individu terhadap rangsangan atau
lingkungan. Kaum Behaviorisme mendefinisikan bahwa Perilaku adalah hasil
pengalaman dan hasil perilaku yang digunakan atau termotivasi oleh
kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang
merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli Ibrahim,
2001). Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan
bantuan dari orang lain. Ada ikatan saling ketergantungan diantara satu
orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia
berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk
itu manusia dituntut mampu bekerja sama, saling menghormati, tidak
42
menggangu hak orang lain, toleran dalam hidup bermasyarakat (Krech et.al,
1962 : 104-106).
Menurut Krech, Crutchfield dan Ballachey (1982) , perilaku sosial
seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang yang dinyatakan dengan
hubungan timbal balik antar pribadi. Perilaku sosial juga identik dengan
reaksi seseorang terhadap orang lain (Baron & Byrne, 1991
dalam Rusli Ibrahim, 2001). Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan,
tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain.
Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang
lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam melakukan kerja
sama, ada orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu
mementingkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya.
Sementara di pihak lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan
hanya ingin mencari untung sendiri (Krech et.al, 1962 : 104-106).
Sesungguhnya yang menjadi dasar dari uraian di atas adalah bahwa
pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial (W.A. Gerungan, 1978:28).
Sejak dilahirkan manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk
memuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan,
interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara
individual. Hal ini dikarenakan jika tidak ada timbal balik dari interaksi
sosial maka manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai
sosok individu yang utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu
pada awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat
bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku sosial. Pembentukan
perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang bersifat
internal maupun yang bersifat eksternal. Pada aspek eksternal situasi sosial
memegang peranan yang cukup penting. Situasi sosial
diartikan sebagai tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara
manusia yang satu dengan yang lain (W.A. Gerungan,1978:77).
Dengan kata lain setiap situasi yang menyebabkan terjadinya interaksi
sosial dapatlah dikatakan sebagai situasi sosial. Contoh situasi
43
sosial misalnya di lingkungan pasar, pada saat rapat, atau
dalam lingkungan pembelajaran pendidikan jasmani.
Menurut Aristoteles berpendapat, bahwa orang-orang muda mempunyai
hasrat-hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi
hasrat-hasrat itu semuanya tanpa membeda-bedakan. Dari hasrat-hasrat yang
ada pada tubuh mereka, hasrat seksualah yang paling mendesak dan dalam
hal inilah mereka menunjukan hilangnya kontrol diri. Kontrol diri pada
manusia menurut Aristoteles dilakukan oleh rasio (akal), yaitu fungsi
mnemic, ratio ialah yang menentukan arah perkembangan manusia (Sarlito,
2001:27).
Kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kontrol Diri
(X)
Faktor Internal :
Usia
Faktor Eksternal :
Lingkungan
keluarga
Lingkungan
masyarakat
Perilaku sosial
(Y)
Perilaku dan karakteristik
orang lain
Proses kognitif
Faktor lingkungan
Tatar Budaya sebagai
tampat perilaku dan
pemikiran sosial itu terjadi
Hubungan
Peserta Didik
Individu
Kelompok
44
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul
(Arikunto, 2006 : 62).
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis
dua arah yaitu Hipotesis alternative dan hipotesis nol. Hipotesis benar jika
Hipotesis alternative (Ha) terbukti kebenarannya.
1. Hipotesis Alternative (Ha) : adanya hubungan antara kontrol diri
dengan perilaku sosial pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri 16
Kota Cirebon
2. Hipotesis Nihil (Ho) : Tidak adanya hubungan antara kontrol diri
dengan perilaku sosial pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri 16
Kota Cirebon