-
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan hukum pidana pada dasarnya ialah keseluruhan dari peraturan
yang menetukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak
pidana, serta bagaimana sanksi yang dijatuhkan terhahadap pelakunya dengan
tujuan untuk penanggulangan kejahatan. Secara teori, banyak doktrin yang
dikemukan oleh para ahli terkait dengan pengertian kebijakan hukum pidana.
Barda Nawawi, berpendapat bahwa istilah “Kebijakan” diambil dari istilah
“policy” (Inggris) dan ”politiek” (Belanda), sehingga “Kebijakan Hukum Pidana”
dapat pula di sebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana” dan yang sering di
kenal dengan istilah “penal policy”, “criminal law policy” atau
“strafrechspolitiek”.1 Dalam bukunya Barda Nawawi Arief mengutip pendapat
dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa Penal Policy merupakan salah satu
komponen dari Modern Criminal Science disamping komponen yang lain seperti,
“Criminologi” dan “Criminal Law”.2 Marc Ancel berpendapat bahwa “Penal
Policy” ialah:
“suatu ilmu yang memiliki tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang
1Barda Nawawi Arief, Bunga Ra,pai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP
Baru, Cetakan Ke-1, Jakarta, Kencana Prenadamedia Grub, 2008, hlm 26;
2Ibid., hlm. 23;
-
18
dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.”3
Senada dengan Marc Ancel, Prof. Sudarto memberikan pengertian “Penal
Policy” sebagaimana dikutip oleh barda Nawawi Arief ialah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;4
b. Kebijakan dari negara melalui badan – badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita – citakan.5
Pendapat lainnya berasal dari A. Mulder, “Strafrechtspolitiek atau Penal
Policy” ialah garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.6
Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
”Kebijakan Hukum Pidana” atau “Penal Policy” merupakan suatu peraturan
hukum yang dirumuskan dan ditetapkan oleh badan-badan yang berwenang
sebagai suatu pedoman (hukum positif) bagi masyarakat maupun penegak hukum
yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi suatu kejahatan atau dengan
kata lain suatu tindak pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
3Ibid., hlm. 26;
4Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 159;
5Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 20;
6Barda Nawawi Arief, Op. cit., hlm 27;
-
19
(khususnya penegakan hukum pidana), oleh karena itu sering pula dikatakan
bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy).7 Selain bagian dari usaha penegakan hukum,
juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social
welfare) serta bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat, sehingga dalam pengertian “social policy” tekandung pula “social
walfare policy” dan “social defence policy”.8 Secara luas, kebijakan hukum
pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan dibidang hukum pidana materiil,
dibidang hukum pidana formal dan dibidang hukum pidana pelaksanaan pidana.
Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap – tahap
konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari:
a. Kebijakan formulasi/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana. Dalam tahap ini merupakan tahap yang paling startegis
dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui
kebijakan hukum pidana, karena pada tahap ini kekuasaan
formulatif/legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada
permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang
bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan
sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang.
Sehingga apabila ada kesalahan/kelemahan dalam kebijakan legislatif
maka akan menjadi penghambat upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahtan pada tahap aplikasi dan eksekusi;
b. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana. Tahap aplikasif merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum
pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan; dan
7Ibid., hlm. 29;
8Ibid., hlm. 29-30;
-
20
c. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. tahap ini merupakan tahapan dalam melaksanakan hukum
pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. 9
B. Korporasi
1. Pengertian Korporasi
Korporasi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua
kriteria pengertian yaitu sebagai usaha yang sah (badan hukum) dan perusahaan
atau badan usaha yang sangat besar atau perusahaan yang dikelola dan dijalankan
oleh suatu perusahaan besar.10 Dalam Black’s Law Dictionary korporasi diartikan
sebagai:
“An entity (usually a business) having author under law to act
as a single person distinct from the shareholders who own it
and having right to issues stock and exist indefinitely, a group
or succession of persons established in accordance with legal
rules into or juristic that has legal personality distinct from the
natural persons who make it up, exist indefinitely a part from
them, and has the legal power that it constitutions give it. (”11
J.C Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai:
“A corporation is a legal person but it has no physical
existence and cannot, therefore, act or form an intention of any
kind except through its directors or servants. As each director
or servant is also a legal person quite distinct from the
corporation, it follows that a corporation’s legal liabilities are
all, in a sense, vicarious. This line of thinking is epitomized in
9Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan”, Jakarta, Kencana Media Group, 2007, hlm. 78 – 79;
10Wiktionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia-Korporasi, diakses melalui
https://id.wiktionary.org/wiki/korporasi, pada tanggal 28 Agustus 2018;
11Garner Bryan A, (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (St. Paul Minim:
West Publishing CO, 1999), hlm 341;
https://id.wiktionary.org/wiki/korporasi
-
21
the catchphrase “Corporations don’t commit crimes”; people
do.”12
Dalam hukum perdata korporasi adalah badan hukum (rechspersoon).
Menurut R.Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak – hak dan melakukan perbuatan seperti
manusia, serta memiliki kekayaan sendiri (terpisah dari kekayaan anggotanya),
dan dapat digugat atau menggugat di depan hakim.13 Hak dan kewajiban badan
hukum sama sekali terpisah dari hak kewajiban anggotanya. Sedangkan dalam
hukum pidana, KHUP pada dasarnya tidak memberikan definisi terkait korporasi,
namun sebutan korporasi sendiri lazim dipergunakan dikalangan pakar hukum
pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain khususnya
hukum perdata sebagai badan hukum (rechspersoon), hal tersebut pun kemudian
dituangkan dalam undang-undang diluar KUHP seperti yang juga menjadi sumber
hukum dalam penelitain ini ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam undang-undang ini
korporasi diistilahkan dengan istilah “Badan Usaha” baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum, sedangkan didalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor
13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi
memberikan definsi bahwa “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”
12Eric Colvin, ”Corporate Personality and Criminal Liability”, Criminal Law Forum, 1995, hlm.
5;
13Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1987, hlm. 18 – 19;
-
22
Dalam perkembangannya korporasi kemudian dimuat dalam Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) 2015, diartikan sebagai ius
constituendum yang dapat dijumpai Pasal 190 yang menyatakan “Korporasi
adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum”.14 Definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan korporasi adalah sehubung dengan ketentuan Pasal 214 RKUHP
2015, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah
“termasuk korporasi”.15 Pengertian tersebut mirip dengan pengertian korporasi di
Negara Belanda, sebagaimana terdapat dalam bukunya Van Bemmelen yang
berjudul Ons Strafrecht 1 Het Materiele Strafrecht Algemeen deel antara lain
menyatakan, “… Dalam naskah dari bab ini selalu dipakai dalil umum ‘korporasi’,
yang mana termasuk semua badan hukum khusus dan umum (maksudnya badan
hukum privat dan badan hukum publik), perkumpulan, yayasan, pendeknya semua
perseroan yang tidak bersifat alamiah.”16 Rumusan tersebut dapat dijumpai dalam
Pasal 51 W.v.S Belanda, yang berbunyi:
a. Tindakan pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan
pidana dan tindakan – tindakan yang tercantum dalam undang-
undang terhadap;
1) Badan hukum; atau 2) Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan
itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai
pimpinan melakukan tindakan yang dilarang itu; atau
3) Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama – sama. 14Direktorat Jendral Peraturan Perundang – Undangan, Naskah Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (RKUHP), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015, hlm. 48;
15Ibid, hlm. 51;
16J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, diterjemahkan
oleh Hasnan, Bandung, Binacipta, 1986, hlm. 239;
-
23
c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perikatan dan yayasan.17
Berdasarkan beberapa pengertian korporasi di atas, disimpulkan bahwa
korporasai merupakan badan hukum yang secara sengaja diciptakan oleh hukum
itu sendiri, dan dengan itu ia mempunyai kepribadian. Korporasi juga merupakan
subjek hukum badan hukum (rechtspersoon) di samping manusia
(natuurlijkpersoon).18 Korporasi dalam hukum pidana lebih luas pengertiannya
bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, karena
korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau nonbadan
hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi mempunyai kedudukan
sebagai badan hukum.19
2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Subjek hukum adalah subjek yang dapat melakukan perbuatan hukum.
Subjek hukum terbagi kedalam subjek hukum perdata dan subjek hukum pidana.
Subjek hukum perdata adalah manusia (individu atau orang perseorangan)
“Natural Person” dan badan hukum “Legal Person” yang dapat melakukan
perbuatan perdata, baik perbuatan yang menyangkut hak perdata maupun
kewajiban perdata. Badan hukum (perdata) bertindak melalui pengurus badan
tersebut yang mewakili untuk dan atas nama badan hukum yang dipimpinya.20
17Muladi dan Dwija P, Op.Cit., hlm. 32 – 33;
18Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2015,
hlm. 7;
19Ibid, hlm. 33;
20Ibid, hlm. 16;
-
24
Sedangkan subjek hukum pidana bukan berkaitan dengan hak dan kewajiban,
tetapi berkaitan dengan perilaku pidana (criminal conduct) yang terdiri atas tindak
pidana komisi dan tindak pidana ominsi, yang kemudian dalam hukum Pidana
Indonesia dikenal sebagai tindak pidana (criminal act). 21
Dalam hukum pidana Indonesia yang menganut Civil Law System, sebelum
tahun 1990-an, hukum pidana hanya mengakui manusia (individu atau
perseorangan) saja sebagai subjek hukum dan dapat dibebani pertanggungjawaban
(criminal liability). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
yang berasal dari KUHP Belanda yang disebut Wetboek van Stafrech, mengatakan
bahwa hanya manusia saja yang dapat melakukan tindak pidana (subjek tindak
pidana). Mengacu kepada frasa hij die yang digunakan dalam rumusan berbagai
strafbaar feit (tindak pidana atau delik) dalam Wetboek van Strafrecht, kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata “barangsiapa” yang berarti
“siapapun”. Karena dalam bahasa Indonesia kata “siapa” merujuk kepada
“manusia”, maka kata “barangsiapa” atau “siapa pun” berarti “setiap manusia”.22
Hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana adalah
berdasarkan adaguim atau maxim yang berbunyi “actus non facit reum, nisi mens
sit rea” atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “Tiada pidana tanpa
kesalahan”.23 Suatu kesalahan dapat dibuktikan dengan mengacu kepada
perbuatan lahiriah (actus reus) dan sikap kalbu (state of mind) dari pelaku
perbuatan itu yang disebut mens rea. Actus reus terdiri dari Commison dan
21Ibid.;
22Ibid. hlm. 17;
23Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan ke-II, Jakarta, Grafiti,
2011, hlm. 32;
-
25
Omission. Commision adalah melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh
ketentuan pidana, dan Omission adalah tidak melakukan perbuatan tertentu yang
diwajibkan oleh ketentuan pidana untuk dilakuan.24 Sedangkan mens-rea, dibagi
menjadi dua golongan yaitu kesengajaan atau Dolus dan kealpaan atau Culpa.25
Tidak jauh berberda dengan sistem hukum Civil Law, dalam sistem hukum
Common Law setiap orang yang melakukan pelanggaran pidana harus memenuhi
unsur:
a. Tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan (Actus-reus). Perbuatan yang dituduhkan harus secara langsung dilakukan
tertuduh dengan sukarela tanpa paksaan dari pihak lain. Dalam
unsur ini, ketidaktahuan akan undang – undang yang berlaku, bukan
merupakan alasan pemaaf yang dapat dipertanggungjawabkan;26
b. Tertuduh melakukan pelanggran terhadap undang-undang dengan disertai niat jahat (Mens-rea). Unsur dari mens-rea ialah Intention
atau Purposely (menyadari perbuatan mengkehendaki adanya
akibat), Recklessness (dapat memperkirakan akibat yang akan
terjadi sebelum perbuatan dilakukan; akan tetapi tertuduh
sesungguhnya tidak mengkehendaki akibat itu terjadi), Negligence
(tertuduh tidak menduga akibat yang akan terjadi, akan tetapi dalam
undang-undang mensyaratkan bahwa tertuduh sudah dapat menduga
akibat-akibat yang terjadi dari perbuatan yang dilakukannya).
Dalam negara yang menganut Common Law System, pada
prinsipnya mens-rea merupakan unsur utama dan mutlak pada
setiap tindak pidana.27
Seiring perkembangan hukum pidana Indonesia di tahun 1990-an, telah
terjadi pergesaran subjek hukum pidana yang mana awal mulanya hanya manusia
saja, tetapi undang-undang pidana diluar KUHP (Undang-undang Pidana Khusus)
telah memperluas subjek hukum pidana, yaitu tidak terbatas kepada manusia saja
24Ibid, hlm 35;
25Ibid, hlm. 38;
26 Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH Indonesia,
Jakarta, 1989, hlm. 70;
27 Ibid., hlm. 71;
-
26
tetapi juga kepada korporasi sehingga dapat dibebani pertanggungjawaban yang
disebut dengan “pertanggungjawaban pidana korporasi” atau “corporate criminal
liability”.28. Korporasi dijadikan subjek tindak pidana untuk pertama kalinya telah
muncul pada tahun 1951, yaitu ketika diperlakukannya Undang-Undang Darurat
No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. Di Indonesia sendiri
tidak sedikit Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur tentang korporasi
sebagai subjek hukum pidana, beberapa undang-undang yang kemudian menjadi
sumber penelitian ini seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perlindunganan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Perma tentang Tata Cara Penanganan
perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah memulai korporasi sebagai subjek
hukum
Korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diatur dalam UU PPLH Pasal
1 angka 32 yang berbunyi bahwa ”Setiap orang adalah perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”29,
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa “korporasi” yang dalam definisi
tentang “setiap orang” dibatasi hanya yang berupa “badan usaha” baik yang
berbadan hukum maupun yang bukan badan hukum. Pemaparan yang berbeda
yang kemudian dikemukan dalam UU Tipikor Pasal 1 angka 3 namun masih
dalam makna yang sama yang berbunyi bahwa “Setiap orang adalah perseorangan
atau termasuk korporasi”.30 Selain kedua undang-undang diatas, korporasi sebagai
28Ibid.;
29Pasal 1 angka 32, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
30Pasal 1 angka 3, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3874 dan Lembaran
-
27
subjek hukum pidana juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi
Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam
undang-undang yang mengatur tentang korporasi”.31 Dengan dapat dimintainya
pertanggungjawaban kepada korporasi maka korporasi merupakan subjek hukum
pidana.
Tahap – tahap perekembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana,
secara garis besar dibagi menajdi 3 (tiga) tahap antara lain:
1) Tahap Pertama, ditandai dengan usaha – usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dilakukan korporasi dibatasi pada
perorangan (natuurlijk person). Apabila suatu tindak pidana terjadi
dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana ini dianggap
dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini
membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus.32
Tahap ini sebenarnya merupakan dasar bagi Pasal 51 W.v.Sr Ned
(Pasal 59), yang sangat dipengaruhi oleh asas “societas delinquere
nonpotest”, yaitu badan – badan hukum tidak dapat melakukan
tindak pidana.33
2) Tahap Kedua, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana akan tetapi yang dapat dipertanggungjawbkan secara pidana, adalah
para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut,
Negara Republik Indoensia Tahun 2001 Nomor 4150) dan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 5164);
31 Pasal 4 ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 2058);
32Mardjono Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perekembangan Delik – Delik Khusus dalam
Masyarakat yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja pada Perkembangan Delik – Delik
Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Moderenisasi, di FH UNAIR, Bandung, Binacipta,
1982, hlm. 51;
33Muladi dan Dwhija P, Op. Cit., hlm. 225;
-
28
dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang hal tesebut.34
Dalam tahap ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara
langsung masih belum muncul.35
3) Tahap Ketiga, merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah
Perang Dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk
menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut
hukum pidana.36
Terlampau jauh dengan Indonesia, di Amerika Serikat korporasi diterima
sebagai subjek hukum pidana sejak tahun 1909 dalam kasus New York Central
and H.R.R v. United States.37 Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai
realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang
diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Korporasi sebagai subjek hukum
dilihat dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh korporasi tersebut dan
dapat dimintai suatu pertanggungjawaban kepada korporasi tesebut. Pengadilan-
pengadilan federal di Amerika Serikat kemudian berpendapat bahwa:
“ … that a corporation "may be held criminally liable for the
acts of any of its agents [who] (1) commit a crime (2) within
the scope of employment (3) with the intent to benefit the
corporation." (Note, p. 1247)”38
34Schaffmeister, D., N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor Penerjemah J.E Sahetapy,
Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm. 276;
35Muladi dan Dwhija P, Op. Cit., hlm. 226;
36Ibid;
37Anca Iulia Pop, Crimnal Liability of Corporation: Comparative Jurisprudence, cfm, diakses
melalui https://digitalcommons.law.msu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1115&context=king
tanggal 29 Oktober 2018;
38 Law.jrank.org, “Corporate Criminal Respomsibility:American Standards of Corporate Criminal Liability”, diakses melalui http://law.jrank.org/pages/744/Corporate-Criminal-Responsibility-
American-standards-corporate-criminal-liability.html, pada tanggal 9 November 2018;
https://digitalcommons.law.msu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1115&context=kinghttp://law.jrank.org/pages/744/Corporate-Criminal-Responsibility-American-standards-corporate-criminal-liability.htmlhttp://law.jrank.org/pages/744/Corporate-Criminal-Responsibility-American-standards-corporate-criminal-liability.html
-
29
Namun dalam pendapat diatas cakupannya sangat luas, karena setiap agen
korporasi pada tingkat paling tinggi maupun tingkat paling rendah dapat
melakukan kejahatan atau perbuatan yang mengakibatkan suatu korporasi
dibebani pertanggungjawaban atas perbuatan atau kejahatan yang dilakukan agen
tersebut. Sementara dalam Model Penal Code (MPC) Section 2.07 (1)
mengemukakan bahwa:
“A corporation may be convicted of the commisision of an
offence if:
(a) The offense is a violation or the offense definited by a statute other than the Code in which a legislative purpose
to impose liability on corporation plainly appears and the
conduct is formed by an agent of the corporation acting in
behalf of the corporation within the scope of his office or
employment, except that if the law defining the offense
designates the agents for whose conduct the corporation is
accountable or the circumstance under which it is
accountable, such provisions shall apply;
(b) The offence consist of an omission to discharge a specific duty of affirmative performance imposed on corporation by
law;
(c) The commission of the offence was authorized, requsted, commanded, performed or recklessly tolerated by the
board of director within the scope of his office or
employment.39
Dalam ketentuan tersebut menunjukkan tentang suatu tindak pidana dapat
dipandang telah dilakukan oleh korporasi yaitu apabila maksud pembuat UU
untuk mengenakan pertanggungjawaban pada korporasi tampak dengan jelas dan
perbuatan itu dilakukan oleh agen korporasi yang melakukan atas nama korporasi
dalam ruang lingkup jabatan/tugas atau pekerjaannya, apabila tindak pidana itu
merupakan suatu pelanggaran kewajiban khusus yang dibebankan kepada
korporasi oleh UU, kemudian apabila tindak pidana dibenarkan, diperintahkan,
39 Model Penal Code Official Draft And Explanatory Notes, (The American Law Institute,
Philadelphia, 1985), hlm. 32;
-
30
dibiarkan oleh direksi atau oleh agen pimpinan puncak yang bertindak atas nama
korporasi dalam batas-batas ruang lingkup tugas/pekerjaanya.
Secara sederhana dari penjelasan diatas bahwa kategori pegawai atau
pejabat korporasi yang dapat memicu pertanggungjawaban korporasi hanya
terbatas kepada mereka yang memiliki tanggungjawab manajemen dan yang
bertindak dalam batas ruang lingkup aktivitas pekerjanya. Jadi tidak semua
pegawai dari tingkat apapun dalam korporasi tersebut. Selain itu, perbuatan yang
dilakukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan untuk kepentigan atau
untuk memperoleh manfaat bagi korporasi.
Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, apabila
korporasi melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan hukum pidana yang
berlaku maka dapat dilakukan pemidanaan terhadap korporasi tersebut dengan
tujuan “to deter the corporation from permitting wrongfull acts”. 40 Dengan
adanya putusan pengadilan atas kasus New York Central and H.R.R v. United
States ini serta tekanan oleh para Jaksa di Amerika Serikat, maka seluruh aturan
dalam hukum pidana yang berlaku kepada setiap orang ikut berlaku kepada
korporasi juga41
40Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses,
Blackground Paper for the International Society for Reform of Criminal Law 13th International
Conference Commercial and Financial Fraud: A Comparative Perspektive, Malta, 8-12 July 1999,
(Canada, The International Center for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy), hlm. 3;
41Edward B. Diskant, Comparative Corporate Criminal Liability:Exploring the Yniquely American
Doctrine Thorough Comparative Criminal Procedure, The Yale Law Journal, Vol. 118:126, 2008,
hlm. 138;
-
31
C. Tindak Pidana Korporasi (Corporate Crime)
Pada sub bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa korporasi merupakan
badan usaha yang sangat besar atau perusahaan yang dikelola dan dijalankan oleh
suatu perusahaan besar, maka banyak kegiatan yang dilakukan untuk menjalankan
korporasi tersebut. Dalam sebuah korporasi tentu ada aturan dan prosedur yang
mengatur kegiatan korporasi tersebut, namun akibat dari perasaingan yang
semakin kuat di era globalisasi ini dan untuk tetap mempertahankan eksistensinya,
tidak menutup kemungkinan bahwa korporasi akan melakukan kegiatan yang
tidak sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah ditentukan oleh korporasi itu
sendiri atau bahkan yang ditentukan oleh undang-undang.
Kegiatan-kegiatan korporasi yang melanggar aturan pidana yang
ditentukan oleh undang-undang hukum pidana dalam dunia internasional disebut
“corporate crime” dengan padanan istilahnya dalam bahasa Indonesia adalah
“tindak pidana korporasi”. Corporate crime atau tindak pidana korporasi menurut
US Legal adalah:
“Corporate crime means crimes committed either by a
business entity or corporation, or by individuals that may be
identified with a corporation or other business entity”42
Lebuh lanjut US Legal menjelaskan:
“A corporate crime is the act of its personnel and need not be
authorized or ratified by its officials. It is sufficient if the
officials were exercising customary powers on behalf of the
corporation. Thus, to a substantial degree, the crime of the
corporation is interwoven with the acts of its officials. Such
criminal acts are reflective of the character of the person who
42Julian Hermida, Corporate Crime, diakses melalui
http://www.julianhermida.com/contcorporate.htm, pada tanggal 6 Agustus 2018;
http://www.julianhermida.com/contcorporate.htm
-
32
manage the corporation. Consequently, it wpudl seem
reasonable tp utilize a corporate crime to impeach a corporate
official’s credibility if the official is connected to the crime.”43
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH dalam bukunya yang berjudul “Ajaran
Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi & Seluk Beluknya, mengemukakan
bahwa:
“Tindak pidana korporasi adalah tindak pidana, baik komisi
maupun omisi, yang dilakukan dengan sengaja dan bersifat
melawan hukum oleh personil pengendali korporasi atau
diperintahkan dengan sengaja olehnya untuk dilakukan oleh
orang lain, sepanjang tindak pidana tersebut dilakukan dalam
batas tugas, kewajiban, dan wewenang dari jabatan personel
pengendali korporasi yang bersangkutan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam
Anggaran Dasar korporasi serta bertujuan untuk memperoleh
manfaat bagi korporasi, baik manfaat financial maupun non-
financial.”44
Menurut Clinard dan Yeager, ada 2 (dua) pandangan (model) yang dapat
digunakan untuk menjelaskan terjadinya corporate crime antara lain:
a. Model tujuan yang rasional, yakni mengutamakan mencari keuntungan; b. Model organic, yakni menekankan pada hubungan antara perusahaan
dengan lingkungan ekonomi dan politiknya, yaitu supplier, pesaing,
konsumen, pemerintah, public, serta kelompok – kelompok lainnya yang
dipandang relevan.45
Mengingat bahwa corporate crime biasanya dilakukan oleh orang – orang
yang cukup pandai, maka corporate crime memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian
professional dan sistem organisasi yang kompleks;
b. Kejahatan tersebut sangan kompleks karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan
43USLEGAL.COM, Corporate Crime Law and Legal Definition, diakses melalui
http://www.uslegal.com/c/corporate-crime/, pada tanggal 6 Agustus 2018; 44 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 55 – 56;
45Clinard, M.B & P.C Yeagert, Corporate Crime, Free Press, 1980, hlm.45;
http://www.uslegal.com/c/corporate-crime/
-
33
sesuatu yang ilmiah, teknologis, financial, legal, terorganosasi,
melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun- tahun;
c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (disfussion responsibility) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
d. Penyebaran korban yang luas (disfussion of victimization) seperti polusi, penipuan konsumen, dan sebagainya;
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and presecution) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang;
f. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas laws) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum;
g. Sikap mendua terhadap status pelaku tindak pidana.46
D. Ajaran Pemidanaan Terhadap Korporasi
Berkenaan dengan pergeseran yang awal mulanya hanya manusia saja yang
dapat melakukan tindak pidana dan oleh karenanya hanya manusia saja yang
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, namun sekarang berubah menjadi
korporasi juga dapat melakukan tindak pidana dan dibebani pertanggungjawaban
pidana. Dalam hal korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, secara
umum ada beberapa ajaran atau teori yang menjadi landasan bagi pembenaran
dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yaitu Doctrine
Identification Theory, Doctrine of Aggregation, Doctrine of Strict Liability,
Doctrine of Vicarious Liability, Doctrine of Aggregation dan Doctrine
Functioneel Daderschap.
1. Doctrine Identification Theory
Doctrine Identification Theory (teori identifikasi) atau dikenal juga dengan
Direct Liability Doctrine (doktrin pertanggungjawaban langsung). Ajaran ini
bertumpu pada asas hukum korporasi yang menentukan bahwa ”pengurus adalah
46Dirdjosisworo, Soejono, AnatomiKejahatan Korporasi di Indonesia, Makalah Seminar Nasional
Kejahatan Korporasi, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 23 – 24 November 1989, hlm. 12 – 23;
-
34
organ organisasi, kalbu pengurus adalah kalbu korporasi, jasmani pengurus adalah
jasmani korporasi.”47 Tetapi menurut hukum korporasi, asas tersebut hanya belaku
sepanjang:
a. Pengurus dalam melakukan perbuatan itu tidak keluar dari maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasarnya;
b. Perbuatan yang dilakukan oleh pengurus harus sesuia atau dalam batas-batas kewenangan pengurus sebagaimana ditentukan dalam Anggran
Dasar Korpoasi.48
Dalam teori ini agar korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana
maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasi
telebih dahulu.49 Penuntut umum harus mampu mengidentifikasikan bahwa yang
melakukan tindak pidana adalah personel pengendali “directing mind” atau
“controlling mind” (otak yang menjalankan seluruh aktivitas) dari korporasi
tesebut. 50 Yang dimaksud “personel pengendali korporasi” adalah
manejer/direktur yang berwenang bertindak untuk dan atas nama korporasi sesuai
dengan Anggaran Dasar korporasi. Perbuatan dan sikap batin dari directing mind
dapat dianggap sebagai perbuatan dan sikap batin dari korporasi, sedangkan
perbuatan dan sikap batin dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap sebagai
perbuatan dan sikap batin dari korporasi.
Inti dari ajaran teori identifikasi, pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada korporasi harus memperhatikan dengan teliti siapa yang
benar-benar menjadi otak atau pemegang control operasional atas korporasi serta
yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil keputusan atas nama
korporasi. Sesuatu dapat dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh
47 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm. 173;
48 Ibid, hlm. 173 – 174;
49Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tujuan Teoritis dan Perbandingan
Hukum di Berbagai Negara), PT. REfika Aditama, Bandung, 2016, hlm. 82; 50 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hlm. 174;
-
35
korporasi, hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pejabat korporasi
yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari
korporasi tesebut. Karena kesalahan dan kehendak directing mind itu disamakan
dengan kesalahan dan kehendak dari suatu korporasi.51
Pertanggungjawaban ini berbeda dengan pertanggungjawaban pengganti
(Vicarious Liability) dan pertanggungjawaban ketat (Strict Liability), dimana pada
doktrin ini asas mens-rea tidak dikesampingkan, sedangkan pada doktrin
Vicarious Liability dan doktrin Strict Liability tidak disyaratkan asa mens-rea atau
asas mens-rea tidak berlaku mutlak.
2. Doctrine Of Aggregation
Seringkali terjadi, mens rea tindak pidana ada pada pemberi perintah yang
merupakan personil pengendali yang terdiri dari satu atau beberapa orang,
sedangkan actus reus-nya dilakukan oleh orang atau orang-orang lain baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang menerima perintah. Maka dalam
kasus tersebut yang diterapkan adalah Doctrine of Aggregatio. Doktrin ini muncul
karena Doctrine of Identification Theory dianggap tidak memadai sebagai
pembenaran untuk digunakan mengatasi proses pengambilan keputusan dalam
banyak perusahaan modern52 dan doktrin ini merupakan asas asli Amerika
Serikat.53
Doctrine of Aggregation menurut Anca Iulia Pop adalah ajaran yang paling
terkemuka di Amerika Serikat. Anca Iulia Pop mengemukakan:
51 Kristian, Op.Cit, hlm. 87;
52 C.M.V. Clarkson dan H.M Keating, Criminal Law: Text and Materials, Fifth Edition, London:
Sweet & Maxwell, 2003, hlm. 259;
53 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm. 183;
-
36
“The most distinguishing and bold ement of American model of
corporate criminal liability is the adoption of the aggregation
theory. This theory provides that corporations can be held
criminally liable based on the act of one employee and on the
culpability of one or more other employees who, cumulatively, but
not individually, met the requirements of actus reus and mens rea
of the crime.”54
Doctrine of Aggregation merupakan sebuah doktrin yang memperlihatkan
kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu terhadap orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau orang-orang yang bertindak
untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan.55 Menurut doktrin ini, apabila
terdapat sekelompok orang yang melakukan suatu tindak pidana namun orang
tesebut bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau untuk kepentingan
korporasi, maka semua perbuatan dan unsur mental atau sikap batin atau
kesalahan dari kumpulan orang tersebut dianggap sebagai dan dilakukan oleh
suatu korporasi sehingga baik orang-orang yang bersangkutan maupun korporasi
dapat dibebankan pertanggungajwaban pidana.
3. Doctrine Of Strict Liability
Ajaran pertanggungajwaban mutlak (doctrine of strict liability) atau yang
disebut juga dengan absolute liability, atau dalam literatur lain disebut juga
dengan pertanggungajwaban tanpa kesalahan atau disebut dengan non-fault
liability atau liability without fault.56
54 Anca Iulia Pop, Criminal Liability of Corporation-Corporative Jurisprudence, cmf, diakses melalui http://digitalcomons.law.msu.edu/cgi/viewcinntent.cgi?article=1115&context-king, pada
tanggal 11 April 2019;
55 Rise Karmilia, Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana di
Luar KUHP, Thesis, Universitas Sumatera Utara (USU), 2009, hlm. 77;
56Ibid, hlm. 87 – 88;
http://digitalcomons.law.msu.edu/cgi/viewcinntent.cgi?article=1115&context-king
-
37
Strict liability menurut Russel Heaton diartikan sebagai
pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana dapat dipertanggungjawabkan
dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku (mens-rea)
terhadap satu atau lebih dari actus reus.57 Actus reus merupakan perbuatan yang
dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan
oleh ketentuan pidana. Tindak – tindak pidana yang demikian itu disebut
“offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of
absolute prohibition.”58 Secara sederhana penerapan dari ajaran ini ialah penuntut
umum tidak perlu membuktikan bahwa actus reus yang dilakukan oleh pelakunya
didorong atau didasari oleh adanya mens-rea (kesengajaan atau kealpaan), tetapi
hanyalah membuktikan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara actus reus dan
akibat yang timbul. 59
Terkat dengan doctrine strict liability, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat
bahwa :
“Dalam tindak pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula
tindak pidana-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya
dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakuknya tidak
memiliki mens-rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat
dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus,
yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana.
Tindak pidana-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of
strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of
absolute prohibitati”60
57 Ibid.,hlm. 90, mengutip dari Russel Heaton, Criminal Law Textbook, Oxford University Press,
London, 2006, hlm. 403;
58 Ibid, hlm. 151;
59 Ibid, hlm 152;
60 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm 78;
-
38
Dengan memberlakukan doctrine of strict liability, maka korporasi dapat
dibebani pertanggungjawaban pidana dengan mengesampingkan asas “tiada
pidana tanpa mens-rea”, hal itu dikarenakan tindak pidana korporasi merupakan
salah satu tindak pidana yang membutuhkan penanganan luarbiasa dan dampak
yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi sudah tentu akan membahayakan
kepentingan masyarakat secara luas.
4. Doctrine of Vicarious Liability
Vicarious liability merupakan ajaran hukum perdata, namun kemudian
diadopsi oleh hukum pidana untuk dapat membebankan pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi.61
Pada dasarnya, Doctrine of Vicarious Liability) didasarkan pada prinsip
”employment principle” bahwa majikan (employer) adalah penanggungjawab
utama dari perbuatan para buruhya atau karyawannya.62 Dengan demikian, dalam
doktrin ini terlihat prinsip “the servant’s act is the master act in law” atau yang
dikenal juga dengan prinsip the agency principle yang berbunyi “the company is
liable for the wrongful acts of all its employees”.63 “Employment principle”,
majikan adalah pihak utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan
oleh buruh atau karyawannya selama perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup
kerjaannya.64 Secara sederhananya, pengelola atau pegawai yang berbuat suatu
tindak pidana namun korporasi yang ikut bertanggungjawab.65
61 Ibid, hlm. 156;
62 Kristian, Op.Cit, hlm. 93; 63 Barda Nawawi, Op.Cit. hlm. 249;
64 Kristian, Op.Cit. hlm 96;
-
39
Vicarious liability adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana dari
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Hal tersebut
kemudian dirasa bertentangan dengan nilai moral yang terkandung dalam prinsip
keadilan, dimana dalam pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan saja (act), tetapi
juga kesalahan (state og mind) sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan
karena melakukan perbuatan (act) atau tidak melakukan (omission) perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Boisvert, teori ini dianggap
menyimpang dari doktrin mens-rea karena berpendirian bahwa kesalahan manusia
secara otimatis bergitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan
kesalahan apapun.66
Vicarious Liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang
perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat
superior.67 Menurut asas respondeat superior, korporasi sendiri tidak dapat
melakukan kesalahan, melainkan hanya agen-agen korporasilah yang dapat
melakukan kesalahan yakni mereka bertindak untuk dan atas nama korporasi dan
bertindak untuk memberikan keuntungan korporasi.68 Menurut asas respondeat
superior, dimana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal
dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se.69
65 Peter W. Low, Criminal Law, Revised First Edition, St. Paul, Minn.: West Publishing Co., 1990,
hlm. 251;
66 Kristian, Op. Cit, hlm. 98;
67 Peter W. Low, Op. cit, hlm. 251;
68 Kristian, Op.Cit, hlm. 94
69Earl Jowit dan Clifford Walsh, LL.M, Jowitt’s Dictionary of English Law, Second Edition by
John Burke, London; Sweet & Maxwell Ltd, 1977, hlm. 1564
-
40
Menurut Maxim tersebut, seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia
yang melakukan perbuatan itu. Contohnya adalah seorang principal (pemberi
kuasa) bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent (penerima
kuasa) sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam dalam lingkup kewenangannya
(tidak keluar dari batas kewenangannya).70 Oleh karena itu ajaran vicarious
liability juga disebut sebagai ajaran respondeat superior. 71
Rasionalisasi penerapan doktrin ini mengingat majikan (yang dalam hal ini
adalah korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas organ-organnya dan
keuntungan yang mereka (organ-organnya) peroleh secara langsung dimiliki oleh
majikan (korporasi).72 Dengan demikian, dalam hal doktrin pertanggungjawaban
pengganti hanya dapat diterapkan apabila benar-benar dapat dibuktikan bahwa ada
hubungan atasan dan bawahan antara majikan (dalam hal ini korporasi) dengan
buruh atau karyawan yang melakukan tindak pidana. selain itu, harus juga
dipastikan apakah buruh atau karyawan tersebut ketika melakukan tindak pidana,
benar-benar bertindak dalam kapasitas lingkup pekerjaannya.
Menurut Marcus Flatcher dalam perkara pidana terdapat setidaknya 2 (dua)
syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan pidana
dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut sebagai beerikut:
a. Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara
majikan dan pegawai atau pekerja;
70 Ibid, hlm. 1485
71 The Law Reform Commision, Consultation Paper on Corporate Killing, Dublin Irlandia: The
Law Reform Commission, 2003, hlm 20;
72C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, Second Edition, Sweet & Maxwell, London,
1998, hlm. 44;
-
41
b. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut
berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.73
Menurut udang-undang (statute law) vocarious liability, dapat terjadi dalam
hal-hal sebagai berikut:
a. Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian
(the delegation principle);
b. Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atar perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjannya apabila menurut
hukum, perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan. 74
Penerapan ajaran vicarious liability merupakan solusi terhadap strict
liability. Dengan menerapkan ajaran vicarious liability, maka dapat dibenarkan
untuk menganggap actus reus dan mens rea personel pengendali (directing mind)
korporasi atau pegawai yang diberi wewenang oleh personel pengendali untuk
melakukan suatu perbuatan yang ternyata merupakan tindak pidana (crime)
sebagai actus reus dan mens rea dari korporasi.75
5. Teori Pelaku Fungsinal (Functioneel Daderschap)
Teori lain mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi adalah teori
pelaku fungsional atau functioneel dadershap merupakan suatu teori yang
berkembang dari negara Eropa Kontinental dan diemukakan oleh Roling dalam
catatannya dibawah putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari dan 21 Februari
1950.76 Teori pelaku fungsional ini diawali dengan suatu pendekatan sosiologis
yang melihat adanya kecenderungan dalam hukm pidana untuk semakin terlepas
73Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liablity dalam Hukum Pidana, Lembaga Penelitian,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1997, hlm.34;
74Muladi dan Dwija P, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Op.Cit, hlm 62;
75Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 158 – 159;
76J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Mterial Bagian Umum,
Bandung:Binacipta, 1986, hlm. 234
-
42
dari konteks manusia77 dengan kata lain tidak hanya manusia saja yang dapat
menjadi subjek hukum pidana. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar
dijadikannya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam arti sebagai pelaku
fungsional, disisi lain adanya peran serta korporasi dalam suatu masyarakat
sehingga dapat mengubah situasi hukum dalam masyarakat itu sendiri. Dalam
teori pelaku fungsional ini memberikan kriteria bagaimana suatu korporasi dapat
dianggap sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dibebankan pertanggungjawaban
ialah apabila suatu perbuatan yang dilarang, dilakukan oleh korporasi dalam
rangka pelakasanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan dari korporasi dan
kriteria ini sejalan dengan pengertian dari tindak pidana korporasi.
Dalam hal korporasi sebagai pelaku fungsional, perlu adanya deik-delik
fungsional sebagai dasar untuk dijadikannya korporasi sebagai pembuat sehingga
terhadapnya dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.78 Delik – delik
fungsional adalah delik – delik yang berasal dari lingkup atau suasana sosial
ekonomi, dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau
ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah / ditujukan kepada kelompok-
kelompok fungsional tertentu.79
Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana tentunya membawa
implikasi bahwa terhadap korporasi juga dapat dinyatakan bersalah. Suprapto
berpendapat bahwa suatu kesalahan pada korporasi bisa didapatkan bila
kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alatnya.80
77 Ibid., hlm. 235
78Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dala Kibtab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-1, 2003, hlm 99
79Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada
Media Grup, 2011, hlm. 232;
80Ibid., hlm. 84;
-
43
Pendapat lain yang dikemukan oleh Remmelink dan Bemmelen, bahwa kesalahan
dari korporasi dapat timbul dari kerjasama yang dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki hubungan dengan korporasi, baik dilakukan secara sadar ataupun tidak
sadar yang mana kerjasama tersebut harus memiliki sangkut paut tertentu antara
tindakan dari orang-orang tersebut. Dengan kata lain terhadap kerjasama dalam
sebuah korporasi, adanya pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota
direksi yang dapat dianggap sebagai kesengajaan dari korporasi tesebut.81
Dari teori pelaku fungsional dapat diketahui bahwa korporasi dapat
dianggap sebagai subjek hukum pidana didasarkan pada dilakukannya tindak
pidana oleh korporasi dalam bentuk perbuatan fungsional yang dilakukan oleh
agen-agen korporasi sebagai alat untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Kemudian selain itu, terhadap koroporasi juga adanya kesalahan atas dasar
kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh agen-agen korporasi melalui
suatu rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi.
E. Ius Constituendum dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2015
Ius Constituendum merupakan hukum yang diharapkan berlaku pada waktu
yang mendatang atau dengan kata lain hukum yang dicita-citakan dimasa
mendatang. Untuk menerapkan hukum yang dicita-citakan itu sendiri, maka perlu
adanya pembaharuan hukum. Dalam ranah hukum pidana saat ini, upaya untuk
melakukan pembaharuan Hukum Pidana Nasional adalah dengan menyusun
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat sekarang dan nilai-
nilai sesuai dengan kepribadian bangsa.
81J .M. Van Bemmelen, Op.Cit., hlm. 237;
-
44
RKUHP tahun 2015 telah menetapkan korporasi sebagai subjek tindak
pidana.82 Dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka
RKUHP tahun 2015 tersebut telah meninggalkan sikap KUHP yang sekarang
berlaku, yang berpendirian bahwa hanya manusia yang dapat menjadi pelaku
tindak pidana. Korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam RKUHP termuat
dalam Pasal 48 yang berbunyi “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.83
Dalam hal pertanggungajwaban, RKUHP selain menganut asas kesalahan,
dalam tindak pidana tertentu diterapkan asas pertanggungajwaban mutlak (strict
liability) dan asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Kedua asas
tersebut tercantum dalam Pasal 39 RKUHP bahwa :
(1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undnag dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah
dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa
memperlihatkan adanya kesalahan;
(2) Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindka pidana yang dilakukan oleh
orang lain.84
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa RKUHP melakukan
pembaharuan dibidang subjek delik dan sistem pertanggungjawaban pidana.
dibidang subjek delik, mengakui korporasi sebagai pelaku dam dapat
dipertanggungajwbakan dalam hukum pidana (corporate criminal liability).
Sedangkan dibidang sistem pertanggungjawban pidana, RKUHP tetap menganut
asas kesalahan sebagai asas fundamental yang mempertanggungjawbakan pelaku
tindak pidana. Namun dalam hal – hal tertentu dengan mengingat dan
82 Direktorat Jendral Peraturan Perundang – Undangan, Naskah Rancangan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (RKUHP), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015;
83 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm. 13;
84 Ibid, hlm. 13;
-
45
memperhatikan kemajuan dibidang teknologi dan informasi serta tindak pidana
yang semakin berkembang hebat mengikuti perkembangan global, maka RKUHP
mengakui adanya penyimpangan asas kesalahan, yaitu dengan mengakui asas
strict liability dan vicarious liability.