BAB II
LANDASAN TEORI
A. KEPUASAN PERNIKAHAN
1. Pengertian Kepuasan Pernikahan
Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri
terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan
pernikahan itu sendiri.
Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri
mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan
(Hendrick & Hendrick, 1992).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan
adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai
kehidupan pernikahan.
2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu:
a. Premarital Factors
1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak
sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan
pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih
banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat
penghasilan rendah.
3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak
terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian.
b. Postmarital Factors
1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan
pernikahan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian
menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress
pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick &
Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan
pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak
tersebut.
2) Lama Pernikahan, dimana dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat
kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun
setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak
mandiri.
Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa pria
lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih
sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya.
Bahkan dalam penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam
Universitas Sumatera Utara
O’Leary, Unger & Wallstone, 1985) menemukan bahwa suami menunjukkan
kepuasaan pernikahan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita.
Cole menyatakan bahwa pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang
tinggi pada awal tahun kehadiran anak dalam pernikahan, kepuasan pernikahan
yang menurun sepanjang tahun-tahun mengasuh anak dan meningkat kembali
pada tahun selanjutnya (dalam Lefrancois, 1993). Hal ini sejalan dengan Miller et
al., 1997 (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) yang menyatakan bahwa
kepuasan pernikahan yang paling tinggi pada awal pernikahan, menurun sampai
anak mulai meninggalkan rumah dan meningkat kembali pada tahun selanjutnya.
Tahun pertama pernikahan biasanya diisi dengan eksplorasi dan evaluasi.
Pasangan akan mulai untuk menyesuaikan harapan-harapan dan fantasi-fantasi
mereka mengenai pernikahan dan menghubungkannya dengan kenyataan.
Pasangan yang baru menikah tidak hanya akan mengetahui peran-peran baru
dalam pernikahan mereka, namun juga mengembangkan penyesuaian diri mereka
ke dalam pekerjaan mereka (Belsky, 1997).
3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan
Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam
perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fower (1989; 1993).
Adapun aspek-aspek tersebut antara lain:
a. Communication
Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap
komunikasi dalam hubungan mereka sebagai suami istri. Aspek ini
Universitas Sumatera Utara
berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam
membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Laswell (1991)
membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu:
keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan
(honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust),
sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi
pendengar yang baik (listening skill).
b. Leisure Activity
Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih untuk
menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial
versus aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan
harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama pasangan.
c. Religious Orientation
Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan prakteknya dalam
pernikahan. Nilai yang tinggi menunjukan agama merupakan bagian yang
penting dalam pernikahan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas
pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan
dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam
pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan
(Christiano, 2000; Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008).
Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu kepercayaan terhadap suatu
agama dan beribadah cenderung memberikan kesejahterahan secara
Universitas Sumatera Utara
psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan
(Ellison, 1994; Gottman, 1998; Amato & Booth, 1997 dalam Wolfinger &
Wilcox, 2008).
d. Conflict Resolution
Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan resolusi
terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini berfokus pada
keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian dan
strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argumen serta saling
mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun
kepercayaan satu sama lain.
e. Financial Management
Aspek ini berfokus pada sikap dan berhubungan dengan bagaimana cara
pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola
bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka
terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realistis, yaitu
harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk
memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock,
1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas
terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan
dalam mengelola keuangan.
Universitas Sumatera Utara
f. Sexual Orientation
Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan
seksual mereka. Aspek ini menunjukan sikap mengenai isu-isu seksual,
perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan. Penyesuaian seksual
dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak
dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus
meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua
pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama
lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca
tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan
bagi pasangan suami istri.
g. Family and Friends
Aspek ini menunjukan perasaan-perasan dan berhubungan dengan
hubungan dengan anggota keluarga dan keluarga dari pasangan, dan
teman-teman. Aspek menunjukan harapan-harapan untuk dan kenyamanan
dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman.
h. Children and Parenting
Aspek ini mengukur sikap-sikap dan perasaan-perasaan mengenai
mempunyai dan membesarkan anak. Aspek ini berfokus pada keputusan-
keputusan yang berhubungan dengan disiplin, tujuan-tujuan untuk anak-
anak dan pengaruh anak-anak terhadap hubungan pasangan. Kesepakatan
antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya
Universitas Sumatera Utara
dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap
anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.
i. Personality Issues
Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai pasangan mereka dalam
menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan
terhadap masalah-masalah itu.
j. Equalitarian Role
Aspek ini mengukur perasaan-perasaan dan sikap-sikap individu mengenai
peran-peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan,
pekerjaan rumah, seks, dan peran sebagai orang tua. Semakin tinggi nilai
ini menunjukan bahwa pasangan memilih peran-peran egalitarian.
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan
Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari
pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain:
a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan,
dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan
menerima antar sesama anggota dalam keluarga.
b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga.
Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam
keluarga.
c. Model parental role yang baik
Universitas Sumatera Utara
Pola orangtua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak
mereka. Hal ini bisa memberntuk keharmonisan dalam keluarga.
d. Penerimaan terhadap konflik-konflik
Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak
dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan
menguntungkan bagi semua anggota keluarga.
e. Kepribadian yang sesuai
Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama
lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat
menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling
melengkapi satu sama lain.
f. Mampu memecahkan konflik
Levenson (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa kemampuan
pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh
pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung
kepuasan pernikahan pasangan tersebut.
B. DEWASA AWAL
1. Pengertian Dewasa Awal
Istilah adult berasal dari bentuk lampau kata kerja adultus yang berarti
telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna, atau telah menjadi
dewasa. Oleh karena itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat
bersama dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 1990).
Rosdahl & Kowalski (2007) mengatakan bahwa masa dewasa awal
dimulai pada usia 20 sampai 40 tahun. Individu pada masa dewasa awal akan
menghadapi berbagai pilihan dalam hidupnya, seperti pekerjaan, pendidikan,
hubungan dengan pasangan, lingkungan tempat tinggal dan kemandirian.
2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Dewasa Awal
Rosdahl & Kowalski 2007 membagi tugas-tugas perkembangan pada masa
dewasa awal menjadi 2 yaitu:
a. Individu pada usia 20-30 tahun
Individu pada usia 20-30 tahun biasanya akan menghadapi
berbagai pilihan seperti memilih tempat tinggal, karir, mengembangkan
identifikasi diri, mengembangkan hubungan dengan orang lain dan mulai
membentuk keluarga.
Individu masa dewasa awal memilih untuk tetap tinggal dengan
orang tua atau tidak. Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan
untuk ekonomi yang akhirnya memaksa mereka kembali ke rumah orang
tua untuk sementara waktu.
Keputusan lain yang harus dipilih adalah mengenai pemilihan karir
yang berhubungan dengan pendidikan. Pendidikan dan karir berhubungan
dengan situasi ekonomi, tujuan, kemampuan dan minat individu. Individu
yang bekerja seharusnya dapat menikmati pekerjaan mereka, yakin akan
Universitas Sumatera Utara
apa yang mereka lakukan dengan kemampuan mereka dan merasa bahwa
mereka turut memberikan kontribusi kepada lingkungan
Sheehy (dalam Rosdahl & Kowalski, 2007) menyebutkan bahwa
individu yang berusia 20-30 tahun sebagai individu yang sedang
mengembangkan “akar”. Individu dewasa awal sering merasa bahwa
mereka harus melakukan beberapa hal untuk hidup mereka. Keluarga,
teman dan perilaku budaya di sekitarnya mempengaruhi individu tersebut.
Individu dewasa awal akan menghadapi dilema ketika mereka merasa
bahwa pilihan mereka tidak dapat berubah di masa mendatang atau bahwa
keputusan mereka akan menghasilkan keadaan yang akan berlangsung
selamanya misalnya keputusan untuk menikah dan memilih pekerjaan.
Individu dewasa awal ingin membangun struktur untuk masa depan dan
memiliki komitmen dan keamanan, namun mereka juga ingin tetap
mempunyai kesempatan untuk bereksplorasi, bereksperimen dan menjaga
supaya struktur tersebut tetap fleksibel. Kemampuan individu untuk
menjaga keseimbangan antara dua keinginan yang bertolak belakang
mempengaruhi kecepatan dan kemudahan individu untuk melewati masa
ini.
Tugas perkembangan lainnya pada usia 20-30 tahun adalah
mengembangkan hubungan dengan orang lain. Individu pada masa remaja
akhir dan masa dewasa awal biasanya dikelilingi oleh teman-teman
kampus yang mempunyai usia yang sama, namun setelah menyelesaikan
pendidikan dan meninggalkan rumah orang tua, individu dewasa awal
Universitas Sumatera Utara
akan merasakan kesepian dalam diri. Individu dewasa awal akan mulai
membentuk persahabatan baru dan hubungan yang intim dengan orang
lain yang mampu memberikan dukungan dan pengertian yang kemudian
mengarahkan ke jenjang pernikahan. Pria umumnya menikah di usia akhir
20-an, namun wanita biasanya menikah di pertengahan usia 20-an.
Tugas perkembangan terakhir adalah memulai keluarga.
Lingkungan umumnya mengharapkan individu dewasa untuk menikah dan
membentuk keluarga. Banyak individu dewasa yang menunda pernikahan
dan kehadiran anak sampai usia 30-an. Individu pada usia 20-30 tahun
biasanya lebih memilih untuk mengembangkan karir dan memperoleh
keadaan ekonomi yang aman.
Pada usia 28 sampai 32, individu dewasa awal umumnya membuat
keputusan baru dan mempertimbangkan kembali keputusan-keputusan
yang pernah diambil sebelumnya. Individu dewasa yang telah menikah
mungkin akan mempertanyakan untuk tetap tinggal dengan pasangan atau
tidak, mereka juga mungkin akan mempertanyakan diri mereka mengenai
perubahan karir mereka. Pada masa inilah, individu dewasa awal
menyadari bahwa mereka dapat membuat keputusan sesuai dengan
keinginan dan perasaan mereka, bukan didasarkan atau kepercayaan akan
hal lain.
b. Usia 30-40 tahun
Universitas Sumatera Utara
Pada awal usia 30-an, individu dewasa mulai menetapkan pilihan
dalam hal mengembangkan karir, beberapa diantaranya memutuskan untuk
membeli rumah dan merasa lebih nyaman dengan pasangan mereka.
Kehidupan menjadi lebih rasional dan tersusun rapi.
Topik topik mengenai karir menjadi topik yang penting. Pasangan
pada usia 30-40 tahun mungkin bekerja dengan waktu yang berbeda satu
sama lain yang akhirnya dapat mempengaruhi waktu interaksi dengan
pasangan, waktu keluarga, dan tanggung jawab dalam merawat anak.
Individu yang menginginkan peningkatan karir harus mengikuti
peraturan-peraturan yang ada dalam dunia pekerjaannya. Perusahaan-
perusahaan mungkin saja menetapkan pekerja dari satu tempat ke tempat
lain. Transfer dalam pekerjaan biasanya dapat menjadi konflik bagi
pasangan dual-career, misalnya jika salah satu pasangan memperoleh
pekerjaan yang lebih baik di daerah lain, pasangan lainnya harus memilih
apakah tetap ingin tinggal bersama dengan pekerjaan sebelumnya, atau
pasangan lainnya harus ikut pindah dan mencari pekerjaan baru di tempat
lain atau pasangan dapat memilih untuk tinggal berjauhan namun tetap
menjaga hubungan mereka. Beberapa topik yang berhubungan dengan
karir adalah beberapa individu pada masa 30-40 tahun juga memutuskan
untuk memulai jenjang karir yang baru atau kembali ke sekolah untuk
meningkatkan pendidikan mereka. Perubahan dalam karir, baik atas
keinginan sendiri maupun karena kebutuhan ekonomi dapat memberikan
stress pada pasangan dan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Reinke, et al. (dalam Granrose & Kaplan, 1996) menjelaskan
bahwa wanita memulai periode transisi psikologis utama diantara usia 27
sampai 30-an. Masa transisi ini ditandai dengan perpecahan dalam diri ,
dilanjutkan dengan menilai ulang dan mencari perkembangan diri dan
akhirnya mengembangkan konsep diri dan kesejahterahan psikologis.
Untuk wanita yang bekerja dan mempunyai karir akan menghadapi
pemikiran untuk mempunyai anak, dimana mengharuskan wanita untuk
tinggal di dalam rumah ataupun tetap melanjutkan pekerjaan dan karir.
Wanita pada usia 30-an harus membuat keputusan mengenai kelahiran
anak. Mereka menyadari bahwa mereka harus melahirkan anak sekarang
atau tidak ada kesempatan lagi nantinya. Tujuan karir dan menjadi orang
tua dapat menjadi konflik bagi wanita pada usia 30-an. Wanita pada usia
30-an yang belum menikah merasakan tekanan yang lebih untuk mencari
pasangan yang sesuai dengan mereka untuk membentuk keluarga. Adopsi
dapat menjadi pilihan bagi wanita yang tidak menikah, namun wanita yang
memilih untuk memiliki anak di luar hubungan dengan komitmen dapat
menghadapi tanggung jawab dan tantangan menjadi orang tua tunggal.
Wanita yang mempunyai pasangan dan menunda untuk memiliki anak
mungkin akan menghadapi keputusan yang sulit mengenai pekerjaan,
penempatan anak dan tanggung jawab.
Individu pada usia 30-40 tahun juga akan menghadapi berbagai
perubahan dalam hidup mereka, diantaranya pada anak-anak yang mulai
dewasa dan meninggalkan rumah dan lebih tertarik untuk bersama teman-
Universitas Sumatera Utara
teman sebaya dibandingkan bersama orang tua. Orang tua yang biasanya
menjaga anak-anak akan merasakan kehilangan dan kesepian, sehingga
orang tua perlu untuk mencari minat pada hal lain. Ketika anak-anak
meninggalkan rumah, para orang tua mulai memperbaiki hubungan
dengan pasangan mereka. Mereka dapat mengembangkan hubungan intim
yang lebih mendalam atau dapat memutuskan untuk kehilangan keintiman
mereka dengan pasangan mereka dan berakhir pada perceraian. Perubahan
karir dan perpindahan ke kota lain dapat membuat kehidupan keluarga dan
keintiman hubungan dengan pasangan menjadi kurang stabil. Perceraian
dapat muncul dan individu perlu melakukan penyesuaian yang
berhubungan dengan perceraian. Invidu dewasa yang bercerai akan
menghadapi tantangan dalam mencari pasangan baru dan keadaan
ekonomi yang tidak stabil, ataupun masih berusaha memahami hubungan
mereka dengan mantan pasangan mereka.
3. Karakteristik Masa Dewasa Awal
Menurut Hurlock (1990), karakteristik individu dewasa awal adalah:
a. Masa pengaturan
Individu dewasa awal mulai mencoba-coba untuk menemukan
pekerjaan dan pasangan yang tepat. sekali individu menemukan pola
hidup yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka
individu tersebut akan mengembangkan pola-pola perilaku sikap dan
Universitas Sumatera Utara
nilai-nilai yang akan cenderung akan menjadi kekhasan selama sisa
hidupnya.
b. Usia reproduktif
Individu dewasa awal yang menikah akan berperan pada sebagai orang
tua pada usia 20 atau 30-an.
c. Masa bermasalah
Masalah-masalah yang dihadapi individu masa dewasa awal
berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama
kehidupan masa dewasa awal diantaranya penyesuaian diri dalam
kehidupan perkawinan dan karir.
d. Masa ketegangan emosional
Sekitar awal atau pertengahan usia 30-an, kebanyakan individu dewasa
awal telah mampu memecahkan masalah-masalah mereka dengan
cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional.
Emosi yang menggelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal
kedewasaan masih tetap kuat pada usia 30-an, hal ini merupakan tanda
bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum
terlaksana secara memuaskan.
e. Masa keterasingan
Masa keterasingan merupakan masa individu dewasa merasakan
keterpencilan sosial atau yang disebut Erikson sebagai krisis
keterasingan. Krisis keterasingan dapat terjadi karena pada masa
sebelumnya, individu masih bergantung dengan persahabatan dan
Universitas Sumatera Utara
orang tua, namun pada masa dewasa awal dihadapkan pada keadaan
untuk bersaing dan hasrat yang kuat untuk mencapai karir.
f. Masa komitmen
Individu dewasa awal akan mengalami perubahan tanggung jawab dari
remaja yang sepenuhnya bergantung pada orang tua menjadi invidu
dewasa yang mandiri. Individu dewasa awal perlu menentukan pola
hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-
komitmen baru. Pola hidup, tanggung jawab dan komitmen-komitmen
baru mungkin dapat berubah, namun pola-pola ini dapat menjadi
landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab dan
komitmen baru di masa mendatang.
g. Masa ketergantungan
Beberapa individu pada masa dewasa awal yang sudah mandiri dan
tidak bergantung pada orang lain, namun beberapa diantaranya masih
menemui kesulitan ekonomi sehingga harus bergantung pada orang tua
atau bergantung pada beasiswa dari perguruan tinggi untuk dapat
melanjutkan pendidikannya.
h. Masa perubahan nilai
Individu masa dewasa awal harus dapat menerima perubahan nilai
yang terjadi di masyarakat supaya dapat diterima dalam kelompok
orang dewasa termasuk perubahan nilai ketika mereka menjadi orang
tua.
i. Masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru
Universitas Sumatera Utara
Individu masa dewasa awal dihadapkan pada tugas untuk
menyesuaikan diri pada kehidupan pekerjaan dan kehidupan
pernikahan.
j. Masa kreatif
Bentuk kreatifitas yang akan terlihat pada masa dewasa awal adalah
kreatifitas yang bergantung pada minat dan kemampuan individual,
kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang
memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Ada individu yang
menyalurkan kreatifitas melalui hobi, ada yang menyalurkannya
melalui pekerjaan yang memungkinkan untuk menyalurkan ekspresi
kreatifitasnya.
C. COMMUTER MARRIAGE
1. Pengertian Commuter Marriage
Commuter marriage adalah kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela
oleh pasangan suami istri yang berada pada dua lokasi geografis yang berbeda
dengan pekerjaan masing-masing dan dipisahkan setidaknya tiga malam dalam
satu minggu selama sesedikitnya tiga bulan (Gerstel dan Gross, 1982).
Istilah lain commuter marriage yang digunakan Stafford (2005) adalah
dual career dual residence (DCDR), yang didefinisikan sebagai individu-
individu yang menikah, dengan atau tanpa anak, yang secara sukarela
mempertahankan kelangsungan hidup pada dua tempat tinggal yang berjauhan,
Universitas Sumatera Utara
dengan maksud untuk mempertahankan pernikahan, dan keduanya berkomitmen
terhadap karir mereka.
Rhodes (2002) menyatakan bahwa dalam beberapa referensi, commuter
marriage didefinisikan sebagai:
a. pasangan yang melanjutkan karir dengan melibatkan pekerjaan yang
membutuhkan komitmen yang tinggi dan pelatihan khusus dengan tanggung
jawab yang besar (ini mencakup mahasiswa yang melanjutkan tingkat
pendidikan lanjutan).
b. pasangan memutuskan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan rumah
tangga pada lokasi yang terpisah secara geografis dengan tujuan untuk
meningkatkan karir pada pasangan tersebut.
Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa dengan demikian, sales, pekerja
dengan pekerjaan yang berhubungan dengan perjalanan, personel militer, migran
yang menjadi pekerja, pekerja konstruktif dan pramugari yang meninggalkan
rumah untuk waktu tertentu bukan termasuk dalam definisi commuter marriage.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa commuter marriage
adalah pasangan suami istri dengan atau tanpa anak yang tinggal terpisah secara
geografis karena adanya komitmen yang tinggi terhadap karir dan
mempertahankan pernikahan.
2. Karakteristik Commuter Marriage
Beberapa karakteristik yang membedakan pasangan commuter marriage
dengan pernikahan lainnya (Gerstel & Gross, 1982):
Universitas Sumatera Utara
a. Lama pasangan tinggal di rumah yang berbeda bervariasi, mulai dari tiga
bulan sampai 14 tahun.
b. Jarak yang memisahkan pasangan tersebut antara 40-2.700 mil
c. Jarak yang bervariasi dari rumah utama, kebanyakan pasangan tersebut
menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan
di rumah utama dan pasangan lain di rumah lain di tempat lain).
d. Pasangan biasanya melakukan reuni dengan variasi periode waktu yang
berbeda-beda. Beberapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pekan
tanpa mempertanyakan kapan akan melakukan reuni selanjutnya.
3. Karakteristik Pernikahan dan Keluarga
Rhodes (2002) menjelaskan karakteristik pernikahan dan keluarga
commuter, antara lain:
a. Adanya atau tidak-adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah dalam
keluarga. Rotter, Barnett, & Fawcett (dalam Rhodes, 2002) setuju bahwa
pasangan commuter marriage akan mengalami pola hidup yang lebih
menyulitkan dengan adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah.
b. Ketika pasangan setuju untuk melakukan tipe pernikahan seperti ini, salah
satu orang tua biasanya tinggal di rumah bersama dengan anak-anak,
sehingga akan mengemban tanggung jawab, stress, dan jumlah pekerjaan
yang lebih besar, dan orang tua lainnya biasanya akan pindah ke lokasi
yang lebih dekat dengan pekerjaannya (Anderson, 1992).
Universitas Sumatera Utara
c. Orang tua yang melakukan perpisahan dengan keluarga dapat lebih fokus
dengan pekerjaannya, namun orang tua yang tinggal dengan anak-anak
biasanya mengambil peran sebagai orangtua tunggal (single parent).
Biasanya orang tua yang tidak melakukan perpisahan akan merasa kecil
hati dengan perubahan dalam tanggung jawab dan pengaturan hidup
(Carter, 1992).
d. Banyak orang tua yang melakukan perpisahan merasakan rasa bersalah
telah berpisah dengan keluarga dan melewatkan bagian-bagian penting
dalam perkembangan anak-anak mereka (Johnson, 1987, Rotter et al.,
1998).
e. Untuk menutupi rasa bersalah mereka, umumnya orang tua tersebut
mengambil langkah-langkah seperti memberikan perhatian secara kualitas
ketika menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka, memberikan
model peran alternatif untuk anak-anak dan memberikan kesempatan pada
anak-anak dalam memilih dua tempat tinggal yang berbeda (Jackson et al.,
2000; Rotter et al., 1998).
4. Kelebihan dan Kelemahan pada Pasangan Commuter Marriage
Scoot (2002) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa pasangan dengan
dua karir memutuskan untuk memisahkan tempat tinggal mereka. Adapun
kelebihan dari pernikahan dengan tipe ini adalah:
a. Memiliki karir dan pernikahan dalam persamaan hak dalam pernikahan
(Farris, 1978; Gerstel & Gross, 1983).
Universitas Sumatera Utara
b. Memperkuat pernikahan. Beberapa pasangan percaya bahwa perpisahan
dapat memperkuat pernikahan mereka karena perpisahan memberikan
perasaaan akan kesuksesan (Rapoport et al., 1978; Gross, 1980, 1981).
c. Ketika pasangan berpisah, mereka dapat belajar untuk mengadaptasikan
jadwal mereka sesuai dengan kebutuhan mereka.
d. Memberikan waktu kerja yang lebih panjang bagi pasangan.
e. Selama perpisahan, masing-masing pasangan dapat memfokuskan diri
pada pekerjaan mereka, namun pada saat melakukan reuni, mereka
memfokuskan pada penguatan hubungannya dengan pasangan.
f. Pola hidup seperti ini menghasilkan kemampuan baru dan meningkatkan
rasa percaya diri mengenai kemampuan individu (Gerstel & Gross, 1982;
Jackson et al, 2000; Winfield, 1985).
Selain memberikan kelebihan, pola pernikahan ini juga memberikan
beberapa kelemahan, antara lain:
a. Pasangan jarak jauh mempunyai jadwal yang disesuaikan dengan
kebutuhan mereka, yaitu jadwal yang sibuk, bahkan ketika pasangan
saling menjenguk, mereka tetap tidak terlepas dari jadwal yang sibuk. Hal
ini menyebabkan pasangan tidak mampu memperkuat hubungan mereka
bahkan saat mereka sedang berkumpul. Jadwal yang sibuk menyebabkan
rendahnya kepuasan hubungan dan kehidupan keluarga (Bunker, Zubek,
Vanderslice, & Rice, 1992; Govaerts & Dixon, 1988).
b. Biaya yang lebih tinggi yang harus dibayar oleh pasangan ini (Farris,
1978; Gerstel & Gross, 1984), misalnya rekening telepon yang lebih mahal
Universitas Sumatera Utara
karena hubungan jarak jauh, biaya perjalanan ketika saling mengunjungi
dan biaya-biaya kebutuhan kedua rumah yang ditempati masing-masing
pasangan.
c. Kurangnya kehadiran pasangan, terhambatnya kontak nonverbal
mempengaruhi keintiman dalam hubungan pernikahan jarak jauh.
d. Munculnya kecemasan dan kekhawatiran pada pasangan termasuk
ketakutan untuk hidup terpisah, perceraian dan perselingkuhan (Farrris,
1978). Kekhawatiran ini umumnya muncul pada pasangan yang lebih
muda, namun pada pasangan yang lebih tua lebih banyak mengalami
pengalaman takut akan hidup terpisah dan sedikit cemas mengenai
perceraian dan perselingkuhan (Gerstel & Gross, 1984).
D. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN COMMUTER
MARRIAGE
Layaknya pasangan suami istri umumnya, pasangan commuter marriage
juga mengharapkan kepuasan dalam pernikahan dan mempunyai penilaian
terhadap kepuasan pernikahan. Pasangan commuter marriage umumnya menganut
peran gender yang lebih egalitarian dibandingkan yang tradisional dalam
pernikahan. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan commuter marriage yang
sukses dalam pernikahan adalah pasangan yang menganut peran gender yang
sedikit tradisional dan lebih egalitarian, mereka umumnya mempunyai pendidikan
yang baik, dan terikat dalam rencana dan keputusan bersama dalam membuat
perpisahan (Anderson & Spruill, 1993; Fortysh & Gramling, 1987 dalam Stafford,
Universitas Sumatera Utara
2005). Perilaku peran gender yang non-tradisional yang biasanya dianut oleh
pasangan commuter marriage adalah suami maupun istri saling berbagi perhatian
terhadap keluarga dan rumah, suami dan istri sepakat bahwa tidak ada pekerjaan
mana yang lebih penting dari pekerjaan lainnya.
Pasangan commuter marriage menyatakan bahwa perjalanan yang
merupakan bagian dari pekerjaan dapat menciptakan stress tambahan untuk
pasangan mereka, khususnya dengan adanya kehadiran anak dalam keluarga
(Roehling & Bultman, 2002). Kehadiran anak mengurangi peran egalitarian yang
biasanya dianut oleh pasangan commuter marriage (Stafford, 2005). Peran non-
tradisional ini tidak berlaku ketika salah satu pasangan melakukan perjalanan,
pasangan yang melakukan perjalanan biasanya akan menyerahkan peran mereka
yang berhubungan dengan keluarga kepada pasangan lain yang tinggal di rumah.
Pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir,
namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran
sebagai orang tua tunggal. Roehling dan Bultman (2002) menambahkan bahwa
istri biasanya mengurangi perjalanan yang berhubungan dengan karir jika adanya
kehadiran anak dalam keluarga. Kehadiran anak meningkatkan tanggung jawab
dan pembagian kerja menurut gender di rumah sehingga membutuhkan peran
dengan waktu yang intensif dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan peran yang
berlebihan dan konflik peran (Barnett & Hyde, 2001 dalam Roehling & Bultman,
2002) serta dapat mempengaruhi performansi di tempat kerja dan di rumah pada
pasangan yang tinggal di rumah (Roehling & Bultman, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Gerstel dan Gross (dalam Scoot, 2002) yang menyatakan bahwa usia
pernikahan, kehadiran anak, dan durasi perpisahan dan pertemuan kembali karena
pekerjaan memberikan pengaruh yang besar dalam pengalaman menghadapi
perpisahan pada pasangan commuter marriage. Penelitian yang dilakukan oleh
Gerstel dan Gross menunjukan bahwa pasangan yang baru menikah (tanpa
menjelaskan usia pernikahan yang dimaksud), pasangan dengan anak-anak dan
pasangan yang mengunjungi kurang dari dua kali dalam sebulan mengalami
kesulitan menangani perpisahan mereka. Semakin lama usia suatu pernikahan,
semakin besar kemampuan pasangan untuk menghadapi masalah yang muncul
ketika pasangan tidak tinggal bersama (Gerstel dan Gross, 1981, 1982, 1984;
Gross, 1980, 1981 dalam Scott, 2002).
Pasangan commuter marriage yang lebih muda dengan anak yang masih
muda dan pengalaman akan perpisahan yang tidak banyak merupakan pasangan
yang paling rapuh, namun kebanyakan pasangan yang lebih tua dan mempunyai
banyak pengalaman akan perpisahan dengan pasangan, dapat mencoba untuk
beradaptasi terhadap perjalanan dinas karena pekerjaan dan bahkan merasakan
periode yang berturut-turut antara perpisahan dan reuni kembali sebagai suatu hal
yang sangat menarik (Espino et al., 2002; Morrice et al., 1985 dalam Gustafson,
2006). Jadwal pekerjaan yang lebih fleksibel dan sumber penghasilan yang lebih
besar membuat pasangan commuter marriage merasakan kesulitan yang lebih
sedikit (Anderson, 1992 dalam Stafford, 2005). Pasangan yang merasakan
kesulitan dan tetap mencoba untuk melakukan dinas pekerjaan, semakin merasa
Universitas Sumatera Utara
tidak puas dengan pola hidup seperti itu (Groves & Horm-Wingered, 1991 dalam
Stafford 2005).
E. PARADIGMA PENELITIAN
Universitas Sumatera Utara
Membentuk keluarga Mencari pekerjaan
Commuter Marriage
Suami atau istri yang bekerja di
daerah yang terpisah karena
penempatan pekerjaan
Kelebihan Kelemahan
Suami atau istri yang bekerja di
daerah yang sama
Kehadiran anak
suami
istri
Suami melakukan perjalanan karena pekerjaan (tinggal terpisah)
Istri tinggal dengan anak dan meniti karir
Pasangan dual-career
Kepuasan pernikahan
Dewasa Awal
Universitas Sumatera Utara