8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Moral
1. Pengertian Pendidikan Moral
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. (Nurul Zuriah, 2008:26)
Konsep Ki Hajar Dewantara dalam Wahab (2015:89) tentang
pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan tubuh
anak.
“Pendidikan nilai adalah nilai pendidikan”, bahasa lain bisa berarti:
“pendidikan moral adalah moral pendidikan”. Moral pendidikan adalah
nilai-nilai yang terkandung secara built in dalam setiap bahan ajar atau
ilmu pengetahuan, seperti build in-nya perasaan, pikiran, rasa lapar,
rasa bahagia atau sedih yang hadir dalam diri setiap manusia. Karena
itu, suatu nilai datang tanpa diundang, hadir tanpa dipikir, jumpa tanpa
dipinta, namun baru bermakna bila dicerna lewat pendidikan yang
mampu membermaknakan kebermaknaanya makna. (Mursidin,
2011:9)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, penulis menyimpulkan
bahwa pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang memiliki tujuan
tertentu .
Moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang
mengandung arti adat kebiasaan. (Nurul Zuriah, 2008:17) Istilah
moral lebih sering digunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku,
9
adat, atau kebiasaan dari individu atau kelompok, seperti apabila
seseorang membicarakan tentang moral orang lain.
Menurut Helden dalam Syaiful (2013:241) merumuskan pengertian
moral sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan
dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan
terhadap prinsip dan aturan.
Menurut Sjarkawi (2014:102) mengemukakan moral atau moralitas
merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa
yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga
merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan
dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia.
Penulis berpendapat bahwa dapat disimpulkan moral adalah hal
yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik
sebagai kewajiban atau norma. Moral dapat diartikan sebagai sarana
untuk mengukur benar tidaknya atau baik tidaknya tindakan manusia.
Apabila berbicara mengenai moralitas suatu perbuatan, berarti dari
segi moral satu perbuatan atau keseluruhan asas dan nilai tersebut
berkaitan dengan ukuran baik dan buruk.
Isi ajaran dari moralitas adalah tentang bagaimana manusia harus
hidup secara baik agar menjadi manusia yang baik dan bagaimana
manusia harus menghindari perilaku ang tidak baik. Moralitas adalah
seluruh kualitas perbuatan manusia yang dikaitkan dengan nilai baik
dan buruk. (Sjarkawi, 2014:28)
Dapat disimpulkan bahwa moralitas adalah sistem nilai tentang
bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia.
Moralitas ini terkandung dalam aturan hidup bermasyarakat dalam
bentuk petuah, nasehat, wejangan, peraturan, perintah, dan
semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama
atau kebudayaan tertentu.
Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau
pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang disampaikan dalam
10
pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain afektif.
Nilai-nilai afektif tersebut antara lain, meliputi: perasaan, sikap,
emosi, kemauan, keyakinan, dan kesadaran. (Winarno, 2000:89)
Pendidikan moral berusaha untuk mengembangkan pola perilaku
seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini
berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan
kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua
aspek inilah, yaitu (a) nilai-nilai, dan (b) kehidupan nyata, maka
pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilema (seperti
makan buah simalakama) yang berguna untuk mengambil keputusan
moral yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya. (Nurul Zuriah,
2008:19)
Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan
luar sekolah) yang mengorganisasikan dan “menyederhanakan”
sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan
pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan. (Nurul Zuriah,
2008:22)
Menurut paham ahli pendidikan moral, jika tujuan pendidikan
moral akan mengarahkan seseorang menjadi bermoral, yang penting
adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan
tujuan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam tahap awal perlu
dilakukan pengkondisian moral (moral conditioning) dan latihan
moral (moral training) untuk pembiasaan. (Sjarkawi, 2014:66)
Pengertian moral dalam pendidikan moral disini hampir sama saja
dengan rasional, dimana penalaran moral dipersiapkan sebagai prinsip
berpikir kritis untuk sampai pada pilihan dan penilaian moral (moral
choice and moral judgmet) yang dianggap sebagai pikiran dan sikap
terbaiknya (Sjarkawi, 2014:68)
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pendidikan moral adalah suatu program yang memiliki tujuan untuk
mengembangkan perilaku seseorang agar lebih baik lagi, dapat
11
menyesuaikan diri dengan menyesuaikan tujuan hidup masyarakat
yang bermoral.
2. Konsep Moral dan Perkembangan Pendidikan Moral
Menurut Harshorne dan May, dalam Suparno (2002:198)
menyatakan bahwa Keefektifan pendidikan moral disekolah
ditemukan hal-hal berikut:
a. Pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama dikelas
tidak memengaruhi perbaikan perilaku moral.
b. Pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian
nilai, yakni pengajaran tentang aturan-aturan berperilaku benar
dan baik disekolah sedikit berpengaruh terhadap pembentukan
moral sebagaimana yang dikehendaki.
Menurut Kohlberg dalam Nina Syam (2011:94) temuan penelitian
Hartshorne dan May dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan moral
disekolah tidak efektif. Ketidakefektifan itu disebabkan oleh karakter
moral telah dibentuk lebih awal dirumah karena pengaruh orang tua.
Karakter moral juga dianggap sebagai sesuatu yang tidak tetap dan
merupakan emosi mendalam yang keberadaannya tidak konsisten.
Seseorang berperilaku amoral lebih disebabkan oleh faktor-faktor
situasional dan bukan merupakan hasil pemikiran yang didasarkan
atas perkembangan moral.
Sedangkan menurut Frankena dalam Nina Syam (2011:96)
perilaku amoral bukan merupakan refleksi dari pengalaman
pendidikan yang berpusat pada nilai-nilai moral yang diajarkan. Hal
inilah yang menjadi penyebab mengapa pendidikan moral selama
dekade tersebut dinyatakan kurang berhasil, bahkan dianggap gagal,
yaitu karena kurang mengikutsertakan faktor kognitif.
Perilaku moral dianggap sebagai sesuatu yang ditentukan oleh
kecenderungan bertindak yang dimotivasi oleh sifat perilaku dan
kebiasaan. Artinya, perilaku moral bukan merupakan hasil
pertimbangan moral yang berpijak pada konsep nilai kemanusiaan dan
keadilan.
12
Sebaliknya, pandangan yang beranggapan bahwa pilihan perilaku
moral pada hakikatnya bersifat rasional sebagai respon yang
bersumber dan diturunkan dari pemahaman serta penalaran
berdasarkan tujuan kemanusiaan dan keadilan, disebut pandangan
baru.
Menurut Dewey dalam Nina Syam (2011:3) menyatakan bahwa
ciri utama pendidikan moral berdasarkan pandangan baru tersebut
pendidikannya menggunakan pendekatan perkembangan kognitif.
Disebut kognitif, karena menghargai pendidikan moral sebagai
pendidikan intelektual yang mengusahakan timbulnya berpikir aktif
dalam menghadapi isu-isu moral dan dalam menetapkan suatu
keputusan moral. Disebut perkembangan, karena tujuan pendidikan
moral untuk mengembangkan tingkat pertimbangan moral sesuai
dengan tahap-tahap yang telah ditentukan.
Tingkat perkembangan moral dalam kajian ini dijadikan variabel
pengukur perolehan belajar siswa karena perilaku moral dianggap
sebagai hasil berpikir yang merupakan refleksi dan pengalaman
belajar seseorang.
Konsekuensi dari pandangan rasional adalah bahwa suatu
perilaku moral dianggap tidak memiliki nilai moral apabila perilaku
itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan sendiri secara sadar sebagai
implikasi pemahaman dari nilai-nilai yang dipelajari sebelumnya.
Artinya, betapa bermanfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai
kemanusiaan, apabila tindakan itu tidak disertai dan didasarkan pada
perkembangan moral maka tindakan itu belum dapat dikatakan
sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral.
Suatu perilaku moral dianggap bernilai moral jika perilaku itu
dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari
pemikiran moral yang bersifat otonom. (Frankena dalam Nina Syam,
2011:98)
Dengan demikian dapat disimpulkan, perilaku moral dapat
dikatan bermoral jika perilaku tersebut dilakukan secara sadar atas
13
kemauan sendiri sebagai hasil berpikir yang merupakan refleksi dan
pengalaman belajar seseorang.
3. Teori Pendidikan Moral
Menurut Dewey dalam Sagala (2013:201) menyatakan bahwa pada
dasarnya tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan
intelektual dan moral. Prinsip-prinsip psikologi dan etika dapat
membantu sekolah untuk meningkatkan seluruh tugas pendidikan
dalam membangun kepribadian siswa yang kuat.
Menurut Shaver dalam Suparno (2002:142) mengemukakan bahwa
sekolah sebagai lembaga pendidikan bertanggung jawab untuk
meningkatkan kemampuan berpikir dan kecakapan siswa dalam
menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk tidak
bertindak.
Menurut Goods dalam Wibowo (2001:100) menyatakan bahwa
pendidikan moral dapat dilakukan secara formal maupun insidental,
baik di sekolah maupun di lingkungan rumah.
Akan tetapi menurut Durkheim dalam Wibowo (2001:124)
menekankan agar pendidikan moral dipindahkan dari lingkungan
rumah ke sekolah karena sekolah mempunyai tugas khusus dalam hal
moral.
Lebih tegas lagi menurut Raths dalam Wibowo (2001:167)
menyatakan bahwa sekolah harus lebih sensitif pada masalah
kemampuan berpikir moral dan keterampilan berperilaku moral.
Sekolah bukan saja harus memerhatikan secara khusus aspek
intelektual dan perilaku moral, tetapi lebih dari dua yaitu seluruh
fungsi dan isi pendidikan di sekolah harus didasarkan pada suatu
rencana kerja serta kurikulum yang mengarah kepada usaha nyata
demi tercapainya peningkatan moral. (Wibowo, 2001:86)
Menurut Suni (2008:61) menyatakan Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
14
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Selanjutnya pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Menurut Ardhana (2007:143) menyatakan bahwa negara Indonesia
merupakan suatu negara yang menaruh perhatian besar pada masalah
pendidikan moral. Kurikulum sekolah mulai dari tingkat yang paling
rendah hingga paling tinggi, mengalokasikan waktu yang cukup
banyak bagi bidang studi yang potensial untuk pembinaan moral,
antara lain Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan
Ilmu Pengetahuan sosial.
Menurut Rosjidan (2007:128) bahwa yang penelitiannya
menggunakan responden siswa, orang tua siswa, dan guru,
mengungkapkan bahwa faktor penyebab adanya perilaku negatif yang
dilakukan para remaja ialah karena kurang efektifnya pendidikan
moral disekolah. Oleh karena itu, responden menyarankan agar
pendidikan moral di sekolah lebih ditingkatkan dan diintensifkan.
Dengan demikian berbicara mengenai pendidikan, apapun dan
bagaimanapun tidak dapat menghindari tugas pengembangan moral
dan etika. Kemampuan tersebut terkait dengan nilai-nilai, terutama
nilai yang bersifat humanis. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga
pendidikan mempunyai beban dan tanggung jawab untuk
melaksanakan pendidikan moral dan membantu siswa
15
mengembangkan cara berpikirnya dalam menetapkan keputusan
moralitasnya.
4. Tujuan Pendidikan Moral
Adapun tujuan pendidikan moral menurut Nurul Zuriah (2008:36)
adalah:
a. Anak mampu memahami nilai-nilai budi pekerti di lingkungan
keluarga, lokal, nasional, dan internasional melalui adat istiadat,
hukum, undang-undang, dan tatanan antar bangsa.
b. Anak mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara
konsisten dalam mengambil keputusan budi pekerti di tengah-
tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini.
c. Anak mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat
secara rasional bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah
melakukan pertimbangan sesuai dengan norma budi pekerti.
d. Anak mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik
bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan
bertanggung jawab.
Menurut Bergling dalam Wibowo (2001:146) bahwa
mengembangkan dua macam metode pendidikan moral yang
diprediksi memiliki kemampuan yang sama dalam meningkatkan
pertimbangan moral siswa. Kesamaan kekuatannya dapat ditemukan
pada tujuannya, yakni meningkatkan moralitas siswa. Tinggi atau
rendahnya moralitas siswa dapat dilihat dari tingkat pertimbangan
moralnya.
Menurut Kohlberg dalam Nina Syam (2011:211) bahwa
menyatakan menekankan tujuan pendidikan moral adalah merangsang
perkembangan tingkat pertimbangan moral siswa. Kematangan
pertimbangan moral jangan diukur dengan standar regional, tetapi
hendaknya diukur dengan pertimbangan moral yang benar-benar
menjungjung nilai kemanusiaan yang bersifat unviersal, berlandaskan
prinsip keadilan, persamaan, dan saling terima.
16
Menurut Kohlberg dalam Nina Syam (2011:212) menyatakan
bahwa untuk tercapainya tujuan pendidikan moral tersebut, konsep
pengembangan pembelajaran yang lebih sesuai adalah melalui
imposisi, tidak menyatakan secara langsung sistem nilai yang konkret.
Oleh karena itu, dianjurkan agar para pendidik di sekolah harus
meningkatkan pemahamannya mengenai hakikat pengembangan
moral serta memahami metode-metode komunikasi moral.
Menurut Frankena dalam Nina Syam (2011:224) menyatakan
bahwa tugas program pendidikan moral menyampaikan dan
mempertahankan moral sosial, meningkatkan kemampuan berpikir
moral secara maksimal.
Lebih khusus lagi menurut Maritain dalam Nurul (2008:123)
menegaskan bahwa tujuan pendidikan moral adalah terbentuknya
kejujuran dan kebebasan mental spiritual.
Lebih lanjut menurut Frankena, Nina Syam (2011:395)
mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai berikut:
a. Mengusahakan suatu pemahaman “pandamgan moral” ataupun
cara-cara moral dalam mempertimbangkan tindakan-tindakan dan
penetapan keputusan apa yang seharusnya dikerjakan, seperti
membedakan hal estetika, legalitas, atau pandangan tentang
kebijaksanaan.
b. Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengadopsian satu
atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai
sebagai suatu pijakan atau landasan untuk pertimbangan moral
dalam menetapkan suatu keputusan.
c. Membantu mengembangkan kepercayaan pada dan atau
pengadopsi norma-norma konkret, nilai-nilai, kebaikan-kebaikan
seperti pada pendidikan moral tradisional yang selama ini
dipraktikkan.
d. Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu
yang secara moral baik dan benar.
17
e. Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau
kebebasan mental spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat
seseorang menjadi pengkritik terhadap ide-ide dan prinsip-
prinsip, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku.
Menurut Kohlberg dalam Aryani (2010:128) bahwa
menggabungkan tujuan pendidikan moral dengan tujuan pendidikan
Civics (Pendidikan Kewarganegaraan). Dinyatakan bahwa selain
harus mempertimbangkan tercapainya tujuan moral secara filosofis,
juga mengembangkan tingkat pertimbangan moral yang secara ideal
menentukan apa yang seharusnya dilakukan.
Tujuan moral secara filosofis menyerukan kebebasan dan
kebiasaan berpikir sehingga mampu melahirkan pertimbangan moral
yang bernilai universal untuk seluruh umat manusia. Prinsip moral
secara filosofis tidak membedakan seluruh peraturan, sedangkan nilai
moral secara konkret didasarkan pada aturan khusus yang berlaku
untuk suatu masyarakat tertentu. (Kohlberg dalam Aryani, 2010:129)
Menurut Beddoe dalam Nurul (2008:119) menyarankan agar
pendidikan moral hendaknya dilaksanakan dengan mengembangkan
suatu kehidupan yang memungkinkan seseorang memiliki sikap
respect yang mendalam kepada orang lain. Pembelajaran yang
dianjurkan ialah dengan cara memecahkan masalah melalui konflik
moral agar mampu meningkatkan pertimbangan moral.
Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya
terdapat tiga faktor penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang
perlu diperhatikan yaitu:
a. Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan dan
perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata
maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah
pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta
didik itu sendiri.
b. Nilai-nilai (moral) Pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan
perkembangan moral manusia maka perlu diketahui pula tingkat
18
tahapan kemampuan peserta didik. Hal ini penting mengingat
dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua
nilai-nilai moral yang terkandung dalam pendidikan moral
tersebut memiliki batasan-batasan tertentu untuk dapat terpatri
pada kesadaran moral peserta didik.
c. Guru Sebagai fasilitator, apabila kita kembali mengingat teori
perkembangan moral manusia dari Kohlberg dengan 4 dalilnya
maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang memberikan
kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-
nilai pendidikan moral itu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya
tujuan pendidikan moral di sekolah membantu siswa mempertinggi
tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran moralnya sesuai
dengan tahapan dan tingkatannya.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
Menurut Mudjiran (2007:202) faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan moral yaitu:
a. Orang tua atau guru sebagai model
b. Ineraksi dengan teman sebaya.
Menurut Syamsu (2014:133) beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan moral anak, diantaranya sebagai berikut:
a. Konsisten dalam mendidik anak
Orang tua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama
dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada
anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada
suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada
waktu lain.
b. Sikap orang tua dalam keluarga
Secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak, sikap
ayah terhadap ibu atau sebaliknya, dapat mempengaruhi
perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan
(imitasi). Sikap orang tua yang keras (otoriter) cenderung
19
melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang
acuh tak acuh atau sikap masa bodoh cenderung mengembangkan
sikap kurang bertanggung jawab dan kurang memperdulikan
norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orang
tua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah, dan
konsisten.
c. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut
Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak,
termasuk panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua
yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara
memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama
kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral
yang baik.
d. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong
atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya
dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orang tua
mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata
yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orang
tua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak
akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan
ketidak konsistenan (ketidakajegan) orang tua sebagai alasan
untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya,
bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan moral seorang siswa
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak memperoleh nilai-nilai
moral dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya. Anak belajar
untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orang tua
sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil.
20
6. Proses Perkembangan Moral
Menurut Syamsu (2014:34) bahwa perkembangan moral anak
dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut:
a. Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian
tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk
oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Disamping itu,
yang paling penting dalam pendidikan moral ini adalah
keteladanan dari orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya
dalam melakukan nilai-nilai moral.
b. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru
penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi
idolanya (seperti orang tua, guru, kyai, artis, atau orang dewasa
lainnya).
c. Proses coba-coba (trial and error), yaitu dengan cara
mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah
laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus
dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan
hukuman atau celaan akan dihentikannya.
Dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan moral dengan
cara memberikan pendidikan secara langsung baik disekolah maupun
dikeluarga, siswa biasanya akan meniru orang yang ia kagumi atau
diidolakan.
7. Indikator Pendidikan Moral
Menurut Lickona dalam Doni Kusuma (2007) akan pentingnya tiga
komponen dari karakter yang baik yaitu moral knowing atau
pengetahuan tentang moral, moral feeling adalah perasaan tentang
moral dan moral action atau perilaku dan perbuatan bermoral. moral
knowing terdiri dari enam hal pokok yang seharusnya diajarkan yaitu:
a. adanya kesadaran moral
b. mengetahui nilai-nilai moral
c. perspective taking
d. penalaran moral
21
e. pengambilan keputusan
f. pemahaman diri sendiri.
Sementara moral feeling atau perasaan moral merupakan
sumber kekuatan untuk selalu bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip
moral. Dalam kaitan dengan perasaan moral ini juga terdapat enam hal
yang perlu ditanamkan kepada anak sesuai dengan tahapan
perkembangannya yaitu :
a. penajaman hati nurani
b. penguatan rasa percaya diri
c. peningkatan empathy atau pelatihan untuk dapat merasakan apa
yang dirasakan orang lain
d. mencintai kebenaran
e. kemampuan untuk dapat terus menerus mengontrol diri
f. upaya untuk mengasah kerendahan hati.
Moral action adalah perilaku yang didasari pertimbangan moral,
perilaku moral adalah pengejawantahan dari pengetahuan tentang
moral yang termanifestasi dalam tindakan atau perilaku nyata:
a. Perasaan
b. Sikap
c. Emosi
d. Kemauan
e. Keyakinan
f. Kesadaran
B. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
1. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD
Menurut Aryani (2010:63) mengatakan bahwa Hakekat
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah Dasar adalah sebagai
program pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai pancasila untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar
pada budaya bangsa yang diharapkan menjadi jati diri yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari hari.
22
Pelajaran yang dalam pembentukan diri yang beragam dari segi
agama, sosial, budaya, bahasa, usia, dan suku bangsa memfokuskan
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter seperti yang
diamanatkan oleh pancasila dan UUD 1945.
Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan suatu program mata pelajaran yang dapat menyisipkan
nilai-nilai moral yang terkandung dalam pancasila.
2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Menurut Suni (2008:167) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran
PKn dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan
kompetensi sebagai berikut:
a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
Kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak
secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat
hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia
secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang dikemukakan oleh
Djahiri (1995:10) adalah sebagai berikut:
a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung
keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu:
“Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur,
memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan
23
jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang
memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama,
perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab,
perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan
kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan
golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun
kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku
yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial
seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan menurut Sapriya (2001:147) tujuan pendidikan
Kewarganegaraan adalah dengan partisipasi yang penuh nalar dan
tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat
kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional
Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung
jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan
keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta.
Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan
lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak
tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta
dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang
sehat serta perbaikan masyarakat.
Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar
menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan
“warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan
negara, beragama, demokratis, dan Pancasila sejati”. (Somantri,
2001:279)
Sedangkan Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui
Pendidikan Kewarganegaraan siswa diharapkan untuk memahami dan
24
menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah,
dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI, menghayati maupun
meyakini tatanan dalam moral, dan mengamalkan suatu sikap perilaku
diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.
Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:30) bahwa
tujuan negara mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar
setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good
citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics
inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual
yang memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility),
dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Setelah
menelaah pemahaman dari tujuan Pendidikan Kewarganegaraan,
maka dapat di simpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
berorientasi pada penanaman konsep Kenegaraan dan juga bersifat
implementatif dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah untuk
menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku
yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan
nusantara , serta ketahanan nasional dalam diri seseorang.
Selain itu juga Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) bertujuan
untuk meningkatkan kualitas manusia yang berbudi luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, profesional, dan bertanggung
jawab.
C. Perilaku Siswa
1. Pengertian Perilaku
Menurut Gunarsa (1999:38) menyatakan bahwa perilaku adalah
sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai tata cara yang ada
dalam suatu kelompok. Berdasarkan pengertian diatas, perilaku adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh siswa sesuai dengan nilai-nilai
25
norma ataupun nilai yang ada dalam masyarakat yang sudah ada
sebelumnya dalam suatu kelompok sosial masyarakat.
Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah segala
perbuatan yang dilakukan oleh mahkluk hidup menurut Scheneider
(dalam Syamsu Yusuf 2003:14) mengartikan penyesuaian diri sebagai
“suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun
mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri,
ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan
(norma) lingkungan.
Menurut Kartono (1997:6) menyatakan bahwa perilaku adalah
segala aktivitas perbuatan, penampilan diri yang dilakukan manusia
dalam kehidupannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus dari luar oleh karena perilaku ini terjadi
melalui proses adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya
sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir, dan bersikap yang
merupakan refleksi dari berbagai aspek baik fisik maupun non fisik.
Perilaku juga dapat diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang
yang digolongkan dalam dua golongan yaitu bentuk pasif (tanpa
tindakan nyata) dan bentuk aktif (tindakan konkrit).
Seorang siswa harus belajar konsep belajar moral yang harus
diperhatikan dalam perilakunya terus menerus setiap kali ia menemui
situasi yang sama. Melalui orang lain maka ia dapat belajar bagaimana
tingkah laku yang baik. Orang lain dalam hal ini adalah guru
Pendidikan Kewarganegaraan.
Siswa merupakan salah satu lapisan masyarakat yang merupakan
bagian dari generasi muda sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa
dan bersumber daya manusia yang memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat yang khusus, serta memerlukan pembinaan
dan perlindungan dari orang tua maupun guru dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta
26
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
mereka.
Sejak lahir seorang siswa sudah mempunyai sifat seorang anak
dapat berbuat sesuatu adalah dari luar dirinya, keluarga dan lingkungan
dapat menjadi penentu baik buruknya tingkah laku seorang anak.
Apabila seorang anak mendapat kasih sayang cukup dari orang tuanya,
lingkungan serta mempunyai pendidikan, ia akan dapat berbuat dan
berperilaku yang baik.
Sebagai siswa yang telah menerima dan memperhatikan didikan
dari orang tua maupun guru di sekolah akan dapat berpikir secara
dewasa dan berkembang dengan baik terutama bagi siswa yang telah
dibimbing, dibina, dan diarahkan oleh gurunya disekolah diharapkan
dapat perilaku baik sesuai dengan kepribadian siswanya.
Perilaku dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu:
a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, seperti mengetahui situasi atau
rangsangan dari luar.
b. Perilaku dalam bentuk sikap, seperti batin terhadap keadaan
rangsangan dari luar dari subyek.
c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang suda konkret yang berupa
tindakan terhadap situasi atau rangsangan dari luar.
Dari pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa perilaku terjadi
karena adanya proses antara pemikiran dan sikap untuk melakukan
tindakan yang dirugikan.
Menurut Fauzan (2004:54) perilaku adalah gerak-gerik yang
berhubungan dengan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari seperti
bekerja, beriman, berpikir dan sebagainya. Dengan perilaku ini kita
akan mengenal seseorang, perilaku terbentuk melalui proses tertentu.
Dari pendapat diatas ternyata bahwa pembentukan perilaku itu
senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungan,
pembentukan perilaku itu senantiasa berlangsung dalam interaksi
manusia dengan lingkungan. Pembentukan dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kecerdasan, dorongan atau minat dan objek serta hasil
27
kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk
perilaku. Faktor-faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku
yang terbentuk, yang dapat diterima oleh individu itu sendiri dan
lingkungannya.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Siswa
Menurut Gunarsa (2007:141) menyatakan bahwa faktor yang akan
mempengaruhi perilaku anak adalah:
a. Lingkungan Rumah
Orang harus dapat menciptakan suatu keadaan dimana anak
berkembang dalam suasana ramah, jujur, kerjasama yang
diperlihatkan masing-masing anggota keluarga dalam hidup
mereka setiap hari sebaliknya sulit untuk menumbuhkan sikap-
sikap yang baik pada anak dikemudian hari, bilamana anak
tumbuh dan berkembang dalam suasana dimana anak hidup dalam
pertikaian, pertengkaran antara sesama anggota keluarga.
b. Lingkungan Sekolah
Hubungan antara murid dengan guru dan murid dengan
murid banyak mempengaruhi aspek kepribadian termasuk
perilaku anak yang memang masih memahami peraturan-
peraturan.
c. Lingkungan Teman Sebaya
Anak yang bertindak langsung sebagai pemimpin dengan
sikap-sikap menguasai anak-anak yang lain akan besar
pengaruhnya terhadap pola-pola sikap atau kepribadian. Maka
lingkungan teman sebaya juga menentukan dalam pembentukan
perilaku pada diri siswa.
d. Segi Keamanan
Perilaku yang diperlihatkan oleh seorang anak tidak
ditentukan oleh kepandaian, pengertian, atau pengetahuan yang
dimiliki anak, melainkan bergantung sepenuhnya kepada
penghayatan nilai-nilai keagamaan dan perilaku dan hubungannya
dengan anak yang lain.
28
Menurut Notoatmodjo (2003:27) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku siswa adalah
a. Genetika
b. Sikap
Suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku
tertentu.
c. Norma sosial
Pengaruh tekanan sosial.
d. Kontrol perilaku pribadi
Kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu
perilaku.
Menurut Gina (2003:124) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku ada tujuh, yakni:
a. Keturunan
Keturunan adalah pembawaan atau karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa. Keturunan sering disebut dengan pembawaan yang meliputi:
1) Tiap sifat makhluk hidup dikendalikan oleh faktor lingkungan.
2) Tiap pasangan merupakan penentu alternatif bagi keturunannya.
3) Pada waktu pembentukan sel kelamin, pasangan keturunan
memisah dan menerima pasangan faktor keturunan.
b. Lingkungan
Lingkungan sering disebut milu, environment atau nurture.
Lingkungan dalam pengertian psikologi adalah segala apa yang
berpengaruh pada diri individu dalam berperilaku. Lingkungan turut
berpengaruh terhadap perkembangan pembawaan dan kehidupan
manusia. Lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1) Lingkungan manusia, meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat
serta termasuk didalamnya kebudayaan, agama, dan taraf
kehidupan.
2) Lingkungan benda, benda yang terdapat disekitar manusia yang
turut memberi warna pada jiwa manusia yang disekitarnya.
29
3) Lingkungan geografis, lingkungan ini turut mempengaruhi corak
kehidupan manusia. Masyarakat yang tinggal didaerah pantai
mempunyai keahlian, kegemaran, dan kebudayaan yang berbeda
dengan manusia yang tinggal didaerah yang gersang. Pengaruh
lingkungan pada individu sebagai sasaran yaitu lingkungan
membuat individu sebagai makhluk sosial dan lingkungan
membuat wajah budaya bagi individu.
c. Emosi
Emosi merupakan konsep dasar dalam pembentukan perilaku.
Perubahan perilaku manusia dapat ditimbulkan akibat kondisi emosi.
Perubahan yang didasari emosi memungkinkan mengubah sifat atau
perilakunya. Emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang
disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan, dan proses
fisiologis.
d. Persepsi
Persepsi merupakan pengamatan pembentukan perilaku yang
berbeda karena pengamatannya berbeda. Pengalaman yang dihasilkan
dari indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan lain sebagainya
setiap orang memiliki persepsi yang berbeda meskipun obyeknya
sama.
e. Motivasi
Motivasi adalah daya dorong menjadi penguat terhadap
perilakunya. Dorongan untuk bertindak guna mencapai suatu tujuan
sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan fisiologi, psikologi, dan sosial.
f. Belajar
Ketika seseorang sudah matang masa perkembangannya, otomatis
akan mempengaruhi perkembangan psikis seseorang. Kematangan dan
perkembangan menampilkan kemampuan seseorang sesuai kebutuhan.
g. Intelegensi
Ketika seseorang mempunyai intelegensi tinggi, akan memberikan
kegunaan pada perilakunya. Kemampuan seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.
30
Menurut Wilson (2003:142) menyatakn bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku adalah:
a. Faktor personal
Faktor personal adalah faktor biologis terlibat dalam seluruh
kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor
sosiopsikologis.
Faktor sosiopsikologis dapat diklasifikasikan kedalam tiga
komponen, yaitu:
1) Komponen afektif, merupakan aspek emosional dari
sosiopsikologis.
2) Komponen kognitif, aspek intelektual yang berkaitan dengan apa
yang diketahui manusia.
3) Komponen situsional, perilaku manusia yang dipengaruhi oleh
lingkungan atau situasi.
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan faktor-
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku siswa adalah faktor biologis
dan faktor sosiologis. Dari faktor biologis perilaku siswa berasal dari
genetik. Jika genetiknya memiliki perilaku yang baik, maka perilaku
yang dilakukan juga akan mencerminkan perilaku yang baik. Namun,
ketika genetiknya kurang baik maka perilaku yang dilakukan juga akan
mencerminkan perilaku yang kurang baik pula. Dari faktor sosiologis,
perilaku siswa meliputi komponen afektif (sikap), komponen kognitif
(pengetahuan), serta komponen konatif (kebiasaan dan kemauan
bertindak)
3. Faktor Pembentukan Perilaku siswa
Menurut Gita (2005:21) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
memegang peranan dalam pembentukan perilaku dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Faktor Internal
Faktor internal yaitu kecerdasan, persepsi, motivasi, minat,
emosi, dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari
luar.
31
b. Faktor eksternal
Faktor internal yaitu obyek, orang, kelompok, dan hasil-hasil
kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk
perilaku yang selaras dengan lingkungannya, dan dapat diterima
oleh individu yang bersangkutan.
Dapat disimpulkan bahwa faktor pembentukan perilaku siswa
yaitu terdiri atas dua faktor yaitu fator internal yang berasal dari diri
sendiri dan juga faktor ekternal yang berasal dari lingkungan dimana
ia tinggal.
4. Proses Pembentukan Perilaku
Menurut Walgito (2003:146) pembentukan perilaku dibagi
menjadi tiga cara sesuai keadaan yang diharapkan, yakni:
a. Cara pembentukan perilaku dengan kebiasaan
Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan
kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku
seperti yang diharapkan, maka akhirnya akan terbentuklah
perilaku tersebut.
b. Pembentukan perilaku dengan cara pengertian
Disamping pembentukan perilaku dengan cara kebiasaan,
pembentukan perilaku juga dapat ditempuh dengan pengertian.
Cara ini didasarkan atas teori belajar kognitif yaitu belajar disertai
dengan adanya pengertian.
c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model
Pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan menggunakan
model atau contoh. Pemimpin atau guru dijadikan model atau
contoh bagi yang dipimpinnya yaitu siswa.
Menurut Notoatmodjo, 2003:174, mengungkapkan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang
tersebut terjadi proses pembentukan perilaku yaitu:
a. Kesadaran (Awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus atau rangsangan baru.
32
b. Tertarik (Interest)
Dimana orang mulai tertarik pada stimulus atau rangsangan
baru.
c. Evaluasi (Evaluation)
Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus
atau rangsangan tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti bersikap
responden sudah lebih baik lagi.
d. Mencoba (Trial)
Dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Menerima (Adoption)
Dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus atau
rangsangan baru.
Maka dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan perilaku
ialah dengan kebiasaan, kesadaran, imitasi dan menerima perilaku
baru sesuai dengan apa yang ia lihat.
5. Indikator perilaku siswa
Menurut Paul Suparno (2002:63) mengenai indikator perilaku
siswa adalah sebgaai berikut:
1. Jujur
2. Tolong menolong
3. Tanggung jawab
4. Interaksi sosial
5. Peduli lingkungan
6. Tata krama
D. Kerangka Pemikiran
Menurut Muhammad Nurdin. (2010:103). Guru adalah pendidik,
yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau
bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya
agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan
33
tugasnya sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi, sebagai makhluk
sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri.
Menurut Hadari Nawawi (2007:164), mengatakan bahwa guru
adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang
ikut bertanggung jawab serta membantu anak-anak dalam mencapai
kedewasaan masing-masing.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. (Nurul Zuriah, 2008:26)
Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk karakter
peserta didik. Tujuan yang diharapkan dalam pendidikan tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dalam pasal 3 yang isinya adalah: pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Menurut Aryani (2010:63) mengatakan bahwa Hakekat Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah Dasar adalah sebagai program
pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai pancasila untuk mengembangkan
dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa
yang diharapkan menjadi jati diri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku
dalam kehidupan sehari hari.
Pelajaran PKn yang dalam pembentukan diri yang beragam dari
segi agama, sosial, budaya, bahasa, usia, dan suku bangsa memfokuskan
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara
34
Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter seperti yang diamanatkan
oleh pancasila dan UUD 1945.
Moral merupakan suatu nilai hidup yang amat penting
dipertahankan supaya tindakan dan pemikiran manusia tidak bercanggah
dengan fitrah kejadian manusia, alam dan segala kehidupan di muka bumi
ini.
Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau
pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang disampaikan dalam
pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain afektif. Nilai-
nilai afektif tersebut antara lain, meliputi: perasaan, sikap, emosi,
kemauan, keyakinan, dan kesadaran.
Pendidikan Moral ialah satu program yang mendidik pelajar
supaya menjadi insan yang bermoral atau berakhlak mulia dengan
menekankan aspek perkembangan pemikiran moral, perasaan moral dan
tingkah laku moral. Terdapat berbagai pandangan tentang konsep moral
dan konsep pendidikan moral yang juga bersifat “multi- dimensional”.
(Sugarman, 2007:76)
Seseorang yang berpegang pada pandangan yang tertentu akan
mempengaruhi pemikiran dan kehidupannya seterusnya melahirkan insan
yang berbeda dari aspek kemoralan.
Menurut Gunarsa (2007:97) menyatakan bahwa perilaku adalah
sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai tata cara yang ada
dalam suatu kelompok. Berdasarkan pengertian diatas, perilaku adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh siswa sesuai dengan nilai-nilai
norma ataupun nilai yang ada dalam masyarakat yang sudah ada
sebelumnya dalam suatu kelompok sosial masyarakat.
Menurut Kartono, (1997:6) menyatakan bahwa perilaku adalah
segala aktivitas perbuatan, penampilan diri yang dilakukan manusia dalam
kehidupannya.
Siswa merupakan salah satu lapisan masyarakat yang merupakan
bagian dari generasi muda sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan
bersumber daya manusia yang memiliki peran strategis dan mempunyai
35
ciri dan sifat yang khusus, serta memerlukan pembinaan dan perlindungan
dari orang tua maupun guru dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala
kemungkinan yang akan membahayakan mereka.
Gambar 2.1 Hubungan Pendidikan Moral dengan Perilaku Siswa
E. Penelitian Yang Relevan
Dari judul diatas, dapat dikaitkan dengan berbagai karya ilmiah
yang relevan. Berikut ini beberapa karya ilmiah yang memiliki tema yang
mirip dengan tema skripsi ini, diantaranya yaitu:
1. Alfiah dalam penelitian skripsi tahun 2006 yang berjudul “Hubungan
Pengajaran Akidah Akhlak Dengan Perilaku Belajar Siswa di MAN
Karangampel Kabupaten Indamayu” menyimpulkan bahwa terdapat
korelasi antara pengajaran akidah akhlak dengan perilaku belajar
siswa yang mendapatkan signifikasi sedang akan mendekati tinggi
(0,70), artinya perilaku belajar siswa akan lebih baik lagi apabila
ditunjang dengan penambahan pengajaran akidah akhlak yang lebih
profesional lagi. Sedangkan pengalaman pengajaran akidah akhlak
yang mendapatkan signifikasi cukup baik dengan prosentase sebesar
Perilaku Siswa
Pendidikan Moral
Guru
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn)
36
58% dan perilaku belajar akidah akhlak mencapai nilai 54% yang
berarti cukup baik.
2. Lilik Musyafa’ah dalam penelitian skripsi tahun 2003 yang berjudul
“Hubungan Hasil Belajar Mata Pelajaran Akidah Akhlak Dengan
Perilaku Siswa di MTs Riyadlul’Ulum Desa Bendungan Kecamatan
Pangenan Kabupaten Cirebon” menyimpulkan bahwa 1) prestasi
belajar siswa pada mata pelajaran akidah akhlak mencapai nilai rata-
rata 7,3 (kategori baik), 2) perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari
belum menunjukkan hasil yang maksimal karena hanya 23,7% yang
berada pada kategori baik. 3) korelasi antara hasil belajar dengan
perilaku siswa diperoleh r hitung sebesar 0,53 (korelasi cukup).
3. Jaka Setiawijaya dalam penelitian skripsi tahun 2003 yang berjudul “
Hubungan Pendidikan Akhlak Dengan Perilaku Santri Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Darussalam Desa Pipitan Kecamatan
Walantaka Kabupaten Serang” menyimpulkan bahwa pendidikan
Islam yang dilaksanakan sudah cukup baik dengan rata-rata skor
sebesar 3,3. Sedangkan akhlak santri TPA “Darussalam” juga
tergolong cukup, yakni skor rata-rata sebesar 3,4. Dan hubngan antara
pendidikan akhlak dengan perilaku santri TPA darussalam
menunjukkan korelasi positif yang tergolong tinggi, yakni 0,81 atau
81%.
Dari ketiga penelitian diatas tidak ada yang sama perisis
permasalahannya dengan masalah yang diteliti yaitu 1) pada
penelitian pertama yang digunakan adalah pengajaran akidah akhlak.
2) pada penelitian yang kedua yang digunakan adalah hasil belajar
mata pelajaran akidah akhlak. 3) pada penelitian ketiga yang
digunakan adalah pendidikan akhlak. Namun dari ketiga hasil
penelitian tersebut memiliki persamaan dengan masalah yang diteliti
yaitu sama-sama masalah “hubungan perilaku siswa”.
Dengan demikian, penelitian yang berjudul “Hubungan Antara
Pendidikan Moral Dengan Perilaku Siswa”, dapat dilakukan karena
37
masalah yang diteliti bukan duplikasi dari penelitian-penelitian
sebelumnya.