15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN TENTANG KEDISIPLINAN SISWA MA ROUDHOTUN
NASYI’IN
1. Pengertian Kedisiplinan siswa
Kedisiplinan berasal dari kata disiplin. Kennet W. Requena menjelaskan
tentang kata disiplin yang dalam bahasa inggris discipline, berasal dari akar kata
bahasa latin yang sama (discipulus) yang dengan kata discipline mempunyai
makna yang sama yaitu mengajari atau mengikuti pemimpin yang dihormati
(Kenneth, 2005:12). Kedisiplinan merupakan suatu hal yang sangat mutlak dalam
kehidupan manusia, karena seorang manusia tanpa disiplin yang kuat akan
merusak sendisendi kehidupannya, yang akan membahayakan dirinya dan
manusia lainnya, bahkan alam sekitarnya.1
Pengertian disiplin secara konvensional mengajarkan bahwa hadiah dalah
pendorong terbaik dalam membantu individu untuk melakukan sesuatu yang lebih
baik. Dan salah satu prinsip pembentuk disiplin adalah mengajari seseoarang
untuk melakukan hal yang benar agar memperoleh perasaan yang nyaman yang
hakiki saat melakukan sesuatu dan memberikan kontribusi kepada masyarakat
(Kenneth W, 2005:12).
Dalam pembelajaran dikenal dengan sebutan mental discipline. Mental
discipline adalah teori yang latihan khususnya menghasilkan perbaikan fungsi
1 Hani, Strategi Pengembangan Kedisiplinan di Madrasah Ibtidaiyah
Negri Olak-Alen Selorejo Blitar, Skripsi (Fakultas Tarbiyah UIN Maliki
Malang, 2008, hal. 17
16
atau perbaikan umum pada kemampuan mental (mental ability). Kata disiplin
semula disinonimkan dengan education (pendidikan), sedangkan dalam pengertian
modern pengertian dasarnya adalah kontrol terhadap kelakuan, baik oleh suatu
kekuasaan luar ataupun oleh individu sendiri. Jadi mental discipline berarti
kontrol terhadap mental sehingga mempunyai kemampuan.2
Soegeng Prijodarminto, SH. Dalam bukunya “Disiplin Kiat Menuju
Sukses” disiplin didefinisikan sebagai suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk
melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan ketaatan, kepatuhan,
keteraturan dan, atau ketertiban. Nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian perilaku
dalam kehidupannya. Perilaku itu tercipta melalui proses binaan melalui keluarga,
pendidikan dan pengalaman.3
Sikap dan perilaku demikin ini tercipta melalui proses binaan melalui
keluarga, pendidikan dan pengalaman atau pengenalan keteladanan dari
lingkungannya. Disiplin akan membuat dirinya tahu dan membedakan hal-hal apa
yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang boleh dilakukan, yang
tidak sepatutnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang dilarang).4
Menurut E.B Hurlock bahwa disiplin berasal dari kata yang sama dengan
“disciple”, yakni seseorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti
seorang pemimpin. Orang tua dan guru merupakan pemimpin, dan anak
merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang berguna dan bahagia.
2 Muhaimin, dkk., Strategi Belajar Mengajar, CV. Citra Media,
Surabaya, 1996, hal. 21
3 Soegeng Prijodarminto, Disiplin Kiat Menuju Sukses, PT Pradnya
Pramita cetakan kedua, Jakarta, 1993, hal. 23
4 Ibid.,
17
jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang
disetujui oleh kelompok.5
Anak yang memiliki kedisiplinan diri memiliki keteraturan diri
berdasarkan nilai agama, nilai budaya, aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup
dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan
negara. Artinya tanggung jawab orang tua adalah mengupayakan agar anak
berdisiplin diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang
menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia dan lingkungan alam dan
makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral. Orang tua yang mampu seperti
diatas berarti mereka telah mencerminkan nilai-nilai moral dan bertanggung jawab
untuk mengupayakannya.
Secara etimologis, disiplin berasal dari kata latin discipulus, yang berarti
siswa atau murid. Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut mengalami
perubahan bentuk dan perluasan arti. Diantaranya arti dari kata disiplin yaitu
ketaatan, metode pengajaran, mata pelajaran, dan perlakuan yang cocok bagi
seseorang murid atau pelajar. Dibidang psikologi dan pendidikan maka disiplin
berhubungan dengan perkembangan, latihan fisik, mental, serta kapasitas moral
anak melalui pengajaran dan praktek. Kata disiplin juga berarti hukuman atau
latihan yang membetulkan serta kontrol yang memperkuat ketaatan. Dan makna
lain dari kata disiplin ialah “seseorang yang mengikuti pemimpinnya”.6
5 Hurlock, E. B., Perkembangan Anak Jilid 2, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 1993, hal 82
6 Dolet Unaradjan, Manajemen Disiplin, PT Gramedia, Jakarta, 2003
hal. 8
18
Disiplin merupakan latihan waktu dan batin agar segala perbuatan
seseorang sesuai dengan peraturan yang ada. Dan disiplin berhubungan dengan
pembinaan, pendidikan, serta perkembangan pribadi manusia. Yang menjadi
sasaran pembinaan dan pendidikan ialah individu manusia dengan segala
aspeknya sebagai suatu keseluruhan. Semua aspek tersebut diatur, dibina, dan
dikontrol hingga pribadi yang bersangkutan mampu mengatur diri sendiri.7
Menurut KBBI bahwa disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan kepada
peraturan (tata tertib). Disiplin adalah sikap mental untuk mau mematuhi
peraturan dan bertindak sesuai dengan peraturan secara suka rela. Adapun
penanaman disiplin adalah usaha melatih dan mengajarkan seseorang untuk selalu
bertindak sesuai dengan peraturan yang ada secara suka rela.8
Andi (1995:28) mendefinisikan disiplin adalah kepatuhan seorang santri
untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang
untuk tunduk pada keputusan, perintah atau peraturan yang berlaku. Dengan kata
lain disiplin santri adalah kepatuhan seorang santri untuk mentaati peraturan dan
ketentuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut G. R Terry (1993:218)
mengatakan bahwa disiplin merupakan suatu kemampuan individu yang terjadi
disebabkan karena atas dasar kesadaran dan kerelaan diri maupun oleh perintah
atau tuntutan yang lain.9
7 Unaradhan, Ibid., hal. 9
8 Nur Iffah Fidyatin, Hubungan Antra Kecerdasan Emosi dengan
Prestasi Belajar Siswa Kelas II MTsN Tembelang Jombang , Skripsi (Malang:
Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang), 2010, hal. 18
9 Fatur Rohman, Hubungan Kedisiplinan Menjalankan Sholat Wajib
dengan Kontrol Diri, Skripsi, (Malang: Fakultas Psikologi UIN Maliki
Malang), 2011, hal. 16-17
19
Dari beberapa definisi dari para tokoh tersebut diatas, dapat diambil
kesimpulan bahwa kedisiplinan bagi santri merupakan suatu sikap atau perilaku
yang menunjukkan nilai ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan, tata
tertib, norma-norma bagi santri yang mampu menyesuaikan prosedur suatu
lembaga pesantren yang berlaku yang disebabkan atas dasar kesadaran ataupun
kerelaan diri maupun oleh suatu perintah ataupun juga tuntutan yang lain baik
tertulis maupun yang tidak tertulis, yang tercermin dalam bentuk tingkah laku
(perilaku) dan sikap. Dengan adanya peraturan baik tertulis ataupun tidak tertulis
diharapkan agar para santri memiliki sikap dan perilaku disiplin yang tinggi dalam
menjalankan sholat tahajjud dan pada disiplin-disiplin lainnya.
2. Aspek-Aspek Kedisiplinan
Menurut Prijodarminto kedisiplinan memiliki 3 (tiga) aspek. Ketiga
aspek tersebut adalah:
a. sikap mental (mental attitude) yang merupakan sikap taat dan tertib sebagai
hasil atau pengembangan dari latihan, pengendalian pikiran dan pengendalian
watak.
b. pemahaman yang baik mengenai sistem peraturan perilaku, norma, kriteria,
dan standar yang sedemikan rupa, sehingga pemahaman tersebut
menumbuhkan pengertian yang mendalam atau kesadaran, bahwa ketaatan
akan aturan. Norma, dan standar tadi merupakan syarat mutlak untuk
mencapai keberhasilan (sukses).
c. sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati, untuk
mentaati segala hal secara cermat dan tertib. Dalam hal ini berarti kedisiplinan
20
memiliki tiga aspek penting, antara lain yaitu sikap mental, pemahaman yang
baik mengenai aturan perilaku, dan sikap kelakuan yang menunjukkan
kesungguhan hati untuk menataati aturan yang ada.10
3. Indikator Kedisiplinan
Indikasi perilaku kedisiplinan yang dikutip dari Rahman (2011:25)
adalah suatu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat dikategorikan
mempunyai perilaku disiplin. Indikasi tersebut antara lain yaitu:
a. Ketaatan terhadap peraturan
Peraturan merupakan suatu pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Pola
tersebut dapat ditetapkan oleh orang tua, guru, pengurus atau teman bermain.
Tujuannya adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang
disetujui dalam situasi tertentu. Dalam hal peraturan sekolah misalnya,
peraturan mengatakan pada anak apa yang harus dan apa yang tidak boleh
dilakukan sewaktu berada disekolah seperti memakai seragam sesuai dengan
jadwal yang ditentukan. Peraturan tersebut juga berlaku dilingkungan
pesantren, seperti memakai busana sesuai dengan peraturan yang ditetapkan
pesantren.
b. Kepedulian terhadap lingkungan
Pembinaan dan pembentukan disiplin ditentukan oleh keadaan lingkungannya.
Keadaan suatu lingkungan dalam hal ini adalah ada atau tidaknya sarana-
sarana yang diperlukan bagi kelancaran proses belajar mengajar ditempat
tersebut, dan menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan dimana mereka
berada. Yang termasuk sarana tersebut lain seperti gedung sekolah dengan
10
Prijodarminto, Op. Cit., hal. 23-24
21
segala perlengkapannya, pendidik atau pengajar, serta sarana-sarana
pendidikan lainnya, dalam hal ini seperti juga lingkungan yang berada di
pesantren seperti kamar tidur, mushola dan juga kamar mandi.
c. Partisipasi dalam proses belajar mengajar
Partisipasi disiplin juga bisa berupa perilaku yang ditunjukkan seseorang yang
keterlibatannya pada proses belajar mengajar. Hal ini dapat berupa absen dan
datang dalam setiap kegiatan tepat pada waktunya, bertanya dan menjawab
pertanyaan guru, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan tepat waktu,
serta tidak membuat suasana gaduh dalam setiap kegiatan belajar.
d. Kepatuhan menjauhi larangan
Pada sebuah peraturan juga terdapat larangan-larangan yang harus dipatuhi.
Dalam hal ini larangan yang ditetapkan bertujuan untuk membantu
mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Seperti larangan untuk tidak
membawa benda-benda elektronik seperti handphone, radio, dan kamera, dan
juga larangan untuk tidak terlibat dalam suatu perkelahian antar santri yang
merupakan susatu bentuk perilaku yang tidak diterima dengan baik di
lingkungan pesantren.11
Dapat disimpulkan bahwa indikasi kedisiplinan yaitu ketaatan terhadap
peraturan, kepedulian terhadap lingkungan, partisipasi dalam proses belajar
mengajar dan kepatuhan menjauhi larangan di lingkungan tempat tinggal.
11
Rahman, Op. Cit., hal. 25
22
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kedisiplinan Siswa
Kedisiplinan bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara otomatis atau
spontan pada diri seseorang melainkan sikap tersebut terbentuk atas dasar
beberapa faktor yang mempengaruhinya.
a. Faktor Intern
Yaitu faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, faktor-faktor
tersebut meliputi:
1) Faktor Pembawaan
Menurut aliran nativisme bahwa nasib anak itu sebagian besar berpusat
pada pembawaannya sedangkan pengaruh lingkungan hidupnya sedikit
saja. Baik buruknya perkembangan anak. Sepenuhnya bergantung pada
pembawaannya.12
Pendapat itu menunjukkan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan orang bersikap disiplin adalah pembawaan yang merupakan
warisan dari keturunannya seperti yang dikatakan oleh John Brierly,
“Heridity and environment interact in the production of each and every
character”.13
12
Muhammad Kasiran, Ilmu Jiwa Perkembangan, Usaha Nasional,
Surabaya, 1983, hal: 27
13
John Brierly, Give me A Child Until The is Seven, Brain Stadies
Early Childhood Education, The Falmer Perss, London and Washington DC,
1994, hal: 98.
23
2) Faktor Kesadaran
Kesadaran adalah hati yang telah terbuka atas pikiran yang telah terbuka
tentang apa yang telah dikerjakan.14
Disiplin akan lebih mudah ditegakkan
bilamana timbul dari kesadaran setiap insan, untuk selalu mau bertindak
taat, patuh, tertib, teratur bukan karena ada tekanan atau paksaan dari
luar.15
3) Faktor Minat dan Motivasi
Minat adalah suatu perangkat manfaat yang terdiri dari kombinasi,
perpaduan dan campuran dari perasaan-perasaan, harapan, prasangka,
cemas, takut dan kecenderungan-kecenderungan lain yang bisa
mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu.16
Sedangkan motivasi
adalah suatu dorongan atau kehendak yang menyebabkan seseorang
melakukan suatu perbuatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.17
4) Faktor Pengaruh Pola Pikir
Menurut Ahmad Amin mengatakan bahwa pikiran itu tentu mendahului
perbuatan, maka perbuatan berkehendak itu dapat dilakukan setelah
14
Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta,
1994, hal: 152.
15
Soegeng Prijodarminto, Loc. Cit.
16
Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Karir di Sekolah-Sekolah, CV.
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal:46.
17
Tursan Hakim, Belajar Secara Efektif, Puspa Swara, Jakarta, 2001,
hal: 26.
24
pikirannya.18
Pola pikir yang telah ada terlebih dahulu sebelum tertuang
dalam perbuatan sangat berpengaruh dalam melakukan suatu kehendak
atau keinginan. Jika orang mulai berpikir akan pentingnya disiplin maka ia
akan melakukannya.
b. Faktor Ekstern
Yaitu faktor yang berada di luar diri orang yang bersangkutan. Faktor
ini meliputi:
1) Contoh atu Teladan
Teladan atau modelling adalah contoh perbuatan dan tindakan sehari-hari
dari seseorang yang berpengaruh. Keteladanan merupakan salah satu
teknik pendidikan yang efektif dan sukses, karena teladan itu menyediakan
isyarat-isyarat nonverbal sebagai contoh yang jelas untuk ditiru.19
Menurut
Abudin Nata, metode ini dianggap penting karena aspek agama yang
terpenting yaitu akhlak yang termasuk dalam kawasan efektif yang
terwujud dalam bentuk tingkah laku.20
2) Nasihat
Di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh katakata yang
didengar.21
Oleh karena itu teladan dirasa kurang cukup untuk
18
Ahmad Amin, Etika, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal: 30.
19
Charles Schaefer, Op. Cit., hal:14.
20
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 2001,
hal: 95.
21
Muhammad Qutb, Op. Cit., hal: 334
25
mempengaruhi seseorang agar berdisiplin. Menasihati berarti memberi
saran-saran percobaan untuk memecahkan suatu masalah berdasarkan
keahlian atau pandangan yang objektif.22
Dalam Bahasa Inggris nasihat
disebut advice yaitu opinion about what to do, how to behave. pendapat
tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana bertingkah laku).23
3) Faktor Latihan
Melatih berarti memberi anak-anak pelajaran khusus atau bimbingan untuk
mempersiapkan mereka menghadapi kejadian atau masalah-masalah yang
akan datang.24
Latihan melakukan sesuatu dengan disiplin yang baik dapat
dilakukan sejak kecil sehingga lama-kelamaan akan terbiasa
melaksanakannya, jadi dalam hal ini sikap disiplin yang ada pada
seseorang selain berasal dari pembawaan bisa dikembangkan melalui
latihan.
4) Faktor Lingkungan
Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pendidikan yaitu
lingkungan, demikian juga dalam disiplin. Lingkungan sekolahan misalnya
dalam kesehariannya siswa terbiasa melakukan kegiatan yang tertib dan
teratur karena lingkungan yang mendukung serta memaksanya untuk
berdisiplin.
22
Charles Schaefer, Op. Cit., hal:130.
23
AS Horby, Oxford Advanced Dictionary of Current English,
Oxford University Press, Oxford, 1986, hal: 14.
24
Charles Schaefer, Op. Cit., hal: 176.
26
5) Faktor Pengaruh Kelompok
Pembawaan dan latihan memang sangat berpengaruh dalam kedisiplinan,
perubahan dari lahir yang ditunjang latihan bisa dikembagkan jika
terpengaruh oleh suatu kelompok yang berdisiplin, tapi pembawaan yang
baik ditunjang dengan latihan yang baik bisa jadi tidak baik jika
terpengaruh oleh suatu kelompok yang tidak baik demikian juga
sebaliknya.
Seperti dikemukakan oleh Zakiyah Daradjat bahwa para remaja sangat
memperhatikan penerimaan sosial dari teman-temannya, ingin
diperhatikan dan mendapat tempat dalam kelompok teman-temannya
itulah yang mendorong remaja meniru apa yang dibuat, dipakai dan
dilakukan teman-temannya.25
B. TINJAUAN TENTANG PONDOK PESANTREN
1. Pengertian Pondok Pesantren
Sebelum tahun 60-an pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan
Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah ini berasal dari pengertian
asrama para santri yang disebut pondok atau tempat yang dibuat dari bambu, atau
kata pondok berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti asrama.26
Lebih luas
lagi Arifin mendifinisikan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan
25
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970,
hal. 88.
26
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3eS, 1985), Cet.Ke-4, hal. 18-19
27
sistem asrama (pondok) di mana para santri menerima pendidikan agama melalui
sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah kedaulatan dari
leadership seorang atau beberapa ustadz atau kyai dengan ciri-ciri khas yang
bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
Seorang guru atau ustadz dalam pondok pesantren juga sebagai
pembimbing utama para santri, artinya segala pola kehidupan baik dalam bidang
keilmuan maupun perilaku dalam kehidupan sehari-harinya, dapat dijadikan
uswah dalam membimbing pola kehidupan santri-santrinya. Earl V. Pullis dan
James D Young (1968) menyatakah bahwa guru (ustadz) ialah:
“The teacher is a guide on the journey of learning. As a guide, because of
his experience, his knowledge of the road and of the travelers, and of his
great interes in their learning, he assumes major responsibility for the
trip”. “Seorang guru adalah pembimbing dalam pembelajaran. Disebut
pembimbing sebab dalam pengalamannya, pengetahuannya tentang jalan
yang akan dilalui oleh orang yang akan melakukan perjalanan, dan
memiliki ketertarikan yang besar terhadap pembelajaran, dia diasumsikan
sebagai orang yang bertanggung jawab dalam perjalanan itu.”27
Zamakhsari Dhofier juga menyebutkan beberapa elemen dasar yang
merupakan ciri khas dari pondok pesantren yaitu: pondok atau asrama, tempat
belajar mengajar atau masjid, santri, pengajaran kitab-kitab agama berbentuk
kitab-kitab yang berbahasa Arab dan klasik atau kitab kuning, dan kyai atau
ustadz.28
2. Metode Pendidikan Pondok Pesantren
Di pesantren setidaknya ada 6 (enam) metode pendiidkan yang
diterapkan dalammembentuk prilaku santri, yakni:
27
Earl V. Pullis and James D. Young, A Teacher is Many Things,
(USA: Indiana University Press, 1968), hal. 32
28
Zamakhsari Dhofier, Op. Cit., hal. 44
28
a. Metode Keteladanan
Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk
mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan perilaku lewat
keteladanan adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh
kongkrit bagi para santri, di pesantren pemberian contoh keteladanan sangat
ditekankan. Kyai dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik
bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun
yang lain, karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa
yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang kyai atau ustadz menjaga
tingkah lakunya maka semakin didengar ajarannya.29
b. Metode Latihan dan Pembiasaan
Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiasaan adalah mendidik dengan
cara memberikan latihan-latihan terhadap norma kemudian membiasakan
santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini
biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat
berjamaah, kesopanan pada kyai dan ustadz, pergaulan dengan sesama santri
dan sejenisnya. Sehingga tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri
sangat hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya
pada adik-adik junior, mereka memang dilatih dan dibiasakan untuk bertindak
demikian. Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akanmenjadi akhlak
yang terpatri dalam diri dan menjadi yang tidak terpisahkan. Al Ghazali
menyatakan:
29
Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Perjuangan dan pemikirannya, LkiS,
Yogyakarta, 1999, hal 10
29
“Sesungguhnya prilaku manusia menjadi kuat dengan seringnya dilakukan
perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa
yang dilakukannya adalah baik” 30
c. Mendidik Melalui Ibrah
Secara sederhana, Ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalamarti
umum biasanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap
peristiwa. Menurut Abd. Rahman al Nahlawi mendefinisikan Ibrah dengan
suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari
suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-
timbang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat
mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalumendorongnya kepada
prilaku yang sesuai.31
Tujuan Paedagogis dari Ibrah adalah mengantarkan manusia pada kepuasan
pikir tentang perkara agama yang bisa menggerakkan, mendidik atau
menambah perasaan keagamaan. Adapun pengambilan Ibrah bisa dilakukan
melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang
terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang.32
d. Mendidik Melalui Mauidzah
Mauidzah berarti nasehat. Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut:
30
Al Gazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III, Dar-al Mishri, Beirut, 1977,
hal. 61
31
Abd Rahman an Nahlawi, Prinsip-prinsip dn Metode Pendidikan
Islam, diterjemahkan Dahlan & Sulaiman, (Bandung; Diponegoro, 1992) hal
390
32
Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren: Solusi Bagi Kerusakan
Akhlak, ITTIQA Press, Yogyakarta, 2001, hal. 57
30
“Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan
jalan apa yang dapat meneyentuh hati dan membangkitkannya untuk
mengamalkannya”.33
Metode maidzah, harus mengandung tiga unsur, yakni: a) uraian tentang
kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seorang, dalam hal ini
santi, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan
dalam beramal; b) motivasi dalam melakukan kebaikan; c) peringatan tentang
dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri
maupun orang lain.34
e. Mendidik Melalui Kedisiplinan
Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga
kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identic dengan pemberian
hukuman atau sangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa
apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya
lagi.35
Pembentukan lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan mengharuskan
seorang pendidik memberikan sangsi bagi para pelanggar, sementara
kebijaksanaan mengharuskan pendidik berbuat adil dan arif dalam
memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan mengharuskan
pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan sangsi, tidak terbawa emosi
33
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid II, Maktabah al-Qahirah,
Mesir, tt, hal. 404
34
Tamyiz Burhanuddin, Op. Cit, hal. 57-58
35
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya,
1990, hal. 234
31
atau dorongan lain. Dengtan demikian sebelum menjatuhkan sangsi, seorang
pendidik harus memperhatikan beberapa hal berikut: a) perlu adanya bukti
yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran; b) hukuman harus bersifat
mendidik, bukan sekedarmemberi kepuasan atau balas dendam dari si
pendidik; c) harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang
melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau
jenis pelanggaran disengaja atau tidak.
Dipesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir. Takzir adalah
hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar.36
Hukuman yang
terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan
kepadasantri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak
bisa diperbaiki. Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan
pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren.
f. Mendidik Melalui Targhib wa Tahzib
Metode ini terdiri atas metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain: targhib
dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang
senang melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman
untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar. Tekanan metode targhib
terletak pada harapan untuk melakuka kebijakan, sementara tekanan metode
tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa.37
Meski demikian metode ini tidak sama pada metodehadiah dan hukuman.
Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak
37
Abd. Rahman An Nahlawi, Op. Cit., hal. 412
32
dicapai. Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang
hendak dicapai. Targhib dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang
tujuannya memantapkan rasa keagamaan dan membangkitkan sifat
rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat. Adapun metode hadiahdan
hukuman berpijak pada hukum rasio (hukum akal) yang sempit (duniawi)
yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode ini
biasanya diterapkan dalam pengajianpengajian, baik sorogan maupun
bandongan.38
g. Mendidik Melalui Kemandirian
Kemandirian tingkah laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan
melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan
keputusan santri yang bisa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat-penting monumental dan
keputusan yang bersifat harian.
C. TINJAUAN TENTANG LINGKUNGAN KELUARGA
1. Pengertian Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak yang memiliki
kontribusi bagi perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik anak
dalam kehidupannya. Adapun pengertian keluarga secara etimologi adalah
suatu kesatuan (unit) dimana anggota-anggotanya mengabdikan diri kepada
kepentingan dan tujuan tersebut (Uyoh Sadulloh, 2006: 182).
38
Tamyiz Burhanuddin, Op. Cit, hal 61
33
B. Boston yang dikutip oleh Ishak Sholeh (1983: 11) mengatakan,
keluarga adalah suatu kelompok pertalian nasab keluarga yang dapat dijadikan
tempat untuk membina/membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan hidup
lainnya. Sehingga sangat jelaslah bahwa pendidikan keluarga adalah
bantuan/pertolongan yang diberikan orang tua kepada anaknya, agar anak itu
dapat menjadi dewasa dan senantiasa terarah dalam kehidupannya.
Pendidikan keluarga merupakan bagian jalur pendidikan luar sekolah
yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai
budaya, nilai moral dan keterampilan (UU Sistem Pendidikan Nasional No. 2
Tahun 1989).
2. Fungsi Pendidikan Keluarga
Fungsi keluarga menurut Soelaeman (1994:85-115), antara lain:
a. Fungsi edukatif adalah yang mengarahkan keluarga sebagai wahana
pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya agar dapat
b. Fungsi sosialisasi anak adalah keluarga memiliki tugas untuk mengantarkan
dan membimbing anak agar dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial
(masyarakat), sehingga kehadirannya akan diterima oleh masyarakat luas.
menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai dengan
tuntutan kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi.
c. Fungsi proteksi (perlindungan) adalah keluarga berfungsi sebagai wahana atau
tempat memperoleh rasa nyaman, damai dan tentram seluruh anggota
keluarganya.
34
d. Fungsi afeksi (perasaan) keluarga sebagai wahana untuk menumbuhkan dan
membina rasa cinta dan kasih sayang antara sesama anggota keluarga dan
masyarakat serta lingkungannya.
e. Fungsi afeksi (perasaan) keluarga sebagai wahana untuk menumbuhkan dan
membina rasa cinta dan kasih sayang antara sesama anggota keluarga dan
masyarakat serta lingkungannya.
f. Fungsi religius keluarga sebagai wahana pembangunan insaninsan beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral, berahlak dan berbudi
pekerti luhur sesuai dengan ajaran agamanya.
g. Fungsi ekonomi adalah keluarga sebagai wahana pemenuhan kebutuhan
ekonomi fisik dan materil yang sekaligus mendidik keluarga untuk hidup
efisien, ekonomis dan rasional.
h. Fungsi rekreasi, keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman,
menyenangkan, cerah, ceria, hangat dan penuh semangat.
i. Fungsi biologis, keluarga sebagai wahana menyalurkan kebutuhan reproduksi
sehat bagi semua anggota keluarganya.
D. STUDI KOMPARASI KEDISIPLINAN SISWA MA ROUDHOTUN
NASYI’IN ANTARA YANG BERMUKIM DI PONDOK DAN
BERMUKIM DI RUMAH DI MA ROUDHOTUN NASYI’IN
Andi (1995:28) mendefinisikan disiplin adalah kepatuhan seorang siswa
untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang
untuk tunduk pada keputusan, perintah atau peraturan yang berlaku. Sedangkan
35
menurut G. R Terry (1993:218) mengatakan bahwa disiplin merupakan suatu
kemampuan individu yang terjadi disebabkan karena atas dasar kesadaran dan
kerelaan diri maupun oleh perintah atau tuntutan yang lain (dalam Rahman, 2011:
16-17).
Kedisiplinan siswa merupakan tindakan yang ditunjukkan siswa
bagaimana mereka mampu mamatuhi peraturan yang berlaku, dan kedisiplinan
setiap siswa yang tidak akan sama sikap kedisiplinannya. Banyak faktor yang
mempengaruhi kedisiplinan siswa, diantaranya faktor internal dan faktor
eksternal. Kedisiplinan pada siswa tidak akan sama terutama siswa yang
bermukim di pondok pesantren dengan siswa yang bermukim di rumah. Siswa
yang bermukim di pondok pesantren tentunya sudah terbiasa dengan peraturan
ketat yang diberlakukan pondok, sehingga siswa yang bermukim di pondok
pesantren tingkat kedisiplinannya lebih tinggi. Berbeda halnya dengan siswa yang
bermukim di rumah. Lingkungan keluarga dan masyarakat dalam hal ini sangat
massif mempengaruhi kedisiplinan siswa ketika berada di rumah. Terkadang
orang tua mereka juga kurang memperdulikan pendidikan anaknya, terutama
dalam kedisiplinan. Hal itu akan membuat mereka lebih leluasa dalam melakukan
suatu tindakan.
Berikut table persamaan dan perbedaan pondok pesantren dan
lingkungan rumah:
36
TABEL 1
PERSAMAAN PONDOK PESANTREN DAN LINGKUNGAN RUMAH
No Aspek Pondok Pesantren dan Lingkungan Rumah
1 Tempat tinggal Sama-sama bertempat tinggal di sebuah bangunan
2 Waktu belajar Memiliki peluang waktu belajar yang sama 24 jam
3 Pergaulan Sama-sama makhluk social
4 Pengawasan Sama-sama mendapatkan pengawasan
TABEL II
PERBEDAAN PONDOK PESANTREN DAN LINGKUNGAN RUMAH
No Aspek Pondok Pesantren Lingkungan Rumah
1 Tempat
Tinggal
Di lingkungan Pondok
Pesantren
Di lingkungan rumah,
lingkungan keluarga dan
masyarakat
2 Waktu Belajar Telah di jadwalkan menurut
sistem belajar pondok
Tidak terbatas dapat belajar
kapanpun sesuai keinginan
3 Pergaulan Lingkungan santriawan dan
santriwati harus dijaga
pergaulannya dan ada batas-
batasnya
Lingkungan masyarakat
umum
4 Pengawasan Dari Pengasuh Pondok
Pesantren
Mendapat pengawasan
langsung dari orang tua
Dari penjelasan tabel diatas, terdapat persamaan dan perbedaan antara
pola pendidikan di pondok pesantren dan di lingkungan rumah. Hal tersebut dapat
menjadi faktor-faktor penyebab perbedaan dari kedisiplinan siswa yang bermukim
di pondok pesantren dengan siswa yang bermukim di rumah.