12
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN
1.1. Kajian Teori
1. Teori Tentang Putusan Hakim
a. Pengertian Putusan Hakim
Putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara (pada
MA RI) atau sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (pada Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri) yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman yang diberi wewenang untuk itu diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa perkara11.
b. Legal Reasoning/Examination
Berkaitan dengan hal itu, untuk menganalisis varian pertimbangan
hakim terkait dengan kasus perkawinan antar pemeluk yang berbeda
agama, landasan teori yang digunakan sebagai pendekatan (approach)
adalah Teori Argumentasi Hukum (Legal Reasoning). Legal Reasoning
menurut fungsi memberi makna dalam dua frase bahasa Inggris, yakni
legal = hukum, dan reasoning = pertimbangan atas hukum. Jadi pengertian
legal reasoning adalah pertimbangan atas hukum yang dijadikan patokan
(stelling) atau padanan (onderstelling), oleh aparatur institusi hukum
dalam suatu kasus bagi kepentingan penuntutan dan putusan hakim
11 R Soeparmono. 2000. Hukum Acara Perdata. Semarang: Mandar Maju. hal 115-117.
13
pengadilan berdasarkan hukum12. Berdasarkan makna pengertian legal
reasoning, maka teori argumentasi dalam putusan hakim terdapat dalam
kekuatan putusan hakim.
Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata
menyebutkan bahwa suatu putusan mempunyai tiga macam kekuatan,
yaitu:
1) Kekuatan untuk dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum
terhadap pihak yang mentaatinya secara sukarela. Kekuatan ini
dinamakan kekuatan eksekutorial.
2) Putusan hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akta otentik
menurut pengertian undang-undang, sehingga ia tidak hanya
mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang
berperkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”, artinya terhadap pihak ke
tiga dalam hal membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara
pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara
sebagaimana diuraikan pula di situ dan dijatuhkanya putusan
sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut.
3) Kekuatan untuk “menangkis” suatu gugatan baru mengenai hal yang
sama, yaitu bedasarkan asas “ne bis in idem” yang berati bahwa tidak
boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama. Agar supaya
“tangkisan” atau “eksepsi” tersebut berhasil dan diterima oleh hakim,
adalah agar perlu perkara yang baru itu akan berjalan antara pihak-
pihak yang sama dan mengenai hal atau hal-hal yang sama pula dengan
12 Abraham Amos, Legal Opinion (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007), hlm. 22.
14
yang dahulu sudah diperiksa dan diputus oleh hakim dengan putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu13.
Kekuatan putusan hakim ada tiga macam, yaitu:
1) Kekuatan mengikat (bindende kracht)
Putusan hakim yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa
perkara dan menetapkan hak atau hukum atas dasar permohonan pihak
untuk diselesaikan perkaranya di pengadilan. Oleh karenanya, pihak-pihak
harus taat dan tunduk pada putusan, harus dihormati dan dijalankan
sebagaimana mestinya. Jadi mempunyai kekuatan mengikat (bindende
kracht). Suatu putusan hakim yang tidak bisa ditarik kembali walaupun
ada verset, banding atau kasasi berarti putusan tersebut telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (pasti), jadi sudah menimbulkan teori-teori yang
mencoba memberi dasar-dasar kekuatan mengikat pada putusan itu.
2) Kekuatan pembuktian (bewijzende kracht)
Putusan hakim dituangkan dan dibuat dalam bentuk “akta otentik”.
Maksudnya untuk bukti (pembuktian) dan sekalipun undang-undang tidak
menyebut pihak ketiga, tetapi dalam yurisprudensi berlaku pula pada pihak
ke tiga dari yang kalah, sedang tentang kekuatan pembuktianya memang
mempunyai, yaitu mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ketiga (pihak
luar).
3) Kekuatan eksekutorial (executoriale kracht)
Putusan hakim yang telah mempunyai alas hak (titel) eksekutorial
demi hukum otomatis menjadi sita eksekutorial. Sedangkan putusan itu
13 R Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung : Badan Pembinaan Hukum Nasional hal 128
15
maksudnya menyelesaikan sengketa perkara dan menetapkan hak atau
hukumnya, lain daripada itu juga realisasinya / pelaksanaan / eksekusinya
dilasanakan secara paksa. Kekuatan mengikat saja belum cukup, jadi dapat
dieksekusi, harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu : Kekuatan
untuk dilaksakanya apa-apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara
paksa oleh alat-alat negara14.
2. Perkawinan
a. Menurut UU Perkawinan
1. Pengertian dan Tujuannya
Perkawinan dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 yang
menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Menurut Prakoso dan Murtika, masalah perkawinan bukan hanya
sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi
lebih dari itu, yaitu suatu ikatan / atau hubungan, lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita.15 Perkawinan merupakan bentuk hubungan yang
sangat mulia, yang dimaksudkan menempatkan kebutuhan biologis
sebagai proses untuk berkembang biak.
Definisi perkawinan menurut Prakoso dan Murtika, adalah :
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang
14 Op.cit 2000 hal 116-122.
15Djoko Prakoksa dan I Ketut Murtika. 1987. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:
Bina Aksara, hal 2.
16
sah untuk membina rumah tangga dan
keluarga sejahtera bahagia di mana kedua
suami isteri memikul amanah dan tanggung-
jawab, si isteri oleh karenanya akan
mengalami suatu proses psikologis yang
berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang
meminta pengorbanan.16
Menurut Mukson, perkawinan menurut hukum Islam adalah sama
dengan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan melalui perkawinan
tersebut bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakînah, mawaddah, dan rahmah. Menurut bahasa Indonesia pernikahan
adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara “nikah”
dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara pernikahan dan
perkawinan adalah sama. Nikah yang menurut bahasa berarti
penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah nikah berarti
akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan
badan menjadi halal.17
Perkawinan sebagaimana definisi di atas, adalah sebuah ikatan yang
sah dalam rangka membina rumah tangga dan keluarga sejahtera. Suami
maupun isteri, masing-masing mempunyai tanggung jawah dan amanah
dalam mencapai keluarga dan rumah tangga yang bahagia. Tidak ada salah
satu pihak yang berada di atas pihak yang lain, baik dari suami maupun
isteri. Seorang isteri memiliki konsekuensi untuk mengalami kehamilan
16 Ibid. hal 4.
17 Moh Mukson. 2013. Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang
(Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan). Jurnal Bimas Islam, Vol.6. No.1 2013, hal.
10.
17
dan melahirkan.
Untuk suatu perkawinan haruslah dimasuki dengan suatu persiapan
yang matang. Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa
disertai oleh persiapan yang matang untuk melanjutkan proses penelusuran
kehidupan, akan mengalami banyak kelemahan apalagi kalau cinta yang
menjadi dasar suatu perkawinan hanyalah cinta yang bertolak dari
pemikiran sederhana dan terjajah oleh dominasi emosional. Jadi untuk
memasuki suatu perkawinan bukan hanya cinta saja yang dibutuhkan
melainkan pemikiran yang rasional dan dapat meletakkan dasar-dasar lebih
kokoh dari suatu perkawinan, sedangkan perkawinan itu sendiri
merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan
manusia.
Undang-undang R.I. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam
pasal 1 yang berbunyi:
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa."
Dari bunyi pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut di atas,
tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan, yaitu ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri,
sedangkan "tujuan" perkawinan dimaksud adalah: membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
2. Asas-asas atau Prinsip-prinsip Perkawinan
18
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut
asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal (Pasal 1);
2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
agamanya dan kepercayaanya itu (Pasal 2 ayat (1));
3) Perkawinan harus dicatat menurut hukum perundangan (Pasal 2
ayat (2));
4) Perkawinan berasas monogami terbuka (Pasal 3);
5) Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan (Pasal 6);
6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita
16 tahun (Pasal 7 ayat (1));
7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang
pengadilan (Pasal 39);
8) Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (Pasal 31 ayat
(1)). (Hilman Hadi Kusuma, 2007:6)
3. Syarat sahnya perkawinan
Di dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 termuat beberapa
asas dan prinsip penting yang berkenaan dengan perkawinan adalah tujuan
perkawinan; sesuai hukum masing-masing agama dan kepercayaannya;
menganut asas monogami; calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa-
raganya; mempersukar terjadinya perceraian; hak dan kedudukan isteri
seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Asas-asas dan prinsip-prinsip
ini, yang boleh dikatakan telah disesuaikan dengan dunia kehidupan
19
modern, adalah sebagai berikut:
a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual.
b) Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dan, di samping itu, tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c) Undang-undang itu menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri
lebih dari seorang. Namun, perkawinan seorang suami dengan
lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-
pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d) Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami-isteri itu
harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
20
dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon
suami-isteri yang masih di bawah umur. Di samping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung
dengan itu, undang-undang ini menentukan batas umur untuk
kawin, baik bagi pria maupun bagi wanita, yaitu sembilan belas
tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita.
e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal, dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta
harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
f) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan
suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu di
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh
suami-isteri.
Di samping mengatur tentang perkawinan, undang-undang ini juga
mengatur tentang perceraian, kedudukan anak, hak dan kewajiban suami-
isteri, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, tentang perwalian,
dan pembuktian asal-usul anak. Sejalan dengan asas-asas dan prinsip-
prinsip perkawinan tersebut di atas, Undang-undang Perkawinan
21
meletakkan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan
melangsungkan perkawinan. Bab II pasal 6 hingga pasal 12 memuat
syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang melangsungkan
perkawinan. Bab II pasal 6 hingga 12 memuat syarat-syarat perkawinan
sebagai berikut18:
a) Persetujuan kedua belah pihak
b) Izin orang tua-wali.
c) Batas umur untuk kawin.
d) Tidak terdapat larangan kawin.
e) Tidak terikat oleh suatu perkawinan yang lain.
f) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami-isteri yang sama
yang akan dikawini.
g) Bagi janda telah lewat masa tunggu (tenggang idah).
h) Memenuhi tata cara perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas, syarat-syarat dalam perkawinan harus
terdapat persetujuan kedua belah pihak. Artinya kedua belah pihak sepakat
untuk melangsungkan perkawinan tanpa adanya unsur paksaan. Syarat
kedua adalah adanya izin orang tua wali. Biasanya yang memerlukan izin
wali adalah pihak mempelai perempuan. Syarat lain yang harus dipenuhi
adalah batas umur untuk kawin.
b. Perkawinan sebagai HAM berdasarkan PIAGAM PBB
Perkawinan merupakan Hak Azasi Manusia sebagaimana
dituangkan dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia tahun 1948
18 Lili Rasjidi. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, hal 72-73.
22
pasal 16 ayat (1) dan (2). Berikut kutipan pasal 16 ayat 1 dan 2 Deklarasi
Universal Hak Azasi Manusia Tahun 1948;
(1) Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa ada
pembatasan apapun berdasarkan ras,
kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan membentuk keluarga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam hal
perkawinan, dalam masa perkawinan dan pada
saat berakhirnya perkawinan.
(2) Perkawinan hanya dapat dilakukan atas dasar
kebebasan dan persetujuan penuh dari pihak
yang hendak melangsungkan perkawinan.
Laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam
perkawinan tanpa ada batasan perbedaan agama. Pasangan yang hendak
melangsungkan perkawinan dapat dilakukan atas dasar kebebasan dan
kesepakatan kedua belah pihak. Kelangsungan perkawinan tidak dapat
dilakukan dengan tekanan dari pihak manapun, dan hal ini dilindungi oleh
Deklarasan Universal Hak Azasi Manusia PBB tahun 1948.
Perbedaan agama tidak dapat digunakan untuk menghalangi hak
seseorang untuk melangsungkan perkawinan, serta mempertahankan
keyakinan dan agamanya. Hal ini juga ditegaskan dalam Deklarasan
Universal Hak Azasi Manusia PBB tahun 1948 pasal 18, yaitu, ”setiap
orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak
ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan
kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.
Undang-undang 1945 juga memberikan perlindungan terhadap
kebebasan untuk menyatakan sikap dan pikiran, yaitu sikap
23
melangsungkan perkawinan dan mempertahankan agama yang
diyakininya, sebagaimana di tuangkan dalam pasal 28E, “Setiap orang
berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini
mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan
kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”
1.2. Pembahasan
Dalam penelitian ini digunakan 3 putusan pengadilan yaitu No
115/pdt.P/2008/PN.Ska, No 04/pdt.P/2011/PN.Ska, dan No
421/pdt.P/2013/PN.Ska kesemuanya tentang izin melakukan perkawinan dengan
pasangan yang berbeda agama.
1. Deskripsi putusan PN tentang izin melakukan perkawinan antar pemeluk
agama yang berbeda disajikan dalam tabel di bawah ini:
24
Tabel 2.1 Deskripsi putusan PN tentang izin melakukan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
1 Pemohon Indrijanto Kurniawan yang beragama
Islam (pemohon 1) dan Elisabeth
Victina yang beragama Katholik
(pemohon 2)
DJIAUW, PING SHEN yang beragama
Kristen (pemohon 1) dan IPUNG
INDR1YANI yang beragama Islam
(pemohon 2)
Alvienilawati Yuniar yang beragama
Katholik (pemohon 1) dan Nugroho
Endro Prastowo yang beragama
Kristen
2 Alasan/ Dalil
Pemohon mengajukan
permohonan
1. Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta menolak
karena beda agama (Islam dengan
Katholik),
2. Pemohon tetap pendirian
memegang keyakinan masing-
masing, acuan dasar hukum pasal
21 ayat (3) dan (4) Undang-
Undang Pokok Perkawinan Nomor :
1 Tahun 1974 jo pasal 35 huruf (a)
Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta
penjelasannya (vide Surat
Keterangan Rekes dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta tanggal 12 Januari
2011 nomor: 474.2/29/2011)
1. Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta menolak karena
beda agama (Kristen dengan Islam)
2. Pemohon tetap pendirian memegang
keyakinan masing-masing, acuan
dasar hukum pasal 21 ayat (3) dan
(4) Undang-Undang Pokok
Perkawinan Nomor : 1 Tahun 1974
jo pasal 35 huruf (a) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan
beserta penjelasannya (vide Surat
Keterangan Rekes dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta tanggal 12 Januari
2011 nomor: 474.2/29/2011)
1. Bahwa Para Pemohon telah
sepakat satu sama lain untuk
melaksanakan perkawinan yang
rencananya dilangsungkan di
hadapan Pegawai Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta ;
2. Bahwa pada tanggal 02 September
2013 Para Pemohon telah
memberitahukan kepada Kantor
Dinas Kependudukan dan Catalan
Sipil Kota Surakana tentang akan
dilaksanakannya perkawinan
tersebut tetapi oleh karena beda
agama yaitu Pemohon I beragama
Katholik, sedangkan Pemohon II
beragama Kristen maka oleh
Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Surakana
permohonan Para Pemohon
tersebut ditolak, dengan alasan
sebagaimana pokok tersebut
dalam ketentuan pasal 21 Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan junto pasal 35
Undang Undang No.23 tahun
2006 tentang administrasi
25
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Kependudukan, perkawinan
tersebut dapat dicatatkan setelah
mendapat penetapan Pengadlan
Negeri ;
3. Mengajukan Permohonan izin
kepada Pengadilan Negeri
Surakana yang mengacu pada
Pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang-
Undang Pokok Perkawinan No. 1
Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf (a)
Undang-Undang No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan besena
penjelasannya;
4. Perbedaan agama tidaklah
menjadikan halangan untuk
melakukan perkawinan ;
3 Dasar Hukum Yg
Digunakan Hakim
1. Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
2. Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam
PBB tahun 1948
3. Pasal 66 UU Perkawinan Tahun
1974
4. Undang-Undang Hukum Perdata,
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen),
Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde
Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
1. Ps 1 UU Perkawinan th 1974 juncto
Ps 35 UU No 23 Administrasi
Kependudukan th 2006,
2. pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang-
Undang Pokok Perkawinan Nomor:
1 Tahun 1974
3. Undang- Undang Nomor : 23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta
penjelasannya (vide Surat
Keterangan Rekes dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta tanggal 12 Januari
2011 Nomor: 474.2/29/201 1 )
4. Undang-Undang Hukum Perdata,
1. Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan tahun 1974
2. PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat
(2)
3. UU No 39 tahun 1999 tentang
Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat
(1)
4. Berdasarkan pada Putusan MARI
no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal
20Januari 1989 yang mengabulkan
permohonan kasasi tentang izin
perkawinan beda agama;
5. Pasal 35 UU No 23 Administrasi
Kependudukan tahun 2006
26
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen),
Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde
Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
4 Pertimbangan 1. Pemohon sepakat melangsungkan
pernikahan beda agama atas dasar
cinta dan kasih sayang
2. Para Pemohon telah mengajukan
Permohonan Pencatatan Perkawinan
secara Beda Agama tersebut di
Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi
ditolak
3. Orang tua kedua pemohon telah
mengetahui, menyetujui dan telah
memberi izin
4. Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
5. Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam
PBB tahun 1948
6. Pasal 66 UU Perkawinan Tahun
1974 bab XIV Ketentuan Penutup
7. Undang-Undang Hukum Perdata,
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen),
Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde
Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
1. Pemohon I, DJIAUW, PING SHEN
yang beragama Kristen dan
Pemohon II IPUNG INDR1YANI
yang beragama Islam yang masing-
masing tidak berniat untuk
melepaskan keyakinan agamanya
dapat melangsungkan perkawinan di
hadapan Pejabat pada Kantor Dinas
Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
Kota Surakarta.
2. fakta-fakta sebagaimana terungkap
dipersidangan dihubungkan dengan
ketentuan tentang syarat- syarat
perkawinan dalam Undang-Undang
Perkawinan No.l Tahun 1974
Tentang Perkawinan pada Pasal: 6
ayat (1) tentang persetujuan kedua
calon mempelai dan ketentuan Pasal:
7 tentang usia perkawinan, maka
Para Pemohon telah memenuhi
syarat materil untuk melangsungkan
perkawinan;
3. perbedaan agama tidak merupakan
larangan untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal: 8 huruf (f)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
1. Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan tahun 1974
2. PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat
(2)
3. UU No 39 tahun 1999 tentang
Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat
(1)
4. Putusan MARI no. 1400 K/
Pdt/1986 tertanggal 20Januari
1989 yang mengabulkan
permohonan kasasi tentang izin
perkawinan beda agama;
5. Pasal 35 UU No 23 Administrasi
Kependudukan tahun 2006
27
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Tentang Perkawinan, maka merujuk
pada ketentuan Pasal: 35 huruf (a)
Undang-Undang No: 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi
Kependudukan maka persoalan
permohonan perkawinan beda agama
adalah menjadi weenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan
memutuskannya ;
4. Menimbang, bahwa dari fakta- fakta
yang terungkap di persidangan,
Pemohon I dan Pemohon II sebagai
Warga Negara Indonesia dan adalah
berhak untuk mempertahankan
keyakinan agamanya termasuk
membentuk rumah tangga yang
dilakukan oleh dua calon yang
berbeda agama, hal mana
sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal: 29 Undang- Undang
Dasar 1945 tentang kebebasan
memeluk Keyakinan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa ;
5. Undang-Undang Perkawinan No.l
Tahun 1974 dalam Bab XIV
Ketentuan Penutup Pasal 66
menyatakan : Untuk Perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan
Undang- Undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan diatur dalam Kitab
28
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Undang-Undang Hukum Perdata,
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen),
Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde
Huwelijke Stbl 1898 No. 158 ) dan
Peraturan - peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang- Undang
ini, dinyatakan tidak berlaku ;
6. Pada Penjelasan Atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor:
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
pada Penjelasan Umum: Angka 5
menyebutkan "Untuk menjamin
kepastian hukum, maka perkawinan
berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan
yang terjadi sebelum undang-
undang ini berlaku, yang dijalankan
menurut hukum yang telah ada
adalah sah. Demikian pula apabila
mengenai sesuatu hal undang-
undang ini tidak mengatur, dengan
sendirinya berlaku ketentuan yang
ada;
7. Pengadilan berpendapat bahwa oleh
karena Undang -Undang Perkawinan
No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak secara tegas mengatur tentang
perkawinan yang dilaksanakan oleh
umat yang berlainan agama dimana
29
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Para Pemohon bersikukuh tetap
mempertahankan keyakinan
agamanya masing-masing, maka
ketentuan- ketentuan dalam Stbl:
1898 No.158 tentang Peraturan
Perkawinan Campuran dapat
diterapkan dalam permohonan Para
Pemohon;
5 Putusan 1. Mengabulkan permohonan Para
Pemohon untuk seluruhnya ;
2. Memberikan izin kepada Para
Pemohon untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor
Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta :
3. Memerintahkan kepada Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta untuk melakukan
penatatan perkawinan beda agama
Para Pemohon tersebut diatas ke da
lam Register PenCatatan
Perkawinan yang digunakan untuk
itu dan segera menerbitkan Akta
Perkawinan tersebut;
4. Membebankan biaya permohonan
kepada Para Pemohon sebesar Rp.
116.000,- (seratus enam belas ribu
rupiah) ;
1. Memberikan Izin kepada Para
Pemohon untuk melangsungkan
Perkawinan Beda Agama di
[Cantor Dinas Kependudukan dan
Catalan Sipil Kola Surakarta
2. Memerintahkan Pegawai Pencatai
Perkawinan pada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil
Kola Surakarta untuk
melangsungkan perkawinan antara
Pemohon I (INDRIJANTO
KURNIAWAN) sebagai Calon
Suami dengan Pemohon II
(ELISABETH VICTINA) sebagai
Calon Isteri ;
3. Memerintahkan kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Surakarta untuk
melakukan pencatatan Perkawinan
Beda Agama Para Pemohon tersebut diatas kedalam Register
Pencatatan Perkawinan yang
digunakan untuk itu ;
4. Membebankan biaya permohonan
1. Mengabulkan permohonan Para
Pemohon untuk seluruhnya.
2. Memberikan Izin kepada Para
Pemohon untuk melangsungkan
Perkawinan Beda Agama di
Kantor Dinas Kependudukan dan
Catalan Sipil Kota Surakarta.
3. Memerintahkan kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan
Catalan Sipil Kota Surakarta
untuk melakukan pencatatan
Perkawinan Beda Agama Para
Pemohon tersebut diatas ke dalam
Register Pencatatan Perkawinan
yang digunakan untuk itu.
4. Membebankan biaya pennohonan
kepada Para Pemohon sebesar Rp.
151.000.-(seratus lima puluh satu
ribu rupiah).
30
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
ini kepada Para Pemohon , yang
sampai saat ini diperhi tungkan
sebesar Rp. 49.000,-(sembilan
puluh sembilan ribu ribu rupiah)
31
Dari tabel diatas dapat dibaca dan dimengerti bahwa :
1. Putusan ke-1 No 115/pdt.P/2008/PN.Ska menggunakan :
a. Dasar hukum sebagai berikut :
1) Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
2) Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948
3) Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974
4) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74
(Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No.
158)
b. Keputusannya adalah :
1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Surakarta;
3) Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta untuk melakukan penatatan perkawinan beda
agama para pemohon tersebut diatas ke dalam Register
Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera
menerbitkan Akta Perkawinan tersebut;
c. Pertimbangan hakim yang digunakan adalah :
1) Pemohon sepakat melangsungkan pernikahan beda agama atas
dasar cinta dan kasih saying;
32
2) Para Pemohon telah mengajukan Permohonan Pencatatan
Perkawinan secara Beda Agama tersebut di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak
3) Orang tua kedua pemohon telah mengetahui, menyetujui dan telah
memberi izin
4) Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
5) Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948
6) Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974 bab XIV Ketentuan
Penutup
7) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74
(Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No.
158 )
d. Kesimpulan
Berdasarkan dasar hukum dan pertimbangan di atas, keputusan
hakim dalam putusan PN No 115/pdt.P/2008/PN.Ska sudah sesuai
dengan hukum, akan tetapi di dalam pertimbangannya hakim dirasa
masih kurang memperhatikan aspek sosialnya.
2. Putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska
a. Dasar hukum yang digunakan :
1) Ps 1 UU Perkawinan th 1974 juncto Ps 35 UU No 23 Administrasi
Kependudukan Tahun 2006,
2) pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang- Undang Pokok Perkawinan
Nomor: 1 Tahun 1974
33
3) Undang- Undang Nomor : 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan
Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta
tanggal 12 Januari 2011 Nomor: 474.2/29/201 1 )
4) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74
(Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No.
158 )
b. Keputusan yang diambil :
1) Memberikan Izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan
Perkawinan Beda Agama di [Cantor Dinas Kependudukan dan
Catalan Sipil Kola Surakarta
2) Memerintahkan Pegawai Pencatai Perkawinan pada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kola Surakarta untuk
melangsungkan perkawinan antara Pemohon I (INDRIJANTO
KURNIAWAN) sebagai Calon Suami dengan Pemohon II
(ELISABETH VICTINA) sebagai Calon Isteri ;
3) Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Surakarta untuk melakukan pencatatan Perkawinan
Beda Agama Para Pemohon tersebut diatas kedalam Register
Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu ;
c. Pertimbangan yang dipakai sebagai berikut :
1) masing- masing tidak berniat untuk melepaskan keyakinan
agamanya dapat melangsungkan perkawinan di hadapan Pejabat
34
pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota
Surakarta.
2) fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dihubungkan dengan
ketentuan tentang syarat- syarat perkawinan dalam Undang-
Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada
Pasal: 6 ayat (1) tentang persetujuan kedua calon mempelai dan
ketentuan Pasal: 7 tentang usia perkawinan, maka Para Pemohon
telah memenuhi syarat materil untuk melangsungkan perkawinan;
3) perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal: 8 huruf (f)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka
merujuk pada ketentuan Pasal: 35 huruf (a) Undang-Undang No:
23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan maka
persoalan permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi
weenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutuskannya;
4) dari fakta- fakta yang terungkap di persidangan, Pemohon I dan
Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia berhak untuk
mempertahankan keyakinan agamanya termasuk membentuk
rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda agama,
hal mana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal: 29
Undang- Undang Dasar 1945 tentang kebebasan memeluk
Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ;
35
5) Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 dalam pasal 8 huruf
(f) yang mengatur larangan untuk melaksanakan perkawinan oleh
dua calon mempelai yang berbeda agama dan secara tegas juga
tidak mengatur perkawinan Calon mempelai yang beda agama ;
6) Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 dalam Bab XIV
Ketentuan Penutup Pasal 66 menyatakan : Untuk Perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
Undang- Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 ) dan Peraturan -
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang- Undang ini, dinyatakan tidak berlaku ;
7) Penjelasan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor: 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum: Angka 5
menyebutkan "Untuk menjamin kepastian hukum, maka
perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang ini berlaku, yang
dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian
pula apabila mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak
mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada;
8) Undang -Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan yang
36
dilaksanakan oleh umat yang berlainan agama dimana Para
Pemohon bersikukuh tetap mempertahankan keyakinan agamanya
masing-masing, maka ketentuan- ketentuan dalam Stbl: 1898
No.158 tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan
dalam permohonan Para Pemohon;
d. Kesimpulan
Berdasarkan dasar hukum dan pertimbangan di atas, keputusan
hakim dalam putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska sudah sesuai
dengan hukum. Didalam pertimbangannya hakim juga sudah melihat
dari sisi sosial, yang dimana di dalam putusan ini hakim banyak
memberikan pertimbangan dari aspek sosial.
3. Putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
a. Dasar hukum yang diganakan adalah :
1) Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974
2) PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat (2)
3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1)
4) Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20Januari 1989
yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan
beda agama;
5) Pasal 35 UU No 23 Administrasi Kependudukan tahun 2006
b. Keputusan yang diambil sebagai berikut :
1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
37
2) Memberikan Izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan
Perkawinan Beda Agama di Kantor Dinas Kependudukan dan
Catalan Sipil Kota Surakarta.
3) Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan
Perkawinan Beda Agama Para Pemohon tersebut diatas ke dalam
Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu.
c. Pertimbangan
1) Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974
2) PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat (2)
3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1)
4) Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20Januari 1989
yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan
beda agama;
5) Pasal 35 UU No 23 Administrasi Kependudukan tahun 2006
d. Kesimpulan :
Berdasarkan dasar hukum dan pertimbangan di atas, keputusan hakim
dalam putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska sudah sesuai dengan
hukum, akan tetapi pada putusan ini hakim sama sekali tidak
memberikan pertimbangan pada aspek sosial.
1. Hasil Penelitian
Dari persamaan dan perbedaan pertimbangan hakim yang sudah
diuraikan diatas bisa dikatakan belum ada hukum yang menjadi landasan
hakim dalam memberikan pertimbangan dalam setiap putusan permohonan
38
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Hal tersebut bisa dilihat
dari tidak adanya keselarasan oleh masing-masing hakim dalam
memberikan pertimbangan-pertimbangan di dalam ketiga putusan tersebut.
Menurut peneliti diantara ketiga putusan tersebut, pertimbangan
pada putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska adalah yang paling tepat,
dikarenakan di dalam putusan tersebut pertimbangan-pertimbangan hakim
yang dipakai tidak hanya melihat dari aspek yuridisnya saja, akan tetapi
hakim juga melihat dari aspek sosial.
Pertimbangan-pertimbangan hakim pada putusan PN No
04/pdt.P/20 11/PN.Ska, antara lain:
a. Pemohon I, DJIAUW, PING SHEN yang beragama Kristen dan
Pemohon II IPUNG INDR1YANI yang beragama Islam yang
masing- masing tidak berniat untuk melepaskan keyakinan agamanya
dapat melangsungkan perkawinan di hadapan Pejabat pada Kantor
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta.
b. fakta-fakta sebagaimana terungkap dipersidangan dihubungkan
dengan ketentuan tentang syarat- syarat perkawinan dalam Undang-
Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada
Pasal: 6 ayat (1) tentang persetujuan kedua calon mempelai dan
ketentuan Pasal: 7 tentang usia perkawinan, maka Para Pemohon
telah memenuhi syarat materil untuk melangsungkan perkawinan;
c. perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal: 8 huruf (f)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka
39
merujuk pada ketentuan Pasal: 35 huruf (a) Undang-Undang No: 23
Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan maka persoalan
permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi weenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskannya ;
d. Menimbang, bahwa dari fakta- fakta yang terungkap di persidangan,
Pemohon I dan Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia dan
adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya termasuk
membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang
berbeda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal: 29 Undang- Undang Dasar 1945 tentang kebebasan memeluk
Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ;
e. Menimbang, bahwa Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974
dalam pasal 8 huruf (f) yang mengatur larangan untuk melaksanakan
perkawinan oleh dua calon mempelai yang berbeda agama dan
secara tegas juga tidak mengatur perkawinan Calon mempelai yang
beda agama ;
f. Menimbang, bahwa Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974
dalam Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66 menyatakan : Untuk
Perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan Undang- Undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-Undang ini ketentuan diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74
(Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
40
dan peraturan - peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang- Undang ini, dinyatakan tidak
berlaku ;
g. Menimbang, bahwa pada Penjelasan Atas Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada
Penjelasan Umum: Angka 5 menyebutkan "Untuk menjamin
kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-
undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada
adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal undang-
undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan
yang ada;
h. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
Pengadilan berpendapat bahwa oleh karena Undang -Undang
Perkawinan No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas
mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang
berlainan agama dimana Para Pemohon bersikukuh tetap
mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing, maka
ketentuan- ketentuan dalam Stbl: 1898 No.158 tentang Peraturan
Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam permohonan Para
Pemohon;
Dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hakim pada putusan
PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska diatas, di dalam pertimbangan tersebut
41
hakim melihat lebih banyak dari aspek sosialnya dibandingankan pada
putusan PN No 115/pdt.P/2008/PN.Ska dan PN No
421/pdt.P/2013/PN.Ska.
Peneliti menggunakan alasan tersebut karena menurut peneliti
didalam putusan permohonan perkawinan beda agama, pertimbangan
menggunakan aspek sosial dirasa lebih tepat dibandingkan pertimbangan
yang tidak menggunakan aspek sosial melainkan hanya melihat dari aspek
yuridis. Hal tersebut dikarenakan belum adanya kepastian hukum tentang
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
2. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Memberi Izin untuk
Melangsungkan Perkawinan Beda Agama
a. Terhadap dasar hukum yang digunakan
1) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74
(Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No.
158 ) dan Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974
Digunakan sebagai dasar hukum bagi putusan no. 115 dan 04
Dasar hukum ini berisikan petunjuk bahwa perkawinan antar umat
yang berbeda agama dapat dilaksanakan di Catatan Sipil. Mengapa
dasar hukum ini digunakan karena memang Undang-undang ini
masih berlaku berhubung Pasal 66 UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974 yang memungkinkan berlaku selama mengatur hal yang
belum diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dengan
demikian ini menunjukkan bahwa perkawinan oleh mereka yang
42
berbeda agama tidaklah dilarang dan dapat dilangsungkan di
Catatan Sipil. Jadi tidaklah bisa dikatakan bahwa perkawinan antar
mereka yang berbeda agama itu dilarang.
2) Penggunaan dasar hukum Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB
tahun 1948 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 10 ayat
(1)
Hendak menunjukkan bahwa memeluk agama merupakan hak
azasi manusia karena itu kebebasan memeluk dan mempertahankan
agamanya adalah hak setiap orang, jika mereka-mereka ini akan
kawin tidak harus dibatasi, sehingga penggunaan dasar hukum ini
tidaklah keliru dan telah sesuai dengan hukum.
3) Pasal 8 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal ini memuat alasan-alasan larangan perkawinan. Pengaturan
pada pasal ini harus difahami sebagai larangan yang sifatnya
limitatif. Artinya larangan yang dituliskan di pasal ini tak boleh
dilanggar. Sementara perbedaan agama di pasal ini termasuk yang
tidak di larang karena tidak termasuk yang disebutkan. Bila melihat
huruf f Pasal 8 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi
perkawinan di larang antar orang-orang yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku
dilarang kawin, secara gramatikal tidaklah menunjuk pada
perbedaan agama dilarang untuk melakukan perkawinan.
4) Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
43
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
berlaku pula bagi:
Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah yang
dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan”
adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda
agama. Penggunaan dasar hukum ini adalah dalam rangka untuk
menguatkan bahwa perkawinan oleh mereka yang berbeda agama
tidaklah dilarang dan dapat ditetapkan oleh Pengadilan. Jadi
tidaklah bisa dikatakan bahwa perkawinan antar mereka yang
berbeda agama itu dilarang.
b. Terhadap pertimbangan hakim
Putusan No. 115 dan 04 sama-sama memberi pertimbangan
bahwa sepakat untuk melaksanakan kawin berbeda agama dan tidak
hendak melepaskan agamanya sesuai dengan dasar hukum yang
digunakan diatas yaitu 1) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl.
1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl
1898 No. 158 ) dan Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974; 2) Pasal 29
UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948 dan UU No 39 tahun 1999
tentang HAM pasal 10 ayat (1); 3) Pasal 8 UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974; 4) Pasal 35 UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan di atas, dengan demikian antara dasar hukum dan
pertimbangan hakim tersebut sesuai dengan hukumnya bahwa
44
perkawinan beda agama tidak dilarang oleh peraturan perundangan di
Indonesia. Hakim-hakim tersebut menggunakan dasar hukum dan
membuat pertimbangan berdasarkan pada dasar hukum yang
komprehensif. Dasar hukum yang digunakan tidak hanya mengacu
kepada satu sumber peraturan perundang-undangan, melainkan secara
menyeluruh. Hal ini disebabkan perkawinan beda agama melibatkan
banyak institusi, seperti lembaga lintas keagamaan, pengadilan, PBB
yang terkait dengan hak asasi manusia, administrasi kependudukan,
dan lembaga masyarakat lainnya.
3. Perbedaan-Perbedaan Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim
dalam Memberi Izin untuk Melangsungkan Perkawinan Beda Agama
Dasar hukum yang digunakan pertimbangan hakim dalam memberi
izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama pada putusan PN No
115/pdt.P/2008/PN.Ska adalah:
1) Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974; 2) Pasal 29 UUD 1945 dan
Piagam PBB tahun 1948; dan 3) Pasal 66 bab XIV Ketentuan Penutup UU
Perkawinan Tahun 1974, sedangkan putusan PN No 04/pdt.P/20
11/PN.Ska menggunakan dasar hukum 1) Undang Pokok Perkawinan
Nomor : 1 Tahun 1974; 2) Undang- Undang Nomor : 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat
Keterangan Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Surakarta tanggal 12 Januari 2011 Nomor: 474.2/29/201 1). Sementara
putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska menggunakan dasar hukum 1)
45
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974; 2) PP No 9 tahun
1975 pasal 10ayat (2); 3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia pasal 10 ayat (1); dan 4) Menimbang, bahwa hal ini juga
didasarkan pada Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20
Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin
perkawinan beda agama.
Adapun perbedaan pertimbangan hakim dalam penetapan
keputusan, pada putusan PN No 115/pdt.P/2008/PN.Ska, disebutkan 1)
Pemohon sepakat melangsungkan pernikahan beda agama atas dasar cinta
dan kasih sayang; 2) Para Pemohon telah mengajukan Permohonan
Pencatatan Perkawinan secara Beda Agama tersebut di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak; 3) Orang
tua kedua pemohon telah mengetahui, menyetujui dan telah memberi izin;
4) Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974; 5) Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam
PBB tahun 1948; dan 6) Pasal 66 bab XIV Ketentuan Penutup UU
Perkawinan Tahun 1974. Pertimbangan hakim pada putusan No
04/pdt.P/2011/PN.Ska, yang membedakan dengan putusan lainnya adalah
1) kedua pemohon tetap hendak melangsungkan perkawinan di hadapan
Pejabat pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota
Surakarta, dan tidak berniat untuk melepaskan keyakinan agamanya; 2)
kedua calon mempelai telah memenuhi syarat materil Pasal: 7 tentang usia
perkawinan; 3) Pemohon berhak untuk mempertahankan keyakinan
agamanya sebagaimana Pasal: 29 Undang- Undang Dasar 1945 tentang
kebebasan memeluk Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 4) pasal
46
8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 tidak mengatur
secara tegas perkawinan Calon mempelai yang beda agama; 5) Penjelasan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan pada Penjelasan Umum: Angka 5 menyebutkan "untuk
menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang ini
berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
Perbedaan pertimbangan hakim yang terdapat dalam putusan PN No
421/pdt.P/2013/PN.Ska dibandingkan putusan pertama dan kedua di atas
adalah 1) Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974; 2) PP No 9
tahun 1975 pasal 10ayat (2); 3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia pasal 10 ayat (1); 4) adanya Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986
tertanggal 20 Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang
izin perkawinan beda agama.
4. Persamaan dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memberi
izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama
Adapun persamaan dasar hukum hakim dalam penetapan
keputusan, pada putusan PN No 115/pdt.P/2008/PN.Ska, disebutkan
Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 ). Dasar hukum
hakim pada putusan No 04/pdt.P/2011/PN.Ska, yang sama dengan putusan
lainnya adalah 1) Ps 1 UU Perkawinan th 1974 juncto Ps 35 UU No 23
Administrasi Kependudukan th 2006,; dan 2) Undang-Undang Hukum
47
Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde
Huwelijke Stbl 1898 No. 158). Persamaan dasar hukum hakim yang
terdapat dalam putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska dibandingkan
putusan pertama dan kedua di atas adalah Pasal 35 UU No 23 Administrasi
Kependudukan tahun 2006.
Persamaan pertimbangan hakim dalam memberi izin untuk
melangsungkan perkawinan beda agama pada putusan PN No
115/pdt.P/2008/PN.Ska adalah UU Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993
No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 ),
sedangkan putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska menggunakan
pertimbangan 1) Pasal: 35 huruf (a) UU No: 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan; 2) UU Perkawinan No.l Tahun 1974 dalam
Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66 menyatakan: Untuk Perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
Undang- Undang ini, maka dengan berlakunya UU ini ketentuan diatur
dalam Kitab UU Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158). Sementara
putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska menggunakan pertimbangan Pasal
35 UU No 23 Administrasi Kependudukan tahun 2006.