16
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG SEMANTIK
A. Pengertian Semantik
Secara etimologi, kata semantik berarti ilmu artikata (pengetahuan
mengenai seluk beluk dan pergeseran arti kata-kata),1 atau dengan kata lain
berhubungan ilmu tentang makna dalam bahasa.2
Semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung
makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung
pengertian "studi tentang makna". Dengan anggapan bahwa makna menjadi
bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti
halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki
tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat
pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki
tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan
kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak
yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b) lambang-lambang
merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu,
dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu
mengasosiasikan adanya makna tertentu.3
Menurut Gorys Keraf, semantik (semanein, Yunani = berarti,
bermaksud) adalah bagian dari tatabahasa yang meneliti makna dalam bahasa
tertentu, mencari asal mula dan perkembangan dari arti suatu kata. Jadi dalam
semantik hanya dibicarakan tentang makna kata dan perkembangan makna
1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN Balai
Pustaka, Cet. 5) 1976, hlm. 903 2Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.
1025 3F.R.Palmer, Semantics, (London: Cambridge University Press, 1981), hlm. 5.
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001, hlm. 15
17
kata.4 Dalam gerak perkembangan suatu bahasa dapat terjadi bermacam-
macam hal. Peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui dalam gerak tumbuh
suatu bahasa adalah yang meliputi bidang arti dan bentuk. Arti dan bentuk
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, karena suatu
arti harus didukung oleh suatu bentuk tertentu, dan suatu bentuk tertentu akan
mendukung suatu makna tertentu pula. Bentuk yang tidak mendukung suatu
arti tidak akan menjadi morfem, dan dengan demikian tidak mendapat tempat
dalam tatabahasa.
Walaupun kedua bidang itu, bentuk dan arti, tidak dapat dipisahkan,
namun secara teoritis dapat dipisahkan dalam analisa kita. Karena itu untuk
kedua bidang itu diberikan terminologi yang khusus: semantik dan morfologi.
Tetapi dalam persoalan pertumbuhan bahasa biasanya dipakai istilah lain
untuk bidang bentuk yaitu etimologi.5
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan
dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi
bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda.
Berbagai nama jenis makna telah dikemukakan orang dalam berbagai buku
linguistik atau semantik, antara lain misalnya, makna Leksikal, Gramatikal,
dan Kontekstual. Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada
leksem meski tanpa konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna
leksikal 'sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai'; pinsil
bermakna leksikal 'sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang"; dan air
bermakna leksikal 'sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan
sehari-hari'. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal
adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi
indra kita, atau makna apa adanya. Kamus-kamus dasar biasanya hanya
memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya. Oleh
karena itulah, barangkali, banyak orang yang mengatakan bahwa makna
leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Pendapat ini, kalau begitu,
4Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah, 1984), hlm. 129 5Gorys Keraf, lot. cit.
18
memang tidak salah; namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan
dasar,. juga ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti
makna kias dan makna-makna yang terbentuk secara metaforis.6
Berbeda dengan makna menurut kamus, maka makna gramatikal baru
ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi,
atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks "ber" dengan
dasar baju melahirkan makna gramatikal 'mengenakan atau memakai baju';
dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal "mengendarai kuda'; dengan
dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal 'melakukan rekreasi'. Contoh
lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna
gramatikal 'bahan'; dengan dasar madura melahirkan makna gramatikal 'asal';
dengan dasar lontong melahirkan makna gramatikal 'bercampur"; dan dengan
kata Pak Kumis (nama pedagang sate yang terkenal di Jakarta) melahirkan
makna gramatikal 'buatan'. Sintaktisasi kata-kata adik, menendang, dan bola
menjadi kalimat Adik menendang bola melahirkan makna gramatikal: adik
bermakna 'pelaku', menendang bermakna 'aktif, dan bola bermakna 'sasaran'.
Sintaktisasi 'kata-kata adik, menulis, dan surat melahirkan makna gramatikal:
adik bermakna 'pelaku', menulis bermakna 'aktif, dan surat bermakna hasil.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada
di dalam satu konteks. Misalnya, makna konteks kata kepala pada kalimat-
kalimat berikut. "Rambut di kepala nenek belum ada yang putih"; "Sebagai
kepala sekolah dia harus menegur murid itu".Makna konteks dapat juga
berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan
penggunaan bahasa itu.7
B. Sekilas Sejarah Semantik
Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384—322
SM, adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah "makna" lewat batasan
pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah "satuan terkecil yang
6Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 289 7Ibid, hlm. 290
19
mengandung makna". Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan
bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu
sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya
hubungan gramatikal. Bahkan Plato (429— 347 SM) dalam Cratylus
mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung
makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara
etimologi, studi makna, maupun studi makna kata, belum jelas.8
Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig,
mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut Reisig meliputi
tiga unsur utama, yakni (1). semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis,
studi tentang kalimat, serta (3) etimologi, studi tentang asal-usul kata
sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini, istilah
semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah
dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa
pertama pertumbuhan yang diistilahkannya dengan underground period.
Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya
Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Francis, lewat artikelnya
berjudul "Les Lois Intellectuelles du Langage". Pada masa itu, meskipun Breal
dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam
keilmuan, dia seperti halnya Reisig, masih menyebut semantik sebagai ilmu
yang murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada masa itu lebih
banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya
bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan
perubahan makna dengan logika, psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya.
Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 itu adalah
Essai de Semantique.9
Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai
dengan pemunculan karya filolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul
Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to the English
8Aminuddin, op. cit, hlm. 15-16 9Mansoer Pateda, op. cit, hlm. 3-4
20
Language (1931). Stern, dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna
secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris.
Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenewa telah
diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat
menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de
Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.10
Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan
revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu
adalah (1) linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang
berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang
dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang
bersifat deskriptif. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu
bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis,
(2) bahasa merupakan suatu gestalt atau suatu totalitas yang didukung oleh
berbagai elemen, yang elemen yang satu dengan yang lain mengalami saling
kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya. Wawasan kedua
ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham linguistik struktural.11
Tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasikan
pendapat Saussure itu dalam bidang semantik adalah Trier's. Salah satu teori
profesor berkebangsaan Jerman tersebut adalah Teori Medan Makna. Dengan
diadaptasikannya teori Saussure dalam bidang semantik, maka dalam
perkembangan berikutnya kajian semantik memiliki ciri (1) meskipun
semantik masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang
bersifat historis sudah ditinggalkan karena kajian yang dilakukan bersifat
deskriptif, serta (2) struktur dalam kosakata mendapat perhatian dalam kajian
sehingga dalam kongres para linguis di Oslo (1957) maupun di Cambridge
(1962), masalah "semantik struktural" merupakan salah satu masalah yang
hangat dibicarakan.12
10Aminuddin, op. cit, hlm. 16 11 Mansoer Pateda, op. cit, hlm. 4 12Stephen Ullman, Semantics: An Introduction to The Science of Meaning, (Oxford:
Basil Black Well, 1977), hlm. 8. Dapat dilihat juga dalam Aminuddin, op. cit, hlm. 17
21
C. Urgensi Semantik
Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi
linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran
linguistik. Kalau istilah ini tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status
tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah
tidak sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana,
dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa
dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun
oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan
fonem dibangun oleh fon atau bunyi. Dari bangun-membangun itu, dapat
diajukan pertanyaan, di manakah letaknya semantik? Semantik, dengan
objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di semua tataran yang bangun-
membangun ini; makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi, dan
sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk semantik agak kurang
tepat, sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain
yang lebih besar, melainkan merupakan unsur yang berada pada semua tataran
itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama. Oleh karena
itu pula, barangkali, para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan
masalah makna ini, karena dianggap tidak termasuk atau menjadi tataran yang
sederajat dengan tataran yang bangun-membangun itu. Hockett, misalnya,
salah seorang tokoh strukturalis yang dikutip Abdul Chaer menyatakan bahwa
bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem
bahasa ini terdiri dari lima subsistem, yaitu subsistem gramatika, subsistem
fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem
fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama derajatnya. Subsistem
gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan subsistem
semantik dan fonetik bersifat periferal. Mengapa subsistem semantik disebut
bersifat periferal? Karena, seperti pendapat kaum strukturalis umumnya,
bahwa makna yang menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak
dapat diamati secara empiris, sebagaimana subsistem gramatika (morfologi
22
dan sintaksis). Demikian juga dengan Chomsky, bapak linguistik transform
asi, tidak menyinggung-nyinggung masalah makna. Baru kemudian dalam
waktu selanjutnya beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu
komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi),
dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini.13 Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi
linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi
semarak. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi
objek yang setaraf dengan bidang-bidang studi linguistik lainnya. Banyak
perhatian diarahkan pada semantik. Berbagai teori tentang makna
bermunculan. Memang kalau diingat akan teori Bapak Linguistik modern,
Ferdinand de Saussure, bahwa tanda linguistik (signe linguistique) terdiri dari
komponen signifian dan signifie, maka sesungguhnya studi linguistik tanpa
disertai dengan studi semantik adalah tidak ada artinya, sebab kedua
komponen itu, signifian dan signifie, merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Laksana sekeping mata uang logam, signifian berada di sisi yang
satu dan signifie berada di sisi yang lain.14
Urgensinya semantik dapat dilihat pula bila mencoba mengkaji asal
usul bahasa. Oleh karena itu dalam uraian ini ada baiknya ditambah dengan
menguraikan pendapat para pakar tentang asal-usul bahasa yang nantinya
akan memperjelas posisi urgensi penggunaan semantik untuk menyelidiki
pergeseran makna kala-kata.
Secara garis besar terdapat tiga teori mengenai hal ini, yaitu teologis,
naturalis dan konvensionalis. Pertama, teori teologis mengatakan bahwa
manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan dan pada mulanya Tuhanlah
yang mengajarkannya pada Adam, nenek moyang seluruh manusia. Pendapat
ini dipengaruhi oleh cerita dalam Bibel dan al-Qur'an yang di dalamnya
13Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 284 14Ibid, hlm. 285.
23
dikisahkan Tuhan mengajarkan nama-nama benda kepada manusia pertama
itu.15
Kedua adalah teori naturalis yang mengatakan bahwa kemampuan
berbahasa manusia adalah bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk
melihat dan mendengar. Teori ini diperkenalkan ulang oleh Max Muller
(1883-1900) yang kemudian lebih populer dengan sebutan ding-dong theory
yang berpandangan bahwa pada mulanya bahasa muncul secara alamiah,
muncul secara spontan ketika manusia berinteraksi dengan lingkungannya,
terutama ketika mendengar suara-suara alam. Dikatakan teori dingdong karena
getaran suara yang ditangkap oleh indera telinga bagaikan pukulan pada bel,
sehingga melahirkan bunyi yang kemudian diteruskan oleh mulut. Jadi, telinga
merupakan transmitter suara alam yang kemudian disuarakan oleh organ
mulut.
Teori ketiga, yakni teori konvensionalis adalah teori yang paling
memberikan kemungkinkan besar untuk melakukan pendekatan secara
semantik. Teori ini mengatakan bahwa bahasa muncul sebagai produk sosial.
la merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan
bersama-sama secara turun temurun. Salah satu bentuk konvensi yang terkenal
adalah yo-he-ho theory. 16 Karena itu bisa saja terjadi untuk mengungkapkan
sesuatu yang sama, kelompok masyarakat yang berbeda mengungkapkannya
dengan bahasa yang berbeda pula. Pada kenyataannya, memang itulah yang
terjadi.
Penggunaan semantik di sini, penulis maksudkan untuk mengkaji
secara analitik terhadap kata-kata kunci tertentu suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual,
Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa
itu. Tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi,
"pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
15Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm.
35 16Ibid, hlm. 36-37
24
Semantik akan memberikan peluang munculnya tipe ontologi hidup
yang dinamik dari al-Qur'an dengan penelaahan analitis dan metodologis
terhadap konsep-konsep pokok dan mengetahui dengan cermat perubahan
makna yang terjadi pada kata.
Demikianlah, berbagai teori mengenai asal-usul bahasa diperkaya oleh
pandangan teologis dan keyakinan agama serta mitos-mitos. Sebagaimana
bangsa Mesir yang merasa bahwa Phrygian sebagai bahasa yang paling tua,
maka orang India pun berkeyakinan bahwa bahasa yang diajarkan Tuhan
pertama kali adalah bahasa Hindik, demikian pula orang Cina mempunyai
klaim bahwa bahasa Cina merupakan bahasa tertua yang diajarkan Tuhan.
Sementara orang Muslim-Arab mempercayai bahwa Tuhan akan mengadili
manusia di akhirat dengan bahasa Arab, karena wahyu al-Qur'an yang
merupakan kalam Tuhan adalah berbahasa Arab.
D. Contoh-Contoh Penggunaan Metode Semantik Dalam Al-Qur'an
Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani
"metodos". Kata ini terdiri dari dua suku kata: yaitu "metha" yang berarti
melalui atau melewati dan "hodos" yang berarti jalan atau cara. Metode berarti
suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Arab metode
disebut "thariqat".17 Zakiah Daradjat menyatakan, metode berarti suatu cara
kerja yang sistematik dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan. Ia
merupakan jawaban atas pertanyaan "Bagaimana".18 Sedangkan al-Qur'an
merupakan mukjizat yang terbesar di antara mukjizat yang pernah Allah
berikan kepada para Nabi-Nya.19 Jika berkata "mukjizat al-Qur'an" makna ini
berarti bahwa mukjizat (bukti kebenaran) tersebut adalah mukjizat yang
17Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002), hlm. 40 18Zakiah Daradjat dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), hlm. 1 19Zalbawie Soejoeti, et al, Al-Islam dan IPTEK, buku 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada1998), 3
25
dimiliki atau yang terdapat di dalam al-Qur'an, bukannya bukti kebenaran
yang datang dari luar al-Qur'an atau faktor luar.20
Perkataan Qur’an atau Al-Qur’an, menurut bahasa, ialah bacaan atau
yang dibaca. Al-Qur’an diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu maqru = yang
dibaca.21 Secara terminologis (istilah) Safi Hasan Abu Thalib yang dikutip
Romli SA, menegaskan
مأن الكريالقرمناةاظفلا بلز لعبرةيو ماعمهني عن اهللادن ت العى عن
اسس اوه ومالالس واةل الصهيل عدمح مىبي النل اىحلو ايقرط
رالشيةعا ولصألا اهلو 22 Artinya: Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal bahasa
Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syari’at.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an merupakan
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
menggunakan Bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara
mutawatir, dari generasi ke generasi hingga sampai sekarang ini. Penukilan
secara mutawatir ini di mana Al-Qur’an begitu disampaikan kepada para
sahabat, maka para sahabat menghafal dan menyampaikan pula kepada orang
banyak, dan dalam penyampaiannya tidak mungkin mereka sepakat untuk
melakukan kebohongan.
Dalam konteksnya dengan definisi Al-Qur’an di atas, Manna Khalil al-
Qhattan memberi komentar sebagai berikut
20 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 43 21TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT
Pustaka Rizki Putra, Semarang 1997, hlm. 3. 22 Romli SA, Muqaranah Mazahib fi al-Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999,
hlm. 55.
26
“Qur’an pada mulanya seperti Qiraah, yaitu masdar (infinitif) dari kata qara’a, qiraatan, Qur’anan. Dari keadaan tersebut Qur’an memang sukar diberi batasan dengan definisi-definisi logika yang mengelompokkan segala jenis bagian-bagian serta ketentuannya yang khusus, mempunyai genus, diferrentia dan propium, sehingga definisi Qur’an mempunyai batasan yang benar-benar kongkrit. Definisi yang kongkrit untuk Qur’an ialah menghadirkannya dalam pikiran atau dalam realita seperti kita menunjuk sebagai Qur’an kepada yang tertulis di dalam mushaf atau terbaca dengan lisan.”23
Semua isi Al-Qur’an merupakan syari’at, pilar dan azas agama Islam,
serta dapat memberikan pengertian yang komprehensif untuk menjelaskan
suatu argumentasi dalam menetapkan suatu produk hukum, sehingga sulit
disanggah kebenarannya oleh siapa pun.24 Al-Qur'an sebagai syari'at, pilar dan
azas agama Islam telah berhasil melumpuhkan syair-syair orang Arab saat itu,
dan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi pilihan telah berhasil meletakkan
sendi-sendi al-Qur'an di tengah-tengah bangsa yang terkenal jahiliyah pada
waktu itu. Itulah sebabnya lawan dan kawan mengagumi keberhasilan Nabi
Muhammad SAW dalam menyampaikan syi'ar Islam.
Dengan penyebaran agama Islam ke utara dan selatan Arabia, maka
cita-cita Nabi untuk menyatukan Arabia lewat Islam dan melahirkan suatu
masyarakat berdasarkan keadilan dan kebajikan telah terwujud adanya. Nabi
Muhammad SAW, telah mempersatukan suku-suku yang selama ini
bermusuhan; antara yang kaya dan miskin; antara yang kuat dan yang lemah
ke dalam suatu tatanan sosial di mana perbedaan hanya didasarkan atas
kemuliaan atau kesalehan.25 Marshall GS Hodgson, menegaskan bahwa Nabi
telah menciptakan sebuah pemerintahan lokal yang baru, yang didirikan atas
dasar pandangan kenabiannya. Tetapi segera setelah itu pemerintahan tersebut
mencapai dimensi internasional yang berjangkauan jauh.26
23Manna Khalil al-Qhatan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, cet 6, terj. Mudzakir A.S, PT
Pustaka Litera, Antar Nusa, Jakarta 2001, hlm. 15-18. 24Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, terj.M.Thohir dan
Team Titian Ilahi, Dinamika, Yogyakarta, 1996, hlm. 16. 25Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Hamba Allah, Terj. R.Soerjadi Djojopranoto,
(Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 53 26Marshal G.S.Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Dunia, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 271
27
Nabi Muhammad SAW merupakan penutup segala nabi. Ia mampu
mengubah keadaan manusia di semanjung Arabia dari kegelapan menuju titik
terang.27 Ia bukan hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga pemimpin dari
segala pemimpin. Karena itu Michael H. Hart mengatakan :
A striking example of this is my rangking Muhammad higher than Jesus, in large part because of my belief that Muhammad had a much greater personal influence on the formulation of the Moslem religion that Jesus had on the formulation of the Christian religion…My choice of Muhammad to lead the list of the world’s most influential persons may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was spremely seccesful on both the religious and secular levels…Furthermore, Muhammad (unlike Jesus) was a secular as well as a religious leader. In fact, as the driving force behind the Arab conquests, he may well rank as the most influential political leader of all time.28 Artinya: “Sebuah contoh yang mencolok mata tentang hal ini ialah tata
urutan (rangking) yang saya susun yang menempatkan Muhammad lebih tinggi daripada Jesus (Isa), terutama disebabkan karena keyakinan saya bahwa Muhammad secara pribadi jauh lebih berpengaruh pada perumusan agama yang dianut orang Islam, daripada Jesus pada perumusan agama Kristen…Jatuhnya pilihan saya kepada Muhammad untuk memimpin di tempat teratas dalam daftar pribadi-pribadi yang paling berpengaruh di dunia ini, mungkin mengejutkan beberapa pembaca dan mungkin pula dipertanyakan oleh yang lain, namun dia memang orang satu-satunya dalam sejarah yang telah berhasil secara unggul dan agung, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang keduniaan…Tambahan pula, berbeda dengan Jesus, Muhammad itu seorang pemimpin keduniaan dan sekaligus keagamaan. Nyatanya, sebagai kekuatan yang mendorong kemenangan-kemenangan orang-orang Arab (Muslim), dia seyogyanya menempati urutan sebagai pemimpin politik yang paling berhasil sepanjang masa”.
27 Bey Ariffin, Maria, Yesus dan Muhammad, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm.
94. 28 Michhael H. Hart, The 100 A Ranking of the Most Influential Persons in History,
(New York: Persons in History, 1978), hlm. 28, 33 dan 39.
28
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi yang berhasil dalam segala bidang. Ia memiliki beberapa
keistimewaan antara lain tiga keistimewaan yang dimiliki oleh Muhammad
SAW daripada Rasul-rasul terdahulu.
Pertama, beliau adalah Nabi/Rasul terakhir. Tidak akan datang lagi
nabi dan rasul sesudahnya. Risalahnya sudah sempurna buat memimpin
manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Kedua, beliau adalah
nabi/rasul internasional. Risalahnya universal, ditujukan kepada seluruh
manusia, semua ras, bangsa dan bahasa, sampai ke ujung zaman. Ketiga,
Muhammad SAW adalah semulia-mulia Nabi dan Rasul daripada Nabi/Rasul
terdahulu. Dari sekian Rasul yang dikisahkan dalam al-Qur'an sejak dari
Adam a.s. yang berjumlah 25 itu, maka lima di antaranya disebut “Ulul Azmi”
, artinya rasul-rasul yang terkenal keras kemauan dan cita-citanya. Mereka itu
ialah Muhammad SAW, Nuh AS, Ibrahim AS, Musa A.S., dan Isa A.S.29
Islam hadir pada abad ke-7 M membawa petunjuk (hudan} dari Allah.
Petunjuknya antara lain adalah sistem keyakinan. Prinsip dalam petunjuk
Islam adalah membenarkan yang sebelumnya memang sudah benar dan
meluruskan yang sebelumnya bengkok atau tidak benar. Islam banyak
memberikan pemahaman-pemahaman baru kepada masyarakat yang
dihadapinya.
Bangkitnya Islam, barangkali satu peristiwa paling menakjubkan
dalam sejarah manusia. Dalam tempo seabad saja, dari gurun tandus dan suku
bangsa terbelakang, Islam telah tersebar hampir menggenangi separo dunia.
Menghancurkan kejadian-kejadian besar, memusnahkan beberapa agama
besar, yang telah dianut berbilang zaman dan abad. Mengadakan revolusi
berpikir dalam jiwa bangsa-bangsa. Dan sekaligus membina satu dunia baru,
dunia Islam.30
Islam kemudian memberikan pengaruh besar pada perubahan
pemahaman mitos, simbol dan lain sebagainya, dari pemahaman sebelumnya
29 Nasruddin Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, hlm. 194-195. 30 L. Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966), hlm. 11
29
menuju pemahaman baru. Yang paling mencolok dalam hal ini adalah
perubahan prinsip yang menjadi tuntutan dalam kehidupan pra-Islam yang
disandarkan pada tradisi suku atau adat istiadat nenek moyang. Tolok ukur
sesuatu di anggap sebuah kebaikan atau keburukan adalah berdasarkan pada
keberadaannya dalam tradisi nenek moyang mereka, sehingga mereka
kemudian terjebak pada tata nilai yang tradisional, kaku dan mengikat.31
Sebelum datang agama Islam, mereka telah mempunyai berbagai
macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Agama
baru ini pun datang membawa akhlak, hukum-hukum dan peraturan-peraturan
hidup. Salah satu faktor penyebab ketidakmauan mereka untuk menerima
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah karena mereka tidak
menemukan ajaran-ajaran itu dalam tradisi nenek moyang mereka yang selalu
mereka banggakan.32
لوا أواءنه آبليا عنا ألفيم بعتل نقالوا ب ل اللها أنزوا مبعات مإذا قيل لهو
)170: البقرة (كان آباؤهم ال يعقلون شيئا وال يهتدون
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!", mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapatkan petunjuk", (al-Baqarah: 170).
وإذا قيل لهم تعالوا إلى ما أنزل الله وإلى الرسول قالوا حسبنا ما وجدنا
)104: املائدة (عليه آباءنا أولو كان آباؤهم ال يعلمون شيئا وال يهتدون
31Karen Armsrong, Muhammad: Biografi Sang Nabi, Terj. Joko Sudaryanto,
(Yogyakarta: Jendela, 2004), hlm. 131-132 32A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta: PT
Alhusna Zikra, 1997), hlm. 29
30
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul", mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami, apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk". (al-Maidah: 104)
Toshihiko Izutsu menyatakan: barangkali keadaan yang paling
mencolok dalam perkembangan gagasan moral kuna adalah bahwa Islam
memproklamirkan sebuah moralitas baru yang seluruhnya berdasarkan pada
kemutlakan Kehendak Tuhan, sedangkan prinsip yang menjadi tuntutan dalam
kehidupan moral pra Islam adalah tradisi suku, atau adat istiadat nenek
moyang.33 Pernyataan Toshihiko Izutsu mengisaratkan bahwa setelah Islam
datang penyandaran dilakukan secara keseluruhan pada kemutlakan Tuhan.
lstilah-istilah yang semula hanya bervisi dunia, kemudian sangat sarat dengan
visi ideologi teosentrik-monoteistik yang memperkenalkan konsep
eskatologis. Itulah sebabnya Philip K.Hitti menyatakan:
Bagian al-Qur'an yang paling mengesankan adalah bagian yang
mengungkap persoalan eskatologis. Bahkan untuk persoalan ini, al-Qur'an
menyajikan satu surah utuh (surah ke-75) yang diberi nama Hari Kebangkitan
(al-Qiyamah). Kehidupan di masa depan ditekankan melalui berbagai istilah
yang disebutkan berulang-ulang, seperti "hari pembalasan" (Q.S. 15: 35-36;
82: 17-18), "hari kebangkitan" (Q.S. 22: 7; 30: 56), "hari itu" (Q.S. 24: 24-25;
33), "saat itu" (Q.S. 15: 77; 18: 21) dan "yang pasti" (Q.S. 69: 1-2). Kehidupan
masa depan sebagaimana yang digambarkan al-Qur'an, dengan kepedihan dan
kenikmatan yang dirasakan tubuh, mengisyaratkan adanya kebangkitan jasad
manusia.34
Sehubungan dengan tumbuhnya kepercayaan pada hal-hal yang
bersifat eskatologis, maka secara perlahan telah terjadi pergeseran makna.
Beberapa contoh kata yang mengalami pergeseran semantik yaitu taqwa,
33Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Al-Qur'an, Terj. Agus Fahri Husein, et al, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), hlm. 53
34Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: The Macmillan Press LTD, 1970), hlm. 163
31
sa'ah, yawm dan kufr. Keempat contoh kata tersebut dapat dianggap
representalif untuk membuktikan bahwa memang terdapat kata-kata yang
dipergunakan al-Qur'an yang masuk ke dalam wilayah semantik.
Istilah taqwa menempati posisi yang sangat sentral dalam ajaran Islam
dan sangat populer di kalangan muslim lewat khuthbah-khuthbah Jum'at di
mana anjuran untuk bertaqwa selalu dikemukakan karena merupakan salah
satu syarat khuthbah. Anjuran bertaqwa ini biasanya dilakukan dengan
mengutip ayat al-Qur'an: 35
آل (يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته وال تموتن إال وأنتم مسلمون
)102: عمران
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa. Dan janganlah kamu mati, kecuali dalam (keadaan) berserah diri (sebagai seorang muslim)". (Ali-Imran: 102).36
Pengertian yang umumnya ditangkap oleh umat Islam adalah
pengertian yang sangat sederhana yaitu taqwa adalah "takut kepada Tuhan"
yang termanifestasi dalam kehidupan dalam bentuk "menjalankan segala
perintahNya dan menjauhi segala laranganNya". Karena pengertian sederhana
ini, para penterjemah seperti J.M. Rodwell, mengalihbahasakan muttaqi
menjadi God Fearing, "orang yang takut (kepada Tuhan)".
Toshihiko Izutsu, seorang Orientalist dan Guru Besar Linguistik pada
Universitas Keio, Tokyo, yang diakui kepakarannya dalam bahasa Arab dan
bahasa al-Qur'an, berspekulasi bahwa konsep taqwa yang berasal dari budaya
tradisional pra-Islam diangkat oleh al-Qur'an sebagai gebrakan terhadap sifat-
35M.Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 154 36Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 92
32
sifat kesombongan, kecongkakan dan keangkuhan bangsa Arab agar mereka
menurunkan perasaan takaburnya yang berlebihan..
Sastra Jahiliyah menunjukkan bahwa taqwa muncul dalam bentuk kata
kerja seperti yattaqi, yattaqun, atau ittaqa yang tidak memiliki konotasi
religius, moral atau etik apapun. Kata-kata tersebut hanya mengandung
pengertian "menjaga diri seseorang dari sesuatu yang membahayakan". Oleh
al-Qur'an, kala kerja-kala kerja tersebut diangkat dalam berbagai kata jadian,
tetapi diisi dengan pengertian moral dan etis yang mendalam. Istilah taqwa
dengan segala bentuk derivasinya, dipetik oleh al-Qur'an seluruhnya sebanyak
242 kali, dengan klasifikasi 102 terdapat dalam surat-surat Makkiyah dan 140
yang lain terdapat dalam surat-surat madaniyah
Menurut Izutsu, taqwa sama sekali bukan "takut" dalam pengertian
yang biasa, karena pengertian ini mempunyai kata sendiri dalam al-Qur'an
yang mewakili secara lebih tepat yaitu kata khasyiya dan khawf.37 Takut yang
terkandung dalam kata taqwa adalah takut yang berhubungan dengan
datangnya qiyamat yang dikabarkan oleh al-Qur'an,
ظيمء عية شاعلة السلزإن ز كمبقوا رات اسا النها أي1: احلج (ي(
Artinya: "Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang amat dahsyat" (Al-Hajj: 1).
Pengertian ini diperkuat oleh ayat yang lain yang memberikan
pengertian tentang taqwa dalam konteks yang sama.
قنيتذكرا للماء وضيقان وون الفرارهى ووسا منيآت لقد48{و { الذين
)49-48: األنبياء (مشفقونيخشون ربهم بالغيب وهم من الساعة
37M.Dawam Rahardjo, op. cit, hlm. 155-156
33
Artinya: "Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang takut akan (adzab) Tuhan mereka sedang mereka tidak melihatNya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari qiyamat", (al-Anbiya: 48-49)
Kedua ayat di atas, secara jelas menyatakan penarikan al-Qur'an
kepada visi eskatologis.
Lebih mengerucut lagi, seorang muslim tidak boleh memiliki rasa
takut kecuali hanya kepada Allah. Tentu saja ketakutan di sini bukan takut
yang tidak rasional akan tetapi sebaliknya, takut yang rasional sebagaimana
yang dilukiskan oleh al-Qur'an:
قوا اللهتفلي همليافوا عافا خة ضعيذر لفهمخ كوا منرت لو الذين شخليو
)9: النساء (وليقولوا قوال سديدا
Artinya: Dan hendaklah orang-orang takut (khasyyah) kalau-kalau di belakang hari, mereka meninggalkan generasi sesudahnya dalam keadaan lemah yang merasa cemas akan nasib mereka; maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan berkata dengan kata-kata yang benar", (al-Nisa': 9).38
Bukti lain yang lebih konkrit bahwa taqwa dimasuki visi eskatologis
sehingga makna takut yang dikandungnya bukan lagi rasa takut yang biasa
sebagaimana telah tersebut sebelumnya adalah bahwa Allah akan
memasukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir karena tindakan
mereka yang mensekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak pernah
diturunkan oleh Allah.
38Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, op. cit, hlm.
116
34
سنلقي في قلوب الذين كفروا الرعب بما أشركوا بالله ما لم ينزل به
)151: آل عمران ...(سلطانا
Artinya: "Akan kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir, rasa takut disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu…", (Ali Imran- 151)
Sebaliknya, karena ketaqwaan yang dimiliki oleh orang-orang yang
beriman dan kemudian memanifestasikan ke dalam bentuk amal shaleh,
mereka terhindar dari segala bentuk ketakutan.
إن الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئني من آمن بالله واليوم
مال هو همليع فوال خو همبر عند مهرأج مالحا فلهمل صعاآلخر و
)62: البقرة (يحزنون
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang Yahudi, orang Nashrani dan orang Shabi'in, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir kemudian berbuat baik, mereka akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan (khawf) akan menimpa mereka dan mereka tidak akan menderita", (Al-Baqarah: 62)39
فوفال خ ايده بعن تى فمدي هنكم منأتيا يميعا فإما جهبطوا منا اهقلن
)38: البقرة (عليهم وال هم يحزنون
Artinya: "Kami berfirman: Tinggalkan keadaan seperti ini. Sesungguhnya akan datang kepada kamu petunjuk (hudan) dari-Ku. Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, maka akan lenyap segala ketakutan (khawf) dan tak ada pula kesusahan (huzn) (al-Baqarah: 38)
39Ibid, hlm. 19
35
Uraian di atas telah menunjukkan proses pengisian visi Islam yang
teosentrik-monoteistik dan bernuansa eskatologis ke dalam istilah taqwa yang
sebelumnya sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam
yang hanya bervisi duniawi, sebagaimana inti dasar kata ini pada zaman
jahiliyah adalah "sikap membela diri sendiri baik binatang maupun manusia,
untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan destruktif dari luar. Kata ini
masuk ke dalam sistem konsep Islam dengan membawa serta makna dasar ini
walaupun pada tahapan selanjutnya tidak begitu dikenal karena justru kalah
dengan makna barunya.40
Bahkan untuk menjelaskan konsep eskatologis sendiri al-Qur'an
menggunakan kata sa'ah seperti telah Jelas dalam ayat-ayat sebelumnya dan
yawm yang pada awalnya berarti tidak lebih dari sekedar "saat" dan "hari"
yang biasa saja. Akan tetapi kemudian al-Qur'an menggunakannya dengan
muatan baru yang terkandung di dalam dua kata tersebut sehingga artinya
menjadi "saat datangnya kiamat" dan "hari kiamat".
Kata sa'ah tidak membutuhkan kombinasi yang khusus untuk
menyampaikan muatan eskatologisnya karena kata sa'ah, itu sendiri kemudian
sudah cukup dipahami dalam konteks-konteks tertentu. Contoh selain yang
sudah tertera di atas adalah:
: النازعات , 187: األعراف...(يسألونك عن الساعة أيان مرساها
42(
Artinya: "Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat (sa'ah)" (al-A'raf: 187 dan al-Naazi'at: 42)
Demikian halnya dengan kata yawm. Pada banyak tempat dalam al-
Quran yawm menunjukkan konteks qiyamat walaupun tidak tersusun dengan
kata qiyamat itu sendiri
40M.Dawam Rahardjo, op. cit, hlm. 158
36
يوم يقوم } 37{والأرض وما بينهما الرحمن لا يملكون منه خطابا
ويقول الكافر يا يوم ينظر المرء ما قدمت يداه...الروح والملائكة صفا
)38-40: النبأ (ليتني كنت ترابا
Artinya: "Pada hari (yawm) kelika ruh dan para Malaikat berdiri bershaf-shaf...... Pada hari (yawm) manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya", (al-Naba': 38-40).41
Contoh terakhir yang akan penulis sajikan adalah pergeseran makna
semantik kata kufr. Kufr dari segi bahasa berarti menutupi. Term-term kufr
yang terulang sebanyak 525 kali itu, meskipun tidak seluruhnya merujuk
kepada arti kufr secara istilah (terminologi), namun semuanya dapat dirujukan
kepada makna kufr secara bahasa.42
Pada masa pra-lslam, kata ini secara tepat dan mendasar berarti tidak
bersyukur kepada orang lain yang memberikan pertolongan atau telah berbuat
baik, sehingga pada masa ini kata kufr secara tepat berlawanan dengan kata
syakara. Al-Qur'an dengan membawa makna relasional kata ini tanpa
mengeliminir makna dasar yang dipahami sebelumnya dengan
memperlawankannya juga dengan iman (percaya) dan Islam (pasrah),
sehingga dalam al-Qur'an masih dapat ditemukan makna-makna kufr baik
makna dasarnya maupun makna relasionalnya.
Makna-makna dasar itu masih bisa ditemukan pada beberapa tempat
seperti:
41Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, op. cit, hlm.
1016 42Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
hlm. 30
37
ديدذابي لشإن ع متلئن كفرو كمنألزيد متكرلئن ش كمبأذن رإذ تو
)7: إبراهيم(
Artinya: "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (kafir) (nikmatku), maka sesungguhnya azab-Ku teramat pedih", (Ibrahim: 7)
...كرمي ي غنيبفإن ر ن كفرمفسه ولن كرشا يمفإن كرن شمالنمل (و :
40(
Artinya: "Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar (kafara), maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia", (al-Naml: 40).
Sedangkan kufr dalam konteks makna yang berlawanan dengan kata
iman secara jelas dapat ditemukan dalam surat al-Nisa': 137.
كن اللهي وا كفرا لمادداز وا ثمكفر وا ثمنآم وا ثمكفر وا ثمنآم إن الذين
)137: النساء (ليغفر لهم وال ليهديهم سبيال
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus", (al-Nisa': 137).43
43Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, op. cit, hlm.
145
38
Secara semantik, term kufr mempunyai keterkaitan kuat dengan term-
term lain dalam Al-Qur'an yang mengandung etika buruk. Term-term yang
secara langsung dan eksplisit, mengandung makna kufr pada dirinya, selain
term kufr sendiri, adalah juhud, ilhad, inkar, dan syirk. Sedangkan term-term
lain yang secara tidak langsung dan implisit mengandung makna kekafiran
adalah fisq (fusuq), zulm, fujur, jurm (ijram), dalal dan ghayy, fasad, I'tida,
israf, isyan, kibr (takabbur, istikbar), kidhb (takhdhib) dan ghaflat. Term-term
ini, bila muncul dalam bentuk ism al-fa'il (active partisipial, pelaku),
umumnya merujuk kepada orang-orang kafir. Ini membuktikan bahwa kufr
adalah term yang berdimensi banyak, dapat dilihat dari berbagai aspek makna,
dan sekaligus menempati posisi sentral dari seluruh etik jahat dalam al-
Qur'an.44
44Harifuddin Cawidu, op. cit, hlm. 229