20
BAB II
PERKEMBANGAN PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA
TAHUN 1946-1965
A. Latar Belakang Terbentuknya PWI
Berakhirnya masa penjajahan Jepang pada pertengahan bulan Agustus
1945 memunculkan kekuatan-kekuatan terpendam yang bersifat revolusioner dari
dalam masyarakat Indonesia, salah satunya adalah wartawan. Setelah deklarasai
kemerdekaan Indonesia, wartawan-wartawan segera melancarkan kegiatan
pemberitaan dan penerangan mendukung Proklamasi. Mereka juga mengambil
alih suratkabar dan percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang. Keberadaan pers
serta insan pers pada masa awal kemerdekaan Indonesia memang tidak dapat
dipisahkan dari perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Pers
nasional menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan yang berorientasi pada
bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Pers Indonesia menjadi
barisan terdepan dalam menghadapi penjajah dan perjuangan bangsa. Dalam
situasi yang demikian muncul gagasan untuk membentuk perhimpunan wartawan
sebagai wadah untuk mengkoordinasi kepentingan-kepentingan pers nasional.
Gagasan membentuk organisasi wartawan ini bermula ketika sejumlah
wartawan berkumpul di Yogyakarta, yang pada tahun 1946 menjadi Ibukota
Republik Indonesia untuk meliput Kongres Bahasa Indonesia. Pertemuan para
wartawan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan kongres wartawan di
21
Solo. Tujuan kongres yaitu untuk mempersatukan kaum wartawan dan untuk
menarik perhatian masyarakat luar tentang keberadaan Republik Indonesia. Pada
25 Januari 1946 terbentuklah Panitia Persiapan Kongres, yang selanjutnya akan
menangani usaha mendirikan sebuah organisasi wartawan Indonesia.1Susunan
Panitia Persiapan Kongres tersebut adalah sebagai berikut: Burhanuddin
Mohammad Diah sebagai ketua, Soemantoro sebagai wakil ketua, R.M.
Soemanang Soeriwinoto sebagai sekretaris, R. Mashoedi Darmosoegito sebagai
bendahara, dan yang menjadi anggota adalah Safioedin, R.M. Sadono Dibjowirojo,
R.M. Darmosoegondo, Soerono Wirohardjono, dan Soelistio.2
Gambar 1
Suasana Kongres PWI pertama di Solo tanggal 9 Februari 1946
Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia
Kongres wartawan pertama berlangsung di Kota Solo, tepatnya di
Gedung Societeit Sasono Suko, yang sekarang menjadi Gedung Monumen Pers Jl.
Gadjah Mada nomor 59. Kongres ini berlangsung selama 2 hari, yaitu pada
tanggal 9 dan 10 Februari 1946. Peserta yang hadir pada hari pertama sekitar 300
1 Ardus M. Sawega, “Detik-Detik Lahirnya PWI” Dalam Profesionalisme
Pers Nasional Setelah 50 Tahun, 9 Februari 1996, hlm 28. 2 Soebagijo I.N, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, Lintasan Sejarah
PWI, (Jakarta: PWI Pusat, 1977), hlm 13.
22
orang, terdiri dari kalangan penerbit, penyiar radio, jawatan penerangan,
“pembantu tersiar”, dan 92 diantaranya adalah jurnalis. Para wartawan yang
datang berasal dari berbagai kota di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Semarang, Solo, Surabaya, Kediri, Mojokerto, Malang. Juga beberapa dari luar
jawa seperti dari Padang dan Makassar.3
Hari-hari menjelang lahirnya PWI tidak dapat dipisahkan dari keadaan
Indonesia yang masih berusia muda. Suatu bangsa yang masih berusia enam bulan
mengalami kemerdekaan, dan masih mempertahankan kemerdekaan tersebut. Hal
ini membuat suasana kongres PWI pertama diliputi oleh semangat perjuangan,
semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah. Dengan
penampilan yang beraneka ragam, wartawan yang hadir dalam Kongres wartawan
pertama ini tidak hanya membawa pena, namun juga membawa senjata seperti
pistol, bambu runcing, kelewang, golok, keris, serta belati.4
Kongres ini
merupakan forum dan sarana meneguhkan patriotisme-nasionalisme sambil
mengkampanyekan pers nasional sebagai salah satu kekuatan kemerdekaan.
Soemanang menyatakan bahwa pada waktu itu wartawan tidak mengenal apa
yang disebut ambisi-ambisi perseorangan maupun politik, tidak ada iri hati atau
permusuhan diantara yang hadir dalam kongres PWI yang pertama. Semuanya
hanya ingin mengabdikan pers dan pekerjaan kewartawanan untuk perjuangan
kemerdekaan.5 Oleh karena itu hasil kongres berisi kesepakatan wartawan untuk
3 Ardus M. Sawega, op. cit., hlm 29.
4 Ibid.
5 Kompas, 9 Februari 1971.
23
menyatukan barisan pers nasional menentang penjajahan, menegakkan persatuan
nasional, kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Sidang hari pertama yang berlangsung tanggal 9 Februari 1946 dimulai
pada jam 20.00. Saat pembukaan, Ketua Panitia Kongres B.M. Diah berhalangan
hadir karena kereta dari Jakarta yang ditumpanginya menghadapi halangan. Oleh
karena itu, pada sidang hari pertama pimpinan sidang dialihkan kepada
Sumantoro selaku wakil ketua untuk memimpin jalannya sidang. Keputusan-
keputusan yang dihasilkan antara lain: menyutujui berdirinya perhimpunan kaum
wartawan, nama perhimpunan akan dibicarakan pada hari kedua dalam
membicarakan Peraturan Perhimpunan atau Anggaran Dasar, serta pembentukan
panitia untuk memilih nama himpunan dan merencanakan Anggaran Dasar.6
Sidang hari kedua, tanggal 10 Februari 1946, dihadiri oleh sekitar 200
orang. Pada sidang tersebut disepakati rencana peraturan organisasi dan sekaligus
mensahkan organisasi PWI. Selanjutnya sidang memilih kepengurusan sederhana
organisasi PWI. Pengurus PWI yang pertama adalah sebagai berikut: Mr
Soemanang dari suratkabar Harian Nasional sebagai ketua, Syamsuddin Sutan
Makmur (Harian Rakjat) sebagai wakil ketua, lalu sebagai anggota B.M. Diah
(Merdeka), Sumantoro (Kedaulatan Rakjat), Ronggo Danukusumo (Suara Rakjat),
Djawoto (Antara), dan Harsono Tjokroaminoto (Al-Jihad). Struktur organisasi
PWI yang pertama ini masih sangat sederhana, karena belum adanya
pembidangan kerja serta seksi-seksi. Kemudian peserta sidang menunjuk kota
6 Soebagijo I.N, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, op. cit., hlm 15.
24
Solo sebagai tempat sekretariat organisasi yang diketuai oleh Sudarjo
Tjokrosisworo.7
Keputusan lain yang dihasilkan oleh Kongres PWI yang pertama yaitu
terbentuknya Panitia untuk mengurusi bahan-bahan kebutuhan penerbitan pers.
Panitia ini diketuai oleh Syamsuddin Sutan Makmur, dan yang menjadi
anggotanya adalah B.M. Diah, Djoyosupadmo, Bambang Suprapto, Ranggo
Danukusumo, Mohammad Kurdi, Rachmat Nasution dan Sudjono.8 Tokoh-tokoh
pers yang terlibat dalam organisasi PWI tidak berbeda dengan pengurus
Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI)9, hal ini menunjukkan bahwa adanya
kesinambungan organisasi wartawan, yakni kesinambungan organisasi wartawan
pada cita-cita yang sama, meskipun dengan nama organisasi berbeda.
B. Perkembangan PWI Masa Revolusi Fisik
Perkembangan, kedudukan serta peran organisasi PWI yang
beranggotakan wartawan penerbitan pers dan media massa lainnya banyak
ditentukan oleh perjalanan pers nasional sejak Indonesia merdeka dari satu
7 Ardus M. Sawega, op. cit., hlm 30.
8 Ibid.
9 PERDI merupakan organisasi wartawan yang berdiri pada 23 Desember
1933, organisasi ini adalah organisasi wartawan Indonesia yang terbesar yang
pernah dimiliki kaum wartawan pada masa pra-perang, organisasi ini didukung
oleh sebagian besar penerbit suratkabar. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam PERDI
antara lain Sutopo Wonoboyo (mingguan Kumandang Rakjat), R.M. Soedarjo
(Suara Umum), R. Syamsoe Hadiwiyoto (harian Adil Solo), Syamsuddin Sutan
Makmur (Daya Upaya), Bakri Suraatmaja (Sipatahunan Bandung), Inu
Perbatasari Mertokusuma, Yunus Dirk Syaranamual (Suara Umum Surabaya), dan
lain-lain. Namun setelah kedatangan Jepang ke Indonesia, organisasi wartawan ini
dibubarkan karena pada masa pendudukan Jepang dilarang adanya perkumpulan
kecuali perkumpulan yang didirikan oleh Jepang. Lihat Kompas, 5 Desember
1970.
25
periode ke periode berikutnya. Sedangkan kehidupan pers tidak dapat dipisahkan
dari kondisi dan proses pembangunan politik nasional yang memperngaruhi
kedudukan dan peran setiap organisasi masyarakat. Keterlibatan wartawan dalam
pers nasional juga turut mempengaruhi perkembangan PWI. Keterlibatan
wartawan dalam aktivitas politik sangat mempengaruhi perkembangan pers dan
orientasi politik wartawan.
PWI sebagai organisasi wartawan pertama yang berdiri sejak
kemerdekaan Indonesia ini merupakan salah satu organisasi yang lahir dari rahim
revolusi kemerdekaan. Oleh karena itu organisasi ini bisa dikatakan merupakan
organisasi kejuangan yang membangun satu front persatuan untuk
mempertahankan kemerdekaan. Hal ini menyebabkan pada awal
perkembangannya PWI lebih memusatkan kegiatannya dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, hal ini dapat dilihat dari Kongres PWI pertama pada
tahun 1946 dimana PWI berfungsi sebagai forum sarana meneguhkan patriotisme-
nasionalisme sambil mengkampanyekan pers nasional sebagai salah satu kekuatan
kemerdekaan. Menteri Penerangan Mohammad Natsir dalam sambutannya pada
Kongres PWI pertama menandaskan bahwa tentara dan rakyat harus mendapat
keyakinan bahwa tujuan kita semua adalah kemerdekaan seratus persen.
Sedangkan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin dalam sambutannya
mengatakan bahwa pekerjaan wartawan adalah meyakinkan kepada umum bahwa
politik Indonesia adalah benar, yaitu mempersatukan rakyat dan tentara sehingga
26
satu dengan yang lain, saling membantu persatuan tentara resmi, TRI dan lasykar-
lasykar lainnya.10
Keadaan yang penuh dengan rasa perjuangan tersebut mempengaruhi
hasil kongres PWI yang pertama yakni kesepakatan wartawan untuk menentang
penjajahan, menegakkan persatuan nasional, kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Pada masa itu, terlihat adanya sikap wartawan yang memiliki missi mendukung
perjuangan dan membela kepentingan masyarakat. Selain itu, kongres PWI yang
pertama juga menghasilkan kesepakatan pengumpulan dana dalam jumlah tertentu
dari anggota-anggota dalam masa tiga bulan, serta perumusan adab (kode etik)
yang harus dijunjung oleh wartawan.11
Pada masa awal berdirinya, aktivitas keorganisasian PWI tidak begitu
menonjol, bahkan organisasi wartawan yang pertama tersebut belum dapat
menyelenggarakan program-programnya secara efektif,karena belum stabilnya
kondisi negara sehingga potensi masyarakat tertuju pada usaha mempertahankan
negara. Selain itu, sistem kerja dari organisasi yang belum teratur, serta tidak
tersedianya dana yang cukup untuk menunjang pelaksanaan program-program
organisasi, walaupun sudah disepakatinya dukungan dana dari anggota, namun hal
tersebut tidak terlaksana dengan baik. Keterkaitan erat wartawan dengan aktivitas
politik juga merupakan salah satu faktor penghambat untuk menumbuhkan
solidaritas atas dasar profesi. Namun PWI tetap berusaha untuk menumbuhkan
10
Ardus M. Sawega, op. cit., hlm 29. 11
Afrizal Munir, PWI Dalam Kostelasi Politik Orde Baru 1966-1985,
(Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992), hlm
39-42.
27
solidaritas di kalangan sesama anggota, seperti dilakukannya pembelaan terhadap
anggota dari tindakan penganiayaan atau tindakan dari penguasa karena alasan-
alasan tertentu.12
Usaha solidaritas PWI terlihat saat dilakukannya pembelaaan terhadap
tiga anggota redaksi Merdeka pada tahun 1946. B.M. Diah, yang juga merupakan
anggota pengurus PWI, memecat tiga rekannya karena telah dianggap melakukan
sabotase. Atas masalah tersebut, PWI terpaksa menskors B.M. Diah karena
menolak permintaan PWI untuk mencabut kembali surat keputusan pemecatan
tiga rekannya tersebut. Karena ketidakpuasannya atas keputusan Panitia
Penimbang PWI, maka B.M. Diah mendirikan sebuah organisasi wartawan
tandingan yang bernama Ikatan Wartawan Indonesia (IWI).13
Organisasi IWI dibentuk di Jakarta dengan tujuan membangun suatu
badan Persatuan Wartawan yang baru, dengan pertimbangan karena pada masa
tahun 1946 hubungan dengan daerah pedalaman sudah mulai terasa sulit. Pendiri
organisasi ini adalah para wartawan Republikein yang tinggal di Jakarta. Susunan
pengurusnya adalah sebagai berikut: Oemar Santoso sebagai ketua, Soewardi
Tasrif sebagai sekretaris, Soemardi sebagai bendahara, serta B.M. Diah sebagai
pembantu. Namun karena didukung oleh sebagian kecil wartawan dan pada tahun
12
Ibid. 13
Tiga wartawan Merdeka yang dipecat B.M. Diah adalah Rosihan Anwar,
Sutomo Satiman, dan Sudjati SA. Pemecatan dilakukan karena pemuatan rubrik
pojok “Dr. Clenik” yang dinilai cukup kasar di harian Merdeka pada tanggal 8
Oktober 1946 yang ternyata membangkitkan kemarahan Menpen Mohammad
Natsir. Lihat Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, Wartawan Terpasung:
Intervensi Negara di tubuh PWI, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998),
hlm 19.
28
1946 Ibukota Indonesia berada di Yogyakarta sehingga keberadaan IWI tidak
berkembang lebih lanjut. Pada Kongres PWI ke-II di Malang pada tanggal 23-24
Februari 1947, IWI menegaskan bahwa secara prinsipil tidak ada pertentangan
antara kedua organisasi wartawan tersebut, dan IWI siap untuk bersatu kembali
dengan PWI.14
Selain membahas tentang IWI, Kongres PWI di Malang juga
menghasilkan Ketua beserta kepengurusan baru organisasi. Terpilih menjadi ketua
yaitu Usmar Ismail dari Majalah Patriot, dan Djamal Ali dari Harian Buruh
sebagai wakil ketuanya. Namun Usmar Ismail tidak lama menjabat sebagai ketua
karena ia mengundurkan diri, dan sebagai gantinya terpilihlah ketua baru yaitu
Sumanang. Masa jabatan Sumanang juga tidak bertahan lama, ia mengundurkan
diri setelah empat bulan menjabat sebagai ketua PWI. Tampil menjadi ketua PWI
yang baru adalah Djawoto. Adanya pergantian Ketua dalam organisasi PWI ini
menunjukkan betapa sulitnya membina organisasi wartawan. Kesulitan tersebut
tidak bisa dilenyapkan dengan hanya mengganti anggota-anggota pengurusnya
atau menambah keuangan perkumpulan.15
Pada tahun 1949 PWI mengadakan Kongresnya yang ke-III, kongres ini
berlangsung sangat sederhana. Kongres yang berlangsung tanggal 7-9 tidak
dihadiri oleh banyak anggota, pertemuan diadakan di Warung “Podjok”
Judonegaran, Yogyakarta. Sidang ini memutuskan dibentuknya Serikat
Perusahaan Suratkabar (SPS) yang diketuai oleh Sumanang. SPS bertugas
14
Soebagijo I.N, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, op. cit., hlm 18-
19. 15
Ibid.
29
mengurusi logistik pers, yang menyediakan kertas koran, tinta serta huruf matrijs
untuk anggota-anggotanya. SPS terdiri dari para pemimpin perusahaan-
perusahaan suratkabar. 16
Keadaan negara pada masa Revolusi Fisik memang sangat
mempengaruhi berlangsungnya organisasi wartawan yang pertama ini. Adanya
agresi Belanda dan juga berubahnya bentuk negara dari negara kesatuan ke negara
serikat memiliki pengaruh yang sangat besar. Bisa dikatakan bahwa pada masa
Revolusi Fisik usaha mewujudkan kesatuan belum tercapai di kalangan wartawan.
Terbentuknya negara serikat turut menimbulkan terpecahnya anggota-anggota
PWI dengan terbentuknya Ikatan Wartawan Indonesia Timur di Ujung Pandang
pada tahun 1948.17
C. Perkembangan PWI Masa Demokrasi Liberal
Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag menghasilkan
bentuk negara Indonesia yang berbeda dari sebelumnya, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berubah menjadi Negara Federasi Republik Indonesia
Serikat (RIS). Namun bentuk negara serikat ini tidak berlangsung lama, karena
dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan prinsip kesatuan bangsa Indonesia.
Tepat pada 17 Agustus 1950 RIS resmi dihapus dan menjadi Republik Indonesia.
Bentuk negara yang baru didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara
16
Ibid, hlm 20. 17
Afrizal Munir, op. cit., hlm 42-43.
30
(UUDS), yang menganut sistem pemerintahan parlementer didasarkan pada
pemikiran demokrasi liberal.
Perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem Presidensil ke
sistem Parlementer membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, mereka
memasuki kehidupan politik yang memungkinkan seluruh kekuatan masyarakat
terlibat dalam penentuan kebijaksanaan nasional. Perubahan ini juga membawa
dampak yang sangat besar bagi kehidupan pers Indonesia. Pada masa ini, pers
Indonesia terbawa ke arah pers liberal ketika hampir semua media berafiliasi
dengan partai-partai politik. Pers menjadi organ suatu partai politik yang
kemudian memusuhi lawan-lawan politiknya untuk kepentingan perebutan
pengaruh di pusat kekuasaan. Kehidupan pers nasional yang sangat berpengaruh
bagi kelangsungan organisasi PWI membuat organisasi ini juga terseret dalam
aktivitas politik yang dilakukan oleh wartawan-wartawan anggotanya. Karena
pada umumnya para pemimpin pers nasional merupakan pelaku politik dan tokoh
publik, sehingga sikap politik mereka pasti mempengaruhi perumusan kebijakan
dan program PWI.
Pada awal perkembangan Demokrasi Parlementer, PWI sebagai
organisasi pers berusaha untuk meningkatkan peranan organisasi dengan
membentuk Kring-kring18
guna mempermudah urusan keorganisasian yang
18
Kring-kring merupakan istilah yang dipakai untuk pengurus PWI daerah,
yang kemudian dikenal sebagai cabang-cabang. Sampai menjelang
berlangsungnya Kongres di Surabaya, PWI telah mempunya 11 kring, yaitu
Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Palembang,
Padang, Menado dan Makasar. Lihat Soebagijo IN, Abdurrachman Surjomiharjo,
P.Swantoro, op. cit., hlm 22-23.
31
sebelumnya diatur sepenuhnya oleh Pengurus Pusat. Kring-kring mulai dikenal
pada kongres PWI yang ke-IV yang dilaksanakan di Surabaya pada tanggal 12
dan 15 Mei 1950. Dalam kongres yang ke-IV ini PWI membicarakan tentang
ketentuan keanggotaan, Soebagijo IN memaparkan mengenai ketentuan-ketentuan
tersebut yakni:
1. Anggota tetap ialah wartawan profesional dengan pengalaman
sedikitnya 5 tahun. Semua warganegara bisa diterima sebagai anggota.
Yang dimaksudkan dengan “professional’ ialah wartawan yang
mendapat nafkah sepenuhnya sebagai wartawan, atau sekurang-
kurangnya menjadikan pekerjaan wartawan sebagai sumber
penghidupan.
2. Anggota-peserta ialah mereka yang melakukan pekerjaan sebagai
wartawan, tetapi sesungguhnya tidak mempunyai status wartawan
(misalnya: pegawai penerangan, radio, dan lain-lain)
3. Anggota-kehormatan ialah wartawan profesional yang banyak sekali
pengalamannya dan bisa menjadi pelopor dalam usaha kewartawanan.
4. Anggota-muda ialah wartawan profesional yang tidak cukup atau belum
cukup pengalamannya. Dalam pada itu bisa diadakan pengecualian
terhadap mereka yang memang sangat “geschikt”. Misalnya karena
tinggi sekolahnya sehingga bisa dianggap atau diterima sebagai
32
wartawan professional dengan cukup pengalaman sesudah bekerja satu
atau dua tahun.19
Penataan internal PWI terus berlangsung seiring dengan perkembangan
masyarakat. Organisasi wartawan ini juga mulai dihubungi oleh instansi-instansi
lain di luar persuratkabaran, hal ini menunjukkan adanya perkembangan yang
signifikan dalam organisasi PWI. Wartawan-wartawan Indonesia mulai dikirim ke
luar negeri untuk bekerjasama dengan suratkabar-suratkabar yang ada di negara
lain. Adanya keputusan dari Kementrian Penerangan atas saran dan anjuran
Pengurus Pusat PWI dan Panitia Pers untuk mengirim enam orang wartawan
Indonesia ke Nederland selama enam bulan untuk bekerja disana. Enam orang
wartawan yang dikirim ke Nederland adalah Mashud (Antara), Bob Sutan
(Indonesia Raya), Soetomo Satiman (Nasional), Imam Sajono (Aneta), Sanjoto
(Pedoman) dan Darsjaf Rahman (Mimbar Indonesia). Selain itu, untuk menambah
wawasan serta pengalaman wartawan Indonesia di dalam negeri, maka
Kementerian Penerangan dan PWI Pusat mengadakan kerjasama dalam
pengiriman wartawan-wartawan untuk mengadakan peninjauan di lain daerah
Indonesia.20
Pada tahun 1951, PWI bersama dengan SPS mengadakan Konferensi di
Jakarta pada tanggal 13-15 Januari. Pada konferensi ini dilakukan pemilihan
pergantian kepengurusan PWI, serta ditentukannya kantor Pengurus Pusat yang
beralamat di Jalan Pos Utara 57, Jakarta. Selain itu Konferensi juga memutuskan
19
Ibid. 20
Ibid.
33
hal-hal sebagai berikut: yakni pemisahan antara organisasi PWI dan SPS, mulai
diadakannya hubungan dengan organisasi-organisasi internasional dan juga
mengadakan kontak dengan UNESCO bagian urusan pers, radio dan film,
mendesak pemerintah untuk mengadakan Leerstoel Journalistiek dengan sifat dan
cara serta derajat yang layak pada Universitas Indonesia, mengusahakan agar
diadakan peraturan dasar untuk menciptakan jaminan sosial dan mencegah tindak
perlakuan sewenang-wenang bagi wartawan.21
Sebagai akibat dari bentuk pemerintahan yang liberal, wajah pers
nasional juga mengikuti arus perpolitikan nasional menjadi pers yang libertarian.
Pers Indonesia di zaman Demokrasi Liberal melakukan kritik-kritik tajam
ditujukan kepada pemerintah, tokoh masyarakat, hingga kepada Presiden.
Wartawan dengan media yang dimilikinya merupakan suatu bagian dari kekuatan
tersendiri dalam masyarakat, mereka bersikap sangat politis dan tidak jarang
mengangkat kasus-kasus yang mengkritik pemerintahan. Keadaan ini
memunculkan konflik atau pertentangan antara pemerintah dan pers, sehingga
pemerintah berusaha untuk menundukkan pers dibawah kekuasaannya. Salah satu
bentuk pengendalian yang dilakukan pemerintah adalah ketika pemerintah
membentuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan pers beranggotakan
wartawan, cendekiawan, dan pejabat-pejabat pemerintah. Lembaga ini berfungsi
untuk menggantikan UU pers kolonial, memberikan dasar sosial-ekonomis kepada
insan pers Indonesia, meningkatkan mutu jurnalisme, serta mengatur tentang
kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan-wartawan Indonesia. Dengan tugas
21
Ibid., hlm 24-25.
34
yang demikian itu, dapat dikatakan bahwa Dewan Pers didirikan untuk
menggantikan atau mengambil alih pekerjaan yang seharusnya menjadi bagian
atau tugas PWI.22
Pemerintah mulai melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap
pers nasional dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berbenturan dengan
kepentingan jurnalistik wartawan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain
instruksi yang dikeluarkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (1953-1955)
untuk mengawasi suratkabar-suratkabar tertentu yang dianggap keras, seperti
Abadi, Sumber, Indonesia Raya, Pedoman. Kemudian Kementrian Penerangan
memberlakukan apa yang disebut sebagai kebijaksanaan langganan kolektif-nya,
yang bermaksud melakukan pengawasan terhadap pers. Menteri Penerangan
mengancam akan menyensor semua berita, atau membatasi aktivitas pers yang
dianggap memberikan gambaran palsu mengenai keadaan dalam negeri. Pada
pertengahan Oktober 1953 Jaksa Agung mengeluarkan pengumuman yang
meminta pers untuk menahan diri agar tidak memberitakan pernyataan-pernyataan
atas bahan-bahan berita, termasuk pidato wakil-wakil pemerintah di Parlemen
yang dapat berdampak meningkatnya pertentangan pendapat dan ketidaktenangan
di dalam negeri.23
Pembreidelan terhadap suratkabar juga dilakukan oleh negara, misalnya
yang dialami oleh suratkabar Merdeka dan Berita Indonesia yang memuat berita
seputar peristiwa 17 Oktober 1952. Seorang koresponden suratkabar Pedoman di
22
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 24. 23
Ibid., hlm 26.
35
Jakarta diinterogasi pihak kejaksaaan karena artikelnya mengenai seorang pejabat
perpajakan. Pembreidelan juga terjadi pada suratkabar Tinjauan yang telah
memuat berita mengenai Menteri Pertahanan yang menyebutkan bahwa Menhan
telah menerima suap.24
Hal ini memaksa PWI untuk mengambil sikap pembelaan
terhadap anggotanya yang terkena politik pengendalian pemerintah. Terkait
dengan pembreidelan yang dialami oleh beberapa suratkabar, PWI mengirimkan
nota protes kepada Pemerintah.
Dalam kasus lain, untuk membela anggotanya PWI bahkan melakukan
demonstrasi dengan mengkoordinasi ratusan wartawan, yang kemudian dikenal
dengan “demonstrasi 1000 wartawan”. Demonstrasi ini merupakan aksi protes
PWI terhadap pemerintah atas kasus yang dialami Asa Bafagih (Pemred
Pemandangan) yang digugat Perdana Menteri Djuanda karena tulisannya di tajuk
Pemandangan dianggap membocorkan rahasia negara. Tekanan pemerintah
terhadap Asa Bafagih telah membangkitkan rasa solidaritas di kalangan wartawan.
Demonstrasi ini dilakukan pada tanggal 5 Agustus 1953, dengan diorganisir oleh
PWI dan International Press Institute (IPI) yang dipimpin Mochtar Lubis, ratusan
wartawan yang didukung ratusan buruh percetakan dan suratkabar, ratusan pelajar
dan mahasiswa Akademi wartawan dan simpatisan melakukan long-march dan
berdemonstrasi. Langkah selanjutnya yang diambil PWI dalam menyikapi kasus
Asa bafagih tersebut adalah dengan menjadikannya salah satu bahasan dalam
Kongres PWI ke-7 yang dilaksanakan di Bali pada Agustus 1953, PWI
24
Ibid.
36
mempertimbangkan dilakukannya aksi mogok kerja sebagai bentuk protes
membela Asa Bafagih.25
Untuk mempertahankan kebebasan pers dan mencegah pembredeilan
terhadap pers, PWI pada Kongresnya yang ke-VII tahun 1953 juga mengeluarkan
keputusan yang isinya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Undang
Undang Pers yang bersumber pada kemerdekaan berfikir dan kebebasan
mengeluarkan pendapat. Kongres juga memutuskan untuk membentuk panitia
yang bersama-sama Pengurus Pusat PWI memperjuangkan dikeluarkan UU Pers
dan penghapusan Persbreidel Ordonantie. Akhirnya pemerintah mengeluarkan
UU No.23 tahun 1954 dan mencabut Persbreidel Ordonantie karena dianggap
bertentangan dengan Pasal 19 UUDS dan membatasi kemerdekaan pers. Namun
UU Pokok Pers belum dapat terwujud karena berlangsungnya pemilihan umum
pada tahun 1955 menghasilkan anggota-anggota baru Parlemen dan Kabinet
baru.26
Pada tahun-tahun selanjutnya, pemerintah semakin tidak memberi
peluang bagi suara-suara kritis media massa. Suratkabar yang merupakan media
partai politik seringkali mempertajam dan mengulas konflik-konflik politik, serta
mengkritik pejabat pemerintahan. Situasi ini membuat Angkatan Darat
mengeluarkan surat keputusan keadaan darurat yang melarang pemberitaan pers
yang bersifat provokatif. Peraturan ini berisi antara lain sebagai berikut: Dilarang
mencetak, menerbitkan, menyajikan, mengedarkan, menempelkan ataupun
25
Ibid., hlm 27-29. 26
Afrizal Munir, op. cit., hlm 47.
37
memiliki tulisan-tulisan gambar-gambar atau foto-foto yang berisi atau
mengimplikasikan atau bermaksud mengecam, menuduh atau menghina presiden,
wakil presiden, suatu persidangan pengadilan, pejabat pemerintah yang masih
berfungsi atau sebagai akibat dari pembebasan tugasnya, atau apa saja yang
mengandung pernyataan-pernyataan yang bersifat permusuhan, kebencian ataupun
penghinaan yang ditujukan kepada pemerintah atau golongan-golongan orang
tertentu; ataupun apa saja yang mengandung berita atau pengumuman yang dapat
menimbulkan kekacauan di kalangan rakyat.27
Peraturan yang dianggap sangat
merugikan wartawan ini mendapat kecaman dari segenap unsur pers. PWI sebagai
organisasi wartawan mengecam pemerintah dan akan melakukan aksi bersama
dari semua unsur pers jika dalam satu bulan peraturan tersebut tidak dicabut, dan
akhirnya peraturan tersebut dicabut kembali.28
Alam Demokrasi Liberal yang memberikan kebebasan politik untuk
membangkitkan partisipasi politik masyarakat ternyata lebih banyak diwarnai oleh
kepentingan masing-masing aliran politik. Pemilu 1955 yang merupakan Pemilu
pertama berujung pada krisis ketatanegaraan Indonesia. Ketidakstabilan politik
Indonesia pada alam Demokrasi Liberal pada perkembangan selanjutnya
memunculkan gerakan separatis di beberapa daerah. Menguatnya PKI setelah
Pemilu 1955 juga memunculkan ketidakpuasan masyarakat di daerah-daerah yang
mayoritas Islam, seperti di Aceh, Sumatra Tengah dan Jawa Barat. Hal-hal
tersebut mengakibatkan meletusnya pemberontakan-pemberontakan di daerah-
27
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 30. 28
Afrizal Munir, loc. cit.
38
daerah tersebut. Dengan banyaknya pemberontakan di wilayah Indonesia,
pemerintah mengumumkan negara dalam keadaan bahaya perang atau Staat van
Orlog en Beleg (SOB), dan dengan demikian Angkatan Darat mendapat
wewenang khusus untuk mengamankan negara.29
Diberlakukannya SOB pada tahun 1957 ini membatasi peranan pers pada
umumnya, dan membatasi ruang gerak wartawan pada khususnya. Pers sejak
masa-masa awal perkembangannya telah menunjukkan karakternya sebagai alat
perjuangan partai-partai politik sehingga telah menjadi suatu hal yang wajar jika
dalam pemberitaannya fakta tidak terlalu dipentingkan. Berita, artikel atau tajuk
yang sangat retoris memang telah merupakan bagian dari dinamika pers yang oleh
para wartawan atau editor suratkabar dianggap sebagai manifestasi dari kebebasan
pers. Sementara pemerintah menganggapnya sebagai provokasi dan sensasi politik
yang memecah belah. Oleh karena itu, pada masa ini banyak terjadi pembreidelan
dan pemberangusan koran-koran, serta penahanan wartawan.30
Munculnya militer sebagai kekuasaan yang berpengaruh pada masa SOB
membuat mereka memantapkan posisinya di bidang politik karena militer
mendapatkan peran yang lebih besar dalam fungsi politik, administrasi dan
ekonomi. Dengan alasan untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara, militer
mengeluarkan berbagai intruksi dan peringatan bagi pers. Salah satunya adalah
pengumuman yang dikeluarkan oleh Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya
29
Marlaini, Berdirinya Badan Pendukung Sukarnoisme Dinamika Pers
Pada Masa Demokrasi Terpimpin, (Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
1994), hlm 11. 30
Ibid., hlm 13-17.
39
(KMKB-DR) No.6/KKD/57 yang memuat suatu larangan mengadakan
pemberitaan-pemberitaan mengenai keadaan sekitar dan menyangkut militer
secara langsung atau tidak langsung yang sumbernya tidak berasal dari instansi-
instansi komandonya atau oleh Bagian Penerangan Angkatan Darat (Penad).
Selain itu, wartawan juga dihimbau agar menjadikan instruksi KSAD no.19/1954
sebagai pedoman untuk menilai suatu berita dapat disiarkan atau tidak. Dengan
adanya instruksi-instruksi dari pihak militer tersebut, tercatat sampai akhir tahun
1957 telah terjadi 125 tindakan terhadap pers, antara lain larangan terbit terhadap
kantor berita PIA (16-23 April 1957), Indonesia raya (24-26 April 1957), Bintang
Timur dan Pedoman (23-25 April 1957).31
Kasus pelarangan terhadap suratkabar Indonesia Raya juga
mengakibatkan Mochtar Lubis selaku Pemimpin Redaksi ditahan. Indonesia Raya
dikenal sebagai suratkabar yang tidak pernah mundur untuk membela kepentingan
rakyat. Suratkabar ini memberitakan serentetan peristiwa skandal, konflik, dan
penipuan yang terjadi pada kementrian, dan beberapa perwakilan diplomatik
Indonesia di luar negeri. Puncaknya, berita mengenai tuduhan Roeslan Abdulgani
terlibat dalam hubungannya dengan perkara yang melibatkan Lie Hok Thay,
Wakil Direktur Percetakan-percetakan Negara, Kementrian Penerangan yang
dituduh memanipulasi dana Pemilihan Umum jutaan rupiah. Berita inilah yang
membuat Mochtar Lubis ditahan dan diadili. Namun, terbatasnya ruang gerak pers
membuat PWI sebagai organisasi wartawan tidak bisa berbuat banyak atas kasus
31
Oemar Seno Adji, Pers Aspek-Aspek Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1977),
hlm 236.
40
Mochtar Lubis tersebut. PWI hanya menyerukan kepada pemerintah agar
menentukan langkah-langkah kebijakan terhadap soal-soal pers dan kewartawanan,
serta mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan UU Pers Nasional.32
Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah semakin mempertajam dan
memperkuat pengendaliannya terhadap pers. Dapat dikatakan bahwa kebebasan
menyatakan pendapat bagi wartawan dibatasi, dan berbagai peraturan pers
bermunculan dari markas besar militer. Pada bulan Oktober 1958 penguasa
perang Jakarta mengumumkan bahwa tidak ada suratkabar atau jurnal dapat terbit
tanpa mendapat izin dari mereka, dan semua penerbitan yang telah ada juga
diharuskan untuk memperbarui izin mereka. Pada 3 Juni 1959 KSAD Jenderal AH
Nasution selaku Penguasa Perang Pusat mengeluarkan Peraturan Peperpu
bernomor Prt/Peperpu/040/1959 mengenai larangan bagi aktivitas atau kegiatan
politik di Indonesia. Nasution meminta suratkabar-suratkabar agar tidak memuat
berita yang dapat merugikan kewibawaan pemerintah atau angkatan bersenjata.
Selain itu Nasution juga mengeluarkan peraturan tentang larangan pencetakan,
penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan dan
penempelah suratkabar atau majalah yang menggunakan huruf bukan latin atau
aksara Arab ataupun aksara bahasa-bahasa daerah Indonesia.33
Semenjak diberlakukannya SOB pada tahun 1957, tercatat di Jakarta
terjadi 20 kali tindakan pemberangusan suratkabar, dan diluar Jakarta terjadi 11
kali tindakan pemberangusan. Di tahun berikutnya, jumlah pembreidelan
32
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 30-36. 33
Ibid.
41
suratkabar meningkat, yaitu sebanyak 40 kasus pembreidelan atau penindakan
terhadap pers di berbagai kota di Indonesia. Kemudian di tahun 1959 terjadi 25
penerbitan di Jakarta dan 6 di berbagai kota lainnya juga mengalami pembreidelan.
Selanjutnya dengan dikeluarkannya larangan terhadap suratkabar yang
menggunaakan aksara Arab ataupun Cina, maka pemerintah mewajibkan
suratkabar-suratkabar Cina untuk mengganti namanya.34
PWI sebagai organisasi profesi wartawan pada masa ini tidak bisa
berbuat apa-apa selain tunduk pada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah ataupun Angkatan Darat. Kondisi politik nasional yang tidak stabil
juga membuat tuntutannya kepada pemerintah untuk menciptakan UU Pokok Pers
tidak bisa terwujud. Untuk membela anggota-anggotanya dan suratkabar-
suratkabar yang mengalami tindakan anti pers, PWI hanya mengimbau jika
suratkabar membuat suatu kesalahan dalam pemberitaannya agar tidak ditutup
atau dibreidel, tetapi hendaknya dituntut di pengadilan.
D. Perkembangan PWI Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
Suasana dan kondisi politik liberal menimbulkan terjadinya benturan-
benturan politik dalam masyarakat Indonesia. Masing-masing kekuatan politik
beserta dengan kepentingannya bertarung dan menimbulkan ketidakstabilan
politik yang kian parah. Akhirnya Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dekrit ini merupakan penanda berakhirnya masa Demokrasi Liberal, dan
34
FX Koesworo, JB Margantoro, Ronnie S Viko, Di Balik Tugas Kuli Tinta,
(Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994), hlm 21.
42
dimulainya sistem pemerintahan yang baru yaitu Demokrasi Terpimpin. Dengan
adanya konsep baru ini, Presiden kemudian membubarkan Dewan Konstituante
dan menggantinya dengan kabinet baru Dwikora yang langsung berada dibawah
otoritas Presiden serta diberlakukannya kembali UUD 1945. Dengan demikian
figur pemegang kekuasaan kembali ke tangan Presiden Soekarno, yang juga
menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri.35
Reformasi politik Demokrasi Terpimpim terjabarkan dalam pidato
Presiden pada 17 Agustus 1959, yakni Manifestasi Politik (Manipol) yang
kemudian ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Istilah ini pertama kali
disebutkan oleh Menteri Penerangan Maladi pada tanggal 30 Juli 1959. Pada awal
tahun 1960 Manipol ditambahkan dengan kata USDEK sebagai intisari dari
Manipol merupakan kepanjangan dari Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia.36
Manipol-USDEK sebagai ideologi Demokrasi Terpimpin secara tidak
langsung telah mengharuskan adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi
bangsa dengan jalannya revolusi. Tugas retooling ini dibebankan kepada Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution
yang mengontrol bidang kebudayaan dan pers. Lembaga ini mengadakan
penataran wajib bagi setiap wartawan media massa yang dikomandoi oleh
35
Yohanes Koko Anton Wibowo, Media Propaganda: Posisi Pers
Indonesia Dalam Peristiwa 1965 (Skripsi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm 93. 36
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 39.
43
Roeslan Abdulgani sebagai “Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusioner” dan
Menteri Penerangan dengan tujuan agar setiap wartawan dapat memahami dan
menjiwai Manipol-USDEK.37
Meningkatnya kegiatan indoktrinasi ideologi
Demokrasi Terpimpin ini kembali menempatkan pentingnya fungsi pers dalam
penyebaran gagagasan-gagasan dari pemerintah ke masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pemerintah semakin memperkuat kontrol atas kegiatan-kegiatan
pers. Presiden Soekarno menekankan agar pers lebih aktif lagi dalam mendukung
kebijaksanaannya. Pers diarahkan menjadi pers terpimpin yang harus mengabdi
kepada proyek besar revolusi, yaitu Manipol. Fungsi pers pada masa ini direduksi
hanya sebagai terompet kekuasaan Demokrasi Terpimpin semata, yaitu untuk
memupuk opini rakyat, dan memajukan kebudayaan nasional dalam panduan
Manipol Presiden.
Landasan hukum Manipolisasi Pers tersebut adalah Ketetapan MPRS
No.11/MPRS/1960. Roeslan Abdulgani wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung
mengemukakan bahwa wartawan yang tidak mendukung Manipol diingatkan
untuk mundur. Menteri Penerangan Maladi juga mengemukakan bahwa
pemerintah akan melakukan langkah-langkah yang tegas terhadap suratkabar,
majalah, dan kantor berita yang tidak mentaati peraturan-peraturan yang
diperlukan dalam usaha menertibkan pers nasional. Apabila suratkabar tidak ingin
kehilangan subsidi dan izin pembelian kertas mereka harus memberikan
sumbangan pada usaha-usaha pelaksanaan Manipol Presiden. Dengan ini pers
nasional dipaksa untuk selalu mentaati segala peraturan-peraturan yang
37
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 94-95.
44
dikeluarkan pemerintah agar tetap bisa bertahan dan terhindar dari
pembreidelan.38
Peraturan lain yang semakin mengekang pers dikeluarkan oleh Penguasa
Perang tertinggi (Peperti) pada tanggal 12 Oktober 1960, yaitu Peraturan Peperti
No.10/1960, yang beirisi keharusan bagi penerbit pers untuk mendapat izin terbit
dan izin cetak. Ketentuan ini mencantumkan sejumlah prinsip yang harus dipatuhi
oleh pers, antara lain mendukung Manipol. Penerbit dan pimpinan pers juga
diwajibkan menandatangani pernyataan berisi 19 pasal kesetiaan yang akan
mendukung pemerintah, atau bila tidak bersedia menandatangani pernyataan itu
maka akan dilarang penerbitannya.39
Adanya pasal kesetiaan ini menimbulkan
konflik diantara wartawan yang setuju dan tidak setuju dengan pasal-pasal
tersebut. Suratkabar Masyumi dan Abadi menghentikan penerbitannya karena
menolak keharusan mengenai izin terbit. Sedangkan Rosihan Anwar terpaksa
menandatangani pasal-pasal tersebut demi kelangsungan suratkabarnya Pedoman.
Keadaan ini membuat pers pada umumnya dan wartawan pada khususnya
semakin terpecah belah mengikuti perkembangan politik Indonesia, kepentingan
politik wartawan terlihat dari pengambilan sikap politiknya yaitu yang pro dengan
pemerintah, yang kontra dengan pemerintah, dan yang terpaksa mengikuti
kebijakan pemerintah.40
Kondisi pers nasional yang terpecah ini juga mempengaruhi
kelangsungan organisasi PWI. Di tengah politik Demokrasi Terpimpin yang
38
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 42-44. 39
FX Koesworo, JB Margantoro, Ronnie S Viko, op. cit., hlm 24. 40
Afrizal Munir, op. cit., hlm 53.
45
menempatkan Soekarno sebagai salah satu aktor, PKI dan kaum “kiri”, serta
kekuatan Angkatan Darat dan kaum “kanan”, PWI sebagai satu-satunya organisasi
pers juga mulai terkotak-kotak mengikuti arus perpolitikan Indonesia. Organisasi
yang pada 20-25 Mei 1961 melaksanakan kongresnya yang ke-X di Ujung
Pandang ini dipenuhi oleh wartawan-wartawan yang memiliki aliran dan
kepentingan politik yang berbeda. Pada kongresnya yang ke-X itu, untuk pertama
kalinya terjadi pertarungan atau lobi-lobi dari banyak kepentingan politik, baik
dari partai pro-Nasakom maupun anti-Nasakom. Bahkan pihak Angkatan Darat,
MABAD, KOTI serta Kanwil Deppen dengan tujuan untuk memenangkan “jago-
jago” mereka sebagai Ketua Umum PWI Pusat.41
Pada Kongres tersebut siasat
atau rekayasa politik mulai masuk ke dalam tubuh organisasi profesi wartawan.
Calon-calon yang dinominasikan sebagai pengurus ternyata telah menjalani pra-
proses di lingkungan pemimpin pusat partai atau organisasi politik dan
penggalangan suara melalui jajaran koran-koran yang berhaluan partai-partai
tertentu juga dilakukan. Di Ujung Pandang, yang menjadi kota
diselenggarakannya Kongres, kubu wartawan pro-politik Bung Karno berhasil
menduduki tokoh utama, yakni Djawoto dan Satya Graha.42
PWI sebagai satu-satunya organisasi pers pada masa Demokrasi
Terpimpin tidak berdaya menolak intervensi negara dan terseret masuk ke dalam
jaring besar Manipol. Dalam menyikapi persoalan represi yang dilakukan
41
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 51-55. 42
Tribuana Said, “Perjalanan PWI Selama 50 Tahun Dan Implikasinya Di
Masa Datang” Dalam Profesionalisme Pers Nasional Setelah 50 Tahun, 9 Februari
1996, hlm 39.
46
Penguasa Perang Daerah (Peperda) yang diberlakukan terhadap institusi pers,
PWI hanya meminta kepada yang berwajib agar mengadakan pembicaraan
terlebih dahulu dengan wakil-wakil PWI sebelum mengambil keputusan
pembreidelan pers. Terlalu kuatnya represi pemerintah terhadap pers membuat
PWI tidak memiliki posisi struktural yang cukup kuat untuk memperjuangkan
tegaknya kekuatan pers nasional.43
Pada 7 Januari 1963 PWI mengadakan Konferensi Kerja di Kaliurang.
Konferensi ini menekankan perlunya PWI memupuk kerjasama dengan partai-
partai, organisasi-organisasi massa, instansi-instansi resmi maupun swasta dan
masyarakat. Di samping itu PWI menganggap perlunya menggunakan Front
Nasional sebagai saluran perjuangan. Pengurus Pusat mengemukakan bahwa pada
tanggal 17 Januari 1962 Pengurus Pusat PWI diterima sebagai anggota Front
Nasional karena “konstruksi PWI telah disesuaikan dengan Manipol”. PWI
diterima menjadi anggota Front Nasional karena dipandang mempunyai
kedudukan khas dan berpengaruh besar dalam menggerakkan massa yang
revolusioner.44
Perkembangan politik Demokrasi Terpimpin semakin memberi angin
segar bagi kelompok pro-Nasakom untuk melancarkan propaganda mereka
sebagai kekuatan politik yang sangat berpengaruh. Dukungan politik PKI serta
kelompok-kelompok yang pro-Nasakom terhadap kebijaksanaan politik Soekarno
telah menempatkan partai-partai dan ormas-ormas radikal pada posisi yang
43
Ibid. 44
Soebagijo IN, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, op. cit., hlm 35.
47
semakin strategis. Partai ini mendapatkan simpati dari Presiden dengan
mendukung Nasakom dan aktif melakukan propaganda yang mendukung
program-program pemerintah. Pengaruh PKI juga masuk ke dalam PWI, saat
Karim DP dan Satya Graha terpilih menjadi Ketua dan Sekjen PWI pada Kongres
ke-XI di Jakarta. Dalam menghadapi kericuhan dalam tubuh pers, mereka banyak
memihak suratkabar-suratkabar PKI dan simpatisannya.45
Dicabutnya SOB pada tahun 1963 semakin memperkuat kedudukan PKI
dalam propagandanya untuk semakin mempertajam pengaruhnya. Kondisi politik
yang dipenuhi dengan jargon dan simbol-simbol Nasakom, Manipol dan
kemudian konfrontasi dengan Malaysia telah memberikan ruang gerak yang
sangat luas bagi PKI. Dalam hal ini, pers komunis memiliki peran yang sangat
penting dalam menyebarkan kampanye-kampanye serta propaganda partainya.
Tidak jarang pers komunis mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok yang
anti-Nasakom. Pertarungan dan siasat politik antar kelompok menjadi suatu
pemandangan tersendiri pada masa itu.
Puncak dari pertentangan antara suratkabar komunis dan non-komunis
terjadi ketika suratkabar non-komunis menyiarkan tulisan Sayuti Melik tentang
ajaran Soekarno yang berjudul “Belajar Memahami Soekarnoisme”. Menurut
Sayuti Melik, konsep yang tepat bagi pemerintahan adalah Nasasos daripada
Nasakom, karena kom yang berarti komunis tidak memasukkan golongan-
golongan sosialis, buruh dan lain lain, sedangkan konsep sos yang berarti sosialis
memasukkan kesemua unsur tersebut termasuk komunis. Penyebarluasan tulisan
45
Afrizal Munir, op. cit., hlm 54.
48
ini sangat menggelisahkan kelompok komunis. Terlebih ketika fenomena ini
mencetuskan gagasan pembentukan sebuah organisasi yang bertujuan menyaingi
dan melawan dominasi ideologi PKI dalam kerangka Nasakom. Organisasi yang
didirikan oleh wartawan-wartawan non-komunis ini bernama Badan Pendukung
Soekarnoisme (BPS).46
Dibentuknya BPS ditujukan untuk menjauhkan Soekarno dari PKI. Oleh
karena itu, organisasi ini mendapat simpati dari Angkatan Darat dan dari
suratkabar-suratkabar non-komunis. Sebaliknya wartawan-wartawan dari
golongan nasionalis kiri menuduh bahwa BPS dibiayai oleh Badan Intelejen
Amerika, bahkan BPS diakronimkan menjadi “Badan Pembunuh Soekarnoisme”,
dan dianggap memutarbalikkan ajaran Soekarno. PKI menganggap BPS merusak
persatuan nasional dan kemudian mendorong Soekarno untuk membubarkannya.
Akhirnya organisasi tersebut pun dibubarkan, dan wartawan beserta tokoh-tokoh
yang terlibat dalam BPS dipenjarakan. PWI yang didominasi golongan kiri
mendesak pemerintah untuk membreidel suratkabar-suratkabar pendukung BPS.
Karim DP dan Satya Graha sebagai Ketua dan Sekjen PWI memecat wartawan-
wartawan pendukung BPS. PWI memutuskan memecat 12 anggotanya, dan
menskors 16 orang lainnya yang terlibat BPS. Keputusan PWI Pusat itu
ditandatangani oleh Ketua dan Sekjen PWI dan dinyatakan berlaku mulai tanggal
17 Desember 1964.47
Diantara para wartawan pendukung BPS yang dipecat dari
keanggotaan PWI adalah Sumantoro dan Mulyono (Berita Indonesia), Joesnoes
46
Marlaini, op.cit., hlm 45-49. 47
Afrizal Munir, op. cit., hlm 56.
49
Lubis dan Nazaruddin Lubis (Warta Berita), Zein Effendi dan Sunarjo (Antara),
Sjamsul bahri (Karyawan) dan Suhartono (Berita Republik) serta beberapa
wartawan dari Surabaya dan Medan.48
Setelah melakukan pemecatan terhadap wartawan yang terlibat dalam
BPS, PWI dibawah pimpinan Karim DP dan Satya Graha kemudian pada Rapat
Akbar PWI tanggal 23 Februari 1964 di Istora Gelora Bung Karno mengucapkan
pidato yang menyerang BPS sebagai agen CIA. Tema dalam rapat akbar yang
merupakan peringatan HUT PWI ke-19 adalah “Rapat Madju Tak Gentar, Rakjat
Didukung Buruh Tani dan Pradjurit. Karim DP dalam pidatonya menyatakan
bahwa BPS mempunyai semboyan yang diajarkan CIA yaitu Soekarnoism but to
kill Soekarnoism dan Soekarno. PWI di bawah Karim DP juga mendesak agar
pers Indonesia dibebaskan dari unsur-unsur BPS. Desakan ini kemudian membuat
Mayjen Achmadi sebagai Menteri Penerangan mengeluarkan keputusan untuk
membubarkan media massa yang terdapat di Jawa dan Sumatera pada tanggal 23
Februari 1964 dan kemudian disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri
Penerangan No.29/SK/M/65 yang mengatur kewajiban bagi setiap media massa
yang akan membuat izin terbit baru diwajibkan mendapatkan dukungan dari partai
politik, organisasi massa dan pejabat Panca-tunggal (lima pejabat daerah).49
Nasakomisasi yang begitu kuat melanda seluruh bidang politik dan juga
bidang-bidang kehidupan lainnya membuat upaya-upaya PWI untuk menegakkan
profesionalisme pers nasional menjadi tumbang. PWI yang tadinya selalu
48
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 132. 49
Yohanes Koko Anton, op. cit., hlm 133-134.
50
berusaha memajukan wartawan dan pers nasional, kini tunduk dibawah
pemerintah dan didominasi oleh wartawan-wartawan yang penuh dengan
kepentingan politiknya masing-masing. PWI-Nasakom menghendaki perusahaan
pers berbentuk Koperasi dan menolak PKK yang dirintis pengurus sebelumnya
karena dinilai tidak sesuai dengan jiwa Sosialisme Indonesia. PWI menginginkan
pelembagaan hubungan kemitraan pers-pemerintah, serta mendukung peraturan-
peraturan lembaga eksekutif yang memperkuat kelembagaan pers sebagai organ
partai dan mengekang pers independen. Dalam membina hubungan luar negeri,
organisasi ini memihak blok Timur/komunis melawan blok Barat yang
mengemban kepentingan imperialisme.50
Sikap PWI yang pro-Nasakom terlihat pada Konferensi Kerja PWI se-
Indonesia tanggal 24 Desember di Malang, organisasi ini menentukan kebulatan
tekadnya yang semakin meneguhkan posisi PWI terhadap Nasakom, dan garis
politik rezim Demokrasi Terpimpin. Dalam tekad itu disebutkan bahwa PWI
sebagai alat revolusi dan penggalang persatuan nasional progresif revolusioner
berporoskan Nasakom, untuk memenangkan Dwikora dalam rangka penyelesaian
revolusi.51
50
Tribuana Said, loc. cit. 51
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, hlm 60.