10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang: (1) Kajian Teoritis, (2) Kajian Penelitian yang
Relevan.
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Implementasi Kurikulum 2013
2.1.1.1 Pengertian Kurikulum 2013
Istilah kurikulum ”curriculum” pada mulanya berasal dari kata curir yang
berarti “pelari” dan “curere” yang mengandung makna “tempat berpacu”, yang
pada awalnya kata tersebut digunakan di dalam dunia olahraga. Pada saat ini
kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai
dari start sampai finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Lantas
pengertian tersebut mengalami perluasan dan juga digunakan dalam dunia
pendidikan yang kemudian menjadi sejumlah mata pelajaran subject yang harus
ditempuh oleh seorang siswa dari awal saat ia mulai masuk sekolah hingga akhir
program pelajaran itu sendiri selesai guna memperolah penghargaan dalam bentuk
ijazah. Dan ijazah itulah sebagai bukti formal bahwa seseorang telah
menyelesaikan suatu jenjang pendidikan (Muzamiroh, 2013:13).
Kurikulum adalah aktivitas dan kegiatan belajar yang direncanakan,
diprogramkan bagi peserta didik di bawah bimbingan sekolah, baik didalam
maupun di luar sekolah (Subandijah, 1993:2). Menurut Posner (1992) dalam
Muhammad Nuh (2013: 32) kurikulum adalah seluruh pengalaman yang
direncanakan yang akan di alami oleh siswa dalam seluruh proses pendidikan di
sekolah; sehingga tujuan pendidikan tercapai.
11
Pengalaman itu mengandung beberapa hal antara lain, Pengalaman itu
menyangkut pengalaman kurikuler di kelas, pengalaman kokurikuler, dan
pengalaman diluar sekolah (ekstra kurikuler). Kurikulum yang disiapkan oleh
sekolah oleh sekolah atau guru bagi siswanya, menyangkut seluruh pengalaman
yang diharapkan akan dialami oleh siswa di kelas. Pengalaman itu menyangkut
apa saja yang akan dipelajari siswa di kelas, apa yang akan dilakukan di kelas,
kegiatan apa saja yang disediakan di kelas dalam seluruh proses belajar.
Kebanyakan kurikulum, apapun keterangannya, memuat perencanaan tetang hal
ini. Bahkan banyak kurikulum yang hanya membatasi pengalaman di kelas saja.
Pengalaman itu juga berisi pengalaman yang akan terjadi di luar kelas sebagai
pengalaman kokurikuler. Misalnya, apa yang harus dilakukan di laboratorium, di
bengkel sekolah, sebagai bantuan pada apa yang di pelajari di kelas.
Pengalaman itu berkaitan dengan konteks, filsafat, isi, pengaturan isi,
metode, evaluasi. Dalam pengertian ini pengalaman yang direncanakan juga harus
memperhatikan konteks siswa yang akan dibantu dalam proses pendidikan. Maka,
kurikulum tidak dapat sama dalam seluruh negara karena konteks siswa sangat
berbeda dari wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Pengalaman itu hanya
akan jalan bila beberapa hal berikut di sertakan atau dilibatkan: a.) Guru
memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Hampir semua program dan
policy nantinya yang akan menangani adalah guru. Maka, penting menjelaskan
guru yang diharapkan, karakternya, dan kompetensinya serta kinerja dan pribadi
guru, b) Fasilitas menjadi unsur penunjang yang penting dalam kurikulum. Tanpa
adanya fasilitas maka rencana siswa untuk mengalami pengalaman yang disiapkan
tidak akan terjadi, c) Infrastruktur Rencana akan live in tidak akan jalan bila tidak
12
ada fasilitas yang diperlukan. Bila tidak ditemukan tempat live in tidak ada
kendaraan untuk menuju live in, tidak ada pendamping dalam live in, maka live in
akan tidak berjalan dengan baik, d) Buku juga merupakan sarana yang sangat
penting dalam proses belajar. Tanpa adanya buku maka pendidikan akan sulit
berjalan dengan baik. Memang sekarang ada internet tetapi belum merata
terjangkau di seluruh ndonesia, sehingga buku tetap masih sangat dibutuhkan, e)
Situasi dan suasana sekolah juga perlu diatur sehingga membantu siswa dalam
belajar. Suasan sekolah yang tidak kondusif pasti kurang membantu siswa dalam
mengembangkan pengetahuan dan hidup mereka.
Pengertian kurikulum seperti yang dijabarkan di atas di anggap terlalu
sederhana (Muzamiroh, 2013 :15). Karena pada dasarnya istilah kurikulum tidak
hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua
pengalaman belajar (learning experiences) yang dialami secara langsung oleh
siswa dan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Oleh karena itu, pengertian
kurikulum diorganisasi ada dua, pertama, kurikulum adalah sejumlah rencana isi
yang merupakan sejumlah tahapan belajar yang didesain untuk siswa dengan
petunjuk institusi pendidikan yang isinya berupah proses yang statis ataupun
dinamis dan kompetensi yang harus dimiliki. Kedua, kurikulum adalah seluruh
pengalaman di bawah bimbingan dan arahan dari institusi pendidikan yang
membawa kedalam kondisi belajar.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah di
gagas dalam rintisan Kurikulum Berbasis Bompetensi( KBK) 2004, tetapi belum
terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan kurikulum
tingkat satuan pendidikan 2006 (Muzamiroh, 2013:1). Pengertian kurikulum
13
senantiasa berkembang terus sejalan dengan perkembangan teori dan ukuran suatu
pengertian praktik pendidikan. Dengan beragamnya pendapat mengenai
pengertian kurikulum maka secara teoritis kita agak sulit menentukan suatu
pengertian yang dapat merangkum semua pendapat. Sedangkan konsep kurikulum
meliputi: 1) Sebagai substansi, yang di pandang sebagai rencana pembelajaran
bagi siswa atau perangkat tujuan yang ingin di capai, 2) Sebagai sistem,
merupakan bagian dari sistem persekolahan,pendidikan, dan bahkan masyarakat,
3) Sebagai bidang studi, merupakan kajian para ahli kurikulum yang bertujuan
untuk mengembangkan ilmu tenteng kurikulum dan sistem kurikulum.
Kurikulum 2013 dirancang sebagai upaya mempersiapkan generasi
Indonesia 2045 (100 tahun Indonesia merdeka), sekaligus memanfaatkan
momentum populasi usia produktif yang jumlahnya sangat melimpah agar
menjadi bonus demografi dan tidak menjadi bencana demografi (Mohamad Nuh,
2013: 1)
2.1.1.2 Landasan Hukum Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 adalah penyempurnaan kurikulum sebelumnya yang lebih
menekankan kepada standar Isi, Standar Proses, Standar Peniliaan dan Standar
Pengelolaan. Diharapkan nantinya ada perubahan dalam kegiatan pembelajaran.
Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian kompetensi yang dirancang
dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta didik.
Tujuan Kurikulum 2013 adalah mempersiapkan insan Indonesia untuk
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia.
14
Landasan hukum penyelenggaraan Kurikulum 2013 adalah : 1.) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional; 2.) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Nasional Tahun 2005-2025; 3.) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen; 4.) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru; 5.)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005;
6.) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54
tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah; 7.) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah;
8.) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66
tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan; 9.) Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013 Tentang
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah;
2.1.1.3 Implementasi kurikulum 2013
Kurikulum 2013 berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan
kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum ini
mencangkup sejumlah kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang
dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk
perilaku atau keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan
(Oemar, 2010: 9). Ada beberapa aspek yang terkandung dalam konsep
kompetensi, antara lain sebagai beikut; pengetahuan (knowledge), pemahaman
15
(understanding), kemampuan (skill), nilai (value), sikap (attitude), dan minat
(interest).
Terdapat dua landasan teoritis yang mendasari Kurikulum 2013 berbasis
kompetensi. Pertama, adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok kearah
pembelajaran individual (Kunandar, 2013: 12). Dalam pembelajaran individual
setiap peserta didik dapat belajar sendiri, sesuai dengan cara dan kemampuan
masing-masing. Untuk itu, diperlukan pengaturan kelas yang fleksibel, baik
sarana maupun waktu, karena dimungkinkan peserta didik belajar dengan
kecepatan yang berbeda, penggunaan alat yang berbeda, serta mempelajari bahan
ajar yang berbeda pula. Kedua, pengembangan konsep belajar tuntas (mastery
learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah suatu
falsafah pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang
tepat, semua peserta didik dapat mempelajari semua bahan yang diberikan dengan
hasil yang baik. (Kunandar, 2013: 14) Dengan demikian, setiap peserta didik
dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, jika diberikan waktu yang
cukup.
Pendidikan formal di sekolah kurikulum memiliki peranan yang sangat
strategis dan menentukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
Kurikulum memiliki banyak peranan, Oemar hamalik (dalam Muzamiroh,
2013:24) terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting yaitu sebagai berikut :
1) Peranan konservatif, Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat
dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa
lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam
hal ini para siswa. Peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan
16
kurikulum yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat
mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya
merupakan proses sosial. Salah satu tugas pendidikan yaitu mempengaruhi dan
membina prilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial, 2) Peranan kreatif, Ilmu
pengetahuan dan aspek-aspek yang lain akan senantiasa mengalami perubahan
yakni mengalami perkembangan sesuai dengan zamannya. Oleh karena itu
peranan kreatif disini menekankan agar kurikulum juga mampu mengembangkan
sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan zaman yang dibutuhkan oleh
masyarakat masa kini dan masa yang akan datang. Kurikulum harus mengandung
hal-hal yang dapat membantu peserta didik dalam rangka mengembangkan
potensi yang ada pada dirinya guna memperoleh dan mendalami pengetahuan-
pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta cara berpikir baru yang
dibutuhkan dalam kehidupannya sesusai dengan tuntutan perkembangan zaman,
3) Peranan kritis dan evaluatif , Peranan kritis dan evaluatif dilatar belakangi oleh
adanya kenyataan bahwa nilai – nilai dan budaya yang aktif dalam masyarakat
senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai – nilai budaya
masalalu kepada peserta didik perlu adanya penyesuaian yakni disesuaikan
dengan kondisi dan situasi yang ada saat ini. Sealain dari itu perkembangan yang
terjadi pada saat ini dan saat yang akan datang belum tentu sesuia dengan apa
yang dibutuhkan. Oleh karena itu peranan kurikulum tidak hanya mewariskan
nilai dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi,
akan tetapi juga harus memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan
budaya serta pengetahuan baru yang hendak diwariskan. Oleh karena itu
kurikulum juga diharapkan mampu berperan aktif dalam control atau filter sosial.
17
Nilai – nialai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini
dihilangkan dan diadakan modivikasi dan penyempurnaaan.
Ketiga peranan kurikulum diatas tentu saja harus berjalan secara
berimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Sebab jika tidak,
akan terjadi ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum persekolahan
menjadi tidak optimal lagi. Menyelaraskan ketiga peranan penting tersebut adalah
tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, diantaranya
guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, peserta didik dan juga masyarakat.
Maka dengan demikian pihak – phak yang terkait harusnya bisa memahami
terhadap tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan sesuai dangan bidang dan
tugasnya
2.1.1.3.1 Peran Kurikulum 2013
Muzamiroh dalam bukunya kupas tuntas kurikulum, (2013:133),
mengemukakan bahwa Menteri Pendidikan dan Budaya menjelaskan bahwa
kurikulum 2013 lebih bersifat tematik integrative yang berarti bahwa ada mata
pelajaran yang terkait satu sama lain yakni dengan kata lain mata pelajaran bukan
dihilangkan melainkan digabung. Pada kurikulum ini, guru tak lagi dibebani
dengan kewajiban membuat silabus pengajaran untuk siswa setiap tahun seperti
yang terjadi pada KTSP.
Tujuan kurikulum 2013, sebagaimana yang tercakup dalam Kompetisi Inti
(KI) dan Kompetensi Dasar (KD), bahkan silabus dan buku, telah dipriskripsikan
secara terpusat. Henny Supolo Sitepu (Mohammad Nuh, 2013:192) kurikulum
2013 ini memusatkan pada pengembangan karakter siswa. Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) kurikulum 2013 menyebutkan 3 kelompok sikap yang diharapkan
18
dimiliki lulusan, yaitu sifat individu, sikap sosial, dan sikap alam. Terminologi
“akhlak mulia” yang tercantum di pasal 3 UU No 20/2003 tujuan system
pendidikan nasional dijabarkan dalam SKL sebagai sikap individu yaitu jujur,
disiplin, tanggung jawab, peduli dan santun. Kemudian sikap sosial yaitu
memiliki toleransi, gotong royong, kerjasama dan musyawarah. Sedangkan sikap
alam mencakup pola hidup sehat, ramah lingkungan, patriotic dan
cintaperdamaian.
Kurikulum 2013 memiliki sasaran dalam setiap jenjang (Mohammad Nuh,
2013:231). Untuk tingkat SD, diprioritaskan untuk pembentukan sikap. Sementara
tingkat SMP difokuskan untuk mengasah keterampilan dan untuk tingkat SMA
dimulai membangun pengetahuan.
2.1.1.3.2 Fungsi Kurikulum
Kurikulum berfungsi sebagai sebagai pedoman atau acuan. Bagi guru
berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses kegiatan belajar
mengajar. Sementara bagi kepala sekolah dan pengawas kurikulum berfungsi
pedoman dalam melakukan supervisi atau pengawas. Bagi orang tua kurikulum
berfungsi sebagai pedoman guna membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi
masyarakat kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan
bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Sedangkan bagi peserta didik
berfungsi sebagai pedoman belajar (Muzamiroh, 2013:18).
2.1.1.3.3 Kendala Kurikulum 2013
Berdasarkan pemaparan Muzamiroh (2013:124) pemberlakuan kurikulum
baru akan melahirkan hiruk pikuk dalam persoalan teknis adalah sebagai berikut :
1) Perampingan jumlah mata pelajaran akan menimbulkan masalah guru-guru
19
yang bidang studinya ditiadakan di dalam kurikulum. Contoh kurikulum untuk SD
atau MI, maka guru bidang studi IPA, IPS, dan Bahasa Inggris akan bagaikan di
PHK. Ini menambah kompleksitas persoalan yang sudah ada selama ini tentang
pemenuhan persyaratan minimal jam mengajar per minggu sebagai syarat
penerimaan tunjangan sertifikasi, 2) Para Kepala Sekolah akan bingung. Guru-
guru yang bidang studinya tidak ada didalam kurikulum harus mengajar mata
pelajaran yang tidak sesuai dengan latar pendidikannya. Contohnya yaitu seorang
guru IPA apabila ditugaskan mengajar Bahasa Indonesia akan tidak sesuai dengan
ketentuan profesional yang mensyaratkan guru harus mengajar sesuai dengan latar
belakang pendidikan guru tersebut, 3) Para pemegang perusahaan seperti penerbit
akan mengalami kerugian besar akibat tidak dipakainya buku-buku berbagai mata
pelajaran yang tidak ada lagi di dalam kurikulum, 4) Dengan kurikulum baru
berkonsep dan berparadigma baru, kemungkinan ujian nasional tidak relevan lagi
untuk dipertahankan.
Selain kendala yang telah dijelaskan di atas, pada kurikulum 2013 juga ada
kerancuan (Mohammad Nuh, 2013:162) menjelaskan 2 kerancuan kurikulum
2013, yaitu dari enam mata pelajaran sekolah dasar yang ditetapkan menunjukkan
ketidakseimbangan antara mata pelajaran yang berorientasi pada masa lampau,
yang lebih menekankan pada pewarisan nilai-nilai, dan mata pelajaran yang
membentuk pola pikir murid untuk menghadapi masa depan yang sarat dengan
nalar dan konsep saintifik.
Mata pelajaran Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn), serta Bahasa Indonesia adalah rumpun pengetahuan yang bersifat
deduktif yang menuntun berpikir aksiomatis apriori dari dalil-dalil yang umum.
20
Sementara sains (seperti IPA dan IPS) adalah pengetahuan “ilmiah” yang
bertolakdari fakta-fakta empirik yang partikular. Ketidakseimbangan ini akan
mempengaruhi alur dan kekuatan berpikir serta nalar kritis anak.
Kerancuan ini semakin tampak ketika Kurikulum 2013 menggunakan
pendekatan berbasis sains, yaitu mendorong siswa agar mampu lebih baik dalam
melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan
(mempresentasikan) dengan obyek pembelajaran fenomena alam, sosial, seni,dan
budaya. Seharusnya, setiap murid mendapatkannya sesuai dengan bakat dan minat
yang mereka miliki, karena itu tak layak diberikan secara klasikal. Sementara
itu,karena keterbatasan fasilitas dan kemampuan guru, pembelajaranpun menjadi
teoritis.
Chodidjah (dalam Mohammad Nuh, 2013:181) menuliskan terlepas
dengan permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan, guru sebagai unsur
terpenting harus menjadi pemikiran utama. Sebab gagalnya guru dalam
mengimplementasikan kurikulum, maka gagal pula pelaksanaan kurikulum 2013.
Pelatihan yang dilakukan sekadar sebagai sosialisasi kurikulum baru tanpa
menyertakan pola pendekatan pengajaran di kelas secara konkret akan menjadi
penghalang terbesar tercapainya tujuan perubahan kurikulum.
Sasaran utama sebuah reformasi kurikulum adalah perbaikan kualitas
siswa, maka yang menentukan keberhasilannya adalah proses pembelajaran yang
lansung dipimpin oleh guru. Dalam menyelenggarakan proses pembelajaran
dengan, proses pembelajaran berdasarkan kurikulum yang sebelumnya. Untuk
sampai pada tingkat penerapan dikelas, maka guru akan menentukan materi ajar
21
sebagai alat untuk mencapai tujuan, serta membuat alat ukur untuk mengevaluasi
keberhasilan apayang diajarkan.
Chodidjah (dalam Mohammad Nuh,2013:183) sedikitnya ada tiga alasan
penting kenapa Kurikulum 2013 tidak akan dapat mencapai sasaran yang
dicanangkan. Yang pertama tentunya proses pengembangan kurikulum yang tidak
didahului oleh riset yang menyeluruh. Selanjutnya adalah anggapan bahwa
dengan dibuatkan silabus dari pusat, guru tidak akan repot lagi menyusunnya
sendiri dan terakhir adalah pengutamaan penyusunanan materi ajar sebagai salah
satu solusi atas kesuksesan implementasi kurikulum.
Pengertian kurikulum diorganisasi ada dua, pertama, kurikulum adalah
sejumlah rencana isi yang merupakan sejumlah tahapan belajar yang didesain
untuk siswa dengan petunjuk institusi pendidikan yang isinya berupah proses yang
statis ataupun dinamis dan kompetensi yang harus dimiliki. Kedua, kurikulum
adalah seluruh pengalaman di bawah bimbingan dan arahan dari institusi
pendidikan yang membawa kedalam kondisi belajar.
2.1.2 Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013
Kata karakter berasal dari bahasa yunani: charas sein, yang berarti (pada
awalnya) coretan, atau goresan. Kemudian berarti stempel atau gambaran yang
ditinggalkan oleh stempel itu (Ahmadi 2001: 239). Adapun pengertian secara
istilah, Sujanto (2008: 102) mendefinisikan karakter sebagai pribadi jiwa yang
menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan pernyataan, dalam hubungannya
dengan bakat, pendidikan, pengalaman, dan alam sekitarnya. Menurut Purwanto
(2004: 144) mengartikan watak atau karakter lebih umum dari pada sikap, sifat,
22
dan tempramen. Ia menyimpulkan bahwa sikap, sifat, dan tempramen termasuk ke
dalam watak atau karakter.
Berangkat dari pandangan bahwa karakter dapat dipengaruhi oleh
pendidikan, maka pendidikan karakter dimunculkan untuk mencetak karakter
manusia yang sesuai dengan keinginan dan cita-cita Negara dan agama.
Pendidikan karakter adalah suatu usaha untuk membentuk anak didik yang
memiliki karakter yang telah di rumuskan oleh setiap lembaga pendidikan.
Langkah untuk menuju ke sana memerlukan beberapa proses yang harus dilalui,
diantaranya dengan pemahaman nilai-nilai dalam karakter serta metodologi
pendidikan karakter.
Kurikulum berbasis pendidikan karakter menyatakan bahwa pendidikan
karakter yang secara sistematik diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah
merupakan sebuah daya tawar berharga tinggi bagi seluruh komunitas. Para siswa
memperoleh keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang
mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka
lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan
lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar
dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk
menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah
akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran,
pengamalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga
berkurangnya tindakan bullying di dalam sekolah. Kurikulum Berbasis Pendidikan
Karakter adalah sesuatu yang dapat dididik dan dirubah, maka dalam upanya
23
pembentukan karakter, lembaga pendidikan juga berperan dalam pembentukan
karakter manusia melalui adanya program pendidikan karakter di sekolah.
2.1.2.1 Pendidikan Karakter
Karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang
melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai (mu’in, 2011:160).
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai
standar kompetensi lulusan (Amir, 2011:31).
2.1.2.2 Nilai – Nilai Karakter dalam Pengembangan Pendidikan Karakter
2.1.2.2.1 Isi Pendidikan Karakter
Isi pendidikan karakter harus komprehensif. Artinya, meliputi semua
permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi
sampai pertanyaan-pertanyaan etika secara umum (Zuchdi, 2011:36). Isi atau
materi pendidikan karakter dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal nilai moral
atau nilai akhlak, yaitu 1) akhlak terhadap Tuhan Y.M.E (mengenal Tuhan
sebagai Pencipta dan sifat-sifatNya, beribadah kepada Tuhan Y.M.E, meminta
tolong kepadaNya); 2) akhlak terhadap sesama (diri sendiri, orang tua, orang yang
lebih tua, teman sebaya, orang yang lebih muda); dan (3) akhlak terhadap
lingkungan (alam, baik flora maupun fauna dan sosial-masyarakat).
24
2.1.2.2.2 Metode Pendidikan Karakter
Metode pendidikan karakter juga harus komprehensif, termasuk di
dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, penyiapan generasi
muda agar dapat mandiri dengan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara
bertanggung jawab, dan pemberian kesempatan untuk melakukan keterampilan
hidup yang bermuatan nilai-nilai kebaikan.
2.1.2.2.3 Proses Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses
pendidikan, baik di dalam kelas, kegiatan ekstrakurikuler, proses bimbingan dan
penyuluhan, upacara-upacara pemberian penghargaan, dan semua aspek
kehidupan.
2.1.2.2.4 Subjek Pendidik Karakter
Subjek Pendidik karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam
masyarakat dan didukung oleh segenap komponen masyarakat. Jika salah satunya
tidak melaksanakan, maka keberhasilan pendidikan karakter tidak optimal. Orang
tua, guru, pemimpin, para awak media komunikasi, lembaga keagamaan, penegak
hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam
pendidikan karakter. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan
karakter memengaruhi kualitas moral generasi muda.
2.1.2.2.5 Evaluasi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter juga memerlukan evaluasi yang komprehensif.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Tujuan pendidikan
karakter meliputi tiga kawasan, yakni penalaran nilai atau moral (moral
knowing), perasaan moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action).
25
Oleh karena itu, evaluasi pendidikan karakter juga mencakup tiga ranah tersebut,
yaitu berupa evaluasi penalaran moral, evaluasi afektif, dan evaluasi perilaku
(Zuchdi, 2010:51).
2.1.3 Nilai-nilai Kemanusiaan sebagai Dasar Pembentukan Karakter Siswa
Kata nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 112) memiliki arti
sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai merupakan
suatu hal yang dianggap baik atau buruk bagi kehidupan. Nilai merupakan suatu
yang abstrak, namun hal tersebut menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat.
Sedangkan pengertian “kemanusiaan” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008: 77) memiliki arti sifat-sifat yang layak bagi manusia pada
umumnya. Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan nilai-nilai kemanuasiaan
adalah suatu hal yang dapat memanusiakan manusia atau bisa dikatakan juga
kembali pada fitrah manusia yang memiliki manfaat bagi kehidupan bersama.
Makna yang terkandung dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah mengandung nilai suatu kesadaran
sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani
manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya
baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap
lingkungannya. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa
hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat
adil. Hal ini mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil
dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap
masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Nilai kemanusiaan yang beradab mengandung makna
26
bahwa beradab erat kaitannya dengan aturan-aturan hidup, budi pekerti, tata
krama, sopan santu, adat istiadat, kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, dsb.
Semua aturan diatas bertujuan untuk menjaga agar manusia tetap beradab,
tetap menghargai harkat dan derajat dirinya sebagai manusia. Adab diperlukan
agar manusia bisa meletakkan diri pada tempat yang sesuai. Pokok pikiran dari
sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab : 1.) Menempatkan manusia sesuai
dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan. Maksudnya, kemanusiaan itu
universal, 2.) Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
Menghargai hak setiap warga dan menolak rasialisme. 3.) Mewujudkan keadilan
dan peradaban yang tidak lemah.
2.1.3.1 Penerapan Nilai Kemanusiaan
Kebiasaan adalah segala sesuatu yang kita lakukan secara otomatis dan
juga sampai melakukannya tanpa berfikir. Kebiasaan yang dilakukan terus
menerus hingga menjadi bagian daripada manusia dan itu adalah yang menjadi
sebuah Perilaku. Perilaku akan selalu mendampingi hidup seseorang akan
menjadi mempermudah atau yang memberatkan yang akan mensukseskan atau
membuat gagal.
2.1.3.2 Pengembangan Kurikulum 2013
Tujuan Pendidikan Nasional Pasal 3 UU No 20 Sisdiknas Tahun 2003
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Kemendikbud, 2014: 37). Dalam hal ini menekankan pada
memanusiakan manusia (humanizing human being).
27
2.1.3.3 Pengintegrasian Nilai Kemanusiaan dalam Silabus dan Rpp pada
Pembelajaran PPkn
Nilai-nilai kemanusiaan yang adil dapat diwujudkan dengan
pengintegrasian pendidikan anti korupsi dalam Silabus dan Rpp pada
pembelajaran PPKn. Menurut Wibowo (2013:58) menyatakan bahwa prosedur
pengintegrasian pendidikan anti korupsi ke dalam RPP di antaranya adalah (1)
menyisipkan indikator materi pendidikan antikorupsi, (2) menyisipkan materi
pendidikan antikorupsi pada tujuan pembelajaran, (3) menguraikan indikator
materi pendidikan anti korupsi pada materi pembelajaran, (4) merencanakan
pembelajaran materi pendidikan antikorupsi dalam langkah-langkah
pembelajaran, (5) menambahkan sumber belajar, dan (6) menyisipkan instrumen
tentang materi pendidikan anti korupsi dalam penilaian pelajaran.
2.1.4 Pembelajaran PPKn Berbasis nilai-nilai Kemanusiaan dalam
Kurikulum 2013
Kebijakan nasional menegaskan bahwa pembangunan karakter dibutuhkan
dalam proses berbangsa dan bernegara. Hal itu dituangkan dalam Undang-Undang
No.23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 bahwa
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa,berkhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
28
Menurut Wibowo (2013:19) mengatakan bahwa dalam struktur kurikulum
disekolah pada umumnya ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan
pengembangan karakter dan akhlak mulia, yaitu pendidikan agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata
pelajaran yang secara langsung mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu
menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Selain itu, lebih
memfasilitasi internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari, melalui
proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan bukan merupakan penekanan
yang paling utama, tetapi yang ditekankan atau diutamakan adalah
pengimplementasian nilai-nilai karakter melalui kegiatan dalam proses
pembelajaran. PPKn sebagai salah satu mata pelajaran yang berperan dalam
membangun karakter bangsa memiliki cakupan nilai-nilai yang bertujuan
membentuk peserta didik agar berkarakter.
Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character
building) merupakan dua hal utama yang perlu dilakukan bangsa Indonesia agar
dapat mempertahankan eksistensinya Budimansyah (2010:1 ). Keduanya ibarat
dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pembangunan
bangsa harus berbarengan dengan pembangunan karakter demikian pula
sebaliknya. Hal ini tersirat dalam syair lagu kebangsaan kita “bangunlah jiwanya
bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”.Membangun jiwa adalah
membangun karakter manusia dan bangsa. Inti karakter adalah
kebajikan(goodness) dalam arti berfikir baik (thinking good), berperasaan baik
(feeling good), dan berperilaku baik (behaving good). Dengan demikian karakter
29
itu akan tampak pada kesatuan pikiran, perasaan, dan perbuatan yang baik dari
bangsa Indonesia.”
Sesuai dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bahwa perlunya pendidikan karakter sangat diperlukan untuk mendidik
anak bangsa menjadi warga Negara yang baik.Hal ini tentunya sangat didambakan
bagi seluruh masyarakat agar generasi penerus bangsa ini dapat menjadi warga
Negara yang baik sekaligus dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.Oleh karena itu diperlukan suatu mata pelajaran yang bersubstansi
sebagai pendidikan karakter tersebut.Salah satunya yaitu melalui Pendidikan
kewarganegaraan.
“Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses pendewasaan bagi
warga Negara dengan usaha sadar dan terencana melalui pengajaran dan dan
pelatihan sehingga terjadi perubahan pada warga Negara tersebut dalam hal
pengetahuan, sikap dan perilaku yang bersifat kritis dan emansipatoris.”( Gatara
2013:2 ).
Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan bersubstansi sebagai
pendidikan nasional yang mencakup nilai-nilai kebangsaan. Masyarakat
seharusnya menyadari pentingya Pendidikan Kewarganegaraan untuk
mempertahankan dan membangun karakter generasi bangsa sesuai dengan nilai-
nilai dalam sila pancasila. Kerangka sistemik Pendidikan Kewarganegaraan
dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut: 1.) Pendidikan kewarganegaraa
secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi individu agar menjadi warga Negara Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab. 2.) Pendidikan
30
kewarganegaraan secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang
memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang
bersifat konfluen atau saling terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai,
konsep, dan moral pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
3.) Pendidikan kewarganegaraan secara programatik dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai dan
pengalaman belajar dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga Negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan hendaknya dapat mempersiapkan para peserta didik untuk
menjadi warga negara yang baik, berkarakter, berakhlak mulia, cerdas,
partisipatif, dan bertanggung jawab.
2.1.4.1 PPKn
Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan dapat dimaknai sebagai
wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang
berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam
bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik baik sebagai individu,
maupun sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
(Hamid Darmadi, 2013:14).
PPKn adalah Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan
warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas
menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk
kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat
(Zamroni, dalam Hamid Darmadi, 2013:14)
31
2.1.4.2 Metode Penerapan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai
Kemanusiaan
2.1.4.2.1 Metode Inquiry
Metode inquiry adalah metode yang menekankan pencarian secara bebas
dan penghayatan nilai-nilai hidup dengan langsung melibatkan siswa untuk
menemukan nilai-nilai tersebut dalam pendampingan dan pengarahan guru. Siswa
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan, pendapat, dan penilaian
terhadap nilai-nilai yang ditemukan. Guru tidak bersikap sebagai pemberi
informasi satu-satunya dalam menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang
dihayatinya. Guru berperan sebagai penjaga garis atau koridor dalam penemuan
nilai hidup tersebut. Metode ini dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai
diantaranya keterbukaan, kejujuran, penghargaan pada pendapat orang lain,
sportivitas, kerendahan hati dan toleransi. Melalui metode ini siswa diajak untuk
mulai berani mengungkapkan gagasan, pendapat, maupun perasaannya ( Dirjen
Pendidikan Islam, 2013: 14).
Tahap demi tahap siswa diarahkan untuk menata jalan pikiran, cara
berbicara, dan sikap hidupnya. Dengan cara ini siswa diajak untuk belajar
menentukan nilai hidup secara benar dan jujur. Dalam praktiknya siswa diajak
untuk membahas kasus korupsi yang sedang marak di Indonesia. Tahap demi
tahap siswa diajak untuk melihat dan menilai apa yang terjadi dalam masyarakat
dan akhirnya pada apa yang telah mereka lakukan. Siswa diajak untuk melihat
duduk permasalahan dan berani mengambil sikap dan pilihan dalam hidupnya.
Tema kegiatan diskusi tersebut biasanya diambil dari kasus korupsi yang saat itu
sedang marak-maraknya. Dalam diskusi itu, guru hanya berperan sebagai
32
fasilitator dan meluruskan jika dalam diskusi tersebut telah keluar dari tema
diskusi. Siswa juga diajak untuk secara kritis melihat nilai-nilai hidup yang ada
dalam masyarakatnya dan bersikap terhadap situasi tersebut.
2.1.4.2.2 Metode Live In
Metode Live in dimaksudkan agar siswa mempunyai pengalaman hidup
bersama orang lain langsung dengan situasi yang sangat berbeda dari kehidupan
sehari-harinya (Dirjen Pendidikan Islam, 2013: 16). Dengan pengalaman langsung
siswa dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir,
tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai hidupnya. Kegiatan ini
dapat dilaksanakan secara periodik melalui kegiatan lomba-lomba dan sayembara
tentang kejujuran.
2.1.4.2.3 Metode Keteladanan
Proses pembentukan kepribadian pada siswa akan dimulai dengan melihat
orang yang akan diteladani. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan bagi
siswa. Dengan keteladanan guru dapat membimbing siswa untuk membentuk
sikap yang kokoh. Keselarasan antara kata dan tindakan dari guru akan amat
berarti bagi seorang siswa, demikian pula apabila terjadi ketidak cocokan antara
kata dan tindakan guru maka perilaku siswa juga akan tidak benar. Dalam hal ini
guru dituntut memiliki ketulusan, keteguhan, kekonsistenan hidup.
Proses penanaman nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa melalui proses
keteladanan pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun siswa perlu diberi
pemahaman mengapa hal itu dilakukan (Sanjaya, 2006: 179). Misalnya, guru
perlu menjelaskan mengapa kita tidak boleh korupsi; menjelaskan bahaya dari
tindakan korupsi atau mengapa kita harus jujur, tidak mencontek pada waktu
33
ulangan. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari
oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.
2.1.4.2.4 Metode Interaksi Teman Sebaya (Peer Group)
Interaksi adalah pengaruh timbal balik atau saling mempengaruhi satu
sama lain, yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Pihak yang terlibat dalam
sebuah interaksi berarti melakukan sebuah komunikasi. Komunikasi yang terjadi
dapat berupa lisan atau tertulis (Suwarna, 2005: 93). Melalui komunikasi manusia
akan memberikan pandangan dan pola pikir yang dimiliki. Kepribadian dan pola
pikir terbentuk dari pengaruhi yang diberikan orang lain. Hubungan timbal balik
antarmanusia akan saling memberikan pengaruh satu sama lain.
Interaksi merupakan proses saling melakukan aksi, berhubungan, dan
saling mempengaruhi. Proses interaksi terjadi karena adanya aksi dan hubungan
antarmanusia. Hubungan yang terjadi akan saling memberikan pengaruh bagi
masing-masing pelaku interaksi (Sugono, 2008: 542). Pengaruh yang diberikan
dapat berupa dampak positif dan negatif. Manusia melakukan interaksi untuk
memperoleh sebuah tujuan. Proses interaksi dibutuhkan karena manusia tidak
dapat memenuhi tujuan secara sendiri. Manusia memerlukan bantuan dari orang
lain agar tujuan yang diinginkan cepat atau lebih mudah tercapai. Kebutuhan akan
interaksi merupakan kebutuhan pokok manusia yang timbul secara alami sebagai
makhluk sosial.
2.1.4.2.5 Metode Pembinan
Seorang anak didik yang memiliki krakter atau akhlak yang baik di
perlukan pembinaan yang terus menerus dan berkesinambungan . untuk
mewujudkan akhlaq yang luhur pada diri anak didik tidaklah mudah karna
34
menyangkut kebiasaan hidup. Pembinaan akan berhasil hanya dengan usaha yang
keras dan kesabaran serta dukungan dari orang tua dan masyarakat (Zuriyah,
2007: 40).
2.1.4.2.6 Metode Fasilitasi
Metode fasilitasi melatih subyek didik untuk mengatasi masalah-masalah
tertentu (Zubaedi, 2011: 240) bagian terpenting dalam metode fasilitasi adalah
memberikan kesempatan kepada subyek didik, kegiatan-kegitan yang dilakukan
oleh subyek didik dalam pelaksanaan metode fasilitasi membawa dampak positif
pada perkembangan kepribadian karna hal sebagai berikut: 1) Kegiatan fasilitasi
secara signifikan dapat meningkatkan hubungan antara pendidik dan subyek didik.
Apabila pendidik mendengarkan subyek didik dengan sungguh-sungguh, besar
kemungkinanya subyek didik mendengarkan pendidik dengan baik. Subyek didik
merasa benar-benar dihargai karana pandangan dan pendapat mereka didengar
dan di pahami. Akibatnya, Kreadibilitas pendidik meningkat, 2) Kegiatan
fasilitas menolong subyek didik menjelaskan pemahaman, kegiatan ini
memberikan kesempatan kepada subyek didik untuk menyusun pendapat,
mengingatkan kembali hal-hal yang perlu disimak, menjelaskan kembali hal-hal
yang masih diragukkan, 3) Kegiatan fasilitas menolong subyek didik berpikir
lebih jauh tentang nilai yang dipelajari, menemukan wawasan sendiri, belajar dari
teman-temannya yang telah menerima nilai yang diajarkan, akhirnya menyadari
kebaikan hal-hal yang disampaikan oleh perserta didik, 4) Kegiatan fasilitas
menyebabkan pendidika dapat memahami pikiran dan perasaan subyek didik,
5) Kegiatan fasilitas memotivasi subyek didik menghubungkan persoalan nilai
35
dengan kehidupan , kepercayaan dan perasaan mereka sendiri. Karena
keperibadian s ubyek didik terlihat, maka pembelajaran akan lebih menarik.
2.1.4.2.7 Strategi Pengembangan Ketrampilan Akademik dan Sosial
Keterampilan (Soft Skills) yang diperlukan agar seseorang dapat
mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berprilaku konstrutif dan bermoral
dalam masyarakat. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah keterampilan
berpikir kritis. Berpikir kritis dapat dilakukan melalaui latihan yang dilakukan
dengan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan, berpikir krisis dapat mengarah
pada pembentukan sifat bijaksana, berpikir kritis memungkin sesorang dapat
menganalisis informasi secara cermat dan membuat keputusan dengan tepat dalam
menghadapi isu -isu yang controversial.
Dengan demikian, dapat dihindari tindakan yang destruktif sebagai akibat
dari ulah propokator yang tiada henti-hentinya mencari korban. Selain itu
keterampilan mengatasi masalah dalam hal ini sangat diperlukan karena masih
banyak orang yang mengatasi masalah konflek dengan kekuatan fisik, padahal
cara-cara yang demikian itu biasa digunakan oleh binatang. Apabila kita
menghendaki kehidupan berdasarkan nilai-nilai relegius dan prinsip-prinsip
moral, kita perlu mengajarkan cara-cara mengatasi konflik secara kontruktif. Para
guru dan orang tua memang harus berusaha keras untuk menyakinkan anak-anak
bahwa penyeleasikan masalah secara destruktif yang banyak muncul dalam
masyarakat Indonesia pada saat ini sangatlah tidak manusiawi dan bertentangan
dengan norma –norma agama islam yang harus kita junjung tinggi (Zuchdi, 2013:
19).
36
2.1.4.2.8 Metode Penguatan
Sesuai dengan makna kata dasarnya “kuat”, penguatan( Reinforcement)
mengandung makna menambahkan kekuatan pada sesuatu yang dianggap belum
begitu kuat. Makna tersebut ditujukan kepada tingkahlaku individu yang perlu
diperkuat. Diperkuat artinya dimantapkan, dipersering kemunculannya, dan tidak
hilang-hilang timbul. Pada proses pendidikan, tujuan utama yang hendak dicapai
melalui proses pembelajaran adalah terjadinya tingkah laku yang baik. Oleh
karena itu penguatan dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mencapai
tingkah laku yang baik dalam pembelajaran.
Penguatan merupakan respon terhadap suatu perilaku yang dapat
meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali perilaku tersebut (Mulyasa,
2009: 77). Penguatan dapat ditujukan kepada pribadi tertentu dan kepada
kelompok , juga pada kelas secara keseluruhan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian
berjudul ”Analisis Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pembentukan
Perilaku Berbasis Nilai-Nilai Kemanusiaan pada Pembelajaran PPKn Siswa
SMP Negeri 3 Batu” Penelitian tersebut adalah:
Pertama, Penelitian Rouf Tamim, S.Pd.I (2015) yang berjudul “Analisis
Implementasi Kurikulum 2013 Pembelajaran Bahasa Arab (Studi Kasus di MAN
Yogyakarta I dan MAN Yogyakarta III)”, dalam hasil penelitian disebutkan
bahwa, hal-hal yang biasa dilakukan di MAN Yogyakarta I dan MAN Yogyakarta
III, adalah : 1) MAN Yogyakarta I dan MAN Yogyakarta III menerapkan
37
Kurikulum 2013; 2) Terdapat implementasi penerapan kurikulum 2013 di MAN
Yogyakarta I dan MAN Yogyakarta III.
Terdapat persamaan dan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Rouf
Tamim, S.Pd.I dengan penulis. Persamaannya adalah kedua penulis meneliti
mengenai implementasi Kurikulum 2013 dalam hal ini Rouf Tamim, S.Pd.I
meneliti implementasi Kurikulum 2013. Sedangkan perbedaannya adalah
penelitian Rouf Tamim, S.Pd.I hanya meneliti mengenai implementasi Kurikulum
2013 dalam pembelajaran Bahasa Arab.
Kedua, Penelitian Rahma Titis Mahira, S.Pd (2013) yang berjudul
“Implementasi Nilai Kejujuran dalam Pendidikan Anti Korupsi pada
Pembelajaran PPKn di SMPN 3 Malang”, dalam hasil penelitian disebutkan
bahwa, hal-hal yang biasa dilakukan di SMPN 3 Malang, adalah : 1) SMPN 3
Malang menerapkan Pendidikan Anti Korupsi; 2) Terdapat implementasi
penerapan nilai kejujuran di SMPN 3 Malang.
Terdapat persamaan dan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Rahma
Titis Mahira, S.Pd dengan penulis. Persamaannya adalah kedua penulis meneliti
mengenai pembelajaran PPKn dalam hal ini Rahma Titis Mahira, S.Pd meneliti
implementasi nilai kejujuran dalam pembelajaran PKn. Sedangkan perbedaannya
adalah penelitian Rahma Titis Mahira, S.Pd hanya meneliti mengenai
implementasi nilai kejujuran dalam pendidikan anti korupsi pembelajaran PKn.