9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Serangga dan Keragamannya
Serangga secara umum merupakan kelompok hewan yang memiliki kaki enam
(hexapoda), dimana badannya tersusun atas tiga bagian yaitu kepala, dada, dan
perut. Purwatiningsih (2012) menjelaskan bahwa serangga adalah kelompok
hewan dengan ciri memiliki jumlah kaki enam (heksapoda). Hal ini didukung pula
oleh Star (2009), serangga merupakan arthropoda yang tubuhnya terbagi atas
kepala, dada dan perut. Kepala mempunyai satu pasang antena dan dada dengan 3
pasang kaki biasanya terdapat 1 atau 2 pasang sayap pada tingkat dewasa.
Serangga memiliki jumlah keanekaragaman yang tinggi dibanding dengan
jenis lainnya. Star (2009) menyatakan serangga merupakan hewan paling besar
jumlahnya dibanding dengan hewan-hewan lainnya. Menurut Suheriyanto (2008),
Jumlah jenis tumbuhan dan hewan yang telah diidentifikasi mencapai 1,82 juta
dan serangga merupakan kelompok yang paling besar, yaitu mencapai 60% dari
jenis tersebut atau lebih kurang ada 950.000 jenis serangga. Jumlah seluruh
serangga baik yang sudah diidentifikasi maupun yang belum sangat sulit untuk
diketahui secara pasti. Ade (2013) menyatakan bahwa lebih dari 800.000 jenis
serangga sudah ditemukan, dan sekitar 250.000 jenis terdapat di Indonesia.
Terdapat 5.000 jenis ordo capung (Odonata), 20.000 jenis ordo belalang
(Orthoptera), 170.000 jenis ordo kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), 120.000
ordo lalat dan kerabatnya (Diptera) 82.000 jenis ordo kepik (Hemiptera), 360.000
jenis ordo kumbang (Coleoptera), dan 110.000 jenis ordo semut dan lebah
10
(Hymenoptera). Jumlah ini menjadikan serangga kelompok utama dari hewan
beruas Arthropoda.
Secara umum serangga dapat dibedakan berdasarkan habitatnya yaitu di air,
tanah, dan udara. Serangga permukaan tanah merupakan serangga yang hidup di
tanah. Menurut Ruslan (2009), Serangga permukaan tanah merupakan kelompok
serangga yang sebagian hidupnya berada di permukaan tanah, dalam proses
kehidupannya tentu memiliki syarat. Keberadaan serangga permukaan tanah
dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan
untuk melangsungkan hidupnya. Borror (1992) menyatakan banyak macam
serangga tanah meluangkan sebagian atau seluruh hidup didalam tanah. Tanah
tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan, dan
seringkali makanan. Tanah diterobos oleh serangga tanah menjadi lebih
mengandung udara, dan tanah tersebut diperkaya oleh ekskresi dan tubuh-tubuh
serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat-sifat fisik tanah dan
menambahkan kandungan bahan organiknya.
2.1.1 Morfologi Serangga
Serangga memiliki bagian tubuh yang berfungsi untuk melindungi
tubuhnya dalam beraktifitas. Menurut Suheriyanto (2008), tubuh serangga
dilindungi oleh rangka luar (eksoskeleton) yang berfungsi untuk perlindungan
(mencegah kehilangan air) dan untuk kekuatan (bentuknya silindris). Rangka luar
serangga sangat kuat, tetapi tidak menghalangi pergerakannya. Kelemahan dari
rangka tersebut adalah berisi masa jaringan, ukuran tubuh serangga terbatas oleh
rangka dan berat rangka lebih dari 10% dari total berat tubuh.
11
Menurrut Suheriyanto (2008), tubuh serangga terbagi menjadi 3 bagian, yaitu
kepala, toraks, dan abdomen. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing
bagian tubuh serangga:
a. Kepala
Kepala terdiri dari 3 sampai 7 ruas. Kepala berfungsi sebagai alat untuk
pengumpulan makanan, penerima rangsangan dan memproses informasi di otak.
Kepala serangga keras karena mengalami sklerolisasi. Kepala merupakan bagian
anterior dari tubuh serangga yang memperlihatkan adanya sepasang mata,
sepasang sungut dan mulut (Bland dan Jaques, 1978).
Mata merupakan organ penglihatan, pada serangga terdapat mata majemuk dan
mata tunggal. Serangga dewasa mempunyai mata besar yang disebut mata
majemuk atau mata faset yang terdiri dari beberapa ribu ommatidia, sehingga
bayangan yang terlihat oleh serangga adalah mozaik. Mata tunggal mempunyai
lensa kornea tunggal, dibawahnya terdapat sel komeagen dan retina. Mata tunggal
tidak membentuk bayangan dan lebih berperan dalam membedakan intensitas
cahaya (Borror, et al., 1996).
Sungut adalah sepasang embelan beruas yang terletak di kepala, biasanya
diantara atau dibawah mata majemuk. Sungut digunakan oleh serangga untuk
menerima rangsangan dari lingkungan, fungsi utama sungut adalah untuk perasa
dan bertindak sebagai organ pengecap, organ pembau, dan organ pendengar
(Suheriyanto, 2008).
Sungut dapat ditemukan pada semua serangga, baik pterigota maupun
apterigota (Gillot, 2005). Borror, el al (1996), Meyer (2003), dan Gillot (2005)
membagi sungut menjadi tiga bagian, yaitu:
12
1. Skape (batang dasar), yaitu ruas dasar sungut.
2. Pedikel (gantilan), yaitu ruas kedua.
3. Flagelum, yaitu ruas sisanya.
Borror., et al (1996) dan Meyer (2003) menyatakan bahwa sungut serangga
mempunyai bentuk dan ukuran yang sangat bervariasi sehingga dapat digunakan
dalam identifikasi, yaitu :
1. Setaseus
Berbentuk seperti duri, pada bagian distal ruasnya menjadi langsing. Contoh
pada capung, capung jarum dan peloncat daun.
2. Filiform
Bentuk seperti benang, ruas-ruas hampir seragam dalam ukuran dan biasanya
silindris, misalnya pada kumbang tanah dan kumbang harimau.
3. Moniliform
Sungut seperti satu untaian merjan, ruas-ruas sama dalam ukuran dan kurang
lebih berbentuk bulat. Contohnya kumbang keriput kayu.
4. Serrata
Seperti gergaji, ruas-ruas terutama yang ada di distal separuh atau dua pertiga
sungut kurang lebih segi tiga, misalnya, kumbang loncat balik..
5. Pektinat
Sungut berbentuk seperti sisir, kebanyakan ruas-ruas dengan juluran lateral,
langsing dan panjang, misalnya kumbang warna api.
6. Klavat
Berbentuk seperti gada, ruas-ruas meningkat garis tengahnya disebelah distal,
contoh pada kumbang hitam dan kumbang lady bird. Bila ruas-ruas ujung meluas
13
ke lateral membentuk gelambir oval disebut lamelat, misalnya pada kumbang
juni.
7. Genikulat
Berbentuk siku, dengan ruas pertama panjang dan ruas-ruas berikutnya kecil
dan membelok pada satu sudut dengan yang pertama. Misalnya pada kumbang
rusa dan semut calsid.
8. Plumosa
Sungut berbentuk seperti bulu, kebanyakan ruas-ruas dengan gerombolan
rambut-rambut panjang, misalnya nyamuk jantan.
9. Aristat
Ruas terakhir dari sungut biasanya membesar dan mengandung bulu-bulu
dorsal yang banyak, disebut arista. Contoh pada lalat rumah dan lalat syrphid.
10. Stilat
Pada ruas terakhir sungut mengandung juluran yang berbentuk seperti stili.
Misalnya sungut pada lalat perompak dan lalat penyelinap.
Ezlinga (2004) dalam Suheriyanto (2008), membagi mulut serangga
berdasarkan sumber pakan di alam, yaitu :
1. Tipe Pengunyah (Chewing)
Tipe pengunyah merupakan tipe mulut yang banyak dijumpai pada serangga
dewasa dan serangga muda. Mandibula serangga tipe ini mengalami sklerotisasi,
bergerak secara transversal sehingga dapat digunakan untuk memotong seperti
pisau. Serangga biasanya mampu untuk menggigit dan mengunyah makanannya.
14
2. Tipe Pemotong-penyerap (Cutting-sponging)
Tipe pemotong-penyerap dapat ditemukan pada lalat hitam dan lalat kuda.
Serangga tipe ini mempunyai mandibular dan maksila yang memanjang dan
berfungsi sebagai stilet untuk menusuk kulit.
3. Tipe Spon (Sponging)
Pada lalat rumah dewasa tipe mulutnya termodifikasi seperti spon. Lalat ini
terlebih dahulu membasahi makanan dengan sekresi air liurnya, kemudian
menjilati makanan tersebut.
4. Tipe Sifon (Siphoning)
Kupu-kupu dan ngengat memiliki tipe mulut sifon. Serangga tersebut mengisap
cairan melalui proboscis. Probosis pada lalat dewasa biasanya panjang dan
melingkar, terbentuk dari dua galea maksila dan saluran makanan ada diantara
kedua galea tersebut.
5. Tipe Penusuk-penghisap (Piercing-sucking)
Tipe mulut penusuk-penghisap termodifikasi untuk mempenetrasi penghalang
luar dari inang dan cairan dikeluarkan dari tubuh untuk mempermudah proses
penyerapan makanan. Serangga yang mempunyai tipe mulut ini biasanya berperan
sebagai vector penyakit, seperti serangga herbivor (cicada), parasit (kutu dan
nyamuk) dan karnivor (kutu pembunuh). Ada tiga tipe mulut penusuk-penghisap,
yaitu tipe yang sangat umum dijumpai pada nyamuk (terdiri dari stilet yang
panjang dan bergerigi), tipe yang hanya ditemukan pada thrips (tipe ini
merupakan peralihan antara pengunyah dan penusuk penghisap) dan tipe yang
ditemukan pada kutu penghisap (tersusun oleh tiga stilet yang tersimpan dalam
tubuh ketika tidak digunakan).
15
6. Tipe Pengunyah-peminum (Chewing-lapping)
Lebah madu dewasa mempunyai tipe mulut yang termodifikasi menjadi bentuk
lain yang dapat digunakan untuk makanan cair, seperti nectar dan madu.
Mandibula dapat digunakan untuk memotong, pertahanan, dan membentuk
sarang.
b. Toraks
Toraks terbagi menjadi tiga segmen dan tiap segmen mempunyai sepasang
kaki, sehingga jumlah kaki serangga enam (heksapoda). Hal tersebut merupakan
alasan mengapa serangga dimasukkan kedalam kelas heksapoda, yaitu kelompok
hewan yang mempunyai kaki enam. Toraks terdiri atas tiga ruas, pada setiap ruas
terdapat sepasang tungkai dan jika terdapat sayap terletak pada ruas kedua dan
ketiga, masing-masing sepasang sayap.
Bentuk tungkai bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali (jangkrik,
Gryllidae), menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut,
Formicidae) dan sebagainya. Tungkai serangga bersklerotisasi dan terbagi
menjadi enam ruas, yaitu :
1. Koksa, yaitu ruas dasar
2. Trokanter, yaitu ruas sesudah koksa
3. Femur, biasanya ruas pertama yang panjang dari tungkai
4. Tibia, yaitu ruas kedua yang panjang
5. Tarsus, biasanya berupa sederet ruas-ruas kecil dibelakang tibia
6. Pretarsus, terdiri dari kuku-kuku atau serupa seta di ujung tarsus.
Sayap serangga tumbuh dari dinding tubuh yang terletak dorso-lateral antara
nota dan pleura. Pada umumnya serangga mempunyai dua pasang sayap yang
16
terletak pada ruas mesotoraks dan metatoraks. Pada sayap terdapat rangka dengan
pola tertentu dan sangat berguna dalam identifikasi. Rangka sayap merupakan
struktur yang berongga yang mengandung syaraf, trakea, dan hemolimf (Borror.,
et al, 1996 dalam Suheriyanto, 2008).
Sistem rangka sayap yang banyak dipakai adalah sistem yang dibuat oleh John
Comstock dan George Needham sehingga terkenal dengan sistem Comstock-
Needham (Meyer, 2003 dalam Suheriyanto, 2008). Ada dua macam rangka sayap,
yaitu rangka sayap longitudinal dan rangka sayap menyilang. Rangka sayap
longitudinal terdiri dari: Kosta (C), Sub Kosta (Sc), Radius (R), Media (M),
Kubitus (Cu), dan Anal (A). Rangka sayap menyilang menghubungkan rangka-
rangka sayap longitudinal yang utama dan biasanya diberi nama sesuai dengan
yang bersangkutan, misalnya: rangka sayap Humeral (H), Radio-medial (R-m),
medial (m), dan medio-cubital (m-cu).
c. Abdomen
Abdomen serangga terdiri dari 11 ruas. Abdomen berfungsi untuk menampung
sistem pencernaan, ekskretori, dan reproduksi (Borror., et al, 1996 dalam
Suheriyanto, 2008). Anatomi internal serangga dicirikan oleh adanya sistem
peredaran darah terbuka, saluran pernapasan, dan tiga bagian saluran pencernaan.
Pada serangga dewasa terdapat spirakel dekat membrane pleural pada tiap
segmen dikedua sisi abdomen. Spirakel adalah bagian terbuka yang
menghubungkan sistem respirasi dengan luar tubuh. Pada bagian paling ujung
abdomen terdapat anus, yang merupakan saluran keluar dari sistem pencernaan.
Pada serangga betina men abdomen ke delapan dan Sembilan bersatu membentuk
17
ovipositor sebagai organ yang membantu peletakan telur (Meyer, 2003 dalam
Suheriyanto, 2008).
2.1.2 Klasifikasi Serangga
Serangga dipelajari secara khusus pada cabang biologi yang disebut
entomologi. Serangga termasuk dalam filum arthropoda. Arthropoda berasal dari
bahasa Yunani arthro yang artinya ruas dan poda yang berarti kaki, jadi
arthropoda adalah kelompok hewan yang mempunyai ciri utama kaki beruas-ruas
(Borror., et al, 1996 dalam Suheriyanto, 2008). Meyer (2003) membagi filum
arthropoda menjadi tiga sub filum, yaitu :
a. Sub filum Trilobita
Trilobita merupakan arthropoda yang hidup di laut, yang ada sekitar 245 juta
tahun yang lalu. Anggota sub filum trilobite sangat sedikit yang diketahui, karena
pada umumnya ditemukan dalam bentuk fosil.
b. Sub filum Chelicerata
Anggota sub filum chelicerata merupakan hewan predator yang mempunyai
selicerae dengan kelenjar racun. Serangga yang termasuk dalam kelompok ini
adalah laba-laba, tungau, kalajengking, dan kepiting.
c. Sub filum Mandibulata
Kelompok ini mempunyai mandible dan maksila di bagian mulutnya.
Kelompok hewan yang termasuk dalam sub filum ini adalah crustacean,
myriapoda, dan insekta (serangga). Salah satu kelompok mandibulata, yaitu kelas
crustacea telah beradaptasi dengan kehidupan laut dan populasinya tersebar di
seluruh lautan. Anggota kelas Myriapoda adalah milipedes dan centipedes yang
beradaptasi dengan kehidupan daratan.
18
Serangga mempunyai ciri khas, yaitu jumlah kakinya enam (heksapoda),
sehingga kelompok hewan dengan ciri tersebut dimasukkan ke dalam kelas
heksapoda. Selain itu, serangga mempunyai ciri-ciri :
a. Tubuh terbagi menjadi 3 bagian, yaitu kepala, toraks, dan abdomen.
b. Tubuh simetri bilateral.
c. Mempunyai sepasang sungut.
d. Sayap 1-2 pasang.
e. Mempunyai rangka luar (eksoskeleton).
f. Bernapas dengan insang, trakea, dan spirakel.
g. Sistem peredaran darah terbuka.
h. Ekskresi dengan buluh malphigi.
Serangga disebut juga insekta, insekta berasal dari bahasa Yunani, yaitu in
artinya dalam dan sect berarti potongan, jadi insekta dapat diartikan potongan
tubuh atau segmentasi (Bland dan Jaques, 1978 dalam Suheriyanto, 2008).
Meyer (2003) membagi serangga menjadi beberapa kelompok, yaitu : serangga
primitif adalah Protura, Diplura, Collembola, Archeognatha, dan Thysanura.
Serangga ini sampai dewasa tidak mempunyai syap (apterigota) dan dalam
perkembangannya tidak mengalami metamorphosis (ametabolous development),
yang sayapnya tumbuh menjelang dewasa (eksopterigota) tetapi sayap tidak dapat
dilipat sejajar tubuh (paleoptera). Serangga yang sayapnya dapat dilipat sejajar
tubuhnya ketika beristirahat disebut neoptera, yang paling primitif adalah
Plecoptera dan Embioptera. Pada awal zaman karbon kelompok ini terbagi
menjadi tiga kelompokj, yaitu :
19
a. Orthoperiod
Serangga yang termasuk kelompok ini mempunyai bagian mulut yang tidak
terspesialisasi. Sebagian besar dari kelompok ini (kecuali Mantodea dan
Mantophasmatodea) berperan sebagai herbivore dan pengurai (scavengers).
1) Blattodea – kecoak
2) Isoptera – rayap
3) Mantodea – belalang sembah
4) Dermaptera – serangga ekor capit
5) Orthoptera – belalang, jangkrik
6) Phasmatodea – serangga tongkat
7) Grylloblattodea – perayap karang
8) Mantophasmatodea
9) Zoraptera – zorapteran
b. Hemipteroid
Ordo yang masuk dalam kelompok ini mempunyai bagian mulut yang
terspesialisasi untuk memarut atau menusuk/mengisap. Sebagian besar berperan
sebagai herbivore, tetapi ada yang menjadi predator atau parasit.
Psocoptera – psocid
1) Thysanoptera – thrips
2) Phthiraptera – kutu parasite
3) Hemiptera
a. sub ordo Heteroptera – kutu busuk
b. sub ordo Homoptera – wereng, aphids
20
c. Endopterigota
Semua serangga yang mempunyai metamorfosis sempurna (holometabolous
development) masuk dalam kelompok ini. Serangga mempunyai empat tahap
dalam daur hidupnya, yaitu telur – larva – pupa – dewasa. Bentuk larva sangat
berbeda dengan dewasa. Sayap dan struktur dewasa lainnya berkembang pada saat
pupa.
Endopterigota terdiri atas 9 ordo yang merupakan 4/5 dari seluruh jenis
serangga. Kelompok ini mempunyai peranan yang sangat banyak di ekosistem,
yaitu sebagai pengurai (scavenger), herbivor, predator, dan parasit.
1) Mecoptera – lalat, kalajengking
2) Diptera – lalat rumah
3) Siphonaptera – pinjal
4) Trichoptera – lalat caddis
5) Lepidoptera – kupu, ngengat
6) Neuroptera – undur-undur
7) Coleoptera – kumbang
8) Strepsiptera – parasit bersayap terpuntir
9) Hymenoptera – semut, lebah.
21
Skema 1. Klasifikasi Serangga
Phylum Arthropoda
Subphylum
Mandibulata Trilobita (fossil) Chelicerata
Arachnida Kelas Insekta
Subkelas
Apterygota
Protura Diplura
Thysanura Collembola
Pterygota
Exopterygota
Ephemeroptera Odonata
Orthoptera Isoptera
Plecoptera Dermaptera Embioptera Mallophaga Anoplura
Thysanoptera Hemiptera Homoptera Neuroptera
Endopterygota
Coleoptera Mecoptera Trichoptera Lepidoptera
Diptera Siphonaptera Hymenoptera
22
2.1.3 Ekologi Serangga
Aktivitas keberadaan serangga di alam dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Serangga beraktivitas pada kondisi lingkungan yang optimal, sedangkan kondisi
yang kurang optimal di alam menyebabkan aktivitas serangga menjadi rendah
(Aditama & Kurniawan, 2013). Menurut Arofah (2013), kehidupan serangga
sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan hidupnya. Selanjutnya
dikatakan juga bahwa faktor lingkungan yang juga turut mempengaruhi
kehidupan serangga adalah faktor fisis, biotik dan makanan. Data yang diperoleh
juga menunjukkan terjadi perbedaan jumlah serangga pada saat pengambilan
sampel. Hal ini disebabkan faktor keadaan cuaca, yang menyatakan bahwa cuaca
sangat berpengaruh terhadap diversitas serangga, seperti halnya juga suhu.
Selain faktor abiotik yang mempengaruhi kehidupan serangga, terdapat faktor
biotik yang dapat berinteraksi dengan serangga. Faktor biotik itu sendiri terjadi
antar serangga maupun dengan jenis lain. Menurut Smith (2006) dalam
Suheriyanto (2008), sekumpulan populasi yang saling berinteraksi secara
langsung maupun tidak langsung disebut dengan komunitas. Sedangkan Odum
(1998) dalam Suheriyanto (2008) menyatakan bahwa komunitas biotik merupakan
sekumpulan populasi yang hidup di suatu daerah. Komunitas tidak hanya
mempunyai kesatuan fungsional tertentu dengan struktur trofik dan pola arus
energi yang khas, tetapi juga mempunyai kesatuan komposisional dimana terdapat
peluang jenis tertentu akan tetap ada atau hidup berdampingan. Menurut
Mukhtasor (2008), struktur trofik merupakan fenomena interaksi antara rantai
makanan dan hubungan metabolism dengan ukuran organisme pada suatu
komunitas.
23
Rantai makanan adalah pemindahan energi dari sumbernya melalui
serangkaian organisme yang memakan dan dimakan (Odum, 1998). Sumber
energi bumi berasal dari matahari, tumbuhana menangkap energi tersebut untuk
melakukan fotosintesis sehingga disebut produsen. Hasil fotosintesis tersebut
menghasilkan metabolit primer dan sekunder yang dapat dimanfaatkan oleh
tumbuhan sendiri dan sebagian merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan
oleh herbivor sebagai konsumen primer. Herbivor selanjutnya dimakan oleh
karnivor yang berperan sebagai konsumen sekunder, dan karnivor dimakan oleh
karnivor yang lain disebut dengan konsumen tersier (Suheriyanto, 2008). Pada
kenyataannya tidak semua energi disimpan, tetapi digunakan untuk proses internal
dalam tubuh, respirasi atau digunakan oleh organisme pemakan selanjutnya.
Produk sisa dan materi organik dari organisme yang mati juga dimanfaatkan oleh
organisme yang lain, yaitu decomposer sehingga diubah menjadi materi anorganik
yang diperlukan oleh tumbuhan (Jarvis, 2000).
Produsen dan dekomposer diperlukan dalam mempertahankan keberlanjutan
komunitas. Tanpa adanya produsen tidak aka nada herbivor, karnivor, dan
decomposer. Sama halnya dengan produsen, tanpa dekomposer tumbuhan dan
hewan yang mati akan terakumulasi, terawetkan, dan dipencarkan oleh angin.
Sehingga tanpa dekomposer bumi akan kehilangan gas yang sangat penting untuk
kehidupan (Suheriyanto, 2008). Berdasarkan hal tersebut peranan serangga
diperlukan untuk membentuk suatu rantai makanan.
24
2.1.4 Peranan Serangga
Serangga permukaan tanah pada umumnya memakan tumbuh-tumbuhan yang
hidup maupun yang telah mati, sehingga serangga berperan pada proses
dekomposisi. Ruslan (2009) menyatakan serangga permukaan tanah berperan
dalam proses dekomposisi. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu
berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan serangga permukaan tanah.
Keberadaan serangga permukaan tanah dalam tanah sangat tergantung pada
ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti
bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus
karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi serangga
permukaan tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas serangga permukaan
tanah akan berlangsung baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tatang (2010),
serangga tanah dikenal berperan sebagai perombak bahan organik yang
memegang peranan penting dalam daur hara. Kelompok ini sangat erat
hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana serangga hidup dan mempunyai
potensi yang tidak ternilai terutama dalam membentu perombahakan bahan
organik tanah, juga menjadi salah satu makhluk penyeimbang lingkungan.
Beberapa diantaranya bahkan dapat digunakan sebagai indikator tingkat
kesuburan tanah atau keadaan tanah.
2.1.4.1 Serangga sebagai bagian Ekosistem
Tumbuhan berperan sebagai produsen dalam ekosistem dan menempati
tingkat trofik pertama. Serangga pemakan tumbuhan berada pada tingkat trofik
kedua. Serangga yang masuk pada kelompok ini berperan sebagai konsumen
pertama dan disebut herbivor. Serangga herbivor banyak menghabiskan hidupnya
25
dengan berada disekitar tumbuhan. Serangga juga dapat berada pada tingkat trofik
ketiga, kelompok serangga ini berperan sebagai konsumen kedua yang memakan
hewan, sehingga disebut karnivor. Karnivor yang memakan karnivor pertama atar
sebagai konsumen ketiga berada pada tingkat trofik keempat. Kelompok serangga
ini berupa predator atau hiperparasitoid (Suheriyanto, 2008).
Serangga yang berperan sebagai musuh alami dapat berupa predator dan
parasitoid. Serangga disebut predator jika serangga tersebut memangsa herbivor
dan disebut parasitoid jika serangga tersebut hidup diluar atau didalam inang
dalam jangka waktu tertentu.
2.1.4.2 Serangga yang Bermanfaat Bagi Manusia
Manfaat serangga bagi manusia sangat banyak, diantaranya adalah
serangga sebagai musuh alami hama, pengendali gulma, serangga penyerbuk,
penghasil produk, bahan pangan, dan pengurai sampah (Borror, et al., 1996 dalam
Suheriyanto, 2008).
Serangga ada yang berperan sebagai predator dan parasitoid yang dapat
membantu manusia dalam mengendalikan serangan hama di pertanaman. Selain
membantu dalam mengendalikan hama, serangga juga memiliki peranan lain yaitu
sebagai pengendali gulma. Serangga herbivor yang bermanfaat bagi manusia akan
memakan tumbuhan yang tidak dikehendaki keberadaannya (gulma). Gulma
merupakan tumbuhan liar dan mempunyai pertumbuhan yang sangat pesat
(Suheriyanto, 2008). Serangga-serangga tersebut akan berperan dalam bidang
pertanian atau perkebunan.
Peranan serangga yang bermanfaat bagi manusia lainnya adalah serangga
penyerbuk dan pengurai. Serangga-serangga ini akan berperan dalam setiap
26
wilayah termasuk dalam ekosistem hutan. Menurut Suheriyanto (2008), serangga
penyerbuk dapat membantu dalam penyerbukan tumbuhan dengan bantuan angin
dan serangga yang mempunyai nektar. Peranan serangga dalam proses
penyerbukan besar sekali, jika tidak ada serangga polinator atau serangga
penyerbuk maka dapat dipastikan pertumbuhan tanaman hanya akan dapat
dilakukan oleh manusia sehingga kemungkinan tingkat keberadaan suatu tanaman
rendah. Selain itu, peranan serangga yang lain adalah serangga sebagai pengurai.
Menurut Suheriyanto (2008), serangga pengurai mempunyai peranan yang besar
dalam menguraikan zat organik menjadi zat anorganik, sehingga dengan adanya
serangga pengurai maka sampah akan cepat terurai dan kembali menjadi materi di
alam.
Peranan serangga yang bermanfaat bagi manusia lainnya adalah sebagai
serangga penghasil produk dan bahan pangan. Serangga penghasil produk yang
dimaksudkan adalah serangga yang dapat menghasilkan produk dimana produk
tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia. Menurut Suheriyantom (2008),
serangga dapat menghasilkan produk berupa madu, royal jelly, propolis, malam,
dan juga polen. Menurut Elzinga (2004), selain produk tersebut terdapat produk
lain yaitu serangga penghasil produk benang sutera yang dihasilkan oleh ulat
sutera (Bombyx mori). Selain menghasilkan produk yang dapat dikonsumsi oleh
manusia, serangga juga dapat berperan untuk bahan pangan, beberapa jenis
serangga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau campuran produk
makanan manusia, diantaranya adalah laron, cengkerik, belalang, dan beberapa
jenis larva serangga.
27
2.1.4.3 Serangga yang Merugikan Manusia
Selain memiliki peran yang bermanfaat bagi manusia, serangga juga dapat
merugikan manusia. Elzingga (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa ordo
serangga yang berpotensi menyebabkan kerusakan serta mengganggu aktifitas
manusia, yaitu:
a. Thysanura-serangga perak
Serangga ini dapat ditemukan disela-sela buku, hidup dan makan di buku
tersebut sehingga buku menjadi rusak.
b. Blattaria-kecoak
Kecoak sering ditemukan di rumah-rumah pada tempat yang gelap. Kecoak
mengeluarkan kotoran dan bau yang tidak sedap, diduga serangga ini dapat
menyebabkan asma dan berperan sebagai pembawa salmonella.
c. Isoptera-rayap
Rayap merupakan serangga yang memanfaatkan bahan yang terbuat dari kayu
sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tempat tinggal manusia.
d. Psocoptera-kutu buku
Kutu ini dapat ditemukan dibeberapa lokasi, terutama pada buku yang
tersimpan lama dan pada hiasan dinding yang terbuat dari kertas.
e. Coleoptera-kumbang beras
Beberapa jenis kumpang dapat ditemukan pada bahan pangan yang tersimpan,
biji-bijian, kain wol, dan jaket kulit. Sehingga keberadaan serangga ini dapat
menyebabkan kerusakan pada bahan yang ditempati.
28
f. Hymenoptera-beberapa jenis semut
Beberapa jenis semut ditemukan di lingkungan rumah khususnya di dinding
dan di lantai. Pada umumnya serangga yang hidup dirumah bersifat omnivore
yang memakan semua bahan yang dijumpai.
g. Siphonaptera-kutu kucing
Kutu kucing bersifat parasite pada mamalia dan burun, dan dapat berperan
sebagai vector cacing pita anjing. Kutu kucing menghisap darah pada
inangnya dan juga pada manusia. Gigitan kutu kucing dapat menyebabkan
dermatitis.
h. Lepidoptera-Ngengat baju
Ngengat rumah banyak ditemukan di permadani, makanan, dan pakaian yang
disimpan, Pada fase larva, serangga ini memakan bahan-bahan tersebut
sehingga dapat menimbulkan kerusakan.
Selain serangga-serangga tersebut terdapat serangga lain yang dapat
menyebabkan kerugian bagi manusia. Menurut Suheriyanto (2008), banyak
serangga mengganggu manusia karena mengeluarkan bau atau sekresi yang tidak
sedap, dapat masuk ke mata atau telinga seseorang dan dapat menimbulkan
ketakutan (entomophobia). Beberapa serangga dapat menghasilkan racun yang
dapat berbahaya bagi manusia, seperti pada lebah, tabuhan, dan kutu busuk.
Serangga ada yang hidup dalam atau pada tubuh manusia sebagai parasite yang
menyebabkan rangsangan yang hebat. Serangga juga dapat berperan sebagai
vector dari beberapa penyakit, contohnya penyakit malaria.
Serangga dapat merusak tanaman budidaya karena serangga memanfaatkan
tanaman tersebut sebagai pakan, tempat meletakkan telur, dan secara tidak
29
langsung serangga berperan sebagai vector penyakit pada tanaman. Banyak sekali
pathogen yang dapat dipindahkan oleh serangga, baik dari kelompok virus, jamur,
atau bakteri.
2.1.5 Penyebaran Serangga
Keberadaan serangga disuatu wilayah bergantung pada kondisi wilayah yang
ditempatinya, serta bagaimana serangga beradaptasi dihabitatnya. Ruslan (2009),
dalam penelitiannya menyatakan bahwa hutan homogen dan hutan heterogen
terdapat perbedaan signifikan dari keanekaragaman family. Pada hutan homogen
keanekaragam lebih tingi dibanding hutan heterogen. Tingginya indeks
keanekaragaman pada hutan homogen hal ini disebabkan pada hutan homogen
vegetasi herba yang merupakan tempat hidup dan sumber makanan bagi serangga
permukaan tanah, lebih beragam dan rimbun bila dibandingankan dengan vegetasi
heterogen. Pada hutan heterogen tutupan kanopi dari vegetasi kurang rapat
sehinga penetrasi sinar matahari lebih banyak, sehingga vegetasi herba atau
rumput yang membutuhkan sinar matahari untuk kehidupan dapat dipenuhi.
Sedangkan pada hutan heterogen tutupan kanopi lebih rapat, penetrasi sinar
matahari lebih kurang. Hal ini yang menyebabkan indeks keanekaragaman lebih
tinggi.
Keberadaan serangga dalam alam dipengaruhi oleh keberadaan faktor abiotik
atau unsur iklim sebagai komponen suatu ekosistem. Pengamatan yang diamati
meliputi suhu, intensitas cahaya, kelembaban udara dan curah hujan. Karakteristik
biologis dari serangga dipengaruhi terutama oleh suhu dan kelembaban relatif.
Intensitas cahaya juga mempengaruhi keberadaan serangga dalam alam. Cahaya
yang diukur berasal dari penggunaan metode Light trap dalam menangkap
30
serangga yang ada dalam areal pertanian organik, berbeda dengan kelompok
serangga diurnal yang memanfaatkan cahaya matahari. Organ penglihatan
serangga dipengaruhi oleh keberadaan intensitas cahaya disekitar. Cahaya tersebut
masuk dalam mata faset yang dimiliki oleh suatu serangga dan diterima oleh
reseptor (Aditama & Kurniawan, 2013)
2.1.6 Keanekaragaman Serangga
Keanekaragaman serangga di ekosistem satu dengan ekosistem lainnya akan
berbeda sesuai dengan faktor biotik maupun abiotik yang mempengaruhinya.
Menurut Riyanto (2015), tingkat keanekaragaman dan kelimpahan serangga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ketersediaan makanan. Perubahan kondisi
lingkungan menyebabkan perubahan ekosistem yang berpengaruh terhadap
keanekaragaman dan kelimpahan serangga yang terdapat didalamnya. Lingkungan
rawa alami memiliki keanekaragaman serangga yang tinggi dan kelimpahan
serangga yang rendah, kemudian dilakukan penimbunan lahan sehingga vegetasi
tumbuhan berkurang. Berkurangnya keanekaragaman vegetasi tumbuhan
berpengaruh terhadap turunnya keanekaragaman serangga dan meningkatnya
kelimpahan serangga jenis tertentu. Vegetasi tumbuhan relatif homogen, musuh
alami berkurang, tempat berlindung serangga dari serangan predator kurang dan
kondisi lingkungan yang tidak mendukung sepert aktivitas manusia dan polusi
kendaraan sehingga serangga tertentu saja yang mampu bertahan hidup dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebutlah yang memiliki Kelimpahanyang
lebih tinggi.
31
Menurut Suheriyanto (2008), Faktor-faktor yang berinteraksi dalam
menghasilkan keanekaragaman jenis pada binatang dan tumbuhan di daerah tropis
ditentukan oleh enam faktor fisik lingkungan, yaitu :
1. Suhu udara yang tinggi
2. Kelembaban udara yang tinggi
3. Intensitas cahaya yang tinggi
4. Lingkungan yang stabil
5. Area yang cukup luas
6. Gradien altitude yang cukup panjang.
Faktor fisik lingkungan di daerah tropis tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi
berinteraksi dalam mendukung tingginya tingkat keanekaragaman tumbuhan dan
hewan di daerah tropis. Menurut Sarjan (2008), serangga adalah hewan berdarah
dingin, sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi oleh lingkungannya.
Serangga yang hidup di daerah beriklim dingin pertumbuhannya lambat
sedangkan daerah tropik seperti Indonesia pertumbuhan serangga relatif cepat.
Adanya sifat seperti ini serangga berhasil mempertahankan keberlangsungan
hidupnya pada habitat yang bervariasi, kapasitas reproduksi yang tinggi,
kemampuan memakan jenis makanan yang berbeda serta kemampuan
menyelamatkan diri dari musuhnya.
Berdasarkan penelitian Kartikasari (2015) yang berjudul Analisis
Biodiversitas Serangga di Hutan Kota Malabar Sebagai Urban Ecosystem
Services Kota Malang pada Musim Pancaroba, diperoleh hasil penelitian dengan
pengambilan sampel dan identifikasi serangga yang dilakukan pada Hutan Kota
Malabar diperoleh 10 ordo dan 26 family dengan dominasi serangga pada masing-
32
masing kuadran didominasi oleh ordo Hymenoptera dan Collembola. Nilai indeks
keanekaragaman tertinggi ada pada kuadran 3 dengan nilai yang berkisar 1,27-
1,96 dan termasuk pada kriteria keanekaragaman sedang pada setiap
pengamatannya. Suhu dalam hutan lebih rendah dari pada suhu di luar lokasi yang
lebih tinggi, rata-rata 24,75°C dan kelembaban 79,14% membuat serangga cukup
nyaman didalam lingkungan hutan kota, hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan
indeks keanekaragaman dari masing-masing kuadran yang mempunyai indeks
keanekaragaman yang sedang/kondisi lingkungan sedang, dan banyaknya vegetasi
pada hutan kota Malabar sebanyak 1145 vegetasi juga menjadi habitat yang
nyaman untuk serangga. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang akan
dilaksanakan di hutan hujan tropis Ranu Pani dengan melihat faktor lingkungan
seperti suhu dan kelembaban akan berpengaruh terhadap keberadaan serangga.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013), yang berjudul
Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis
Guineensis Jacq.) di Kebun Helvetia Pt. Perkebunan Nusantara II, dari hasil
penelitian diperoleh pada areal TM diperoleh nilai KR tertinggi adalah 16,1073%
dari ordo Hymenoptera (Formicidae) dan terendah sebesar 0,3355% dari ordo
Coleoptera (Psephenidae). Sedangkan pada areal TBM diperoleh nilai KR
tertinggi adalah 14,4414% dari ordo Hymenoptera (Siricidae) dan terendah
sebesar 0,2724% dari ordo Coleoptera (Chrysomellidae) dan Diptera (Pyrgotidae).
Pada areal TM diperoleh nilai FR tertinggi adalah 5,1020% dari ordo Arachnida
(Lycosidae), Coleoptera (Ciidae),Hymenoptera (Formnicidae, Repronidae, dan
Siricidae), Lepidoptera (Psycidae), Odonata (Cordulegastridae) dan Lepidoptera
(Gryllacrididae) dan terendah sebesar 1,0204% dari ordo Coleoptera (Mordellidae
33
dan Psephenidae). Sedangkan pada areal TBM diperoleh nilai FR tertinggi adalah
4,3859% dari ordo Coleoptera (Scarabidae), Homoptera (Cicadidae),
Hymenoptera (Formicidae, Repronidae dan Siricidae), Odonata (Aeshnidae) dan
Orthoptera (Gryllacrididae) dan terendah sebesar 0,8771 % dari ordo Coleoptera
(Chrysomellidae dan Rhipiphoridae) dan ordo Diptera (Pyrgotidae). Nilai indeks
keanekaragaman (H’) pada kedua areal tergolong sedang, yaitu TM sebesar
2,9276 dan TBM sebesar 2,9858. Sedangkan nilai kesamaan (Q/s) kedua areal
sebesar 79,365%. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan
di hutan hujan tropis Ranu Pani dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam
melakukan perhitungan indeks keanekaragaman dan indeks nilai penting dari hasil
identifikasi serangga yang dilakukan di hutan hujan tropis.
Ruslan (2009), pada penelitian yang berjudul Komposisi dan
Keanekaragaman Serangga Permukaan Tanah pada Habitat Hutan Homogen dan
Heterogen di Pusat Pendidikan Konservasi Alam (Ppka) Bodogol, Sukabumi,
Jawa Barat. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut:
1. Serangga permukaan tanah pada hutan homogen didapatkan 8 ordo dengan 18
Family (409 individu), pada lokasi hutan heterogen didapatkan 7 ordo dengan
16 Family (992 individu).
2. Keanekaragaman serangga pada hutan homogen (0,842) lebih tinggi
dibandingkan hutan heterogen. (0,224) Dari hasil uji statistik Hutchinson pada
kedua habitat terdapat perbedaan indeks keanekaragaman signifikan.
3. Indeks kesamaan Sorrensen pada hutan homogen dan hutan heterogen sebesar
58%.
34
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan di hutan hujan
tropis Ranu Pani dengan melihat faktor lingkungan yang menyusun suatu
ekosistem akan berpengaruh terhadap keanekaragaman serangga di suatu daerah.
Sehingga dapat dijadikan acuan dalam menganalisis faktor yang berpengaruh
terhadap keberadaan serangga suatu daerah.
2.2 Teori Keanekaragaman
2.2.1 Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman pada
kehidupan organisme, termasuk keanekaragaman dalam satu jenis dan atau antar
jenis dalam satu ekosistem. Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang
merujuk pada keanekaragaman dari semua jenis tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme, serta proses ekosistem dan ekologis dimana mereka menjadi
bagiannya (Mukhtasor, 2008).
Keanekaragaman genetik mencakup keseluruhan informasi genetik
sebagai pembawa berbagai sifat keturunan dari semua makhluk hidup yang ada
(Mukhtaor, 2008). Sedangkan, Keanekaragaman jenis atau jenis dapat digunakan
untuk menyatakan struktur komunitas. Ukuran keanekaragaman dan penyebabnya
nmencakup sebagian besar pemikiran tentang ekologi. Hal itu terutama karena
keanekaragaman dapat menghasilkan kestabilan dan dengan demikian
berhubungan dengan pemikiran sentral ekologi, yaitu tentang keseimbangan suatu
sistem (Price, 1997) dalam Suheriyanto (2008).
Komunitas di dalam lingkungan yang mantap seperti pada hutan tropis,
mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi daripada komunitas-
35
komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan-gangguan musiman atau secara
periodik. Keanekaragaman cenderung jadi tinggi didalam komunitas yang lebih
tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk (Odum,1996).
Definisi yang paling sederhana dari stabilitas adalah tidak adanya
perubahan. Sebagian besar ahli ekologi mendefinisikan stabilitas sebagai
persistensi komunitas dalam menghadapi gangguan. Stabilitas mungkin
merupakan hasil dari resistensi dan resiliensi. Resistensi (ketahanan) adalah
kemampuan dari komunitas untuk menjaga struktur dan/atau fungsi dalam
menghadapi potensi gangguan. Stabilitas mungkin juga merupakan hasil dari
kemampuan komunitas untuk kembali ke struktur semula setelah adanya
gangguan. Kemampuan untuk kembali lagi setelah gangguan disebut resiliensi
(kelentingan) (Molles (2005) dalam Suheriyanto (2008)).
2.2.2 Indeks Keanekaragaman
Nilai indeks keanekaragaman jenis tergantung dari kekayaan jenis dan
kemerataan jenis. Nilai minimum H’. Nilai minimum H’ adalah 0, yaitu nilai
indeks keanekaragaman untuk komunitas dengan satu jenis tunggal dan akan
meningkat sesuai peningkatan kekayaan jenis dan kemerataan jenis (Molles,
2005). Kemerataan jenis adalah komponen utama kedua dari keanekaragaman
jenis. Kemerataan jenis menurut Odum (1998) adalah pembagian individu yang
merata diantara jenis. Jadi, apabila satu jenis ditambahkan, maka
keanekaragamannya akan meningkat dan apabila jenis-jenis mempunyai distribusi
kepadatan yang sama maka keanekaragaman juga akan meningkat (Suheriyanto,
2008).
36
Keanekaragaman β atau keanekaragaman antar komunitas dapat dihitung
dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu kesamaan komunitas dan indeks
keanekaragaman (Smith, 1992 dalam Suheriyanto, 2008). Sedangkan Price (1997)
menyatakan bahwa keanekaragaman lebih mudah didefinisikan dengan
menggunakan suatu indeks keanekaragaman yang sudah umum digunakan yaitu
indeks keanekatagaman Shannon-Weaver (H’).
Dimana pi adalah proporsi jenis ke i didalam sampel total.
2.2.3 Indeks Nilai Penting
Indeks nilai penting (INP) adalah penjumlahan nilai relatif (RDi),
Frekuensi relatif (RFi), dan penutupan relatif (RCi) dari vegetasi (Bengen, 2000).
INP = RDi + RFi + RCi
Dengan INP : Indeks nilai penting
RDi : Kelimpahan relatif
RFi : Frekuensi relatif
RCi : Penutupan relatif
Indeks nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300, nilai penting ini
menggambarkan gambaran tentang pernanan suatu jenis vegetasi dalam
ekosistem dan dapat juga digunakan untuk mengetahui dominansi suatu jenis
dalam ekosistem (Romadhon, 2008).
37
2.3 Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan
jenis tumbuhan dan memiliki ekosistem paling kompleks di dunia (Whitmore,
1984 dalam Sidiyasa., et al, 2006). Selain itu, menurut Groobridge (1992) dalam
Suryana (2009) keanekaragaman hayati Indonesia merupakan terbesar kedua di
dunia (Efendi, 2013).
Hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi, dimana
antara fauna dan floranya saling berinteraksi satu dengan lain. Diantara hubungan
interaksi yang ada adalah hubungan saling menguntungkan diantara sesama.
Desmukh (1992) menjelaskan bahwa interaksi saling menguntungkan antar
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang sifatnya herbivor umumnya terjadi di hutan
hujan tropis. Tumbuhan merupakan sumber pakan bagi hewan dan sebaliknya
hewan sangat bermanfaat bagi tumbuhan. Diantaranya adalah hewan bermanfaat
dalam pemencaran biji (Setia, 2012).
2.3.1 Deskripsi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ditetapkan menjadi
kawasan taman nasional sejak Oktober 1982 berdasarkan Surat Pernyataan
Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982. Kawasan ini ditetapkan sebagai
taman nasional karena memiliki potensi kekayaan alam yang tidak saja besar
namun juga unik. Secara geografis, kawasan TNBTS terletak antara 7054’– 8013’
LS dan 112051’ – 113004’ BT (Hidayat, 2007). Berdasarkan SK Dirjen PHPA
No. 68/Kpts/DJ-VI/1998 tanggal 4 Mei 1998 menyatakan bahwa pembagian zona
di TNBTS meliputi Zona inti (22.006 ha), zona rimba (23.485,20 ha), zona
pemanfaatan intensif (425 ha), zona pemanfaatan tradisional (2.360 ha0, dan zona
38
rehabilitasi (2.000 ha). Namun, perubahan potensi pada lokasi zona tertentu
(pembagian zona yang ada sudah tidak sesuai dengan kondisi pengelolaan), maka
dilakukan review zonasi dengan hasil yaitu zona inti (17.713,68 ha), zona rimba
(26.544,06 ha), zona pemanfaatan intensif (687,68 ha), zona pemanfaatan
tradisional (5.196,62 ha), zona rehabilitasi 0 ha (diubah menjadi zona rimba),
zona religi seluas 99,81 ha, dan zona khusus seluas 34,35 ha (Profil BB-TNBTS,
2009). Ditinjau dari ekosistemnya, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
memiliki tiga tipe ekosistem, yaitu ekosistem submontana, montana dan sub-
alpine, dengan rentang ketinggian antara 750 – 3676 m diatas permukaan laut.
Rentang ketinggian yang begitu lebar ini memungkinkan kawasan konservasi
tersebut memiliki keragaman hayati yang cukup tinggi dengan karakter vegetasi
yang khas dataran tinggi basah seperti edelweiss (Anaphalis javanica), cemara
gunung (Casuarina junghuhniana.) dan adas (Foeniculum vulgare) (Hidayat,
2007).
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mempunyai tugas pokok dan
fungsi melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistem. Pelestarian sumber daya alam merupakan fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis flora dan fauna serta
pemanfaatan secara lestari ekosistem hutan tersebut, di antaranya juga sebagai
pengatur tata air, hidrologi, flora dan fauna serta penunjang budidaya (Anggraeni,
2010)
39
2.3.2 Kondisi Umum Ranu Pani
Ranu Pani merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Senduro
Kabupaten Lumajang dengan luas kecamatan mencapai 266.299 ha yang termasuk
ke dalam Seksi Pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(BBTNBTS). Desa Ranu Pani terletak pada ketinggian 2200 mdpl. Desa Ranu
Pani menjadi desa pada tanggal 19 Desember 2005 oleh pemerintah Kabupaten
Lumajang dan termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Senduro. Desa
Ranu Pani memiliki luas 35,79 km2 yang terbagi menjadi dua dukuh yaitu,
Mbedog Asu dan Besaran. Batas utara Ranu Pani adalah Resort Pengelolaan
Taman Nasional (RPTN) Tengger Laut Pasir, sebelah selatan berbatasan dengan
RPTN Darungan, sebelah selatan berbatasan dengan RPTN Patok Picis, RPTN
Kunci, RPTN Taman Satriyan dan sebelah timur berbatasan dengan RPTN Seroja,
RPTN Candipuro (BBTNBTS 2010) dalam (Pertiwi, 2009).
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim oleh Schmidt dan Ferguson (1951) dalam
(Pertiwi), kawasan Ranu Pani termasuk dalam iklim C. Suhu udara rata-rata
mencapai 100oC, curah hujan di Ranu Pani cukup tinggi yaitu, dengan nilai
Q=33,3-60%. Ranu Pani dapat dicapai melalui dua jalur yaitu dari arah Lumajang
melalui Senduro (±50 km) dan dari arah Tumpang - Malang (±53 km). Daerah
Ranu Pani memperolah air tanah dari air hujan yang merembes melalui sebaran
batu gunung, bergerak masuk ke dalam lapisan batuan di bawah batu lempung
yang kedap air. Untuk keperluan sehari-hari masyarakat Family Tengger Desa
Ranu Pani diperoleh dari bukit, yaitu dari sumber air Amprong dekat Gunung
Ayek-ayek yang berjarak kurang lebih 4-5 km dari Ranu Pani. Jenis tanah daerah
40
ini termasuk jenis regosol dan latosol dengan kelas tanah 5, artinya bahwa tanah
di daerah ini sangat peka terhadap erosi.
2.4 Tinjauan Sumber Belajar
2.4.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk membantu
siswa dalam memahami materi pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Abdullah (2012), sumber belajar adalah segala sesuatu atau daya yang dapat
dimanfaatkan oleh tenaga pengajar dan peserta didik, baik secara terpisah maupun
dalam bentuk gabungan untuk kepentingan kegiatan pembelajaran dengan tujuan
untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, mudah dan menyenangkan untuk
kelangsungan pembelajaran. Sumber belajar diklasifikasikan ada yang berbasis
manusia, sumber belajar berbasis cetakan, sumber belajar berbasis visual, sumber
belajar berbasis audio-visual, dan sumber belajar berbasis komputer.
2.4.2 Fungsi Sumber Belajar
Sumber belajar dapat difungsikan dan dimanfaatkan dalam pembelajaran.
Berikut fungsi dari sumber belajar menurut Morrison (2004),
1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran, melalui: percepatan laju belajar
dan membantu pengajar untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan
pengurangan beban guru/dosen dalam menyajikan informasi, sehingga dapat
lebih banyak membina dan mengembangkan gairah belajar murid/mahasiswa.
2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual,
melalui: pengurangan kontrol guru/dosen yang kaku dan tradisional serta
41
pemberian kesempatan kepada murid/mahasiswa untuk belajar sesuai dengan
kemampuannya.
3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pengajaran, melalui:
perencanaan program pembelajaran yang lebih sistematis dan pengembangan
bahan pembelajaran berbasis penelitian.
4. Lebih memantapkan pembelajaran, melalui: peningkatkan kemampuan
manusia dalam penggunaan berbagai media komunikasi serta penyajian data
dan informasi secara lebih konkrit.
5. Memungkinkan belajar secara seketika, melalui: pengurangan jurang pemisah
antara pelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya
konkrit dan memberikan pengetahuan yang bersifat langsung.
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, terutama dengan
adanya media massa, melalui: pemanfaatan secara bersama yang lebih oleh
luas tenaga tentang kejadiankejadian yang langka, dan penyajian informasi
yang mampu menembus batas geografis.
2.4.3 Kriteria Sumber Belajar
Sumber belajar yang digunakan untuk peserta didik harus sesuai dengan
materi dan tujuan pembelajaran. Terkait dengan pemilihan sumber belajar Dick
(2005) mengatakan bahwa kriteria pemilihan sumber belajar, yaitu: (1)
Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran, (2) Ketersediaan sumber setempat,
artinya bila sumber belajar yang bersangkutan tidak terdapat pada sumber-sumber
yang ada maka sebaiknya dibeli atau dirancang atau dibuat sendiri, (3) Apakah
tersedia dana, tenaga, dan fasilitas yang cukup untuk mengadakan sumber belajar
tersebut, (4) Faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan, dan ketahanan
42
sumber belajar yang bersangkutan untuk jangka waktu yang relatif lama, dan (5)
Efektifitas biaya dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain memperhatikan
kriteria dalam pemilihan sumber belajar terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan sumber belajar seperti yang ditetapkan Romiszowski
(1988) yaitu, (1) Metode pembelajaran yang digunakan, (2) Tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai, (3) Karakteristik pebelajar, (4) Aspek kepraktisan dalam hal
biaya dan waktu, dan (5) Faktor terkait dalam penggunaannya.
Pada dasarnya suatu informasi atau hasil penelitian dapat dijadikan sebagai
sumber belajar dan ilmu pengetahuan jika informasi tersebut memenuhi syarat
untuk dijadikan sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud
merupakan ilmu pengetahuan ilmiah yaitu ilmu yang merupakan hasil
pemahaman manusia dengan menggunakan metode ilmiah. Menurut Hidayat
(2013), syarat pengetahuan dapat dijadikan sebagai ilmu meliputi:
1. Rasional, ilmu pengetahuan didasarkan atas kegiatan berpikir secara logis
dengan menggunakan rasa (nalar) dan hasilnya dapat diterima oleh nalar
manusia.
2. Objektif, kebenaran yang dihasilkan suatu ilmu merupakan kebenaran
pengetahuan yang jujur, apa adanya sesuai dengan kenyataan objeknya.
Kebenaran itu dapat diselidiki dan dibenarkan oleh ahli lain dalam bidang
ilmu tersebut melalui pengujian secara terbuka yang dilakukan dari
pengamatan dan penalaran fenomena.
3. Akumulatif, ilmu dibentuk dengan dasar teori lama yang disempurnakan,
ditambah, dan diperbaiki sehingga semakin sempurna. Ilmu yang dikenal
sekarang merupakan kelanjutan dari ilmu yang dikembangkan sebelumnya.
43
Oleh karenanya, ilmu pengetahuan bersifat relatif dan temporal, tidak pernah
mutlak dan final. Dengan demikian, ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan
terbuka.
4. Empiris, kesimpulan yang diambil harus dapat dibuktikan melalui
pemeriksaan dan pembuktian pancaindra, serta dapat diuji kebenarannya
dengan fakta.
5. Andal dan dirancang, ilmu pengetahuan dapat diuji kembali secara terbuka
menurut persyaratan dengan hasil yang dapat diandalkan. Selain itu, ilmu
pengetahuan dikembangkan menurut suatu rancangan yang menerapkan
metode ilmiah.
2.4.4 Jenis Sumber Belajar
Jenis sumber belajar yang cenderung digunakan pada satuan pendidikan
menurut Stronge (2006) ada enam jenis yaitu, (1) Orang, bentuk sumber belajar:
tenaga pengajar mata pelajaran, teman sejawat, dan laboran, (2) Pesan bentuk
sumber belajar: Ide, fakta, makna yang terkait dengan isi bidang studi atau mata
kuliah, (3) Bahan bentuk sumber belajar: buku, hasil pekerjaan mahasiswa, papan,
peta, globe, film (non TV), gambar-gambar, diagram, majalah, jurnal, dan surat
surat kabar, (4) Latar bentuk sumber belajar: perpustakaan, laboratorium, dan
taman kampus, (5) Teknik bentuk sumber belajar: ceramah bervariasi, diskusi,
pembelajaran terprogram, pembelajaran individual, pembelajaran kelompok,
simulasi, permainan, studi eksplorasi, studi lapangan, tanya jawab, pemberian
tugas, dan (6) Alat bentuk sumber belajar: komputer, LCD, radio, tape recordo,
televisi, OHP dan kamera.
44
2.4.5 Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)
Lembar kerja peserta didik merupakan sarana pembelajaran yang dapat
digunakan guru dalam meningkatkan keterlibatan atau aktivitas peserta didik
dalam proses belajar-mengajar. Pada umumnya, lembar kerja peserta didik berisi
petunjuk praktikum, percobaan yang bisa dilakukan di rumah, materi untuk
diskusi, teka teki silang, tugas portofolio, dan soal-soal latihan, maupun segala
bentuk petunjuk yang mampu mengajak peserta didik beraktivitas dalam proses
pembelajaran (Kaligis dalam Ango, 2013).
Menurut Achmadi (1996), tujuan penggunaan Lembar Kerja Peserta Didik
(LKPD) dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut :
a. Memberi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang perlu dimiliki oleh
peserta didik.
b. Mengecek tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah
disajikan.
c. Mengembangkan dan menerapkan materi pelajaran yang sulit disampaikan
secara lisan.
d. Membantu peserta didik dalam memperoleh catatan materi yang dipelajari
melalui kegiatan pembelajaran.
Komponen-komponen penyusun Lembar Kerja Peserta Didik menurut
Rufaida (2009), terdiri atas :
a. Judul Lembar Kerja Peserta Didik.
b. Tujuan Pembelajara/kompetensi.
c. Ringkasan Materi.
45
d. Kegiatan Peserta Didik.
e. Alat penilaian.
Menurut Darmojo dan Kaligis (1994) dalam Ango (2013), lembar kerja
peserta didik yang baik haruslah memenuhi berbagai persyaratan misalnya syarat
didaktik, syarat konstruksi dan syarat teknis.
1. Syarat didaktik mengatur tentang penggunaan lembar kerja peserta didik yang
bersifat universal, dapat digunakan dengan baik untuk peserta didik yang
lamban atau yang pandai. Lembar kerja peserta didik lebih menekankan
konsep, dan yang terpenting dalam lembar kerja peserta didik ada variasi
stimulus melalui berbagi media dan kegiatan peserta didik . Lembar kerja
peserta didik diharapkan mengutamakan pada pengembangan kemampuan
komunikasi sosial, emosional, moral dan estetika. Pengalaman yang dialami
peserta didik ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi peserta didik .
Sebagai salah satu bentuk sarana berlangsungnya proses belajar-mengajar
haruslah memenuhi persyaratan didaktik, artinya suatu lembar kerja peserta
didik harus mengikuti asas belajar-mengajar yang efektif, yaitu:
a. Memperhatikan adanya perbedaan individual, sehingga lembar kerja
peserta didik yang baik itu adalah yang dapat digunakan baik oleh peserta
didik yang lamban, yang sedang maupun yang pandai.
b. Pada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga lembar kerja
peserta didik dapat berfungsi sebagai petunjuk jalan bagi peserta didik
untuk mencari tahu.
46
c. Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan peserta
didik .
d. Dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral,
dan estetika pada diri peserta didik .
e. Pengalaman belajarnya ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi
peserta didik (intelektual,emosional dan sebagainya), bukan ditentukan
oleh materi bahan pelajaran.
2. Syarat konstruksi adalah syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan
bahasa, susunan kalimat, kosa kata, tingkat kesukaran, dan kejelasan yang
pada hakikatnya haruslah tepat guna dalam arti dapat dimengerti oleh peserta
didik.
a. Menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan peserta
didik.
b. Menggunakan struktur kalimat yang jelas.
c. Memiliki taat urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan
peserta didik.
d. Menghindari pertanyaan yang terlalu terbuka.
e. Tidak mengacu pada buku sumber yang diluar kemampuan keterbacaan
peserta didik.
f. Menyediakan ruangan yang cukup untuk memberi keleluasaan pada
peserta didik untuk menulis maupun menggambarkan pada lembar kerja
peserta didik.
g. Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek.
47
h. Lebih banyak menggunakan ilustrasi daripada katakata, sehingga akan
mempermudah peserta didik dalam menangkap apa yang diisyaratkan
lembar kerja peserta didik.
i. Memiliki tujuan belajar yang jelas serta manfaat dari pelajaran itu sebagai
sumber motivasi.
j. Mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya.
3. Syarat teknis dalam penyusunan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) terdiri
atas :
a. Tulisan (a) Menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf latin
atau romawi. (b) Menggunakan huruf tebal yang agak besar, bukan huruf
biasa yang diberi garis bawah (c) Menggunakan tidak lebih dari 10 kata
dalam satu baris. (d) Menggunakan bingkai untuk membedakan kalimat
perintah dengan jawaban peserta didik (e) Mengusahakan agar
perbandingan besarnya huruf dengan besarnya gambar serasi.
b. Gambar yang baik untuk lembar kerja peserta didik adalah yang dapat
menyampaikan pesan/isi dari gambar tersebut secara efektif kepada
penguna lembar kerja peserta didik. Yang lebih penting adalah kejelasan
isi atau pesan dari gambar itu secara keseluruhan.
c. Penampilan adalah hal yang sangat penting dalam sebuah lembar kerja
peserta 29 didik. Apabila suatu lembar kerja peserta didik ditampilkan
dengan penuh kata-kata, kemudian ada sederetan pertanyaan yang harus
dijawab oleh peserta didik, hal ini akan menimbulkan kesan jenuh
sehingga membosankan atau tidak menarik. Apabila ditampilkan dengan
gambarnya saja, itu tidak mungkin karena pesannya atau isinya tidak akan
48
sampai. Jadi yang baik adalah lembar kerja peserta didik yang memiliki
kombinasi antara gambar dan tulisan.
2.4.6 Strategi Penggunaan Sumber Belajar
Sumber belajar yang akan digunakan oleh peserta didik, dalam penerapannya
harus memperhatikan strategi. Sulistyowati (2012) menjelaskan bahwa dalam
menggunakan sumber belajar guru harus mampu mengidentifikasikan berbagai
karakteristik sumber belajar yang digunakan. Adapun yang harus dilakukan guru
adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi karakteristik sumber belajar yang akan digunakan, seperti
apakah sumber belajar yang digunakan sesuai dengan karakteristik materi
pelajaran yang diberikan, hal ini mengandung perngertian bahwa sumber
belajar tersebut dapat menunjang kelancaran proses pembelajaran.
2. Sumber belajar yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai pada setiap aspek pembelajaran.
3. Penggunaan sumber belajar harus sesuai dengan kemampuan guru.
4. Sumber belajar yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
Materi keanekaragaman hayati pada tingkat SMA meliputi keanekaragaman
gen, keanekaragaman jenis, keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman hayati
Indonesia dan manfaat keanekaragaman hayati. Berdasarkan cakupan materi
tersebut, siswa dituntut untuk mampu memahami konsep daripada hanya sekadar
menghafal. Upaya untuk mengurangi kesalahan konsep dalam pemahaman materi
keanekaragaman hayati adalah dengan memberikan sumber belajar. Oleh karena
itu, sumber belajar yang diberikan harus dapat membantu siswa dalam memahami
49
konsep materi yang disampaikan oleh guru. Selain itu, juga mendukung
terbentuknya proses belajar yang menyenangkan dengan menciptakan suatu
respons positif siswa (Maxtuti., et al, 2013).
Menurut Lampiran II 10b. Silabus Biologi Mata Pelajaran Peminatan SMA,
Permendikbud No. 59 tentang Kurikulum 2013 SMA materi keanekaragaman
hayati sebagai berikut :
No. Kompetensi Dasar
4.2 Menyajikan hasil identifikasi usulan upaya pelestarian keanekaragaman
hayati Indonesia berdasarkan hasil analisis data ancaman kelestarian
berbagai keanekaragaman hewan dan tumbuhan khas Indonesia yang
dikomunikasikan dalam berbagai bentuk media informasi.
Berdasarkan Kompetensi dasar tersebut, sumber belajar yang disediakan untuk
siswa harus sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai sehingga sumber
belajar harus memuat materi yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku.