6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Peperek
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai
berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Subordo : Percoidea
Divisi : Perciformes
Famili : Leiognathidae
Nama Indonesia : Peperek, pepetek, atau petek
Menurut Peristiwady (2006) ikan dari famili Leiognathidae memiliki ciri-
ciri badan agak pipih sampai sangat pipih, pada kepala bagian atas tengkuk kepala
berduri. Ikan ini memiliki sirip punggung dengan 8 jari-jari keras (jarang 7 atau 9)
dan 16-17 jari-jari lemah, sirip dubur dengan 3 jari-jari keras dan 14 jari-jari
lemah. Jari-jari keras ke-2 selalu paling panjang. Badan tertutup sisik dan
lingkaran kecil yang halus.
Ikan peperek umumnya digolongkan ke dalam tiga genus, yakni Gazza,
Leiognathus, dan Secutor. Genus Gazza memiliki ciri-ciri mulut yang dapat
disembulkan ke arah depan dan memiliki gigi-gigi seperti taring. Genus
Leiognathus memiliki mulut datar dan dapat disembulkan ke arah depan atau ke
bawah. Pada mulut tidak terdapat gigi seperti taring. Sementara pada genus
Secutor mulut miring, mulut dapat disembulkan ke arah atas. Pada mulut tidak
terdapat gigi seperti taring (Peristiwady 2006).
Lamatta (2012) menyatakan bahwa ada dua jenis ikan petek yang
didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yakni petek
7
regang atau torongtong (Eubleekeria rapsoni) (Gambar 1) dan petek calingcing
(Leiognathus leuciscus) (Gambar 2). Menurut www.marinespecies.org spesies
Eubleekeria rapsoni memiliki nama lain Leiognathus rapsoni dan spesies
Leiognathus leuciscus memiliki nama lain Equulites leuciscus, sehingga kedua-
duanya bisa dianggap dari genus Leiognathus. Adapun nama resmi yang diterima
untuk kedua spesies tersebut berturut-turut adalah Eubleekeria rapsoni dan
Equulites leuciscus.
Gambar 1. Bentuk morfologi petek regang (Eubleekeria rapsoni)
Gambar 2. Bentuk morfologi petek calingcing (Equulites leuciscus)
2.1.2 Habitat dan Penyebaran
Ikan dari famili Leiognathidae terutama hidup di laut tetapi beberapa
spesies hidup di air tawar. Ikan ini biasa hidup di perairan pesisir dangkal dan
teluk pasang surut. Ikan ini memakan invertebrata bentik (www.fishbase.org).
Menurut Lamatta (2012) habitat petek regang adalah pada perairan pantai dengan
kedalaman berkisar 3-10 meter dengan bergerombol membentuk kawanan.
Sementara itu, petek calingcing mendiami perairan dangkal sampai kedalaman
sekitar 40 meter terutama di bagian dasar.
8
Menurut Pauly (1977) spesies dari famili Leiognathidae tersebar di
wilayah Indo-Pasifik, mulai dari Afrika di sebelah barat hingga Tahiti di sebelah
timur, dan Australia di sebelah selatan hingga Jepang dan Laut Merah di sebelah
utara.
Di Indonesia ikan petek tersebar hampir di semua wilayah perairan
Indonesia meliputi Nias, Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi,
Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum
dapat dikatakan bahwa distribusi ikan peperek di Indonesia tersebar di pesisir
Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor, serta perairan India berada pada
kedalaman kurang lebih antara 20-40 m dan hidup berkelompok pada kedalaman
40-60 m (Pauly 1977). Peta sebaran ikan peperek dapat dilihat pada Gambar 2
(yang diberi warna merah menunjukkan daerah penyebaran ikan peperek).
Gambar 3. Daerah penyebaran ikan peperek
(Sumber: www.fishbase.org)
2.2 Alat Tangkap
Berdasarkan laporan tahunan statistik perikanan tangkap PPN
Palabuhanratu tahun 2002-2012 dan DKP Kabupaten Sukabumi 2013, ikan
peperek di perairan Teluk Palabuhanratu ditangkap menggunakan payang dan
bagan apung (Gambar 4 dan Gambar 5). Namun kadang-kadang ikan ini juga
ditangkap dengan purse seine.
9
Gambar 4. Alat tangkap payang
(Sumber: auxis.tripod.com)
Gambar 5. Alat tangkap bagan apung
2.3 Pengkajian Stok
Maksud dari pengkajian stok ikan adalah memberikan saran tentang
pemanfaatan yang optimum sumber daya hayati perairan seperti ikan dan udang.
Sumber daya hayati bersifat terbatas tapi dapat memperbaharui dirinya, dan
pengkajian stok ikan dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan
yang dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan
dalam bentuk bobot (Sparre & Venema 1999).
Widodo et al. (1998) dalam Sulistiyawati (2011) menyatakan baik jumlah
maupun berat (biomassa) suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung.
Oleh sebab itu, dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah
atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance).
Densitas atau kelimpahan, umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu
10
per satuan area atau per satuan upaya penangkapan. Satuan yang sering
digunakan ialah hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit of
effort/CPUE) dari suatu alat tangkap atau alat sampling tertentu.
Pengkajian stok perikanan dapat dilakukan dengan beberapa metode
(Widodo 2002):
1. Metode langsung
a. Model dinamika biomassa (Model Schaefer dan berbagai derivatnya)
atau disebut juga model surplus produksi
b. Model dinamika kolam (dynamic pool model), atau disebut juga model
analitik atau model yield-per-recruit atau Model Beverton dan Holt
c. VPA (Virtual Population Analysis), yang didasarkan pada struktur
panjang (yang diperoleh dari sampling) dan dikombinasikan dengan hasil
tangkapan total sehingga dapat diketahui total yield dan biomassa
d. Model Thomson & Bell (termasuk analisis ekonomi), yang dapat
digunakan untuk memprediksi nilai biomassa, nilai yield, dan nilai
ekonomi total termasuk nilai MEY pada kisaran tingkat eksploitasi
tertentu dari berbagai jenis alat tangkap
e. Swept area method, untuk menduga kepadatan stok ikan-ikan demersal
yang selanjutnya dapat digunakan untuk menduga biomassa total
f. Survei hidroakustik perikanan yang disertai percobaan penangkapan,
yang dapat digunakan untuk menduga biomassa total
g. Survei telur dan larva (survei ikhtioplankton), untuk menduga
kelimpahan telur dan larva pada daerah dan waktu tertentu yang dapat
digunakan untuk menduga biomassa total
h. Transek visual, untuk mengestimasi densitas jenis ikan yang relatif kecil
pergerakannya dan tergantung pada habitat tertentu sehingga dapat
digunakan untuk menduga biomassa total
11
2. Metode tidak langsung
a. Pendekatan ekologi, yakni pengkajian sumberdaya yang secara eksplisit
memperhitungkan interaksi ekologi, terutama antar tingkatan trofik
(trophic level) yang biasanya tidak tergambarkan pada pendekatan model
spesies tunggal (single species)
b. Komparasi data dan informasi perikanan dengan daerah lain yang telah
diketahui
Pengkajian stok ikan memiliki peranan sebagai ”fine tunning” sistem
penangkapan guna hasil tangkapan yang lebih besar. Selanjutnya dapat
berperan untuk menyusun perencanaan guna rehabilitasi ketika terjadi laju
tangkap lebih dan mengembangkan strategi pengelolaan selama berlangsung
transisi teknologi ke arah penggunaan berbagai metode penangkapan yang lebih
efisien (Widodo 2002).
2.4 Model Produksi Surplus
Surplus Production Model (dalam Bahasa Indonesia disebut Model
Produksi Surplus) adalah model paling sederhana dalam dinamika populasi ikan
yang memperlakukan populasi ikan sebagai sebuah biomassa tunggal tak terbagi
yang mengikuti aturan-aturan peningkatan dan penurunan (Widodo 1986a). Model
ini didasarkan pada asumsi bahwa laju pertumbuhan suatu stok terkait dengan
biomassa. Pertumbuhan biomassa adalah nol ketika biomassa mencapai carrying
capacity lingkungan dan produksi surplus maksimum pada nilai biomassa yang
lebih rendah. Jika penangkapan dari stok kurang dari produksi surplus, biomassa
stok akan meningkat, tapi jika penangkapan lebih besar daripada produksi surplus,
biomassa akan menurun (King 1997).
Model Produksi Surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya
optimum (effort optimum), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu
tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara
jangka panjang, yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari.
Model Produksi Surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik
12
tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies), hasil tangkapan per unit upaya
per spesies atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam
beberapa tahun (Sparre & Venema 1999).
Model Produksi Surplus relatif sederhana dan hanya membutuhkan data
hasil tangkapan dan upaya penangkapan time series yang relatif lebih mungkin
tersedia di kebanyakan pusat penangkapan ikan (Tinungki et al. 2004). Model
Produksi Surplus tidak memperhitungkan kelas umur. Dalam beberapa literatur
model ini disebut juga Model Produksi, Model Produksi Stok, Model Yield
Surplus, atau Model Dinamika Biomassa (Jennings 2005).
Menurut Sparre & Venema (1999), persyaratan untuk analisis Model
Produksi Surplus adalah sebagai berikut:
1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya
tangkap relatif;
2) Distribusi ikan menyebar merata;
3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan
tangkap yang seragam.
Asumsi yang digunakan dalam Model Produksi Surplus adalah sebagai
berikut (Sriati 2012):
Hasil tangkap per unit upaya (CPUE) menurun dengan meningkatnya
upaya penangkapan;
Penangkapan dilakukan secara rasional (yang ditangkap adalah
kelebihannya saja), karenanya disebut Model Produksi Surplus.
Pada awalnya istilah “Model Produksi Surplus” merujuk hanya pada
Model Schaefer karena Model Schaefer adalah Model Produksi Surplus paling
awal. Model Produksi Surplus ini didasarkan pada pertumbuhan biomassa ikan
yang bersifat logistik yakni:
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K
dan pada konsep bahwa laju penangkapan bergantung pada koefisien
ketertangkapan alat (q), upaya penangkapan (f), dan besarnya biomassa (B).
(1)
13
Yt = qftBt
Dalam stok yang dieksploitasi pertumbuhan biomassa ikan menjadi:
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K − Yt
Dalam perkembangan selanjutnya muncul Model Produksi Surplus lain
dimana sebagian tidak didasarkan pada asumsi pertumbuhan biomassa logistik.
Model Fox menggunakan asumsi pertumbuhan Model Gompertz dan Model Pella
dan Tomlinson menggunakan asumsi pertumbuhan bentuk umum.
2.4.1 Model Schaefer
Model paling sederhana dalam populasi perikanan adalah Model Produksi
Surplus, Model Schaefer, atau Model Produksi Logistik. Sebenarnya Model
Schaefer diawali dari pekerjaan Graham (1935), sehingga beberapa pengarang
menamai model ini Model Graham-Schaefer (Widodo 1986b).
Menurut Tinungki (2005) Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai
berkut: “Dimisalkan Bt menyatakan biomassa dari stok (ukuran berat dari populasi
ikan dalam ton), r menyatakan laju pertumbuhan intrinsik dari populasi, dan K
adalah daya dukung lingkungan atau keseimbangan (equilibrium) alamiah dari
ukuran stok atau populasi. Ini didefinisikan sebagai tingkat stok maksimum dari
perairan dan lingkungan yang dapat didukung”.
Asumsi-asumsi yang digunakan pada Model Schaefer adalah sebagai
berikut (Tinungki 2005):
1. Terdapat batas tertinggi dari biomassa, K
2. Laju petumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linier dari biomassa
3. Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition)
4. Kematian akibat penangkapan sebanding dengan upaya (ft) dan koefisien
penangkapan (q)
5. Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum
(2)
(3)
14
Menurut Boer dan Aziz (1995) dalam Sulistiyawati (2011) Model
Schaefer memiliki bentuk awal yang sama dengan model pertumbuhan logistik,
dimana setelah memperhitungkan penangkapan menjadi seperti Persamaan (3):
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K − Yt
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K − qftBt
Dalam kesetimbangan dBt
dt= 0 sehingga:
Yt = rBt 1 −Bt
K = qftBt
Menurut Tinungki (2005) masalah yng dihadapi oleh pengelola perikanan
adalah adanya variabel biomassa (Bt) yang tidak teramati, dimana hanya ada
produksi (Yt) dan jumlah input (ft) yang digunakan seperti jumlah kapal, jumlah
trip atau hari melaut, dll. Sehingga persamaan (5) dapat dipecahkan menjadi:
Bt = K 1 −q
rft
Dengan mensubstitusi persamaan (6) ke dalam persamaan (2) diperoleh:
Yt = qftK 1 −q
rft
Persamaan (7) berbentuk kuadratik yang disebut sebagai Yield Effort Curve.
Menurut Pasisingi (2011) persamaan (7) dapat diturunkan untuk
menyatakan hubungan antara tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan upaya
penangkapan (f).
Yt
ft= qK 1 −
q
rft
Yt
ft= qK −
q2K
rft
Persamaan (9) dapat disederhanakan kembali menjadi:
Yt
ft= a − bft
yang berbentuk linier dengan a = qK dan b =q2K
r.
Hubungan antara upaya penangkapan (ft) dan hasil tangkapan (Yt) menjadi:
Yt = aft − bft2
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
15
Hasil tangkapan (Y) akan maksimum apabila dY t
dft= 0 sehingga diperoleh
dugaan upaya penangkapan optimum (fopt) dan hasil tangkapan maksimum lestari
(MSY) masing-masing (Pasisingi 2011):
fopt =a
2b
MSY =a2
4b
Nilai a dan b dapat diperoleh dengan menggunakan regresi metode kuadrat
terkecil pada data runtun waktu (time series) CPUE (Y/f) dan upaya penangkapan
(f) (Tinungki 2005).
Menurut Tinungki (2005) kelemahan dari Model Schaefer adalah
mengandung dua parameter sehingga tidak dapat menduga tiga parameter biologi
lain yang menyebabkan munculnya beberapa model-model produksi surplus lain
yang dapat menduga ketiga parameter tersebut.
2.4.2 Model Gulland
Gulland (1961) memberikan suatu metode untuk meneliti hubungan antara
kondisi-kondisi stok pada saat ini dan peristiwa-peristiwa masa lalu (Tinungki
2005 dan Sulistiyawati 2011). Menurut Widodo (1987) metode Gulland
mengasumsikan bahwa ada hubungan antara kelimpahan dan upaya penangkapan
masa lalu, jika rekruitmen dan mortalitas alami tetap. Dalam rekruitmen yang
steady state penangkapan pada satu tahun bisa mempengaruhi stok hanya
sepanjang ikan-ikan yang terekspos pada penangkapan pada tahun tersebut tersisa
dalam populasi yang dieksploitasi. Periode ini yakni rentang hidup potensial
dalam perikanan memberikan batas atas yang perlu dipertimbangkan. Umumnya,
ikan dalam populasi yang dieksploitasi akan hidup dalam periode yang jauh lebih
pendek daripada rentang hidup potensialnya. Gulland (1983) menyarankan bahwa
rentang hidup rata-rata setengah hingga sepertiga dari rentang hidup potensialnya
adalah perkiraan yang masuk akal dan rata-rata upaya penangkapan masa lalu
menentukan selama periode tersebut. Hubungan yang diturunkan di antara CPUE
dan rata-rata bergerak upaya penangkapan (𝐟𝐭 ) kadang-kadang lurus, kadang-
(12)
(13)
16
kadang melengkung. Apapun hubungannya, dalam perikanan yang steady state,
garisnya akan sangat dekat pada hubungan antara CPUE sebagai indeks
kelimpahan relatif dan upaya penangkapan.
Model Gulland dikembangkan berdasarkan asumsi yang sama dengan
Model Schaefer. Model Gulland memiliki bentuk awal model pertumbuhan
logistik seperti halnya Model Schaefer, sebagaimana Persamaan (1) dan (3)
(Sulistiyawati 2011):
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K − Yt
Namun pada model ini terdapat tambahan asumsi bahwa upaya penangkapan
masa lalu mempengaruhi kelimpahan stok saat ini sehingga dalam regresinya
upaya penangkapan diganti dengan rata-rata upaya penangkapan saat ini dan
tahun-tahun sebelumnya.
Hubungan linear metode Gulland dapat dinyatakan sebagai berikut
(Widodo 1987):
Ut = a − bft
Dimana ft adalah upaya penangkapan rata-rata selama i tahun sebelum dan
meliputi tahun t; i adalah rentang hidup rata-rata individu ikan dalam stok yang
dieksploitasi; a adalah estimasi qK; dan b adalah estimasi q2K
r.
Upaya penangkapan optimum (fopt) dan hasil tangkapan maksimum lestari
(MSY) dapat diestimasi dengan persamaan sebagai berikut (Widodo 1987):
fopt =a
2b
MSY =a2
4b
2.4.3 Model Pella dan Tomlimson
Model Pella dan Tomlimson (1969) dapat digunakan secara luas dan
praktis dan dapat saja ditambahkan program-program komputer dalam menduga
(14)
(15)
(16)
17
parameter-parameternya, karena terdapat empat parameter yang harus diduga (r,
K, q, dan m) dan berbagai pengulangan pun diperlukan (Tinungki 2005).
Model Pella dan Tomlimson dapat dituliskan sebagai berikut (Tinungki
2005):
dB
dt= rBt −
r
Km−1Bt
m − Yt
dimana m>1 adalah ukuran parameter tambahan. Jika m = 2 maka model ini sama
dengan Model Schaefer. Introduksi parameter m tidak hanya mengubah
kecekungan dari fungsi produksi tetapi juga hubungan produksi tiap kemiringan
sebelah kanan (bila m>2) atau kiri (bila m<2). Hal inilah yang membedakan
dengan Model Schaefer dimana kurva produksi surplusnya simetris sempurna
dalam hubungannya dengan ukuran stok, dari 0 sampai K.
Bentuk asli Model Pella dan Tomlimson (1969) dinyatakan sebagai berikut
(Widodo 1986c):
C = −KP −K
HPm
dimana C = Yt, P = Bt, H = Km-1
, K = -r
Pada kondisi equilibrium persamaan Pella dan Tomlimson dapat
ditulis sebagai berikut (Tinungki 2005):
Yt
ft= qK −
qm K
rm−1ft
m−1
Untuk m = 2 merupakan Model Schaefer (Persamaan (9))
Untuk m = 3
Yt
ft= qK −
q3K
r2ft
2
Untuk m = 4
Yt
ft= qK −
q4K
r3ft
3
dan seterusnya untuk berbagai nilai m.
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
18
2.4.4 Model Fox
Menurut Widodo (1986c) Model Fox (1970) menggunakan fungsi
pertumbuhan Gompertz untuk menganalisis Model Produksi Surplus, yang
berakibat hubungan eksponensial antara upaya penangkapan dan ukuran populasi,
dan kurva produksi yang asimetris. Penurunan CPUE terhadap upaya
penangkapan yang mengikuti pola eksponensial negatif lebih masuk akal
dibandingkan dengan pola regresi linier (Widodo 1986c dan Tinungki 2005).
Menurut Tinungki (2005) fungsi pertumbuhan Gompertz adalah:
dBt
dt= rBtln
K
Bt
dan setelah memperhitungkan penangkapan maka menjadi:
dBt
dt= rBtln
K
Bt − Yt
Model Fox dalam bentuk hubungan antara hasil tangkapan dan upaya
penangkapan diperoleh dengan mengubah Persamaan (23) dengan asumsi dB
dt= 0
sehingga menjadi:
Yt = fteln (qK )−q
rft
atau secara sederhana ditulis:
Yt = ftea−bft
Model eksponensial Fox berasumsi bahwa populasi tidak akan punah dan
populasi sebagai jumlah dari individu ikan (FAO 1984 dalam Tinungki 2005).
Menurut Tinungki (2005) model ini menghasilkan garis lengkung bila Yt
ft secara
langsung diplotkan terhadap upaya (ft), akan tetapi bila Yt
ft diplotkan dalam bentuk
logaritma terhadap upaya maka akan menghasilkan garis lurus.
lnYt
ft= a − bft
Model Schaefer dan Model Fox mengikuti asumsi bahwa Yt
ft menurun
dengan meningkatnya upaya, namun perbedaannya model Schaefer menyatakan
satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai Yt
ft sama dengan nol, yaitu bila ft =
a
b,
(26)
(22)
(23)
(24)
(25)
19
sedangkan pada model Fox, Yt
ft selalu lebih besar daripada nol untuk seluruh nilai
ft.
Menurut Fox (1970) dalam FAO (1984) dalam Tinungki (2005) hubungan
antara hasil tangkapan (Yt) dan upaya penangkapan (ft) adalah berbentuk
eksponensial dengan kurva hasil yang tidak simetris (Persamaan (25)).
Hasil tangkapan (Yt) akan mencapai maksimum apabila dY t
dft= 0 sehingga
diperoleh dugaan fopt dan MSY masing-masing:
fopt =1
b
MSY =1
bea−1
Besarnya parameter a dan b secara matematis dapat dicari dengan
mempergunakan persamaan regresi. Rumus-rumus untuk Model Produksi Surplus
ini hanya berlaku bila parameter slope bertanda negatif, artinya penambahan
jumlah upaya akan menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan
diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maksimum
maupun besarnya upaya optimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa
penambahan jumlah upaya penangkapan masih menambah hasil tangkapan
(Tinungki 2005).
2.4.5 Model Walters dan Hilborn
Model Walters dan Hilborn (1976) dikembangkan berdasarkan asumsi
pertumbuhan logistik yang sama dengan Model Schaefer (Persamaan (1) dan (3)):
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K
dBt
dt= rBt 1 −
Bt
K − Yt
Namun ada perbedaan antara Model Walters dan Hilborn dengan Model
Schaefer. Perbedaannya adalah bahwa Model Walters dan Hilborn dapat
memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q,
(27)
(28)
20
dan K dari tiga koefisien regresi (Walters dan Hilborn 1992 dalam Tinungki
2005).
Berikut adalah persamaan Walters dan Hilborn (Tinungki 2005):
Bt+1 = Bt + rBt 1 −Bt
K − Yt
dimana:
Yt = qftBt , dan jika Bt =U t
q
maka:
Ut =Yt
ft yang menyatakan CPUE.
Persamaan (29) dapat diformulasikan kembali sebagai berikut (Tinungki
2005):
Ut+1
q=
Ut
q+
rUt
q 1 −
Ut
Kq − Utft
yang disederhanakan menjadi:
Ut+1
Ut− 1 = r −
r
KqUt − qft
Persamaan diatas adalah suatu regresi linier dalam variabel dependen yang
merupakan laju perubahan biomassa dan variabel independen merupakan Ut dan
upaya penangkapan (Hilborn dan Walters 1992 dalam Tinungki 2005).
Secara umum persamaan regresi di atas dapat dituliskan sebagai berikut
(Tinungki 2005):
Yt = α + β1X1t + β2X2t +∊t
dimana Yt =U t+1
U t− 1, X1t = Ut , X2t = ft , α = r, β1 = −
r
qK, β2 = −q, dan ∊t
adalah error dari persamaan regresi.
2.4.6 Model Schnute
Menurut Widodo (1987) pandangan paling sederhana dari Model Produksi
Surplus adalah bahwa hasil tangkapan merupakan fungsi upaya penangkapan dari
tahun yang sama tanpa memiliki hubungan dengan upaya penangkapan masa lalu.
(29)
(30)
(31)
(32)
21
Namun, kenyataannya bisa saja penangkapan besar-besaran tahun sebelumnya
memiliki dampak pada hasil tangkapan pada tahun ini.
Kemungkinan inilah yang menjadi dasar bagi Model Schnute. Menurut
Roff (1983) dalam Tinungki (2005) metode Schnute adalah modifikasi Model
Schaefer dalam bentuk diskrit. Dasar dari Model Schnute adalah transformasi
Persamaan (3):
dB
dt= rBt 1 −
Bt
K − Yt
dB
dt= rBt 1 −
Bt
K − qftBt
sehingga diperoleh:
dB
B= r −
rBt
K− qft dt
Jika persamaan (33) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan
diperoleh:
ln(Bt+1) − ln Bt = r −r
KB t − qf
dimana: B t = Btt+1
tdt dan f = f
t+1
tdt
Persamaan (34) selanjutnya disederhanakan, dimana U t dan f t adalah rata-rata
CPUE dan rata-rata upaya penangkapan pertahun. Ini memberikan persamaan:
ln Ut+1
Ut = r −
r
qKU − qf
Jika rata-rata CPUEt tiap tahun mendekati rata-rata geometrik dari nilai
yang dimulai dan akhir tahun yaitu U t = UtUt+1, maka penjumlahan pada
persamaan (35) untuk tahun ke-t+1 dibagi 2, sehingga persamaan (35)
dimodifikasi menjadi:
ln Ut+1
Ut = r −
r
qK
Ut + Ut+1
2 − q
ft + ft+1
2
Persamaan ini disederhanakan menjadi bentuk linier berganda sebagai
berikut (Schnute 1977 dalam Masters 2007 dalam Pasisingi 2011):
Yt = α + β1X1t + β2X2t+∊
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
22
dimana Yt = ln U t+1
U t , X1t =
U t +Ut+1
2, X2t =
ft +ft+1
2 dan α = r, β1 = −
r
qK, dan
β2 = −q.
Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter biologi dengan
menggunakan metode kuadrat terkecil (Tinungki 2005).
Keuntungan dari Model Schnute, disamping secara teori lebih masuk akal,
model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan
adalah bahwa untuk data hasil tangkapan dan upaya yang nilainya dimulai dari
suatu periode (tahun) dapat digunakan untuk memprediksi hasil tangkapan dan
upaya tahun yang akan datang dari data yang lalu (Tinungki 2005).
2.4.7 Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP)
Dalam mengestimasi parameter biologi dari Model Produksi Surplus bisa
melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto, dan
Pooley (1992) atau lebih dikenal dengan Model CYP. Parameter-parameter yang
diestimasi meliputi r (laju pertumbuhan alami/intrinsik), q (koefisien kemampuan
penangkapan) dan K (daya dukung lingkungan) (Tinungki 2005).
Menurut Breen dan Stocker (1993) Model CYP merupakan Model Fox
dinamis yang didasarkan pada pertumbuhan Gompertz (Persamaan 22).
dBt
dt= rBtln
K
Bt
Persamaan Model CYP adalah sebagai berikut (Breen dan Stocker 1993):
ln Ut+1 = 2r
2 + r ln qK +
2 − r
2 + r ln Ut −
q
2 + r (ft + ft+1)
Persamaan ini biasa disederhanakan menjadi:
Y = 𝛼 + β1X1t − β2X2t
dimana:
𝛼 = α ln qK , α =2r
2+r, β1 =
2−r
2+r, β2 =
q
2+r, Y = ln Ut+1 , X1t = ln Ut , dan
X2t = (ft + ft+1).
Dengan regresi linear berganda diperoleh nilai r, q, dan K. Untuk
keperluan ini digunakan algoritma (Fauzi 2002 dalam Tinungki et al. 2004).
(39)
(38)