Download - BAB II Tinjauan Pustaka
5
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kriteria Rumah Tanaman Tropika Basah
Konsep rumah tanaman dengan umbrella effect diusulkan Rault (1988)
untuk daerah tropika basah seperti Indonesia. Oleh karena itu, rumah tanaman
pada daerah tropis basah lebih ditujukan untuk melindungi tanaman dari hujan,
angin dan hama, mengurangi intensitas radiasi matahari yang berlebihan,
mengurangi penguapan air dari daun dan media, serta memudahkan perawatan
tanaman (Suhardiyanto 2009).
Menurut von Zabeltitz (1999) rumah tanaman di daerah tropika basah dapat
memiliki luas bukaan ventilasi dinding sebesar mungkin, tetapi bukaan pada
bubungan rumah tanaman perlu dibatasi. Rault (1988) menyatakan rumah
tanaman di daerah tropika perlu memperhatikan kriteria berikut: (1) Bukaan
rumah tanaman harus merupakan kombinasi yang baik antara bukaan untuk
ventilasi dan proteksi terhadap air hujan; (2) Kerangka konstruksi harus cukup
kuat sebagai antisipasi terhadap kemungkinan angin kencang; (3) Biaya
pembangunan harus cukup murah dan tata letaknya mempertimbangkan
kemungkinan perluasan area rumah tanaman.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perancangan rumah tanaman adalah
kemiringan atap (Suhardiyanto 2009) dan tinggi dinding (Bot 1983). Hal ini
merupakan faktor penting yang menentukan kondisi termal di dalam rumah
tanaman. Rekomendasi lain dinyatakan oleh Kumar et al.(2009), bahwa luasan
ventilasi alami yang optimum pada rumah tanaman di daerah tropis yang berkasa
20-40 mesh adalah sebesar 15-30% dari luasan dinding kasanya.
2.2 Modifikasi Rumah Tanaman Tipe Standard Peak
Rumah tanaman bentuk modified standard peak merupakan modifikasi dari
span roof, dimana bentuk gable tidak lagi segitiga, melainkan dimodifikasi
menjadi atap bersusun dua bagian dengan bukaan ventilasi diantara dua bubungan
atap tersebut dan tertutupi screen (Suhardiyanto 2009). Bentuk atap dengan
bukaan ventilasi seperti ini memungkinkan terjadinya ventilasi alamiah walaupun
tidak ada angin yang bertiup. Aliran udara yang keluar melalui bukaan ventilasi
dibagian bubungan terjadi akibat adanya perbedaan kerapatan udara. Agar
6
perbedaan kerapatan udara tersebut lebih besar maka rumah tanaman dibuat lebih
tinggi dari rata-rata tinggi rumah tanaman tipe standard peak. Hal ini berarti
bahwa tipe standard peak sangat cocok dengan tanaman yang tinggi seperti tomat,
paprika, dan melon. Bentuk rumah tanaman tipe standard peak dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1 Rumah tanaman tipe standard peak tampak depan.
2.3 Faktor Lingkungan Fisik Tanaman
Faktor lingkungan fisik tanaman antara lain adalah cahaya, suhu udara,
kelembaban relatif (RH) udara, kadar CO2 dalam udara, kecepatan angin, polutan
dan lingkungan akar. Cahaya yang paling penting bagi tanaman merupakan
cahaya tampak yang mempunyai panjang gelombang 390 – 700 nm. Aspek
penting dari cahaya adalah intensitas, durasi, dan distribusi spektral cahaya. Suhu
udara di sekitar tanaman dipengaruhi oleh radiasi matahari, pindah panas
konveksi, laju evaporasi, intensitas cahaya, kecepatan dan arah angin serta suhu
lingkungan secara umum. Perubahan suhu udara akan berpengaruh pada proses
fisiologi dalam tanaman. Secara praktik, bagi tanaman dalam greenhouse
disarankan perbedaan suhu antara siang dan malam berkisar antara 5 – 10 °C.
Aspek penting dalam pergerakan udara dalam budidaya tanaman adalah
kecepatannya, bukan arahnya. Angin berpengaruh pada laju transpirasi, laju
evaporasi, serta ketersediaan CO2 dalam udara. Menurut ASAE (American Society
of Agricultural Engineering) kecepatan udara melewati tanaman sebaiknya tidak
7
lebih dari 1,0 ms-1
(Yuwono et al. 2008). Kecepatan udara dan pengaruhnya
terhadap tanaman disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kecepatan udara dan pengaruhnya terhadap tanaman
Kecepatan Udara
[ms-1
]
Pengaruh
0.1 – 0.25 Memudahkan pengambilan CO2
0.5 Pengambilan CO2 oleh tanaman menurun
1.0 Menghalangi pengambilan CO2 atau pertumbuhan tanaman
Lebih dari 4.5 Kerusakan fisik tanaman
Sumber: (Yuwono et al., 2008)
2.4 Konsep Pindah Panas pada Rumah Tanaman
Pemahaman mengenai interaksi stuktur rumah tanaman dengan kondisi
cuaca di lingkungan luar rumah tanaman akan menginisiasi untuk melakukan
pengendalian terhadap parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman. Suhardiyanto et al. (2007) telah melakukan analisis
perpindahan panas yang terjadi pada keempat elemen dalam sistem pindah panas
untuk rumah tanaman tipe standard peak dengan persamaan kesetimbangan panas
pada setiap elemen per satuan luas (Gambar 2).
Gambar 2 Konsep perpindahan panas pada rumah tanaman tipe standard
peak (Suhardiyanto et al., 2007).
Sumber panas pada rumah tanaman di daerah tropis didominasi oleh
konsumsi radiasi. Sifat radiatif material penutup rumah tanaman menyebabkan
pengurangan radiasi gelombang pendek yang masuk. Interaksi material struktur
rumah tanaman dengan sifat radiatifnya merubah radiasi gelombang pendek
8
tersebut menjadi gelombang panjang, sehingga berpengaruh terhadap
kesetimbangan energi di dalam rumah tanaman yang berakibat pada
meningkatnya suhu udara.
Selain itu, fluida di sekitar penutup rumah tanaman yang bersifat radiatif
akan menyerap panas akibat dari pantulan radiasi termal. Kemudian bergerak ke
tempat lain dan bercampur dengan bagian fluida yang lebih dingin serta
memberikan panasnya. Hal ini disebut sebagai fenomena konveksi (Cengel dan
Boles, 2003). Kemudian Cengel (2003) mengemukakan bahwa perpindahan panas
konveksi berdasarkan cara menggerakkan alirannya diklasifikasikan menjadi dua
cara yaitu, konveksi bebas (alami) dan konveksi paksa. Konveksi bebas terjadi
karena adanya perbedaan massa jenis yang disebabkan oleh perbedaan suhu,
sedangkan konveksi paksa terjadi karena adanya gerak dari luar misalnya dari
pompa atau kipas.
Laju ventilasi alamiah dipengaruhi oleh karakteristik kasa (screenhouse)
yang digunakan. Penggunaan screenhouse lebih ditujukan untuk menekan
serangan hama serangga pada tanaman, sehingga sering disebut sebagai insect-
screen. Namun hal ini berisiko pada penurunan laju ventilasi sehingga pertukaran
udara menjadi berkurang dan dinamika udara yang ada di dalam rumah tanaman
menjadi stagnan. Oleh karena itu, suhu udara di dalam akan meningkat.
Proses konduksi terjadi akibat adanya gradien suhu pada suatu medium
sehingga menimbulkan perpindahan energi atau panas dari suhu tinggi ke suhu
rendah (Holman, 1997). Menurut Kreith (1994) konduksi merupakan proses
perpindahan panas dari daerah dengan suhu tinggi ke suhu rendah di dalam suatu
medium atau antara medium-medium yang berlainan yang bersinggungan secara
langsung dan memiliki gradien suhu.
2.5 Sistem Ventilasi pada Rumah Tanaman
Sistem ventilasi dapat dikelompokkan berdasarkan tenaga penggerak udara
yang bekerja, yaitu dibedakan menjadi ventilasi alami dan sistem ventilasi
mekanis (Norton et al., 2007). Sistem ventilasi berfungsi sebagai sarana
pengendali atau kontrol parameter fisik tanaman yang ada di dalam rumah
tanaman, sehingga tanaman yang dibudidayakan dapat dikondisikan dan
direkayasa pada lingkungan yang optimum. Ventilasi mekanis bekerja dengan
9
tenaga elektrik berupa kipas (fan) atau blower untuk menggerakkan aliran udara
melewati bangunan rumah tanaman. Sedangkan ventilasi alamiah hanya bekerja
berdasarkan pergerakan mekanis fluida yang diakibatkan oleh adanya perbedaan
suhu dan perbedaan tekanan. Konstruksi yang sederhana, biaya awal yang murah
dan biaya energi yang rendah merupakan alasan utama penerapan ventilasi alami,
terutama di daerah tropis seperti Indonesia.
2.5.1 Ventilasi Alamiah
Ventilasi alamiah adalah pertukaran udara di dalam suatu bangunan
dengan udara di luarnya tanpa menggunakan kipas atau peralatan mekanik
lainnya (Suhardiyanto, 2009), juga sering disebut sebagai pengendalian atau
kontrol pasif, dengan kata lain tanpa adanya perlakuan mekanis. Menurut
Norton et al. (2007), ventilasi alamiah terjadi akibat adanya dua faktor
pemicu mekanisme pergerakan fluida. Faktor pemicu pertama disebabkan
oleh panas apung (thermal buoyancy) yang sering disebut sebagai efek
cerobong asap (stack effect), dimana perbedaan suhu yang terjadi pada
fluida di dalam rumah tanaman berasal dari proses konveksi panas, fluks
radiasi matahari dan metabolisme organisme yang ada di dalam rumah
tanaman. Udara yang terpanaskan akan menurunkan massa jenisnya
sehingga massa udara semakin ringan dan dengan pengaruh gravitasi dapat
menyebabkan parsel udara yang semakin ringan cenderung bergerak ke atas
atau mengapung. Faktor pemicu kedua, adanya angin yang menyebabkan
perbedaan tekanan pada bagian dinding dan penutup bangunan rumah
tanaman karena adanya tekanan yang hilang (pressure drop) sehingga
memaksa udara yang ada di dalam rumah tanaman bergerak melalui celah
bukaan ventilasi.
Faktor termal berperan dominan pada saat kecepatan udara rendah,
sehingga terjadi pergerakan udara akibat perbedaan suhu dan kerapatan
udara di dalam dan di luar rumah tanaman. Selanjutnya Kamaruddin (1999)
menyatakan bahwa batas kecepatan angin dimana faktor termal masih dapat
berperan dominan adalah sebesar 1 ms-1
, sedangkan menurut Papadakis et
al. (1996) sebesar 1.67 ms-1
. Disamping itu, Papadakis et al. (1996)
menyatakan bahwa pada saat kecepatan angin lebih dari 1.8 ms-1
efek termal
10
terhadap laju ventilasi dapat diabaikan. Jika kecepatan angin di luar rumah
tanaman cukup tinggi dan perbedaan suhu udara di dalam dan di luar rumah
tanaman kecil maka faktor angin dominan dan pengaruh faktor termal dapat
diabaikan.
Dalam hal desain ventilasi alamiah, Connellan, (2000);Kumar et al.,
(2009) mengemukakan bahwa luas bukaan ventilasi minimalnya 20% dari
luas lantai rumah tanaman sehingga suhu di dalam rumah tanaman dapat
mendekati suhu ambien di luar rumah tanaman. Hal serupa dilaporkan oleh
Kamaruddin et al., (2000) bahwa luas bukaan ventilasi lebih dari 40% dari
luas lantai rumah tanaman dapat memberikan laju ventilasi alamiah yang
cukup baik dan dapat menghindari peningkatan suhu yang ekstrim di dalam
rumah tanaman beriklim tropis. Sementara itu, Campen (2004) telah
mendesain rumah tanaman berbasis CFD untuk kondisi iklim di Indonesia
dan melakukan simulasi penentuan luas bukaan ventilasi. Hasil simulasi
dilaporkan bahwa luas bukaan ventilasi sebesar 40.4% dari luas permukaan
konstruksi rumah tanaman cukup optimum untuk pertumbuhan tanaman di
Indonesia. Selanjutnya, Hermanto et al., (2006) telah melakukan optimasi
luasan ventilasi alamiah yang dirancang pada bubungan rumah tanaman
untuk produksi tomat di daerah iklim tropis basah. Hasil optimasi
melaporkan bahwa luas ventilasi 60% dari luas lantai rumah tanaman dapat
memberikan kondisi lingkungan yang baik sepanjang tahun.
2.5.2 Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis pada rumah tanaman di daerah iklim tropis basah
umumnya menggunakan fan atau blower. Hal ini mengingat bahwa kedua
alat tersebut hanya memicu pergerakan udara untuk melewati bangunan
rumah tanaman yang bersifat terselubung (envelope), dimana udara dapat
terperangkap didalamnya. Terperangkapnya udara di dalam rumah tanaman
dapat menimbulkan panas yang berlebih di dalam bangunan rumah tanaman
dibandingkan dengan udara di luar. Hal ini dipengaruhi oleh radiasi
matahari dan gelombang panjang yang terperangkap di dalam rumah
tanaman yang lebih dikenal dengan greenhouse effect. Dengan demikian,
11
kondisi lingkungan (iklim mikro) di dalam rumah tanaman menjadi ektrim
bagi tanaman.
Fungsi utama dari fan dan blower yang berupa exhaust fan adalah
menggerakkan udara yang terperangkap di dalam rumah tanaman keluar
sehingga terjadi perbedaan tekanan antara udara di dalam dengan udara di
luar. Adanya perbedaan tekanan dapat memicu pergerakan udara dari
tekanan tinggi ke rendah, sehingga udara terdistribusi dengan sendirinya dan
ruang rumah tanaman mendapat suplai udara dari luar. Berdasarkan hasil
penelitian Norton et al.(2007) dilaporkan bahwa pengontrolan udara dengan
menggunakan ventilasi mekanis dapat mengendalikan udara lebih presisi
dibandingkan dengan ventilasi alamiah. Selain itu, pengendalian tidak
tergantung pada kondisi iklim lingkungan (iklim makro), sehingga
pengendalian dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan rancangan strategi
pengontrolan iklim mikro.
2.6 Karakteristik Kasa pada Rumah Tanaman (Screenhouse)
Penggunaan screen sebagai penutup pada bukaan ventilasi membantu
menekan jumlah serangan hama pengganggu ke dalam rumah tanaman, akan
tetapi penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi dan menaikkan suhu udara
dalam rumah tanaman. Aliran udara yang melewati screen ditentukan oleh jumlah
dan bentuk strukturnya yang direpresentasikan dengan satuan mesh atau porositas.
Ukuran mesh menggambarkan banyaknya lubang per inchi panjang screen.
Sedangkan porositas menunjukkan rasio jumlah luas permukaan lubang screen
yang dapat dilalui oleh udara terhadap permukaan screen per satuan luas.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi ukuran mesh
screen yang sesuai untuk mencegah berbagai macam serangga masuk ke dalam
rumah tanaman. Harmanto et al., 2006 telah melakukan penelitian tentang iklim
mikro menggunakan model matematika (metode energy balance) pada rumah
tanaman modified arch dengan bukaan ventilasi atap dan dinding yang ditutup
screen di daerah tropika. Ukuran screen yang digunakan adalah 78, 52 dan 40-
mesh. Dibandingkan dengan screen ukuran 40 mesh, screen dengan ukuran 52
dan 78 mesh dapat menurunkan laju pertukaran udara sebesar 35% dan 78% dan
meningkatkan suhu udara di dalam rumah tanaman sebesar 1 – 3 °C. Akan tetapi
12
screen 40 mesh kurang efektif dalam mencegah hama masuk, sehingga ukuran net
52-mesh lebih dianjurkan untuk digunakan dalam mencegah kenaikan suhu udara
dan menurunnya laju ventilasi secara nyata.
Untuk daerah subtropika, Fatnassi et al. (2006) telah menguji screen anti-
Bemisia (52 mesh) dan anti-Thrips (132 mesh) yang dipasang pada bukaan
ventilasi di atap dan dinding rumah tanaman multi-span dan menunjukkan bahwa
suhu dan kelembaban absolut udara di dalam rumah tanaman yang dipasang
screen meningkat sebesar 2.7 °C dan 0.7 g/kg untuk screen anti-Bemisia (52
mesh) dan meningkat sebesar 4.7 °C dan 1.3 g/kg untuk screen anti-Thrips (132
mesh) dibandingkan dengan rumah tanaman yang tidak dipasangi screen pada
bukaan ventilasinya.
Pola aliran udara yang melewati screen didekati dengan poros medium dan
menghitung nilai kehilangan tekanan yang terjadi (Teitel, 2010). Perhitungan
kehilangan tekanan pada kondisi incompressible dan aliran udara tunak (steady
state) dapat diprediksi dengan persamaan Forcheimer:
(
)
(
) | | (1)
dimana P merupakan tekanan udara yang hilang (Pa), x adalah ketebalan
poros media (m), u merupakan kecepatan udara (ms-1
), ρ adalah massa jenis udara
(kg m-3
), dan µ adalah viskositas dinamik (kg m-1
s-1
). Sedangkan K merupakan
permeabilitas screen (m2) dan Y adalah faktor inersia (non-dimensional). Nilai
permeabilitas screen atau poros media dan nilai faktor inersia biasanya digunakan
sebagai parameter acuan dalam menganalisa karakteristik bahan poros terhadap
aliran udaranya. Miguel (1998) dalam Teitel (2010), telah menguji beberapa jenis
bahan poros dengan wind tunnel, hasilnya menunjukkan bahwa korelasi terbaik
antara permeabilitas screen K dan faktor inersia Y terhadap porositas bahan α
dapat direpresentasikan dengan pers 2.
dan (2)
dimana α adalah nilai porositas bahan yang ditentukan dari nilai panjang l
dan lebar w dari mesh bahan poros serta d merupakan diameter bahan/benang
struktur screen. Rumus untuk menghitung nilai porositas disajikan pada Pers 3
(Miguel, 1998 dalam Majdoubi et al., 2009).
13
( )( ) (3)
dimana l merupakan panjang lubang void (poros) dalam m dan w adalah
lebar lubang void dalam m, sedangkan d adalah diameter bahan material kasa yang
berbentuk benang, dalam m.
2.7 Karakteristik Fan
Berdasarkan karakteristik alur dan pola aliran udara melewati fan, secara
garis besar fan dapat dibedakan menjadi dua tipe; yaitu sentrifugal dan aksial
(Anonimous, 1989). Kipas sentrifugal menggunakan perputaran impeller untuk
meningkatkan kecepatan aliran udara. Pergerakkan udara dari pusat impeller ke
ujung baling-baling menghasilkan energi kinetik. Energi kinetik ini akan
menaikkan tekanan statik berupa aliran udara yang pelan sebelum dilepaskan.
Kipas sentrifugal dapat menghasilkan tekanan relatif tinggi yang biasa
digunakan pada aliran “kotor” (mengalirkan bahan-bahan khusus yang
memerlukan penanganan dan kelembaban tinggi) dan pada sistem yang
membutuhkan suhu tinggi (Anonimous, 1989). Oleh karenanya, kipas jenis ini
paling umum digunakan oleh industri. Selain dapat menghasilkan tekanan tinggi,
efisiensinya juga tinggi dan dapat dioperasikan lebih jauh untuk berbagai kondisi
dengan tujuan tertentu.
Sedangkan kipas axial, sesuai namanya, menggerakkan aliran udara melalui
sumbu kipas. Udara akan tertekan karena adanya gaya angkat aerodinamik yang
dihasilkan dari baling-baling kipas seperti pada propeller dan sayap pesawat
terbang. Walaupun dapat juga diganti dengan kipas sentrifugal, tetapi pada “udara
bersih”, tekanan rendah, aplikasi untuk volume tinggi, lebih umum digunakan
kipas axial. Keuntungan dari kipas axial adalah aliran yang dihasilkan lebih
seragam, biaya rendah, dan ringan (Anonimous, 1989).
Pengaruh sistem yaitu perubahan pada performa kipas yang dihasilkan dari
interaksi komponen-komponen pada kipas, seperti saluran, penyaring, belokan,
pemanggang, jumlah sudu (blade) pada kipas, dan sudut kemiringan sudu.
Performa kipas atau fan dapat dilihat dari hubungan antara laju aliran udara yang
terlewatkan terhadap tekanan statis yang ditimbulkannya. Hal ini dideskripsikan
14
oleh Gambar 3 yang menunjukan performa kipas yang dipengaruhi oleh interaksi
komponen sistem pada kipas.
Gambar 3. Perubahan performa kipas akibat interaksi komponen sistem
pada kipas (Anonimous, 1989).
2.8 Sistem Pendinginan Evaporasi (Evaporative Cooling)
Pendinginan evaporasi merupakan metode yang dianggap paling efektif
dalam menurunkan suhu dan mengontrol kelembaban udara di dalam rumah
tanaman (Kumar et al. 2009). Namun bagi daerah beriklim tropis basah,
pengendalian kelembaban udara di dalam rumah tanaman telah menjadi suatu hal
yang tidak mudah dilakukan. Terdapat tiga jenis evaporative cooling yang sering
digunakan dalam industri pertanian adalah: 1) sistem baling-baling kipas (fan-pad
system) seperti exhaust fan atau blower, 2) sistem pengabutan air (fog/mist
system), dan 3) roof evaporative cooling yaitu pendinginan atap dengan cara
mengalirkan atau menaburkan partikel air yang lembut terhadap atap rumah
tanaman sebagai sumber masuknya panas dari sinar radiasi matahari yang
dominan.
15
2.8.1 Fan-pad System
Candra et al., (1989) telah melakukan penelitian tentang efektifitas
penggunaan sistem pendingin fan pada rumah tanaman berbahan atap
plastik seluas 24 m2. Dengan menggunakan fan, suhu udara di dalam rumah
tanaman dapat diturunkan sekitar 4-5 °C dari kondisi suhu lingkungan luar.
Hal serupa telah dilaporkan oleh Jain and Tiwari (2002) bahwa penerapan
cooling pad pada rumah tanaman seluas 24 m2 sangat sensitif terhadap
parameter panjang dan ketinggian dimensi rumah tanaman. Hal ini
memungkinkan untuk dilakukannya analisa optimalisasi penerapan cooling
pad pada rumah tanaman terhadap dimensi rumah tanamannya, sehingga
dapat membantu rekomendasi dalam perancangan dan pengembangan
rumah tanaman. Di sisi lain, Jamal (1994), menyatakan bahwa laju
pertukaran volume udara sebesar 20 m3/jam merupakan kondisi terbaik bagi
rumah tanaman yang berada di daerah tropis. Penelitian tersebut dilakukan
pada saat musim kering dengan memanfaatkan cooling pad.
2.8.2 Sistem Pengabutan
Sistem pengabutan (fog system) merupakan sistem dimana air
disemprotkan dengan tekanan tinggi pada nozzle sehingga bentuk air
menjadi sangat kecil seperti kabut yang biasa disebut droplet, dengan
diameter droplet sekitar 2-60µm (Kumar et al.2009). Kecilnya ukuran
diameter droplet sangat memungkinkan air terbawa oleh udara, sehingga
suhu udara di dalam rumah tanaman dapat menurun dengan signifikan
namun kelembaban udaranya menjadi meningkat.
Montero et al. (1994) telah menggunakan sistem pengabutan air pada
rumah tanaman yang memiliki mesh screen sebesar 45%, melaporkan
bahwa suhu maksimum yang dapat direduksi dengan sistem pengabutan
sepanjang siang hari dalam rumah tanaman adalah sebesar 5°C. Sementara
itu, Arbel et al.(1999),telah menguji efisiensi sistem pengabutan yang
memiliki kemampuan ukuran droplet sebesar 2-60 µm pada rumah tanaman
seluas 16 m x 24 m di daerah Israel, dibandingkan dengan sistem fan-pad.
Hasil uji tersebut telah menunjukkan bahwa performansi sistem pengabut
16
lebih baik dari pada sistem fan atau pad, dimana suhu dan kelembaban
udara yang dapat direduksi dengan sistem fan dan pad < 5 dan 20%.
2.8.3 Roof Evaporative Cooling
Proses roof evaporative cooling dilakukan dengan memercikkan air ke
permukaan atap rumah tanaman sehingga menghasilkan lapisan air tipis
yang dapat meningkatkan laju evaporasi pada permukaan atap tersebut agar
suhu udara di sekitar atap dan di dalam rumah tanaman akan menurun
(Kumar et al. 2009). Sutar and Tiwari (1995), telah mempelajari efek aliran
air yang tipis (water film) dipermukaan atap rumah tanaman terhadap suhu
udara di dalamnya. Material atap yang digunakan adalah material plastik
untuk rumah tanaman yang relatif murah. Percobaan tersebut dilakukan
pada kondisi iklim di Delhi India. Hasil dari percobaan menyatakan bahwa
suhu udara di dalam rumah tanaman dapat menurun antara 4-5°C dari
kondisi kontrol. Namun, ketika aliran tipis air dialirkan pada lapisan kain
atau kasa yang tipis di atap rumah tanaman, maka suhu udara yang dapat
direduksi dapat mencapai 10°C.
2.9 Pemodelan pada Rumah Tanaman
Pendekatan model pada rumah tanaman, khususnya pemodelan parameter
fisik yang mempengaruhi iklim mikro (seperti suhu, kecepatan udara dan
kelembaban udara pada rumah tanaman), secara garis besar dibedakan menjadi
dua kriteria, yaitu model fenomena logis dan model perilaku (Krauss et al., 1997;
Boulard et al., 2002). Kedua pendekatan model tersebut digunakan untuk
memprediksi perubahan, pola serta distribusi iklim mikro seperti perpindahan
panas dan transport massa yang terjadi pada bangunan rumah tanaman. Model
perilaku (behavioural models), seperti komputasi sistem pakar (Artificial Neural
Networks, Fuzzy logic dan Genetic Algorithm) sangat bermanfaat untuk
menentukan strategi pengendalian iklim mikro pada rumah tanaman. Namun
masih tergantung pada akurasi penentuan nilai dinamika atau laju perubahan
parameter. Hasil prediksi model tersebut harus dibandingkan dengan data faktual
hasil pengukuran atau dengan hasil prediksi dari model fenomena logis. Secara
17
sederhana pendekatan model pada rumah tanaman dideskripsikan dengan diagram
pengklasifikasian model simulasi yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram klasifikasi model simulasi pada rumah tanaman
(diadopsi dari Krauss et al., 1997dalam Boulard et al., 2002).
Pemodelan fenomena logis terdiri dari dua jenis proses, yaitu tahap analisis
dan tahap diskritisasi. Tahap analisis pemodelan biasanya dilakukan
penyederhanaan model berupa pembatasan wilayah (limited zones) analisis dari
ruang model simulasi yang kompleks. Wilayah yang dianalisis lebih difokuskan
pada wilayah-wilayah tertentu dalam ruang simulasi yang memiliki kriteria
perubahan parameter secara signifikan, seperti wilayah permukaan atau dinding
solid dengan fluida yang sering disebut dengan boundary layers, wilayah jet yaitu
wilayah yang memiliki hembusan kecepatan fluida sangat tinggi (wilayah nozel
dari humidity fire atau foging) dan wilayah-wilayah yang berpotensi terjadi olakan
fluida (wakes) serta vortex. Sementara itu, tahapan diskritisasi adalah proses
penyederhanaan persamaan model dinamika fluida yang kompleks menjadi
18
persamaan-persamaan matematis yang diskrit agar dapat dieksekusi oleh
komputer untuk dikomputasi. Hal ini merupakan bagian dari analisis numerik
pada tahapan simulasi dengan menggunakan CFD (Computational Fluid
Dynamics). Metode diskritisasi dalam CFD terdiri dari 2 jenis pendekatan, yaitu
metode volume hingga (finite volume method) dan metode elemen hingga (finite
element method). Model CFD akan lebih akurat apabila digunakan untuk simulasi
pada zona atau wilayah model yang mikro, namun tidak menutup kemungkinan
dapat juga digunakan untuk mensimulasikan zona wilayah makro seperti
visualisasi perubahana parameter iklim mikro pada satu ruang rumah tanaman
(single zone) berbentuk 3D atau beberapa ruang rumah tanaman (multi zones).
Multi zone rumah tanaman biasanya terdapat pada agroindustri yang memiliki
beberapa rumah tanaman untuk proses produkdi budidaya.
2.10 Metode Komputasi Dinamika Fluida
Computational fluid dynamics (CFD) bisa berarti suatu teknologi komputasi
yang digunakan untuk mempelajari dan sebagai alat untuk menganalisa fenomena
dinamika fluida seperti aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, perubahan
phasa, interaksi fluida dan solid (Norton et al., 2007). Menurut Tuakia (2008),
CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan
panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-
persamaan matematika (model matematika). Secara istilah CFD bisa berarti suatu
teknologi komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari
benda-benda atau zat-zat yang mengalir.
Menurut Zhang (2005), pada dasarnya persamaan-persamaan dalam
mempredisksi fenomena dinamika fluida seperti CFD dapat dibangun dan
dianalisis berdasarkan persamaan-persamaan diferensial parsial (PDE = Partial
Differential Equation) yang merepresentasikan hukum-hukum konservasi massa,
momentum, dan energi. Penyelesaian persamaan diferensial yang cukup kompleks
tidak dapat dieksekusi langsung oleh komputer. Oleh karena itu, persamaan
aljabar tersebut ditransformasikan terlebih dahulu menjadi persamaan aljabar
diskrit yang lebih sederhana, sehingga komputer dapat mengeksekusinya dengan
ringan. Metode penyederhanaan ini disebut sebagai metode diskritisasi (Versteeg
and Malalasekera, 1995).
19
2.11 Prinsip Diskritisasi
Secara umum, diskritisasi dapat dianalogikan sebagai upaya untuk membagi
sistem dari problem yang akan diselesaikan (obyek) menjadi bagian bagian yang
lebih kecil, atau dengan kata lain membagi bentuk objek yang kontinum menjadi
diskrit. Diskritisasi ini muncul karena adanya kesulitan untuk mempelajari sistem
secara keseluruhan. Secara tidak langsung, diskritisasi juga berarti pendekatan
untuk sesuatu (problem) yang riil dan kontinu. Metode diskritisasi yang biasa
digunakan dalam analisa CFD adalah metode elemen hingga (finite element
method) dan metode volume hingga (finite volume method).
Menurut Molina-Aiz et al.,(2010) dalam kedua metode diskritisasi tersebut
komputasi numerik dibangun berdasarkan dua tahapan proses. Tahap pertama
adalah memformulasikan persamaan kesetimbangan dan metode pendekatan
berdasarkan kondisi batasan tertentu. Sedangkan tahap kedua adalah pemisahan
elemen variabel ke dalam bentuk matriks dan pencarian solusi algoritma secara
sekuensial.
2.11.1 Finite Element Method (FEM)
Prinsip FEM adalah membagi rangkaian kesatuan area ke dalam
sejumlah bentuk area sederhana yang lebih kecil yang disebut elemen
(Molina-Aiz et al., 2010), pada kasus ini digunakan elemen triangular atau
quadrilateral (Gambar 5a). Finite Element banyak digunakan untuk
menyelesaikan problem kompleks seperti rekayasa struktur, steady state dan
time dependent heat transfer, fluid flow, dan electrical potential problem
(Zienkiewicz et al.,2005). Konsep dasar dari FEM diantaranya adalah
membuat elemen-elemen diskrit untuk memperoleh simpangan-simpangan
dan gaya-gaya dari suatu struktur. Selain itu, FEM menggunakan elemen-
elemen kontinum untuk memperoleh solusi pendekatan (approximate
solution) terhadap permasalahan-permasalahan perpindahan panas,
mekanika fluida maupun mekanika solid.
20
Gambar 5. Ilustrasi diskritisasi dengan menggunakan: (a) metode elemen
hingga, (b) metode volume hingga (Molina-Aiz et al., 2010).
Pada metode diskrit ini, variabel φ dari setiap elemen diinterpolasi
menggunakan polynomial Nj(xi).
∑ (4)
Dimana Nj merupakan fungsi bentuk polynomial pada titik j, dan n
adalah jumlah titik pada masing-masing elemen (3 untuk elemen triangular,
dan 4 untuk elemen quadrilateral).
2.11.2 Finite Volume Method (FVM)
Menurut Apsley (2005) metode volume hingga (FVM) cocok
diterapkan pada masalah aliran fluida dan aerodinamika. Selain itu, Molina-
Aiz et al.(2010) mengungkapkan bahwa konsep kinerja FVM adalah setiap
titik perhitungan dilingkupi oleh sebuah volume terkendali (control volume)
atau volume atur. Domain komputasi dibagi menjadi volume atur yang
berupa grid-grid dan tidak saling tumpang tindih (overlapping), sehingga
proses komputasi pada FVM lebih didekatkan terhadap kontrol suatu
volume terbatas, bukan komputasi pada suatu node dari masing-masing
grid.
Perangkat lunak seperti ANSYS/FLUENT menyatakan pendekatan
FVM dengan sebutan grid-centered finite volume approach, dimana
perhitungan komputasi yang dikembangkan program tersebut dilakukan
secara langsung pada area tengah grid (grid centers) dengan
menginterpolasikan nilai variabel φ pada pusat elemen node yang
21
berdekatan pada suatu permukaan volume atur φf. Nilai masing-masing
variabel φ yang merepresentasikan nilai rata-rata keseluruhan dari sebuah
grid, diwakili dengan nilai titik pusat grid (P, N, S, E dan W ;Gambar 5.b).
Metode penghitungan dalam komputasi atau diskritisasi berdasarkan
pada perbedaan nilai atau gradien dari masing-masing grid. Nilai perubahan
variabel tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5).
( )
∑
(5)
dimana Nfaces merupakan batasan permukaan pada elemen volume, dan
adalah nilai rata-rata hitung pada pusat grid terdekat (contohnya
permukaan P dan permukaan E pada Gambar 5.b).
2.12 Perbandingan Teknik Diskritisasi FVM dan FEM
Dua metode diskritisasi (FVM dan FEM) telah diuji dan dibandingkan oleh
Nakajima and Kallinderis (1994); Molina-Aiz et al.,(2010) pada grid yang tidak
seragam untuk melihat sensitifitas dan akurasi dari hasil solving. Proses solving
dilakukan pada aliran incompressible yang unsteady state 2 dimensi dengan
menggunakan persamaan Navier-Stokes. Hasilnya disimpulkan bahwa kedua
metode dikritisasi tersebut stabil dan memiliki akurasi yang sama pada grid yang
seragam. Namun, pada grid yang tidak seragam metode FEM menjadi kurang
sensitif. Meskipun pendekatan metode FEM dan FVM membutuhkan waktu
komputasi per grid dan step yang sama, FEM memerlukan kapasitas memori
penyimpanan dua kali lebih besar dibandingkan FVM. Selanjutnya, Haindl et al.,
(1999); dalam Molina-Aiz et al.,(2010) membandingkan FVM dan FEM untuk
mendiskritisasi model difusi 3D menggunakan software AMIGOS. Hasil
diskritisasi dilaporkan bahwa FVM lebih stabil dibandingkan FEM.
Hal lain dilakukan oleh O’Callaghan et al. (2003) yang melakukan
kajian teori untuk memprediksi aliran darah melewati arteri femoralis ideal.
Hasilnya menunjukkan bahwa secara kualitatif kedua metoda tersebut
memiliki kesamaan, namun berbeda dalam hal kuantitatif. Hasil prediksi
dengan menggunakan FVM lebih baik dari pada FEM, sehingga
menyatakan bahwa FVM merupakan teori prediksi yang lebih handal.
Sementara itu, Molina-Aiz et al.,(2010) membandingkan FEM dan FVM
22
untuk mensimulasikan fenomena ventilasi alamiah pada rumah tanaman. Hasil
simulasi dilaporkan bahwa kedua metode tersebut sangat baik atau akurat ketika
digunakan untuk memprediksi parameter suhu dari pada memprediksi parameter
kecepatan udara. Selain itu, gambaran aliran udara pada setiap kasus yang
dianalisa memiliki kesamaan kualitatif. Namun pada rumah tanaman tipe multi
span, FVM mampu mensimulasikan aliran laju ventilasi udara yang lebih rendah
dibandingkan FEM, meskipun nilai suhu hasil prediksi dengan FVM lebih rendah
dari nilai faktualnya.
Perbedaan antara FEM dan FVM terlihat juga pada proses pembuatan grid
(meshing), dimana untuk geometri yang lebih kompleks proses meshing dengan
menggunakan FEM jauh lebih mudah dibanding FVM (Molina-Aiz et al., 2010).
Namun dalam hal komputasi, rata-rata FEM membutuhkan waktu komputasi per
grid dan per tahap dua kali lebih banyak dibandingkan FVM, bahkan untuk proses
penyimpanan database hasil komputasi FEM menghabiskan waktu 10 kali lebih
besar.