10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Otonomi Daerah
a. Pengertian Otonomi Daerah
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu pada pasal 1 angka 6 yang dimaksud dengan Otonomi
Derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud daerah otonom
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sindiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesaia. Pada hakikatnya Otonomi
Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan masyarakat
hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus
sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala
daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah.
Kebijakan otonomi daerah merupakan langkah strategis
dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi
11
merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia
berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan
pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah
pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan
desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk
menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat
perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002).
b. Tujuan Otonomi Daerah
Adapun tujuan diselenggarakan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian
daerah. Pasa dasarnya terkandung tiga visi utama pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1) meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sumber daya daerah, dan (3) memperdayakan dan menciptakan
ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan (Mardiasmo, 2002).
Dari kepentingan Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah
pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas
politik dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di
daerah. Sementara bila dilihat sisi kepentingan Pemerintah Daerah
ada tiga tujuan yaitu:
1) Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality,
artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka
12
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah.
2) Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan
otonomi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah
dalam memperhatikan hak-hak masyarakat.
3) Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan
otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi
terhadap berbagai masalah yang muncul sekaligus
meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi
daerah.
2. Keuangan Daerah
a. Pengertian Keuangan Daerah
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut (Pasal
1 ayat 5 PP No. 58 Tahun 2005).
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan
daerah terdapat dua unsur penting yaitu :
1) Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak
daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-
sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan
penerimaaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah.
13
2) Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau
sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka
pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum
dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.
Menurut Halim (dalam Wijayanti, 2012), ciri utama suatu
daerah mampu melaksanakan otonomi daerah yaitu, (1)
kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki
kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber
keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) ketergantungan
kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu
PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk melihat
kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah
satunya yaitu dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.
Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah,
menunjukkan bahwa suatu daerah akan semakin mampu dalam
membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah
pusat. Dengan melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap
pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan dapat terlihat
kinerja keuangan daerah secara utuh.
b. Asas Umum Keuangan Daerah
Berdasarkan Pasal 66 UU No. 33 Tahun 2004, asas umum
pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut :
14
1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan,
dan manfaat untuk masyarakat.
2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan,
alokasi, dan distribusi.
4) Semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
Daerah tahun anggaran berikutnya.
6) Penggunaan surplus APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
untuk membentuk Dana cadangan atau penyertaan dalam
Perusahaan Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari DPRD.
c. Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Pasal 1
angka 6 PP No. 58 Tahun 2005).
Pengelolaan keuangan daerah menganut prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan value for money. Transparansi merupakan wujud
adanya keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, dan
15
pelaksanaan anggaran daerah. Dalam prinsip ini, anggota masyarakat
memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses
anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan bersama,
terutama pemenuhan hidup masyarakat. Adapun prinsip akuntabilats
terkait dengan pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa
proses penganggaran, mulai dari perencanaan, penyusunan, hingga
pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat.
3. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. PAD merupakan salah satu sumber
pendapatan suatu daerah yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur kinerja
perekonomian. PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah,
pemungutannya berdasarkan pada peraturan daerah sesuai perundang-
undangan yang berlaku, bertujuan memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan
potensi daerah sebagai perwujudan dari sistem desentralisasi (Pasal 1,
angka 18, UU Nomor 33 Tahun 2004).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber yang
harus selalu dan terus menerus di picu pertumbuhannya, karena PAD
merupakan indikator penting untuk memenuhi tingkat kemandirian
pemerintah di bidang keuangan. Semakin tinggi peranan PAD terhadap
APBD maka akan semakin berhasil usaha pemerintah daerah dalam
16
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah
(Wijayanti, 2012).
Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut
UU Nomor 23 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
a. Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan pajak yang pemungutannya
dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untuk
pengeluaran umum yang balas jasanya tidak langsung diberikan, dan
pelaksanaannya dapat dipaksakan. Menurut Pasal 1 angka 10 dalam
UU Nomor 28 tahun 2009, Pajak Daerah adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan UU tersebut, pajak daerah terbagi menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu pajak berdasarkan Provinsi dan juga berdasarkan Kabupaten/
Kota. Pajak berdasarkan Provinsi meliputi Pajak Kendaraan
Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.
Sementara yang termasuk kedalam pajak Kabupaten/kota
meliputi Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak
Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Parkir; Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung
17
walet; Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; dan PBB
Perkotaan dan Pedesaan.
b. Retribusi Daerah
Sebagaimana dengan Pajak Daerah, ketentuan mengenai
Retribusi Daerah juga ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Pengertian Retribusi Daerah dalam Undang-udang tersebut
khususnya pada Pasal 1 angka 64, Retribusi adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau Badan. Dalam Pasal 108 ayat (1)
dijelaskan bahwa Retribusi itu digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis,
yaitu:
1) Retribusi Jasa Umum
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang
disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan (Pasal 109, UU Nomor 28 Tahun
2009).
2) Retribusi Jasa Usaha
Berdasarkan Pasal 1 angka 67, Retribusi Jasa Usaha
adalah Jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat
pula disediakan oleh sektor swasta.
18
3) Retribusi Perizinan Tertentu
Sesuai pasal 1 angka 68, Retribusi Perizinan Tertentu
diartikan sebagai retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah
Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau
Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang,
serta penggunaan sumber daya alam,barang, prasarana, sarana
atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Menurut Pasal 26 ayat (3) Permendagri Nomor 13 Tahun
2006, jenis Hasil Pengelolaan Kekyaaan Daerah yang Dipisahkan
adalah sebagai berikut:
1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik daerah/BUMD;
2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik pemerintah/BUMN; dan
3) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) Permendagri Nomor 13
Tahun 2006, Jenis Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
adalah:
1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
19
2) Jasa giro;
3) Pendapatan bunga;
4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
5) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa
oleh daerah;
6) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing;
7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
8) Pendapatan denda pajak;
9) Pendapatan denda retribusi;
10) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
11) Pendapatan dari pengembalian;
12) Fasilitas sosial dan fasilitas umum;
13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
4. Pajak
a. Pengertian Pajak
Secara umum pajak diartikan sebagai pungutan wajib dari
negara kepada rakyatnya yang sifatnya memaksa. Menurut Soemitro
(dalam Mardiasmo, 2013:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
20
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran
umum.
b. Fungsi Pajak
Ada 2 (dua) fungsi pajak (Mardiasmo, 2013:1) yaitu:
1) Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk
membiayai pengeluarannya.
2) Fungsi Mengatur
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
c. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat
(Mardiasmo, 2013:2) sebagai berikut:
1) Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan,
undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil
dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak
secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni
dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan
banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
21
2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat
Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23
ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan
keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3) Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran
kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4) Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus
dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan
dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang
perpajakan yang baru.
d. Lembaga Pemungut Pajak
Menurut lembaga yang memungut pajak, terdapat 2 (dua)
jenis pajak (Mardiasmo, 2013:6)yaitu:
1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
22
e. Asas Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul
Perpajakan (2013:7), asas di dalam pemungutan pajak antara lain:
1) Asas domisili
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya,
baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar
negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2) Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal
Wajib Pajak.
3) Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan
suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia
dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan
Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku
untuk Pajak Luar Negeri.
f. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2013:7) ada 3 (tiga) jenis dalam sistem
pemungutan pajak, yaitu:
23
1) Official Assessment System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk mementukan besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak.
2) Self Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang.
3) With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan wajib pajak
yang bersangkutan) untuk mementukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
5. Pajak Daerah
Jenis pajak daerah yang di pungut oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Ngawi sesuai dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009
yaitu meliputi:
1) Pajak Hotel
Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
hotel. Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel
dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan
hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamaan,
termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Dalam Peraturan Daerah
24
Kabupaten Ngawi Nomor 24 Tahun 2011, dijelaskan bahwa yang
termasuk objek pajak hotel diantaranya:
a) Motel;
b) Losmen;
c) Gubuk Pariwisata;
d) Wisma Pariwisata;
e) Pesanggrahan atau sejenisnya;
f) Rumah penginapan atau sejenisnya; dan/atau
g) Rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh) kamar.
Sementara jasa penujang hotel adalah telepon, faksimile,
teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan
fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. Namun
ada beberapa objek yang tidak termasuk kedalam objek pajak hotel
diantaranya:
a) Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b) Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c) Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan
keagamaan;
d) Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo,
panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e) Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang
diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
25
Subjek yang termasuk kedalam pajak hotel adalah orang
pribadi Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi
atau Badan yang mengusahakan hotel. Sementara wajib pajak hotel
tersebut adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel.
Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada hotel. Besarnya tarif pajak hotel
ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
2) Pajak Restoran
Menurut Perda Kabupaten Ngawi Nomor 25 Tahun 2011,
Pengertian pajak restoran adalah pajak atas setiap pelayanan di
restoran. Pelayanan yang disediakan restoran meliputi penjualan
makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi di tempat pelayanan
maupun di tempat lain. Namun yang bukan termasuk kedalam
pelayanan tersebut yaitu pelayanan yang disediakan oleh warung
yang keadaanya sederhana dan nilai penjualannya tidak melebihi Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan. Subjek dari
pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
restoran. Sementara untuk wajib pajaknya adalah orang pribadi atau
badan yang mengusahakan restoran.
Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran
yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran. Besarnya tarif
pajak restoran ditetapkan:
a) 10% (sepuluh persen) untuk nilai penjualan di atas Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap bulan.
26
b) 5% (lima persen) untuk nilai penjualan Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) sampai dengan Rp 10.000.000,00(sepuluh juta
rupiah) setiap bulan.
c) 3% (tiga persen) untuk nilai penjualan Rp. 1.000.000,00 (satu
juta rupiah sampai dengan Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
setiap bulan.
3) Pajak Hiburan
Pajak hiburan merupakan pajak atas penyelenggaraan
hiburan. Yang termasuk dalam objek pajak hiburan yaitu : (i)
Pagelaran kesenian tradisonal; (ii) Pameran; (iii) Pertandingan olah
raga; (iv) permainan bilyard; (v) Pusat kebugaran (fitnes center); (vi)
Mandi uap/spa; (vii) Permainan ketangkasan; (viii) Tontonan film;
(ix) Pagelaran musik; (x) Pagelaran busana; (xi) Kontes kecantikan;
(xii) Kontes bina raga; (xiii) Sirkus, akrobat dan sulap; (xiv)
Permainan golf dan boling; (xv) Diskotik, karaoke, klab malam dan
panti pijat. Subjek dari pajak hiburan adalah orang pribadi atau
badan yang menonton dan/atau menikmati hiburan. Sementara wajib
pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang
menyelenggarakan hiburan.
Dasar pengenaan pajak adalah jumlah uang yang diterima
atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. Besarnya
tarif untuk setiap hiburan ditetapkan sebagai berikut:
a) Pagelaran kesenian tradisional, sebesar 10 %(sepuluh persen);
b) Pameran, sebesar 10 % (sepuluh persen);
27
c) Pertandingan olah raga, sebesar 10 % (sepuluh persen);
d) Permainan billyard, sebesar 10 % (sepuluh persen);
e) Pusat kebugaran (fitnes center), sebesar 10 % (sepuluh persen);
f) Mandi uap/spa, sebesar 10 % (sepuluh persen);
g) Permainan ketangkasan, sebesar 10 % (sepuluhpersen);
h) Tontonan film, sebesar 20 % ( dua puluh persen);
i) Pagelaran musik, sebesar 20 % (dua puluh persen);
j) Pagelaran busana, sebesar 20 % (dua puluh persen);
k) Kontes kecantikan, sebesar 20 % (dua puluh persen);
l) Kontes bina raga, sebesar 20 % (dua puluh persen);
m) Sirkus, akrobat dan sulap, sebesar 20 % (dua puluh persen);
n) Permainan golf dan boling, sebesar 20 % (dua puluh persen);
o) Diskotik, karaoke, klab malam dan panti pijat, sebesar 30 %
(tiga puluh persen).
4) Pajak Reklame
Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
Sementara Reklame merupakan benda, alat, perbuatan, atau media
yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial
memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk
menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan,
yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati
oleh umum.
Dalam Perda Kabupaten Ngawi Nomor 30 Tahun 2011
tentang pajak reklame, disebutkan bahwa yang termasuk objek pajak
28
reklame yaitu: (1) Reklame Papan/ Billboard/ Videotron/ Megatron
dan sejenisnya; (2) Reklame Kain; (3) Reklame Melekat (Striker);
(4) Reklame Selebaran; (5) Reklame Berjalan, termasuk pada
kendaraan; (6) Reklame Udara; (7) Reklame Apung; (8) Reklame
Suara; (9) Reklame Film/Sigle; (10) Reklame Peragaan; dan (11)
Reklame Painting/Cat dinding.
Namun yang termasuk bukan objek pajak reklame adalah: (1)
penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta
harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya; (2)
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,
yang berfungsi untuk membedakan dari produk lain; (3) nama
pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan
tempat usaha atau profesi, diselenggarakan sesuai dengan ketentuan
yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut dan
ukuran luas media tidak melebihi 50 cm2
(lima puluh); (4) reklame
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah
Daerah.
Dasar dari pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa
reklame. Reklame yang diselenggarakan oleh Pihak ketiga, nilai
sewa reklame didasarkan pada nilai kontrak reklame. Sementara
reklame yang diselenggarakan oleh sendiri, nilai sewanya dihitung
dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi
penempatan, waktu, jangka waktu, penyelengaraan, jumlah, dan
29
ukuran media reklame. Penghitungan nilai sewa ditetapkan dengan
rumus:
Nilai sewa reklame = Jenis reklame x jumlah reklame x indeks lokasi
(nilai strategis) x ukuran media reklame x
jangka waktu penyelenggaraan reklame
5) Pajak Penerangan Jalan
Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga
listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber
lain. Pajak penerangan jalan ini diatur dalam Perda Kabupaten
Ngawi Nomor 28 Tahun 2011. Objek pajak perengan jalan adalah
penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri (PLN) maupun
diperoleh dari sumber lain (bukan PLN), dikecualikan untuk: (1)
penggunaan tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Daerah; (2) Penggunaan tenaga listrik yang
berasal dari bukan PLN dengan kapasitas tertentu yang tidak
memerlukan izin dari instansi teknis terkait; (3) Penggunaan tenaga
listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah. Subjek pajaknya
adalah orang pribadi atau badan yang dapat menggunakan tenaga
listrik, dan wajib pajaknya yaitu orang pribadi atau badan yang
menggunakan tenaga listrik. Jika tenaga listrik yang disediakan
bukan dari PLN, maka wajib pajak adalah penyedia tenaga listrik.
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Tenaga Listrik, yang
ditetapkan: (1) Dalam hal tenaga listrik berasal dari PLN, maka Nilai
Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap
30
ditambah dengan biaya pemakaian KWh/Variabel yang ditagihkan
dalam rekening listrik; (2) Dalam hal tenaga listrik dihasilkan bukan
dari PLN, maka Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan
kapasitas tersedia dan tingkat penggunaan listrik atau taksiran
penggunaan listrik serta harga satuan listrik yang berlaku di wilayah
daerah. Tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh
industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif pajak
penerangan jalan ditetapkan sebesar 3 % (tiga persen). Sedangkan
Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif pajak
penerangan jalan ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pajak atas
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari
sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
Pajak mineral bukan logam dan batuan diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 29 Tahun 2011. Objek pajak
mineral bukan logam dan batuan meliputi Asbes, Batu tulis, Batu
setengah permata, Batu kapur, Batu apung, Batu permata, Bentomit,
Dolomit, Feldspar, Garam batu (halite), Grafit, Granit/andesit, Gips,
Kalsit, Kaolin, Leusit, Magnesit, Mika, Marmer, Nitrat, Opsidien,
Oker, Pasir dan kerikil, Pasir kuarsa, Perlit, Phospat, Talk, Tanah
serap (fullers earth), Tanah diatome, Tanah liat, Tawas (alum),Tras,
Yarosif, Zeolit, Basal, Trakkit, dan Mineral bukan logam dan batuan
31
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan penrundang-undangan.
Dikecualikan untuk objek seperti: (1) kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara
komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan
rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel
listrik/telepon, penanaman pipa air/gas; (2) kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan yang merupakan ikutan dari
kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara
komersial.
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Hasil pengambilan
mineral bukan logam dan batuan yang dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga
standar masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan. Nilai
pasar adalah harga rata-rata yang berlaku dilokasi daerah setempat
yang bersangkutan yang telah ditetapkan oleh Bupati atas usul
pejabat yang berwenang dalam bidang pertambangan mineral bukan
logam dan batuan. Tarif pajak ditetapkan sebesar 20% (dua puluh
persen).
7) Pajak Parkir
Pajak parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir
di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, yang objeknya
meliputi pelataran atau lingkungan parkir, taman parkir, gedung
parkir, dan tempat penitipan kendaraan bermotor dan tidak bermotor.
Sedangkan yang bukan termasuk objek pajak parkir adalah
32
penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah; penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran
yang hanya digunakan untuk karyawan sendiri; serta Parkir tempat-
tempat ibadah. Ketentuan mengenai pajak parkir ini diatur dalam
Perda Kabupaten Ngawi Nomor 27 Tahun 2011. Dasar pengenaan
Pajak Parkir ini adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada penyelenggara tempat parkir dengan besarnya tarif
pajak adalah 10% (sepuluh persen). Disediakan berkaitan dengan
pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk
penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir merupakan
keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara.
8) Pajak Air Tanah
Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah. Pajak tersebut diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Ngawi Nomor 9 Tahun 2011. Air tanah merupakan air
yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan
tanah. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah tidak akan
dikenakan pajak apabila: (1) pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian,
pengairan perikanan rakyat, dan peribadatan; dan/atau (2)
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan militer,
pemadam kebakaran, panti asuhan, atau untuk penelitian; dan (3)
Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemeritah,
33
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah. Dasar pengenaanya
adalah Nilai Perolehan Air Tanah yang dinyatakan dalam rupiah,
dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti jenis
sumber air; lokasi sumber air; tujuan pengambilan; volume air yang
diambil dan/atau dimnafaatkan; kualitas air; dan tingkat kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air. Besarnya tarif pajak adalah 20% (dua puluh persen).
9) Pajak Sarang Burung Walet
Pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung
walet merupakan satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu
collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta,
dan collocalia linchi. Lokasi sarang burung walet dapat berada di
habitat alami maupun di luar habitat alaminya. Habitat alami bisa
berupa: (1) Kawasan Hutan Negara; (2) Kawasan Konservasi; dan
(3) Goa alam dan atau di luar kawasan yang tidak dibebani hak milik
perorangaan dan atau adat. Sementara yang diluar habitat alami
meliputi bangunan dan rumah atau gedung.
Objek pajak sarang burung walet adalah setiap pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet, kecuali pada: (1)
pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNPB); dan (2) Kegiatan pengambilan sarang
burung walet yang dipergunakan untuk tujuan penelitian ilmiah
dengan volume pengambilan tidak melebihi 100 (seratus) gram.
34
Sedangkan subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung
walet.
Dasar pengenaan pajak ini adalah nilai jual sarang burung
walet yang dihitung berdasarkan volume sarang walet dikalikan
dengan harga pasaran umum pada saat pengambilan dan/atau
pengusahaan. Tarif yang ditetapkan pada pajak sarang burung walet
ini adalah sebsar 10%.
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah
pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah
dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.
Sementara bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman
dan/atau laut. Di kabupaten Ngawi pajak tersebut diatur dalam Perda
Kabupaten Ngawi Nomor 1 Tahun 2012.
Objek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan ini
adalah atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan. Bangunan yang dimaksud tersebut
35
termasuk: (1) Jalan lingkungan yang terletak dalam satu komplek
bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya yang merupakan
suatu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut; (2) Jalan tol; (3)
Kolam renang; (4) Pagar mewah; (5) Tempat olah raga; (6) Taman
mewah; (7) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa
minyak; dan (8) Menara. Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak
Bumi dan Bangunan adalah objek yang berupa: (1) Digunakan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah
untuk penyelenggaraan pemerintahan; (2) Digunakan semata-mata
untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; (3) Digunakan untuk
kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; dan
(4) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata taman
nasional, tanah penggembalan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap wajib pajak. Subjek pajak ini adalah orang
pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Dasar
pengenaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang besarnya ditetapkan
36
setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat
ditetapkan setiap tahun sesaui dengan perkembangan wilayahnya.
Besarnya tarif Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan: (1) 0,2% (nol
koma dua persen) untuk NJOP Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) atau lebih; dan (2) 0,1% (nol koma satu persen) untuk NJOP
kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan. Dalam Perda Kabupaten Ngawi
Nomor 19 Tahun 2010 tentang pajak bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan, di sebutkan bahwa perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan meliputi: (1) Pemindahan hak karena: (a) Jual-beli; (b)
Tukar menukar; (c) Hibah; (d) Hibah wasiat; (e) Waris; (f)
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; (g)
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; (h) Penunjukan
pembeli dalam lelang; (i) Pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap; (j) Penggabungan usaha; (k)
Peleburan usaha; (l) Pemekaran usaha; dan (m) Hadiah. (2)
Pemberian hak baru karena: (a) Kelanjutan pelepasan hak; dan (b)
Diluar pelepasan hak. (3) Hak atas tanah meliputi: (a) Hak milik; (b)
37
Hak guna usaha; (c) Hak guna bangunan; (d) Hak pakai; (e) Hak
milik atas satuan rumah susun; dan (f) Hak pengelolaan.
Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan ini adalah objek pajak yang diperoleh: (1)
Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik; (2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
untuk pelaksaan pembangunan guna kepentingan umum; (3) Badan
atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan; (4) Orang pribadi atau badan karena konversi
hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
(5) Orang pribadi atau badan karena wakaf; dan (6) Orang atau
badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Objek pajak yang
diperoleh karena hibah wasiat dan hak pengelolaan, pengenaan pajak
nya diatur dengan Peraturan Bupati.
Dasar pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal: (1) Jual beli adalah
harga transaksi; (2) Tukar menukar adalah nilai pasar; (3) Hibah
adalah nilai pasar; (4) Hibah wasiat adalah nilai pasar; (5) Waris
adalah nilai pasar; (6) Pemasukan dalam peseroan atau badan
hukum lainnya adalah nilai pasar; (7) Pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; (8) Peralihan hak karena
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah nilai pasar; (9) Pemberian hak baru atas sebagai kelanjutan
dari pelepasan hak adalah nilai pasar; (10) Pemberian hak baru atas
38
tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; (11) Penggabungan
usaha adalah nilai pasar; (12) Peleburan usaha adalah nilai pasar;
(13) Pemekaran usaha adalah nilai pasar; (14) Hadiah adalah nilai
pasar; dan (15) Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga
transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Namun apabila Nilai
Perolehan Objek Pajak tersebut tidak diketahui atau lebih rendah
daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam
pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual
Beli Objek pajak bumi dan bangunan, dan jika NJOP pajak bumi dan
bangunan belum ditetapkan pada saat terutangnya pajak, NJOP pajak
bumi dan bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP
pajak bumi dan bangunan. Surat Keterangan NJOP tersebut bersifat
sementara yang dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak atau
Instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
sebsar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap
wajib pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat
yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalm garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling
rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Tarif
39
pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan sebesar
5% (lima persen). Besarnya pokok bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan yang terutang dihitung dengan cara Nilai Perolehan Objek
Pajak dikurangi Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak dikalikan
dengan tarif pajak tersebut.
6. Efektivitas
Efektivitas adalah keberhasilan dalam suatu organisasi dalam
mencapai tujuannya. Sedangkan menurut Handoko (dalam Santoso,
2011), efektivitas merupakan kemampuan memilih tujuan yang tepat atau
peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, dikatakan efektif jika dapat memilih pekerjaan yang
harus dilakukan atau metode (cara) yang tepat untuk mencapai tujuan.
Menurut Halim (dalam Puspitasari, 2014), efektivitas pajak
daerah dan retribusi daerah menunjukkan kemampuan pemeritah daerah
dalam mengumpulkan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan
jumlah penerimaan pajak dan retribusi yang ditargetkan. Efektivitas
pajak daerah adalah nilai yang dihitung berdasarkan prosentase
perbandingan realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak
(Puspitasari, 2014).
7. Kontribusi
Kontribusi digunakan untuk mengetahui sejauh mana Pajak
Daerah memberikan sumbangan dalam penerimaan PAD. Dalam
mengetahui kontribusi dilakukan dengan membandingkan penerimaan
pajak daerah periode tertentu dengan penerimaan PAD periode tertentu
40
pula. Semakin besar hasilnya berarti semakin besar pula peranan pajak
daerah terhadap PAD, begitu sebaliknya jika hasil perbandingannya
terlalu kecil berarti peranan pajak daerah terhadap PAD juga kecil
(Mahmudi dalam Kesek, 2013).
B. Penelitian Terdahulu
Untuk mendukung penelitian yang dilakukan, ada beberapa penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu tentang efektivitas,
kontribusi, dan proyeksi pajak daerah. Berikut ringkasan hasil dari berbagai
penelitian terdahulu:
1. Efektivitas Pajak Daerah
a. Kesek (2013)
Kesek (2013) melakukan penelitian terhadap pajak parkir di
Kota Manado dengan judul “Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan
Pajak Parkir terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Manado”. Dari
hasil analisis menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat
efektivitas penerimaan pajak parkir pada tahun 2009-2012 bervariasi
yaitu 117,36%, 69,14%, 89,23%, 155,80%. Penerimaan pajak parkir
yang sangat efektif terjadi pada tahun 2009 dan 2012.
b. Octovido et all (2014)
Dalam penelitian yang berjudul “Analisis Efektivitas dan
Kontribusi Pajak Daerah Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah
Kota Batu (Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Batu Tahun
2009-2013)” oleh Octovido et all (2014), menunjukkan bahwa pada
41
tahun 2010 tingkat efektivitas pajak daerah merupakan yang
terendah dibandingkan dengan tahun-tahun yang lainnya yaitu hanya
69,30%. Sedangkan efektivitas yang tertinggi terjadi pada 2010
dengan sebesar 136,67%. Rendahnya efektivitas pada 2010
disebabkan pada tahun tersebut belum maksimalnya pihak Dinas
Pendapatan Daerah Kota Batu dalam melaksanakan intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak daerah yang ada, namun target yang dibebankan
naikdengan cukup signifikan.
c. Lamia et all (2015)
Penelitian yang dilakukan oleh Lamia et all (2015), dengan
judul “Analisis Efektivitas dan Kontribusi Pemungutan Pajak
Restoran, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan pada
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Minahasa Utara”. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa efektivitas untuk pajak restoran dan
pajak penerangan jalan dari tahun 2010-2014 secara rata-rata sudah
sangat efektif dengan besarnya masing-masing 100,48% dan
106,29%. Sementara pajak reklame secara rata-rata sudah efektif
dengan 90,25%.
d. Dotulong et all (2014)
Penelitian dengan judul “Analisis Potensi Penerimaan dan
Efektivitas Pajak Restoran di Kabupaten Minahasa Utara” oleh
Dotulong et all (2014), menunjukkan bahwa pemungutan dan
pengelolaan pajak restoran di Kabupaten Minahasa Utara pada 2010-
2012 belum efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat efektivitas
42
pada 2010-2012 masing-masing hanya 1,85%, 6,01%, dan 11,22%.
Meskipun masih rendah akan tetapi dari tahun ke tahun selalu
mengalami kenaikan.
e. A.B, I Made (2013)
Penelitian yang dilakukan oleh A.B (2013) yang berjudul
“Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Reklame serta Prospeknya
di Kabupaten Badung”, menunjukka hasil bahwa rata-rata
efektivitas penerimaan pajak reklame tahun 2002-2011 adalah
110,10% atau sangat efektif. Hal tersebut menunjukkan kinerja
Pemerintah Kabupaten Badung dalam merealisasikan pajak reklame
sudah sangat baik.
f. Kustiyah dan Suryani (2014)
Penelitian yang dilakukan oleh Kustiyah dan Suryani (2014)
yang berjudul “Efektivitas Pajak Reklame terhadap Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta”, menunjukkan hasil
bahwa efektivitas pajak reklame Kota Surakarta dalam tahun
anggaran 2004 hingga tahun anggaran 2008 bersifat fluktuatif, pada
tahun 2004 hingga tahun 2005 efektivitas pajak reklame terus
mengalami peningkatan yaitu tahun 2004 sebesar 100,8% dan tahun
2005 meningkat menjadi 101,7%. Namun pada tahun 2006
mengalami penurunan yaitu sebesar 96,7%. Penurunan ini
disebabkan adanya krisis moneter yang mendorong para pelaku
bisnis sedikit mengurangi biaya promosi terutama pemasangan
reklame. Kemudian pada tahun 2007 kembali mengalami kenaikan
43
menjadi sebesar 100,8% dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan
yang lebih tinggi yaitu sebesar 102,2%.
2. Kontribusi Pajak Daerah
a. Taluke (2013)
Taluke (2013) pernah melakukan penelitian berjudul
“Analisis Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada
Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Halmahera Barat”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2007-2011 kontribusi
pajak rata-rata sebesar 17,58%. Kontribusi tertinggi terjadi pada
2007 dengan 20%, sedangkan terendah pada 2010 yaitu dengan 13%.
Kontribusi pajak daerah terhadap PAD Kabupaten Halmahera Barat
periode 2007-2011 mengalami penurunan yang diakibatkan oleh
kurangnya partisipasi masyarakat dan pihak swasta dalam memenuhi
kewajibannya untuk membayar pajak.
b. Mustika dan Idayati (2014)
Penelitian yang sama pernah dilakukan oleh Mustika dan
Idayati (2014) berjudul “Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi
terhadap Pendapatan Asli Daerah di Pemerintahan Kota Surabaya.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2009 sampai
dengan 2013 pajak daerah memberikan kontribusi yang fluktuatif.
Pajak daerah memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap
PAD dengan sebesar 81,63% pada 2012. Hal tersebut disebabkan
karena dari Dinas Pendapatan Asli Daerah Kota Surabaya mulai
sering melakukan pemantauan obyek pajak (terumata Pajak Bumi
44
dan Bangunan) dengan cara melakukan survey lapangan. Secara
rata-rata besarnya kontribusi pajak daerah mencapai 69,97%.
Tingginya kontribusi tersebut, selain adanya survey lapangan
terhadap Pajak Bumi dan Bangunan juga dikarenakan adanya
permudahan dalam pembayaran pajak bagi wajib pajak serta adanya
tambahan pengenaan jenis pajak dan kenaikan tarif pajak trutama
setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
c. Octovido et all (2014)
Penelitian oleh Octovido et all (2014), yang berjudul
“Analisis Efektivitas dan Kontribusi Pajak Daerah Sebagai Sumbeer
Pendapatan Asli Daerah Kota Batu (Studi pada Dinas Pendapatan
Daerah Kota Batu Tahun 2009-2013)”. Hasil penelitian tersebut
adalah kontribusi pajak daerah pada 2009adalah yang terkecil
dengan 45,21%, sementara yang terbesarpada 2012 dengan 72,66%.
Kontribusi yang kecil pada 2009, dikarenakan jumlah objek pajak
dan potensi pajak yang lebih sedikit. Akan tetapi secara umum dapat
dikatakan sudah sangat baik, hal tersebut didukung dengan adanya
ekstensifikasi pajak daerah dari 6 obyek pajak menjadi 9 obyek pada
2013.
d. Fery dan Devianty (2013)
Fery dan Devianty (2013) dalam menganalisis kontribusi
pajak daerah terhadap PAD, melihat bahwa Pajak penerangan jalan
merupakan pajak yang berkontribusi paling besar terhadap PAD di
Kabupaten Musi Banyuasin dengan rata-rata kontribusinya sebesar
45
6,92% dari total penerimaan PAD. Penerimaan PAD dari Pajak
Daerah terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama
kurun waktu enam tahun terakhir, walaupun peningkatan yang
terjadi selama kurun waktu tersebut pajak daerah hanya memiliki
kontribusi rata-rata sebesar 12,84% dari total Penerimaan PAD. Hal
tersebut disebabkan karena masih rendahnya penerimaan di sektor
pajak daerah dibandingkan dengan sektor lainnya yang diakibatkan
karena belum maksimalnya komponen/unsur-unsur pajak daerah
yang dipungut di Kabupaten Musi Banyuasin.
e. Kesek (2013)
Kesek (2013) melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas
dan Kontribusi Penerimaan Pajak Parkir terhadap Pendapatan Asli
Daerah Kota Manado”. Hasilnya menunjukkan kontribusi pajak
parkir selama tahun 2009-2012 rata-rata sebesar 1,65% yang berarti
masih kurang. Meskipun persentasinya masih kecil, akan tetapi
secara nominal menunjukkan peningkatan yang signifikan terutama
pada tahun 2011 dan 2012. Selain itu masih terdapat beberapa
tempat dan kawasan yang memerlukan lahan parkir serta fasilitas
untuk dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik.
f. Rooy dan Budiarso (2015)
Selanjutnya ada penelitian Rooy dan Budiarso (2015),
dengan judul “Analisis Kontribusi Penerimaan Pajak Daerah
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Raja Ampat”,
menunjukkan kontribusi pajak daerah terhadap PAD pada 2010
46
sampai 2014 berfluktuasi. Kontribusi terkecil terjadi pada 2011
dengan 10% yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya
yang mencapai 11,10% pada 2010. Sementara kontribusi terbesar
pada 2014 yaitu dengan 65,16%. Tingginya kontribusi pada 2014,
dikarenakan sudah masuknya Pajak Bumi dan Bangunan menjadi
pajak daerah di Kabupaten Raja Ampat.
g. Lamia et all (2015)
Penelitian yang dilakukan oleh Lamia et all (2015), dengan
judul “Analisis Efektivitas dan Kontribusi Pemungutan Pajak
Restoran, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan pada
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Minahasa Utara”. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa kontribusi pajak restoran, pajak
reklame, dan pajak penerangan jalan terhadap PAD, kontribusi pajak
penerangan jalan adalah yang paling tinggi diantara yaitu dengan
rata-rata sebesar 24,70% untuk tahun 2010-2014. Sedangkan rata-
rata pajak restoran dan pajak reklame masing-masing adalah 2,79%
dan 0,53%.
3. Proyeksi Pajak Daerah
a. A.B, I Made (2013)
Penelitian yang dilakukan oleh A.B (2013) yang berjudul
“Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Reklame serta Prospeknya
di Kabupaten Badung”, menunjukkan hasil bahwa proyeksi
penerimaan pajak reklame di Kabupaten Badung pada tahun 2012-
2015 akan selalu mengalami kenaikan. Pada 2013 diprediksikan
47
penerimaan mencapai 8,71 milyar rupiah dan pada 2015
diprediksikan sebesar 10,82 milyar rupiah.
C. Kerangka Pemikiran
Secara sederhana kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari, (i) Pajak Daerah; (ii)
Retribusi Daerah; (iii) Hasil Pengelolaan Kekayaan yang dipisahkan; dan (iv)
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Dari berbagai sumber
penerimaan tersebut, pajak daerah adalah sumber utama dari pendapatan
Proyeksi
Pendapatan
Asli Daerah
Kontribusi Efektivitas
Realisasi Target
Pajak Daerah
48
suatu daerah, karena berasal dari potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-
masing daerah.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah pada Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang khususnya bersumber dari pajak daerah. Setiap tahunnya daerah
akan menetapkan target pajak daerah yang dasar penetapannya adalah
realisasi dari penerimaan pada periode sebelumnya. Untuk mengetahui
seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan
pendapatan daerah, maka dilakukan penghitungan efektivitas pada
penerimaan pajak daerah yang diperoleh dengan membandingkan antara
realisasi dan target pada penerimaan pajak daerah. Sedangkan untuk
mengetahui seberapa besar sumbangan atau kontribusi dari penerimaan pajak
terhadap pendapatan asli daerah (PAD), maka dilakukan penghitungan nilai
kontribusi dengan membandingkan penerimaan pajak daerah terhadap PAD.
Dengan melihat besarnya kontribusi penerimaan pajak daerah, diharapkan
dapat berpengaruh dalam meningkatkan penerimaan daerah khususnya dari
pendapatan asli daerah (PAD). Kemudian untuk dapat mengetahui bagaimana
penerimaan dari pajak daerah pada periode-periode selanjutnya, maka
dilakukan suatu peramalan dengan proyeksi terhadap pajak daerah.