5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sabun Mandi Cair
1. Pengertian
Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium/kalium) dari
asam-asam lemak (Pudjaatmaka, 1992). Basa natrium biasa digunakan untuk
pembuatan sabun keras, sedangkan basa kalium sering digunakan untuk
pembuatan sabun lunak. Sifat sabun sangat tergantung pada panjang rantai asam
lemak asalnya. Sabun yang mengandung asam lemak antara C10-C12 mempunyai
kelarutan yang sangat besar dalam air, sehingga akan terjadi pemborosan dalam
pemakaiannya. Sedangkan untuk molekul yang lebih tinggi yaitu antara C16-C18
kurang larut dalam air (Murdjati,1980).
Sabun cair adalah sediaan berbentuk cair yang ditujukan untuk
membersihkan kulit, dibuat dari bahan dasar sabun yang ditambahkan surfaktan,
pengawet, penstabil busa, pewangi dan pewarna yang diperbolehkan, dan dapat
digunakan untuk mandi tanpa menimbulkan iritasi pada kulit (SNI, 1996). Sabun
cair memiliki bentuk yang menarik dan lebih praktis dibandingkan sabun padat
digunakan dalam rentang waktu yang lama dapat menyebabkan efek samping dan
iritasi kulit (Sharma et al., 2016).
1. Komponen utama dalam sediaan sabun mandi cair
1.1 Minyak atau lemak. Minyak atau lemak merupakan senyawa lipid
yang memiliki struktur berupa ester dari gliserol, pada proses pembuatan sabun
jenis minyak atau lemak yang digunakan adalah minyak nabati atau lemak
hewani. Perbedaan antara minyak dan lemak adalah wujud keduanya pada suhu
ruang. Minyak akan berwujud cair pada temperatur ruang (± 28°C), sedangkan
lemak akan berwujud padat.
Beberapa jenis minyak atau lemak yang biasa dipakai dalam proses
pembuatan sabun diantaranya :
1.1.1 Tallow. Tallow adalah lemak sapi atau domba yang dihasilkan oleh
industri pengolahan daging sebagai hasil samping. Tallow dengan kualitas baik
6
biasanya digunakan dalam pembuatan sabun mandi dan tallow dengan kualitas
rendah digunakan dalam pembuatan sabun cuci. Oleat dan sitrat adalah asam
lemak yang paling banyak terdapat dalam tallow. Jumlah asam lemak bebas dari
tallow berkisar antara 0,75-7,0 %.
1.1.2 Lard. Lard merupakan minyak babi yang masih banyak mengandung
asam lemak tak jenuh seperti oleat (60-65%) dan asam lemak jenuh seperti sitrat
(35-40%). Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi
parsial terlebih dahulu untuk mengurangi ketidakjenuhannya. Sabun yang
dihasilkan dari lard berwarna putih dan mudah berbusa.
1.1.3 Palm Oil (Minyak Kelapa Sawit). Minyak umumnya digunakan
sebagai pengganti tallow. Minyak sawit dapat diperoleh dari pemasakan buah
sawit. Minyak sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat
warna karotenoid sehingga jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan
sabun harus dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak
sawit akan bersifat keras dan sulit berbusa. Maka dari itu, jika akan digunakan
sebagai bahan baku pembuatan sabun, minyak sawit harus dicampur dengan
bahan lainnya. Kandungan asam lemaknya yaitu asam palmitat 42-44%, asam
oleat 35-40%, asam linoleat 10%, asam linolenat 0,3%, asam arakidonat 0,3%,
asam laurat 0,3%, dan asam miristat 0,5-1%.
1.1.4 Coconut Oil (Minyak Kelapa).Minyak kelapa merupakan minyak
nabati yang sering digunakan dalam industri pembuatan sabun. Minyak kelapa
berwarna kuning pucat dan diperoleh melalui ekstraksi daging buah yang
dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang
tinggi, terutama asam laurat sekitar 44-52%, sehingga minyak kelapa tahan
terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik. Minyak kelapa juga memiliki
kandungan asam lemak miristat 13-19%, asam palmitat 8-11%, asam kaprat 6-
10%, asam kaprilat 5-9%, asam oleat 5-8%, asam sitrat 1-3%, dan asam linoleat
2%.
1.1.5 Palm Kernel Oil (Minyak Inti Sawit). Minyak inti sawit diperoleh
dari biji buah sawit. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak yang
mirip dengan minyak kelapa sehingga dapat digunakan sebagai pengganti minyak
7
kelapa. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi
dan asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak kelapa. Kandungan
asam lemak yang terdapat pada palm kernel oil yaitu : asam laurat 40-52%, asam
miristat 14-18%, asam oleat 11-19%, asam palmitat 7-9%, asam kaprat 3-7%,
asam kaprilat 3-5%, asam sitrat 1-3%, dan asam linoleat 2%.
1.1.6 Palm Oil Stearine (Minyak Sawit Stearin). Minyak sawit stearin
adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi asam-asam lemak dari minyak sawit
dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan asam lemak terbesar dalam
minyak ini adalah asam palmitat 52-58% dan asam oleat 27-32%. Selain itu juga
terdapat asam linoleat 6,6-8,2%, asam sitrat 4,8-5,3%, asam miristat 1,2-1,3%,
asam laurat 0,1-0,4%.
1.1.7 Minyak Jagung. Minyak jagung diperoleh dari biji tanaman jagung
atau Zea mays L., yaitu pada bagian inti biji jagung (kernel) atau benih jagung
(corn germ). Tanaman jagung ini memiliki famili Poaceae dan genus Zea. Inti biji
jagung (benih jagung (corn germ)) ini memiliki kandungan minyak jagung
sebanyak 83% dengan kelembaban 14%. Kandungan asam lemak minyak jagung
yang paling banyak adalah asam linoleat (asam lemak tak jenuh / unsaturated
fatty acid) yaitu 35-60% dan asam oleat 20-50%. Minyak ini ditemukan pertama
kali di Meksiko Tengah pada 5000 SM. Minyak jagung merupakan trigliserida
yang disusun oleh gliserol dan asam-asam lemak. Persentase trigliserida sekitar
98,6%, sedangkan sisanya merupakan bahan non minyak, seperti abu, zat warna
atau lilin. Asam lemak yang menyusun minyak jagung terdiri dari asam lemak
jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Selain komponen-komponen di atas, minyak
jagung juga mengandung bahan yang tidak tersabunkan, yaitu: Sitosterol dalam
minyak jagung berkisar antara 0,91-18%. Jenis sterol yang terdapat dalam minyak
jagung adalah campesterol (8-12%), stigmasterol (0,7-1,4%), betasterol (86-90%)
dari sterol yang ada dan pada proses pemurnian, kadar sterol akan turun menjadi
11-12%. Lilin merupakan salah satu fraksi berupa kristal yang dapat dipisahkan
pada waktu pemurnian minyak menggunakan suhu rendah. Fraksi lilin terdiri dari
mirisil tetrakosanate dan mirisil isobehenate. Tokoferol yang paling penting
adalah alfa dan beta tokoferol yang jumlahnya sekitar 0,078%
8
1.2 Kalium Hidroksida (KOH). Alkali yang biasa digunakan dalam
pembuatan sabun yaitu NaOH dan KOH. NaOH digunakan dalam pembuatan
sabun padat sedangkan KOH digunakan dalam pembuatan sabun cair (Kurnia and
Hakim, 2015). KOH merupakan starting material yang digunakan dalam reaksi
saponifikasi sabun. KOH secara umum digunakan dalam formulasi sebagai
pengatur pH. KOH juga digunakan dalam berbagai macam sediaan yang
diaplikasikan secara topikal. KOH memiliki pemerian bentuk kristal kecil
berwarna putih dan mudah rapuh, KOH bersifat higroskopis dan mudah meleleh
(Kibbe, 2009).
1.3 Asam sitrat. Asam sitrat digunakan pada sediaaan oral maupun
topikal. Pada sediaan topikal, fungsi asam sitrat sebagai emulgator dan zat
penstabil. Dalam sediaan sabun cair, asam sitrat berperan dalam memberikan
konsistensi kekerasan pada sabun dan menstabilkan busa (Mitsui, 1997). Asam
sitrat memiliki pemerian berwarna putih atau agak kuning, sedikit mengkilap
dengan tekstur kristal padat atau bubuk.
Gambar 1. Struktur Asam sitrat (Allen, 2009)
1.4 Air. Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O. Satu
molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu
atom oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada
kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 0 °C. Zat
kimia ini merupaka pelarut yang penting, memiliki kemampuan untuk melarutkan
banyak zat kimia lainnya, seperti garam- garam, gula, asam, beberapa jenis gas
dan banyak macam molekul organik (Wenang, 2010). Air yang digunakan dalam
pembuatan sabun adalah air sulingan atau air minum kemasan. Air dari PAM
kurang baik digunakan karena banyak mengandung mineral (Wenang, 2010).
1.5 Zat Aditif. Zat aditif yang paling umum ditambahkan dalam
pembuatan sabun adalah parfum, pewarna, dan garam (NaCl). Parfum merupakan
bahan yang ditambahkan dalam suatu produk kosmetika khususnya untuk sabun
9
wajah dan sabun badan dengan tujuan menutupi bau yang tidak enak serta untuk
memberikan wangi yang menyenangkan terhadap pemakainya. Jumlah yang
ditambahkan tergantung selera, tetapi biasanya 0,05% hingga 2% untuk campuran
sabun. Pewarna digunakan untuk membuat produk lebih menarik (Utami, 2009).
NaCl merupakan komponen kunci dalam proses pembuatan sabun. Kandungan
NaCl pada produk akhir sangat kecil karena kandungan NaCl yang terlalu tinggi
di dalam sabun dapat memperkeras struktur sabun. NaCl yang digunakan
umumnya berbentuk air garam (brine) atau padatan (kristal). NaCl digunakan
untuk memisahkan produk sabun dan gliserin. Gliserin tidak mengalami
pengendapan dalam brine karena kelarutannya yang tinggi, sedangkan sabun akan
mengendap. NaCl harus bebas dari besi, kalsium, dan magnesium agar diperoleh
sabun yang berkualitas (Wenang, 2010).
1.6 Pewangi dan Pewarna. Parfum merupakan bahan yang ditambahkan
dalam suatu produk kosmetik dengan tujuan menutupi bau yang tidak enak dari
bahan lain dan untuk memberikan wangi yang menyegarkan pemakainya. Jumlah
parfum yang ditambahkan tergantung selera tetapi biasanya 0,05-2 % untuk
campuran sabun. Pewarna digunakan untuk membuat produk yang lebih menarik
(Utami, 2009).
1.7 Gliserin Monositrat (GMS). GMS merupakan bahan pengemulsi
alami yang terbentuk dari gliserol dan asam sitrat. GMS digunakan sebagai bahan
aditif dalam makanan, GMS juga digunakan dalam produk kosmetika dan
perawatan rambut. Penggunaan GMS dapat menghasilkan emulsi yang stabil
tanpa meninggalkan bekas licin atau berminyak. Bila bahan ini sulit dicari dapat
digantikan dengan CMC (CarboxyMethyl Celulose) (Utami, 2009).
1.8 Surfaktan. Bahan ini mempunyai kemampuan mengikat dan
mengangkat kotoran. Dari surfaktan inilah sabun dapat menghasilkan busa. Bahan
yang biasa digunakan adalah Emal TD, Emal 20 C, Texhapon, dan lain – lain
(Utami, 2009).
2. Proses Pembuatan Sabun Mandi Cair
Murdjati (1980) dalam Hanbibi (2004) menyatakan pembuatan sabun
secara umum digolongkan dalam tiga jenis reaksi yaitu :
10
3.1 Proses Pendidihan penuh (Full-boilled Process). Pada pembuatan
sabun dengan cara ini, lemak dan larutan alkali dicampur dan dipanaskan hingga
reaksi saponifikasi sempurna, jika dikerjakan dengan baik dapat menghasilkan
sabun yang tidak mengandung lemak yang tidak tersabunkan dan mengandung
kurang dari 0,1 % alkali bebas. Sabun yang mengendap dari hasil pendidihan
terdiri atas sabun sebesar 63-67 % dan air 33-37 %, selain itu dalam massa sabun
terdapat sedikit garam dan gliserol yang tidak lebih dari 0,5 %.
3.2 Proses Pendidihan Setengah Penuh (Semi-boilled Process).
Pembuatan sabun dengan cara ini, lemak dan larutan alkali direaksikan dengan
pemanasan. Sabun yang dihasilkan sudah dianggap baik jika kandungan alkali
bebasnya tidak lebih dari 0,3 %.
3.3 Proses Dingin (Cold Process). Pembuatan sabun dengan cara ini
lemak dan larutan alkali direaksikan hingga membentuk emulsi pada suhu kamar.
Sabun yang dihasilkan pada proses ini sama dengan sabun yang dihasilkan pada
proses setengah penuh, yaitu sudah dianggap baik apabila maksimal kandungan
alkali bebasnya sebesar 0,3 %. Thomssen dan McCutcheon (1949) menyatakan
pembuatan sabun cair sangat sederhana, hanya menggunakan bahan dasar asam
laurat dan larutan basa kalium, sering juga ditambahkan gliserol, alkohol, glukosa,
boraks dan bahan lainnya sebagai bahan aditif yang diperlukan untuk
membersihkan tubuh. Penggunaan larutan basa kalium pada pembuatan sabun cair
sangat diutamakan, hal ini berhubungan dengan sifat sabun yang dihasilkan. Bila
dibandingkan dengan sabun natrium,sabun kalium lebih bersifat lunak.
Tabel 1. Komposisi sabun cair yang diproses dengan cara dingin (Thomssen dan
McCutcheon, 1949)
Komposisi bahan Jumlah ( % )
Minyak zaitun 4,00
Minyak kelapa 20,00
KOH 56 % 10,10
Alkohol absolute 15,00
Aquadest 49,90
Parfum 1,00
Persyaratan sabun mandi cair yang aman antara lain memiliki wangi yang
segar dan natural, tidak terlalu menyengat, tidak terlalu wangi, belum kadaluarsa
11
dan juga tidak mendekati waktu kadaluarsa, serta mengeluarkan busa secara
natural. Syarat mutu pemerintah Ditjen P.O.M (1984) suatu sabun yang
berkualitas baik dari segi sifat fisik dan kimianya harus mematuhi persyaratan
yang telah ditentukan seperti yang tertera pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Syarat mutu sabun mandi
No Unsur pengujian Syarat mutu ( % )
1 Alkali bebas dihitung sebagai KOH 0,05
2 Asam lemak bebas 1,0
3 Kadar lemak tak tersabunkan 2,5 Sumber : Ditjen P.O.M 1984
B. Tanaman Kayu Secang
1. Sistematika Tanaman
Taksonomi tanaman kayu secang (Caesalpinia sappan L) diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Resales
Suku : Caesalpiniaceae
Marga : Caesalpinia
Spesies : Caesalpinia sappan L (Heyne,1987)
2. Nama Daerah
Secang memiliki nama daerah seperti seupeung (Aceh), sepang (Gayo),
sopang (Batak toba), kayu sema (Manado), cacang (Minangkabau), secang
(Sunda), kayu secang, soga jawa (jawa), kayu secang (Madura), cang (Bali),
supa, supang (Bima), sapang (Makasar), sepang (Bugis), sefen (Halmahera
selatan), sawala, sinyianga, singiang (Halmahera utara), sunyiha (Ternate), roro
(Tidore) (Heyne K,1987).
3. Keterangan botani tanaman secang
Tanaman secang merupakan tumbuhan yang biasa tumbuh di daerah tropis
dan biasa dijumpai sebagai tanaman pagar serta hidup pada ketinggian 500-1000
m diatas permukaan laut. Tanaman secang memiliki klasifikasi yaitu termasuk ke
12
dalam familia caesalpiniaceae, genus Caesalpinia L., dan dengan nama ilmiah
Caesalpinia sappan L. (Tjitrosoepomo, 1994).
4. Kegunaan
Tanaman secang biasa digunakan sebagai pewarna makanan, kosmetik, cat
dan memiliki potensi aksi farmakologi seperti proteksi hati, antikonvulsan,
antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, antivirus, antikomplementar, penghambat
xantin oksidase, penghambat aldosa reduktase dan proteksi otak (Zhao et al.,
2008). Thailand menggunakan kayu secang sebagai pewarna makanan, garmen
dan kosmetik, serta ditemukan bahwa ekstrak kayu secang memiliki aktivitas
antioksidan dan menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam menurunkan daya
hidup spermatozoa (Wetwitayaklung et al., 2005).
5. Kandungan kimia
Kayu secang memiliki kandungan senyawa berupa tanin, asam galat,
sterol, β-sitosterol, polifenol, brazilin (C16H14O5), protosappanin A,B,C,D dan E
brazilein, flavonoid, homoisoflavonoid, alkaloid, saponin (BPOM, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Wetwitayaklung et al., (2005). Komponen utama dari
ekstrak kayu secang telah diketahui yaitu dalam bentuk komponen fenolik, dan
terdiri dari 4 macan sub tipe struktur yaitu sub tipe brazilin, kalkon, protosapanin,
dan homoisoflavonoid.
Kayu secang yang telah diisolasi teridentifikasi sebagai 3-benzilkroman
yang merupakan turunan dari 3’-deoksi-4-O-metilepisapanol, dan dengan
komponen lainnya dalam kayu secang yaitu: protosapanin A, sapankalkon,
sapanon, asam palmitat, (+)-(8S,8’S)-bisdihidrosiringenin, brazilein, 3-
deoksisapankalkon, (+)-lioniresinol, 3-deoksisapanon B, protosapanin B,
isoprotosapanin B, 3'-O-metilbrazilin danbrazilin (Fu et al., 2008).
13
Gambar 2. Struktur brazilin, 3’-O-metilbrazilin dan brazilein (Fuet et al., 2008)
C. Staphylococcus aureus
1. Taksonomi
Staphylococcus aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob.Bakteri ini
tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada
suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai
kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. S. aureus
menghasilkan lebih dari 90% isolat klinik yang mempunyai kapsul polisakarida
atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 2008). Pada
lempeng agar, koloninya berbentuk bulat, diameter 1-2 mm, cembung, buram,
mengkilat dankonsistensinya lunak (Syahrurahman dkk., 2010). Klasifikasi S.
aureus adalah sebagai berikut:
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Ordo : Eubacteriales
Famili : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus. (Syahrurahman dkk., 2010).
2. Sifat dan karakteristik
S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter
0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah
anggur, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. S. aureus tidak membentuk
spora, maka S. aureus termasuk jenis bakteri yang paling kuat daya tahannya, pada
agar miring dapat tetap hidup sampai berbulan-bulan, baik dalam lemari es
14
maupun pada suhu kamar. S. aureus dalam keadaan kering pada benang, kertas,
kain dan dalam nanah dapat tetap hidup selama 6-14 minggu (Syahrurahman
dkk.,2010).
Gambar 3. S. aureus yang dilihat dari mikroskop elektron (Sumber Todar,2008).
3. Patogenesis infeksi S. aureus
S. aureus cenderung menghasilkan koagulase dan pigmen kuning bersifat
hemolitik dan meragikan manitol. S. aureus hidup pada folikel rambut
menimbulkan nekrosis jaringan. Infeksi stafilokok terlokalisasi tampak sebagai
jerawat, infeksi folikel rambut, atau abses. Biasanya terdapat suatu reaksi
inflamasi hebat, mengalami sapurasi sentral, dan dapat sembuh dengan cepat jika
pus didrainase. Infeksi S. aureus dapat juga akibat kontaminasi langsung suatu
luka, misalnya infeksi luka pasca bedah atau infeksi sesudah trauma
(osteomyelitis kronis setelah fraktur terbuka, meningitis sesudah fraktur tulang
tengkorak) (Jawezt et al., 2012).
D. Monografi Bahan
1. Minyak Zaitun
Minyak zaitun merupakan minyak yang sangat terkenal untuk perawatan
kulit. Minyak zaitun memiliki beberapa jenis seperti: extra virgin, pomace, pure,
extra light. Minyak zaitun dapat diserap kulit lebih baik dari minyak cair lainnya,
tidak membuat pori-pori tersumbat dan membuat kulit lebih kencang. Minyak
zaitun sebagai bahan pembuat sabun yang umum digunakan adalah dari jenis
pomace, karena harganya tidak begitu mahal. Minyak zaitun dapat digunakan
hingga 100 %.
15
2. Coconut Oil (Minyak Kelapa)
Minyak kelapa merupakan minyak nabati yang sering digunakan dalam
industri pembuatan sabun. Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh
melalui ekstraksi daging buah yang dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki
kandungan asam lemak jenuh yang tinggi, terutama asam laurat sekitar 44-52%,
sehingga minyak kelapa tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik.
Minyak kelapa juga memiliki kandungan asam lemak miristat 13-19%, asam
palmitat 8-11%, asam kaprat 6-10%, asam kaprilat 5-9%, asam oleat 5-8%, asam
sitrat 1-3%, dan asam linoleat 2%.
3. KOH
KOH merupakan senyawa basa kuat yang digunakan dalam proses
saponifikasi untuk membuat sabun cair. KOH akan terionisasi sempurna menjadi
OH- yang dapat mempengaruhi nilai pH secara signifikan.
4. Asam Sitrat
Asam sitrat dapat berupa kristal anhidrat yang bebas air atau berupa kristal
monohidrat yang mengandung satu molekul air untuk setiap molekulnya. Bentuk
anhidrat asam sitrat mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk monohidrat
didapatkan dari kristalisasi asam sitrat dalam air dingin, bentuk monohidrat Asam
sitrat dapat diubah menjadi bentuk, anhidrat dengan pemanasan pada suhu 70 –
75° C, jika dipanaskan diatas suhu 175°C akan terurai terdekomposisi) dengan
melepaskan karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).
5. Gliserin
Gliserin berfungsi sebagai humektan atau pelembab, gliserin banyak
digunakan pada produk kecantikan lainnya seperti moisturizer, cream, dan lotion.
Gliserin akan mempertahankan air terikat pada kulit dan tidak mudah menguap
karena cuaca panas.
6. BHT (Butil Hidroksi Toluena)
BHT merupakan zat antioksidan (anti oksidasi) yang ditambahkan pada
minyak atau lemak agar tidak menjadi tengik. Zat antioksidan itu merupakan zat
yang akan mencegah asam lemak tak jenuh yang terdapat pada minyak atau lemak
agar tidak teroksidasi oleh cahaya, udara, dan bakteri.
16
7. Air Suling
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O. Satu molekul air
tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom
oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi
standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 0 °C. Zat kimia ini
merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk
melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam- garam, gula, asam, beberapa
jenis gas dan banyak macam molekul organik. Air yang digunakan sebagai pelarut
dalam pembuatan sabun adalah air suling atau air minum kemasan. Air dari PAM
kurang baik digunakan karena banyak mengandung mineral.
E. Penyarian
Penyarian adalah penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak
dapat larut dengan pelarut yang berbentuk cair. Penyarian berlangsung dengan
perpindahan massa, dimana zat yang semula berada di dalam sel ditarik oleh
cairan penyari sehingga larutan penyari menjadi larutan zat yang diinginkan.
Proses penyarian akan bertambah baik apabila luas permukaan yang bersentuhan
dengan cairan penyari makin besar, sehingga dikatakan bahwa semakin kecil
ukuran serbuk simplisia maka semakin baik proses penyariannya, tetapi yang
menjadi pertimbangan yaitu apabila serbuk simplisia terlalu halus sehingga
mempersulit proses penyarian karena simplisia halus tadi akan membentuk
suspensi yang sulit dipisahkan dari ekstrak cair yang diperoleh (Ansel, 2008).
1. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan yang didasarkan pada
perpindahan massa komponen kimia yang terdapat dalam sampel bahan alam
kedalam pelarut. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut ke
dalam pelarutnya. Hasil ekstraksi ini disebut dengan ekstrak. Beberapa metode
ekstraksi senyawa organik bahan alam yang umum digunakan yaitu maserasi,
perkolasi, sokletasi dan lain-lain (Asriani, 2013). Beberapa metode ekstraksi
dengan menggunakan pelarut yaitu cara dingin dan cara panas. Cara dingin terdiri
dari dua metode yaitu meserasi dan perkolasi. Maserasi adalah proses penyarian
jaringan tumbuhan menggunakan pelarut dengan beberapa kali perendaman pada
17
temperatur kamar. Perendaman diakhiri setelah pelarut tidak berwarna atau jernih
sedangkan perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses
perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, perendaman dan perkolasi
sebenarnya secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat), untuk
menentukan akhir dari pada perkolasi dapat dilakukan pemeriksaan zat secara
kualitatif pada perkolat akhir.
Cara panas terdiri dari tiga metode yaitu refluks, digesti dan sokletasi.
Ekstraksi dengan cara refluks hampir sama dengan sokletasi. Bahan yang
direndam dengan pelarut dalam labu alas bulat kemudian dipanaskan sampai
mendidih. Uap dari sampel akan mengalir melalui konden dan ekstraksi ini
biasanya dilakukan sebanyak 3 kali selama 4 jam. Digesti adalah maserasi kinetik
(dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur
ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50° C. Sokletasi
adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang terus menerus dengan jumlah
pelarut yang relative konstan dengan adanya pendingin balik. (Firdaus, 2011).
2. Cairan penyari
Cairan penyari dalam pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik atau
optimal untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau aktif, sehingga senyawa
tersebut dapat terpisahkan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak
mengandung sebagian besar senyawa yang diinginkan (Depkes RI, 1986).
Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria murah dan mudah
diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap
dan tidak mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat yang dikehendaki,
tidak mempengaruhi zat yang dikehendaki, diperbolehkan oleh peraturan. Pada
prinsipnya cairan penyari harus memenuhi syarat kefarmasian dengan kelompok
spesifikasi pharmaceutical grade, sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut
yang diperbolehkan adalah air dan alkohol (etanol) serta campurannya. Etanol
96% adalah campuran dua bahan pelarut yaitu etanol dan air dengan kadar etanol
96% (v/v). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan pada membran sel dan
18
memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah sifatnya
yang mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim.
F. Sifat Kimia dan Fisika Sabun Mandi cair
1. Analisis Asam Lemak Bebas
Analisis asam lemak bebas ditentukan untuk mengetahui asam lemak
bebas yang terkandung dalam produk sabun yang terbentuk. Asam lemak tersebut
merupakan asam yang tidak terikat sebagai ester. Kadar asam lemak bebas yang
tinggi akan menyebabkan bau sabun tidak enak akibat oksidasi, warna sabun tidak
menarik,dan memperpendek masa simpan sabun (Ketaren, 1986).
2. Analisis Kadar Alkali Bebas
Analisis alkali bebas dilakukan untuk mengetahui jumlah alkali yang
terdapat dalam sabun. Kadar alkali yang berlebih akan mengakibatkan
kenampakan sabun tidak baik karena timbul bercak-bercak putih, dan terhadap
pengguna dapat menyebabkan rangsangan perih dan gatal dikulit. Adanya alkali
bebas dapat diketahui dengan penambahan indikator Phenolftalein (PP) yang akan
memberikan warna merah pada sabun yang mengandung alkali bebas (Haryati,
1980).
3. Analisis Lemak Tak Tersabunkan
Analisis lemak tak tersabunkan dilakukan untuk mengetahui jumlah lemak
yang tidak terhidrolisis oleh basa. Kandungan lemak yang tidak tersabunkan yang
tinggi dalam sabun akan menyebabkan sabun yang terbentuk berminyak, kurang
berbusa, dan memperpendek masa simpan sabun.
4. Tinggi Permukaan Busa
Uji tinggi permukaan busa dilakukan untuk melihat penampakan fisik
sabun. Sabun yang menghasilkan banyak busa masih menjadi tolok ukur
konsumen untuk menilai kualitas sabun tetapi tidak selalu sabun yang berkualitas
baik menghasilkan busa yang banyak.
19
5. Kekentalan Sabun
Sabun dengan kekentalan yang lebih akan memberikan kenampakan sabun
yang lebih baik. Selain itu dalam penggunaanya akan lebih irit dibanding jika
sabun tersebut terlalu encer.
G. Parameter Yang Digunakan Dalam Uji Kestabilan Fisik
1. Uji Organoleptik
Uji penampilan dilakukan dengan melihat secara langsung warna, bentuk,
dan bau sabun cair yang terbentuk (Depkes RI, 1995). Menurut SNI, standar
sabun cair yang ideal yaitu memiliki bentuk cair, serta bau dan warna yang khas
(SNI, 1996).
2. Uji Viskositas
Sampel yang diuji ditempatkan dalam wadah penampung bahan, wadah
diatur ketinggiannya sehingga rotor dapat bergerak. Dicari rotor yang sesuai
dengan tingkat kekentalan pada sampel, yaitu rotor no 1:0,3-15 P (Poise), rotor no
2:3-150 P (Poise), dan rotor no 3:100-4000 P (Poise). Kemudian rotor
ditempatkan pada penggantung dan diatur sehingga diperoleh nilai viskositas pada
sampel. Pengukuran viskositas dilakukan sebanyak tiga kali replikasi (SNI, 1996).
3. Uji pH
Pemeriksaan pH diawali dengan kalibrasi alat pH meter menggunakan
larutan dapar pH 7 dan pH 4. Satu gram sediaan yang akan diperiksa diencerkan
dengan air suling hingga 10 mL. Diambil sedikit sediaan dan ditempatklan pada
tempat sampel pH meter, kemudian ditunggu hingga indikator pH meter stabil dan
menunjukkan nilai pH yang konstan. Pemeriksaan pH dilakukan sebanyak tiga
kali replikasi (SNI,1996).
4. Uji Alkali Bebas
Sebanyak 5 gram sabun mandi cair ditimbang dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 250 mL kemudian ditambahkan 100 mL alkohol 96% teknis dan
beberapa larutan indikator phenolptalein. Dipanaskan diatas penangas air
memakai pendingin tegak selama 30 menit mendidih. Bila larutan berwarna
merah, kemudian dititer dengan larutan HCl 0,1N dalam alkohol sampai warna
merah tepat hilang (SNI,1996).
20
Kadar alkali bebas = ,
× 100%
Keterangan :
V = Volume HCl yang digunakan untuk titrasi (mL)
N = Normalitas HCl
W = Bobot sabun cair (g)
56,1 = Bobot setara KOH
5. Uji iritasi sabun Mandi cair
Uji iritasi terhadap kulit kelinci, uji iritasi dilakukan dengan cara uji
tempel terbuka (patch test). Uji dilakukan selama 3 hari berturut- turut sebanyak 2
kali (pagi dan sore hari) (Wasitaatmadja,1997).
H. Simplex Lattice Design
Optimasi merupakan suatu metode atau desain eksperimental yang
bertujuan untuk memperoleh interpretasi data secara matematis serta
memudahkan dalam proses penyusunannya (Armstrong, 2006). Model Simplex
Lattice Design merupakan salah satu metode yang sederhana yang
dapatdigunakan untuk mengoptimasi suatu formula dengan berbagai komposisi
bahan yang berbeda.
Metode ini biasa digunakan untuk mengoptimasi campuran dalam bahan
sediaan padat, semi padat, atau untuk mengoptimasi pelarut baik pada campuran
biner atau lebih. Suatu formula merupakan campuran yang terdiri dari beberapa
komponen. Setiap perubahan fraksi dari salah satu komponen dari campuran akan
mengubah sedikitnya satu variabel atau bahkan lebih fraksi komponen lain. Jika A
adalah fraksi dari komponen 1 dalam campuran fraksi, maka:
0≤A≤1 i= 1,2,……..,q
Gambar 4.Simplex Lattice Design Model Linear (Armstrong, 2006).
21
Area yang menyatakan semua kemungkinan kombinasi dari komponen-
komponen dapat dinyatakan oleh interior dan garis batas dari suatu gambardengan
q tiap sudut dan q-1 dimensi.Semua fraksi dari kombinasi 2 campuran dapat
dinyatakan sebagai garis lurus, jika ada 2 komponen (q=2), maka akan dinyatakan
sebagai 1 dimensi yang merupakan gambar garis lurus seperti terlihat pada
Gambar 4, titik A menyatakan suatu formula yang hanya mengandung komponen
A, titik B menyatakan suatu formula yang hanya mengandung komponen B,
sedangkan garis AB menyatakan semua kemungkinan campuran A dan B. Titik C
menyatakan campuran 0,5 komponen A dan 0,5 komponen B (Armstrong, 2006).
Hubungan fungsional antara respon (variabel tergantung) dengan
komposisi (variabel bebas) dinyatakan dengan persamaan :
Y=β1A + β2B + β1.2AB ....................................................................................... (1)
Keterangan:
Y : respon
A dan B : fraksi dari tiap komponen
β1 dan β2 : koefisien regresi dari A,B
β1.2 : koefisien regresi dari interaksi A-B
Koefisien diketahui dari perhitungan regresi dan Y adalah respon yang
diinginkan. Nilai A ditentukan, maka B dapat dihitung. Semua nilai dapat,
dimasukkan ke dalam garis maka akan didapatkan contour plot yang diinginkan,
dalam menentukan formula optimum perlu diperhatikan sifat fisik formula yang
dihasilkan (Armstrong, 2006).
Penentuan formula optimum didapatkan dari respon total yang paling
besar, respon total dapat dihitung dengan rumus, yaitu :
R total = R1 + R2 + R3 +Rn + ............................................................................. .(2)
R1,2,3,n adalah respon masing-masing sifat fisik formula.
Persamaan (2) diatas diperoleh respon total dan formula yang optimum, maka
dilakukan verifikasi pada tiap formula yang memiliki respon paling optimum pada
setiap uji sifat fisik formula (Armstrong, 2006). Ada beberapa model pada simplex
lattice design yaitu linear, quadratic dan special cubic (Bolton and Bon, 2004).
22
Linear model:
Y= β1X1+ β2X2+ β3X3 ............................................................................................................. (1)
quadratic model:
Y= β1X1+ β2X2+ β3X3+ β12X1X2+ β13X1X3+ β23X2X3....................................................... (2)
Special Cubic:
Y= β1X1+ β2X2+ β3X3+ β12X1X2+ β13X1X3+ β23X2X3+ β123X1X2X3. ............................. (3)
Keterangan :
X1X2X3 = fraksi campuran komponen
Β123 = koefisien regresi (dihitung bedasarkan respon percobaan)
Optimasi model dalam simplex lettice design jumlah sesungguhnya suatu
komponen dalam campuran diterjemahkan sebagai proporsi yang merupakan
seluruh proporsi dari semua komponen adalah 1. Jika X1, X2........ X4 adalah
proporsi komponen 1,2.............q,
maka,
0≤ Xi ≤ 1 ................................................................................................................ (4)
X1 + X2 + X4 +... = 1 ................................................................................................................ (5)
Dimana X = nilai fraksi komponen
Tiga komponen (q = 3) yaitu A. B dan C maka digambarkan dalam bentuk
dua dimensi berupa segitiga sama sisi (model special cubic) dengan tiga sudut
seperti terlihat pada gambar 5.
Gambar 5. Simplex lattice design model special cubic untuk 3 faktor (Mandlik, et
al.,2012).
I. Uji Aktivitas Antibakteri 1.
Metode difusi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
1. Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer)
Menentukan aktivitas agen mikroba pada metode disc diffusion dengan
cara cakram kertas yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang
23
telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
agen antimikroba pada permukaan media agar.
2. E-test
Metode E-test digunakan untuk menentukan MIC (Minimum Inhibitory
Concentratio), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip
plastic yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi
dan diletakkan pada permukiaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme.
Pengamatan pada area jernih yang ditimbulkan menunjukan kadar agen
antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.
3. Ditch-Plate Technique
Sampel uji pada metode ditch-plate technique berupa agen antimikroba
yang diletakkan pada cawan petri yang berisi medium yang dibuat dengan cara
memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur
dan antimikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan kearah pinggir cawan petri
yang berisi agen antimikroba.
4. Cup-plate Technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumuran
pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumuran
tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.
J. Landasan Teori
Alkali yang biasa digunakan dalam pembuatan sabun yaitu NaOH dan
KOH. KOH digunakan dalam pembuatan sabun cair (Kurnia and Hakim, 2015).
Asam sitrat sebagai emulgator dan zat penstabil, dalam sediaan sabun cair, asam
sitrat berperan dalam memberikan konsistensi kekerasan pada sabun dan
menstabilkan busa (Mitsui, 1997)..
Ekstrak etanol kayu secang yang dibuat baru mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap bakteri S. aureus dan Shigella dysentriae dengan nilai KBM
0,125% b/v dan 0,25% b/v ( Diansari, 2009 ).
24
Analisis asam lemak bebas ditentukan untuk mengetahui asam lemak
bebas yang terkandung dalam produk sabun yang terbentuk.Asam lemak tersebut
merupakan asam yang tidak terikat sebagai ester. Kadar asam lemak bebas yang
tiggi akan menyebabkan bau sabun tidak enak akibat oksidasi, warna sabun tidak
menarik,dan memperpendek masa simpan sabun (Ketaren, 1986).
Komposisi optimum diperoleh dengan melakukan optimasi formula
menggunakan software design expert dengan metode Simplex Lattice Design,
untuk mengetahui pengaruh konsentrasi kombinasi KOH dengan asam sitrat.
Optimasi yang dilakukan secara trial and error menghabiskan waktu, tenaga dan
bahan yang banyak, maka optimasi dengan metode Simplex Lattice Design perlu
dilakukan untuk menyelesaikan masalah (Bolton and Bon, 2004).
Menurut Haryati (1980), analisis alkali bebas dilakukan untuk
mengetahui jumlah alkali yang terdapat dalam sabun. Kadar alkali yang
berlebih akan mengakibatkan kenampakan sabun tidak baik karena timbul
bercak-bercak putih, dan terhadap pengguna dapat menyebabkan rangsangan
perih dan gatal dikulit.Adanya alkali bebas dapat diketahui dengan
penambahan indikator Phenolftalein (PP) yang akan memberikan warna merah
pada sabun yang mengandung alkali bebas.
Sabun cair memiliki bentuk yang menarik dan lebih praktis dibandingkan
sabun padat digunakan dalam rentang waktu yang lama dapat menyebabkan efek
samping dan iritasi kulit (Sharma et al., 2016).
25
K. Hipotesis
Berdasarkan permasalah yang ada dapat disusun suatu hipotesis dalam
penelitian ini yaitu :
1. Sifat fisik sabun mandi cair ekstrak etanol kayu secang (Caesalpinia sappan
L.) dipengaruhi oleh kombinasi KOH, asam sitrat, dan asam stearat.
2. Didapat formula optimum sabun mandi cair ekstrak etanol kayu secang
(Caesalpinia sappan L.) dengan konsentrasi kombinasi KOH, asam stearat
dan asam sitrat pada sabun mandi cair ekstrak etanol kayu secang
(Caesalpinia sappan L.)
3. Formula optimum sabun mandi cair ekstrak etanol kayu secang (Caesalpinia
sappan L.) memiliki aktivitas antibakteri S. aureus ATCC25923.
4. Formula optimum sediaan sabun mandi cair ekstrak etanol kayu secang
(Caesalpinia sappan L.) tidak mengiritasi kulit.
26