12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Strategi Coping
1. Pengertian Strategi Coping
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), coping adalah suatu proses
di mana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara
tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan individu dalam
memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan menurut Taylor (2006), coping
didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan individu untuk
mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan.
Chaplin (2004), menambahkan perilaku coping diartikan sebagai tingkah
laku di mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya
dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah. Tingkah laku coping
merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun
pikirin-pikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-
tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan.
Adapun Folkman dan Lazarus (Ekasari, 2015), lebih lanjut
mendefinisikan bahwa strategi coping sebagai upaya kognitif dan perilaku
seseorang yang ditujukan untuk mengelola tuntutan eksternal atau internal
khusus yang dirasa berat atau melebihi sumber daya yang dimiliki. King
(2010), mengemukakan bahwa strategi coping merupakan upaya
mengelola keadaan dan mendorong usaha untuk menyelesaikan
13
permasalahan kehidupan seseorang, dan mencari cara untuk menguasai
dan mengatasi tekanan atau stres. Menurut Mu’tadin (2002), strategi
coping adalah suatu proses di mana individu berusaha untuk menangani
dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang
sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun
perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Aldwin dan
Revenson (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), juga menjelaskan bahwa
strategi coping merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan oleh
tiap individu untuk mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah
yang dialami dan dipandang sebagai hambatan, tantangan yang bersifat
menyakitkan, serta yang merupakan ancaman yang bersifat merugikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa strategi
coping merupakan suatu usaha, respon atau cara individu dalam
menghadapi, mengelola, mengatasi situasi yang menekan dan mengancam
yang datang dari dalam maupun dari luar diri individu, yang digunakan
untuk mengatur ketidaksesuaian atau kesenjangan antara tuntutan situasi
yang menekan dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan
tersebut.
2. Bentuk-bentuk Srategi Coping
Lazarus dan Folkman (Rahmania, dkk., 2016), memaparkan
terdapat dua bentuk strategi coping yang biasanya digunakan oleh
individu, yaitu coping yang berfokus pada permasalahan (problem focused
coping) dan coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping).
14
Bila individu merasa mampu menghadapi dan mengatasi situasi, maka
kecenderungannya menggunakan problem focused coping, yaitu
penyelesaian pada pokok permasalahan. Sedangkan bila individu merasa
tidak mampu mengatasi masalah maka kecenderungannya menggunakan
emotion focused coping, yaitu untuk mengatur respon emosi terhadap
tekanan atau stres.
Lebih lanjut Lazarus dan Folkman (Wardani, 2009), menjelaskan
kedua bentuk strategi coping tersebut, sebagai berikut:
a. Problem Focused Coping (PFC)
Adalah strategi yang digunakan untuk mengatasi situasi yang
menimbulkan stres. Atau dengan kata lain problem focused coping
adalah strategi dengan cara menyelesaikan masalah yang dihadapi,
sehingga individu segera terbebas dari masalahnya tersebut. Lazarus
dan Folkman (Wardani, 2009), mengemukakan bentuk strategi coping
dari problem focused coping memiliki beberapa indikator, antara lain:
1) Countiousness (kehati-hatian), individu berpikir dan
mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang
tersedia, meminta pendapat orang lain, berhati-hati dalam
memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah
dilakukan sebelumnya.
2) Instrumental action, tindakan individu yang diarahkan pada
penyelesaian masalah secara langsung, serta menyusun langkah
yang akan dilakukannya.
15
3) Negotiation (negosiasi), merupakan beberapa usaha oleh seseorang
yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan
penyebab masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah.
Carver (Hanoum, 2014), menyatakan bahwa bentuk problem
focused coping meliputi beberapa indikator, yaitu:
1) Perilaku aktif, perilaku individu untuk mengatasi masalah dengan
melakukan suatu kegiatan yang aktif, yang bertujuan memindahkan
atau menghilangkan sumber tekanan atau stres dan mengurangi
akibatnya.
2) Perencanaan, individu melakukan strategi perencanaan guna
menyelesaikan masalah yaitu memikirkan bagaimana cara untuk
mengatasi masalah, termaksud memikirkan suatu strategi untuk
bertindak, langkah-langkah apa yang harus diambil, dan bagaimana
cara paling baik untuk mengatasi masalah.
3) Penekanan kegiatan lain, individu membatasi aktivitas diri yang
tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi atau
berusaha untuk menghindari agar tidak terganggu oleh peristiwa
lain, bahkan mengesampingkan hal-hal lain agar perhatian individu
sepenuhnya tercurah untuk mengatasi masalah.
4) Penundaan perilaku, individu berlatih untuk mengontrol atau
mengendalikan tindakan yang bersifat langsung dengan cara
menahan diri (tidak terburu-buru dalam mengambil tindakan)
16
sampai menemukan waktu yang tepat untuk bertindak mengatasi
masalah.
5) Mencari dukungan sosial berupa bantuan, usaha individu mencari
informasi dengan bertanya pada orang lain yang memiliki
pengalaman serupa dan mendiskusikan masalah dengan orang ahli
yang berkompeten terhadap persoalan yang dihadapi.
b. Emotion Focused Coping (EFC)
Adalah strategi coping untuk mengatasi emosi negatif yang
menyertainya. Strategi ini untuk meredakan emosi individu yang
ditimbulkan oleh stressor (sumber stres), tanpa berusaha untuk
mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung.
Lazarus dan Folkman (Wardani, 2009), mengemukakan bentuk strategi
coping dari emotion focused coping terdiri atas beberapa indikator, di
antaranya:
1) Escapism (menghindar), perilaku menghindari masalah dengan
cara membayangkan seandainya berada dalam suatu situasi lain
yang lebih menyenangkan, menghindari masalah dengan makan
ataupun tidur, bisa juga dengan merokok ataupun meneguk
minuman keras.
2) Minimization (pengabaian), tindakan menghindari masalah dengan
menganggap seakan-akan masalah yang tengah dihadapi itu jauh
lebih ringan daripada yang sebenarnya.
17
3) Self blame (menyalahkan diri), merupakan strategi yang bersifat
pasif yang lebih diarahkan ke dalam, daripada usaha untuk keluar
dari masalah.
4) Seeking meaning (berdoa), suatu proses di mana individu mencari
arti kegagalan yang dialami bagi dirinya sendiri dan mencoba
mencari segi-segi yang menurutnya penting dalam hidupnya.
Dalam hal ini individu coba mencari hikmah atau pelajaran yang
bisa dipetik dari masalah yang telah dan sedang dihadapinya.
Carver (Hanoum, 2014), juga menjabarkan strategi coping dari
bentuk emotion focused coping terdiri atas beberapa indikator, yaitu:
1) Mencari dukungan secara emosional, di mana individu berbagi
perasaan dengan seseorang yang berarti baginya seperti keluarga
dan teman melalui dukungan moral, simpati atau pengertian.
2) Mencari makna positif, di mana individu berusaha mencari hikmah
atau makna positif dari setiap kejadian yang dialaminya dengan
terfokus pada pengembangan diri atau biasanya melibatkan hal-hal
yang bersifat religius.
3) Pengingkaran, di mana individu menolak kenyataan sedang
mengalami masalah dengan cara mengingkari dan melupakan
kejadian atau masalah yang dialaminya seakan tidak terjadi apa-
apa atau seakan-akan sedang tidak mempunyai masalah.
4) Penerimaan, di mana individu belajar menerima keadaan dan
pasrah atas apa yang menimpanya karena individu menganggap
18
sudah tidak ada yang dapat dilakukan lagi untuk merubah keadaan
serta membuat suasana lebih baik.
5) Kembali kepada agama, di mana individu memilih untuk
menenangkan batin spiritualnya dengan kembali menekuni
agamanya, menenangkan dan menyelesaikan masalahnya secara
agama seperi berdoa, memperbanyak ibadah untuk meminta
bantuan kepada Tuhan.
Berdasarkan penjelasan dari dua ahli Lazarus dan Folkman
(Wardani, 2009), dan Carver (Hanoum, 2014) tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa strategi coping terbagi atas dua bentuk, yaitu: coping
yang berfokus pada masalah (problem focused coping) di mana individu
melakukan suatu usaha dalam menghadapi dan mengatasi berbagai
masalah dengan berusaha semaksimal mungkin mengoptimalkan
kemampuan dan potensi diri seperti keaktifan dalam merencanakan,
mencari, mengumpulkan, mempertimbangkan dan memilih solusi-solusi
yang dapat dijadikan alternatif yang berguna untuk penyelesaian masalah;
dan coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) di mana
individu kemudian mengoptimalkan peran lingkungan dengan mencari
dukungan yang bersifat intrumental dan dukungan sosial yang bersifat
emosional, serta usaha yang bersifat religius agar individu dapat
mengalihkan perhatiannya dari kondisi atau situasi yang menekan. Dalam
hal ini peneliti memilih menggunakan bentuk strategi coping menurut ahli
Carver (Hanoum, 2014), karena bentuk strategi coping ini lebih lengkap
19
untuk mengungkap gambaran strategi coping pada penyandang tunanetra
yang bekerja.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping
Menurut Mu’tadin (2002), cara individu menangani situasi yang
mengandung tekanan (strategi coping) dipengaruhi oleh sumber daya
individu, meliputi:
a. Kesehatan Fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam
usaha mengatasi tekanan atau stres individu dituntut untuk
mengerahkan tenaga yang cukup besar.
b. Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber psikologis yang sangat penting dalam
mengatasi masalah. Seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus
of control) yang mengerahkan individu pada penilaian
ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan
kemampuan strategi coping pada tipe problem focused coping.
c. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan
menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
alternatif tersebut dengan baik untuk mengantisipasi kemungkinan
yang terburuk, memilih sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai,
20
dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu
tindakan yang tepat.
d. Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan individu untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
e. Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi
dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua,
anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat
sekitarnya.
f. Dukungan materi
Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang
penunjang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
Lebih lanjut Folkman dan Lazarus (Pramadi & Lasmono, 2003),
menjelaskan bahwa cara individu dalam menghadapi masalah (strategi
coping) juga dipengaruhi oleh faktor individual dan konteks lingkungan, di
mana situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan
stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atau ancaman.
Faktor-faktor tersebut di antaranya:
21
a. Faktor individual
1) Perkembangan usia
Primadi dan Lasmono (2003), menyebutkan bahwa
perkembangan usialah yang menyebabkan perbedaan dalam
pemilihan strategi coping, yaitu sejumlah struktur psikologis
seseorang dan sumber-sumber untuk melakukan coping akan
berubah menurut perkembangan usia dan akan membedakan
seseorang dalam merespon tekanan.
2) Tingkat pendidikan
Menurut Primadi dan Lasmono (2003), seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki pola pikir
berani dalam mengambil sikap untuk mengatasi masalah dan
tidak menunda-nunda karena kemungkinan masalah tersebut
akan bertambah membebani pikiran. Dapat diartikan juga,
bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan
cenderung untuk menggunakan problem focused coping dalam
menyelesaikan masalahnya.
3) Jenis kelamin
Menurut Seiffge (Wangmuba, 2009), bahwa gadis Jerman dan
Israel dalam melakukan coping cenderung untuk mencari
dukungan sosial dibandingkan laki-laki, gadis Jerman yang
paling condong untuk menarik diri sebagai pelaku untuk
bertahan. Selain itu hasil penelitian Nursasi dan Fitriyani
22
(2003), juga menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin
menunjukkan perbedaan pula dalam pemilihan strategi coping,
yaitu wanita lanjut usia dan jenis coping yang berfokus pada
emosional juga kurang diminati oleh pria lanjut usia.
4) Kepribadian
Menurut Tarnumidjojo (2004), seseorang dengan kepribadian
yang puas dengan diri sendiri, mudah dituntun, namun
memiliki ego yang lemah atau seseorang yang memiliki ego
yang cukup kuat, namun cenderung menghindar dari tekanan,
cenderung menggunakan emotional focused coping.
5) Kematangan emosional
Berdasarkan hasil penelitian Hasan (2005), dapat diketahui
bahwa terdapat pengaruh kematangan emosional terhadap
pemilihan strategi coping pada remaja. Individu dengan tingkat
emosi matang cenderung memilih strategi coping yang
beriorentasi pada pemecahan masalah (direct action), dan
sebaliknya individu yang emosinya kurang matang cenderung
memilih strategi coping yang berorientasi meredakan
ketegangan (palliation).
6) Status sosial ekonomi
Menurut Billings dan Moos (Mu’tadin, 2002), seseorang
dengan status sosial ekonomi yang rendah akan menampilkan
bentuk coping yang kurang aktif, kurang realistis dan lebih
23
fatal untuk menampilkan respon menolak, dibandingkan
dengan seseorang dengan status ekonomi yang lebih tinggi.
7) Kesehatan mental
Individu yang memiliki kesehatan mental yang buruk,
umumnya kurang efektif dalam memilih strategi menghadapi
tekanan. Fakta ini diperkuat dengan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa orang depresi mempunyai coping
menghadapi tekanan yang berbeda dengan non depresi
(Hapsari, 2002).
8) Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan memecahkan masalah meliputi kemampuan
untuk mencari informasi, menganalisis situasi,
mengindetifikasi masalah dengan tujuan menghasilkan
alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif
tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai dan pada
akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu
tindakan yang tepat (Mu’tadin, 2002).
b. Konteks lingkungan
1) Kondisi penyebab stress (tingkat masalah)
Hasil penelitian Tanumidjojo (2004), menunjukkan
bahwa penggunaan emotional focused coping akan lebih
banyak digunakan atau sesuai untuk mengatasi stres yang
diakibatkan kondisi-kondisi yang tidak dapat diubah atau yang
24
sudah menemui jalan buntu atau kondisi diluar kekuatan
individu yang mampu menimbulkan trauma.
2) Sistem budaya
Berdasarkan penelitian Pramadi dan Lasmono (2003), dapat
diketahui bahwa identitas sosial yang meliputi nilai, minat,
peraturan sosial, sistem agama, dan sistem tingkah laku
mempengaruhi bentuk coping yang ditampilkan, seperti pada
budaya Bali, masyarakat Bali yang terikat dengan sistem adat
dan berkaitan dengan keagamaan Hindu yang sangat kuat,
menjadikan orang Bali cenderung introvert tetapi terbuka akan
informasi dari luar dan lebih menimbulkan problem focused
coping.
3) Dukungan sosial
Menurut Taylor (2006), strategi coping akan lebih efektif
dalam menghadapi konflik apapun bila mendapat dukungan
dari saudara, orangtua, teman, tenaga professional yang akan
lebih mempermudah individu tersebut melakukan coping yang
tepat dalam menghadapi dan memecahkan masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan strategi coping
meliputi: kesehatan fisik, karena individu akan mengerahkan tenaga yang
cukup besar dalam mangatasi berbagai tekanan yang dihadapkan
kepadanya; keyakinan atau pandangan positif, karena menjadi sumber
25
psikologis bagi individu menilai kemampuannya dalam mengatasi
masalah; keterampilan memecahkan masalah, karena mempengaruhi
individu dalam menghasilkan alternatif tindakan yang sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai; keterampilan sosial, karena individu
membutuhkan orang lain untuk menjalin hubungan dan komunikasi yang
baik; dukungan sosial, karena mempengaruhi individu secara emosional
dalam mengatasi berbagai tekanan atau masalah, dan dukungan material,
karena akan mempermudah individu dalam memenuhi tuntutan kebutuhan
hidup sehari-hari terutama kebutuhan ekonomi. Selain itu juga karena
dipengaruhi oleh faktor internal (faktor individual) meliputi perkembangan
usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, kepribadian, kematangan
emosional, status sosial ekonomi, kesehatan mental, keterampilan
memecahkan masalah; dan dipengaruhi oleh faktor ekternal (konteks
lingkungan) meliputi tingkat masalah yang dihadapi, sistem budaya dan
dukungan sosial.
B. Tunanetra yang Bekerja
1. Pengertian Tunanetra yang Bekerja
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdiknas, 2008), adalah tidak dapat melihat atau buta. Sementara
menurut Aziz (2015), tunanetra tidak saja identik dengan buta, karena
tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Seseorang
yang mengalami gangguan penglihatan secara umum adalah individu yang
rusak penglihatannya walaupun sudah dibantu dengan perbaikan, namun
26
masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi diri individu itu sendiri.
Pengertian ini mencakup seseorang yang masih memiliki sisa penglihatan
dan yang buta. Senada dengan Somantri (2006), yang menjelaskan bahwa
pengertian tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-
duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam
kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Tunanetra tidak saja yang
buta, tetapi mencakup juga seseorang yang mampu melihat tetapi terbatas
sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk untuk kepentingan hidup
sehari-hari. Jadi, seseorang dengan kondisi penglihatan yang termasuk
“setengah melihat”, “low vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok
tunanetra.
Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) lebih lanjut
menguraikan, bahwa tunanetra adalah seseorang yang tidak memiliki
penglihatan sama sekali (buta total), hingga yang masih memiliki sisa
penglihatan tetapi tidak mampu untuk membaca tulisan biasa berukuran 12
point (ukuran huruf standar pada komputer) dalam keadaan cahaya normal
meskipun di bantu dengan kacamata (kurang awas). Hal ini berarti bahwa
seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai penglihatan sama sekali,
meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan gelap. Orang
dengan kondisi penglihatan seperti ini dikatakan sebagai buta total. Selain
itu, terdapat pula seorang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa
penglihatan, sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa
penglihatannya untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termaksud
27
untuk membaca tulisan besar (lebih besar dari 12 point) setelah di bantu
dengan kacamata. Orang dengan kondisi seperti ini disebut sebagai orang
kurang awas atau lebih dikenal dengan sebutan low vision (Aziz, 2015).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
tunanetra adalah seseorang yang mengalami kondisi di mana tidak
berfungsinya indera penglihatan secara normal atau terjadi kerusakan atau
gangguan pada daya penglihatan berupa kebutaan menyeluruh atau
sebagian, yang mana hal tersebut dimungkinkan menghambat individu
dalam menerima informasi dan melakukan tugas atau aktivitas sehari-hari.
Adapun tunanetra yang diteliti adalah tunanetra yang bekerja.
Bekerja adalah suatu bentuk aktivitas yang melibatkan kesadaran individu
untuk mencapai hasil yang sesuai dengan harapannya. Menurut Brown
(Puspitasari & Asyanti, 2011), bekerja sesungguhnya merupakan bagian
penting bagi kehidupan setiap orang, sebab bekerja merupakan aspek
kehidupan yang memberikan status kepada masyarakat. Menurut Streers
dan Porter (Wahyuni, 2011), terdapat empat alasan yang menyebabkan
seseorang bekerja, yaitu pertama karena bekerja merupakan sarana bagi
manusia untuk saling bertukar ide atau gagasan, yang kedua karena
bekerja secara umum memenuhi beberapa fungsi sosial antara lain tempat
bekerja memberikan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru
dan membina persahabatan. Alasan ketiga adalah dengan bekerja
seseorang mendapatkan status atau kedudukan dalam masyarakat. Serta
alasan yang terakhir dengan bekerja seseorang mendapatkan identitas,
28
harga diri, dan aktualisasi diri. Seorang tunanetra yang bekerja bukanlah
orang yang tidak tahu diri dengan keterbatasannya tetapi karena tunanetra
berusaha untuk mencari solusi untuk pemecahan masalah-masalah dalam
hidupnya terutama masalah ekonomi.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa pengertian tunanetra
yang bekerja adalah seorang individu yang mengalami keterbatasan
penglihatan (tunanetra) baik secara menyeluruh ataupun sebagian, yang
menjalani aktivitasnya sehari-hari dengan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya terutama kebutuhan ekonomi dan untuk memberikan
status kepada masyarakat.
2. Klasifikasi Tunanetra
Menurut Somantri (2006), pada umumnya yang digunakan sebagai
patokan apakah seseorang termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan
tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat
digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu
ditegaskan bahwa seseorang dikatakan tunanetra bila ketajaman
penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes
hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas
dapat dibaca pada jarak 21 meter.
Berdasarkan acuan tersebut, tunanetra dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu:
29
a. Buta
Individu dikatakan buta jika sama sekali tidak mampu menerima
rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0).
b. Low Vision
Dikatakan low vision apabila individu masih mampu menerima
rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau
hanya mampu membaca headline atau judul pada surat kabar.
Sementara menurut Lowenfeld (Aziz, 2015), klasifikasi tunanetra
didasarkan pada dua hal, yaitu:
a. Klasifikasi tunanetra didasarkan pada waktu terjadinya
ketunanetraan
1) Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni tunanetra yang sama
sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
2) Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; tunanetra telah
memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum
kuat dan mudah terlupakan.
3) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; tunanetra
telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh
yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4) Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya tunanetra yang
dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan
penyesuaian diri.
30
5) Tunanetra pada usia lanjut; sebagian besar sudah sulit
mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
b. Klasifikasi tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan
1) Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni tunanetra
yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi masih
dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu
melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi
penglihatan.
2) Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni tunanetra
yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan
menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3) Tunanetra berat (totally blind); yakni tunanetra yang sama
sekali tidak dapat melihat.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
klasifikasi tunanetra, meliputi: klasifikasi berdasarkan waktu terjadinya
ketunetraan (tunanetra sebelum dan sesudah lahir, tunanetra usia sekolah,
usia dewasa dan usia lanjut); dan klasifikasi berdasarkan kemampuan daya
penglihatan (buta/totally blind, setengah berat/partially sighted dan ringan
atau setengah melihat/low vision).
3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan
Menurut Somantri (2006), ketunanetraan dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain:
31
a. Faktor dari dalam (internal)
Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama
masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat
pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi,
keracunan obat dan sebagainya.
b. Faktor dari luar (eksternal)
Faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan.
Misalnya kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai
matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat
melahirkan sehingga sistem persyarafan rusak, kurang gizi atau
vitamin, terkena racun virus trachoma, panas badan yang terlalu
tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri ataupun
virus.
Menurut Soekini dan Suharto (Wahyuni, 2011), faktor-faktor
ketunanetraan tidak jauh berbeda dengan yang telah dikemukakan oleh
Somantri (2006), faktor-faktor tersebut adalah faktor endogen dan faktor
exogen. Faktor endogen yaitu faktor yang erat hubungannya dengan
masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan.
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan ini, dapat dilihat
pada sifat-sifat keturunan yang mempunyai hubungan pada garis lurus,
silsilah dan hubungan sedarah. Misalnya pada perkawinan orang
bersaudara. Sedangkan faktor exogen adalah yang berasal dari luar
misalnya disebabkan oleh penyakit seperti katarak, glukoma, dan penyakit
32
yang menyebabkan ketunanetraan. Faktor exogen lainnya ialah disebabkan
oleh kecelakaan, yang berlangsung dan tidak langsung mengenai bola
mata misalnya kecelakaan karena kemasukan benda keras, benda tajam
atau cairan yang berbahaya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
berbagai faktor penyebab ketunanetraan antara lain: faktor dari dalam
(internal) dan faktor dari luar (eksternal), yang juga tidak jauh berbeda
dengan faktor endogen dan faktor exogen. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa terjadinya ketunanetraan akan terbentuk jika seseorang
memiliki faktor-faktor pendukung yang berasal dari dalam (yakni faktor
yang erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan
seorang anak dalam kandungan), maupun faktor yang berasal dari luar
(yakni faktor yang terjadi saat sesudah anak dilahirkan seperti faktor yang
disebabkan karena penyakit atau faktor diakibatkan karena kecelakaan).
4. Masalah-masalah pada Tunanetra
Menurut Sunardi (Rahma, 2015), secara garis besar masalah yang
muncul pada penyandang tunanetra dibagi menjadi tiga, yaitu masalah
yang disebabkan oleh kecacatannya, masalah yang disebabkan oleh sikap
dan penerimaan masyarakat, serta masalah yang disebabkan oleh belum
adanya fasilitas di masyarakat yang memungkinkan tunanetra untuk hidup
mandiri. Sementara menurut Somantri (2007), bahwa dibandingkan
individu normal, individu tunanetra lebih banyak menghadapi masalah
dalam perkembangan psikososialnya. Masalah-masalah tersebut terutama
33
muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
ketunanetraan, seperti kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi
lingkungan sosial yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri, malu,
sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti
penolakan, penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial,
sehingga mengakibatkan perkembangan sosial individu tunanetra menjadi
terhambat.
Keller (Tarsidi, 2012), bahkan mengamati bahwa hambatan utama
bagi seorang tunanetra bukanlah ketunanetraannya itu sendiri, melainkan
sikap masyarakat terhadap ketunanetraan. Sikap negatif masyarakat
tersebut diakibatkan oleh persepsi yang tidak tepat mengenai
ketunanetraan. Orang yang tunanetra sering digambarkan sebagai tak
berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi
purbasangka (prejudice) di kalangan masyarakat awas bahwa orang
tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Hal
yang sama disampaikan oleh Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia
(PERTUNI) Ismail Prawira Kusuma, bahwa ada banyak anggapan-
anggapan negatif yang dihubungkan dengan penyandang tunanetra, seperti
anggapan bahwa tunanetra lemah, tidak berdaya, dan perlu dikasihani.
Dengan kata lain, bahwa tunanetra mendapatkan stigma atau persepsi
negatif yang kurang tepat dari masyarakat mengenai keadaannya.
Penyandang tunanetra juga mengalami diskriminasi oleh masyarakat
terkait keadaannya. Misalnya, ketika bekerja, penyandang tunanetra
34
mendapatkan keterbatasan dalam memilih pekerjaan. (Rachmaningtyas,
2013).
Banyak hal yang akhirnya menjadi sulit untuk dilakukan oleh
penyandang tunanetra. Penyandang tunanetra mengalami keterbatasan dan
hambatan dalam kehidupan sehari-hari, seperti untuk makan, mandi,
berjalan, beraktivitas, atau bekerja (Santoso & Erawan, 2016). Irwanto,
dkk. (Brebahama & Listyandini, 2016), menyebutkan bahwa masih
banyak individu dengan disabilitas seperti tunanetra yang terhambat untuk
melakukan aktivitas sosial, melaksanakan pekerjaan rumah tangga,
melakukan aktivitas pekerjaan, maupun menekuni kegiatan sehari-hari
akibat disabilitas yang dimiliki. Mangunsong (Brebahama & Listyandini
2016), menyatakan bahwa penyandang tunanetra sulit untuk menemukan
pekerjaan akibat keterbatasan yang dimilikinya serta pandangan negatif
dari lingkungan masyarakat. Irwanto, dkk. (2010), lebih lanjut
menambahkan bahwa penyandang disabilitas yang dalam kesehariannya
disebut sebagai “orang cacat” sering dianggap sebagai warga masyarakat
yang tidak produktif serta tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya sehingga cenderung diabaikan. Padahal dari aspek psikologis
individu tunanetra mempunyai rasa untuk diakui keberadaannya,
kebutuhan untuk mencapai sesuatu, menjadi bagian dari kelompok, yang
tidak berbeda dengan kebutuhan orang normal pada umumnya (Hamidah
& Anganthi, 2017).
35
C. Strategi Coping pada Penyandang Tunanetra yang Bekerja
Mata merupakan salah satu indera yang penting bagi manusia.
Melalui mata manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk
melaksanakan berbagai kegiatan (Lubis, dkk., 2016). Terganggunya indera
penglihatan (tunanetra) akan menyebabkan seseorang kehilangan fungsi
kemampuan visualnya untuk merekam objek dan peristiwa fisik yang ada
di lingkungannya (Wahyuni, 2011). Menurut Somantri (2006), tunanetra
adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak
berfungsi sebagai saluran informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti
halnya orang awas. Pengertian tunanetra tidak saja yang buta, tetapi
mencakup juga seseorang yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan
kurang dapat dimanfaatkan untuk untuk kepentingan hidup sehari-hari.
Jadi, seseorang dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah
melihat”, “low vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok tunanetra.
Sunardi (Rahma, 2015), menjelaskan secara garis besar masalah
yang muncul pada penyandang tunanetra dibagi menjadi tiga, yaitu
masalah yang disebabkan oleh kecacatannya, masalah yang disebabkan
oleh sikap dan penerimaan masyarakat, serta masalah yang disebabkan
oleh belum adanya fasilitas di masyarakat yang memungkinkan mereka
untuk hidup mandiri. Irwanto, dkk. (Brebahama & Listyandini, 2016),
menyebutkan bahwa masih banyak individu dengan disabilitas seperti
tunanetra yang terhambat untuk melakukan aktivitas sosial, melaksanakan
pekerjaan rumah tangga, melakukan aktivitas pekerjaan, maupun
36
menekuni kegiatan sehari-hari akibat disabilitas yang dimiliki.
Mangunsong (Brebahama & Listyandini 2016), menambahkan bahwa
penyandang tunanetra sulit untuk menemukan pekerjaan akibat
keterbatasan yang dimilikinya serta pandangan negatif dari lingkungan
masyarakat.
Sama halnya dengan orang normal, penyandang tunanetra juga
memerlukan pekerjaan agar dapat melanjutkan kehidupan walaupun
dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Streers dan Porter (Wahyuni,
2011), berpendapat bahwa terdapat empat alasan yang menyebabkan
seseorang bekerja, yaitu pertama karena bekerja merupakan sarana bagi
manusia untuk saling bertukar ide atau gagasan, yang kedua karena
bekerja secara umum memenuhi beberapa fungsi sosial antara lain tempat
bekerja memberikan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru
dan membina persahabatan. Alasan ketiga adalah dengan bekerja
seseorang mendapatkan status atau kedudukan dalam masyarakat. Serta
alasan yang terakhir dengan bekerja seseorang mendapatkan identitas,
harga diri, dan aktualisasi diri. Seorang tunanetra yang bekerja bukanlah
orang yang tidak tahu diri dengan keterbatasannya, tetapi karena tunanetra
berusaha untuk mencari solusi untuk pemecahan masalah-masalah dalam
hidupnya terutama masalah ekonomi.
Dalam kondisi yang tertekan, individu tunanetra berusaha untuk
menyelesaikan masalahnya dengan berbagai cara. Menurut Cooper, dkk.
(Azmy, 2017), secara alamiah ketika seseorang dihadapkan pada situasi
37
yang menimbulkan tekanan akan mencoba untuk mangatasinya baik secara
positif maupun negatif. Perilaku mengatasi permasalahan ini dalam istilah
psikologi disebut strategi coping (Hamidah & Anganthi, 2017). Menurut
Aldwin dan Revenson (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), strategi coping
merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan oleh tiap individu untuk
mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah yang dialami dan
dipandang sebagai hambatan, tantangan yang bersifat menyakitkan, serta
merupakan ancaman yang bersifat merugikan. Billing dan Moos (Kholidah
& Alsa, 2012), mengatakan bahwa coping dipandang sebagai faktor
penyeimbang usaha individu untuk mempertahankan penyesuaian dirinya
selama menghadapi situasi yang dapat menimbulkan stres.
Lazarus dan Folkman (Rahmania, dkk., 2016), memaparkan
terdapat dua bentuk strategi coping yang biasanya digunakan oleh
individu, yaitu coping yang berfokus pada permasalahan (problem focused
coping) dan coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping).
Bila individu merasa mampu menghadapi dan mengatasi situasi, maka
kecenderungannya menggunakan problem focused coping, yaitu
penyelesaian pada pokok permasalahan. Sedangkan bila individu merasa
tidak mampu mengatasi masalah maka kecenderungannya menggunakan
emotion focused coping, yaitu untuk mengatur respon emosi terhadap
tekanan atau stres. Menurut Carver (Hanoum, 2014), bentuk problem
focused coping meliputi beberapa indikator yaitu: perilaku aktif,
perencanaan, penekanan kegiatan lain, penundaan perilaku, mencari
38
dukungan sosial berupa bantuan. Sedangkan bentuk emotion focused
coping terdiri atas beberapa indikator yaitu: mencari dukungan emosional,
mencari makna positif, pengingkaran, penerimaan, kembali kepada agama.
Pemilihan strategi coping tidak didasarkan pada alasan karena
adanya opini umum yang menyatakan bahwa strategi coping yang satu
lebih baik dari strategi coping yang lain. Melainkan karena strategi coping
tertentu dirasakan lebih sesuai dengan diri individu yang bersangkutan dan
memberikan hasil yang lebih baik bagi individu tersebut dibandingkan
dengan strategi coping lainnya (Hanoum, 2014). Mu’tadin (2002),
menyebutkan bahwa strategi coping dipengaruhi oleh berbagai faktor di
antaranya adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif,
keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial
dan dukungan material. Begitupula Folkman dan Lazarus (Primadi &
Lasmono, 2003), mengatakan bahwa strategi coping dipengaruhi oleh
faktor internal (faktor individual) meliputi perkembangan usia, status
sosial ekonomi, kesehatan mental, keterampilan memecahkan masalah;
dan faktor eksternal (konteks lingkungan) meliputi tingkat masalah yang
dihadapi, sistem budaya dan dukungan sosial. Yendrawati (2007),
mengatakan bahwa faktor yang mendorong seseorang untuk bekerja
adalah memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal ini wajar karena secara
ekonomi seseorang dituntut untuk memenuhi kebutuhan yang beragam
mulai dari kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier.
39
Kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan tersebut juga beragam
karena kemampuan finansial yang berbeda.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi
coping pada penyandang tunanetra yang bekerja adalah cara yang
dilakukan oleh individu dalam menghadapi dan mengatasi kondisi atau
situasi penuh tekanan baik fisik maupun psikis akibat dari keterbatasan
penglihatan yang dimilikinya, dalam rangka mencari solusi untuk
pemecahan masalah-masalah dalam hidupnya terutama masalah ekonomi.
D. Pertanyaan Penelitian
1. Central Questions
“Bagaimanakah gambaran strategi coping pada penyandang tunanetra
yang bekerja?”
2. Sub Questions
a. Problem Focused Coping
- Apa yang dilakukan subjek dalam rangka menyelesaikan
masalahnya?
- Ketika subjek mempunyai masalah, apakah subjek melakukan
perencanaan guna mengatasi masalahnya?
- Dalam rangka menghadapi masalah, apakah subjek mengurangi
kegiatan lain untuk fokus pada masalah yang dihadapi?
- Bagaimana cara subjek mengendalikan diri ketika menghadapi
masalah, sampai mengetahui saat yang tepat untuk bertindak?
40
- Bagaimana usaha subjek memperoleh bantuan dari orang yang
tepat untuk menyelesaikan masalahnya?
b. Emotion Focused Coping
- Siapa saja yang mendukung subjek dalam berbagai hal? Seperti apa
bentuk dukungan yang diberikan?
- Apakah subjek menceritakan masalahnya kepada orang lain guna
meminta pertimbangan?
- Bagaimana subjek memaknai setiap permasalahan yang dihadapi?
- Apakah subjek berusaha untuk merasa seolah-olah tidak
mempunyai masalah saat sedang mengalami masalah?
- Bagaimana subjek menerima kenyataan-kenyataan yang terjadi
dalam hidupnya, meskipun sesuatu itu berat baginya?
- Apakah agama dapat menjadi solusi bagi subjek untuk
menyelesaikan masalahnya?