D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bangunan Utama
Bangunan utama dapat didefinisikan sebagai: “Semua bangunan yang
direncanakan di sepanjang sungai atau aliran air untuk memebelokan air ke dalam
jaringan saluran irigasi agar dapat di pakai untuk keperluan irigasi, biasanya
dilengkapi dengan kantong lumpur agar bisa mengurangi sedimen yang berlebihan
serta kemungkinan untuk mengukur dan mengatur air masuk”.(Standar
Perencanaan Irigasi KP- 02 Bagian Bangunan Utama)
Yang termasuk bangunan utama adalah:
Waduk, yaitu suatu bangunan yang terbuat dari urugan batu, urugan tanah
atau kombinasi dari keduanya, yang berfungsi untuk menyimpan air pada
waktu musim penghujan untuk di keluarkan kembali pada saat yang di
perlukan. Atau dengan kata lain berfungsi untuk mengatur debit aliran
sungai.
Bendung, yaitu suatu bangunan yang melintang pada aliran sungai (palung
sungai), yang terbuat dari pasangan batu kali, bronjong, atau beton, yang
berfungsi untuk meninggikan muka air agar dapat dialirkan ke tempat yang
diperlukan.
Bendung ini dibagi dalam 2 tipe, yaitu:
- Bendung Tetap
- Bendung Gerak (Barrage)
Stasiun Pompa, yaitu suatu bangunan yang dilengkapi dengan sejumlah
pompa, yang fungsinya mengambil air dari sungai dan dialirkan ke tempat-
tempat yang memerlukan. Biasanya bangunan ini didirikan apabila secara
teknis dan ekonomis tidak menguntungkan apabila didirikan atau membuat
sebuah bendung.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -2
Bangunan Pengambilan Bebas, yaitu bangunan yang didirikan di pinggir
sungai berfungsi mengalirkan air sungai secara langsung tanpa meninggikan
muka air sungai tersebut.
2.1.1 Pengertian Bendung
Sesuai dengan Standar Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, Bendung
adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sesuai
atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk
mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara
gravitasi ke tempat yang membutuhkannya.
Sedangkan, bendung tetap adalah bendung yang terdiri dari ambang tetap,
sehingga muka air banjir tidak dapat diatur elevasinya. Dibangun umumnya di
sungai- sungai ruas hulu dan tengah.
Bendung berfungsi antara lain untuk meninggikan muka air, agar air sungai
dapat disadap sesuai dengan kebutuhan dan untuk mengendalikan aliran, angkutan
sedimen dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman,
efektif, efisien dan optimal.
Sesuai konstruksinya, bendung dapat dibedakan menjadi bendung pelimpah
dan bendung gerak. Untuk perencaaan ini akan dibahas mengenai bendung
pelimpah. Bendung pelimpah yang dibangun melintang sungai, akan memberikan
tinggi air minimum kepada bangunan intake untuk keperluan irigasi. Merupakan
penghalang selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan di udik
bendung.
Bendung pelimpah terdiri dari antara lain tubuh bendung dan mercu
bendung. Tubuh bendung merupakan ambang tetap yang berfungsi untuk
meninggikan taraf muka air sungai. Mercu bendung berfungsi untuk mengatur
tinggi air minimum, melewatkan debit banjir, dan untuk membatasi tinggi
genangan yang akan terjadi di hulu bendung.
Nama bendung untuk penyebutan suatu bendung yang biasanya diberi nama
sama dengan nama sungai atau sama dengan nama kampung atau desa disekitar
bendung tersebut.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -3
2.1.2 Klasifikasi Bendung
Bendung berdasarkan fungsinya dapat diklasifikasikan menjadi:
Bendung Penyadap
Bendung Pembagi Banjir
Bendung Penahan Pasang
Berdasarkan tipe strukturnya bendung dapat dibedakan atas:
Bendung Tetap
Bendung Gerak
Bendung Kombinasi
Bendung Kembang Kempis
Bendung Bottom Intake
Ditinjau dari segi sifatnya bendung dapat juga dibedakan menjadi:
Bendung Permanen
Bendung Semi Permanen
Bendung Darurat
2.1.3 Tata Letak Bendung dan Perlengkapannya
Kompenen utama bendung tetap yaitu:
1. Tubuh bendung; antara lain terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung
dengan bangunan peredam energinya.
2. Bangunan intake; antara lain terdiri dari lantai/ ambang dasar, pintu
dinding banjir, pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan
pelayan, rumah pintu, dan perlengkapan lainnya.
3. Bangunan pembilas; dengan undersluice atau tanpa undersluice, pilar
penempatan pintu, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan
batu, dan perlengkapan lainnya.
4. Bangunan pelengkap lain yang harus ada pada bendung antara lain yaitu
tembok pangkal, sayap bendung, lantai udik dan dinding tirai, pengarah
arus tanggul banjir dan tanggul penutup atau tanpa tanggul, penangkap
sedimen atau tanpa penangkap sedimen, tangga, penduga muka air, dan
sebagainya.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -4
Gambar 2.1 Bagian- bagian Bendung
2.2 Lokasi Bendung
Pemilihan lokasi bendung yang dibicarakan yaitu untuk bendung tetap
permanen bagi kepentingan irigasi. Dalam pemilihan hendaknya dipilih lokasi
yang paling menguntungkan dari beberapa segi. Misalnya dilihat dari segi
perencanaan, pengamanan bendung, pelaksanaan, pengoperasian, dampak
pembangunan dan lainnya. Tidak semua persyaratan yang dibutuhkan akan
terpenuhi, sehingga lokasi bendung ditetapkan berdasarkan persyaratan yang
dominan. Pemilihan lokasi harus dipertimbangkan juga terhadap pengaruh timbal
balik antara morfologi sungai dan bangunan lain yang ada dan akan dibangun
(Erman dan Memed, 2002:26).
2.2.1 Pemilihan Lokasi Bendung
Lokasi bendung dipilih atas pertimbangan beberapa aspek, yaitu:
1. Keadaan topografi dari rencana daerah irigasi yang akan diairi:
Dalam hal ini semua rencana daerah irigasi dapat terairi, sehingga harus
dilihat elevasi sawah tertinggi yang akan diairi,
Bila elevasi sawah tertinggi yang akan diari telah diketahui maka elevasi
mercu bendung dapat ditetapkan,
1. Tembok Pengarah Arus 6. Bangunan Pembilas 2. Tembok Sayap Hulu 7. Mercu Bendung 3. Tembok Pangkal Bendung 8. Kolam Peredam Energi 4. Tembok Sayap Hilir 9. Jembatan 5. Bangunan Pengambilan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -5
Dari kedua hal di atas, lokasi bendung dilihat dari segi topografi dapat
diseleksi,
Disamping itu ketinggian mercu bendung dari dasar sungai dapat pula
direncanakan.
2. Kondisi topografi dari lokasi bendung, harus mempertimbangankan
beberapa aspek, yaitu:
Ketinggian bendung tidak terlalu tinggi, bila bendung dibangun di palung
sungai, maka sebaiknya ketinggian bendung dari dasar sungai tidak lebih
dari tujuh meter, sehingga tidak menyulitkan pelaksanaannya.
Trace saluran induk terletak di tempat yang baik, misalnya penggaliannya
tidak terlalu dalam dan tanggul tidak terlalu tinggi agar tidak menyulitkan
saat pelaksanaannya.penggalian saluran ini dibatasi sampai dengan
kedalaman delapan meter, dan apabila tidak terpenuhi maka sebaiknya
bendung dipindahkan ke tempat lain.
Penempatan lokasi intake yang tepat dilihat dari segi hidraulik dan
angkutan sedimen sehingga aliran ke intake tidak mengalami gangguan
dan angkutan sedimen yang akan masuk intake juga dapat dihindari.
3. Kondisi hidraulik dan morfologi sungai di lokasi bendung, termasuk
angkutan sedimennya adalah faktor yang harus dipertimbangkan pula dalam
pemilihan lokasi bendung yang meliputi:
Pola aliran sungai, kecepatan, dan arahnya pada waktu debit banjir, sedang
dan kecil,
Kedalaman dan lebar muka air pada waktu debit banjir, sedang dan kecil,
Tinggi muka air pada debit banjir rencana,
Potensi dan distribusi angkutan sedimen.
Bila persyaratan di atas tidak tidak terpenuhi maka dipertimbangkan
pembangunan bendung di lokasi lain misalnya di sudetan sungai atau
dengan jalan membangun pengendalian banjir.
4. Kondisi tanah fondasi bendung harus ditempatkan di lokasi dimana tanah
yang dapat memikul beban dengan baik sehingga bangunan akan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -6
stabil.Faktor lain yang harus dipertimbangkan pula yaitu potensi
kegempaan, potensi gerusan karena arus dan sebagainya.
5. Biaya pelaksanaan dari beberapa alternatif lokasi harus dipertimbangkan
yang selanjutnya biaya pelaksanaan dapat ditentukan dan cara
pelaksanaannya, peralatan dan tenaga. Biasanya biaya pelaksanaan
ditentukan berdasarkan pertimbangan terakhir.
6. Faktor- faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam memilih lokasi
bendung yaitu penggunaan lahan di sekitar bendung, kemungkinan
pengembangan daerah di sekitar bendung, perubahan morfologi sungai,
daerah genangan yang tidak terlalu luas dan ketinggian tanggul banjir.
2.2.2 Penempatan Bendung di Sudetan Sungai
Penempatan bendung yang dulu dikenal hanya di palung sungai, kini telah
berkembang untuk ditempatkan di sudetan sungai. Berpuluh- puluh bendung
ditempatkan di sudetan sungai sejak tahun 1970-an, sehingga diperoleh
pengalaman dan diketahui untung ruginya. Sudetan sungai yaitu saluran yang
dibuat untuk memindahkan aliran sungai dari palung aslinya. Dapat dibuat di
daerah yang tidak pernah tersentuh aliran sungai atau pada sudetan sungai.
Keuntungan bendung yang ditempatkan di daerah sudetan sungai adalah:
Memudahkan pelaksanaan pelaksanaan bendung tanpa gangguan aliran
sungai, dan tidak terganggu oleh musim
Arah aliran menuju bendung dan ke hilirnya akan lebih baik
Untuk mendapatkan tanah fondasi yang lebih baik
Penempatan lokasi intake, kantong sedimen dan saluran akan lebih baik.
Selain keuntungan di atas, pada pelaksanaannya pasti akan dijumpai
kesulitannya, yaitu:
Harus dibuat tanggul penutup sungai, yang kadangkala cukup tinggi dan
berat
Diperlukan pula bangunan pengelak khusus dalam pelaksanaan pembuatan
tanggul penutup tersebut
Adakalanya perlu menyeberangan saluran induk di atas palung sungai asli.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -7
Penempatan bendung langsung di palung sungai sebaliknya dari hal di atas,
yaitu pelaksanaan pekerjaan akan terganggu oleh musim banjir, perlu pekerjaan
pengeringan yang berat, dan perlu perlengkapan bendung untuk memeratakan
aliran menuju bendung seperti pengarah arus dan sebagainya. Tetapi tidak
diperlukantanggul penutup sungai, dan saluran induk akan berada di tanah asli,
tidak di atas tanggul penutup sungai.
Tata letak yang tepat untuk sudetan bergantung kepada berbagai faktor
seperti keadaan geoteknik, topografi, dan lainnya. Dalam pengaturan alur sudetan
dan tata letaknya beberapa hal harus dipertimbangkan juga, yaitu:
Perubahan morfologi sungai diusahakan sedikit mungkin
Penurunana dasar sungai/ sudetan di hilir bendung akan terjadi sehingga
penentuan kedalaman koperan bangunan/ bendung harus dipertimbangkan
terhadap hal ini.
2.3 Analisis Hidrologi
Perhitungan analisis hidrologi digunakan untuk mengetahui debit banjir
rencana karena bendung yang direncanakan harus mampu bertahan terhadap
kemungkinan semua gaya yang bekerja terutama pada tubuh bendungnya. Salah
satu gaya yang cukup besar pengaruhnya adalah gaya air, terutama saat banjir.
Oleh karena itu perencanaan bendung harus memperhitungkan kemungkinan
terjadinya banjir. Perhitungan debit banjir dimulai dengan analisis hidrologi.
2.3.1 Curah Hujan Wilayah
Dari beberapa stasiun hujan yang berpengaruh dan digunakan, harus
ditentukan suatu harga sebagai harga rata-rata kawasan yang mewakili suatu
daerah pengaliran. Ada beberapa metode pendekatan (SK SNI M-18-1989-F,
1989)untuk menentukan curah hujan rata-rata tergantung keadaan topografi dan
luas DAS, antara lain:
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -8
A. Cara Rata-rata Arithmatik
Cara ini digunakan apabila stasiun pengamatan terbatas dengan keadaan
topografi cenderung datar dan luas DAS < 500 km2. Besar curah hujan rata-rata
dapat dihitung sebagai berikut :
𝑅 = 𝑅1+𝑅2+⋯𝑅𝑛
𝑛=
𝑅𝑖
𝑛
𝑛𝑖 (1)
Keterangan:
R = Curah hujan rata-rata kawasan
Ri = Curah hujan pengamatan ke i
n = Jumlah pengamatan
B. Cara Poligon Thiessen
Metode Thiessen dapat memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan
sebagai fungsi luas daerah yang diwakili namun dalam metode ini pengaruh
topografi tidak Nampak. Cara ini digunakan apabila stasiun pengamatan cukup
dengan keadaan topografi cenderung datar dan luas DAS 500-5000 km2. Besar
curah hujan rata-rata dapat dihitung sebagai berikut :
𝑅 = 𝑅1.𝐴1+𝑅2.𝐴2+⋯𝑅𝑛 .𝐴𝑛
𝐴=
𝑅𝑖 .𝐴𝑖
𝐴
𝑛𝑖 (2)
Keterangan:
R = Curah hujan rata-rata
Rn = Curah hujan stasiun ke n
An = Luas daerah pengaruh stasiun ke n
C. Cara Isohiet
Metode ini dinilai yang paling teliti untuk mendapatkan curah hujan daerah
rata-rata. Cara ini digunakan apabila stasiun pengamatan relative lebih padat
dengan keadaan topografi cenderung berbukit dan tidak beraturan, dan luas DAS
>5000 km2. Besar curah hujan dapat dihitung sebagai berikut :
𝑅 = 𝑅1.𝐴1+𝑅2.𝐴2+⋯𝑅𝑛 .𝐴𝑛
𝐴=
𝑅𝑖 .𝐴𝑖
𝐴
𝑛𝑖 (3)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -9
Keterangan:
R = Curah hujan rata-rata
Rn = Curah hujan rata-rata diantara dua garis isohiet
An = Luas daerah pengaruh antara dua garis isohiet
2.3.2 Analisis Frekuensi Curah Hujan
Untuk mengetahui kemungkinan hujan yang terjadi periode ulang tertentu,
ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain : Gumbel, Hasspers, dan
Der Weduwen (SK SNI M-18-1989-F, 1989).
A. AnalisisCurah Hujan Metode Gumbel
Rumus :
Xt = Xa +K. Sx (4)
Keterangan :
Xt = Curah hujan diharapkan dalam T tahun (mm)
t = Periode ulang (tahun)
Xa = Harga curah hujan rata-rata (mm)
K = Faktor frekwensi
Sx = Standar Deviasi
Harga faktor K tergantung dari banyaknya data yang dianalisis dan
tergantung dari periode ulang yang dikehendaki, sehingga K dapat dirumuskan
sebagai berikut:
𝐾 = 𝑌𝑡−𝑌𝑛
𝑆𝑛 (4.1)
𝑋𝑡 = 𝑋𝑎 +𝑌𝑡−𝑌𝑛
𝑆𝑛 . 𝑆𝑥 (4.2)
Keterangan :
Yt = Reduced variate
Yn = Reduced mean
Sn = Reduced standard deviation
Untuk perhitungan standar deviasi adalah sebagai berikut :
Sx = (𝑋𝑖−𝑋𝑎 )2
𝑛−1 (4.3)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -10
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 0.4588 0.4690 0.4774 0.4843 0.4902
10 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220
20 0.5236 0.5252 0.5268 0.5282 0.5296 0.5309 0.5320 0.5332 0.5343 0.5353
30 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.5396 0.5403 0.5410 0.5418 0.5424 0.5430
40 0.5436 0.5442 0.5448 0.5453 0.5458 0.5463 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481
50 0.5485 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518
60 0.5521 0.5524 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.5545
70 0.5548 0.5550 0.5552 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.5567
80 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.5585
90 0.5586 0.5587 0.5589 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599
100 0.5600
Keterangan :
Xi = Harga besaran pada pengamatan tertentu (mm)
n = banyaknya data pengamatan
Tabel 2.1 Hubungan Antara Kala Ulang dengan Faktor Reduksi Yt
Tabel 2.2 Rata- rata Tereduksi (Yn)
Tabel 2.3 Simpangan Baku Tereduksi (Sn)
Kala Ulang Faktor Reduksi
T (Tahun) Yt
1 -2.0000
2 0.3665
5 1.4999
10 2.2504
20 2.9702
25 3.1985
50 3.9019
100 4.6001
200 5.2958
1000 6.9190
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 0.7928 0.8388 0.8749 0.9043 0.9288
10 0.9496 0.9697 0.9833 0.9971 1.0095 1.0206 1.0316 1.0411 1.0494 1.0565
20 1.0628 1.0695 1.0755 1.0812 1.0865 1.0915 1.0961 1.1004 1.1047 1.1086
30 1.1124 1.1159 1.1193 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388
40 1.1413 1.1436 1.1458 1.1480 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.1590
50 1.1607 1.1623 1.1638 1.1653 1.1667 1.1681 1.1696 1.1708 1.1721 1.1734
60 1.1747 1.1759 1.1770 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.1844
70 1.1854 1.1863 1.1873 1.1881 1.1890 1.1898 1.1906 1.1915 1.1923 1.1930
80 1.1938 1.1945 1.1953 1.1960 1.1967 1.1973 1.1980 1.1987 1.1994 1.2001
90 1.2007 1.2013 1.2020 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2049 1.2055 1.2060
100 1.2065
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -11
B. AnalisisCurah Hujan Metode Hasspers
Metode Hasspers ini menggunakan harga-harga curah hujan maksimum
pertama dan maksimum kedua (R1 dan R2). Data-data curah hujan yang diperoleh
sama dengan metode Gumbel, yaitu pengamatan minimum 10 tahun, metode ini
dalam perhitungannya berdasarkan periode tertentu. Adapun rumusnya adalah
sebagai berikut :
Xt = Xa +S. 𝜇 (5)
Keterangan :
Xt = Besar curah hujan dengan periode ulang tahunan (mm)
Xa = Curah hujan rata-rata (mm)
S = Standar deviasi
𝜇 = Standar variabel untuk periode ulang tertentu (dari tabel Hasspers)
Sedangkan untuk perhitungan standar deviasinya adalah sebagai berikut :
𝑆 =1
2 𝑅1−𝑋𝑎
𝜇1+
𝑅2−𝑋𝑎
𝜇2 ` (5.1)
Keterangan :
R1 = Curah hujan maksimum pertama selama 24 jam (mm)
R2 = Curah hujan maksimum kedua selama 24 jam (mm)
Nilai R1dan R2 didapatkan dari stasiun masing-masing pos curah hujan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -12
Tabel 2.4Standar Variabel Hasspers t Μ T Μ t M 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 20 25 30 35 40 45
-1,86 -0,22 0,17 0,39 0,55 0,73 0,88 1,01 1,17 1,26 1,35 1,43 1,50 1,57 1,63 1,89 2,10 2,27 2,41 2,54 2,65
50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200
2,75 2,86 2,93 3,00 3,08 3,15 3,21 3,27 3,33 3,78 3,43 3,53 3,62 3,70 3,77 3,84 3,91 3,97 4,03 4,09 4,14
220 240 260 280 300 350 400 450 500 600 700 800 900
1.000 5.000
10.000 50.000 80.000 500.000
4,24 4,33 4,42 4,50 4,57 4,77 4,88 5,01 5,13 5,33 5,51 5,56 5,80 5,29 7,90 8,83
11,08 12,32 13,74
C. AnalisisCurah Hujan Metode der Weduwen
Metode Der Weduwen dalam perhitungannya menggunakan harga curah
hujan maksimum kedua (R2).
Der Weduwen mengambil dasar perhitungan berdasarkan atas tinggi hujan
dengan periode ulang tertentu yang dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
hujan di Jakarta satu kali dalam 70 tahun, hal ini disebabkan metode ini digunakan
saat penelitian di Jakarta.
Der Weduwen memberikan rumus untuk curah hujan dengan periode
tertentu :
𝑅𝑛 = 𝑋𝑡 =𝑀𝑛
𝑀𝑝. 𝑅2 (6)
Keterangan :
R2 = Curah hujan mkasimum kedua (mm)
Mp = Jumlah pengamatan (p) dalam (tahun)
Mn = Index R yang diperlukan (n) dalam (tahun)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -13
Tabel 2.5Koefisien Perbandingan Weduwen
n/p mn/mp n/p mn/mp n/p mn/mp 1/5 ¼
1/3 ½ 1 2 3 4
0,238 0,262 0,271 0,336 0,410 0,492 0,541 0,579
5 10 15 20 25 30 40
0,602 0,705 0,766 0,811 0,845 0,875 0,915
50 60 70 80 90 100 125
0,948 0,975 1,00 1,020 1,030 1,050 1,080
2.3.3 Debit Banjir Rencana (Design Flood)
Yang dimaksud dengan banjir rencana (design flood) adalah besarnya debit
yang direncanakan untuk melewati bendung pada suatu waktu jangka tertentu.
Artinya pada suatu jangka waktu (periode) tersebut, banjir ini akan terjadi lagi.
Misalnya banjir 50 tahunan, adalah banjir yang akan terjadi pada tiap 50 tahun
sekali, demikian pula banjir 100 tahunan, adalah banjir yang akan terjadi pada
tiap100 tahun sekali, Angka 50 tahun dan 100 tahun disebut periode ulang.
Sehingga apabila banjir rencana 50 tahun, artinya bendung itu akan mampu
dilewati oleh banjir yang datangnya setiap 50 tahun sekali. Biasanya untuk
bendung direncanakan design flood antara Q50 dan Q100 tahun, hal ini tergantung
dari besar kecil serta tingkat keamanan bendung yang dikehendaki.
Sesuai dengan Revisi SNI 03-2415-1991, metode rasional untuk
menghitung debit banjir rencana adalah sebagai berikut:
A. Rumus Debit Banjir Melchior
𝑄𝑛 = 𝛼. 𝐹. 𝑞1.𝑅𝑛
200 (7)
𝐹 =1970
𝛽−0,12 3960 + 1720β (7.1)
𝑡𝑘 =1000 𝐿
3600 𝑉 (7.2)
𝑉 = 1,31 𝛽 𝑞 𝐴 𝐼25 (7.3)
𝐼 =𝐻
0,9 𝐿 (7.4)
𝑇 = 0,186 𝐿𝑄−0,2𝐼−0,4 (7.5)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -14
Keterangan :
Qn = Debit maksimum (m3/det)
𝛼 = 0,42- 0,62 dan disarankan memakai 0,62 = Koefisien aliran
𝛽 = Koefisien reduksi
q = Hujan maksimum (m3/km2/det)
F = Luas daerah aliran sungai (km2)
L = Panjang sungai (km)
V = Kecepatan air rata- rata (m/det)
tk = Waktu konsentrasi (jam)
I = Kemiringan sungai (m)
H = Beda tinggi antara dasar sungai di mulut DAS dengan dasar
sungai di titik 0,9 L ke arah hilir (m)
B. Rumus Debit Banjir der Weduwen
𝑄𝑛 = 𝛼. 𝛽. 𝑞. 𝐹 (8)
𝛼 = 1 − (4.1 𝛽. 𝑞 + 7) (8.1)
𝛽 = 120+
𝑡+1
𝑡+9.𝐹
120+𝐹 (8.2)
𝑞𝑛 = 67.65
𝑡+1,45 (8.3)
𝑡 = 0.25𝐿𝑆. 𝑄−0.125 . 𝐼−0.25 (8.4)
Keterangan :
Qn = Debit maksimum (m3/det)
𝛼 = Koefisien aliran
𝛽 = Koefisien reduksi
qn = Hujan maksimum (m3/km2/det)
F = < 50 km2 =Luas daerah aliran sungai (km2)
Ls = Panjang sungai (km)
I = Kemiringan sungai (m)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -15
C. Rumus Debit Banjir Metode Hasspers
𝑄𝑛 = 𝛼. 𝛽. 𝑞. 𝐹 (9)
𝛼 =1+ 0.012.𝐹0.70
1+ 0.075.𝐹0.70 (9.1)
1
𝛽 = 1 + 𝑡+ 3,70 .10−0.40𝑡
𝑡2+15. 𝐹
0.75
12 (9.2)
𝑞 =𝑅𝑡
3,6𝑡 (9.3)
𝑅𝑡 = 𝑅 + 𝑆𝑥. 𝑌 (9.4)
𝑡 = 0.10𝐿𝑆0.80 . 𝐼−0.30 (9.5)
𝐼 =∆𝐻
0.9 .𝐿𝑠 (9.6)
Untuk t < 2 jam:
𝑅𝑡 =𝑡𝑅24
𝑡+1−0,0008 (260−𝑅24 )(2−𝑡)2 (9.7)
Untuk 2 jam < t < 19 jam:
𝑅𝑡 =𝑡𝑅24
𝑡+1 (9.8)
Untuk 19 jam < t < 30 hari:
𝑅𝑡 = 0,707 𝑅24 𝑡 + 1 (9.9) Keterangan:
Qn = Debit maksimum (m3/det)
𝛼 = Koefisien aliran
𝛽 = Koefisien reduksi
q = Hujan maksimum (m3/km2/det)
t = Waktu curah hujan (jam)
𝑅 = Curah hujan maksimum rata- rata (mm)
Sx = Simpangan Baku
Y = Variabel simpang untuk kala ulang T tahun
Rt = Curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm)
F = Luas daerah aliran sungai atau luas tangkapan hujan didaerah
aliran (km2)
Ls = Panjang sungai (km)
I = Kemiringan sungai (m)
𝑅24𝑚𝑎𝑘𝑠= Curah hujan dalam 24 jam (mm)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -16
∆𝐻 = selisih tinggi antara titik-titik dan titik sejauh 0.9L dari titik itu ke
hulu sungai.
2.4 Perencanaan Hidrolis
Hidrolis bendung adalah komponen-komponen dari tubuh bendung yang
berhubungan langsung dengan sifat-sifat hidrolis atau pengaliran air oleh dan pada
tubuh bendung tersebut. Dalam hal ini meliputi kebutuhan tekanan air, bentuk
pelimpah debit dan peredam energi, serta dimensi-dimensi pintu bilas dan pintu
pengambilan sebagai berikut: (KP-02 Bangunan Utama,1986)
2.4.1 Elevasi Mercu dan Tinggi Bendung
Tujuan dari membuat bendung adalah untuk menaikan taraf muka air sungai
hingga ke ketinggian tertentu, agar diperoleh tekanan yang cukup untuk
mengalirkan air sungai secara gravitasi ke seluruh daerah irigasi yang akan di airi.
Sedangkan tinggi tekanan ini ditentukan oleh elevasi mercu dari bendung.
Elevasi mercu bendung ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan:
1. Elevasi sawah tertinggi yang akan diari,
2. Keadaan tinggi air di sawah,
3. Kehilangan tekanan mulai dari intake sampai dengan saluran tersier
ditambah kehilangan tekanan akibat exploitasi,
4. Tekanan yang diperlukan agar dapat membilas sedimen di undersluice dan
kantong sedimen,
5. Pengaruh elevasi mercu bendung terhadap panjang bendung untuk
mengalirkan debit banjir rencana,
6. Untuk mendapatkan sifat aliran sempurna.
Dari penjumlahan faktor- faktor diatas, maka didapat elevasi mercu
bendung. Selisih beda tinggi antara elevasi mercu dengan elevasi dasar sungai,
maka didapat tinggi mercu (P) seperti terlihat di Gambar 2.2
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -17
Gambar 2.2 Mercu Bendung
2.4.2 Tinggi Muka Air Banjir
A. Tinggi Muka Air Banjir di Hilir Bendung
Muka air rencana adalah tinggi air banjir di sungai sebelum ada bendung.
Ini akan sama dengan tingginya air banjir dihilir bendung setelah adanyan
bendung. Tujuannya adalahuntuk memperhitungkan pengaruh air banjir tersebut
baik terhadap konstruksi bendungnya itu sendiri, maupun genangannya terhadap
bantaran sungai di hulu bendung agar tidak membanjiri pemukiman sekitar yang
berada di lokasi hulu.Dari perhitungan tinggi muka air rencana didapatkan
lengkung debit digunakan untuk menyatakan hubungan antara muka air (h) dan
debit air (Q), adapun rumus yang digunakan adalah:
Q = A . V (10)
A = (b + mhi)hi (10.1)
O = 𝑏 + 2𝑖 1 + 𝑚2 (10.2)
R = 𝐴
𝑂 (10.3)
Sedangkan untuk kecepatan aliran dihitung dengan rumus Chezy dan Bazin, sebagai berikut:
V = 𝐶 𝑅𝐼 (10.4)
C = 87
1+𝛾
𝑅
(10.5)
Keterangan:
C = koefisien kecepatan
V = kecepatan aliran (m/dt)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -18
I = kemiringan sungai rata- rata
R = jari- jari hidrolis (m)
A = luas penampang basah (m2)
O = keliling basah (m)
hi = tinggi air (m)
b = lebar rata-rata sungai (m)
m = kemiringan talud sungai (m)
ɣ = untuk sungai dapat di ambil 1,5-1,75
Q = debit sungai (m3/dt)
Gambar 2.3 Profil Melintang Rata- rata Sungai
Dimensi sungai didapatkan dari profil melintang sungai, profil sungai yang
dipakai adalah rata- rata dari lima profil sungai, yaitu profil sungai di as bendung,
dua profil sungai di hulu bendung dan dua profil sungai di hilir bendung sesuai
Gambar 2.3
Dengan memilih harga h akan didapatkan hubungan antara h dan Q, titik-
titik tersebut digambarkan dalam suatu hubungan antara absis X pada sumbu
mendatar sebagai harga Q dan ordinat Y pada sumbu tegak sebagai tinggi air h,
sehingga didapat grafik lengkungan debit. Dari grafik didapat tinggi air
maksimum dengan debit banjir rencana yang telah didapat sebelumnya.
Profil Rata- rata
Profil Asli
Profil Asli
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -19
Gambar 2.4 Lengkung Debit
Gambar 2.5Tinggi Muka Air Banjir di Hilir
B. Tinggi Muka Air Banjir di Hulu Bendung
1. Lebar dan Lebar Efektif Bendung
Lebar bendung adalah jarak antara pangkal- pangkalnya (abutmen), dan
sebaiknya sama dengan lebar rata- rata sungai pada bagian yang stabil. Dibagian
ruas bawah sungai, lebar rata- rata ini dapat diambil pada debit penuh (bankfull
disharge), di bagian ruas atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh.Dalam
hal ini banjir rata- rata tahunan dapat diambil untuk menentukan lebar rata- rata
bendung. Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar
rata- rata sungai pada ruas yang stabil.
hi
hi
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -20
Lebar efektif bendung adalah lebar bendung yang bermanfaat untuk
melewatkan debit. Untuk sungai- sungai yang mengangkut bahan- bahan yang
berat, lebar bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar rata- rata
sungai, yaitu jangan diambil 1,2 kali lebar sungai. Agar pembuatan bangunan
peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran persatuan lebar hendaknya
dibatasi sampai sekitar 12 - 14 m3/dt.m' yang memberikan tinggi maksimum
sebesar 3,5 - 4,5 m.
Lebar efektif mercu bendung (Be) dihubungkan dengan lebar mercu yang
sebenarnya (B) yaitu jarak antara pangkal bendung dan atau tiang pancang,
dengan persamaan sebagai berikut:
Be = Bn – 2(nKp +Ka) Hi- ∑tt – 0,2 ∑bt (11)
Ba = (hi x m x 2)+ b (11.1)
Bs = 𝑏+𝐵𝑎
2 (11.2)
Bn = 1,2 Bs (11.3)
Keterangan:
nb = jumlah pilar (buah)
Kp = koefisien kontraksi pilar (m)
Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung (m)
Hi = tinggi energi (m)
hi = tinggi air banjir hilir (m)
Ba = lebar sungai atas (m)
b = lebar dasar sungai (m)
bt = lebar pintu pembilas (m)
tt = lebar pilar (m)
Bs = lebar sungai (m)
B = lebar seluruh bendung (m)
Be = lebar efektif mercu bendung (m)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -21
Tabel 2.6 Harga Koefisien Kp dan Ka
Gambar 2.6 Lebar Efektif Bendung
Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya
(dengan bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk
mengkompensasi perbedaan koefisiensi debit dibandingkan dengan mercu
bendung itu sendiri seperti pada Gambar 2.6
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -22
2. Perencanaan Mercu
Di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu untuk bendung
pelimpah:tipe Ogee dan tipe bulat. Kedua bentuk mercu ini dapat dipakai baik
untuk konstruksi beton maupun pasangan batu atau bentuk kombinasi dari
keduanya.
Gambar 2.7Bentuk- bentuk Mercu
a. Mercu Bulat
Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih
tinggi (44%) dibandingkan dengan koefisiensi bendung ambang lebar. Pada
sungai, ini akan banyak memberikan keuntungkan karena bangunan ini akan
mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisiensi debit
menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada
mercu. Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/r).
Untuk bendung dengan dua jari- jari (R2), jari- jari hilir akan digunakan untuk
menemukan harga koefisien debit.
Gambar 2.8Bendung dengan Mercu Bulat
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -23
3. Muka Air Banjir di Hulu
Dari Gambar 2.8 tampak bahwa jari- jari mercu bendung pasangan batu
berkisar antara 0,3 – 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1
– 0, 7 kali H1maks. Persamaan tinggi energi debit untuk bendung ambang
pendek dengan pengontrol segi empat adalah:
𝑄 = 𝐶𝑑2
3
2
3𝑔 𝐵𝑒 𝐻𝑖
1,5 (12)
Keterangan:
Q = debit (m3/dt)
Cd = koefisien debit (Cd = C0C1C2)
g = percepatan gravitasi, m/dt2 (≅ 9,81)
Be = lebar efektif (m)
Hi = tinggi energi di atas mercu (m)
Koefisien debit Cd adalah hasil dari:
- C0 yang merupakan fungsi H1/r (lihat grafik)
- C1 yang merupakan fungsi p/H1(lihat grafik)
- C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung
(lihat grafik)
C0 mempunyai harga maksimum 1.49 jika H1/r lebih dari 5,0 seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.10
Gambar 2.9Tekanan pada Mercu Bendung Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -24
Harga-harga C0 pada Gambar 2.10 dinyatakan valid apabila mercu bendung
cukup tinggi diatas rata-rata alur pengarah (p/H1≥ sekitar 1,5).Dalam tahap
perencanaan p dapat diambil setengah jarak dari mercu sampai dasar rata-rata
sungai sebelum bendung dibuat. Untuk harga-harga p/H1 yang kurang dari 1,5,
maka Gambar 2.11 dapat dipakai untuk menemukan faktor pengurangan C1.
Gambar 2.10Harga- harga Koefisien C0untuk Bendung Ambang Bulat sebagai Fungsi
Perbandingan H1/r
Gambar 2.11Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan H1/r
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -25
Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung
bagian hulu terhadap debit diberikan pada Gambar 2.12. Harga koefisien
koreksi C2 diandaikan kurang lebih sama dengan faktor koreksi untuk bentuk-
bentuk mercu tipe Ogee.
Gambar 2.12Harga- harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Tipe Ogee dengan Muka Hulu
Melengkung (USBR,1960)
Harga-harga faktor pengurangan aliran tenggelam dapat diperoleh dari
Gambar 2.13. Faktor pengurangan aliran tenggelam mengurangi debit dalam
keadaan tenggelam.
Gambar 2.13Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi H2/H1
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -26
b. Mercu Ogee
Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bandung ambang tajam
aerasi. Oleh karena itu mercu ini tidak akan memberikan tekanan subatmosfir
pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana.
Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada
mercu.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps
of Engineers telah mengembangkan persamaan berikut:
𝑋𝑛 = 𝐾. 𝑑𝑛−1. 𝑌 (13)
Di mana x dan y adalah koordinat-koordinat permukaan hilir (lihat Gambar
2.14) dan hd adalah tinggi energi rencana di atas mecu. Harga- harga K dan n
adalah parameter. Harga-harga ini bergantung kepada kecepatan dan
kemiringan permukaan belakang. Tabel 2.7 menyajikanharga-harga K dan n
untuk berbagai kemiringan hilir dan kecepatan pendekatan yang rendah. Tabel2.7Harga K dan n
Kemiringan permukaan hilir K n
Vertikal 2,000 1,850
3:1 1,936 1,836
3:2 1,939 1,810
1:1 1,873 1,776
Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir
pada Gambar 2.14. Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk bendung
mercu Ogee adalah:
Rumus pengaliran.
𝑄 = 2
3. 𝐶𝑑 2
3 . 𝑔. 𝐵𝑒. 𝐻𝑖1.5 (14)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -27
Keterangan: Q = debit (m3/dt)
Cd = koefisien debit (C0 .C1 .C2)
Hi = tinggi energi diatas mercu (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
Be = lebar efektif bendung (m)
Gambar 2.14Bentuk- bentuk Bendung Mercu Ogee (U.S.A Army Corps of Engineers, Waterways
Experimental Station)
Gambar 2.15Faktor Koreksi untuk selain Tinggi Energi Rencana pada Bendung Mercu Ogee
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -28
Koefisien debit Cd adalah hasil dari C0 C1 C2, yaitu:
C0 adalah konstanta (1,30)
C1 adalah fungsi P1/hd dan H1/hd
C2 adalah faktor koreksi untuk permukaan hulu
Faktor koreksi C1 disajikan pada Gambar 2.15 dan sebaiknya dipakai untuk
berbagai tinggi bendung diatas dasar sungai. Harga C1pada Gambar 2.15
berlaku untuk bendung mercu Ogee dengan permukaan hulu vertikal. Apabila
permukaan bendung bagian hulu miring, koefisien koreksi tanpa dimensi C2
harus dipakai, ini adalah fungsi baik kemiringan permukaan bendung maupun
perbandingan P1/hd dan H1/hdSedangkan faktor koreksi C2 dapat diperoleh dari
Gambar 2.12
Gambar 2.16 menyajikan faktor pengurangan aliran tenggelam f untuk dua
perbandingan: perbandingan aliran tenggelam H2/H1 dan P2/H1.
Gambar 2.16Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi P2/H1 dan H2/H1
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -29
2.4.3 Kurva Pengempangan atau Back Water Curve
Back water curve adalah untuk mengetahui dimana pengaruh kenaikan
muka air setelah adanya pengempangan oleh bendung. Rumus yang dipakai
adalah sebagai berikut:
Lx = 2
𝑖 (15)
Keterangan:
Lx = panjangnya pengaruh akibat pengempangan kearah udik, dihitung
dari titik bendung.
i = kemiringan sungai
h = tinggi kenaikan muka air di titik bendung akibat pengempangan
Gambar 2.17 Kurva Pengempangan (Back Water Curve)
Jadi, di sebelah udik titik A pengempangan sudah tidak mempunyai
pengaruh lagi, dan tinggi air disana sudah sama seperti sebelum ada bendung.
Dengan demikianpeninggian tanggul sepanjang sungai itu perlu hanya antara titik
A dan B saja.
Pangkal- pangkal bendung (abutmen) menghubungkan bendung dengan
tanggul sungai dan tanggul- tanggul banjir. Pangkal bendung harus mengarahkan
aliran air dengan tenang disepanjang permukaannya dan tidak menimbulkan
terbulensi. Pada gambar di atas memberikan dimensi- dimensi yang dianjurkan
untuk pangkal bendung dan peralihan (transisi).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -30
Elevasi pangkal bendung disisi hulu bendung sebaiknya lebih tinggi dari
pada elevasi air (yang terbendung) selama terjadi debit rencana. Tinggi jagaan
yang harus diberikan adalah 0.75- 1.50 m, tergantung kepada kurva debit datar
dipakai 0.75 m, sedangkan untuk kurva yang curam di perlukan 1.50 m untuk
memberikan tingkat keamanan yang sama.
2.4.4 Bangunan Peredam Energi (Stilling Basin)
Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir
tubuh bendung yang terdiri dari berbagai tipe, bentuk dan dikiri kanannya dibatasi
oleh tembok pangkal bendung dilanjutkan dengan tembok sayap hilir dengan
bentuk tertentu. Berfungsi untuk meredam energi air akibat pembendungan, agar
air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat dan membahayakan
struktur.
Aliran di atas bendung di sungai dapat menunjukkan berbagai perilaku di
sebelah bendung akibat kedalaman air yang ada h2 seperti pada Gambar 2.18.
Kasus A menunjukkan aliran tenggelam yang menimbulkan sedikit sajagangguan
di permukaan berupa timbulnya gelombang. Kasus Bmenunjukkan loncatan
tenggelam yang lebih diakibatkan oleh kedalamanair hilir yang lebih besar,
daripada oleh kedalaman konjugasi. Kasus Cadalah keadaan loncat air di mana
kedalaman air hilir sama dengankedalaman konjugasi loncat air tersebut. Kasus D
terjadi apabilakedalaman air hilir kurang dari kedalaman konjugasi; dalam hal
iniloncatan akan bergerak ke hilir.Semua tahap ini bisa terjadi di bagian hilir
bendung yang di bangun disungai. Kasus D adalah keadaan yang tidak boleh
terjadi, karenaloncatan air akan menghempas bagian sungai yang tak terlindungi
danumumnya menyebabkan penggerusan luas.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -31
Gambar 2.18 Peredam Energi
Bangunan peredam energi dikenal pula dengan istilah lain yaitu tipe:
- Vlughter - Schooklitch
- USBR - MDO, MDS dan MDL
- SAF
Debit Rencana
Untuk menemukan debit yang akan memberikan keadaan terbaik untukperedaman energi, semua debit harus dicek dengan muka air hilirnya.Jika degradasi mungkin terjadi, maka harus dibuat perhitungan denganmuka air hilir terendah yang mungkin terjadi untuk mencek apakahdegradasi mungkin terjadi. Degradasi harus dicek jika:
Bendung dibangun pada sudetan
Sungai itu sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalui rawan terhadap erosi
Terdapat waduk di hulu bangunan
Bila degradai sangat mungkin terjadi, tetapi tidak ada data pasti yang
tersedia, maka harga sembarang degradasi 2,50 m harus digunakan dalam
perencanaan kolam olak. Tetapi dengan fungsi sebagai berikut:
Untuk analisis stabilitas bendung
Untuk menyiapkan cut off end sill analisis dimensi curve
Untuk keperluan perhitungan pipping seepage
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -32
Untuk perhitungan dimensi kolam olak.
Gambar 2.19Metode Perencanaan Kolam Loncat Air
A. Kolam Olakan Loncatan Air
Gambar 2.19 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari
grafik q versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat dicari
dengan:
v1= 2𝑔(1
2𝐻𝑖+ 𝑧) (16)
Keterangan:
v1 = kecepatan awal loncatan (m/dt)
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
Hi = tinggi energi di atas mercu (m)
z = tinggi jatuh (m)
dengan q = v1y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncatan air
adalah: 𝑦2
𝑦1=
1
2( 1 + 8𝐹𝑟2 − 1 (16.1)
Fr = 𝑣1
𝑔𝑦1 (16.2)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -33
Keterangan:
y2 = kedalaman air di atas ambang ujung (m)
yi = kedalaman air di awal loncat air (m)
Fr = bilangan Froude
v1 = kecepatan awal loncatan (m/dt)
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
Kedalaman konjugasi untuk setiap q dapat ditemukan dan diplot. Untuk menjaga
agar loncatan tetap dekat dengan muka miring bendung dan di atas lantai, maka
lantai harus diturunkan hingga kedalaman air hilir sekurang- kurangnya sama
dengan kedalaman konjugasi.
Lokasi air loncatan ada di belakang pintu sorong dan sebelah udik
bangunan sekat/ pelimpah juga di sekitar perpatahan dasar- dasar saluran yang
berbeda kemiringannya. (Bambang, 2012:93)
B. Bangunan Peredam Energi Tipe USBR
Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.20) biasanya
kurang dari panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill).
Panjang lantai dapat ditentukan sebagai berikut:
𝐿𝑗 = 5(𝑛 + 𝑦2) (17)
Keterangan:
Lj = panjang kolam (m)
n = tinggi ambang ujung (m)
y2 = tinggi loncatan air (m)
Berdasarkan bilangan Froude, perencanaan kolam olak adalah sebagai
berikut:
a. Untuk Fru ≤ 1.7 tidak diperlukan kolam olak.
b. Bila 1.7 < Fru ≤ 2.5 diperlukan kolam olak untuk meredam energi secara
efektif. Pada umumnya, kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja
dengan baik. Untuk penurunan muka air ∆𝑍 ≤ 1.5 m dapat dipakai bangunan
terjun tegak.
c. Jika 2.5 <Fru ≤ 4.5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam
memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -34
dan menimbulkan gelombang. Cara untuk mengatasinya adalah dengan
membuat tembok halang yang mampu menimbulkan olakan (Turbulensi),
tembok (blok) ini harus berukuran besar sesuai tipe USBR IV.
d. Jika Fru ≥ 4.5 maka akan menimbulkan kolam yang paling ekonomis, karena
kolam ini pendek. Tipe ini termasuk kolam olak USBR tipe III yang
dilengkapi dengan blok depan dan blok halang.
Bangunan peredam energi tipe USBR mempunyai keterbatasan dalam
pemakainnya, dimana jenis kolam tersebut, terutama tipe II, III dan IV, tidak
dapat digunakan pada sungai-sungai yang mengangkut bongkah atau batu-batu
besar.
Gambar 2.20 Parameter- parameter Loncatan Air
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -35
Gambar 2.21Hubungan percobaan antara Fru, y2/y1 untuk ambang ujung pendek (menurut
Forster dan Skrinde, 1950)
Gambar 2.22Bangunan Peredam Energi Tipe USBR III
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -36
Gambar 2.23Bangunan Peredam Energi Tipe USBR IV
C. Bangunan Peredam Energi Tipe Bak Tenggelam
Jika kedalaman konjugasi hilir dari loncat air terlalu tinggi dibanding
kedalaman air normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada
lantai kolam yang panjang akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas
bendung, maka dapat dipakai peredam energi yangrelatif pendek tetapi dalam.
Perilaku hidrolis peredam energi tipe ini terutama bergantung kepada terjadinya
kedua pusaran; satu pusaran permukaan bergerak ke arah berlawanan dengan arah
jarum jam di atas bak, dan sebuah pusaran permukaan bergerak ke arah putaran
jarum jam dan terletak di belakang ambang ujung. Dimensi-dimensi umum
sebuah bak yang berjari-jari besar.
Gambar 2.24 Bangunan Peredam Energi Tipe Bucket
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -37
Parameter-parameter dasar untuk perencanaan tipe bak tenggelam adalah
sebagai berikut:
𝑐 = 𝑞2/𝑔3 (18)
Keterangan:
hc = kedalaman air kritis di atas mercu (m)
q = debit per satuan lebar (m3/dt)
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
Sedangkan jari-jari minimum perencanaan (Rmin), diambil dari grafik Gambar
2.25. Elevasi dasar kolam ditentukan berdasarkan inggi minimum air hilir atau
Tmin, yaitu:
𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘∆𝐻
𝑐≤ 2,4 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖
𝑇𝑚𝑖𝑛
𝑐= 1,88
∆𝐻
𝑐
0.215
𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘∆𝐻
𝑐> 2,4 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖
𝑇𝑚𝑖𝑛
𝑐= 1,70
∆𝐻
𝑐
0.23
Gambar 2.25Jari- jari Minimum Bangunan Peredam Energi Tipe Bucket
D. Bangunan Peredam Energi Tipe Vlugther
Kolam Vlughter telah terbukti tidak andal untuk dipakai pada tinggi air hilir
di atas dan di bawah tinggi muka air yang sudah diuji di laboratorium.
Penyelidikan menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam, yang perencanaannya
mirip dengan kolam Vlugter, lebih baik. Itulah sebabnya mengapa pemakaian
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -38
kolam Vlugter tidak lagi dianjurkan jika debit selalu mengalami fluktuasi
misalnya pada bendung di sungai.
Gambar 2.26Bangunan Peredam Energi Tipe Vlugther
2.5 Analisis Stabilitas Bendung
Akibat adanya bendung, maka terjadi perbedaan tinggi muka air antara bagian
hulu dan hilir bendung tersebut, yang menyebabkan terjadinya beda tekanan
(energi) antara kedua bagian tersebut. Salah satu akibatnya adalah timbulnya
aliran rembesan dibawah tubuh bendung (pondasi). Rembesan ini akan
menimbulkan tekanan balik terhadap butir-butir tanah maupun terhadap
konstruksi bendung itu sendiri yang disebut daya angkat (uplift pressure).
2.5.1 Tekanan Rembesan
Akibat perbedaan tinggi tekanan didepan dan dibelakang bendung terjadi
adanya aliran dibawah bendung. Aliran ini tersebut dalam pengairannya akan
mendapat hambatan- hambatan karena adanya geseran, air dalam mencari jalan
alirnya akan memilih jalan dengan hambatan yang terkecil, ini tedapat pada
bidang kontak antara bangunan dengan tanah yang disebut creepline. Makin
pendek creepline makin kecil hambatannya dan makin besar tekanan yang
ditimbulkan. Untuk memperbesar hambatan creepline harus diperpanjang, dengan
cara memberi lantai muka atau dinding vertikal. Dan terbongkarnya butir- butir
tanah tersebut disebut dengan bahaya sufosi, sesuai dengan Gambar 2.27
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -39
Gambar 2.27Jalur Rembesan dan Bahaya Sufosi
Ada banyak teori yang digunakan untuk menentukan lantai muka antara lain:
A. Teori Flownet Analitis
Flownet Analisis adalah analisis jaring- jaring bujur sangkar aliran antara
garis arus dan garis equipotensial. Teori bersifat teoritis dari pada teori lain.
B. Teori Bligh
Bligh berpendapat bahwa besarnya tekanan dijalur pengaliran adalah
sebanding dengan panjangnya creepline dan dinyatakan sebagai berikut:
∆ = 𝐿′𝐶 (19)
Keterangan:
∆ = beda tekanan
L’ = panjang creepline
C = creep lineratio menurut Bligh (Tabel 2.8)
Nilai C tergantung dari jenis tanah didasar bendung. Supaya konstruksi aman
terhadap bahaya sufosi, maka haruslah dipenuhi syarat dibawah ini :
∆ ≤ 𝐿′𝐶
𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐿′ ≥ ∆. 𝐶 (19.1)
Dengan demikian apabila jalur rembesan yang ada kurang dari panjang jalur
(L') yang dibutuhkan, maka panjang jalur tersebut harus diperpanjang, yaitu
dengan cara memasang lantai hulu dan menggunakan dinding halang (sheet pile)
dibawah tubuh bendung.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -40
Gambar 2.28Teori Bligh
C. Teori Lane
Lane meneruskan teori Bligh dengan menambahkan bahwa energi yang
dibutuhkan air untuk melewati creep line vertikal lebih besar dari pada
melewati melewati creep line yang horizontal dengan perbandingan 3:1.
Rumus menurut Line:
∆ = 𝐿𝑣 + 1
3+
𝐿
𝐶 (19.2)
L’ = (𝐿𝑣 + 1
3+
𝐿
𝐶) ≥ C. ∆ (19.3)
Keterangan:
L’ = panjang creep line efektif (m)
Lv = panjang creep line vertikal (m)
Lh = panjang creep line horizontal (m)
C = creep line ratio menurut Lane (Tabel 2.8)
∆ = perbedaan tekanan total
Catatan:
Bidang- bidang yang sudutnya ≥ 45º dianggap sebagai bidang vertikal dan
bidang yang sudutnya ≤ 45º dianggap sebagai bidang horizontal.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -41
Tabel2.8Weighted creep Ratio (C) dari Bligh dan Lane
D. Tebal Lantai
Seperti telah dijelaskan diatas, akibat adanya rembesan di bawah tubuh
bendung, maka setiap titik pada konstruksi akan menerima tekanan, baik ke
atas maupun ke samping yang disebut dengan daya angkat (uplift pressure).
Pada lantai hulu, karena diatasnya selalu ada air minimal setinggi mercu yang
akan mengimbangi tekanan ke atas, disamping tekanan pada daerah ini masih
relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada daerah ini tidak berbahaya dan
dapat di abaikan. Dengan demikian lantai hulu tidak perlu terlalu tebal.
Pada lantai hilir (kolam peredam energi), kondisinya lebih berbahaya,
terutama karena tekanan rembesan pada aderah ini relatif besar dan diatas
lantainya sering kosong atau lapisan airnya relatif tipis. Dengan demikian,
tebal lantai kolam ini harus diperhitungkan supaya tidak terdorong ke atas,
yang harus diimbangi oleh berat lantai itu sendiri.
Pengembangan dari teori Bligh dan Lane akan menentukan besarnya tekanan
daya angkat pada setiap titik di bawah pondasi seperti terlihat di Gambar 2.29
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -42
Gambar 2.29 Ilustrasi Daya Angkat Akibat Tekanan Rembesan di Bawah Pondasi
𝑃𝑥 = 𝐻𝑥 − 𝐿𝑥
𝐿 . ∆ (19.4)
Keterangan:
Px = gaya angkat pada titik X
L = panjang total creep line (A-B-C-D-E-F-G)
Lx = panjang creep line sampai titik X, (A-B-C-D-X)
∆ = beda tinggi energi total
Hx = tinggi energi di hulu sampai titik X
2.5.2 Stabilitas Tubuh Bendung
Bendung yang direncanakan harus dapat bertahan dan berfungsi dengan baik
selama umur rencananya. Untuk dapat berfungsi dengan baik maka konstruksi
bendung, khususnya tubuh bendung harus mampu bertahan terhadap
kemungkinan gaya yang bekerja, tanpa mengalami perubahan-perubahan, baik
posisi, elevasi maupun bentuknya (stabil).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -43
Gambar 2.30Berat Sendiri Tubuh Bendung
A. Gaya dan Momen
Secara keseluruhan, pada umumnya, gaya-gaya yang bekerja pada suatu
tubuh bendung terdiri dari :
Berat sendiri tubuh bendung
Gaya gempa
Tekanan air
Tekanan lumpur
Reaksi pondasi
Perjanjian arah gaya dan momen ditentukan sebagai berikut:
Gaya horizontal: ke kiri (-) = negatif, adalah gaya penahan
ke kanan (+) = positif, adalah gaya geser
Gaya vertikal : ke bawah (-) = negatif, adalah gaya penahan
ke atas (+) = positif, adalah gaya angkat/reaksi
Momen : berputar ke kiri (-) = negatif, adalah momen penahan
berputar ke kanan (+) = positif, adalah momen guling
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -44
1. Berat Sendiri
Berat sendiri tubuh bendung tergantung dari jenis bahan yang digunakan,
umumnya pasangan batu kali atau beton. Besarnya gaya berat adalah sama
dengan volume dikalikan dengan berat isi, yaitu:
Gb= 𝑉 𝑥 𝛾𝑝 (20)
Keterangan: Gb = gaya berat (ton)
V = volume (m3)
ɣp = berat isi pasangan (batu atau beton) (t/m3)
Karena perhitungan dilakukan untuk setiap im lebar, maka volume sama
dengan luas potongan yang ditinjau. Berat isi pasangan dapat diambil dari
Tabel 2.9 Tabel2.9Berat Isi Pasangan
Jenis Pasangan ɣp(t/m3)
Pasangan batu kali
Beton tumbuk
Beton bertulang
2,20
2,30
2,40
Akibat gaya berat, diperoleh momen dan gaya vertikal, yang besarnya adalah:
(Gambar 2.31)
Vgb = Gb = gaya vertikal (ton) (-) (20.1)
Mgb = Gb x l (tm) (-) (20.2)
Keterangan: Gb = gaya berat (ton)
Mgb = momen putar (tm)
l = lengan momen (m)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -45
Gambar 2.31Anggapan pada Peninjauan Stabilitas Bendung
2. Gaya Gempa
Besar gaya gempa adalah berat bangunan dikalikan dengan koefisien gempa
dan diperhitungkan sebagai gaya horizontal yang bekerja ke arah yang paling
berbahaya, dalam hal ini adalah ke arah hilir bangunan (ke kanan). Jadi
besarnya gaya gempa adalah:
Gg = Gb x E (21)
Keterangan: Gg = gaya gempa (ton)
Gb = gaya berat (ton)
E = koefisien gempa
Harga koefisien gempa tergantung dari faktor letak geografis suatu daerah
dimana bendung direncanakan, dan diambil dari peta gempa yang dikeluarkan
oleh DPMA tahun 1981, yang disebut “Peta Zona Seismik untuk Perencanaan
Bangunan Air Tahan Gempa”. Selanjutnya harga koefisien gempa dapat
dihitung sebagai berikut:
E = 𝑎𝑑
𝑔 (21.1)
ad = n (ac.z)m (21.2)
Keterangan: E = koefisien gempa
ad = percepatan gaya rencana (cm/dt2)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -46
g = percepatan gravitasi (cm/dt2)
n,m = koefisien untuk jenis tanah (Tabel 2.10)
ac = percepatan kejut dasar (cm/dt2)
z = faktor gempa (terlampir)
Tabel2.10Koefisien Jenis Tanah untuk Koefisien Gempa
Jenis Tanah n m
Batu
Diluvium
Aluvium
Aluvium Lunak
2,76
0,87
1,56
0,29
0,71
1,05
0,89
1,32
Tabel2.11Percepatan Gempa Dasar Periode Ulang (Tahun) Ac (cm/dt2)
20
100
500
1000
85
160
225
275
Akibat gaya gempa diperoleh momen putar dan gaya horizontal sebagai
berikut, Gambar 2.32
Gambar 2.32Gaya dan Momen Akibat Gempa
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -47
Mgg = Gg x 1 (21.3)
Hgg = Gg (21.4)
Keterangan: Mgg = momen akibat gempa (tm) (+)
Hgg = gaya horizontal akibat gempa (ton) (+)
Gg = gaya gempa (ton)
l = lengan momen (m)
Jadi gaya gempa mengakibatkan timbulnya momen guling (+) dan gaya geser
(+).
3. Tekanan Air
Gaya akibat tekanan air yang bekerja pada tubuh bendung dibedakan menjadi
dua macam, yaitu tekanan hidrostatis dan tekanan rembesan yang
menimbulkan daya angkat sedangkan tekanan hidrodinamis tidak perlu
diperhitungkan, karena konstruksi bendung umumnya relatif rendah.
Selanjutnya kedua macam gaya tersebut haru ditinjau pada dua kondisi ,
masing-masing kondisi air normal dam kondisi air banjir.
(1). Tekanan Hidrostais air Normal
Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa pada saat air normal dianggap
bahwa dibagian hulu terdapat air setinggi mercu, sedangkan bagian hilir
tidak ada air, lihat gambar 2.33
Gambar 2.33Tekanan Hidrostatis Air Normal
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -48
Tekanan yang bekerja pada tubuh bendung
Ga1 = 12
. 𝛾𝑤. 𝑝2 (22.1)
Ga2 = 12
. 𝛾𝑤. 𝑎. 𝑝 (22.2)
Sehingga gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung menjadi
Han = Ga1 (22.3)
Van= Ga2 (22.4)
Man = (Ga1 x l1) – ( Ga2 x l2) (22.5)
Keterangan
Han = gaya horizontal, (ton) (+)
Van = gaya vertikal, (ton) (-)
Man = momen putar,(tm) (+ atau -)
(2). Tekanan Hidrostatis Air Banjir
Dalam hal ini dibedakan lagi terhadap jenis pengaliran diatas mercu, yaitu
untuk mercu yang tidak tenggelam dan mercu tenggelam, untuk mercu
tidak tenggelam (Gambar 2.34) pada saat air banjir sebenarnya di atas
mercu ada lapisan yang mengalir, tetapi karen lapisan ini relatif tipis
sehingga tidak perlu diperhitungkan.
Gambar 2.34Tekanan Hidrostatis Air Banjir untuk Mercu tidak Tenggelam
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -49
Tekanan yang bekerja pada tubuh bendung
Ga1 = 12
. 𝛾𝑤. 𝑝2 (23.1)
Ga2 = . 𝛾𝑤. 𝑝 (23.2)
Ga3 = 12
. 𝑎. 𝛾𝑤. 𝑝 (23.3)
Ga4 = . 𝛾𝑤. 𝑎 (23.4)
Ga5 = 12
. 𝛾𝑤. 2.b (23.5)
Ga6 = 12
. 𝛾𝑤. 22 (23.6)
Sehingga gaya-gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung adalah
sebagai berikut:
Hab = Ga1 + Ga2 +-Ga6 (+ atau -) (23.7)
Vab = -Ga3 - Ga4 – Ga5 (-) (23.8)
Mab = 𝐺𝑎 𝑥 𝑙 (23.9)
Untuk mercu tenggelam seperti Gambar 2.35 lapisan air di atas mercu
diperhitungkan
Gambar 2.35Tekanan Hidrostatis Air Banjir untuk Mercu Tenggelam
(3). Daya Angkat (Uplift Pressure)
Bangunan tubuh bendung mendapat tekanan air bukan hanya permukaan
luarnya, tetapi juga pada dasarnya dan dalam tubuh bangunan itu sendiri
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -50
yang disebut daya angkat yang menyebabkan beratnya berat efektif
bangunan diatasnya. Daya angkat ini akan menimbulkan gaya guling
terhadap tubuh bendung dan pecahnya lantai kolam peredam energi.
Pengembangan dari teori Bligh dan Lane akan memperoleh persamaan
yang menyatakan besarnya daya angkat pada setiap titik , lihat Gambar
2.36
𝑃𝑥 = 𝐻𝑥 − 𝐿𝑥
𝐿 . ∆ (24)
Keterangan:
Px = gaya angkat pada titik X
L = panjang total creep line (A-B-C-D-E-F-G)
Lx = panjang creep line sampai titik X, (A-B-C-D-X)
∆ = beda tinggi energi total
Hx = tinggi energi di hulu sampai titik X
Gambar 2.36 Gaya Angkat pada tubuh Bendung
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -51
4. Tekanan Lumpur
Setelah bendung beroperasi beberapa tahun, ada kemungkinan dibagian hulu
bendung akan tertimbun oleh sedimen, lumpur dan sebagainya tergantung
material bawaan sungai. Oleh karena itu dalam meninjau stabilitas maka di
hulu mercu tersebut terdapat endapan lumpur setinggi mercu, lihat Gambar
2.37
Tekanan yang bekerja pada tubuh bendung
Ga1 = 12
. 𝛾𝑙. 𝑝2. 𝑘𝑎 (25)
Ga2 = 12
. 𝑎. 𝛾𝑙. 𝑝 (25.1)
Sehingga gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung adalah sebagai
berikut:
Hl = Ga1 (25.2)
Vl = Ga2 (25.3)
Ml= (Ga1 x l1) – ( Ga2 x l2) (25.4)
Keterangan
Hl = gaya horizontal, (ton) (+)
Vl = gaya vertikal, (ton) (-)
Ml = momen putar,(tm) (+ atau -)
Ka = koofisien tekanan tanah
Gambar 2.37Tekanan Lumpur
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -52
B. Kontrol Stabilitas
Dalam perncanaan bendung tidak boleh bergeser, terguling dan ambles oleh
karena itu dilakukan pengontrolan stabilitas dengan dilakukan beberapa
kombinasi pembebanan sesuai dengan probabilitasnya. Maka faktor keamanan
dari masing-masing dari kombinasi tersebut juga bervariasi. Tabel 2.13
memperlihatakan kombinasi pembebanan dan kenaikan tegangan izin yang
disyaratkan. Sedangkan tabel 2.12 memperlihatkan faktor keamanan yang
diperlukan terhadap geser dan guling. Tabel2.12 Kombinasi Pembebanan dan Faktor Keamanan terhadap Guling dan Geser (PUBI 1982)
No Kombinasi Pembebanan Faktor Keamanan Minimum
Terhadap
guling(Fg)
Terhadap geser
(Fs)
1 M + H + K + T + Thn 1.5 1.5
2 M + H + K + T + Thn + G 1.3 1.3
3 M + H + K + T + Thb 1.3 1.3
4 M + H + K + T + Thb + G 1.1 1.1
5 M + H + K + T + Thn + Ss 1.2 1.2
Keterangan:
M = beban mati
H = beban hidup
T = beban tanah
Thn = tekanan air normal
Thb = tekanan air banjir
G = beban gempa
Ss = pembebanan sementara selama pelaksanaan
Rumus faktor keamanan minimum
Fg = 𝑀𝑡 𝑀𝑔 (26)
Fs = 𝐻𝑣. 𝑓 𝐻
(26.1)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -53
Keterangan:
Fg = faktor keamanan terhadap guling
Mg = momen total penyebab guling
Mt = momen penahan total
Fs = faktor keamanan terhadap geser
𝐻𝑣 = jumlah gaya vertikal
𝐻 = jumlah gaya horizontal
f = koefisien geser antara tubuh pondasi dan tanah dasar Tabel2.13 Faktor Keamanan pada Daya Dukung Pondasi
No Kombinasi Pembebanan Kenaikan Tegangan izin (%)
1 M + H + K + T + Thn 0
2 M + H + K + T + Thn + G 20
3 M + H + K + T + Thb 20
4 M + H + K + T + Thb + G 50
5 M + H + K + T + Thn + Ss 30
2.6 Bangunan Pengambilan dan Pembilas
Pengambilan sebaiknya ditempatkan sedekat mungkin dengan as bendung.
Tergantung dengan kebutuhan, pengambilan, dapat dibuat di sebelah kiri bendung
apabila sawah yang akan diairi terletak di sebelah kiri, atau sebaliknya di sebelah
kanan bendung, atau kedua- duanya. Apabilapengambilan pada salah satu sisi (kiri
atau kanan) relatif kecil, maka dapat disatukan pada salah satu sisi saja yang
pengambilannya lebih besar. Pengambilan yang lebih kecil ditempatkan pada pilar
bangunan pembilas dan dialirkan melalui pipa yang ditempatkan di dalam tubuh
bendung sampai kesebrang sisi lainnya. (KP-02 Bangunan Utama, 1986)
2.6.1 Bangunan Pengambilan (Intake)
Bangunan pengambilan (intake) berfungsi untuk menyadap air sungai (yang
telah dibendung), sesuai dengan kebutuhan air untuk irigasi. Oleh karena itu,
ukurannya tergantung dari kapasitas debit rencana saluran induk. Kecepatan aliran
pada pintu pengambilan dibuat sedemikian rupa, sehingga disatu pihak material
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -54
berbutir kasar tidak ikut tersadap dan dilain pihak tidak boleh terjadi endapan.
Untuk menentukan perkiraan kecepatan tersebut, dapat digunakan rumus
berikut:𝑣2 ≥ 32 𝑑
13 𝑑 (27)
Keterangan:
v = kecepatan rata- rata (m/dt)
h = kedalaman air, m
d = diameter butir, m
Dalam kondisi umum, rumus tersebut dapat disederhanakan menjadi:
𝑣 ≅ 10𝑑1
2 (27.1)
Dalam perencanaan normal dapat diambil kecepatan rata- rata antara 1,00 s.d
2,00 m/dt untuk dapat membatasi butiran- butiran berdiameter 0,01- 0,04 m tidak
ikut tersadap.
Kapasitas Pengambilan
Dimensi bangunan pengambilan harus direncanakan dengan kapasitas
sekurang- kurangnya 120% dari debit kebutuhan saluran induk, untuk membuat
fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kemungkinan meningkatnya kebutuhan
pengambilan selama umur proyek. Besar debit pengambilan dapat dihitung
sebagai berikut: (Gambar 2.38)
𝑄 = 𝜇 𝑏 𝑎 2𝑔𝑧 (27.2)
Keterangan:
Q = debit (m3/det)
𝜇 = koefisien debit = 0,8
b = lebar bukaan (m)
a = tinggi bukaan (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt)
z = kehilangan energi (m)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -55
Gambar 2.38Dimensi Pintu Pengambilan
Rumus di atas masih dapat dipergunakan bila ujung bawah pintu tenggelam
sampai dengan 20 cm di bawah muka air hulu. Untuk mengkompensasi
kehilangan tekanan pada bendung akibat gelombang dan sebagainya. Maka
tekanan (muka air) pengambilan diperhitungkan 0,10 m di bawah elevasi mercu
bendung. Elevasi ambang pengambilan ditentukan dari dasar sungai (bendung),
dengan berbagai ketentuan.
Untuk Bendung dengan Pembilas Terbuka:
- 0,50 m bila sungai mengangkut lanau.
- 1,00 m bila sungai mengangkut pasir.
- 1,50 m bila sungai mengangkut batu- batu bongkah.
Bila bendung menggunakan pembilas bawah, maka elevasi ambang diambil
antara 0- 20 cm di atas pelat penutup saluran pembilas bawah. Lebar bukaan pintu
dibatasi maksimum 2,50 m. Bila dibutuhkan lebar yang lebih dari 2,50 m, untuk
debit yang besar, maka dibuat beberapa bukaan dengan menggunakan pilar- pilar
pemisah. Ujung pilar- pilar tersebut sebaiknya dibuat agak ke dalam, untuk
menciptakan kondisi aliran masuk yang lebih mulus, lihat Gambar 2.39
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -56
Gambar 2.39Geometri Bangunan Pengambilan
2.6.2 Bangunan Pembilas
Bangunan pembilas berfungsi untuk mencegah tertumpuknya material
(lumpur, kerikil dsb) di depan pintu pengambilan secara priodik pintu bilas dibuka
untuk membersihkan tumpukan material tersebut, sehingga ruang aliran di depan
pengambilan selalu terjaga kebersihannya. Berdasarkan empiris, lebar bangunan
pembilas dapat ditentukan sebagai berikut:
Lebar bangunan pembilas, termasuk tebal pilar, sebaiknya diambil antara 1/6
s.d 1/10 dari lebar bendung, untuk sungai yang lebarnya kurang dari 100m.
Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan,
termasuk pilar-pilarnya
Sedangkan panjang dinding pemisah sebaiknya dibuat seperti Gambar 2.39
a. Pembilas Bawah
Untuk mencegah masuknya sedimen dasar dan fraksi pasir yang lebih kasar
ke dalam pengambilan, dipasang pelat pemisah dibawah atau sama dengan elevasi
ambang pengambilan, yang disebut pembilas bawah (under spuier). Dengan
demikian sedimen angkutan akan terperangkap dibagian pembilas bawah.
Disamping itu pelat ini juga berfungsi uuntuk mencegah pusaran air yang sering
terjadi didepan pintu pengambilan. Mulut pembilas bawah ditempatkan di hulu
pengambilan dimana ujung penutup pembilas membagi air menjadi dua lapisan
seperti pada Gambar 2.40
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -57
Gambar 2.40Geometri Bangunan Pembilas
Dimensi-dimensi dasar pembilas bawah adalah:
Tinggi saluran pembilas bawah sebaiknya lebih besar dari 1,5 kali
diameter terbesar sedimen di dasar sungai
Tinggi saluran pembilas bawah sekurang-kurangnya 1,0m
Tinggi saluran pembilas bawah sebaiknya diambil dari 1/3 samapai 1/4
dari kedalaman air di depan pengambilan selama debit normal.
Pada umumnya dimensi pembilas bawah dibuat lebih kuran:
Tinggi saluran bawah 1-2 m
Tebal pelat beton 0,2-0,35 m
Luas saluran pembilas bawah (lebar x tinggi) harus sedemikian rupa
sehingga kecepatan minimum dapat tercipta (Vmin = 1-1,5 m/dt).
2.6.3 Daun Pintu
Baik bangunan pengambilan maupun pembilas dilengkapi dengan daun pintu
sorong (umumnya), yang dapat dibuaat dari bahan kayu atau baja.Untuk
pengoperasiannya (menutup dan membuka).Daun pintu tersebut dilengkapi
dengan system roda gigi yang dihubungkan dengan stang pengangkat, lihat
Gambar 2.41.Bahan daun pintu dapat dibuat dari kayu kelas satu atau pelat baja
yang dilengkapi dengan rusuk-rusuk pengaku.
Daun pintu kayu terdiri dari susunan balok-balok kayu yang dirangkai dengan
besi pelat atau siku.Tekanan air diteruskan ke sponing, oleh karena itu daun pintu
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -58
harus direncanakan sedemikian rupa sehingga masing-masing balok kayu mampu
menahan beban dan meneruskannya ke sponing.Sedangkan pada pintu baja, beban
tersebut dipikul oleh balok rusuk yang biasanya dibuat dari baja profil. Balok
yang menerima gaya terbesar adalah balok paling bawah, karena itu balok inilah
yang dipakai sebagai dasar perhitungan didalam menentukan dimensi daun pintu.
Daun pintu direncanakan agar mampu menahan gaya hidrostatis setinggi air
banjir.
Gambar 2.41Daun Pintu Pengambilan/Pembilas
2.7 Tembok Sayap, Tembok Pangkal, dan Pengarah Arus
2.7.1 Tembok Sayap Hilir
Tembok sayap hilir adalah adalah tembok sayap yang terletak dibagian
kanan dan kiri peredam energi bendung yang menerus ke hilir dari tembok
pangkal bendung dengan bentuk dan ukuran yang berkaitan dengan ukuran
peredam energi seperti Gambar 2.42.Fungsinya sebagai pembatas, pengarah arus,
penahan longsoran tebing sungai di hilir bangunan dan pencegah aliran samping.
(KP-02 Bangunan Utama,1986)
Dalam penentuan dimensi tembok sayap hilir hendaknya berdasarkan:
Dimensi berdasarkan peredam energi
Geometri sungai di sekitar dan hilirnya
Tinggi muka air hilir desain
Penggerusan setempat
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -59
Gambar 2.42Tembok Sayap Hilir
Panjang tembok sayap hilir yang bagian lurus dapat dihitung dengan rumus
dibawah ini:
Lsi= 1/2Ls + Lx (28)
Syarat Ls ≤ Lsi ≤ 1/2Ls (28.1)
Keterangan:
Lsi = Panjang tembok sayap hilir (m)
Ls = Panjang lantai peredam energy (m)
Lx = Panjang tembok sayap (1,25-1,5) x Ls (m)
Kemiringan tembok sayap dapat diambil dengan kemiringan 1:1.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -60
2.7.2 Tembok Pangkal Bendung
Tembok pangkal bendung adalah tembok yang berada di sebelah kiri dan
kanan pangkal bendung dengan tinggi tertentu yang menghalangi luapan aliran
pada debit rencana tertentu ke samping kiri dan kanan terlihat seperti Gambar 2.43
Tembok pangkal berfungsi sebagai pengarah arus agar arah aliran sungai
tegak lurus terhadap sumbu bendung, sebagai penahan tanah, pencegah rembesan
samping, pangkal jembatan dan sebagainya.
Tinggi pangkal bendung sama dengan tinggi muka air rencana ditambah
tinggi jagaan (free board) 1-1,5 m atau aman terhadap debit banjir. Panjang
tembok pangkal dipengaruhi oleh adanya bangunan pengambilan dan tata letak
jembatan lalu lintas dan panjang antara sisi tembok pengambilan ke hulu lebih
besar 2 kali tinggi air.Bentuk pangkal bendung umumnya ditentukan vertical
dengan ukuran panjang ke hulu dan ke hilirnya.
Panjang tembok pangkal bendung dibagian hulu juga dapat dihitung dari as
mercu bendung dengan syarat:
0,5Ls ≤ Lpu ≤ Ls
Keterangan:
Lpu = panjang tembok pangkal bendung (m)
Ls = Panjang lantai peredam energi (m)
Panjang tembok pangkal bendung dibagian hilir dapat ditempatkan setelah
ujung bangunan pengambilan. Dan panjang tembok pangkalnya bisa sepanjang
bangunan peredam energi.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -61
Gambar 2.43Tembok Pangkal dan Sayap Hulu
A. Dinding Penahan Tanah
Di tembok pangkal, selain menghitung panjangnya, kita juga harus
merencanakan dinding penahan tanah. Dinding penahan tanah adalah suatu
konstruksi yang berfungsi untuk menahan tanah lepas atau alami dan mencegah
keruntuhan tanah yang miring atau lereng yang kemantapannya tidak dapat
dijamin oleh lereng itu sendiri. Adapun jenis dinding penahan tanah adalah
sebagai berikut:
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -62
1. Dinding Gravitasi (Gravity Wall)
Dinding ini dibuat dari beton murni (tanpa tulangan) atau dari pasangan batu
kali.Stabilitas yang diperoleh hanya dengan mengandalkan berat sendiri
konstruksi. Lihat Gambar 2.44
Gambar 2.44Dinding Gravitasi
2. Dinding Penahan Kantilever (Cantilever Retaining Wall)
Dinding penahan tipe kantiliver dibuat dari beton bertulang yang tersusun dari
suatu dinding vertikal dan tapak lantai. Stabilitas konstruksi yang diperoleh dari
berat sendiri dan berat tanah di atas tumit tapak. Lihat Gambar 2.45
Gambar 2.45Dinding Penahan Kantillever
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -63
3. Dinding Kontrafort (Counterfort Wall)
Apabila tekanan tanah aktif pada dinding vertikal cukup besar, maka bagian
dinding vertikal dan tumit perlu disatukan (kontrafort).Kontrafort berfungsi
sebagai pengikat tarik dinding vertikal dan ditempatkan pada bagian timbunan.
Lihat Gambar 2.46
Gambar 2.46Dinding Penahan Kontrafort
B. Perencanaan Dinding Penahan Tanah
Standar dimensi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.47 di bawah
ini.
Gambar 2.47 Ukuran Standar Dimensi
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -64
Setelah merencanakan dimensi dinding, langkah selnjutnya adalah
mengontrol apakan dinding tesebut telah aman terhadap gaya- gaya yanga ada.
Adapun dalam kontrol stabilitas rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Terhadap Guling ( ditinjau terhadap titik O ) Fg = 𝑀𝑡
𝑀𝑔 ≥ 𝐹𝑔 𝑖𝑧𝑖𝑛 (29)
Dimana : Fg = faktor keamanan Mt = Jumlah momen vertikal, tm Mg = Jumlah momen horizontal, tm Fg izin= faktor keamanan yang diizinkan 2. Terhadap Geser
Fs= 𝐻𝑡. 𝑓 𝐻𝑔 ≥ 𝐹𝑠 𝑖𝑧𝑖𝑛 (30)
Dimana : Fs = faktor keamanan f = koefisien gesekan Hh = Jumlah gaya vertikal, t Hv = Jumlah gaya horizontal, t Fs izin= faktor keamanan yang diizinkan 3. Terhadap Eksentrisitas
𝑒 = 𝐵
2 - Mt− Mg
Hv<
𝐵
6 (31)
Dimana : e = eksentrisitas, m B = panjang telapak pondasi, m 4. Terhadap daya dukung tanah
𝜎 = 𝐻𝑡
𝐵 1 ±
6𝑒
𝐵 < 𝜎 𝑖𝑧𝑖𝑛 (32)
Dimana : = Daya dukung tanaht/m2 e = Eksentrisitas, m izin = Daya dukung yang diizinkan, t/m2
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -65
2.7.3 Tembok Sayap Hulu dan Pengarah Arus
Tembok sayap hulu adalah tembok sayap yang menerus ke hulu dari tembok
pangkal dengan bentuk dan ukuran yang dapat disesuaikan dengan fungsinya
sebagai pengarah arus dan pelindung tebing, lihat Gambar 2.43.
Panjang tembok sayap hulu dapat ditentukan:
Bagi tebing sungai yang tidak jauh dari sisi tembok pangkal bendung, ujung
tembok sayap hulu dilengkungkan masuk ke tebing dengan panjang total
tembok pangkal bendung ditambah sayap hulu.
0,5𝐿𝑠 ≤ 𝐿𝑠𝑢 ≤ 1,5𝐿𝑠
Keterangan:
Lsu = panjang tembok sayap hulu (m)
Bagi tebing sungai yang jauh dari sisi tembok pangkal bendung atau palung
sungai di udik bendung yang relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan
lebar pelimpah bendung maka tembok sayap udik perlu diperpanjang dengan
tembok pengarah arus yang panjangnya diambil minimum 2 x Lp. untuk
Kemiringan tembok sayap dapat diambil dengan kemiringan 1:1 atau 1:112 .
2.8 Kantong Lumpur
Walaupun telah ada usaha untuk merencanakan sebuah
bangunanpengambilan dan pengelak sedimen yang dapat mencegah
masuknyasedimen ke dalam jaringan saluran irigasi, masih ada banyak partikel-
partikelhalus yang masuk ke jaringan tersebut. Untuk mencegah agarsedimen ini
tidak mengendap di seluruh saluran irigasi, bagian awal darisaluran primer persis
di belakang pengambilan direncanakan untukberfungsi sebagai kantong
lumpur.Kantong lumpur itu merupakan pembesaran potongan melintang
saluransampai panjang tertentu untuk mengurangi kecepatan aliran danmemberi
kesempatan kepada sedimen untuk mengendap.
Untuk menampung endapan sedimen ini, dasar bagian saluran
tersebutdiperdalam atau diperlebar. Tampungan ini dibersihkan tiap jangkawaktu
tertentu (kurang lebih sekali seminggu atau setengah bulan)dengan cara membilas
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -66
sedimennya kembali ke sungai dengan aliranterkonsentrasi yang berkecepatan
tinggi.
2.8.1 Dimensi Kantong Lumpur
Pada Gambar 2.48 digambarkan tipe tata letak kantong lumpur sebagai bagian
dari bangunan utama.
Gambar 2.48Tipe Tata Letak Kantong Lumpur
A. Panjang dan Lebar Kantong Lumpur
Dimensi-dimensi L (panjang) dan B (lebar) kantong lumpur dapat
diturunkan dari Gambar 2.49. Partikel yang masuk ke kolam pada A, dengan
kecepatan endap partikel w dan kecepatan air v harus mencapai dasar pada C. Ini
berakibat bahwa, partikel, selama waktu (H/w) yang diperlukan untuk mencapai
dasar, akan berjalan (berpindah) secara horisontal sepanjang jarak L dalam
waktu L/v.
Gambar 2.49Skema Kantong Lumpur
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -67
Untuk menghitungnya menggunakan rumus: 𝐻
𝑊 = 𝐿
𝑣 , dengan v = 𝑄
𝐻𝐵 (33)
Keterangan:
H = kedalaman aliran saluran, m
w = kecepatan endap partikel sedimen, m/dt
L = panjang kantong lumpur, m
v= kecepatan aliran air, m/dt
Q = debit saluran, m3/dt
B = lebar kantong lumpur, m
Dimensi kantong sebaiknya juga sesuai dengan kaidah bahwa L/B > 8,untuk
mencegah agar aliran tidak “meander” di dalam kantong.Apabila topografi tidak
memungkinkan diturutinya kaidah ini, makakantong harus dibagi-bagi ke arah
memanjang dengan dinding-dindingpemisah (devider wall) untuk mencapai
perbandingan antara L dan B ini.Dalam rumus-rumus ini, penentuan kecepatan
endap amat pentingkarena sangat berpengaruh terhadap dimensi kantong
lumpur. Ada duametode yang bisa dipakai untuk menentukan kecepatan endap,
yakni:
(1) Pengukuran di tempat
(2) Dengan rumus/grafik
Faktor- faktor lain yang akan dipertimbangkan dalam pemilihan dimensi
kantong lumpur adalah:
kecepatan aliran dalam kantong lumpur hendaknya cukup rendah, sehingga
partikel yang telah mengendap tidak menghambur lagi.
turbulensi yang mengganggu proses pengendapan harus dicegah.
kecepatan hendaknya tersebar secara merata di seluruh potonganmelintang,
sehingga sedimentasi juga dapat tersebar merata.
kecepatan aliran tidak boleh kurang dari 0,30 m/dt, guna
mencegahtumbuhnya vegetasi.
peralihan/transisi dari pengambilan ke kantong dan dari kantong kesaluran
primerharus mulus, tidak menimbulkan turbulensi atau pusaran.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -68
B. Volume Tampungan
Tampungan sedimen di luar (di bawah) potongan melintang air bebasdapat
mempunyai beberapa macam bentuk Gambar 2.50 memberikanbeberapa metode
pembuatan volume tampungan.
Gambar 2.50Hubungan Diameter Ayak dan Kecepatan Endap untuk Air Tenang
Volume tampungan bergantung kepada banyaknya sedimen (sedimendasar
maupun sedimen layang) yang akan hingga tiba saat pembilasan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -69
Gambar 2.51Potongan Melintan dan Memanjang Kantong Lumpur
Banyaknya sedimen yang terbawa oleh aliran masuk dapat ditentukandari: (1)
pengukuran langsung di lapangan (2) rumus angkutan sedimenyang cocok
(Einstein – Brown, Meyer – Peter Mueller), atau kalau tidakada data yang andal:
(3) kantong lumpur yang ada di lokasi lain yangsejenis. Sebagai perkiraan kasar
yang masih harus dicek ketepatannya,jumlah bahan dalam aliran masuk yang akan
diendapkan adalah 0,5‰.Kedalaman tampungan di ujung kantong lumpur
biasanya sekitar 1,0 m untuk jaringan kecil (sampai 10 m3/dt), hingga2,50 m
untuk saluran yang sangat besar (100 m3/dt).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -70
C. Pengecekan Efisiensi
Untuk mencek efisiensi kantong lumpur, dapat dipakai grafik pembuangan
sedimen dari grafik pada Gambar 2.52 memberikanefisiensi sebagai fungsi dari
dua parameter.Kedua parameter itu adalah w/w0 dan w/Vn.
Dimana:
w = kecepatan endap partikel-partikel yang ukurannya diluar ukuran
partikel yang direncana, m/dt
w0 = kecepatan endap rencana, m/dt
Vn = kecepatan rata-rata aliran daalm kantong lumpur, m/dt
Dengan menggunakan grafik Camp, efisiensi proses pengendapan
untukpartikel-partikel dengan kecepatan endap yang berbeda-beda darikecepatan
endap partikel rencana, dapat dicek.Suspensi sedimen dapat dicek dengan
menggunakan kriteria ShinoharaTsubaki. Bahan akan tetap berada dalam
suspensi penuh jika: 𝑣∗
𝑤>5
3 (34)
Keterangan:
v* = kecepatan geser (g H I)0,5 , m/dt
g = percepatan gravitasi, m/dt2 (≈9,8)
h = kedalaman air, m
I = kemiringan energi
w = kecepatan endap sedimen, m/dt
Efisiensi pengendapan sebaiknya dicek untuk dua keadaan yangberbeda:
- untuk kantong kosong
- untuk kantong penuh
Untuk kantong kosong, kecepatan minimum harus dicek. Kecepatan initidak
boleh terlalu kecil yang memungkinkan tumbuhnya vegetasi ataumengendapnya
partikel-partikel lempung.Menurut Vlugter, untuk:
v > 𝑤
1,61 (35)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -71
Dimana:
v = kecepatan rata- rata, m/dt
w = kecepatan endap sedimen, m/dt
I = kemiringan energi
Gambar 2.52Grafik Pembilasan Sedimen Camp untuk Aliran Terbulen (Camp 1945)
2.8.2 Alat Ukur Ambang Lebar
Bangunan ukur jenis ini merupkan bangunan yang kokoh dan mudah dibuat,
serta mudah disesuaikan dengan berbagai bentuk saluran. Hubungan tunggal
antara muka air hulu dan debit, mempermudah pembacaan debit secara langsung
pada papan debit tanpa memerlukan tabel debit. Alat ukur ambang lebar termasuk
jenis pintu dengan aliran atas (overflow). Karena pola aliran diatas alat ukur
ambang lebar dapat dipecahkan dengan teori hidrolika yang sudah ada sekarang,
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -72
maka bangunan ini bisa mempunyai bentuk yang berbeda- beda, walaupun
debitnya tetap relevan. Contoh alat ukur ambang lebar dapat dilihat pada Gambar.
2.53 dan Gambar 2.54.
Gambar 2.53Alat Ukur Ambang Lebar dengan Mulut Pemasukan yang Dibulatkan
Gambar 2.54Alat Ukur Ambang Lebar dengan Pemasukan Bermuka Datar dan Peralihan Penyempitan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -73
Muka hilir ambang dapat dibuat vertikal, seperti pada Gambar 2.53 atau
miring sampai 1:6 seperti pada Gambar 2.54. Muka vertikal dapat dipakai jika
persediaan kehilangan energi mencukupi, sedangkan bentuk dengan peralihan
dipergunakan jika energi kinetik diatas mercu dialihkan kedalam energi
potensial disebelah hilir saluran. Oleh karena itu kehilangan tinggi energi harus
dibuat sekecil mungkin. Persamaan debit untuk alat ukur ambang lebar dengan
bagian pengontrol segi empat, sebagai berikut:
𝑄 =𝐶𝑑2
3 𝑔
2
3 𝑏 1
3/2 (36)
Keterangan:
Q = debit m3/dt
Cd = koefisien debit = 1 untuk mercu bulat
g = percepatan gravitasi, m/dt2
b = lebar mercu, m
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, m
Gambar 2.55 Ilustrasi Peristilahan yang Digunakan
2.9 Bangunan Pelengkap
Bangunan pelengkap merupakan salah satu bagian bendung yang berfungsi
sebagai pelengkap dalam operasional bangunan utama antara lain untuk
keperluan-keperluan:
Pengukuran debit dan muka air di sungai maupun di saluran
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Panji Agustiawan, Vika Nurati Utami, Perencanaan Bendung Caringin .....II -74
Rumah untuk opreasi pintu
Peralatan komunikasi, tempat teduh serta perumahan untuk tenaga
operasional, gudang dan ruang kerja untuk kegiatan operasional dan
pemeliharaan
Jembatan di atas bendung, agar seluruh bagian bangunan utama mudah di
jangkau, atau agar bagian-bagian itu terbuka untuk umum.
Bangunan tangga ikan (fish ladder) diperlukan pada lokasi yang senyatanya
perlu dijaga keseimbangan lingkungannya sehingga kehidupan biota tidak
terganggu. Pada lokasi diluar pertimbangan tersebut tidak diperlukan tangga
ikan
Dan bangunan lainnya seperti: tembok pelengkap, pagar, atap dan bangunan
pelindung.