BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum kematangan karier merupakan kesiapan untuk
memilih karier yang tepat sesuai dengan usia dan tingkat
perkembangannya. Kematangan kerier merupakan salah satu konstruk
psikologi yang mengalami banyak perkembangan. Bab ini memaparkan
tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini. Terdiri dari lima sub
bab yaitu, kematangan karier (definisi, aspek-aspek, faktor-faktor yang
mempengaruhinya), self-efficacy (definisi, teori, aspek-aspek), locus of
control (definisi, teori, aspek-aspek), hasil-hasil penelitian sebelumnya,
dinamika hubungan antar variabel, model penelitian, dan hipotesis
penelitian.
A. Kematangan Karier
1. Definisi
Dalam bahasa inggris istilah kematangan karier memiliki beberapa
persamaan yang sering digunakan untuk menjelaskan kematangan karier
seperti: vocational maturity, job maturity, dan occupation maturity
(Seligman, 1994).Kematangan karier merupakan salah satu konstruk
psikologis yang mengalami banyak perkembangan. Konstruk ini pertama
kali diungkapkan oleh seorang ahli psikologi konseling dan karier
bernama Donal Edwin Super (Winkel, 1997).
Hasan (2006; 127) menyatakan bahwa kematangan karieryaitu sikap
dan kompetensi yang berperan untuk pengambilan keputusan karir.Sikap
dan kompetensi tersebut mendukung penentuan keputusan karier yang
tepat.Sementara Richard (2007;171) mengungkapkan bahwa
kematangankarier juga merupakan refleksi dari proses perkembangan
karier individu untuk meningkatkan kapasitas untuk membuat keputusan.
Menurut Luzzo (Levinsonet al 1998; 475), kematangan karier merupakan
aspek yang pentingbagi individu dalam memenuhi kebutuhan akan
pengetahuan dan keterampilan untukmembuat keputusan karier yang
cerdas dan realistik. Menurut Havinghurst (dalam Hurlock,1980; 206)
menyatakan bahwakematangan karier adalah persiapan diri untuk
menjalani suatu pekerjaan atau karier.
Pada suatu kesempatan, Yost&Corbisly (dalam Creed dan Patton,
2002; 287) menyatakan bahwakematangan karier mengarah pada kesiapan
individu untuk membuat informasi membuat keputusan karier yang
berkaitan dengan usia dan mengatasi tugas perkembangan
karier.Sedangkan Crites (Levinsonet al 1998: 475), mendefinisikan
kematangankarierindividu sebagai kemampuan individu untuk membuat
pilihan karier, yang meliputi penentuan keputusan karir, pilihan yang
realistik dan konsisten. Creed & Prideaux (2001) mendefinisikan
kematangan karier sebagai kesiapan individu untuk menguasai tugas-tugas
perkembangan pada tahap-tahap pertumbuhan, eksplorasi, peningkatan,
pemeliharaan dan pelepasan.
Pada kesempatan yang sama, Savickas (1999; 53) lebih jelas lagi
menjelaskan bahwa kematangan karier merupakan konsep yang mengacu
pada kesiapan individu untuk mendapatkan informasi, membuat keputusan
karir yang sesuai dengan usia perkembangannya, dan kemampuan
mengatasi tugas-tugas perkembangan karier.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kematangan karier adalah suatu kesiapan, kemampuan dan kapasitas
individu untuk membuat suatu pilihan karier yang stabil dan
realistikdalam menentukan keputusan karier, mencari informasidan
mengetahui dunia karier sesuai minat dan bakat yang dimiliki oleh
individu.
2. Teori Kematangan Karier
Teori perkembangan karir telah banyak dikembangkan oleh para
ahli. Teori tersebut antara lain adalah teori trait-and-factor, teori-teori
yang dikembangkan oleh Ginzberg et al., dan Donald Super. Berikut ini
akan diuraikan beberapa teori perkembangan karir tersebut.
a. Trait-and-factor
Teori ini diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1900-an
(Wibowo, 2010) bahwa bimbingan karir dilakukan dengan meneliti
individu kemudian mengkaji beberapa pekerjaan yang tersedia, dan
selanjutnya memasangkan antara individu dengan pekerjaan. Proses ini
dilakukan dengan mencocokkan karakter individu dengan tuntutan suatu
pekerjaan atau jabatan tertentu, yang diharapkan dapat memecahkan
masalah penelusuran karir.
Teori trait-and-faktor ini mulanya berkembang dari penelitian
mengenai perbedaan karakter individu dan pada perkembangan
selanjutnya terkait erat dengan psikometri. Teori ini mempunyai pengaruh
yang besar terhadap penelitian mengenai gambaran pekerjaan dan
persyaratan pekerjaan dalam rangka memprediksi keberhasilan pekerjaan
di masa depan berdasarkan pengukuran traits yang terkait dengan
pekerjaan. Asumsi bahwa individu mempunyai pola kemampuan unik atau
traits yang dapat diukur secara objektif dan berhubungan dengan tuntutan
berbagai macam pekerjaan merupakan karakteristik utama teori ini
(Winkel & Hastuti, 2004).
b. Ginzberg et al.
Ginzberg, Ginsburg, Axelrad, dan Herma pada tahun 1951
melakukan pendekatan terhadap teori pilihan karir (occupational choice)
dari sudut pandang perkembangan (Dharsana, 2014). Ginzberg et al.
berkesimpulan bahwa pemilihan karir merupakan bagian dari proses
perkembangan, yang secara umum berlangsung selama kurun waktu enam
hingga sepuluh tahun, yang dimulai dari sekitar usia 11 tahun dan berakhir
sesudah usia 17 atau awal masa dewasa. Terdapat tiga periode atau
tahapan dalam proses pemilihan okupasi yaitu periode fantasy, tentative,
dan realistic.Periode pertama yaitu fantasi, dimulai saat kanak-kanak
(kira-kira sebelum usia 11 tahun). Pada periode ini berorientasi bermain
pada mulanya, kemudian menjelang akhir tahap fantasi ini bermain
menjadi berorientasi kerja. Periode tentatif dimulai sekitar sejak usia 11
sampai dengan 17 tahun. Proses transisi terjadi pada periode ini yang
ditandai dengan pengenalan secara bertahap terhadap pengenalan minat,
kemampuan, persyaratan kerja, imbalan kerja, nilai dan perspektif waktu.
Periode realistik adalah periode berikutnya yang dimulai kira-kira usia 17
tahun hingga masa dewasa awal. Proses pengintegrasian kapasitas dan
minat, perkembangan nilai-nilai, spesifikasi pilihan pekerjaan, dan
kristalisasi pola-pola pekerjaan terjadi pada periode ini.
c. Donal E. Super
Teori kematangan karier ini dikemukakan oleh Donal Super.
Awalnya kematangan karier disebut sebagai kematangan vokasional,
konstruksi sekarang dikenal sebagai kematangan karier yang diusulkan
oleh Super 53 tahun yang lalu (dalam Brown, 2007). Konsep
perkembangan karir yang dirumuskan oleh Donald Super memandang
bahwa perkembangan karier adalah proses perkembangan konsep diri
karier (Osipow, 1973). Konsep diri merupakan unsur yang mendasari
pemikiran Super dalam memahami perilaku vokasional. Penelitian
menunjukkan bahwa konsep diri karier berkembang bersamaan dengan
pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif, melalui observasi terhadap
kehidupan bekerja, mengidentifikasi orang dewasa yang bekerja,
lingkungan sekitar dan pengalaman pada umumnya. Dengan menyadari
perbedaan dan persamaan diri dengan orang lain, akhirnya akan terbentuk
konsep diri karier. Konsep diri ini menumbuhkan dorongan internal yang
mengarahkan seseorang membentuk pola karier yang akan diikuti oleh
individu sepanjang hidupnya. Dengan demikian, individu
mengimplementasikan konsep dirinya ke dalam karier yang akan menjadi
alat mengekspresikan dirinya.
Unsur yang mendasar dalam pandangan Donald E. Super (dalam
Brown, 2007) mendefinisikan kematangan karier sebagai tingkat
perkembangan yang dimulai sejak masa kanak-kanak awal dalam pilihan-
pilihan fantasinya dan bergerak maju untuk memutuskan mengasingkan
diri dari pekerjaan. Konsep kematangan karir (career maturity)
dipergunakan untuk menggambarkan proses di mana individu membuat
keputusan karir yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan dan
kemampuan untuk berubah dan melakukan transisi secara berhasil melalui
tugas-tugas setiap tahap perkembangan. Sementara Savickas (1999) lebih
jelas lagi menjelaskan bahwa kematangan karir merupakan konsep yang
mengacu pada kesiapan individu untuk mendapatkan informasi, membuat
keputusan karir yang sesuai dengan usia perkembangannya, dan
kemampuan mengatasi tugas-tugas perkembangan karir.
Pada suatu kesempatan, Brown (2007) menyatakan bahwa proses
perkembangan itu dapat disimpulkan dalam serangkaian tahap-tahap
perkembangan kehidupan manusia, yaitu pertumbuhan, eksplorasi,
pembentukan, pemeliharaan, dan kemunduran, dan dibagi lagi menjadi:
(a) fantasi, fase tentatif, dan realistis dari tahap eksplorasi dan (b) fase uji
coba (trial) dan fase stabil (stable) dari tahap pembentukan. Pola karier
seseorang ditentukan oleh tingkat sosial ekonomi orangtua, kemampuan
mental, pendidikan, keterampilan, karakteristik kepribadian (kebutuhan,
nilai, kepentingan, sifat, dan konsep diri), dan kematangan karier serta
kesempatan yang terbuka bagi dirinya.
Dari beberap teori yang telah dipaparkan oleh penulis maka secara
implisit dan eksplisit penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Donal E Super. Sesuai dengan pembahasan penulis pada latar belakang
maka teori kematangan karier yang dikemukakan oleh Donal Super
menuntut individu untuk memiliki kesiapan dan sumber-sumber yang
dibutuhkan untuk melewati tahapan perkembangan yang terdapat di dalam
setiap tahap perkembangan karir. Dengan menguasai tugas-tugas
perkembangan karir ini, seperti diharapkan oleh lingkungan sekitar di
mana individu berada, dapat mengembangkan diri individu dalam
meningkatkan keberhasilan dan kepuasan hidup.
Oleh sebab itu, di dalam model perkembangan karier yang
dikembangkan Super ini terdapat beberapa gagasan (Savickas, 2001): (1)
bahwa setiap individu memiliki kemampuan, kertertarikan, nilai-nilai, dan
beragam hal lain yang sangat berbeda; (2) bahwa pola keunikan
interpersonal ini membuat inidividu memiliki karir yang berbeda-beda,
yang pantas atau tidak dengan dirinya; (3) perbedaan individual dan karir
ini ada pada setiap orang di setiap waktu yang terbentuk karena faktor-
faktor situasional.
3. Aspek-Aspek Kematangan Karier
Karier memiliki makna sebagai jalannya peristiwa kehidupan, yang
keseluruhannya menyatakan tanggung jawab seseorang kepada pekerjaan
dalam pola pengembangan dirinya (Manrihu, 1988). Teori kematangan
karier yang dikemukakan oleh Super menjadi salah satu pilihan dalam
melihat aspek-aspek sehingga individu yang memiliki kematangan karier
yang baik berarti telah memiliki orientasi karierperubahan-perubahan yang
berkaitan dengan karier akan mudah dilampaui dengan adanya
kematangan karier pada diri individu. Oleh karena itu menurut Super
(dalam Brown, 2007; 48-67), menyatakan bahwa kematangan karir dapat
diukur dengan aspek-aspek seperti berikut:
a. Perencanaan karir (career planning)
Aspek perencanaan karier merupakan aktivitas pencarian informasi
dan seberapa besar keterlibatan individu dalam proses tersebut. Kondisi
tersebut didukung oleh pengetahuan tentang macam-macam unsur pada
setiap pekerjaan. Indikator ini adalah menyadari wawasan dan persiapan
karier, memahami pertimbangan alternatif pilihan karier dan memiliki
perencanaan karier dimasa depan.
b. Eksplorasi karier (career exploration)
Kemampuan individu untuk melakukan pencarian informasi karir
dari berbagai sumber karier, seperti kepada orang tua, saudara, kerabat,
teman, guru bidang studi, konselor sekolah, dan sebagainya.Aspek
eksplorasi karier berhubungan dengan seberapa banyak informasi karier
yang diperoleh siswa dari berbagi sumber tersebut.Indikator dari aspek ini
adalah mengumpulkan informasi karier dari berbagai sumber dan
memanfaatkan informasi karier yang telah diperoleh.
c. Pengetahuan tentang membuat keputusan karier (decision
making)
Kemampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan dan
pemikiran dalam membuat perencanaan karier. Konsep ini didasari pada
tuntutan siswa untuk membuat keputusan karier, dengan asumsi apabila
siswa mengetahui bagaimana orang lain membuat keputusan karier maka
diharapkan mereka juga mampu membuat keputusan karier yang tepat
bagi dirinya.
d. Pengetahuan (informasi) tentang dunia kerja (world of
work information)
Aspek ini terdiri dari dua komponen yakni terkait dengan tugas
perkembangan, yaitu individu harus tahu minat dan kemampuan diri,
mengetahui cara orang lain mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
pekerjaan dan mengetahui alasan orang berganti pekerjaan. Komponen
kedua adalah mengetahui tugas-tugas pekerjaan dalam suatu jabatan dan
perilaku dalam bekerja.Pengetahuan tentang kelompok pekerjaan yang
lebih disukai (knowledge of preferred occupational group).Aspek ini
menurut Superadalah siswa diberi kesempatan untuk memilih satu dari
beberapa pilihan pekerjaan, dan kemudian ditanyai mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pekerjaan tersebut.Mengenai persyaratan, tugas-tugas,
faktor-faktor dan alasan yang mempengaruhi pilihan pekerjaan dan
mengetahui resiko-resiko dari pekerjaan yang dipilihnya.Indikator pada
aspek ini adalah pemahaman mengenai tugas dari pekerjaan yang
diinginkan, memahami persyaratan dari pekerjaan yang diinginkan,
mengetahui faktor dan alasan yang mempengaruhi pilihan pekerjaan yang
diminati dan mampu mengidentifikasi resiko-resiko yang mungkin muncul
dari pekerjaan yang diminati.
e. Realisasi keputusan karier (realisation)
Realisasi keputusan karir adalah perbandingan antara kemampuan
individu dengan pilihan karier pekerjaan secara realistis. Aspek ini antara
lain: memiliki pemahaman yang baik tentang kekuatan dan kelemahan diri
berhubungan dengan pekerjaan yang diinginkan, mampu melihat faktor-
faktor yang mendukung dan menghambat karier yang diinginkan, mampu
mengambil manfaat membuat keputusan karier yang realistik Individu
yang memiliki kematangan karier yang baik berarti telah memiliki
orientasi karier (career orientation). Orientasi karier didefinisikan sebagai
skor total dari: 1) sikap terhadap karier, 2) keterampilan membuat
keputusan karier, dan 3) informasi dunia kerja. Sikap terhadap karier
terdiri dari perencanaan karier dan eksplorasi karier.Keterampilan
membuat keputusan karier terdiri dari kemampuan menggunakan
kemampuan dan pemikiran dalam membuat keputusan karier.Informasi
karier terdiri atas memiliki informasi tentang pekerjaan tertentu dan
kelompok pekerjaan yang lebih disukai.
Selain aspek-aspek yang dikemukakan oleh Donal super, ada juga
aspek-aspek yang dikemukakan oleh Crites (Alvi & Khan, 1993):
a. Consistensi
Aspek ini mengandung kemantapan individu untuk mengambil
keputusan dalam waktu yang berbeda, kemantapan dalam mengambil
keputusan atas pekerjaan yang dipilihnya, kemantapan dalam mengambil
keputusan yang berhubungan dengan tingkat pekerjaan, kemantapan
dalam memilih pekerjaan dengan adanya pengaruh keluarga.
b. Realism
Aspek ini mengandung kesesuaian antara kemampuan dengan
pekerjaan yang dipilih, mampu mengambil keputusan untuk memilih
pekerjaan yang sesuai dengan sifat kepribadiannya, dan dapat
menyesuaikan antara tingkat status sosial dengan pekerjaan yang
dipilihnya.
c. Kompetensi
Aspek ini mengenai kemampuan individu dalam memecahkan
masalah yang berhubungan dengan pemilihan pekerjaan, rencana yang
berhubungan dengan pemilihan pekerjaan, memiliki pengetahuan
mengenai pekerjaan, mengevaluasi kemampuan diri dalam hubungan
dengan pemilihan pekerjaan, dan menentapkan tujuan pekerjaan yang
hendak dipilhnya.
d. Atitude
Aspek ini tentang keaktifan individu dalam proses pengambilan
keputusan, bersikap dan berorientasi positif terhadap pekerjaan dan nilai-
nilai pekerjaan yang dipilih, tidak tergantung pada orang lain,
mendasarkan faktor-faktor tertentu menurut kepentingannya di dalam
memilih pekerjaan dan memiliki ketepatan konsepsi di dalam pengambilan
keputusan pekerjaan.
Dari beberpa aspek yang telah dikemukakan di atas maka penulis
menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Donal Super. Super (dalam
Winkel, 1997; 579) mengemukakan bahwa keberhasilan seseorang dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas bagi tahap
perkembangan tertentu, artinya bahwa individu yang berhasil
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada setiap tahapan cenderung
mencapai tingkat kematangan yang lebih besar pada masa kehidupan
selanjutnya. Hal inilah Indivudu yang memiliki kematangan karier yang
baik berarti telah memiliki orientasi karier, artinya bahwa indivudu
menggunakan kemampuan dan pemikiran dalam membuat mempersiapkan
karier.
4. Faktor-faktor Kematangan Karier
Berdasarkan bebereapa hasil penelitian, Seligman (1994) menjelaskan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan karier individu
di mana perkembangan karier akan menentuakan kematangan karier.
Faktor-faktort tersebut adalah:
a. Faktor Internal
1. Self-efficacy
Blustein (dalam Watsin et al, 2001) dalam penelitiannya menemukan
bahwa self-efficacy merupakan faktor yang kuat dalam mempegaruhi
kemtangan karier. Begitu juga denga penelitian Zulkaida et al (2007) yang
menyatakan bahwa faktor internal self-efficacy sangat berpengaruh bagi
kematangan karier. Hasil yang sama juga ditemukan dalam penelitian
Creed dan Patton (2003), self-efficacy merupakan faktor internal yang
sangat berpengaruh bagi kematangan karier pelajar di Australia.
2. Locus of control (eksternal-internal).
Luzzo (dalam Watsinet al, 2001) mengemukakan dalam penelitiannya
bahwa faktor locus of control merupakan faktor internal-eksternal yang
berpengaruh terhadap kematangan karier.
3. Usia
Menurut Crites (dalam Barnes & Carter, 2002) mengemukakan bahwa
tingkat kematangan karier remaja seiring dengan mengingkatnya usia.
Kematangan karier berjalan seiring dengan bertambahnya usia dan
mengalami dinamika yang peting pada masa sekolah menengah.
Sementara itu, King (dalam Seligman, 1994) menjelaskan bahwa pada
remaja laki-laki usai meruakan faktir utama yang menentukan tingkat
kematangan karier, karena laki-laki tuntutan terhadap kemantapan karier
lebih difokuskan. Sedangkan pada remaja perempuan usia juga
berpengaruh pada kematangan karier tetapi faktor keluarga lebih
berpengaruh karena selain karier perempuan juga akan disibukan pada
urusan rumah tangga.
b. Faktor sosial-ekonomi
1. Lingkungan
Lingkungan dapat mempengaruhi kematangan karier, setidaknya
memalui tiga cara: kesempatan individu mendapatkan pekerjaan, rasa
aman, dan informasi yang diterima. Beberpa peneliti Anderson & Apostal,
Sewell & Orenstein (dalam Seligman, 1994) mencatat bahwa masyarakat
di kota-kota kecil dan pedesaan cendrung mendapat informasi pekerjaan
yang terbatas, hal ini membuktikan betapa sempitnya pilihan karier di
daerah-daerah tersebut.
2. Status sosial-ekonomi
Pada suatu kesempatan Dillar & Perrin (1980), mengemukakan
bahwa Secara umum, masyarakat dari latar belakang status sosial ekonomi
tinggi memeiliki cita-cita karier yang tinggi pula. Beberapa hal yang
sering dikaitkan dengan latar belakang ekonomi rendah seperti harga diri
yang rendah, informasi karier yang terbatas, keuangan yang tidak
memadai, kurangnya dorongan untuk sukses, dan stereotip yang negatif,
bisa saja benar di beberapa kasus, tetapi tidak ada suatu penjelasan yang
menerangkan bahwa hal-hal tersebut dapat menjadi alasan bahwa individu
dari lingkungan sosial-ekonomi rendah menjadi terbatas dalam pencapaian
karier. Penelitian yang dilakukan oleh Rojewski (dalam Kerka, 1998)
mengemukakan bahwa individu yang erada pada status sosial-ekonomi
rendah cendrung tidak matang dalam kariernya di tahap depan,
dikarenakan mereka tidak memiliki akses untuk mengetahui informasi
tentang perkuliahan dan pekerjaan. Vondracek, Lerner, dan Sculenberg
(dalam Akbulut, 2010) mengindikasikan bahwa status sosial-ekonomi
adalah salah satu faktor yang paling relevan dengan kematangan karier
individu.
3. Jenis Kelamin
Betz & Hackett (1997) membedakan pekerjaan menjadi 2 yaitu:
pekerjaan tradisional dan non tradisional. Perempuan biasanya
berkembang di pekerjaan tradisional, yang bersifat pekerjaan praktik,
namun tetap sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti mengajar, perawat,
dan sekretaris, di mana perempuan lebih dominan (Slegiman, 1994).
Sementara laki-laki cendrung memiliki self-efficacy yang cukup tinggi
untuk dapat memilih dan berkembang di kedua jalur karier tersebut. Laki-
laki cendrung lebih tertarik pada pekerjaan yang menuntut kompetensi,
penguasaan, dan otonomi untuk mendapatkan kekuasaan (power) dan
pencapain yang tinggi di tempat ia bekerja.
B. Self-efficacy
Self-efficacy ini akan ditentukan dalam bidang karier, seperti yang
telah dijelaskan di atas bahwa proposisi Bandura tentang self-efficacy
merupakan salah satu faktor yang turut memberikan pengaruh bagi bidang
kematangan karier. Jika individu tidak yakin dapat berhasil dengan apa
yang dilakukannya, maka ia akan memiliki sedikit motivasi untuk
bertindak, apalagi berhasil. Menurut Friedman & Schustak (2009)
bagaimana bisa berhasil jika sudah tidak ada keyakinan di awal. Sehingga
keyakinan inilah yang penting bagi individu dalam menata karier dan
mencapai kematangan kariernya.
1. Definisi
Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya
untuk menyelesaikan tugas (bandura dalam Thakkar, 2009; 142). Menurut
Pervin (dalam Smet, 1994; 189-190) self efficacy adalah kemampuan yang
diyakini oleh seseorang sehingga membentuk perilaku yang relevan
dengan situasi tertentu.vSelf-eficacy bukan menyangkut ada atau tidak
adanya keterampilan seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu
melainkan lebih kearah persepsi seseorang bersangkutan tentang apa yang
mampu dilakukan dengan ketrampilan yang dimiliki. Jahnson (dalam
Pajares& Urdan, 2003) menyatakan bahwa Self-efficacy adalah harapan
untuk mencapai kesuksesan dengan hasil yang bernilai sesuai dengan
usaha yang dilakukan dan harapan tersebut merupakan salah satu
pendorong yang kuat sehingga menimbulkan usaha untuk menunjang
kesuksesan seseorang.
Menurut Greenhaus&Callanan (2006) Self-efficacy adalah keyakinan
individu akan kemampuannya untuk berhasil dalam kerja dan tugas-tugas
yang telah diberikan. Friedman &Schustack (2009) mendefenisikan Self-
efficacy adalah keyakinan (harapan) tentang seberapah jauh individu
melakukan satu perilaku dalam suatu situasi tertentu. Woolfolk (2009)
mendefenisikan Self-efficacymengacu padapengetahuan individu tentang
keampaunnya sendiri untuk menyeleseaikan tugas tertentu tanpa perlu
membandingkan dengan kemampuan orang lain. Menurut Myers (1996)
mengatakan bahwa Self-efficacy merupakan keyakinan yang berkaitan
dengan bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu
pekerjaan. Di samping itu, Schultz (1994) mendefinisikan self-efficacy
sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita
dalam mengatasi kehidupan.
Pada suatu kesempatan, Bandura (dalam Yao, 2009; 64-65)
mengungkapkan bahwa individu yang kurang percaya diri akan
kemampuannya untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas akan lebih
mungkin untuk menghindari tugas-tugas tersebut daripada mencoba untuk
mengerjakannya. Selain itu bandura (dalam Haycock et al, 1998; 56)
mengemukakan bahwa self-efficacy yang kuat akan mendorong kepada
inisiatif dan ketekunan pada tugas yang lebih besar.
Maka secara khusus dapat disimpulakan lewat pemaparan di atas
bahwa Self-efficacy merupakan suatu keyakinan dan kepercayaan diri yang
ada dalam diri seseorang yang percaya akan kemampuannya baik dari
tingkatan seseorang dalam melakukan tugas, keyakinan seseorang dalam
menyelesaikan tugas dan kekuatan seseorang dalam menyelesaikan
kesulitan sehingga dapat membentuk perilaku yang sesuai dengan harapan
yang diinginkan. Dalam penelitian ini self-efficacy mengacu pada
keyakinan seseorang yang berhubungan dengan proses pencapaian
kematangan karier.
2. Teori Self-efficacy
Teori keyakinan diri (self-efficacy) dicetuskan pertama kali pada
tahun 1977 oleh Albert Bandura, ahli psikologi asal Amerika, sebagai
upaya menjelaskan peranan faktor kognisi dan lingkungan dalam proses
belajar seseorang (Santrock, 2007). Teori self-efficacy merupakan cabang
Social Cognitive Theory atau yang juga biasa dikenal dengan social
learning theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Teori kognitif
sosial menurut bandura menyoroti pertemuan yang kebetulan dan kejadian
tak terduga meskipun pertemuan dan peristiwa tersebut tidak serta merta
mengubah jalan hidup manusia. Cara manusia bereaksi terhadap
pertemuan atau kejadian itulah yang biasanya berperan lebih kuat
dibanding peristiwa itu sendiri (Feits & Feist, 2008).
Teori kognitif sosial berbicara bahwa, manusia memiliki kapasitas
untuk menjadi apa pun, dan sebagian besar kemampuan ini diperoleh dari
belajar kepada model. Jika pembelajaran manusia hanya bergantung
kepada pengalaman langsung trial and error, maka perkembangan manusia
akan berjalan lambat, membosankan, dan berbahaya. Untungnya, manusia
sesudah mengembangkan kapasitas kognitif yang tinggi untuk belajar
lewat pengamatan yang memampukan mereka membentuk dan mestruktur
hidup mereka melalui kekuatan pemodelan. Bandura yakin bahwa
manusia (human agency) adalah makhluk yang sanggup mengatur dirinya,
produktif, reflektif dan mengorganisasikan dirinya. Selain itu, mereka juga
memeiliki kekuatan untuk mempengaruhi tindakan mereka sendiri demi
menghasilkan konsekuensi yang diinginkan (Feits & Feist, 2008).
Oleh sebab itu, Bandura memperkenalkan konsep self-efficacy.
Bandura (1977) mendefenisikan self-efficacy sebagai keyakinan manusia
pada kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian
terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya.
Sedangkan apabila self-efficacy dikaitkan dalam karier, maka menurut
Stajkovic & Luthans (dalam Avey et al, 2009) mengemukakan bahwa
self-efficacy meruapkan kemampuan untuk mengarahakan motivasi,
sumber daya kognitif dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil
melaksanakan tugas dan dalam konteks tertentu.
Self-efficacy dikatakan mempengaruhi bagaimana seseorang
melihat dan mengintrpretsikan suatu kejadian. Individu yang memiliki
self-efficacy yang rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang mereka
lakukan dalam mengahdapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga
mereka cendrug untuk mengalami gejala negatif dari stres. Bandura
(dalam Avey et al 2009) mengungkapkan juga bahwa individu yang
memeliki self-efficacy yang tinggi akan cendrung untuk melihat tantangan
sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan
upaya yang cukup.
Pada suatu kesempatan Bandura (1997) mengemukaka bahwa self-
efficacy dapat mempengaruhi seorang individu menjadi melakukan
dengan sukses perilaku yang diperlukan untuk memperoleh hasil yang
diinginkan. Teori self-efficacy menyatakan bahwa tingkatan dan
kekuatan self-efficacy akan menentukan: (1) apakah perilaku itu akan
dilakukan atau tidak, (2) seberapa banyak usaha yang akan dihasilkan,
dan (3) seberapa lama usaha yang akan didukung dalam menghadapi
tantangan. Teori self-efficacy tidak berkaitan dengan keterampilan
(skill) yang dimiliki individu tetapi lebih berkaitan dengan keputusan
yang mereka miliki berkenaan dengan keterampilan.
Keyakinan diri memberikan pengaruh pada keinginan seseorang
mengembangkan beragam kemampuan dalam diri mereka, seperti halnya
mengembangkan pola-pola baru dalam berperilaku. Individu dengan
keyakinan diri yang tinggi akan membangun kemampuan diri mereka
melalui usaha yang tak kenal lelah, sementara individu dengan keyakinan
diri rendah akan menghambat dan memperlambat pengembangan
kemampuan diri mereka. Seseorang yang mempunyai penilaian yang
negatif terhadap kemampuan dirinya, atau keyakinan diri yang rendah,
dalam melakukan pemilihan karier akan kehilangan minat dan usaha untuk
melakukan pengenalan diri dan pekerjaan, dan mengalami kesulitan jika
menghadapi masalah dalam pemilihan karier. Hal tersebut akan berakibat
pada rendahnya kematangan karier.
3. Aspek-aspek Self-efficacy
Sesuai dengan teori yang telah dipaparkan bahwa teori sosial
kognitif yang dipaparkan bandura tentunya menunjukan bahwa individu
akan melihat kesulitan yang ada sebagai sesuatu yang menantang,
dibandikan dengan sesuatu yang mengancam, secara aktif selalu berusaha
menemukan situasi-situasi baru. Dari teori tersebut makaBandura (1977)
mengajukan tiga aspek self-efficacy, yakni magnitude, generality, dan
strength. Aspek ketiga, strength, memiliki peranan besar dalam
pengukuran self-efficacy bagi kematangan karier. Meski demikian,
Bandura (dalam Leong, 2008) mengemukakan bahwa ketiga aspek
tersebut memiliki implikasi sangat penting pada performa perilaku
seseorang dalam mencapai sebuah tujuan.
a. Tingkatan (Level/Magnitude)
Tingkatan (Level/Magnitude)berkaitan dengan derajat kesulitan
tugas, sejauh mana individu merasa mampu dalam melakukan berbagai
tugas dengan derajat tugas mulai dari yang sederhana, yang agak sulit,
hingga yang sangat sulit. Sebagian orang membatasi diri mereka dalam
berusaha hanya pada tugas-tugas yang mudah saja, sementara sebagian
lainnya memilih melakukan tugas-tugas yang sangat sulit dan mereka
merasa mampu melakukannya. Seseorang yang memiliki self-efficacy
yang tinggi merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan menguasai
permasalahan yang sulit, sedangkan seseorang yang memiliki self-efficacy
yang rendah meyakini bahwa mereka hanya mampu menyelesaikan tugas-
tugas yang sederhana.
b. Generality
Aspek ini menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan
tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Sejauhmana individu yakin
akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari melakukan
suatu aktivitas atau situasi khusus hingga dalam serangkaian tugas atau
situasi yang bervariasi. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari
dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas,
perasaan, di mana kemampuan ditunjukan (tingkah laku, kognitif, afektif),
dan karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku tersebut
ditunjukan. Aktivitas yang bervariasi menutut individu yakin atas
kemampuannya dalam melaksanakan tugas atau aktivitas tersebut, apakah
individu merasa yakin atau tidak. Individu mungkin yakin akan
kemampuannya pada banyak bidang atau pada beberapa bidang tertentu,
misalnya seorang siswa yakin akan kemampuannya pada matapelajaran
matematika tetapi ia tidak yakin akan kemampuannya pada matapelajaran
bahasa inggris, itulah mengapa sehingga ia tidak berhasil menata karirnya
dengan baik.
c. Strength
Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah
mudah digoyakan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.
Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan
dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang
mendukung. Individu yang memiliki self-efficacy rendah, mudah sekali
menghalangi diri mereka menuju kemajuan dan lebih sering melakukan
langkah mundur, sementara mereka yang memiliki self-efficacy tinggi
akan dengan gigih mencapai apa yang menjadi tujuannya meski
mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.
Selain aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura,
ada juga aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Corsini (1994) self-
efficacy terdiri dari empat aspek:
1. Kognitif merupakan kemampuan seseorang memikirkan cara-cara
yang digunakan dan merancang tindakan yang akan diambil untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Motivasi merupakan kemampuan seseorang memotivasi diri
melalui
pikirannya untuk melakukan sesuatu tindakan dan keputusan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.
3. Afeksi merupakan kemampuan mengatasi perasaan emosi yang
timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
4. Seleksi merupakan kemampuan seseorang untuk menyeleksi
tingkah laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan.
Dari dua aspek yang dikemukakan oleh bandura dan Corsini, penulis
lebih memilih aspek yang dikemukakan oleh Bandura. Seseorang yang
memiliki self-efficacy tinggi percaya bahwa mereka dapat menanggulangi
kejadian dan situasi secara efektif. Mereka mempunyai kepercayaan diri
yang tinggi berkaitan dengan kemampuan mereka dibanding dengan orang
yang memiliki self-efficacy rendah, dan mereka hanya menunjukkan
sedikit keraguan terhadap diri sendiri. Mereka melihat kesulitan yang ada
adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan sebagai sesuatu
yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha menemukan
situasi - situasi baru.
Tingginya self-efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan,
meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian masalah, dan
kemampuan berpikir analitis. Oleh sebab itu, siswa dalam pemilihan
kariernya tentu akan menggunakan tiga tingkatan yang dikemukakan oleh
Bandura. Individu dengan harapan yang tinggi mampu mencapai hasil
yang tinggi dalam kariernya. Fungsi dari keberhasilan siswa dalam
pencapaian efficacyyang tinggi, semata-mata untuk meningkatkan usaha
dan ketekunan individu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pajares
(2005), individu yang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang tinggi
akan menunjukan kemampuannya, tingkat usaha yang tinggi, bertahan dan
memiliki keterlibatan kekuatan dari keyakinan yang dimilikinya.
C. Locus Of Control
Berikut ini akan dijelaskan mengenai pengertian locus of control,
teori locus of control, dan aspek locus of control
1. Definisi
Locus of control adalah cara pandang seseorang terhadap suatu
peristiwa apakah individu dapat atau tidak dapat mengendalikan peristiwa
yang terjadi padanya (Salomi, 2004; 635-643). Johan(dalam Kustono;
2011) mengungkapkan bahwalocus of control adalah persepsi sesorang
terhadap keberhasilan ataupun kegagalan dalam melakukan berbagai
kegiatan dalam hidupnya yang dihubungkan dengan faktor eksternal yaitu
nasib, keberuntungan, kekuasaan dan lingkungan kerjaserta dihubungkan
dengan faktor internal individu yang di dalamnya mencakup kemampuan
kerja dan tindakan kerja yang berhubungan dengan keberhasilan dan
kegagalan individu. Oleh karena itu ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh beberapa peneliti-peneliti. Locus of control menurut
Spector (dalam Munir & Sajid, 2010; 21) Didefinisikan sebagai cerminan
dari sebuah kecendrungan seorang individu untuk percaya bahwa dia
mengendalikan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (internal) atau
kendali atas peristiwa yang terjadi dalam hidupnya itu berasal dari hal lain,
misalnya kuasa orang lain (eksternal). Locus of control menurut Lee-
Kelley (dalam April et al, 2012; 13) digambarkan sebagai dimensi dengan
dua sisi yang berlawanan. Dimensi yang mencerminkan sejauh mana
orang percaya bahwa apa yang terjadi kepada mereka adalah dalam
kendali mereka atau di luar kendali mereka.
Pada suatu kesemptan, Robbins (2007; 102) mengemukakan bahwa
internal locus of control adalah keyakinan individu atas pengendalian
dirinya atas apapun yang terjadi pada diinya, eksternal locus of control
adalah keyakinan individu atas pengendalian dari luar dirinya seperti
keberuntungan dan kesempatan. Demirtas & Güneş (dalam Hamedoglu et
al, 2012; 115) mengemukakan bahwa locus of control menurut dapat
didefinisikan sebagai Kekuatan yang mengendalikan tindakan diri
karyawan dan hal-hal yang dilakukan terhadap mereka, selain itu locus of
controldianggap sebagai persepsi orang tentang siapa atau apa yang
bertanggung jawab atas hasil dari perilaku atau peristiwa dalam kehidupan
mereka. Locus of control menurut Robbins (2007, 102) adalah tingkat di
mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri.
Faktor internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan
pemegang kendali atas apa pun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan
faktor eksternal adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi
pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan
dan kesempatan.
Sejalan dengan Locus of control menurut O’Driscoll (2006; 105)
adalah Kecenderungan seseorang dalam mempersepsi suatu keadaan dan
hasil yang akan didapatnya, apakah dibawah kendali dirinya sendiri atau
di bawah kendali sesuatu di luar dirinya yang tidak mampu ia kendalikan,
seperti orang lain, nasib, atau takdir. Locus of control menurut Larsen &
Buss (2002; 243) adalah Suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan
individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Locus
of control menurut Greenhaus&Callanan (2006) adalah Kecendrungan
menempatkan persepsi atas satu kejadian atau hasil yang didapat dalam
hidup individu apakah sebagai hasil dari dirinya sendiri atau karena
bantuan dari sumber-sumber di luar dirinya di mana ia sendiri memiliki
peran yang sangat sedikit, seperti keberuntungan, takdir, atau bantuan
orang lain.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa locus of control adalah persepsi seseorang terhadap
keberhasilan ataupun kegagalannya dalam melakukan berbagai kegiatan
dalam hidupnya yang disebabkan oleh kendali dirinya atau kendali di luar
dirinya.
2. Teori Locus Of Control
Locus of control adalah teori yang dibuat oleh Julian Rotter sebagai
bagian dari teori belajar sosialnya. Teori belajar sosial merupakan respon
terhadap teori psikoanalisis Freus dan Behaviorisme Skinner. Menurut
Rotter, individu memiliki kontrol lebih dari psikoanalisis dan
behaviorisme akan mendapatkan keuntungan dalam hal penguatan.
(Martinez, 2007).
Locus of control adalah cara pandang seseorang terhadap suatu
peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat mengendalikan peristiwa yang
terjadi padanya (dalam Engko& Gudeno; 2007). Larsen dan Buss, (2002)
mendefinisikan locus of control sebagai suatu konsep yang menunjuk pada
keyakinan individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya.
Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang
memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action)
dengan akibat/hasilnya (outcome). Locus of control menurut Hjele dan
Ziegler, (1981); Baron dan Byrne, (1994) diartikan sebagai persepsi
sesorang tentang sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan dalam
melaksanakan pekerjaannya.
Stone dan jackson (dalam Elizabeth, 2006) mengatakan bahwa
seseorang yang memiliki locus of controlinternal yakin bahwa dirinya
memiliki kontrol terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya. Individu
akan melakukan perubahan terhadap dirinya dan tindakan-tindakannya
serta yakin dan seolah-olah dirinya mampu mengendalikan masa depannya
dan memandang dirinya sendiri sebagai agen yang efektif dalam
menentukan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
b. Aspek-aspek Locus Of Control
Aspek-aspek locus of control dikemukakan oleh Rotter berdasarkan
teori belajar sosial (Ryff & Keyes; 1995). Dalam teori belajar ini, Rotter
mengemukakan dua aspek utama yaitu internal locus of control dan
eksternal locus of control. Rotter (dalam Corsini & Marsella, 1983)
menjelaskan aspek locus of control:
1. Locus Of Control Internal
Individu dengan pusat kendali internal cenderung mengangap
bahwa keterampilan (skill), kemampuan (ability), dan usaha (effort)
mereka sendiri lebih menentukan apa yang mereka peroleh dalam hidup
mereka. Mereka meyakini bahwa merekalah yang mengendalikan nasib
dan apa pun yang terjadi dalam hidup mereka.locus of controlinternal
mengacu pada orang-orang yang percaya bahwa hasil, keberhasilan dan
kegagalan mereka adalah hasil dari tindakan dan usaha mereka sendiri.
individu yang memiliki kecendrungan locus of control internal adalah
individu yang memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan segala
peristiwa dan konsekuensi yang memberikan dampak pada hidup mereka.
Individu dengan locus of control internal mempunyai persepsi
bahwa lingkungan dapat dikontrol oleh dirinya sehingga mampu
melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan keinginannya. Faktor
internal individu yang di dalamnya mencakup kemampuan kerja,
kepribadian, tindakan kerja yang berhubungan dengan keberhasilan
bekerja.
Aspek Internal locus of control memiliki beberapa ciri yang
diungkapkan oleh Crider (dalam Certi et al, 2012):
1. Suka bekerja keras.
2. Memiliki inisiatif yang tinggi.
3. Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah.
4. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin.
5. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika
ingin berhasil.
2. Locus Of Control Eksternal
locus of control eksternal mengacu pada keyakinan bahwa
kesempatan, nasib, manajer, supervisor, organisasi dan hal-hal yang
lainnya dapat lebih kuat untuk membuat keputusan tentang kehidupan dan
hasil dari seorang individu. Individu dengan locus of control eksternal
tinggi cenderung akan pasrah terhadap apa yang menimpa dirinya tanpa
usaha untuk melakukan perubahan, sehingga cenderung untuk menyukai
perilaku penyesuaian diri terhadap lingkungan agar tetap bertahan dalam
situasi yang ada.
Aspek eksternal locus of control memiliki beberapa ciri yang
diungkapkan oleh Crider (dalam Certi et al, 2012):
1. Kurang memiliki inisiatif.
2. Mempunyai harapan bahwa sedikit korelasi anatara usaha dan
kesuksesan.
3. Kurang suka berusaha karena faktor luar yang mengontrol.
4. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah.
D. Hasil-hasil Penelitian
1. Self-efficcay Dan Jenis Kelamin Dengan Kematangan Karier
Penelitian yang dilakukan oleh Olanrewaju (2013),
mengemukakan bahwa ada pengaruh self-efficacay terhadap karier remaja
di Nigeria. Sampelnya 210 peserta dipilih secara acak dari tujuh sekolah
menengah di Nigeria, dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Usia dari 14-20 tahun. Hasil penelitian menunjukan ada
pengaruh signifikan antara self-efficacy terhadap karier, dengan jumlah
(ΔR2 = .18, β = .27, df (5,204) = 3.71, p < .05). Hal yang sama juga
dilakukan oleh Wibowo (2010) mengungkapkan bahwa self-efficacy dan
jenis kelamin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kematangan
karier. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bozgeyilki et al
(2009) kepada 364 pemuda di Turki dengan menggunakan metode random
sampling. Temuannya menunjukan tidak adanya pengaruh yang signifikan
antara self-eeficacay dan jenis kelamin terhadap kematangan karier bagi
pemuda-pemudi yang memiliki status sosial ekonomi yang berbeda, denga
hasil penelitiannya F=28,555, p<.001. Penelitian yang sama juga
dilakukan oleh Zulkaida et al (2007), yang menemukakan bahwa
sumbangan self-efficacy tidak berpengaruh signifikan terhadap
kematangan karier, dengan nilai sebesar 1,548 (p>0.05). Tyaset al(2012)
kepada siswa SMK Muhammadiyah 2 Andong Boyolali, secara parsial
tidak ada pengaruh yang signifikan antara self-efficacy dan jenis kelamin
dengan kematangan karier pada siswa. Hal ini ditunjukan dengan koefisien
korelasi sebesar o,115, p>0,05. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Racmawati (2012) pada mahasiswa tingkat akhir dan mahasiswa angkatan
2010 universitas Surabaya, dengan jumlah sampel 273 orang, dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitiannya menunjukan
tidak ada hubungan self-efficacy dan jenis kelamin dengan kematangan
karier pada mahasiswa tingkat akhir dengan nilai p>0,05.
Dari hasil penelitian pro dan kontra yang telah dikemukakan maka
hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat self-efficacy siswa laki-laki dan
perempuan maka semakin tinggi pula tingkat kematangan kariernya. Self-
efficacy dijelaskan sebagai suatu kemampuan individu dalam
mengorganisir dan melaksanakan tindakan guna mencapai sesuatu yang
ingin dicapai. Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada pengaruh
interaksi antara self-efficacy dengan kematangan karier siswa kelas XII
SMA Negeri 1 Larat Maluku Tenggara Barat.
2. Locus Of Control Dan Jenis Kelamin Dengan Kematangan
Karier
Zulkaida et al (2007) pada siswa kelas XI SMA 39 Jakarta, dengan
menggunakan analisis regresi berganda, mendapatkan hasil bahwa Locus
of Control dan jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kematangan karier siswa SMA Sebesar 3,886 (p<0,05). Sejalan dengan
itu, penelitian yang dilakukan oleh oleh Olanrewaju (2013),
mengemukakan bahwa ada pengaruh locus of control dan jenis kelamin
terhadap karier remaja di Nigeria, dengan menggunakan teknik simple
random sampling. Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh signifikan
antara dilakukan oleh remaja di Negeria dengan jumlah 0,89; p<0,05. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh Akbult (2010) yang mengungkapkan
bahwa locus of control dan jenis kelamin berpengaruh secara positif
terhadap kematangan karier. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Pinasti (2011) mengemukakan bahwa tidak ada pengaruh signifikan
locus of control dan jenis kelamin mempengaruhi kematangan karier
remaja, di mana hasil penelitiannya menunjukan eksternal locus of control
sebesar -0,027, dan internal locus of control sebesar -0,207, p>0,05.
sementara Wibowo (2010) mengungkapkan bahwa locus of control dan
jenis kelamin tidak memberikan pengaruh terhadap kematangan karier.
Dari hasil-hasil penelitian di atas, ada yang mendukung dan
menolak tentunya memberikan sebuah kontribusi dan pemahaman bahwa
locus of control dan jenis kelamin merupakan suatu konsep yang
menunjukan pada keyakinan siswa laki-laki dan perempuan mengenai
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup. Locos of control
menggambarkan seberapa jauh laki-laki dan perempuan memandang
hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action) dengan akibat atau
hasil (outcome). Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada pengaruh
interaksi antara locus of control dengan kematangan karier siswa kelas XII
SMA Negeri 1 Larat Maluku Tenggara Barat.
3. Self-efficacy Dan Locus of Control dengan Kematangan Karier
Penelitian yang dilakukan oleh Olanrewaju (2013)
mengungkapkan bahwa secara simultan ada hubungan yang positif
signifikan antara self-efficacy dan locus of control terhadap karier dengan
jumlah r = 0,89; p< 0,05. Sama hal juga, penelitian yang dilakukan oleh
Zulkaida et al (2007) mengemukakan self-efficacy dan locus of control
ketika diuji secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap
kematangan karier dengan nilai f diperoleh 13,599 (p<0,01). Penelitian
yang dilakukan oleh Pinasti (2012) mengungkapkan bahwa secara
simultan tidak ada pengaruh yang signifikan antara self-efficacy dan locus
of control terhadap kematangan karier, dengan nilai F diperoleh 0,201
(p>0,01). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fogarty & Bayne (2008)
bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara self-efficacy dan locus of
control terhadap karier atlet, dengan hasil -0,44 (p>0,01).
Berdasarkan hasil penelitian self-efficacy dan locus of control
dengan kematangan karier, maka terlihat kedua variabel sama-sama
berkontribusi terhadap kematangan karier. Meningkatnya self-efficay akan
meningkatnya kematangan karier, sementara semakin internal locus of
control individu akan meningkat pula kematangan kariernya. Berdasarkan
hal ini maka variabel self-efficacy dan locus of control sama-sama
mendukung terciptanya serta meningkatnya kematangan karier. Dengan
demikian hipotesis yang dibangun adalah ada hubungan signifikan antara
self-efficacy dan locus of control dengan kematangan karier kelas XII
SMA Negeri 1 Larat Maluku Tenggara Barat.
E. Dinamika Psikologis Hubungan Antara Variabel
1. Self-efficacy Dan Jenis Kelamin Terhadap Kematangan Karier
Dalam proses mempersiapkan karier, siswa laki-laki dan
perempuan diharapkan memeiliki keyakinan diri untuk memberikan
pengaruh pada keinginan untuk mengembangkan beragam kemampuan
dalam diri mereka. Pendapat ini sejalan dengan yang dilakukan oleh
Wibowo (2010) mengungkapkan bahwa self-efficacy dan jenis kelamin
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kematangan karier. siswa
laki-laki dan perempuan yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan
berpikir bahwa hambatan atau kendala selalu dapat diatasi melalui
pengambangan diri dan ketekunan. Dengan keyakinan diri yang tinggi
akan membangun kemampuan diri melalui usaha yang tidak kenal lelah,
sementara siswa laki-laki dan perempuan dengan self-efficacy rendah akan
menghambat dan memperlambat pengambangan kemampuan diri mereka.
Sejalan dengan itu penelitian yang dilakukan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Patton dan Creed (2003) pada pelajar di Australia berhasil
mengungkapkan bahwa ada hubungan self-efficacy dan jenis kelamin
dengan kematangan karier siswa Australia. Dengan demikian siswa laki-
laki dan perempuan yang mempunyai penilaian negatif terhadap
kemampuan dirinya, atau self-efficacy yang rendah, dalam melakukan
pemilihan karier akan merasa cemas, kehilangan minat dan usaha untuk
melakukan pengenalan diri dan pekerjaan dan mengalami kesulitan jika
menghadapi masalah dalam pemilihan karier. Hal ini akan berakibat pada
rendahnya kematangan karier.
2. Locus Of Control Dan Jenis Kelamin dengan Kematangan
Karier
Manusia bekerja tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan
fisiologisnya saja, tetapi membutuhkan suatu peningkatan non materi yang
lebih bersifat perwujudan dan aktualisasi diri yaitu dalam bentuk karier.
Siswa laki-laki dan perempuan yang mempunyai internal locus of control
ketika di hadapkan dengan pemilihan karier, maka akan melakukan usaha
untuk mengenali diri, mencari tahu tentang pekerjaan dan langkah-langkah
pendidikan serta berusaha mengatasi masalah yang berkaitan dengan
pemilihan karier, dan jika siswa laki-laki dan perempuan mengimbangi
internal locus of control yang tinggi dengan eksternal locus of control
yang sedang maka akan membuat siswa laki-laki dan perempuan matang
dalam karier.
Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2010)
bahwa Siswa dengan internal locus of control yang tinggi cenderung
menganggap bahwa keterampilan, kendali kemampuan, dan usaha mereka
sendiri lebih menentukan apa yang mereka peroleh dalam hidup mereka.
Siswa yang memiliki eksternal locus of control yang sedang akan
menunjukkan bahwa siswa laki-laki dan perempuan lebih lebih
mengimbangi usaha dalam mendukung kesuksesan atau kegagalan dalam
hidup mereka dengan lingkungan yang berada disekitar mereka. Penelitian
yang dilakukan oleh Akbult (2010) yang mengungkapkan bahwa locus of
control dan jenis kelamin berpengaruh secara positif terhadap kematangan
karier. Artinya bahwa Siswa laki-laki dan perempuan cenderung tidak
terlalu menganggap bahwa hidup mereka ditentukan terutama oleh
kekuatan dari luar diri mereka, seperti nasib, takdir, keberuntungan, dan
orang lain yang berkuasa. Locus of control memiliki dampak yang
memainkan peran penting dalam ranah kehidupan seseorang lebih kusus
memperoleh karier yang baik.
3. Perbedaan Jenis Kelamin Dengan Kematangan Karier
Dalam karier perbedaan jenis kelamin membawa perbedaan terhadap
tinggi rendahnya kematangan karier. Hirschi & Lage (2007) menjelaskan
lewat hasil penelitiannya bahwa siswa yang pada usia 12-16 tahun,
pemilihan kariernya berada pada fase telah memilih bidang karier tertentu
namun belum yakin dengan pilihannya. Berdasarkan pada perebedaan
jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, dijelaskan bahwa laki-laki
memilih bidang kariernya berdasarkan pada bidang pekerjaan orang
tuanya. Sementara hasil temuan yang dilakukan oleh perempuan
menunjukan bahwa siswa perempuan lebih menghadapi kesulitan dalam
pengambilan keputusan karier. Hal ini dikarenakan perempuan lebih
menghadapi kemungkinan dibatasi untuk memilih bidang karier. Dengan
demikian hipotesis yang dirumuskan adalah ada perbedaan kematangan
karier ditinjau dari jenis kelamin siswa kelas XII SMA Negeri Larat
Maluku Tenggara Barat .
F. Model Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka model penelitian
yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
X1(Self Efficacy)
Kematangan Karier
Locus Of Control
(eksternal-
internal) Jenis Kelamin
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah pada Bab 1, hasil-hasil penelitian
sebelumnya, dan model penelitian yang ada, maka hipotesis penelitian ini
adalah:
1. Ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dan locus of
control dengan kematangan karier siswa kelas XII SMA Negeri 1
Larat Maluku Tenggara Barat
2. Ada pengaruh interaksi yang signifikan dari Self-efficacy dan jenis
kelamin dengan kematangan karier siswa kelas XII SMA Negeri 1
Larat Maluku Tenggara Barat
3. Ada pengaruhinteraksi yang signifikan dari locus of control dan
jenis kelamin dengan kematangan karier siswa kelas XII SMA
Negeri 1 Larat Maluku Tenggara Barat.
4. Ada perbedaan kematangan karier ditinjau dari jenis kelamin siswa
kelas XII SMA Negeri 1 Larat kelas Maluku Tenggara Barat.