11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lanjut Usia
2.1.1 Pengertian Lanjut Usia
Lanjut usia atau disebut juga lansia adalah individu yang berada dalam
tahapan usia dewasa akhir dengan usia diatas 60 tahun. Lansia adalah periode
penutup dalam rentang hidup seseorang dengan usia diatas 60 tahun sehingga terjadi
perubahan-perubahan seperti penurunan, kelemahan, meningkatnya kerentanan
terhadap penyakit dan perubahan lingkungan (Yulianti, 2016).
Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua
merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Saat lanjut usia seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental, sosial secara bertahap (Azizah, 2011 dalam Yulianti, 2016).
2.1.2 Batasan Lanjut Usia
Menurut World Health Organization (WHO), ada 4 tahapan lanjut usia yaitu
1. Usia pertengahan (middle age), yaitu usia 45-59 tahun
2. Lanjut usia (elderly), yaitu usia 60-74 tahun
3. Lanjut usia tua (old), yaitu usia 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old), yaitu usia diatas 90 tahun
2.1.3 Proses Penuaan
Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur
seseorang. Manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur
tersebut. Semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ antara
manusia yang berumur 70 tahun dengan mereka yang berumur 30 tahun, yaitu berat
otak pada lansia 56%, aliran darah ke otak 80%, cardiac output 70%, jumlah glomerulus
12
56%, glomelular filtrastion rate 69%, vital capacity 56%, asupan O2 selama olahraga 40%,
jumlah dari axon pada saraf spinal 63%, kecepatan pengantar impuls sarat 90%, dan
berat badan 88%. Banyak faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut,
sehingga terdapat teori-teori yang menjelaskan mengenai faktor penyebab proses
penuaan ini. Di antara teori yang terkenal adalah teori telomere dan teori radikal
bebas, yang di kemukakan oleh J.M. McCord dan I. Fridovich dan Denham Harman
tahun 1956 (Sunaryo, et al., 2015).
Adapun faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut dapat dibagi atas
dua bagian. Pertama, faktor genetik, yang melibatkan perbaikan DNA, respons
terhadap stres, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua, faktor lingkungan, yang
meliputi pemasukan kalori, berbagai macam penyakit, dan stres dari luar, misalnya
radiasi atau bahan-bahan kimia. Kedua faktor tersebut akan memengaruhi aktivitas
metabolisme sel yang akan menyebabkan terjadinya stres oksidasi sehingga terjadi
kerusakan pada sel yang menyebabkan terjadinya proses penuaan (Sunaryo, et al.,
2015).
2.1.4 Perubahan pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari penurunan mental dan
perubahan fisik.
1. Perubahan mental
Perubahan mental lansia dapat berupa perubahan sikap yang semakin
egosentrik, mudah curiga, dan bertambah pelit atau tamak jika memiliki sesuatu.
Lansia mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyarakat. Sikap umum yang
sering ditemukan pada setiap lansia yaitu keinginan untuk berumur panjang. Jika
meninggal, mereka ingin meninggal secara terhormat dan masuk surga. Faktor
yang mempengaruhi perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan,
13
keturunan dan lingkungan. Nilai seseorang sering diukur melalui
produktivitasnya dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami
pensiun, seseorang akan mengalami kehilangan, yaitu kehilangan finansial,
kehidupan status, kehilangan teman dan kehilangan pekerjaan (Nugroho, 2008
dalam Yulianti, 2016).
2. Perubahan fisik
Menurut Hutapea (2005) dalam Yulianti (2016) perubahan fisik yang
dialami oleh lansia adalah sebagai berikut.
1) Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh menjadi
rentan terhadap alergi dan penyakit.
2) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan
mencerna makanan serta penyerapan mulai lamban dan kurang efisien,
gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi.
3) Perubahan pada sistem metabolik, yang mengakibatkan gangguan
metabolisme insulin yang menurun. Sekresi menurun juga karena timbunan
lemak.
4) Sistem syaraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat,
kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang, reaksi
rambut, fungsi mental menurun, dan ingatan visual berkurang.
5) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas
paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan
munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.
6) Perubahan pada sistem sensori seperti penurunan penglihatan, penurunan
pendengaran, penurunan sensitifitas pada perabaan, pengecap dan
penurunan penciuman.
14
2.1.5 Penilaian Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)
Proses penuaan pada lansia menyebabkan terjadinya perubahan dan
penurunan mental sehingga diperlukan pengkajian untuk mengetahui fungsi
intelektual lansia. Pengkajian fungsi intelektual dapat menggunakan Short Portable
Mental Status Questionnaire (SPMSQ). Pengkajian ini digunakan untuk mendeteksi
tingkat kerusakan intelektual. Instrumen SPMSQ terdiri dari 10 pertanyaan tentang
orientasi, riwayat pribadi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan
perawatan diri, memori jauh dan kemampuan matematis. Penilaian dalam pengkajian
SPMSQ adalah nilai 1 jika salah dan nilai 0 jika benar (Sunaryo, et al., 2015).
Tabel 2.1 Pertanyaan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)
Pertanyaan
Tanggal berapa hari ini ? Hari apa sekarang ? Apa nama tempat ini ? Dimana alamat anda? Barapa umur anda ? Kapan anda lahir ? Siapa presiden indonesia ? Siapa nama presiden indonesia sebelumnya ? Siapa nama ibu anda ? Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari setiap angka yang baru, semua secara menurun.
Interpretasi :
1. Salah 0-3 = Fungsi Intelektual utuh
2. Salah 4-5 = Kerusakan Intelektual ringan
3. Salah 6-8 = Kerusakan Intelektual sedang
4. Salah 9-10 = Kerusakan Intelektual berat
2.1.6 Penyakit pada Lansia
Fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses penuaan sehingga
penyakit tidak menular banyak muncul pada lanjut usia. Selain itu masalah degeneratif
15
menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular.
Hasil Rikesdas 2013, penyakit terbanyak pada lanjut usia adalah Penyakit Tidak
Menular (PTM) antara lain hipertensi, artritis atau penyakit asam urat, stroke,
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan Diabetes Mellitus (DM). Penyakit arthritis
atau penyakit asam urat merupakan penyakit yang sering terjadi pada lansia dan
mendapat urutan nomer dua setelah hipertensi yaitu dengan prevalensi usia 55-64
tahun sebesar 45%, usia 65-74 tahun sebesar 51,9%, usia diatas 75 tahun sebesar
54,8 % (Infodatin, 2016).
2.2 Konsep Penyakit Asam Urat (Gout)
2.2.1 Pengertian Penyakit Asam Urat (Gout)
Asam urat adalah suatu senyawa turunan dari purin atau hasil akhir dari
pemecahan purin. Dalam kadar normal asam urat dalam tubuh berfungsi sebagai
antioksidan alami. Kadar asam urat normal pada pria yaitu 3,0-7,0 mg/dL, sedangkan
pada wanita kadar asam urat normal yaitu 2,4-6,0 mg/dL. Namun, jika kadar asam
urat dalam darah berlebihan dapat menjadi indikator adanya suatu penyakit (Sari &
Syamsiyah, 2017).
Penyakit asam urat adalah suatu penyakit radang sendi yang dapat
menimbulkan rasa panas, bengkak, nyeri, dan kaku pada persendian. Penyakit ini
biasanya disebabkan oleh kandungan asam urat yang berlebih dalam darah sehingga
terjadi penumpukan kristal asam urat dipersendian dan jaringan lunak lainnya. Hal ini
yang menyebabkan peradangan dan nyeri hebat (Sari & Syamsiyah, 2017).
2.2.2 Tanda dan Gelaja Penyakit Asam Urat (Gout)
Pada umumnya gout berkembang setelah beberapa tahun terjadi penumpukan
kristal asam urat pada sendi dan jaringan sekitarnya. Gout mempunyai gejala khas
16
yang dirasakan oleh penderitanya, seperti nyeri disalah satu sendi atau lebih. Pada
malam hari, nyeri ini akan semakin terasa sehingga mengakibatkan persendian
menjadi bengkak, kulit menjadi merah atau keungguan, jika kulit di persendian
disentuh akan terasa hangat, kaku dan kesemutan. Terkadang daerah sendi dapat juga
mati rasa karena pembengkakan dan peradangan sehingga menjadi sulit untuk
bergerak pada daerah tertentu. Gejala tersebut paling sering mempengaruhi sendi di
dasar ibu jari kaki, sering juga terasa ditelapak kaki, pergelangan kaki, lutut dan siku.
Tetapi gejala ini menghilang dalam 5-10 hari dan muncul kembali di kemudian hari.
Dalam serangan gout terus-menerus akan terjadi benjolan (tophi) yang sering terlihat
pada tangan, kaki, siku, jari, pergelangan tangan, lutut dan juga terdapat di sekitar
sumsum tulang belakang (Milind, Sushila, & Neeraj, 2013).
Pada penderita gout pada akhirnya menyebabkan cacat permanen. Cairan
kantong pada jaringan bursae (bantalan) bisa menyebabkan peradangan dan mengarah
ke bursitis. Ketika ini terjadi pada siku disebut olcranon bursitis, sedangkan jika terjadi di
lutut disebut bursitis prepaltellar. Kulit disekitar daerah yang terkena mungkin gatal dan
mengelupas setelah penurunan serangan gout. Beberapa penderita memiliki suhu
tinggi 39oC dengan atau tanpa menggigil. Hal ini umumnya disebabkan karena sakit
yang tidak tertahankan dan ketidakseimbangan metabolisme dalam tubuh (Milind,
Sushila, & Neeraj, 2013).
2.2.3 Faktor-faktor Risiko Penyakit Asam Urat (Gout)
Timbulnya penyakit asam urat berkaitan dengan interaksi antara berbagai
faktor risiko atau faktor pemicu. Faktor-faktor yang dapat memicu penyakit asam
urat yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, usia, obesitas. Secara umum, penyakit
asam urat ini dapat terjadi melalui mekanisme seperti peningkatan produksi asam urat
dan gangguan pengeluaran asam urat (Sari & Syamsiyah, 2017).
17
Peningkatan kadar asam urat dapat terjadi karena terlalu banyak
mengkonsumsi makanan tinggi purin, dipengaruhi oleh penggunaan obat-obat
tertentu yang dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah seperti obat untuk
penderita hipertensi, aspirin dan obat yang mengandung niasin. Selain itu,
peningkatan kadar asam urat terjadi akibat kelainan bawaan seperti kekurangan enzim
HGPRT yang menyebabkan metabolisme purin bawaan dan aktivitas enzim fosforibosil
piro fosfat sintetase (PRPP -sintetase) yang berlebih (Sari & Syamsiyah, 2017).
Penyakit asam urat dapat terjadi akibat adanya gangguan pada proses
pengeluaran asam urat. Pada umumnya, sebanyak 70% asam urat dapat dikeluarkan
melalui ginjal dan urin, dan sebanyak 30% dikeluarkan melalui saluran pencernaan
yang dikeluarkan bersama feses. Gangguan pada proses pengeluaran asam urat dapat
terjadi karena gangguan pada fungsi ginjal, konsumsi alkohol berlebih, konsumsi
obat-obatan tertentu, kondisi medis tertentu seperti ketoasidosis, dehidrasi, adanya
hiperparatiroidism, dan sarkoidosis sehingga terjadi peningkatan kadar kalsium darah, dan
olahraga terlalu berat sehingga terjadi penumpukan asam laktat (Sari & Syamsiyah,
2017).
2.2.4 Stadium Penyakit Asam Urat (Gout)
Gout arthritis, meliputi 3 stadium dalam Sholihah (2014) :
1. Gout Arthritis Stadium Akut
Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur
tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak
dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa
nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam,
menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering pada MTP-1 yang biasanya
disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena sendi lain yaitu
18
pergelangan tangan/kaki, lutut, dan siku. Faktor pencetus serangan akut antara
lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stress, tindakan
operasi, pemakaian obat diuretik dan lain-lain.
TFP (Task Force Panel) merekomendasikan penatalaksanaan awal arthritis
gout pada stadium akut yaitu dengan farmakoterapi dalam 24 jam pertama
serangan. Pilihan regimen terapi merekomendasikan pemberian monoterapi
sebagai terapi awal antara lain NSAIDs, kortikosteroidoral atau kolkisin oral.
Kombinasi terapi diberikan berdasarkan tingkat keparahan sakitnya, jumlah
sendi yang terserang atau keterlibatan 1-2 sendi besar. Allopurinol tidak diberikan
saat serangan akut arthritis gout. Namun, jika pasien telah mendapatkan
allopurinol secara regular ketika serangan akut muncul, sebaiknya dilanjutkan
dalam dosis yang sama. Untuk pasien yang perlu memulai allopurinol, tunggu
setindaknya 2 minggu sampai serangan akut teratasi untuk memulai terapi.
2. Stadium Interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode
interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak dapat ditemukan tanda-
tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini
menunjukkan bahwa proses peradangan masih terus berlanjut, walaupun tanpa
keluhan.
3. Stadium Gout Arthritis Kronik
Stadium ini umumnya terdapat pada pasien yang mampu mengobati
dirinya sendiri (self medication). Sehingga dalam waktu lama tidak mau berobat
secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang
banyak dan poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat,
kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang paling sering pada
19
aurikula, MTP-1, olekranon, tendon achilles dan distal digiti. Tofi sendiri tidak
menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi disekitarnya, dan menyebabkan
destruksi yang progresif pada sendi serta dapat menimbulkan deformitas. Pada
stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal
menahun.
Penyakit asam urat ditandai dengan serangan-serangan nyeri hebat dan
kemerahan pada bagian bawah sendi dari ibu jari kaki, yang terjadi pada waktu
tengah malam. Serangan berkurang dalam beberapa hari tetapi berulang kembali.
Lama kelamaan, sendi dirusak oleh endapan kristal asam urat didalam sinovia dan
tulang rawan. Asam urat didalam serum meningkat. Penyakit ini dianggap
sebagai suatu penyakit orang berada yang memakan makanan yang kaya akan
DNA, yang memproduksi banyak asam urat (Milind, Sushila, & Neeraj, 2013).
Berdasarkan American College of Rheumatology pada tahun 2012 mengenai pedoman
penatalaksanaan gout, derajat Arthritis Gout berdasarkan beratnya serangan akut
seperti dijelaskan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.2 Intensitas serangan artritis gout berdasarkan derajat nyeri (0-10 skala numerik)
Derajat Skala
Ringan 1-3 Sedang 4-6 Berat 7-10
Sumber: American College of Rheumatology, 2012
Subkomite The American Rheumatism Association dalam Sholihah (2014)
menetapkan bahwa kriteria diagnostik untuk gout adalah:
1. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi.
2. Tofi terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan
mikroskopik dengan sinar terpolarisasi.
3. Diagnosis lain, seperti ditemukan 6 dari beberapa fenomena klinis, laboratoris,
dan radiologis sebagai tercantum dibawah ini:
20
1) Lebih dari sekali mengalami serangan arthritis akut.
2) Terjadi peradangan secara maksimal dalam satu hari.
3) Serangan artrtis monoartikuler.
4) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang.
5) Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau
membengkak.
6) Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki).
7) Serangan unilateral pada sendi MTP 1.
8) Dugaan tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di kartilago
artikular (tulang rawan sendi) dan kapsula sendi.
9) Hiperurikemia, yaitu pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh
saja).
10) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja).
2.2.5 Patofisiologi Penyakit Asam Urat (Gout)
Arthritis ada 3 tipe yaitu rheumatoid arthritis, osteoarthritis, gout arthritis. Gout
sangat menyakitkan dan menyebabkan cacat sementara ataupun permanen. Secara
umum, gout disebabkan oleh tingginya kadar asam urat dalam darah yang disebut juga
hiperurisemia. Pada tahap awal, umumnya mempengaruhi satu atau dua sendi.
Kemudian hal itu semakin menyebar di berbagai sendi seperti jari kaki, pergelangan
kaki, lutut, penggelangan tangan, dan siku (Milind, Sushila, & Neeraj, 2013).
Asam urat adalah produk metabolisme RNA dan DNA. Hal ini secara
kimiawi terbentuk dalam tubuh setelah mengonsumsi makanan tertentu yang tinggi
protein, purin dan lemak. Normalnya asam urat dibuang melalui urine tetapi ketika
tubuh gagal untuk metabolisme protein dan asupan purin yang tinggi, menyebabkan
peningkatan kadar asam urat. Kondisi ini dapat disebabkan karena kerusakan ginjal
21
sehingga asam urat yang berlebihan tersebut tidak dapat dikeluarkan dari tubuh dan
akan mengendap pada sendi dan jaringan tubuh (Milind, Sushila, & Neeraj, 2013).
Kumpulan kristal monosodium urat yang biasa dikelilingi oleh sel raksa disebut
juga tophi. Tophi mudah terlihat di sendi jari dan ekstremitas lain. Ketika kristal asam
urat menyatu dengan sel-sel darah putih, maka akan menyebabkan rasa sakit yang luar
biasa, kemerahan dan peradangan pada sendi. Ketika kadar asam urat yang tinggi
dalam tubuh maka akan terjadi endapan dalam ginjal yang akan membentuk batu
ginjal. Batu asam urat terbentuk ketika urine memiliki pH rendah (sangat asam). Tophi
mikro kristal urat (sangat bermuatan negatif dan reaktif) biasanya dilapisi dengan
protein serum (apolipo protein Apo E atau Apo B). Hal ini secara fisik menghambat
pengikatan kristal urat pada reseptor sel. Serangan gout dapat dipicu oleh pelepasan
kristal yang terus-menerus (misalnya akibat pelepasan sebagian dari microtophus yang
disebabkan oleh perubahan kadar serum asam urat) atau pengendapan kristal karena
supersaturasi cairan oleh asam urat dalam tubuh (misalnya pelepasan urat karena
kerusakan sel). Kristal-kristal urat sendiri berinteraksi dengan reseptor sel-sel dendrit
lokal dan makrofag, sehingga menjadi aktivitas sistem imun bawaan. Interaksi ini
dapat ditingkatkan dengan imunoglobulin G (IgG) yang dapat mengikat, memicu
reseptor (termasuk Toll- seperti reseptor (TLR)), inflammasomes NALP3, dan reseptor
diekspresikan pada sel-sel myeloid (TREMs) oleh MSU (monosodium urat) hasil dalam
produksi interleukin (IL)-1. Hal ini mengaktifkan produksi pro-inflamation sitokinin
termasuk IL-6, IL-8, faktor kemotaktik neutrofil dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha.
Fagositosis neutrofil menyebabkan banyaknya produksi mediator inflamasi yang lain.
Penurunan dari serangan asam urat akut disebabkan oleh beberapa mekanisme,
termasuk pembersihan neutrofil yang rusak, melapisi kembali kristal asam urat dan
prosuksi sitokinin anti-inflamasi termasuk, IL-1RA, IL-10 dan mengubah faktor
22
pertumbuhan (TGF)-beta. Semua ini pada akhirnya akan menyebabkan rasa nyeri,
kemerahan, pembengkakan di sekitar sendi (Milind, Sushila, & Neeraj, 2013).
2.3 Konsep Nyeri
2.3.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, persepsi
seseorang terhadap nyeri sangat ditentukan oleh pengalaman dan status emosional.
Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi dan subjektif. Oleh karena, suatu rangsangan
nyeri yang sama dapat dirasakan berbeda oleh kedua orang yang berbeda bahkan
suatu rangsangan nyeri yang sama dapat dirasakan berbeda oleh satu orang karena
keadaan emosionalnya yang berubah ataupun berbeda (Zakiyah, 2015).
2.3.2 Klasifikasi Nyeri
1. Klasifikasi Berdasarkan Lama Waktu Kejadian
Nyeri berdasarkan dengan lama waktu kejadian menurut Potter & Perry
(2016) dapat dibagi mejadi 2 yaitu
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah respon fisiologis normal yang diramalkan terhadap
rangsangan kimiawi, panas, atau mekanik menyusul suatu pembedahan,
trauma, dan penyakit akut. Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan
oleh kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses
penyembuhannya, terjadi dalam waktu singkat dari 1 detik sampai kurang dari
6 bulan.
2) Nyeri kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang menetap melampaui waktu
penyembuhan normal yakni 6 bulan. Nyeri kronis dibedakan menjadi 2, yaitu
23
nyeri nonmaligna (nyeri kronis persisten dan nyeri kronis intermitten) dan
nyeri kronis maligna.
2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri menurut Andarmoyo (2013), nyeri dapat
dibedakan menjadi:
1) Somatic pain yaitu nyeri yang timbul karena adanya gangguan bagian luar tubuh.
2) Nyeri pantom (phantom pain) yaitu nyeri khusus yang dirasakan klien yang
mengalami amputasi.
3) Nyeri menjalar (radiation of pain) yaitu sensasi nyeri yang meluas dari tempat
awal cedera ke bagian tubuh yang lainnya.
4) Nyeri alih (reffered pain) yaitu nyeri yang timbul akibat adanya nyeri fiseral yang
menjalar ke organ lain sehingga nyeri dirasakan pada beberapa tempat.
3. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Etiologi
1) Nyeri fisiologi atau nyeri organik merupakan nyeri yang diakibatkan oleh
kerusakan organ tubuh. Penyebab nyeri umumnya mudah dikenali sebagai
akibat adanya cedera, penyakit, atau pembedahan salah satu atau beberapa
organ (Andarmoyo, 2013).
2) Nyeri psikogenik, penyebab fisik nyeri ini sulit diidentifikasi karena nyeri ini
disebabkan oleh berbagai faktor psikologis. Nyeri ini terjadi karena efek-efek
psikogenik serta cemas dan rasa takut yang dirasakan klien (Andarmoyo,
2013).
2.3.3 Fisiologis Nyeri
Reseptor nyeri merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai penerima
rangsang nyeri dan dalam hal ini organ tubuh yang berfungsi sebagai reseptor nyeri
adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang hanya merespon pada stimulus yang kuat
24
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri di sebut juga nosiseptor, secara
anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan juga ada yang tidak bermielin dari
saraf aferen (Potter & Perry, 2016).
Menurut Zakiyah (2015) reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam 2
komponen :
1. Serabut delta A merupakan serabut nyeri aferen cepat dengan kecepatan transmisi
6-30 m/detik yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan. Impuls yang dihasilkan oleh serabut ini
sifatnya tajam dan memberikan sensasi yang kuat.
2. Serabut delta C merupakan serabut nyeri aferen lambat dengan kecepatan
transmisi 0,5-2 m/detik yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri
biasanya lebih tumpul dan sulit dilokalisasi. Nyeri biasanya pertama kali
dirasakan sebagai sensasi tertusuk tajam yang singkat dan mudah diketahui
lokasinya, sensasi tersebut melibatkan serabut delta A atau jalur cepat. Perasaan
tersebut akan diikuti dengan sensasi yang tumpul yang lokasinya tidak jelas yang
menetap lebih lama disertai rasa tidak nyaman, sensasi tersebut melibatkan
serabut delta C sebagai jalur lambat.
Menurut Zakiyah (2015), reseptor nyeri (serabut delta A dan C) akan bereaksi
menimbulkan nyeri jika nyeri distimulus oleh beberapa faktor, diantaranya :
1. Faktor mekanis yaitu berespon terhadap kerusakan akibat trauma sehingga
reseptornya disebut sebagai “mekanosensetif”.
2. Faktor termis yaitu berespon terhadap suhu yang ekstrem, baik karena panas
yang berlebihan atau suhu yang dingin berlebihan, reseptor ini disebut
“termoresepto/termosensitif”.
25
3. Faktor kimia yaitu zat kimia yang merangsang reseptor ini adalah bradikinin,
histamin, ion K, dan asetilkolin. Reseptor ini disebut sebagai “kemoreseptor atau
polimodal”.
4. Listrik yaitu timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor
rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
2.3.4 Neuroregulator
Neuroregulator merupakan substansi yang mempengaruhi tranmisi stimulus
saraf yang memegang peranan penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini
ditemukan pada lokasi nosiseptor dan di ujung saraf pada lokasi kornu dorsalis
medula spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi 2, yaitu neurotransmitter dan
nueromodulator (Potter & Perry, 2016).
1. Neurotranmitter
Bertugas mengirim impuls listrik melewati celah sinaps diantara dua
serabut saraf. Neurotranmitter terdiri atas :
1) Substansi P
a. Terdapat dineuron kornu dorsalis
b. Dibutuhkan untuk mentransmisikan nyeri dari perifer ke pusat otak yang
lebih tinggi
c. Menyebabkan vasodilatasi dan edema
d. Serotinin
e. Dilepas dari batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat
transmisi nyeri
2) Prostaglandin
a. Dihasilkan oleh pemecahan fosfolipid dalam membran sel
b. Diyakini dapat meningkatkan sensitifitas nyeri
26
2. Neuromodulator
Bertugas memodifikasi aktifitas neuron dan menyesuaikan atau
memvariasikan transmisi stimulus nyeri. Neuromodulator diyakini tidak bekerja
secara langsung tetapi dapat meningkatkan dan menurunkan efek
neurotrasmitter tertentu (Zakiyah, 2015). Neuromodulator terdiri atas :
1) Endorfin dan dinorfin
a. Endorfin dalam bahasa yunani disebut enkefalin yang artinya di dalam
kepala
b. Merupakan suplai alamiah tubuh berupa substansi seberpt morfin
c. Diaktifkan oleh stes dan nyeri
d. Dilokalisasikan dalam otak, medula spinalis, dan saluran pencernaan
e. Memberikan efek analgesik apabila agen ini menyatu dengan reseptor
opiat di otak.
f. Terdapat dalam kadar yang lebih tinggi pada klien yang tidak terlalu
merasakan nyeri dibanding yang lainnya dengan cedera yang sama.
g. Cara kerja endorfin : pada saat neuron nyeri perifer mengirimkan impuls
ke sinaps, terjadi sinapsis antara neuron nyeri perifer dan neuron yang
menuju otak tempat seharusnya substansi P akan menghantarkan impuls
(sebagai neurotransmitter). Pada saat tersebut, endorfin akan memblokir
lepasnya substansi P dari neuron sensorik.
2) Bradikinin
a. Dilepas dari plasma yang keluar dari pembuluh darah dijaringan sekitar
jaringan yang cedera
b. Terikat pada reseptor saraf perifer, meningkatkan stimulus nyeri
27
c. Terikat pada sel-sel yang menyebabkan reaksi rantai yang menghasilkan
prostaglandin.
2.3.5 Teori dan Mekanisme Nyeri
1. Teori Nyeri
Terdapat berbagai macam teori yang menjelaskan tentang proses terjadinya
atau yang menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri.
Sampai saat ini dikenal berbagai macam teori yang menjelaskan bagaimana nyeri
dapat timbul, namun teori gerbang kendali paling relevan (Potter & Perry, 2016).
1) Teori spesifitas (specifity theory)
Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang
secara khusus mentransmisi nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima ransangan
nyeri dan mentransmisikan melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke
talamus, yang akhirnya dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul
respon nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multidimensional
dapat mempengaruhi nyeri.
2) Teori pola (pattern theory)
Teori ini menjelaskan bahwa ada 2 serabut nyeri yaitu serabut yang dapat
menghantarkan ransang dengan cepat dan serabut yang menghantarkan rangsang
dengan lambat. Kedua serabut ini bersinapsis dan meneruskan rangsang ke otak
mengenai jumlah, intensitas, tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan
kuantitas input sensori nyeri.
3) Teori gerbang kendali nyeri (the gate control)
Melzack dan Wall (1999) menjelaskan teori gerbang kendali nyeri terdapat
semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi
sinyal nyeri. Secara umum dapat dijelaskan bahwa didalam tubuh manusia terdapat
28
2 macam transmitter impuls nyeri. Reseptor berdiameter kecil (serabut delta A dan
C) berfungsi untuk mentransmisi nyeri yang sifatnya keras dan reseptor ini biasanya
berupa ujung saraf bebas yang terdapat pada seluruh permukaan kulit dan pada
struktur lebih dalam seperti tendon, fasia, tulang serta organ-organ interna.
Sementara transmitter yang berdiameter besar (serabut beta A) memiliki reseptor
yang terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi sebagai inhibitor, yaitu
mentransmisikan sensasi lain seperti getaran, sentuhan, sensasi hangat dan dingin,
serta terhadap tekanan halus.
Pada saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa
rangsangan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis posterior, di
medula spinalis inilah terjadi interaksi antara 2 serabut berdiameter besar dan kecil
di suatu area khusus yang disebut “substansia gelatinosa (SG)”.
Pada SG ini terjadi perubahan dan dimodifikasi yang mempengaruhi apakah
sensasi nyeri yang di terima medula spinalis akan diteruskan ke otak atau di hambat.
Sebelum impuls nyeri diteruskan ke otak, serabut besar dan kecil berinteraksi di area
SG apabila tidak terdapat stimulus atau impuls yang adekuat dari serabut besar,
maka impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantarkan ke sel T (sel pemicu/trigger cell)
untuk kemudian di bawa ke otak yang akhirnya menimbulkan sensasi yang
dirasakan oleh tubuh. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak inilah yang
dinamakan “pintu gerbang terbuka”. Sebaliknya, apabila terdapat impuls yang di
transmisikan oleh serabut yang berdiameter besar karena adanya stimulasi kulit,
sentuhan, getaran, sensasi hangat atau dingin, serta sentuhan halus. Impuls ini akan
menghambat impuls dari serabut berdiameter kecil sehingga sensasi yang di bawa
serabut kecil akan berkurang atau bahkan tidak dihantarkan ke otak oleh substansia
29
gelatinosa sehingga tubuh tidak merasakan sensasi nyeri. Kondisi ini disebut dengan
“pintu gerbang tertutup”.
Pada pengahantaran impuls ke otak, sinaps substansia gelatinosa akan
melepaskan substansi P yang diduga sebagai neurotranmitter utama impuls nyeri.
Paling sedikit terdapat 6 jalur asenden untuk impuls nosiseptif yang terletak pada
belahan ventral medula spinalis. Jalur yang paling utama adalah traktus
spinotalamikus dan traktus spinoretikuler. Impuls yang dibawa oleh traktus
spinotalamikus selanjutnya dibawa ke korteks selebri untuk diinterpretasikan,
sedangkan impuls yang dibawa oleh traktus spinoretikuler akan dibawa ke talamus
dan batang otak untuk mengaktifkan respon autonomik dan limbik (afektif
motivasional). Apabila impuls diteruskan ke pintu gerbang, impuls akan diteruskan
ke otak untuk kemudian diproses didalam otak dalam 3 tingkat yang berbeda, yaitu
pada talamus, otak tengah, dan pada korteks selebri. Talamus bertindak sebagai
penerima input sensori (impuls nyeri) dari traktus spinotalamikus lateral untuk
kemuadian diteruskan ke korteks selebri. Otak tengah berfungsi untuk
meningkatkan kewaspadaan dari korteks terhadap datangnya rangsang, sedangkan
korteks berfungsi untuk melokalisasi impuls dan impuls dipersepsikan sesuai
dengan lokasi terjadinya nyeri. Pada perkembangan selanjutnya, teori pintu gerbang
kendali juga dikembangakan untuk menjelaskan tentang adanya fungsi inhibitor
impuls nyeri ke otak.
2. Mekanisme Nyeri
Suatu rangkaian proses elektrofisiologis terjadi antara kerusakan jaringan
sebagai sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai nyeri yang secara kolektif
30
disebut nosiseptif. Terdapat 4 proses yang terjadi pada suatu nosiseptif menurut
Zakiyah (2015) yaitu sebagai berikut.
1) Proses Tranduksi
Proses tranduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri diubah
menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini
dapat berupa stimuli fisik, suhu, atau kimia.
2) Proses Transmisi
Transmisi merupakan fase dimana stimulus dipindahkan dari saraf
perifer melalui medula spinalis menuju otak.
3) Proses Modulasi
Proses modulasi adalah proses dari mekanisme nyeri dimana terjadi
interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis. Sistem analgesik
endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin;
memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medula
spinalis. Kornu posterior dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup
atau terbuka yang dipengaruhi oleh sistem analgesik endogen tersebut diatas.
Proses modulasi ini juga mempengaruhi subjektifitas dan derajat nyeri yang
dirasakan oleh seseorang.
4) Persepsi
Hasil dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi dan transmisi pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Faktor-faktor psikologis dan
kognitif akan bereaksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dalam
mempersepsikan nyeri.
31
2.3.6 Metode Pengukuran Intensitas Nyeri
Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala yaitu
skala numerik (Numerical Rating Scale), skala deskriptif (Verbal Deskriptor Scale) dan
skala analog visual (Visual Analog Scale) (Andarmoyo, 2013).
1. Skala Numerik (Numerical Rating Scale)
Penilaian skala numerik (Numerical Rating Scale) lebih digunakan sebagai
alat pendeskripsi kata. Dalam skala ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum
dan setelah intervensi (Potter & Perry, 2006)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Nyeri Tidak Nyeri Tertahankan
Gambar 2.1 Skala Nyeri Numerik (Numerical Rating Scale)
Kriteria nyeri pada skala ini yaitu :
0 : Tidak ada nyeri.
1-3 : Nyeri ringan, secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang, secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menujukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat, secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menujukkan lokasi,
tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alis posisi nafas
panjang dan distraksi
32
10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul
2. Skala Deskriptif (Verbal Deskriptor Scale)
Skala deskriptif adalah alat ukur tingkat keparahan nyeri yang lebih
objektif. Skala pendeskripsian verbal (Verbal Deskriptor Scale) merupakan sebuah
garis yang terdiri dari 3 sampai 6 kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak
yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini diranking dari “tidak terasa
nyeri” sampai “nyeri tidak terkontrol”. Perawat menunjukkan kepada klien skala
tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang klien
rasakan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri (Potter & Perry, 2006)
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Berat Nyeri Tidak Nyeri Ringan Sedang Berat Terkontrol Terkontrol
Gambar 2.2 Skala Deskriptif (Verbal Deskriptor Scale)
3. Skala Analog Visual (Visual Analog Scale)
Skala analog visual (Visual Analog Scale) yaitu suatu garis horizontal
sepanjang 10 cm yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Klien diminta untuk menunjukkan
titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri yang dirasakan sepanjang garis
tersebut. Ujung kiri menandakan “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan
menandakan “nyeri yang tidak tertahankan”. Untuk menilai hasil sebuah
penggaris yang diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat klien pada garis
33
dari “tidak nyeri” sampai “nyeri tidak tertahankan” diukur dan ditulis dalam
sentimeter (Potter & Perry, 2006).
Tidak Nyeri Tidak Nyeri Tertahankan
Gambar 2.2 Skala Analog Visual (Visual Analog Scale)
2.3.7 Penanganan Nyeri
Penanganan nyeri secara umum bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu
farmakologi dan non farmakologi. Penanganan secara farmakologi dapat dilakukan
dengan pemberian obat yang mempunyai efek analgesik, biasanya efektif untuk
pengatasi nyeri. Hal tersebut dikarenakan nyeri akan mereda atau hilang seiring
dengan laju penyembuhan jaringan yang rusak atau sakit. Penatalaksanaan secara
farmakologi melibatkan penggunaan opiat (narkotik), non opiad / obat anti-inflamasi
non-steroid (AINS). Sedangkan penanganan non farmakologis bisa dilakukan dengan
stimulasi pada area kulit sebagai salah satu teknik yang dipercaya dapat mengaktifkan
opioid endogen, sebuah sistem analgesik monoamina yang dapat menurunkan
intensitas nyeri. Teknik ini terdiri atas pemberian kompres hangat, kompres dingin,
massase, TENS (trancutaneous electrical nerve stimulation), rendam air garam dan rendam
air jahe (Zakiyah, 2015).
2.4 Konsep Dasar Hidroterapi
2.4.1 Pengertian Hidroterapi
Hidroterapi merupakan metode pengobatan menggunakan air untuk
mengobati atau meringankan kondisi yang menyakitkan dan hidroterapi merupakan
metode terapi dengan pendekatan “lowtech” yang mengandalkan respon-respon tubuh
terhadap air. Beberapa keuntungan dari hidroterapi antara lain untuk mencegah
34
flu/demam, memperbaiki fertilitas, menyembuhkan kelelahan, meningkatkan fungsi
imunitas, meningkatkan energi tubuh, dan membantu kelancaran sirkulasi darah
(Dilianti, Candrawati, & Adi, 2017).
Hidroterapi dengan rendam air hangat merupakan salah satu jenis terapi
alamiah yang bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi darah, mengurang edema,
meningkatkan relaksasi otot, menyehatkan jantung, mengendorkan otot-otot,
menghilangkan stres, nyeri otot, meringankan rasa sakit, meningkatkan permeabilitas
kapiler, dan memberikan kehangatan pada tubuh (Dilianti, Candrawati, & Adi, 2017).
Secara ilmiah air hangat memiliki dampak fisiologis pada pembuluh darah
yang dapat membuat sirkulasi darah menjadi lancar, respon tubuh ketika berendam
dengan air hangat dapat melebarkan pembuluh darah, meningkatkan sirkulasi darah,
menurunkan ketegangan otot dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Air hangat
juga dapat menyebabkan reaksi rasa nyaman kepada klien, pada saat air menyentuh
kulit akan merangsang pengeluarkan hormon endorfin sehingga tubuh menjadi rileks,
dapat mengurangi stres dan juga dapat mengurangi rasa nyeri. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Dilianti, Candrawati, & Adi (2017) menyatakan bahwa fisiologi air
hangat dapat menyebabkan pembuluh darah melebar dan air hangat dapat
menghilangkan toksin-toksin dari dalam tubuh, air hangat juga dapat merangsang
sirkulasi pada pembuluh darah dan menyegarkan tubuh.
Prinsip kerja dari hidroterapi ini yaitu dengan menggunakan air hangat yang
bersuhu sekitar 37-42oC secara konduksi dimana terjadi perpindahan panas dari air
hangat ke tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan dapat
menurunkan ketegangan otot dan rasa nyeri (Potter & Perry, 2006).
2.4.2 Jenis – jenis Hidroterapi
35
Menurut Jumarani (2009) hidroterapi terdapat berbagai jenis yaitu :
1. Mandi Rendam (underwater massage), adalah terapi air dengan cara berendam di
dalam sebuah bak mandi yang dirancang dengan berbagai jet atau pipa semprot
dengan tekanan dan suhu yang bisa diatur/dikontrol.
2. Pusaran air (whirlpool), adalah terapi air yang menggunakan berbagai jet dengan
ukuran tertentu.
3. Kolam terapi (aquamedic), adalah modifikasi jet shower yang tekanan airnya
disesuaikan dengan bagian-bagian tubuh yang sering mendapatkan keluhan
secara fisiologi dan anatomi. Tekanan dan suhu bisa diatur sesuai dengan
kebutuhan terapi.
4. Terapi semprot air (jet shower), adalah air hangat dan dingin disemprotkan
langsung ke tubuh bagian dalam. Fungsi dari terapi ini adalah untuk mengatasi
kurang darah, radang sendi, asma dan nyeri dada.
5. Pancuran air (veichy shower), adalah terapi dengan pancuran air dengan
menggunakan dan suhu tertentu yang diatur sesuai kebutuhan. Pancuran air
biasanya dipadukan dengan terapi yang lain, seperti lulur, masker dan sebagainya.
6. Terapi air panas dan dingin (contrast bath), adalah terapi yang menggunakan dua
temperatur, hangat dan dingin.
7. Bubble bath adalah terapi air berupa berendam dalam bak mandi yang di desain
khusus dengan media air yang dapat diatur tekanan dan suhu tertentu.
8. Rendam rempah adalah terapi menggunakan bahan-bahan herbal dan media air
untuk berendam.
9. Rendam air garam adalah terapi menggunakan air garam, produk garam
berfungsi untuk merelaksasi otot-otot tubuh.
36
10. Terapi air laut (thalasotherapy) adalah terapi menggunakan media air laut yang
memiliki unsur penyembuh. Mineral dalam rumput laut, misalnya berkhasiat
mengurangi produksi keringat yang berlebih, membersihkan sekaligus
memelihara kesehatan kulit.
11. Mandi uap (steam), merupakan terapi duduk tenang dalam ruangan beruap selama
20 menit yang berfungsi mempercepat keluarnya keringat dan mengangkat segala
kotoran di permukaan kulit.
12. Mandi sauna, hampir sama dengan steam, tetapi kondisinya lebih kering,
menggunakan suhu tinggi.
13. Kompres merupakan terapi menggunakan handuk yang direndam dalam air
panas atau dingin. Setelah diperas lalu dibalutkan pada bagian tubuh yang dituju.
Kompres panas berfungsi meningkatkan aliran darah, sedangkan kompres dingin
bermanfaat untuk mengurangi pembengkakan.
14. Rendam kaki (footbath) merupakan terapi rendam yang mudah dilakukan yang
membuat banyak orang mampu menerapkan dirumah dan membuat rileks dan
memperlancar siekulasi.
2.4.3 Tujuan dan Manfaat Hidroterapi Untuk Tubuh
1. Tujuan hidroterapi
Sifat-sifat air tersebut dapat memberikan efek pijatan dan stimulasi pada
jaringan kulit dan otot dengan berbagai keuntungan, antara lain melancarkan
peredaran darah, merilekskan otot, merangsang pembuangan toksin
metabolik/racun-racun yang ada dalam sel ke aliran darah melalui keringat atau
urine, mengurangi ketengangan saraf (Jumarani, 2009).
Hidroterapi secara umum bertujuan untuk menyegarkan, memulihkan
tenaga, merilekskan dan memelihara serta meningkatkan kesehatan baik fisik
37
fungsional maupun jiwa. Hal ini terimplementasi dengan kebiasaan dalam tradisi
masyarakat secara turun temurun mandi setiap hari untuk membersihkan diri
dari kotoran, menyegarkan diri dan membuat rileks (Jumarani, 2009).
2. Manfaat hidroterapi
Manfaat hidroterapi untuk tubuh yaitu memperkuat sistem kekebalan
tubuh (immune system), meningkatkan sirkulasi darah dan getah bening (improve
blood vesel dan lymphatic gland), memperbaiki sistem metabolisme tubuh,
memperbaiki sistem pencernaan (Jumarani, 2009).
2.4.4 Indikasi dan Kontraindikasi Hidroterapi
1. Indikasi hidroterapi : demam, kedinginan, akral dingin, kram otot, nyeri saat
menstruasi, nyeri artritis, gout pain, menurunkan sakit kepala, migraine, insomnia
(jika diberikan ketika klien pergi tidur), relaksasi otot, dan lain-lain (Sinclair,
2008).
2. Kontraindikasi hidroterapi menurut Jumarani (2009) :
1) Pengidap penyakit diabetes melitus (DM), sebaiknya menghindari terapi air
hangat untuk kaki. Jenis pembalutan tubuh yang biasanya menggunakan air
hangat juga tidak disarankan.
2) Berendam dalam air hangat atau mandi uap tidak diperbolehkan bagi
penderita tekanan darah rendah, dan ibu hamil.
3) Jangan melakukan terapi air dingin pada kaki, jika kandungan kemih dan
daerah anus anda mudah teriritasi.
4) Jika memiliki masalah obesitas atau kegemukan, harus konsultasi terlebih
dahulu ke dokter.
5) Tidak diperbolehkan jika klien menderita mati rasa atau loss of sensation.
38
2.4.5 Konsep Rendam Air Garam
Garam adalah benda padat berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan
kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%) serta senyawa
lainnya, seperti Magnesium Chlorida, Magnesium sulfat, dan Calsium Chlorida. Sumber
garam yang didapat di alam berasal dari air laut, air danau asin, deposit dalam tanah,
tambang garam, sumber air dalam tanah. Komponen–komponen tersebut
mempunyai peranan yang penting bagi tubuh manusia, sehingga diperlukan konsumsi
garam dengan ukuran yang tepat untuk menunjang kesehatan manusia. Konsumsi
garam per orang per hari diperkirakan sekitar 5–15 gram atau 3 kilogram per tahun
per orang (Amalia & Hendarsih, 2013).
Garam epsom mengandung senyawa kimia dengan penyusun terbesar adalah
natrium klorida (NaCl) dan kandungan yang lain termasuk kalsium sulfat (CaSO4),
magnesium sulfat (MgSO4), dan magnesium klorida (MgCl2) (Arwiyah, Zainuri, & Efendy,
2015). Terapi rendam menggunakan air garam dapat mengurangi tingkat nyeri pada
penderita asam urat, air garam dapat memperlancar aliran darah dan penggumpalan
asam urat pada persendian berkurang. Unsur sodium yang terkandung dalam garam
sangat penting untuk mengatur keseimbangan cairan didalam tubuh, selain itu
sodium juga bertugas dalam transmisi syaraf dan kerja otot (Nuyridayanti, 2017).
Kandungan magnesium dalam garam epsom dapat menekan pelepasan prostaglandin
dan menghambat pelepasan asetilkolin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah,
merelaksasi otot-otot dan meningkatkan sirkulasi darah (Tih, et al., 2017).
Hasil penelitian yang dilakukan Sari, et al (2015), menyatakan bahwa usia yang
banyak mengalami nyeri sendi adalah usia elderly (60-74 tahun). Penyakit persendian
adalah akibat kerusakan pada permukaan sendi-sendi tulang yang banyak dijumpai
pada lanjut usia, terutama yang gemuk. Pada usia tersebut biasanya memiliki keluhan-
39
keluhan pada persendian seperti, lini-linu, pegal dan nyeri. Biasanya yang terkena
adalah persendian pada jari-jari, tulang punggung, sendi-sendi penahan berat tubuh.
Secara umum, pada persendian terjadi kemunduran kartilago dan sebagian besar
terjadi pada sendi-sendi yang menahan berat, dan pembentukan tulang di permukaan
sendi. Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen yang terdapat pada
jaringan penyambung meningkat secara progresif yang jika tidak dipakai lagi akan
menyebabkan inflamasi, nyeri, penurunan metabolisme sendi dan deformitas.
Sedangkan jenis kelamin yang sering mengalami nyeri sendi sebagian besar berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 51,9%. Hal ini dikarenakan pada pria juga mengalami
keadaan yang disebut andropause. Biasanya gejalanya yaitu menurunnya kekuatan dan
massa otot, penumpukan lemak didaerah abdominal dan osteoporosis dan
menurunnya minat terhadap seksual, dengan kejadian diatas Sari, et al (2015)
menerapkan kompres air garam hangat terhadap penderita nyeri sendi. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukan bahwa sesudah diberikan kompres air garam hangat
jumlah lansia yang mengalami nyeri sendi berkurang. Penurunan intensitas nyeri
sendi pada lansia dikarenakan pemberian kompres air garam hangat pada persendian
yang mengalami nyeri karena dapat memberikan efek menurunkan spasme otot pada
pembuluh darah, melancarkan sirkulasi darah, dan menstimulasi pembuluh darah.
Garam sendiri mempunyai fungsi yaitu untuk melenturkan otot yang tegang,
mengurai rasa nyeri pada otot yang sakit, menurunkan gejala inflamasi, serta
menyembuhkan infeksi.
Menurut penelitian yang dilakukan Nuyridayanti (2017), didapatkan 13
responden dari 20 responden mengalami penurunan tingkat nyeri setelah dilakukan
rendam air garam. Setelah nyeri hilang penderita tersebut dapat melakukan aktivitas
sehari-hari dengan baik karena rendaman air garam juga mampu memperlancar
40
sirkulasi darah, membersihkan tubuh dari racun-racun, menumbuhkan rasa rileks,
dan menurunkan stres. Sisa responden yang tidak efektif diberikan rendam garam
karena ada berbagai faktor. Nyeri yang dialami responden tersebut disebabkan karena
kadar asam urat dalam darah yang tinggi, sehingga penderita tersebut mudah
merasakan nyeri. Selain itu juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri seperti
usia, jenis kelamin, budaya dan lain sebagainya.
Menurut penelitian yang dilakukan F.Benita (2016) tentang studi untuk
menilai efektivitas aplikasi air panas dengan garam epsom untuk mengurangi nyeri
sendi pada lansia dengan reumatoid artritis di rumah sakit, menyatakan bahwa garam
epsom efektif mengurangi nyeri sendi dengan menggunakan 30 gram garam dengan
air hangat sebanyak 3 liter dan diaplikasikan selama 20 menit selama 7 hari berturut-
turut.
2.4.6 Konsep Rendam Air Jahe
Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan rempah-rempah yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan maupun dalam
bidang kuliner. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang
semu dan termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Jahe berasal dari Asia
Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina (Setyaningrum & Saparinto, 2013).
Jahe telah dimanfaatkan di Asia sejak ribuan tahun yang lalu untuk mengatasi
berbagai macam penyakit seperti arthritis, rematik, keseleo, nyeri otot, penyakit
selesma, batuk, sinusitis, sakit tenggorokan, diare, kolik, kram, gangguan pencernaan,
kehilangan nafsu makan, mabuk, demam, flu, menggigil, dan penyakit menular
(Setyaningrum & Saparinto, 2013).
Jenis-jenis jahe yang dikenal oleh masyarakat yaitu jahe emprit (jahe kuning),
jahe gajah (jahe badak), dan jahe merah (jahe sunti) tetapi jahe yang banyak
41
digunakan untuk obat-obatan adalah jahe merah, karena jahe merah memiliki
kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dengan jahe lainnya
(Setyaningrum & Saparinto, 2013). Jahe mengandung lemak, protein, zat pati, oleoresin
(gingerol) dan minyak atsiri. Rasa hangat dan aroma yang pedas pada jahe disebabkan
oleh kandungan minyak atsiri (volatil) dan senyawa oleoresin (gingerol). Rasa hangat pada
jahe dapat memperlebar pembuluh darah sehingga aliran darah lancar. Oleorasin
(gingerol) memiliki potensi anti inflamasi, analgetik, antioksidan yang kuat, dan dapat
menghambat sintesis prostlaglandin sehingga rasa nyeri berkurang (Dewi & Kudmasa,
2015).
Hasil penelitian yang dilakukan Damaiyanti dan Siska (2012), intensitas nyeri
artritis rheumatoid pada lanjut usia setelah dilakukan kompres jahe hangat mengalami
penurunan intensitas nyeri yang dirasakan, lebih nyaman dan hangat pada daerah
yang terasa nyeri tersebut. Berkurangnya intensitas nyeri tersebut karena kandungan
di dalam jahe yang dapat mengurangi peradangan dan efek farmakologi yang dimiliki
jahe yang dapat menghasilkan rasa pedas dan panas, dan dengan hantaran panas
makan akan terjadi vasodilatasi atau pelebaran pembuluh darah, sehingga penderita
arthritis rhematoid akan merasa lebih nyaman.
Menurut penelitian yang dilakukan Zuriati (2017), didapatkan bahwa rata-rata
skala nyeri sebelum dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 6,00 (nyeri
sedang), setelah dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 3,67 (nyeri ringan).
Jahe sering kali digunakan sebagai obat nyeri asam urat karena kandungan gingerol
dan rasa hangat yang ditimbulkannya membuat pembuluh darah terbuka dan
memperlancar sirkulasi darah. Sehingga suplai makanan dan oksigen menjadi lebih
baik sehingga nyeri berkurang. Secara fisiologi nyeri, kompres jahe menurunkan nyeri
asam urat pada tahap tranduksi, dimana pada tahap ini jahe mempunyai kandungan
42
gingerol yang mengandung siklooksigenase yang bisa menghambat terbentuknya
prostaglandin sebagai mediator nyeri, sehingga terjadi penurunan nyeri asam urat.
Menurut penelitian yang dilakukan Rayahu, Rahayu, & Sunardi (2017), bahwa
terapi menggunakan jahe merah untuk lansia, efektif untuk mengurangi nyeri sendi.
Oleoresin dan minyak atsiri yang termasuk kandungan dari jahe merah mampu
menghambat cyclooxygenase atau prostaglandin. Intervensi dilakukan selama 7 hari
berturut-turut dengan 20 gram jahe merah dengan air sebanyak 3 liter yang dilakukan
selama 20 menit.