19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam sebuah penelitian ilmiah, tinjauan pustaka merupakan
bagian yang penting untuk diuraikan sebagai dasar pijakan dalam
membangun suatu konstruk teoritis, sebagai acuan dasar dalam
membangun kerangka berpikir dan menyusun hipotesis penelitian. Dalam
bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang mendasari masing-
masing peubah, aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhi
peubah. Selain itu juga dijelaskan mengenai hasil-hasil penelitian
sebelumnya, model penelitian serta hipotesis penelitian.
2.1 Keterikatan Kerja (Work Engagement)
Dalam sub pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai pengertian
keterikatan kerja, teori keterikatan kerja, aspek keterikatan kerja dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja.
2.1.1 Pengertian Keterikatan Kerja
Keterikatan kerja memiliki beberapa istilah dalam penggunaannya
antara lain job engagement, employee engagement dan work engagement.
Pada penelitian ini, penulis memakai istilah work engagement. Penulis
menggunakan istilah work engagement Schaufeli et al. (2002 dalam
Seppala et al. 2009) sebagai penjelas keterikatan karyawan karena
pengertian yang ada pada work engagement telah merangkum dua
pengertian dari job engagement dan employee engagement. Employee
engagement maupun work engagement keduanya memiliki karakteristik
dan aspek pembentuk yang sama. Secara garis besar, kedua istilah tersebut
20
dibentuk oleh beberapa aspek yang sama yaitu vigor, dedication dan
absorption.
Menurut Kahn (1990) keterikatan kerja dalam pekerjaan
dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran
kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan
emosional selama bekerja. Keterikatan yang demikian itu sangat
diperlukan untuk mendorong timbulnya semangat kerja karyawan.
Keterikatan kerja adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki
pikiran yang positif sehingga mampu mengekspresikan dirinya baik secara
fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan pekerjaannya (Schaufeli &
Bakker, 2004). Saks (2006) menjelaskan bahwa keterikatan sebagai
konstruk yang menggunakan komponen kognitif, emosi dan perilaku yang
diasosiasikan dengan tanggung jawab pekerjaannya. Taylor (2012) juga
menyatakan bahwa keterikatan kerja adalah perasaan keikutsertaan aspek
kognitif, emosional, dan fisik karyawan dalam aktivitas pekerjaan, kinerja
dan keluaran organisasional. Sementara itu, Bakker & Xanthopoulou
(2013) menyatakan bahwa keterikatan kerja merupakan suatu hal yang
positif, terpenuhi, pengalaman yang berhubungan dengan pekerjaan
meliputi tiga dimensi yang saling melengkapi yaitu energi (vigor), afektif
(dedication) dan dimensi kognitif (absorption).
Berdasarkan beberapa uraian dalam definisi di atas, dalam
penelitian ini penulis menggunakan pengertian keterikatan kerja menurut
Schaufeli & Bakker (2004) yaitu keterikatan kerja sebagai sebuah kondisi
dimana seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam
melakukan pekerjaannya. Hal ini dikarenakan pengertian tersebut sesuai
21
dengan tujuan penelitian penulis karena dianggap telah mencangkup
pengertian yang komprehensif dan mudah dipahami.
2.1.2 Teori Keterikatan Kerja
Teori keterikatan di dunia kerja pertama kali diperkenalkan oleh
Kahn pada tahun 1990. Kahn (1990) mendefinisikan keterikatan kerja
sebagai usaha yang digunakan karyawan dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab pekerjaan dengan cara menggunakan ekspresi diri,
kognitif dan emosi mereka sehingga karyawan yang terikat akan memiliki
usaha ekstra dalam bekerja. Sedangkan personal disengagement sama
dengan melepaskan diri dari tugas dan tanggung jawabnya, tidak merasa
terikat baik secara fisik, kognitif atau emosi selama bekerja.
Kahn (1990) dalam teorinya tentang keterikatan dan
ketidakterikatan mengemukakan bahwa bentuk keterikatan merupakan
ekspresi diri yang diinginkan oleh seseorang dan sekaligus bentuk
hubungan yang diinginkannya dengan orang lain. Keterikatan kerja (work
engagement) selanjutnya juga berkembang ke tingkat dimana konstruk
psikologis ini dapat dipenuhi. Dalam teori ini, identifikasi dan pemenuhan
dari kebutuhan individu diakui sebagai komponen penting dari keterikatan
karyawan, namun pemahaman tentang kebutuhan individu belum
sepenuhnya dieksplorasi atau dihubungkan dalam sebuah konseptualisasi.
Sementara itu, teori motivasi dari Maslow juga menyediakan sebuah
kerangka kerja konseptual untuk dapat memahami kebutuhan dasar
manusia serta memberikan konteks untuk konseptualisasi keterikatan
karyawan (Saks, 2006).
Teori mengenai keterikatan kerja juga dikemukakan oleh Schaufeli
et al., (2002) yaitu suatu kondisi pikiran yang positif, memiliki motivasi,
22
dan berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan semangat
(vigor), dedikasi (dedication) dan absorpsi (absorption). Berdasarkan
perspektif praktis, keterikatan kerja telah memberikan kontribusi untuk
bidang psikologi positif dengan meningkatkan pengetahuan tentang
bagaimana sumber yang berasal dari pekerjaan dan faktor pribadi
berpotensi dalam mempengaruhi kesehatan serta mengoptimalkan fungsi
tersebut. Berdasarkan perspektif praktis, keterikatan kerja juga menjadi
relevan bagi organisasi dan praktisi karena keterkaitannya dengan
performance dan indikator positif lainnya seperti extra-role behavior dan
meningkatkan komitmen (Bakker et al., 2008).
Penulis berasumsi bahwa keterikatan kerja didasarkan pada
bagaimana cara individu mengelola motivasi dan memahami kebutuhan
dasar pekerjaannya. Oleh karena itu, dibutuhkan keterikatan kerja
karyawan ketika karyawan bekerja. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa teori keterikatan kerja yang dikemukakan oleh Schaufeli et al.,
(2002) yaitu suatu kondisi pikiran yang positif, memiliki motivasi, dan
berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan semangat (vigor),
dedikasi (dedication) dan absorpsi (absorption) sesuai dengan tujuan
penulis. Alasannya, dalam upaya untuk meningkatkan keterikatan kerja
karyawan PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Kota Tegal sesuai dengan
visi, misi dan tujuan maka diperlukan peran serta karyawan yang dapat
ditunjukkan melalui adanya semangat, dedikasi dan absorpsi.
2.1.3 Aspek Keterikatan Kerja
Schaufeli et al., (2002) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek
yang dapat menandakan individu memiliki keterikatan dengan pekerjaan
yaitu:
23
a. Semangat (Vigor)
Vigor ditandai dengan tingkatan energi dan resiliensi mental yang
tinggi saat bekerja, kemauan untuk memberikan usaha dalam suatu
pekerjaan, memiliki kemampuan untuk tidak mudah lelah dan tekun
terutama saat menghadapi kesulitan. Orang-orang yang memiliki skor
tinggi pada aspek ini pada umumnya memiliki banyak energi,
semangat dan stamina ketika bekerja. Sementara itu, orang-orang
yang memiliki skor rendah pada aspek ini memiliki energi, semangat
dan stamina yang rendah ketika bekerja.
b. Dedikasi (Dedication)
Dedication ditandai dengan perasaan yang berarti, perasaan
antusias, bangga terhadap pekerjaan dan merasa terinspirasi serta
tertantang dengan pekerjaan. Orang-orang yang memiliki skor tinggi
pada aspek ini mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaan dengan
sangat kuat karena pekerjaan tersebut dialami secara bermakna,
menginspirasi dan menantang serta pada umumnya merasa antusias
dan bangga dengan pekerjaan. Sementara itu, orang-orang yang
memiliki skor rendah tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan
karena tidak mengalaminya secara bermakna, menginspirasi dan
menantang serta tidak merasa antusias ataupun bangga dengan
pekerjaannya.
c. Absorpsi (Absorption)
Absorption ditandai dengan berkonsentrasi penuh, senang, merasa
terpikat dengan pekerjaan, merasa waktu berjalan dengan cepat dan
sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan. Orang-orang yang
memiliki skor tinggi pada aspek ini pada umumnya merasakan
senang, terbenam dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan.
24
Sebagai konsekuensinya, segala sesuatu yang berada disekitarnya
akan terlupakan dan waktu terasa berlalu begitu cepat. Sementara itu,
orang-orang yang memiliki skor rendah tidak merasa tertarik dan
tidak kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaannya, merasa tidak
melupakan apapun yang ada di sekeliling termasuk waktu.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan, penulis menggunakan
aspek-aspek keterikatan kerja yang dikemukakan oleh Schaufeli et al.,
(2002) karena sesuai dengan kebutuhan penulis. Karyawan yang memiliki
keterikatan kerja ditentukan berdasarkan semangat (vigor), dedikasi
(dedication) dan absorpsi (absorption). Hal ini tentu akan berimplikasi
pada peningkatan produktivitas sesuai dengan visi, misi dan tujuan
organisasi. Dengan demikian, ketiga aspek ini akan digunakan penulis
untuk mengukur keterikatan kerja karyawan PT Bank Danamon Indonesia,
Tbk Kota Tegal.
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja
Kahn (1990) menganalisa tiga hal yang dapat dijadikan prediktor
keterikatan kerja, yaitu:
a. Kebermaknaan (Meaningfulness)
Meaningfulness psychological dapat dilihat sebagai perasaan
bahwa seseorang menerima pengembalian atas investasinya pada
organisasi berupa harga atau pembayaran, energi kognitif maupun
energi emosional. Hal-hal yang mempengaruhi kebermaknaan yaitu
tugas, peran dan interaksi kerja.
b. Keamanan (Safety)
Keamanan, kenyamanan, jaminan perlindungan yang
mencerminkan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan dirinya
25
tanpa takut, kebebasan berekspresi, kejujuran, sehingga tercipta
kondisi dimana seseorang dapat melakukan pekerjaannya dengan
baik. Hal-hal yang dapat mempengaruhi keamanan yaitu hubungan
interpersonal, dinamika kelompok, gaya dan proses manajemen, serta
norma dan organisasi.
c. Ketersediaan (Availability)
Ketersediaan secara fisik, emosional, serta psikologis dalam
menyelesaikan sebuah pekerjaan. Memiliki kapabilitas untuk
mengelola fisik, energi emosional, dan intelektual dalam melakukan
pekerjaannya. Hal-hal yang mempengaruhi ketersediaan adalah energi
fisik, emosional, keamanan dan kehidupan luar.
Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja
karyawan menurut Saks (2006) yang didasari oleh penelitian Khan, yaitu:
a. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)
Berdasarkan pendapat Hackman & Oldham (1980) job
characteristic memiliki lima inti yang terdiri dari skill variety task
identity, task significance dan feedback form job (Saks, 2006). Beban
kerja serta kondisi pengawasan juga merupakan hal penting dalam
karakteristik pekerjaan dan menurut Maslach et al., (2001) kedua hal
tersebut dapat mempengaruhi keterikatan. Pada kenyataannya,
karakteristik pekerjaan khususnya umpan balik dan otonomi, secara
konsisten berhubungan dengan rasa hormat.
b. Penghargaan dan Pengakuan (Reward and Recognition)
Timbal balik atas investasi yang diberikan oleh karyawan dapat
berasal dari penghargaan eksternal serta pengakuan atas kinerjanya.
Oleh karena itu, seorang karyawan umumnya lebih memilih pekerjaan
26
yang mendapatkan penghargaan dan pengakuan yang lebih besar atas
kinerjanya. Berdasarkan pendapat Maslach et al., (2001) rendahnya
penghargaan atas kinerja karyawan dapat mengarah pada rendahnya
loyalitas, oleh karena itu pengakuan dan penghargaan adalah faktor
penting dalam keterikatan karyawan (Saks, 2006).
c. Dukungan Organisasi (Perceived Organizational Support)
Menurut Rhoades & Eisenberger (2002) menyatakan bahwa
dukungan organisasi mengacu pada kepercayaan pada organisasi yang
menghargai kontribusi dan memperhatikan kesejahteraan karyawan.
Secara khusus, dukungan organisasi menciptakan kewajiban
organisasi dalam menciptakan kesejahteraan karyawan yang
selanjutnya hal tersebut akan membantu organisasi mencapai tujuan
(Saks, 2006). Lebih lanjut, Rhoades et al., (2001) menyatakan bahwa
karyawan yang memiliki dukungan organisasi lebih tinggi, memiliki
kemungkinan untuk lebih terikat terhadap pekerjaan dan terhadap
organisasi.
d. Dukungan Pengawas (Perceived Supervisor Support)
Para karyawan umumnya cenderung melihat supervisor mereka
sebagai indikasi atas dukungan organisasi dari organisasi yang
dinaungi. Menurut Maslach et al., (2001) minimnya dukungan
supervisor menjadi faktor yang sangat penting terkait dengan burnout
(Saks, 2006). Selain itu, supervisor dipercaya sebagai faktor yang
sangat penting untuk membangun keterikatan dan merupakan akar
jika terjadi ketidakterikatan. (Bates, 2004; Frank et al., 2004).
27
e. Prosedural dan Keadilan Distributif (Prosedural and Distributive
Justice)
Bagi organisasi, sangat penting untuk dapat memprediksi serta
konsisten dalam hal bagaimana prosedur mengalokasikan dan
mendistribusikan rewards bagi karyawan (Colquit, 2001). Sementara
itu, pendistribusian terkait dengan persepsi atas keadilan dari
keputusan yang dihasilkan, prosedur mengacu pada keadilan yang
dirasakan dari cara dan proses yang digunakan untuk menentukan
jumlah dan distribusi kepada sumber dayanya (Saks, 2006).
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh beberapa peneliti di
atas, penulis menggunakan faktor-faktor keterikatan kerja dari Saks (2006)
yang meliputi karakteristik pekerjaan, penghargaan dan pengakuan,
dukungan organisasi, dukungan pengawas, prosedural dan keadilan
distributif. Dalam penelitian ini, penulis memilih dua faktor, yaitu
karakteristik pekerjaan dan dukungan organisasi. Kedua faktor ini
digunakan untuk menentukan pengaruhnya terhadap keterikatan kerja
karyawan PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Kota Tegal dengan asumsi:
setiap karyawan memiliki karakteristik pekerjaan yang berbeda-beda, oleh
karena itu setiap karyawan harus mampu mengidentifikasi karakteristik
tugas dari pekerjaannya. Dengan demikian, karakteristik pekerjaan
merupakan faktor penting yang harus dimiliki oleh karyawan. Selain itu,
dengan adanya dukungan organisasi akan menjadi bukti bahwa perusahaan
menghargai kontribusi karyawan. Maka, dukungan organisasi juga
merupakan faktor penting yang menjadi bentuk respon karyawan terhadap
dukungan yang diberikan oleh perusahaan.
28
2.2 Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)
Dalam sub pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai pengertian
karakteristik pekerjaan, teori karakteristik pekerjaan, dimensi karakteristik
pekerjaan dan peran karakteristik pekerjaan.
2.2.1 Pengertian Karakteristik Pekerjaan
Menurut Hackman & Oldham (1980) karakteristik pekerjaan
merupakan atribut-atribut variasi ketrampilan, identitas tugas, signifikansi
tugas, otonomi dan umpan balik pekerjaan. Berry (1998) menyatakan
bahwa karakteristik pekerjaan adalah suatu rancangan pekerjaan yang
digunakan untuk memberikan kesempatan pada individu untuk
mengembangkan kreativitas dalam melakukan pekerjaan. Robbins (2002)
menjelaskan bahwa karakteristik pekerjaan merupakan aspek internal dari
suatu pekerjaan yang mengacu pada isi dan kondisi dari pekerjaan.
Karakteristik pekerjaan juga merupakan upaya mengidentifikasi
karakteristik tugas dari pekerjaan, bagaimana karakteristik itu digabung
untuk membentuk pekerjaan-pekerjaan yang berbeda.
Menurut Kreitner & Kinicki (2005) model karakteristik pekerjaan
adalah suatu pendekatan yang lebih mutakhir untuk merancang
pekerjaaan. Model ini adalah suatu perkembangan yang luar biasa
terhadap pengayaan pekerjaan. Sementara itu Herzberg (1959 dalam
Kreitner & Kinicki, 2005) menyatakan bahwa dalam karakteristik
pekerjaan setiap karyawan memerlukan variasi pekerjaan agar karyawan
memiliki kesempatan untuk dapat berprestasi, mendapat pengakuan,
dorongan kerja, tanggung jawab dan kemajuan dalam pekerjaan.
Berdasarkan beberapa uraian yang dikemukakan oleh beberapa
peneliti diatas, penulis menggunakan pengertian karakteristik pekerjaan
menurut Hackman & Oldham (1980) yaitu karakteristik pekerjaan
29
merupakan atribut-atribut variasi ketrampilan, identitas tugas, signifikansi
tugas, otonomi dan umpan balik pekerjaan. Hal ini dikarenakan pengertian
tersebut sesuai dengan tujuan penelitian penulis karena dianggap telah
mencangkup pengertian yang komprehensif dan mudah dipahami.
2.2.2 Teori Karakteristik Pekerjaan
Robbins (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga teori karakteristik
pekerjaan yang paling penting yaitu Teori Atribut Tugas Wajib (Requisite
Task Attributes Theory), Teori Model Karakteristik Pekerjaan dan Model
Pemrosesan Informasi Sosial. Selain itu, Robbins (2002) juga
mengelompokkan teori karakteristik pekerjaan dari Hackman & Oldham
sebagai teori sains perilaku bersama-sama dengan Skinner, Clellad,
Fieldler dan Herzberg. Teori sains perilaku ini didasarkan pada riset
objektif dari perilaku manusia dalam organisasi. Dalam teori ini
diusahakan pengembangan desain riset yang teliti yang dapat diulang oleh
ilmuwan perilaku lain, dengan harapan dapat ditegakkan suatu sains
perilaku organisasional.
Menurut teori model karakteristik pekerjaan (Hackman & Oldham,
1975; 1976; Hackman, 1980), karakteristik pekerjaan terdiri atas atribut-
atribut variasi ketrampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan
umpan balik pekerjaan. Sementara itu, otonomi tugas dan umpan balik
dari pekerjaan akan menghasilkan keadaan psikologis tertentu. Otonomi
berhubungan dengan pengalaman tanggung jawab terhadap hasil kerja,
sementara umpan balik dari pekerjaan juga sangat berhubungan dengan
pengetahuan mengenai hasil nyata dari kegiatan bekerja.
Dengan demikian, penulis memilih teori karakteristik pekerjaan
dari Hackman & Oldham (1980) yaitu karakteristik pekerjaan terdiri atas
30
atribut-atribut variasi ketrampilan, identitas tugas, signifikansi tugas,
otonomi dan umpan balik pekerjaan. Hal ini dikarenakan teori yang
dikemukakan sesuai dengan tujuan penulis. Alasannya, dengan adanya
karakteristik pekerjaan yang terarah berdasarkan variasi ketrampilan,
identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan umpan balik maka
karyawan PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Kota Tegal akan lebih
mudah untuk melakukan pekerjaannya dengan baik.
2.2.3 Dimensi Karakteristik Pekerjaan
Hackman & Oldham (1980) mengungkapkan ada lima dimensi
karakteristik pekerjaan, yaitu:
a. Variasi Ketrampilan (Skill Variety)
Merupakan tingkat variasi kegiatan dan ketrampilan yang
dibutuhkan oleh karyawan dalam menyelesaikan tugasn. Semakin
banyak ragam ketrampilan yang digunakan, maka tingkat kebosanan
pekerjaan tersebut pun berkurang. Pekerjaan dengan variasi yang
minim akan mengakibatkan kebosanan, semakin tinggi tingkat
kebosanan akan mengakibatkan kelelahan yang berujung pada
kesalahan dalam melakukan pekerjaan (Werther & Davis, 1993).
b. Identitas Tugas (Task Identity)
Merupakan sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara
keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil
kinerja seseorang. Melalui identitas tugas, memungkinkan karyawan
untuk melaksanakan tugas dengan utuh. Produktivitas dan kepuasan
karyawan akan meningkat saat karyawan merasa bertanggung jawab
untuk tugas-tugas yang teridentifikasi dan masuk akal.
31
c. Signifikansi Tugas (Task Significance)
Merupakan tingkatan sejauh mana sebuah pekerjaan memiliki
dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut
merupakan rekan kerja dalam suatu organisasi atau perusahaan yang
sama maupun orang lain di lingkungan sekitar.
d. Otonomi (Autonomy)
Merupakan tingkat kebebasan karyawan atau pemegang kerja,
yang memiliki pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang
diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan serta memutuskan
prosedur seperti apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannnya.
Pekerjaan yang memberikan kebebasan, ketidaktergantungan dan
peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan
kepuasan kerja.
e. Umpan Balik (Feedback from job)
Merupakan tingkat aktivitas kerja yang memberikan informasi
kepada individu tentang bagaimana efektivitas dari kinerja individu
tersebut dalam melakukan pekerjaan. Saat karyawan mendapatkan
umpan balik atas seberapa berhasil dirinya mengerjakan pekerjaan,
maka akan merasa mendapat bimbingan dan memotivasi untuk
berkinerja lebih baik.
Model Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic Model-JCM)
yang dikembngkan oleh Hackman & Oldham (1980) disajikan dalam
Gambar 2.1.
32
Gambar 2.1
Model Karakteristik Pekerjaan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan, penulis menggunakan
dimensi-dimensi karakteristik pekerjaan yang dikemukakan oleh Hackman
& Oldham (1980) karena sesuai dengan kebutuhan penulis. Karyawan
yang memiliki karakteristik pekerjaan ditentukan berdasarkan variasi
ketrampilan (skill variety), identitas tugas (task identity), signifikansi tugas
(task significance), otonomi (autonomy) dan umpan balik (feedback for
job). Dengan adanya dimensi-dimensi tersebut, karyawan akan mudah
untuk merancang pekerjaannya secara lebih efektif. Dengan demikian,
kelima dimensi ini akan digunakan penulis untuk mengukur karakteristik
pekerjaan karyawan PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Kota Tegal.
Dimensi-dimensi
pekerjaan inti
Keadaan-keadaan
psikologis yang penting
Hasil-hasil pribadi dan
pekerjaan
Mengalami
kepenuhartian dari
pekerjaan
Mengalami tanggung jawab atas hasil-hasil
pekerjaan
Pengetahuan akan hasil-
hasil yang aktual dari
aktivitas-aktivitas pekerjaan
Motivasi kerja internal
yang tinggi
Kinerja pekerjaan berkualitas tinggi
Kepuasan yang tinggi terhadap pekerjaan
Ketidakhadiran dan perputaran yang rendah
Kekuatan kebutuhan
pertumbuhan karyawan
Variasi ketrampilan
Identitas tugas
Otonomi
Umpan balik
Signifikansi tugas
33
2.2.4 Peran Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan menjadi sebuah pendekatan dalam
merancang pekerjaan yang menunjukkan bagaimana pekerjaan
dideskripsikan ke dalam lima dimensi inti yaitu variasi ketrampilan,
identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan umpan balik (Robbins &
Judge, 2007). Pendekatan karakteristik pekerjaan merupakan tindak lanjut
dari proses rancangan pekerjaan. Selanjutnya model karakteristik
pekerjaan ini yang akan berupaya untuk menjelaskan situasi dan
merancang pekerjaan efektif bagi individu dengan menggunakan
pendekatan contingency (Kreitner & Kinicki, 2005).
Pekerjaan yang rutin dan monoton akan menimbulkan kebosanan
pada karyawan. Perbedaan karakteristik yang melekat pada pekerjaan
memerlukan tipe-tipe pekerja yang tepat sesuai dengan spesifikasi kerja
yang ada. Apabila masing-masing karyawan sudah mengetahui jenis
pekerjaan apa yang diminati, maka karyawan akan menghadapi dan dapat
menangani dengan cara yang khusus. Oleh karena itu, peran karakteristik
pekerjaan menjadi hal penting dalam meningkatkan keterikatan kerja
karyawan.
2.3 Dukungan Organisasi (Perceived Organizational Support)
Dalam sub pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai pengertian
dukungan organisasi, teori dukungan organisasi, dimensi dukungan
organisasi dan peran dukungan organisasi.
2.3.1 Pengertian Dukungan Organisasi
Persepsi dukungan organisasi menunjukkan bahwa karyawan
memiliki keyakinan yang bersifat luas mengenai kepedulian organisasi
dalam menilai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan.
34
Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Eisenberger et al., (1986, h.502) yang
mengungkapkan “the overall extent to which employees believe that their
organization values their contribution and cares about their well-being”.
Rhoades & Eisenberger (2002) juga menyatakan bahwa dukungan
organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana
organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan dan peduli kepada
kesejahteraan karyawan. Sementara itu, Allen et al., (2003) juga
mendefinisikan bahwa dukungan organisasi sebagai suatu keyakinan
global karyawan terhadap organisasi tentang seberapa besar organisasi
menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraannya. Hal tersebut
juga didukung oleh Robbins (2002, dalam Robbins & Judge, 2007) yang
mengemukakan bahwa dukungan organisasi adalah suatu tingkat sampai
dimana karyawan yakin organisasi menghargai kontribusi mereka dan
peduli dengan kesejahteraan karyawan.
Berdasarkan beberapa uraian dalam pengertian di atas, dalam
penelitian ini penulis menggunakan pengertian dukungan organisasi
menurut Rhoades & Eisenberger (2002) yaitu dukungan organisasi
mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi
menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli kepada kesejahteraan
mereka. Hal ini dikarenakan pengertian tersebut sesuai dengan tujuan
penelitian penulis karena dianggap telah mencangkup pengertian yang
komprehensif dan mudah dipahami.
2.3.2 Teori Dukungan Organisasi
Dukungan organisasi menjelaskan bagaimana kepercayaan
karyawan bahwa organisasi atau perusahaan menghargai kontribusi dan
kesejahteraannya. Teori dukungan organisasi (Eisenberger et al., 1986)
35
mengasumsikan bahwa atas dasar norma timbal balik, maka karyawan
akan merasa berkewajiban untuk membantu organisasi mencapai
tujuannya karena orgnisasi juga peduli terhadap kesejahteraan karyawan.
Berakar pada teori pertukaran sosial, teori dukungan oganisasi
mengasumsikan bahwa hubungan karyawan dengan organisasi dapat
diperkuat melalui hasil positif antara karyawan dengan organisasi (Eder &
Eisenberger, 2008).
Selain itu, teori dukungan organisasi juga menyatakan bahwa
perkembangan dukungan organisasi didukung oleh kecenderungan
karyawan dalam menentukan karakteristik kemanusiaan dari organisasi
(Eisenberger et al., 1986). Di dalam organisasi, atasan memiliki peran
sebagai wakil dari organisasi. Peran atasan sebagai wakil dari organisasi
membuat penerimaan karyawan terhadap perlakuan atau tindakan yang
menyenangkan dari atasan dapat mendukung timbulnya dukungan
organisasi. Kekuatan dan hubungan ini bergantung pada tingkat karyawan
dalam mengidentifikasikan perlakuan atau tindakan atasan sebagai
perlakuan atau tindakan dari organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002).
Dukungan organisasi juga dinilai sebagai jaminan bahwa organisasi akan
menyediakan bantuan untuk menyelesaikan sebuah tugas secara efektif
dan saat menghadapi kondisi penuh dengan stres (Rhoades &
Einsenberger, 2002).
Penulis berasumsi bahwa dukungan organisasi didasarkan pada
bagaimana persepsi karyawan terhadap organisasi untuk menilai
kontribusi yang telah diberikan, yaitu dengan peduli terhadap
kesejahteraan karyawan. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan organisasi
ketika karyawan bekerja. Dapat disimpulkan bahwa teori dukungan
organisasi yang dikemukakan oleh Rhoades & Einsenberger (2002) sesuai
36
dengan tujuan penulis. Alasannya, dalam upaya untuk meningkatkan
keterikatan kerja karyawan PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Kota Tegal
maka diperlukan dukungan organisasi sebagai bukti bahwa organisasi
peduli terhadap karyawan.
2.3.3 Dimensi Dukungan Organisasi
Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Rhoades & Eisenberger
(2002) mengindikasikan bahwa tiga dimensi utama dari perlakuan yang
dipersepsikan oleh karyawan berhubungan dengan dukungan organisasi.
Ketiga dimensi utama ini adalah sebagai berikut:
1. Keadilan
Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk
menentukan bagaimana mendistribusikan sumber daya diantara
karyawan (Cropanzo & Greenberg, 1997 dalam Rhoades &
Eiseberger 2002). Cropanzo & Greenberg (1997 dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002) membagi keadilan prosedural menjadi aspek
keadilan struktural dan aspek sosial. Aspek struktural mencakup
peraturan formal dan keputusan mengenai karyawan. Sedangkan
aspek sosial seringkali disebut dengan keadilan interaksional yang
meliputi bagaimana memperlakukan karyawan dengan penghargaan
terhadap martabat dan penghormatan mereka.
2. Dukungan Atasan
Karyawan mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana
atasan menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan
mereka (Kottke & Sharafinski, 1988 dalam Rhoades & Eisenberger,
2002).
37
3. Penghargaan Organisasi dan Kondisi Pekerjaan
Bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan ini
yakni seperti gaji, pengakuan dan promosi, keamanan dalam bekerja,
kemandirian, peran stressor serta pelatihan.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan, penulis menggunakan
dimensi-dimensi dukungan organisasi yang dikemukakan oleh Rhoades &
Eisenberger (2002) karena sesuai dengan kebutuhan penulis. Persepsi
dukungan organisasi dapat ditentukan berdasarkan keadilan, dukungan
atasan, penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan. Adanya dimensi-
dimensi tersebut, akan dapat melihat persepsi karyawan bahwa perusahaan
telah menghargai kontribusinya ketika bekerja. Dengan demikian, ketiga
aspek ini akan digunakan penulis untuk mengukur dukungan organisasi
pada karyawan PT Bank Danamon Indonesia, Tbk.
2.3.4 Peran Dukungan Organisasi
Dukungan organisasi memiliki peranan penting dalam memberikan
dukungan terhadap karyawan, yang pada akhirnya akan berdampak pada
keterikatan kerja karyawan. Eisenberger (1986 dalam Fuller, 2003)
menyarankan bahwa peran dukungan organisasi adalah untuk
memperhatikan dan menghargai usaha karyawan dalam membantu
keberhasilan sebuah perusahaan. Oleh karena itu, dukungan organisasi
yang dimiliki oleh seorang karyawan secara psikologis dapat
mempengaruhi keterikatan kerja karyawan tersebut. Peran dukungan
organisasi juga dinilai oleh karyawan sebagai pertemuan dari kebutuhan
emosi sosial, menyediakan indikasi dari kesiapan organisasi untuk
peningkatan kerja dan kecenderungan organisasi untuk menyediakan
38
bantuan saat dibutuhkan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan yang efektif
(Eisenberger, 1986 dalam Fuller, 2003).
Berdasarkan teori dukungan organisasi menunjukkan bahwa
adanya proses psikologis mendasari konsekuensi dari persepsi dukungan
organisasi, yaitu berdasarkan atas norma timbal balik. Maka dukungan
organisasi akan menumbuhkan perasaan berkewajiban untuk peduli
terhadap kesejahteraan dan dapat membantu organisasi dalam mencapai
tujuannya. Sementara itu, penerimaan yang bersahabat dan saling
menghormati mampu memenuhi kebutuhan emosional karyawan.
Dukungan organisasi juga dapat menguatkan keyakinan karyawan bahwa
pengakuan dari organisasi serta penghargaan (reward) yang diperoleh
akan meningkatkan performansi kerja karyawan. Oleh karena itu, peran
dukungan organisasi menjadi hal penting dalam meningkatkan keterikatan
kerja karyawan.
2.4 Jenis Kelamin
2.4.1 Pengertian Jenis Kelamin
Baron & Byrne (2000) mengartikan bahwa jenis kelamin
merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu
sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Badudu & Zain (2001)
menjelaskan bahwa jenis kelamin adalah pembedaan atas laki-laki dan
perempuan atau jantan dan betina. Jenis kelamin mengacu pada dimensi
biologis seorang laki-laki dan perempuan (Santrock, 2003).
Sementara itu, Hungu (2005) mengemukakan bahwa jenis kelamin
adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak
seseorang lahir. Sasongko (2009) juga menyatakan bahwa jenis kelamin
atau seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis.
39
Menurut Wahab (2012), manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan secara
kodrat dibedakan menjadi dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan
perempuan. Antara dua jenis kelamin tersebut terdapat perbedaan
karakteristik yang khas yang dapat membedakan satu dengan yang
lainnya, baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi psikis.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis
kelamin merupakan identifikasi individu sebagai perbedaan antara laki-
laki dan perempuan yang mengacu pada dimensi biologis.
2.5 Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya
Keterikatan kerja karyawan terhadap perusahaan merupakan salah
satu faktor penting dalam sebuah perusahaan. Semakin baik keterikatan
kerja maka pelaksanaan tugas pekerjaan akan menjadi lebih optimal.
Tanpa keterikatan kerja yang baik dari karyawan, perusahaan akan
mengalami kesulitan dalam mencapai hasil yang maksimal. Keterikatan
kerja yang baik terhadap perusahaan dapat mencerminkan besarnya rasa
tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan kepada karyawan. Hal ini
dapat membantu tercapainya tujuan organisasi dan kemajuan dari sebuah
perusahaan. Penelitian sebelumnya sangat penting sebagai dasar pijakan
dalam rangka penyusunan penelitian ini. Oleh sebab itu, berbagai
penelitian sebelumnya telah menemukan hasil analisa bahwa karakteristik
pekerjaan, dukungan organisasi dan jenis kelamin menjadi faktor yang
memiliki keterkaitan dengan keterikatan kerja.
2.5.1 Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dan Dukungan Organisasi
terhadap Keterikatan Kerja
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan sejauh
penelusuran penulis pada berbagai hasil penelitian maupun jurnal melalui
40
internet dan cetakan, hingga saat ini belum ada studi mengenai
karakteristik pekerjaan, dukungan organisasi dan keterikatan kerja yang
diteliti secara bersama-sama (simultan). Oleh karena itu, hal tersebut yang
menjadikan alasan penulis ingin meneliti pengaruh karakteristik pekerjaan,
dukungan organisasi terhadap keterikatan kerja.
2.5.2 Pengaruh Karakteristik Pekerjaan terhadap Keterikatan
Kerja
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, dapat dilihat bahwa
hasil penelitian Anggun (2012), kepada 76 orang karyawan kantor pusat
PT Wika Beton dengan status pegawai tetap. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan dari
karakteristik pekerjaan dan keterikatan karyawan dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,522 dan koefisien determinasi sebesar 0,272 (27,2%).
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin baik karakteristik
pekerjaan, maka semakin baik pula keterikatan karyawan terhadap
perusahaan. Dan sebaliknya, jika karakterisik pekerjaan karyawan rendah,
maka keterikatan karyawan akan menurun. Sementara itu, Reeves (2010)
juga melakukan penelitian pada 161 karyawan dari beragam organisasi.
Hasil yang didapat yaitu karakteristik pekerjaan secara signifikan juga
berhubungan dengan keterikatan karyawan ketika bekerja.
Penelitian yang dilakukan Supardi (2014) menyatakan bahwa ada
hubungan positif signifikan antara karakteristik pekerjaan (p value < 0,05,
R= 0,477) dengan keterikatan pada perawat. Faktor yang memberikan
pengaruh terhadap tingkat keterikatan perawat adalah karakteristik
pekerjaan (standar koefisien beta = 0,424). Hasil penelitian-penelitian
tersebut juga sejalan dengan dengan survai yang dilakukan oleh
41
Wildermuth & Pauken (2008), kedua peneliti ini melakukan studi
lapangan menggunakan wawancara dengan hasil bahwa ada karyawan
yang merasa terikat karena efek dari pekerjaan yaitu dapat membantu
rekan kerjanya, ada pula karyawan yang merasa terikat jika pekerjaan
yang dilakukan memiliki manfaat bagi perusahaan yang dinaungi. Temuan
Kahn (1990) juga menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan memiliki
pengaruh positif atas tingkat keterikatan karyawan. Naomi & Fathul
(2014) lewat penelitiannya juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menjadi prediktor dari keterikatan kerja adalah karakteristik pekerjaan.
Hasil penelitian Saragih dan Meily (2013) pada 164 karyawan
perbankan di kota Bandung dan Jakarta menyatakan bahwa karakteristik
pekerjaan tidak berpengaruh dengan keterikatan kerja dan keterikatan
organisasi. Penelitian Mugo et al., (2004) menunjukkan bahwa
karakteristik pekerjaan menjelaskan 95,2% dari keterikatan karyawan
negara di Kenya dan tingkat keterikatan untuk karyawan berada di atas
rata-rata. Hasil temuan Nusatria (2012) pada karyawan PT Telkom di Kota
Semarang menyatakan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh
signifikan terhadap keterikatan karyawan. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Fitriani (2012) pada karyawan di PT Bank Mandiri, Tbk
menunjukkan nilai R kuadrat sebesar 0,429 yang berarti bahwa 42,9%
keterikatan karyawan dapat dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan.
2.5.3 Pengaruh Dukungan Organisasi terhadap Keterikatan Kerja
Berdasarkan hasil penelitian Grace & Hadi (2013) pada guru SMA
Swasta di Surabaya dengan subjek 128 orang yang terdiri dari 92 orang
perempuan dan 36 orang laki-laki mendapatkan temuan bahwa dukungan
organisasi dan keterikatan kerja memiliki hubungan positif lemah dengan
42
nilai R= 0,237 (p<0,01) yang berarti tingginya persepsi terhadap dukungan
organisasi memiliki hubungan dengan tingginya keterikatan kerja
seseorang. Hasil temuan Seyed et al., (2014) terhadap 291 orang
pimpinan di Universitas Iranian menyatakan bahwa ada hubungan positif
signifikan antara dukungan organisasi dengan keterikatan karyawan
dengan nilai path coefficient = 0,90 dan T-value = 12,77. Hal ini didukung
dengan penelitian Tanudjaja (2013) bahwa dukungan organisasi memiliki
hubungan positif dengan keterikatan kerja dengan nilai p=0,020 (p<0,05),
F=0,245.
Hasil penelitian Stefani (2015) juga menyatakan bahwa ada
hubungan positif yang signifikan antara dukungan organisasi dan
keterikatan kerja (rxy= 0,528, p<0,01). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa hipotesis penelitian diterima dan dukungan organisasi memberikan
sumbangan efektif sebesar 27,8% terhadap keterikatan kerja (R= 0,278).
Penelitian Supardi (2014) menyatakan bahwa ada hubungan positif lemah
antara dukungan supervisor dengan keterikatan perawat (p value < 0,05,
R=0,193). Hasil temuan Sekarwangi & Sito (2013) terhadap 186
karyawan tetap Direktorat Produksi PT Pupuk Kalimantan Timur
menyatakan bahwa peubah keadilan organisasi, dimana keadilan
organisasi merupakan dimensi dari dukungan organisasi secara signifikan
terbukti menjadi prediktor keterikatan dengan hasil R=0,267; F=7,018 dan
nilai signifikansi=0,01.
Sementara itu, temuan Nusatria (2012) pada karyawan PT Telkom
di Kota Semarang menyatakan bahwa tidak adanya pengaruh dalam
hubungan dukungan organisasi terhadap pembentukan keterikatan
karyawan. Hal ini berarti, dukungan organisasi yang diterima karyawan
tidak memiliki pengaruh dalam keterikatan karyawan ketika bekerja. Saks
43
(2006); Rich et al., (2010) lewat penelitiannya tentang keterikatan
menunjukkan bahwa dukungan organisasi merupakan salah satu prediktor
terhadap munculnya keterikatan karyawan. Hasil penelitian Fitriani (2012)
pada karyawan di PT Bank Mandiri, Tbk menunjukkan nilai R kuadrat
sebesar 0,313 yang berarti bahwa 31,3% keterikatan karyawan dapat
dipengaruhi oleh dukungan organisasi. Hal ini didukung oleh temuan
Saragih & Meily (2013) pada 164 karyawan perbankan di Bandung dan
Jakarta bahwa dukungan organisasi yang diterima karyawan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap keterikatan karyawan.
2.5.4 Pengaruh Keterikatan Kerja terhadap Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian sebelumnya, ada pandangan yang
bertentangan mengenai hal keterikatan kerja yaitu siapa yang lebih terikat
dengan perusahaan, antara laki-laki dan perempuan. Penelitian Gallup
menemukan bahwa wanita cenderung untuk menemukan lebih banyak
kepuasan dalam pekerjaan mereka dan merupakan hasil yang wajar ketika
perempuan lebih memiliki keterikatan daripada laki-laki (Johnson, 2004).
Peneliti yang sama tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam
tingkat keterikatan kerja karyawan saat penelitian dilakukan pada
karyawan di negara Thailand.
Kapoor & Anthony (2013, dalam Gard, 2014) menyimpulkan
penelitiannya bahwa karyawan laki-laki pekerja pabrik memiliki
keterikatan yang tinggi ketika bekerja daripada karyawan perempuan.
Hasil penelitian Sprang et al., (2007) juga menyatakan bahwa karyawan
perempuan terlihat lebih sering mengalami burn out disebabkan karena
kurang memiliki keterikatan dibandingkan dengan karyawan laki-laki.
Penelitian Ariani (2013) pada industri jasa di kota Yogyakarta menyatakan
44
bahwa tidak ada perbedaan antar jenis kelamin pada keterikatan karyawan
ketika bekerja.
2.6 Dinamika Hubungan Antar Peubah
Keterikatan kerja merupakan sifat dan perilaku seorang karyawan
dalam bekerja dimana karyawan mengekspresikan diri secara total baik
secara fisik, kognitif, afektif dan emosional. Berdasarkan pada kajian dan
hasil penelitian yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, penulis
berasumsi bahwa karakteristik pekerjaan memiliki pengaruh terhadap
keterikatan kerja. Hal ini berarti semakin tinggi keterikatan kerja
karyawan, semakin tinggi pula karakteristik pekerjaan yang dimiliki
karyawan.
Pekerjaan dengan tingkat karakteristik kerja yang tinggi
melengkapi individu-individu dengan ruang dan insentif untuk membawa
diri ke dalam pekerjaan atau menjadi lebih terikat (Kahn, 1990; Saks,
2006). Karyawan yang mengetahui karakteristik pekerjaannya akan lebih
menguasai hal apapun yang terkandung pada pekerjaan, sehingga akan
mudah terikat pada setiap pekerjaan yang diberikan. Karakteristik
pekerjaan dirancang dengan menggunakan lima dimensi pekerjaan pokok
yaitu variasi ketrampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan
umpan balik. Kelima dimensi tersebut bertujuan agar kebutuhan
psikologis karyawan ketika bekerja dapat terpenuhi sehingga akan
memotivasi karyawan dalam bekerja dan kemudian akan meningkatkan
keterikatan kerja karyawan. Karyawan dengan karakteristik kerja yang
baik maka akan merasa memiliki keterikatan pada aspek pekerjaan yang
dihadapi. Karakteristik kerja yang beragam dan menantang akan
memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menggunakan
45
keahliannya. Berdasarkan uraian yang dipaparkan diatas, pentingnya
karakteristik pekerjaan akan membuat karyawan bisa menemukan
kepuasan serta akan lebih meningkatkan keterikatannya ketika bekerja.
Selain karakteristik pekerjaan, berdasarkan pada kajian dan hasil
penelitian yang telah diuraikan, penulis juga berasumsi bahwa dukungan
organisasi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan
keterikatan kerja karyawan. Hal ini berarti semakin tinggi persepsi
dukungan organisasi, semakin tinggi pula keterikatan kerja yang dimiliki
oleh karyawan. Karyawan yang terikat secara psikologis dan emosional
pada perusahaan, akan membuat hasil kerja karyawan semakin cemerlang
dan kinerjanya pun meningkat.
Eisenberger et al., (1990) memaparkan bahwa karyawan yang
memiliki persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan peduli
terhadap kesejahteraannya, maka dapat ditunjukkan dengan tingkat
absensi yang menurun serta akan selalu berusaha terhadap pencapaian
tujuan perusahaan. Ketika karyawan percaya bahwa perusahaan tempat
bekerja memperhatikan kesejahteraan, karyawan juga akan memenuhi
kewajiban dan tanggung jawab nya pada perusahaan dengan menjadi lebih
terikat. Peran dukungan organisasi mempengaruhi terjadinya keterikatan
kerja, karena adanya perhatian dari perusahaan dapat menimbulkan
keterikatan kerja yang baik. Oleh karena itu, dengan adanya dukungan
organisasi yang positif maka akan mampu menciptakan keterikatan kerja
yang positif juga.
2.7 Model Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka model
penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
46
Gambar 2.2
Model Penelitian
Keterangan:
= Karakteristik Pekerjaan
= Dukungan Organisasi
= Jenis Kelamin
Y = Keterikatan Kerja
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan model
penelitian yang ada, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
1. Ada pengaruh Karakteristik Pekerjaan dan Dukungan Organisasi
secara simultan terhadap Keterikatan Kerja karyawan PT Bank
Danamon Indonesia, Tbk Kota Tegal.
2. Ada perbedaan signifikan Keterikatan Kerja ditinjau dari Jenis
Kelamin karyawan PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Kota Tegal.
Y