10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Agar hasil penelitian ini sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka
sebelum melaksanakan penelitian di lapangan, teori-teori yang berkaitan dengan
penelitian perlu dianalisis. Teori tersebut meliputi kesejahteraan karyawan, kinerja
karyawan, hubungan antara kesejahteraan karyawan dengan kinerja karyawan,
serta hasil penelitian-penelitian yang lalu mengenai topik ini.
2.1. Kesejahteraan Karyawan
Walaupun berbagai pernyataan tentang manfaat dan pentingnya
kesejahteraan karyawan telah banyak dikemukakan, masih banyak perdebatan
seputar definisi, pengaruh, dan konsep dasar kesejahteraan karyawan (employee
well-being) (Kopperud, 2012 ; McCarthy, 2011 ; Orsila et al, 2011).
Sebagaimana yang dipaparkan Daniels (2000) dalam Weyman (2012: 1), sampai
saat ini, kejelasan, atau bahkan kesepahaman akan elemen dasar kesejahteraan
karyawan masih sangat kurang. Orsila et al (2011: 341) menyebutkan hal ini
dapat disebabkan karena reaksi terhadap kesejahteraan karyawan dalam
lingkungan yang berbeda menimbulkan reaksi yang berbeda pula. Sebagai contoh,
dalam bidang ekonomi, kesejahteraan karyawan disamakan dengan kepuasan
kerja, sementara dalam bidang kesehatan, kepuasan kerja bukan satu-satunya
dimensi kesejahteraan karyawan.
Namun banyak peneliti yang sepakat bahwa kesejahteraan karyawan lebih
dari sekedar mencegah karyawan dari sakit secara fisik (McCarthy, 2011 ; Tehrani
et al, 2007). Lebih luas lagi, kesejahteraan menyangkut kesehatan karyawan
secara fisik, mental, dan juga sosial. Karyawan yang sejahtera adalah karyawan
yang berada dalam kondisi baik secara fisik dan mental, bersedia berkontribusi,
serta memiliki loyalitas pada perusahaan. Oleh karena itu Tehrani et al (2007: 5)
menjelaskan bahwa kesejahteraan karyawan adalah sebuah keadaan dimana
karyawan merasa puas dengan pekerjaan mereka, serta diperbolehkan tumbuh dan
11
mengembangkan potensi mereka secara penuh, untuk keuntungan diri mereka
sendiri dan juga organisasi.
Senada dengan itu, menurut Harter et al (2002: 220) kesejahteraan di
lingkungan kerja merupakan kewajiban organisasi untuk membantu karyawannya
dalam memperoleh apa yang menjadi hak mereka dengan memberikan mereka
kebebasan untuk meraihnya sehingga timbul emosi positif dalam diri karyawan.
Lebih lengkap lagi Pruyne (2011: 4) menggambarkan kesejahteraan
karyawan sebagai sebuah keadaan dimana karyawan merasa positif, mampu
mencapai atau mendekati tingkat optimal, baik didefinisikan dan diukur dari segi
fisik, mental, emosional, maupun sosial, sehingga memiliki implikasi yang positif
untuk diri sendiri, keluarga, komunitas, organisasi, serta masyarakat pada
umumnya.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
karyawan adalah suatu keadaaan positif dari karyawan baik diukur dari segi fisik,
mental, emosional, maupun sosial, yang ditentukan oleh pengalaman dan fungsi
kerja karyawan serta dipengaruhi oleh tempat kerja.
2.1.1. Jenis Kesejahteraan Karyawan
Sebagian besar ahli meyakini ada tiga jenis kesejahteraan yang secara
umum diterima oleh ahli filosofi, psikologi, kesehatan, dan sosiologi, yaitu
kesejahteraan psikologi (psychological well-being), kesejahteraan fisik (physical
well-being), dan kesejahteraan sosial (social well-being) (Grant et al, 2007 ;
Fairhurst dan O’Connor, 2010).
Kesejahteraan psikologi terdiri dari dua pendekatan utama yaitu hedonic
dan eudamonic. Menurut Grant et al (2007: 53), dalam lingkup perusahan,
kepuasan kerja dapat mewakili pendekatan hedonic. Sementara itu para ahli lain
yang tidak setuju dengan pendekatan hedonic memilih pendekatan eudamonic,
yang lebih memperhatikan realisasi potensi karyawan. Sebagai gambaran,
kesejahteraan psikologi ini dapat berupa pencegahan stress, kepuasan intrinsik,
pencapaian tujuan, kepercayaan diri, pembagian tugas dan rasa aman (Fairhurst
dan O’Connor, 2010).
12
Kesejahteraan fisik merupakan pemenuhan kebutuhan kesehatan
karyawan. Danna dan Griffin (1999), Karasek dan Theorell (1990) serta Adler et
al (1993) dalam Grant et al (2007: 53) menerangkan bahwa kesejahteraan ini
paling tidak dapat dilakukan dengan tiga cara, yang pertama, pencegahan dari
cedera, kedua, pencegahan stress kerja, dan ketiga, asuransi kesehatan.
Sementara itu kesejahteraan sosial mengacu pada kualitas hubungan
karyawan dengan orang lain atau dengan komunitasnya serta keseimbangan antara
hidup dan pekerjaan. Hal ini dapat ditunjukan dengan adanya kepercayaan,
dukungan sosial, pergantian pimpinan-anggota, kerja sama dan integrasi diantara
para karyawan (Grant et al, 2007: 53).
Berbeda dengan itu Page dan Vella-Brodrick (2009) dalam Anwarsyah
dkk (2012: 32) menyebutkan terdapat tiga komponen dari employee well-being,
yaitu subjective well-being (kepuasan atas kehidupan), workplace well-being
(kepuasan kerja dan hal-hal terkait pekerjaan) dan yang terakhir adalah
psychological well-being (penerimaan diri, hubungan interpersonal positif,
penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan perkembangan diri).
Subjective well-being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman
hidupnya (Ariati, 2010: 119). Ada dua teori kesejahteraan subjektif yaitu,
1. Bottom up theories
Teori yang memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang
dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan
kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara khusus
kesejahteraan subjektif merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman
positif yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Semakin banyak peristiwa
menyenangkan terjadi, semakin bahagia dan puas dindividu tersebut.
Untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif teori ini beranggapan
perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi
pengalaman individu misalnya, pekerjaan yang memadai, lingkungan
rumah yang nyaman, pendapatan/gaji yang layak.
13
2. Top down theories
Kesejahteraan subjektif yang dialami seseorang tergantung dari cara
individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu
peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif. Perspektif teori ini
menganggap bahwa individu-lah yang menentukan atau memegang
peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan
kesejahteraan psikologis bagi dirinya.
Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara
yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk
meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus
pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.
Definisi workplace well-being menurut Page (2005) dalam Anwarsyah dkk
(2012: 34) adalah: “Rasa sejahtera yang diraih karyawan dari pekerjaan mereka,
hal ini dikonsepkan sebagai core affect, dan juga rasa puas atas pekerjaan (work
values) baik intrinsik dan/atau ekstrinsik”. Dari penjelasan tersebut, workplace
well-being didefinisikan sebagai rasa sejahtera yang diperoleh pekerja dari
pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan pekerja secara umum (core
affect) dan nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values).
Page (2005) dalam Anwarsyah dkk (2012: 34) mendefinisikan core affect
sebagai suatu keadaan dimana rasa nyaman dan tidak nyaman bercampur serta
gairah (passion) yang mempengaruhi aktivitas manusia. Untuk itu, core affect
dapat diartikan sebagai perasaan individu secara umum. Nilai pekerjaan (work
values), baik intrinsik maupun ekstrinsik, didefinisikan sebagai kepentingan, dan
hal-hal yang disukai oleh seorang karyawan di tempat kerja.
Pada dasarnya, kesejahteraan karyawan merupakan pengalaman subjektif
yang dipengaruhi oleh pekerjaan, kehidupan, dan sejarah pribadi setiap karyawan
(Orsila et al, 2011). Hal ini menjelaskan istilah kesejahteraan mungkin saja
memiliki arti yang berbeda untuk karyawan yang berbeda. Untuk beberapa
karyawan, memiliki kemampuan untuk menghidupi keluarganya mungkin sebuah
kesejahteraan. Sementara bagi sebagian lainnya, tantangan intelektual dalam
mengatasi sebuah masalah yang sulit lebih memberikan mereka kesejahteraan
14
dengan pengalaman positifnya. Itulah alasannya mengapa ada banyak sekali cara
untuk mendefinisikan kesejahteraan karyawan.
2.1.2. Kesejahteraan yang Berhubungan dengan Pekerjaan
Seperti yang telah dijelaskan, ada banyak cara yang beragam untuk
mendefinisikan kesejahteraan karyawan. Hal ini wajar karena kesejahteraan
karyawan memiliki konsep yang luas, dan menyempitkannya pada suatu konstruk
yang single easy-to-use dapat mengurangi kekayaan idenya (Paim, 1995 ; Sen et
al, 1987 dalam Kopperud, 2012: 9).
Namun setiap penelitian harus memiliki batasan, begitu pula dengan
penelitian ini. Oleh karena itu, kesejahteraan karyawan dalam penelitian ini
dibatasi pada kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related
well-being). Karyawan menghabiskan sebagian besar waktunya bergelut dengan
pekerjaannya di tempat kerja, oleh karena itu peneliti meyakini kesejahteraan
yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related well-being) merupakan
komponen yang paling tepat untuk penelitian ini.
Kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related well-
being) berfokus pada pengalaman kerja karyawan (Bakker dan Oerlemans, 2011).
Mengaplikasikan definisi Diener et al (1991) mengenai well-being secara umum
kepada work-related well-being, Bakker dan Oerlemans (2011) berpendapat
bahwa seorang karyawan dapat dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan yang
tinggi jika ia puas dan merasakan banyak emosi positif (seperti kebahagiaan,
kenikmatan, dan lain-lain) dalam pekerjaannya.
Para peneliti menggunakan beberapa indikator yang berbeda untuk
mengukur work-related well-being. Danna dan Griffin (1999) menyatakan bahwa
work-related well-being adalah kepuasan kerja (job satisfaction). Sementara itu
Kooij et al (2013: 19) mengukur work-related well-being dengan kepuasan kerja
(job satisfaction), komitmen organisasional (organizational commitment), dan
keadilan organisasi (organizational fairness).
Sedikit berbeda dengan itu, Baptiste (2008) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa work-related well-being dapat diukur dengan tiga dimensi
15
berikut yaitu, kepuasan kerja (job satisfaction), komitmen organisasional afektif
(affective organizational commitment), serta pekerjaan dan kehidupan yang
seimbang (work-life balance). Pfeffer (1998) dalam Baptiste (2008: 2),
menyatakan bahwa ketiganya merupakan karakteristik-karakteristik kehidupan
kerja berkualitas yang dapat meningkatkan kinerja karyawan. Oleh karena itu,
pengukuran work-related well-being pada penelitian ini akan diukur dengan
kepuasan kerja, komitmen organisasional, serta keseimbangan pekerjaan-
kehidupan.
2.1.3. Kepuasan Kerja
Clegg dan Wall (1981) serta Wright dan Cropanzano (2000) dalam Kopperud
(2012: 9) menyatakan bahwa kesejahteraan karyawan (employee well-being)
sering disamakan dengan kepuasan kerja (job satisfaction). Padahal, kepuasan kerja
hanyalah salah satu indikator dari kesejahteraan karyawan (Kooij et al 2013 ; Orsila
et al, 2011 ; Baptiste, 2008).
Kepuasan kerja menurut Locke (1969) dalam Xanthopoulou (2012: 1053)
adalah emosi/perasaan menyenangkan yang dihasilkan oleh pengalaman dalam
melaksanakan pekerjaan. Senada dengan itu, Mathis dan Jackson (2006: 121)
menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaaan emosional positif yang
merupakan hasil evaluasi dari pengalaman kerja. Begitu pula Robbins dan Judge
(2008: 99) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaaan positif karyawan
atas pekerjaan, yang merupakan hasil dari evaluasi karyawan tersebut terhadap
karakteristik-karakteristik pekerjaannya.
Sedikit berbeda, menurut Siagian (2008: 295) kepuasan kerja merupakan
suatu cara pandang seseorang, baik yang bersifat positif maupun negatif, tentang
pekerjaannya. Hal ini mendukung pendapat Mangkunegara (2008: 117) yang
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan yang menyokong atau
tidak menyokong diri karyawan, yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun
dengan kondisi dirinya. Karakteristik pekerjaan dapat berupa upah/gaji,
kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan karyawan lain, penempatan
kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, dan mutu pengawasan.
16
Sementara karakteristik dari dirinya sendiri antara lain umur, kondisi kesehatan,
kemampuan, dan pendidikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah emosi,
baik itu positif (puas) maupun negatif (tidak puas) seorang karyawan atas
pekerjaannya. Ketidakpuasan kerja akan muncul dalam diri karyawan, jika apa
yang ia harapkan atas pekerjaannya tidak terpenuhi.
Currie (2001) dalam Baptiste (2008: 9) menunjukkan bahwa kepuasan
kerja merupakan sejauh mana seorang individu merasa puas dengan kondisi
pekerjaan serta lingkungan kerja mereka. Contohnya, seberapa puas seorang
karyawan atas gaji, otonomi, tanggung jawab, wewenang dan pelatihan yang
mereka terima. Seorang karyawan akan memiliki tingkat kepuasan kerja yang
tinggi jika pekerjaan serta lingkungan kerja yang mereka dapatkan telah sesuai
dengan hak mereka. Dengan demikian, kepuasan kerja merupakan salah satu
indikator kesejahteraan karyawan terkait dengan pekerjaan.
Banyak faktor yang dapat menjadi penentu bagi kepuasan kerja. Menurut
Baptiste (2008: 9) faktor-faktor itu dapat berupa,
1. Prestasi kerja (sense of achievement), prestasi dan pengakuan perusahaan
atas prestasi itu merupakan motivator yang dapat meningkatkan kepuasan
dan gairah kerja seorang karyawan.
2. Kebebasan menggunakan inisiatif (scope of using initiative), sampai sejauh
mana pekerjaan memberi kebebasan dan keleluasaan dalam membuat
keputusan dan menentukan prosedur pekerjaan yang dipakai.
3. Pengaruh atas pekerjaan (influence over job), sejauh mana pengetahuan
dan keterampilan seorang karyawan sesuai dengan pekerjaannya sehingga
mempengaruhi pekerjaan yang dihasilkannya.
4. Gaji yang diterima (pay), meliputi besarnya gaji dan kesesuaian gaji
dengan pekerjaan.
5. Rasa aman atas pekerjaan (job security), yang merupakan jaminan
perusahaan atas kelangsungan pekerjaan karyawannya seperti
pengangkatan sebagai pegawai tetap.
6. Pelatihan (training), yang meliputi pengembangan diri dan keterampilan.
17
7. Pekerjaannya itu sendiri (work), termasuk tugas-tugas yang diberikan,
variasi dalam pekerjaan, kesempatan untuk belajar, dan banyaknya beban
kerja.
8. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan (involvement in decision
making), semakin tinggi tingkat keterlibatan, semakin tinggi pengakuan
perusahaan pada seorang karyawan.
2.1.4. Komitmen Organisasional Afektif
Herscovitch dan Meyer (2002) dalam Ariani (2010: 168) mendefinisikan
komitmen secara umum sebagai kekuatan atau cara pikir (mindset) yang mengikat
individu ke dalam serangkaian kegiatan yang relevan dengan satu atau beberapa
target.
Adapun komitmen organisasional (organizational commitment)
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins dan Judge, 2008: 100).
Kemudian komitmen organisasional menurut Mathis dan Jackson (2006: 122)
adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan
organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut.
Mowday (1982) dalam Sopiah (2008: 155) menyebut komitmen kerja
sebagai istilah lain komitmen organisasional. Menurutnya, komitmen
organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat
terhadap organisasi sehingga timbul keinginan anggota organisasi untuk tetap
mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras
bagi pencapaian tujuan organisasi.
Newstroom (1989) dalam Sopiah (2008: 156) menyatakan bahwa secara
konseptual, komitmen organisasional ditandai dengan tiga hal yaitu, (1) adanya
rasa percaya yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan nilai-nilai
organisasi, (2) adanya keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara
sungguh-sungguh demi organisasi, dan (3) adanya hasrat yang kuat untuk
mempertahankan keanggotaaan dalam suatu organisasi
18
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional
merupakan keberpihakan individu pada organisasi dan tujuannya serta kuatnya
upaya seseorang untuk bertahan dalam suatu organisasi, sehingga muncul
keinginan untuk memajukan organisasi tersebut. Menurut Cohen (1992) dalam
Ariani (2010: 168), organisasi yang anggotanya mempunyai komitmen akan
menunjukkan kinerja dan produktivitas yang lebih tinggi, serta ketidakhadiran
yang rendah.
Komitmen organisasional sering dikaitkan dengan hubungan timbal-balik
antara perusahaan dan karyawan. Dari perspektif karyawan, mereka akan
berkomitmen kepada perusahaan setelah perusahaan memenuhi hak mereka,
seperti gaji, tunjangan, lingkungan kerja yang nyaman, atasan yang suportif, dan
bentuk-bentuk kesejahteraan karyawan yang lain (Baptiste, 2008: 9). Dengan
demikian, komitmen organisasional merupakan salah satu indikator yang dapat
mengukur tingkat kesejahteraan yang didapatkan seorang karyawan dari
perusahaannya.
Robbins dan Judge (2008: 157) menjelaskan, ada tiga model komitmen
organisasional, yaitu:
1. Komitmen afektif (affective organizational commitment)
Komitmen ini terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari
organisasi karena adanya ikatan emosional.
2. Komitmen berkelanjutan (continuance organizational commitment)
Komitmen ini muncul apabila karyawan bertahan dalam suatu organisasi
karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karena
karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain.
3. Komitmen normatif (normative organizational commitment)
Komitmen ini timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan
bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa
komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan.
Komitmen yang dipakai pada penelitian ini adalah komitmen afektif.
Karena sebagaimana hasil penelitian Riketta (2002: 262), affective organizational
commitment merupakan salah satu komponen komitmen organisasional yang
19
memiliki hubungan paling signifikan terhadap kinerja, baik itu in role maupun
extra role. Diadaptasi dari Cook dan Wall (1980), Baptiste (2008: 9) menyatakan
bahwa karyawan dapat menunjukkan komitmen afektif kepada beberapa sasaran
seperti perusahaan, manajemen, rekan kerja, atau suatu kelompok tertentu.
2.1.5. Keseimbangan Pekerjaan-Kehidupan
Pada umumnya, kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan hanya
diukur dengan kepuasan kerja dan komimen organisaional. Namun banyak
peneliti yang menyarankan perlu ditambahkannya dimensi ketiga yaitu
keseimbangan pekerjaan-kehidupan (work-life balance) dalam pengukuran
kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan (Baptiste, 2008: 5).
Diantaranya Platt (1997) dalam Baptiste (2008: 11) menyarankan kesejahteraan
karyawan perlu dibangun diantara tuntutan pekerjaan dan rumah tangganya. Ia
juga menyatakan bahwa keseimbangan pekerjaan-kehidupan merupakan
kebutuhan setiap karyawan. Dengan demikian, keseimbangan pekerjaan-
kehidupan merupakan indikator pelengkap dalam pengukuran kesejahteraan
karyawan.
Guest (2002: 263) mendefinisikan work-life balance sebagai waktu yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tanggung jawab pekerjaan.
Senada dengan itu, Bratton dan Gold (2003) dalam Baptiste (2008: 226)
mendefinisikan work-life balance sebagai keseimbangan antara pekerjaan dengan
hiburan atau kehidupan keluarga. Hiburan yang dimaksud dapat berupa perjalanan
(traveling), bergabung dengan komunitas, ataupun bersosialisasi dengan kerabat.
Zedeck dan Mosier (1990) serta O’Driscoll (1996) dalam Guest (2002:
258-259) menyatakan, ada lima model yang dapat menjelaskan hubungan antara
pekerjaan dengan kehidupan di luar pekerjaan, yaitu:
1. Segmentation model
Model ini berpendapat bahwa pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan
merupakan hal yang berbeda, terpisah, dan tidak mempunyai pengaruh
satu sama lain.
20
2. Spillover model
Sebaliknya dari segmentation model, model ini menyatakan bahwa
keduanya saling mempengaruhi satu sama lain, baik secara positif ataupun
negatif.
3. Compensation model
Menurut model ini jika terdapat kekurangan pada salah satunya, yang lain
dapat menggantikannya. Contohnya, pekerjaan yang berat dan rutin dapat
dikompensasi dengan peran yang besar dalam suatu komunitas di luar
pekerjaan.
4. Instrumental model
Menurut model ini, aktivitas pada salah satunya, akan meningkatkan
tingkat kesejahteraan yang lainnya. Contohnya, ketika seorang karyawan
mengambil pekerjaan tambahan, ia akan mendapatkan upah tambahan
pula, sehingga ia dapat membeli rumah atau mobil untuk keluarganya.
5. Conflict model
Menurut model ini, meningkatnya kebutuhan atas kehidupan pribadi, dapat
menimbulkan konflik dan pilihan yang sulit.
Menurut Houston (2005) dalam Baptiste (2008: 10), perubahan komposisi
demografis dalam pasar tenaga kerja dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja
wanita telah meningkatkan masalah keseimbangan pekerjaan dengan tugas-tugas
rumah tangga. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap perusahaan yang memiliki
tenaga kerja beragam untuk mengadaptasi konsep work-life balance ke dalam
kebijakan sumber daya manusia yang mereka miliki. Daniels (2006) dalam Baptiste
(2008) berpendapat, bahwa karyawan mencari perusahaan yang cocok dengan
kepribadian mereka dan menyediakan apa yang mereka butuhkan. Dengan begitu,
work-life balance menjadi sebuah kunci penting dalam organisasi.
Sebagai respon terhadap masalah ini, diperkenalkanlah konsep flexible
working. Menurut Daniels (2006) dalam Baptiste (2008) flexible working adalah
sebuah pola yang berbeda dari pola kerja standar yang biasanya dimulai dari jam 9
sampai dengan jam 5. Dengan flexible working karyawan dapat memenuhi 40 jam
waktu bekerja dengan mengaturnya sesuai dengan kehidupan pribadi karena
21
karyawan dapat memilih waktu untuk melaksanakan pekerjaannya. Contohnya, jika
pola standar menetapkan jam masuk kantor adalah jam 7, sementara jam keluarnya
adalah jam 4, maka karyawan dapat memilih untuk masuk lebih siang dan pulang
lebih akhir pula, selama beban waktunya sama dengan karyawan lain. Pola seperti itu
dinamakan waktu yang fleksibel (flexible time).
Selain flexible time, flexible working juga sebenarnya memiliki beberapa
variasi lain diantaranya part-time, job sharing, bekerja dari rumah, dan lain-lain.
Kerja paruh waktu (part-time) adalah pola kerja yang dilakukan pada sembarang
waktu dan kurang dari 40 jam kerja per minggu sehingga tidak diklasifikasikan
sebagai karyawan full-time. Pembagian pekerjaan (job sharing), merupakan satu
peekerjaan full-time yang dibagi dianatara dua orang atau lebih. Pembagian pekerjaan
dapat mengatur karyawan untuk bekerja setengah hari, mingguan, atau bulanan.
Bekerja dari rumah merupakan alternatif kerja dimana pekerjaan dilaksanakan di
rumah. Bekerja dari rumah membebaskan karyawan dari kendala jam kerja tetap dan
seragam kerja, namun memiliki tingkat pengawasan yang rendah. Semua pola ini
tidak bisa diaplikasikan pada semua jenis pekerjaan. Jika ingin mengaplikasikan
flexible working, hendaknya perusahaan mempelajari dan menganalisis jenis
pekerjaan dan jenis pola flexible working yang tersedia kemudian baru memilih yang
paling cocok.
2.2. Kinerja Karyawan
Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebutkan prestasi atau tingkat
keberhasilan individu maupun kelompok. Konsep kinerja merupakan singkatan
dari kinetika energi kerja yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah
performance (Wirawan, 2009). Istilah performance sering diartikan dalam bahasa
Indonesia sebagai performa. Pada dasarnya, konsep kinerja merupakan perubahan
atau pergeseran paradigma dari konsep produktivitas. Awalnya orang sering kali
menggunakan istilah produktivitas untuk menyatakan kemampuan seseorang atau
organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran tertentu.
Kinerja adalah kecakapan seorang karyawan dalam melaksanakan tugas-
tugas yang diberikan padanya (Griffin et al, 2007: 327). Senada dengan itu,
Mangkunegara (2009: 9) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja secara
22
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Sementara itu Wirawan (2009: 5) menjelaskan bahwa kinerja adalah
output yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan
atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Dalam pengertian ini ditekankan bahwa
kinerja hanya bisa diketahui jika individu atau kelompok tersebut mempunyai
indikator atau kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini
berupa tujuan-tujuan atau target tertentu yang hendak dicapai.
Moeheriono (2009: 60) memberikan pandangan lain dengan
mendefinisikan kinerja sebagai gambaran mengenai tingkatan pencapaian
pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis
suatu organisasi.
Namun menurut Sudarmanto (2009: 8), pengertian kinerja dapat
dikategorikan menjadi dua garis besar yaitu, (1) kinerja merujuk pada hasil, (2)
kinerja merujuk sebagai perilaku. Dalam konteks hasil, kinerja merupakan catatan
hasil yang diproduksi (dihasilkan atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-
aktivitas selama waktu periode tertentu. Pengertian ini menekankan kinerja
sebagai hasil kerja bukan karakter sifat (trait) dan perilaku. Sementara terkait
kinerja sebagai perilaku, diambil dari pengetian yang menyatakan bahwa kinerja
merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit
kerja. Dalam pengertian ini kinerja bukan konsekuensi ataupun hasil, melainkan
tindakan itu sendiri.
Vroom (1964) dalam Yullyanti (2009: 131) menjelaskan bahwa kinerja
merupakan hasil perkalian antara motivasi dengan kemampuan atau dirumuskan
sebagai berikut,
Kinerja : f (motivasi x kemampuan)
Dari rumus tersebut, Vroom menunjukkan bahwa kedua hal tersebut saling
menentukan satu dengan lainnya. Artinya setinggi apapun tingkat kemampuan
seorang pegawai, kinerja yang dihasilkan tidak akan optimal bila dikerjakan
23
dengan motivasi yang rendah. Demikian juga sebaliknya, setinggi apapun tingkat
motivasi seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya, jika tanpa diimbangi
dengan adanya kemampuan tidak akan efektif.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja
merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun
kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami
atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk
berprestasi.
Sumber: Moeheriono (2009)
Gambar 2.1. Pengaruh Kinerja Individu dan Kelompok
Terhadap Kinerja Organisasi
Kinerja karyawan sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi.
Sebagaimana yang dijelaskan Rivai (2004: 56) bahwa kinerja karyawan
merupakan suatu hal yang penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai
tujuannya. Ada tiga macam kinerja, jika diurutkan dari skala terkecil yaitu kinerja
karyawan, kinerja unit, dan kinerja organisasi. Peningkatan dalam kinerja
organisasi sangat bergantung pada kinerja karyawan, karena kinerja karyawan
yang baik secara perorangan akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan
secara keseluruhan (Gambar 2.1.). Sebagaimana yang dipaparkan Prawirosentono
(1999) dalam Mustiko (2012: 10), jika kinerja individu baik, maka besar
kemungkinan kinerja organisasi juga baik.
Kinerja Individu Kinerja Kelompok Kinerja Organisasi
Faktor Kinerja
• Knowledge • Skill • Motivasi • Peran
Faktor Kinerja
• Keeratan tim • Kepemimpinan • Kekompakan • Struktur • Peran tim • Norma
Faktor Kinerja
• Lingkungan • Kepemimpinan • Struktur • Strategi • Teknologi • Kultur • Proses
24
2.2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
Pada dasarnya kinerja seorang karyawan merupakan hal yang bersifat
individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-
beda dalam mengerjakan tugas pekerjaannya. Gibson dkk (1989) dan Rivai dkk
(2005) dalam Yullyanti (2009: 133) menjelaskan, kinerja individu dapat
dipengaruhi oleh: (1) harapan mengenai imbalan, (2) dorongan, (3) kemampuan,
kebutuhan dan sifat, (4) persepsi terhadap tugas, (5) imbalan internal dan
eksternal, (6) persepsi terhadap tingkat imbalan, dan (7) kepuasan kerja.
Sementara itu menurut Simamora (1995) dalam Mangkunegara (2009: 14)
kinerja karyawan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
1. Faktor individu, yang terdiri dari,
• Kemampuan dan keahlian
Kemampuan dan keterampilan memainkan peran penting dalam
perilaku dan kinerja individu. Sebuah kemampuan adalah sebuah trait
(bawaan atau dipelajari) yang mengijinkan seseorang mengerjakan
sesuatu mental atau fisik. Keterampilan adalah kompetensi yang
berhubungan dengan tugas seperti keterampilan mengoperasikan
komputer atau keterampilan berkomunikasi dengan jelas untuk tujuan
dan misi kelompok. Manajer harus mencocokkan setiap kemampuan
dan keterampilan seseorang dengan persyaratan kerja agar dalam
bekerja dapat mencapai kinerja terbaik.
• Latar belakang
Latar belakang keluarga, pengalaman kerja dan tingkat
sosial mempengaruhi kinerja seseorang. Secara umum kemampuan
individu akan meningkat sesuai dengan jenjang pendidikan yang telah
dilaluinya, begitu pula dengan pengalaman kerja.
• Demografi
Aspek demografi terdiri dari jenis kelamin, ras dan keragaman
budaya. Penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita adalah sama
dalam hal kemampuan belajar, daya ingat, kemampuan penalaran,
kreativitas, dan kecerdasan. Meskipun hasil data riset cukup
25
memastikan, beberapa peneliti masih percaya adanya perbedaan pada
keduanya. Dalam masalah prestasi, absensi, dan tingkat turn over
dalam pekerjaan, masih terdapat perdebatan soal perbedaan pria dan
wanita. Tidak ada data pendukung yang menyatakan salah satunya
adalah pekerja yang lebih baik. Hanya dalam masalah absensi yang
masih sering ditemukan perbedaan. Wanita memiliki tingkat absensi
yang lebih tinggi. Tingkat absensi lebih tinggi dari wanita disebabkan
peran mereka untuk mengasuh dan memperhatikan anak, orang tua,
dan pasangannya.
2. Faktor psikologis, yang terdiri dari,
• Persepsi
Persepsi adalah proses kognitif individu dalam memilih, mengatur,
menyimpan, dan menginterpretasikan rangsangan menjadi gambaran
dunia yang utuh dan berarti. Oleh karena setiap orang memberi arti
dalam setiap rangsangan, individu berbeda dalam melihat hal yang
sama dengan cara yang berbeda. Cara seorang pekerja dalam melihat
keadaan, terutama pekerjaannya, sering kali mempengaruhi kinerja
yang dihasilkan.
• Sikap
Sikap adalah perasaan positif/negatif atau keadaan mental yang selalu
disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui pengalaman hidup, dan
memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap
individu lain, suatu obyek serta keadaan.
• Kepribadian
Kepribadian merupakan himpunan karakteristik dan kecenderungan
yang stabil sehingga menentukan sifat umum dan perbedaan dalam
perilaku seseorang. Kepribadian dipengaruhi oleh keturunan, budaya,
dan faktor sosial. Perilaku seseorang tidak dapat dimengerti tanpa
mempertimbangkan konsep kepribadian.
26
• Pembelajaran
Kemampuan seorang karyawan untuk mengolah pengetahuan dan
pengalaman hidupnya ke dalam proses pembelajaran sehingga
menghasilkan nilai-nilai baru merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kinerja. Karyawan yang mampu melakukan proses
pembelajaran merupakan karyawan yang matang secara pribadi.
Karyawan jenis ini biasanya lebih bertanggung jawab atas apa yang
dikerjakannya.
• Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam
menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang
menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja.
Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang
untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. McCleland
(1997) seperti dikutip Mangkunegara (2009: 68), berpendapat bahwa
“ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan
pencapaian kerja”.
3. Faktor organisasi, yang terdiri dari,
• Sumber daya
Sumber daya organisasi baik berupa sarana ataupun prasarana,
dibutuhkan oleh karyawan untuk digunakan dalam menyelesaikan
pekerjaannya. Sumber daya yang lengkap dapat membantu
meningkatkan kinerja yang dihasilkan.
• Kepemimpinan
Karyawan pada umumnya membutuhkan kepemimpinan yang baik.
Pemimpin yang sukses harus memimpin dengan menciptakan
atmosfer atau kondisi sehingga membuat setiap karyawan dapat
berkontribusi secara total. Ini dapat berarti mendidik keterampilan
baru untuk karyawan, mendorong karyawan untuk menangani sesuatu
yang takut dilakukannya, atau dapat juga berarti mendengarkan
keluhan, ide, harapan, keluhan, kritik dan saran. Ada banyak cara bagi
27
seorang pemimpin untuk mempengaruhi kinerja karyawan. Para
pemimpin dapat mempengaruhi karyawan untuk bekerja lebih cepat
atau melakukan sesuatu pekerjaan berkualitas dengan lebih baik
misalnya dengan memberikan insentif, penghargaan dan pujian
khusus, atau memberikan motivasi tentang pentingnya pekerjaan, dan
menetapkan tujuan-tujuan yang menantang. Para pemimpin juga dapat
meningkatkan keterampilan karyawan untuk melakukan suatu
pekerjaan misalnya dengan memperlihatkan kepada mereka metode-
metode yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan.
• Penghargaan
Penghargaan sebagai insentif dan pengakuan atas kinerja merupakan
hal penting untuk memberikan arah kerja yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan organisasi dalam upaya penguatan peningkatan
kinerja.
• Struktur
Struktur organisasi berkaitan erat dengan arus kerja dalam organisasi
yang dapat menimbulkan dampak langsung terhadap cara karyawan
melaksanakan pekerjaannya.
• Desain pekerjaan
Desain pekerjaan adalah struktur bangunan pekerjaan yang disusun
sedemikian rupa sehingga pekerjaan tersebut dapat dikerjakan dengan
cara yang seefektif dan seefisien mungkin. Desain pekerjaan yang
ideal selalu memperhatikan empat hal, yaitu : (a) deskripsi tanggung
jawab, (b) urutan kegiatan/prosedur kerja, (c) standar kualitas kerja,
dan (d) ergonomik.
Dengan kata lain, kinerja karyawan adalah hasil dari yang pertama, atribut
individu, yang meliputi faktor-faktor individu yang telah ada dalam diri
seseorang. Yang kedua, upaya kerja (work effort), yang membentuk keinginan
atau motivasi untuk mencapai tujuan. Yang terakhir, dukungan dari organisasi,
yang memberikan kesempatan dan dorongan dalam berbagai bentuk pada
karyawannya untuk mencapai tujuan.
28
Sedikit berbeda dengan itu Wirawan (2009) menjelaskan bahwa pada
dasarnya kinerja merupakan hasil sinergi dari dari sejumlah faktor (lihat Gambar
2.2) seperti faktor internal organisasi, faktor lingkungan eksternal, dan faktor
internal karyawan.
Gambar 2.2. Pengaruh Lingkungan Internal dan Eksternal Terhadap
Perilaku Kerja Karyawan
Dalam melaksanakan pekerjaannya, karyawan memerlukan dukungan dari
perusahaaan tempat ia bekerja. Dukungan itu sangat memengaruhi tinggi
rendahnya kinerja karyawan. Oleh karena itu manajemen organisasi harus
menciptakan lingkungan internal organisasi yang kondusif sehingga dapat
mendukung dan meningkatkan produktivitas karyawan.
Lingkungan Eksternal • Kehidupan ekonomi • Kehidupan politik • Kehidupan sosial • Budaya dan agama
masyarakat • Kompetitor
Internal Karyawan • Bakat dan sifat • Kreatifitas • Pengetahuan dan
keterampilan • Kompetensi • Pengalaman kerja • Keadaan fisik • Keadaan psikologi
Perilaku Kerja Karyawan
• Etos kerja • Disiplin kerja • Motivasi kerja • Semangat kerja • Sikap kerja • Stress kerja • Keterlibatan kerja • Kepemimpinan • Kepuasasn kerja • Keloyalan
Internal Organisasi • Visi, misi, & tujuan • Kebijakan • Bahan mentah • Teknologi • Strategi • Sistem manajemen • Kompensasi • Kepemimpinan • Modal • Budaya • Iklim • Rekan kerja
Kinerja Karyawan Kinerja Organisasi Sumber: Wirawan (2009)
29
Faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian,
atau situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi dan memengaruhi
kinerja karyawan. Seperti contohnya budaya masyarakat, budaya alon-alon asal
lakon atau mangan ora mangan asal kumpul memengaruhi kinerja orang
Indonesia. Hal tersebut dapat menjelaskan penyebab kinerja orang Indonesia yang
rendah dibandingkan bangsa lain.
Faktor internal karyawan merupakan faktor dari dalam diri karyawan yang
merupakan bawaan lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-
faktor bawaan misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja,
dan motivasi kerja. Setelah dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi dan
lingkungan eksternal, faktor internal pegawai ini menentukan kinerja karyawan.
Jadi dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi faktor internal tersebut, semakin
tinggi pula kinerja karyawan. Sebaliknya semakin rendah faktor-faktor tersebut,
semakin rendah pula kinerjanya.
Faktor internal karyawan bersinergi dengan faktor lingkungan organisasi.
Sinergi ini memengaruhi perilaku kerja karyawan yang kemudian memengaruhi
kinerja karyawan. Kinerja karyawan kemudian menentukan kinerja organisasi.
Kinerja individu perorangan (individual performance) dan organisasi
(organizational performance) memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tercapainya
tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh
organisasi yang digerakkan atau dijalankan oleh sekelompok orang yang berperan
aktif sebagai pelaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Dari ketiga faktor tersebut, faktor yang dapat dikontrol dan dikondisikan
oleh para manajer adalah faktor lingkungan internal organisasi dan faktor internal
karyawan. Sementara faktor lingkungan eksternal organisasi berada di luar kontrol
manajer. Oleh karena tugas manajer adalah mengontrol dan mengembangkan
faktor lingkungan internal organisasi dan faktor internal karyawan.
2.2.2. Dimensi Kinerja
Dimensi kinerja merupakan aspek-aspek yang menjadi ukuran dalam
menilai kinerja. Beberapa literatur berbeda pendapat mengenai dimensi atau
30
indikator yang menjadi ukuran kinerja. Dimensi yang digunakan dalam
melakukan penilaian kinerja menurut Benardin (2001) dalam Sudarmanto (2009:
12) adalah,
1. Quality, terkait dengan proses atau hasil mendekati sempurna/ideal dalam
memenuhi maksud dan tujuan perusahaan.
2. Quantity, terkait dengan satuan jumlah atau kuantitas yang dihasilkan.
3. Timeliness, terkait dengan waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan
aktivitas atau menghasilkan produk.
4. Cost-effectiveness, terkait dengan tingkat penggunaan sumber-sumber
daya organisasi (orang, uang, atau material) dalam usaha memperoleh
hasil yang diinginkan, atau pengurangan pemborosan dalam penggunaan
sumber-sumber daya organisasi.
5. Need for supervision, terkait kemampuan individu daplam menyelesaikan
pekerjaan atau fungsi-fungsi pekerjaan tanda bimbingan atau intervensi
pengawasan atasan.
6. Interpersonal impact, terkait dengan kemampuan individu dalam
meningkatkan perasaan harga diri, keinginan baik, dan kerja sama diantara
sesama karyawan.
Sedikit berbeda dengan itu, Sedarmayanti (2011) mengganti mengganti
dimensi need for supervision dengan ketepatan waktu. Selain, mengukur berapa
putaran waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan dinilai
semakin semakin baik, pekerjaan tersebut juga harus tepat dengan standar waktu
yang telah ditentukan, hasilnya ada pada saat yang dibutuhkan.
Sementara itu Wirawan (2009) mengganti dimensi need for supervision
dengan (1) cara melakukan pekerjaan, yang menekankan bagaimana cara atau
pekerjaan tersebut dilakukan, contohnya pekerjaan membantu pelanggan dalam
menjelaskan produk dinilai lebih tinggi jika dilakukan dengan sabar, (2) metode
melaksanakan tugas, dimana nilai diberikan lebih tinggi jika tugas dilakukan
sesuai dengan undang-undang, kebijakan, atau prosedur yang berlaku, (3) standar
sejarah, yang mengharuskan standar hari ini harus lebih baik dari masa lalu, dan
31
(4) standar nol, standar yang menyatakan tidak ada cacat atau kesalahan
sedikitpun dari pekerjaan yang dilakukan.
Sementara itu Prawirosentono (1999) dalam Yullianti (2009: 133)
menjelaskan dimensi untuk pengukuran kinerja adalah (1) pengetahuan atas
pekerjaan, kejelasan pengetahuan atas tanggung jawab pekerjaan yang menjadi
tugasnya, (2) perencanaan dan organisasi, kemampuan membuat rencana
pekerjaan meliputi jadwal dan urutan pekerjaan sehingga tercapai efisiensi dan
efektifitas, (3) mutu pekerjaan, ketelitian, dan ketepatan pekerjaan, (4)
produktivitas, (5) pengetahuan teknis atas pekerjaan yang menjadi tugas seorang
karyawan, (6) judgement, kebijakan naluriah, dan kemampuan menyimpulkan
tugas sehingga tujuan organisasi tercapai, (7) komunikasi, (8) kerja sama, (9)
kehadiran dalam rapat, disertai dengan kemampuan menyampaikan gagasan-
gagasannya kepada orang lain mempunyai nilai tersendiri dalam menilai kinerja
seorang pegawai, (10) manajemen pekerjaan, (11) kepemimpinan, dan (12)
kemampuan memperbaiki diri sendiri.
Sementara itu dimensi pengukuran kinerja yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah kinerja in role dan kinerja extra role. Kinerja in role adalah
perilaku karyawan untuk melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung
jawabnya (Bakker dan Heuven, 2006 ; Colquitt et al, 2009). Sementara kinerja
extra role mengarah pada perilaku pekerja yang bekerja tidak hanya pada apa
yang menjadi tugasnya (Podsakoff, 2000 ; Garay, 2006 ; Ariani, 2010). Perbedaan
yang mendasar antara kinerja in role dengan extra role adalah pada reward. Pada
kinerja in role biasanya dihubungkan dengan reward dan sanksi (hukuman),
sedangkan pada kinerja extra role biasanya tidak terkait dengan reward (Sudarma,
2011: 38). Dengan kata lain, tidak ada insentif tambahan yang akan diberikan
ketika seorang karyawan melakukan kinerja extra role. Tetapi meskipun kinerja
extra role tidak boleh diberi ganjaran secara langsung atau formal oleh sistem
reward organisasi, tidak berarti kinerja extra role dibatasi hanya pada perilaku-
perilaku yang tidak diberi reward dalam bentuk nyata.
Pengukuran kinerja dengan menggunakan dimensi kinerja in role dan
kinerja extra role ini mengikuti saran Motowidlo et al (1997) serta Motowidlo dan
32
Van Scooter (1994) dalam Ariani (2010: 167), bahwa kinerja karyawan yang
dinilai harus meliputi in role performance dan extra role performance, karena
kebutuhan penilaian kinerja sebaiknya berdasar pada model kompetensi yang
berfokus pada keahlian yang dibutuhkan oleh karyawan, baik di masa kini
maupun masa mendatang
Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dimensi pengukuran kinerja sangat beragam tergantung aspek tertentu yang
diukur dan karakteristik organisasinya.
2.2.3. Kinerja In Role dan Extra Role
Beberapa ahli menamakan kinerja in role sebagai kinerja tekstual dan
kinerja tugas (Colquitt et al, 2009). Motowidlo dan Van Scooter (1994) dalam
Bakker dan Heuven (2006: 428) mendefinisikan in role performance sebagai
hasil dan sikap yang diharapkan secara resmi untuk pemenuhan tujuan organisasi.
Jika ingin mendapatkan gaji dan melanjutkan pekerjaannya di perusahaan
tersebut, maka setiap karyawan harus melaksanakan kinerja in role.
Sementara itu menurut Colquitt et al (2009: 38) kinerja in role merupakan
sikap karyawan yang secara langsung berpengaruh pada proses perubahan sumber
daya perusahaan menjadi barang/jasa tergantung apa yang diproduksi perusahaan.
Dengan kata lain, kinerja in role adalah apa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab seorang karyawan (Bakker dan Heuven, 2006 ; Colquitt et al,
2009) sebagaimana yang telah tertulis secara formal dalam job decription. Kinerja
in role merupakan apa yang selama ini didefinisikan sebagai kinerja karyawan.
Namun menurut MacKenzie et al (1998), kinerja karyawan tidak hanya sebatas in
role performance, tetapi juga extra role performance.
Istilah kinerja extra role juga dikenal dengan berbagai istilah yang
berbeda. Ada yang menamakannya organizational citizenship behaviors (OCB),
perilaku prososial organisasi, organisasional spontan, kinerja kontekstual, kinerja
luar tugas (MacKenzie et al, 1998 ; Podsakoff et al, 2000 Garay, 2006 ; Griffin et
al, 2007; Ariani, 2010).
33
Definisi kinerja extra role menurut Organ (1988) yang dikutip oleh
Podsakoff et al (2000: 513) adalah,
“Perilaku individu yang tidak termasuk secara langsung dalam sistem penghargaan (reward) resmi, namun dapat mempromosikan fungsi organisasi yang efektif. Dengan kata lain, perilaku tersebut bukan merupakan hal yang harus dilakukan berkaitan dengan peran seorang individu dalam organisasi (job description), dan bukan hal yang secara jelas dituliskan dalam kontrak kerja individu tersebut dengan organisasi. Perilaku ini merupakan pilihan pribadi, sehingga kelalaian untuk mengerjakannya tidak ditetapkan sebagai sebuah perilaku yang harus dihukum.”
Senada dengan itu, Garay (2006: 33) mendefinisikan extra role
performance sebagai perilaku sukarela dari seorang pekerja untuk mau melakukan
tugas atau pekerjaan diluar tanggung jawab atau kewajibannya demi kemajuan
atau keuntungan organisasinya.
Sementara itu Ariani (2010: 165) mendefinisikan kinerja extra role
sebagai aspek unik dari kegiatan individu di tempat kerja yang berada di luar
persyaratan formal dalam pekerjaan, bersifat bebas serta tidak secara eksplisit
berada dalam prosedur kerja dan sistem pemberian upah formal. Namun demikian
semua pendapat mengarah pada suatu pengertian yang sama, yaitu perilaku
pekerja yang bekerja tidak hanya pada apa yang menjadi tugasnya. Contohnya
perilaku membantu teman sekerja yang mengalami kesulitan dalam pekerjaan,
mencegah terjadinya ancaman bahaya yang dapat merugikan organisasi, perilaku
menjaga kebersihan dan kenyamanan tempat kerja, atau menyelesaikan pekerjaan
melebihi standar yang dituntut.
Kinerja extra role muncul dari dalam individu berupa keinginannya
memberikan kontribusi bagi organisasi. Hal ini disebabkan pada dasarnya
karyawan memiliki komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi.
Keinginan tersebut mendorong individu untuk berperilaku secara spontan dalam
suatu model kegiatan dan harus didukung oleh sistem yang ada, yaitu sistem yang
kooperatif, informal, ada kolaborasi, didukung oleh pemimpinnya, dan ada
pertukaran sosial maupun ekonomi. Perilaku tersebut juga merupakan komitmen
individu yang timbul sebagai ekspresi kepuasannya.
34
Kinerja extra role mempunyai beberapa dimensi. Penelitian yang telah
banyak dilakukan pada umumnya menggunakan empat dimensi (Ariani, 2011;
Huang dan You, 2011) yaitu,
1. Altruisme (altruism) atau sering disebut juga perilaku menolong (helping
behavior), merupakan bentuk perilaku sukarela individu untuk menolong
individu lain atau mencegah terjadinya permasalahan yang terkait dengan
pekerjaan (work-related problem).
2. Kesopanan (courtesy), yaitu bersikap santun dan menahan diri untuk tidak
bersitegang atau memiliki konflik dengan karyawan lain.
3. Sikap sportif (sportmanship), didefinisikan sebagai kemauan atau
keinginan untuk menerima (toleransi) terhadap ketidaknyaman dan
kekurangan perusahaan tanpa mengeluh.
4. Kebaikan sebagai warga organisasi (civic virtue), merupakan bentuk
perhatian kepada organisasi secara makro atau keseluruhan seperti
menghadiri pertemuan, menyampaikan pendapat atau berpartisipasi aktif
dalam kegiatan organisasi.
Sementara ada empat faktor yang mendorong munculnya kinerja extra role
dalam diri karyawan. Menurut Podsakoff (2000) dalam Garay (2006: 35)
keempat faktor tersebut adalah karakteristik individual, karakteristik
tugas/pekerjaan, karakteristik organisasional dan perilaku pemimpin. Karakteristik
individu ini meliputi persepsi keadilan, kepuasan kerja, komitmen organisasional
dan persepsi dukungan pimpinan. Karakterisitik tugas meliputi kejelasan atau
ambiguitas peran. Sementara karakteristik organisasional meliputi struktur
organisasi, dan model kepemimpinan. Lebih lanjut dikatakan bahwa job attitudes,
karakteristik tugas dan perilaku pemimpin ditemukan memiliki hubungan yang
lebih kuat terhadap kinerja extra role dibandingkan yang lainnya.
Beberapa penelitian tentang kinerja extra role mengungkapkan bahwa
dampak kinerja extra role mampu meningkatkan efektivitas dan kesuksesan
organisasi, sebagai contoh biaya operasional yang rendah, waktu penyelesaian
pekerjaan lebih cepat, dan penggunaan sumber daya secara optimal (Garay, 2006).
Oleh karena itu, berdasarkan peran dan manfaat kinerja extra role, manager atau
35
akademisi sumber daya manusia berusaha mendorong atau menumbuhkan kinerja
extra role dalam organisasi melalui berbagai macam cara seperti memasukkan
kriteria kinerja extra role dalam penilaian kinerja.
2.3. Hubungan Antara Kesejahteraan yang Berhubungan dengan
Pekerjaan dengan Kinerja Karyawan
Pada awalnya kesejahteraan karyawan hanyalah topik minor dalam
pembahasan mengenai kinerja, namun sekarang semakin banyak peneliti yang
tertarik dengan topik ini. Sebuah fakta baru sebagaimana yang dikemukakan Lee
dan Wong (2006: 11) menyatakan bahwa kesejahteraan yang diberikan
perusahaan untuk karyawannya merupakan faktor yang penting dalam
mempengaruhi kinerja karyawan.
Senada dengan itu, Russel (2008) dalam Anwarsyah dkk (2012: 32) juga
menyatakan bahwa kesejahteraan memiliki pengaruh yang signifikan dengan
kinerja karyawan. Sehingga sekarang, kesejahteraan seorang karyawan bukan lagi
masalah personal karyawan tersebut, namun juga harus diusahakan oleh
perusahaan, karena merupakan salah satu faktor pendukung yang sangat penting
bagi perusahaan untuk meraih kesuksesan.
Masing-masing indikator kesejahteraan yang berhubungan dengan
pekerjaan (work-related well-being) juga memiliki hubungan yang erat dengan
kinerja, baik itu in role ataupun extra role.
Heller et al (2002) dalam Ariani (2010: 168) menyatakan bahwa kepuasan
kerja (job satisfaction) adalah suatu konstruk yang sangat penting dalam perilaku
organisasional dan berhubungan dengan organizational outcome seperti kinerja in
role dan extra role, ketidakhadiran kerja, serta kepuasan dalam kehidupannya (life
satisfaction). William dan Anderson (1991) serta Mohammad (2011: 162) juga
menemukan hubungan yang positif antara kepuasan kerja, baik itu ekstrinsik
maupun instrinsik terhadap semua dimensi extra role. Namun, Organ dan Ryan
(1995) menyatakan bahwa hubungan kepuasan kerja dengan kinerja extra role
lebih besar dibandingkan dengan kinerja in role.
36
Berbeda dengan itu, penelitian MacKenzie et al (1998) menemukan
kinerja in role sebagai faktor pendukung (antecendent) kepuasan kerja dan
komitmen organisasi, dan kinerja extra role sebagai hasil (consequent) dari kedua
variabel tersebut.
Sementara itu Somers dan Birnbaum (1998) dalam Ariani (2010: 168)
menyatakan bahwa komitmen organisasi dapat mempengaruhi kinerja melalui dua
intervening variable yaitu usaha dan pencapaian. Hasil penelitian ini mendukung
penelitian William dan Anderson (1991) yang menyatakan bahwa komitmen
organisasi berpengaruh pada kinerja, baik kinerja in role maupun kinerja extra
role.
Riketta (2002: 262) juga menyatakan bahwa affective organizational
commitment, yang merupakan salah satu komponen komitmen organisasional,
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kinerja baik itu in role dan extra
role, walaupun hubungan dengan extra role lebih besar dibandingkan dengan in
role. Sementara itu menurut Huang dan You (2011: 11341-11342), affective
organizational commitment memiliki hubungan yang signifikan terhadap kinerja
extra role, namun tidak dengan kinerja in role.
Menurut Baptiste (2008: 5), keseimbangan pekerjaan-kehidupan (work-
life balance) juga merupakan indikator dalam pengukuran kesejahteraan yang
berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini mendukung pernyataan Guest (2002:
267) yang menyebutkan bahwa keseimbangan pekerjaan-kehidupan memiliki
hubungan dengan indikator-indikator kinerja karyawan. Lambert (2000: 813)
lebih lanjut menjelaskan bahwa keseimbangan pekerjaan-kehidupan lebih
berpengaruh pada kinerja extra role dibanding kinerja in role.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan karyawan
memiliki hubungan yang positif dengan kinerja, dimana semakin rendah tingkat
kesejahteraan seorang karyawan, maka semakin rendah pula kinerja karyawan
tersebut, dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai
pentingnya kesejahteraan karyawan merupakan sebuah alat yang sangat pentin
untuk memaksimalkan kinerja karyawan.
37
2.4. Penelitian Terdahulu
Cropanzano dan Wright (1999) dalam penelitiaannya yang berjudul A 5-
Year Study of Change in The Relationship Between Well-Being and Job
Performance meneliti mengenai hubungan kesejahteraan karyawan dan kinerja
karyawan dengan interval waktu. Hasil penelitian menemukan hubungan yang
signifikan antara kesejahteraan karyawan dan kinerja karyawan jika kinerja
karyawan diukur dalam waktu yang bersamaan, atau setahun setelah pengukuran
kesejahteraan karyawan. Namun, jika pengukuran kinerja karyawan dilakukan 4,5
atau 5 tahun setelah pengukuran kesejahteraan karyawan, hubungan antara
keduanya tidak lagi signifikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa
peningkatan kesejahteraan dapat meningkatkan kinerja jika dilakukan secara terus
menerus.
Penelitian yang dilakukan Bogdanova et al (2008) berjudul Work
Environmental Stressors – The Link Between Employees’ Well-being and
Performance. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan antara kesejahteraan
yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related well-being) dengan kinerja
karyawan dalam konteks lingkungan kerja. Obyek penelitian yang digunakan
adalah karyawan Bagian Produksi perusahaan X di Swedia. Penelitian
menggunakan metode kualitatif dimana data diperoleh dengan metode wawancara
pada sampel berjumlah delapan orang yang diperoleh dengan menggunakan
teknik sampling self-selective sampling. Hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related
well-being) dengan kinerja karyawan. Bahkan menurut hasil penelitian ini, model
hubungan antara kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related
well-being) dengan kinerja karyawan berbentuk circle. Saat lingkungan
perusahaan kondusif, sarana dan prasarana mendukung, karyawan akan merasa
nyaman dalam bekerja sehingga kinerja mereka meningkat. Mayoritas karyawan
kemudian merasa puas saat melihat kemajuan dalam pekerjaan mereka. Dengan
demikian, kemampuan karyawan untuk bekerja secara efektif dan produktif dapat
meningkatkan kesejahteraan dan menumbuhkan rasa positif dalam diri mereka.
38
Sementara itu Ariani (2010) menguji peran komitmen organisasional,
kepuasan kerja, dan kepribadian terhadap kinerja in role dan extra role. Variabel
kepuasan kerja yang digunakan merupakan kepuasan kerja terhadap gaji,
komitmen organisasional yang digunakan adalah affective organizational
commitment, dan kepribadian yang digunakan adalah self-esteem. Pengujian data
menggunakan The Structural Equation Modelling (SEM), dengan sampel terdiri
dari 250 karyawan di organisasi-organisasi jasa seperti rumah sakit, sekolah,
hotel, dan lembaga-lembaga pendidikan. Hasil analisis persamaan struktural
(SEM) menunjukkan bahwa kepribadian tidak berpengaruh pada kinerja extra
role, namun berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja tugas. Pengaruh
kepuasan kerja karyawan berpengaruh negatif baik pada kinerja in role maupun
pada kinerja extra role. Namun demikian, pengaruh kepuasan kerja karyawan
berpengaruh negatif dan signifikan pada kinerja extra role dan tidak signifikan
pada kinerja in role. Hal ini menunjukkan bahwa para penyedia jasa atau layanan
tersebut tidak terlalu mempedulikan gaji atau penghargaan yang diterimanya.
Sebaliknya, kepuasan terhadap penghargaan atau gaji yang diterimanya akan
membuat karyawan tidak mau melakukan kinerja kontekstual atau perilaku
kewargaan organisasional maupun kinerja tugasnya. Sementara itu, komitmen
organisasional berpengaruh positif dan signifikan pada kinerjan extra role, bukan
pada kinerja in role. Hal ini menunjukkan karyawan mau melakukan pekerjaan di
luar deskripsi pekerjaannya disebabkan komitmennya yang begitu besar bagi
organisasi.
Muhadi (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengaruh
Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasional Dalam Mempengaruhi
Kinerja Karyawan (Studi pada Karyawan Administrasi Universitas Diponegoro)
menguji hubungan kausalitas antara kepuasan kerja, komitmen organisasional dan
kinerja karyawan. Obyek penelitian yang digunakan adalah karyawan administrasi
yang berstatus PNS di Universitas Diponegoro Semarang (UNDIP). Metode
pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan 130 kuesioner
yang didistribusikan, tetapi hanya 100 kuesioner yang dianalisis. Analisis data
penelitian yang digunakan adalah model persamaan struktural dengan program
39
aplikasi AMOS. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan kepuasan kerja dan
komitmen organisasional berpengaruh secara positif terhadap kinerja karyawan.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui pula bahwa variabel yang berpengaruh
paling besar terhadap kinerja karyawan adalah variabel komitmen organisasional,
dan yang selanjutnya baru kepuasan kerja.
Tobing (2009) juga melakukan penelitian sejenis dengan judul Pengaruh
Komitmen Organisasional dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT.
Perkebunan Nusantara III di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menguji pengaruh komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja dan kinerja
karyawan. Objek yang diteliti adalah karyawan PTPN III di Sumatra Utara yang
memiliki posisi manajer tingkat menengah sebanyak 144 responden. Analisis data
menggunakan SEM dengan menggunakan AMOS 7. Hasil penelitian
menunjukkan ketiga komponen komitmen organisasional yaitu affective
organizational commitment, continuance organizational commitment, dan
normative organizational commitment memiliki pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan. Kepuasan kerja juga memiliki hubungan
yang signifikan terhadap kinerja karyawan dan memediasi hubungan antara
komitmen organisasional dengan kinerja karyawan.
Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian-penelitian diatas adalah
penelitian ini mengambil objek penelitian karyawan back office di perusahaan
yang bergerak di industri ritel yaitu CV. Biensi Fesyenindo. Kesejahteraan
karyawan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan tiga dimensi yang
diadaptasi dari Baptiste (2008) yaitu kepuasan kerja, komitmen organisasi afektif,
serta keseimbangan antara hidup dan pekerjaan. Sementara itu variabel kinerja
karyawan menggunakan dimensi hasil adaptasi dari Huang dan You (2011) yaitu
kinerja in role dan kinerja extra role. Analisis data menggunakan analisis regresi,
sehingga diketahui ada atau tidaknya pengaruh kesejahteraan karyawan terhadap
kinerja karyawan dan seberapa besar pengaruhnya.