41
BAB II
TINJAUAN TENTANG NOTARIS, AKTA NOTARIS, MAJELIS
KEHORMATAN NOTARIS DAN PENGAWASAN TERHADAP NOTARIS
2.1 Tinjauan tentang Notaris
2.1.1 Pengertian Notaris
Menjamin kepastian, ketertiban dan perlidungan hukum dibutuhkan alat
bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Notaris merupakan jabatan
tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat,
perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian
hukum.47
Lembaga Notariat berdiri di Indonesia sejak pada tahun 1860, sehingga
lembaga Notariat bukan lembaga yang baru di kalangan masyarakat Indonesia.
Notaris berasal dari perkataan Notaries, ialah nama yang pada zaman Romawi,
diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Notarius
lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga kira-kira pada abad
kedua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang
mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.48
Lembaga Notariat di Indonesia telah berumur kurang lebih 145 tahun sejak
berdiri pada tahun 1860, sehingga lembaga Notariat bukan lembaga yang baru
47
Djuhad Mahja, 2005, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, Durat Bahagia, Jakarta, hal. 59 48
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu
Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
42
dalam kalangan masyarakat. Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang
ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat
berkuasa pada zaman Italia Utara, Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari
notariat yang dinamakan “Latijnse notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin
dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan
masyarakat umum dan menerima uang jasanya ( honorarium ) dari masyarakat
umum pula.49
Menurut sejarahnya, Notaris adalah seorang pejabat Negara/pejabat umum
yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai
pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan.
Pengertian Notaris dapat dilihat dalam suatu peraturan perundang-
undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris, yang
menyatakan bahwa:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini atau undang-undang lainnya”.
Pengertian Notaris menurut Pasal 1 PJN, menyebutkan Notaris adalah
pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya
49
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal 3-4
43
dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan
akta itu oleh suatu peraturan umumnya tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, Notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat
yang oleh undang-undang diberi wewenang, untuk membuat suatu akta otentik,
namun dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia
yang telah ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sedangkan Notaris
adalah suatu jabatan yang tidak digaji oleh Pemerintah akan tetapi pegawai
Pemerintah yang berdiri sendiri dan mendapat honorarium dari orang-orang yang
meminta jasanya.
Menurut Hoge Road (arrest tanggal 30 Januari 1911, Wp.n.r.9149; tanggal
25 Oktober 1915, N.J.1955,1205, 6 Desember 1920, N.J. 1921,121), menyatakan
bahwa pegawai negeri adalah mereka yang diangkat oleh penguasa yang berhak
untuk kepentingan atau kegunaan dari setiap orang atau mereka yang bekerja pada
badan publik, misalnya Negara, Propinsi atau Kotapraja yang mewakili badan itu
di dalam menjalankan tugasnya dan menjalankan kekuasaan yang ada pada badan
itu.50
50
Majalah Renvoi, Nomor 4.16.II, 3 September 2004, hal. 37
44
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa secara administratif,
Notaris memang memiliki hubungan dengan negara dalam hal ini, yaitu
pemerintahan misalnya yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian
Notaris.51
Untuk menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Jabatan Notaris, yakni:
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
4. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat
dari dokter dan psikiater;
5. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
6. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-
turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
7. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
8. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.52
Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak
dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik.
Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.53
2.1.2 Dasar Hukum
Dalam menjalankan profesinya, Notaris memberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
51
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PJN, jabatan Notaris dijalankan Oleh (1)
Orang yang khusus diangkat untuk itu; dan (2) Pegawai negeri, pada jabatan siapa
itu dirangkapkan menurut hukum; 52
Ibid, hal. 61. 53
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku
I, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 159.
45
tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 6 Oktober 2004 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117. Dengan
berlakunya undang-undang ini, maka Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesia/Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia (Stb. 1860 Nomor 3) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
yang diundangkan tanggal 15 Januari 2014 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491.
2.1.3 Kewenangan dan Kewajiban serta Larangan Notaris
1. Kewenangan
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan
Notaris, Kewenangan Notaris adalah sebagai berikut:
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya;
46
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.54
2. Kewajiban
Kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan
Notaris sebagai berikut:
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak,
dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap
pada Minuta Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya
dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta
sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi
buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan
jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta
tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf
i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat
daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima)
hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
54
Djuhad Mahja, Op.cit, hal. 66-67
47
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri
oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang
saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan,
dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,
dan Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan
Akta in originali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya
surat berharga;
d. Akta kuasa;
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu,
bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta
tertulis kata-kata “Berlaku Sebagai Satu Dan Satu Berlaku Untuk
Semua".
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama
penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m
tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta
tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri,
mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal
tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan
terhadap pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok
Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.
(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
48
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku
untuk pembuatan Akta wasiat.
(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
(12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11),
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada
Notaris.
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.55
Calon notarispun memiliki kewajiban yang diatur dalam Pasal 16
A Undang-Undang Jabatan Notaris sebagai berikut:
(1) Calon Notaris yang sedang melakukan magang wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf a.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon
Notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta
yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan Akta.
3. Larangan
Larangan terhadap Notaris diatur Pasal 17 Undang-Undang Jabatan
Notaris sebagai berikut :
(1) Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari
kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
55
Ibid.
49
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan
usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan
Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.56
2.1.4 Pemberhentian Notaris
1. Diberhentikan Sementara dari Jabatan
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris mengatur tentang
Notaris yang diberhentikan sementara dari jabatannya, yakni karena:
a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b. berada di bawah pengampuan ;
c. melakukan perbuatan tercela ; atau
d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan, serta
kode etik notaris, atau
e. sedang menjalani masa penahanan
Sebelum diberhentikan sementara, Notaris diberi kesempatan untuk
membela diri dihadapan Majelis Pengawas secara berjenjang (Pasal 9 ayat
(2) Undang-Undang Jabatan Notaris). Selanjutnya pemberhentian
56
Ibid.
50
dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas usul Majelis
Pengawas Pusat selama paling lama 6 (enam) bulan (Pasal 9 ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) Undang-Undang Jabatan Notaris).
2. Diberhentikan Dengan Tidak Hormat dari Jabatan
Pasal 12 Undang-Undang Jabatan Notaris mengatur Notaris
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila :
a. dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga)
tahun;
c. melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan
jabatan.
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Jabatan Notaris :
“Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 ( lima ) tahun atau lebih”.
2.2 Akta Notaris
Akta notaris adalah akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris
bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris,
yang terdiri dari:
1. Setiap akta notaris terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
51
2. Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
3. Badan akta memuat:57
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadapdan/atau orang
yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang
berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
4. Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta bila ada;
c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dantempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian.
Akta notaris sebagai alat bukti, agar mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna adalah jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan
akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak
dipenui tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan
dapat dinyatakan sebagai akta yang mempuyai kekuatan pembuktian sebagai akta
bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya
diserahkan kepada hakim.
Ditinjau dari ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris, alasan
suatu akta notaris yang dapat dibatalkan adalah karena melanggar unsur subjektif,
yaitu:
57
Habib Adjie, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika
Aditama, Bandung, hal. 6.
52
1. sepakat mereka yang mengikatkan diirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Akta notaris yang dapat dibatalkan tersebut tetap mengikat selama belum
ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Akta
menjadi tidak mengikat sejak ada putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.58
Akta notaris dikatakan batal demi hukum jika melanggar unsur objektif,
yaitu:
1. suatu hal tertentu;
2. suatu sebab yang tidak terlarang.
Akta notaris batal demi hukum sejak akta tersebut ditandatangani dan
tindakan hukum yang tersebut dalam akta dianggap tidak pernah terjadi, dan tanpa
perlu ada putusan pengadilan.59
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa
salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan
sepanjang:
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-
undang;
2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan;
58
Habib Adjie, Op.Cit., hal. 55. 59
Habib Adjie, Op.Cit., hal. 55.
53
4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan
tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris;
5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin
kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.60
Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, Irawan Soerodjo
juga mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat
formal suatu akta otentik, yaitu:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.61
Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai suatu
alat bukti mengenai perbuatan atau peristiwa di lapangan hukum. Nilai kekuatan
pembuktian akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata dan
Pasal 285 Rbg yaitu: Nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya adalah:
(1) sempurna; dan (2) mengikat. Hal ini berarti apabila alat bukti akta otentik yang
diajukannya telah memenuhi syarat formil dan materil, akibatnya bukti lawan
yang dikemukakan pihak yang menjadi lawan tidak mengurangi kekuatan
pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada dirinya. Dengan demikian
kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum di dalamnya menjadi sempurna dan
mengikat kepada para pihak mengenai apa yang disebut dalam akta; Nilai
kekuatan pembuktian akta otentik juga sempurna dan mengikat kepada hakim
sehingga hakim harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan
60
Habib Adjie, Op.cit., hal. 56. 61
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia,
Arkola, Surabaya, hal. 148.
54
cukup untuk mengambil putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan.
Akan berbeda jadinya jika seandainya notaris dalam pembuatan akta tersebut telah
melalaikan kewajibannya dan tidak melakukan pekerjaannya dengan prinsip
kehati-hatian sehingga menyebabkan akta otentik yang dibuatnya itu menjadi
kehilangan kekuatan pembuktian sempurnanya, akibat tidak terpenuhinya salah
satu syarat formil sahnya akta.
Oleh karena akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
dan mengikat, menjadikannya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan
atau dukungan alat bukti yang lain, akan tetapi apabila dapat dibuktikan prosedur
pembuatan akta otentik tersebut menyalahi ketentuan seperti yang telah
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini Undang-Undang
Jabatan Notaris yang mewajibkan notaris melakukan serangkaian tindakan
permulaan yang mengancam pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dengan
ancaman kehilangan keotentikannya dan syarat-syarat formil yang telah
ditentukan, maka kekuatan pembuktian akta otentik itu menjadi tidak sempurna
dan mengikat lagi tetapi merosot menjadi hanya sebagai bukti permulaan tulisan
saja. Dan akta otentik juga sudah tidak dapat berdiri sendiri lagi dan harus dibantu
dan didukung oleh sekurang-kurangnya salah satu alat bukti yang lain.
Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian
lahiriah, formal dan material.62
Nilai pembuktian tersebut antara lain :
1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta notaris merupakan kemampuan akta itu
sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik.
Kemampuan tersebut menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat
diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan sehingga akta yang
62
Habib Adjie, Op.cit, hal. 72.
55
dibuat di bawah tangan tersebut baru berlaku sah apabila yang
menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau
apabila hal tersebut dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap
sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Suatu akta otentik yang
diperlihatkan harus dianggap sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya, bahwa akta itu bukan akta otentik. Akta otentik membuktikan
sendiri keabsahannya apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik
artinya menandakan akta tersebut dilihat dari luar dan dari katakatanya
sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap
setiap orang dianggap sebagai akta otentik sampai pihak lawan dapat
membuktikan bahwa akta yang diajukan bukan akta otentik karena pihak
lawan dapat mebuktikan adanya:
a. Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang atau;
b. Tanda tangan pejabat di dalamnya adalah palsu;
c. Isi yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan, baik berupa
pengurangan atau penambahan kalimat.
2. Formal (Formele Bewijskracht)
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian
dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau
diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum
dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam
pembuatan akta. Ketentuan dalam Pasal 1871 KUHPerdata menyatakan
bahwa segala keterangan yang tertuang di dalam akta otentik adalah benar
diberikan dan disampaikan penanda-tangan kepada pejabat yang
membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang telah diberikan oleh
56
mereka yang menandatangani akta otentik tersebut dianggap benar sebagai
keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan.
Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya
terbatas pada keterangan atau pernyataan yang terdapat di dalamnya
adalah benar dari orang yang menandatangani, tetapi juga meliputi
kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta mengenai:
a. Tanggal yang tertera di dalamnya dan harus dianggap benar;
b. Berdasarkan kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal
pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak dan
hakim.
Berdasarkan kekuatan pembuktian yang digariskan Pasal 1871
KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa akta otentik tidak hanya
membuktikan secara formil kebenaran para pihak telah menerangkan hal-
hal yang tercantum di dalamnya atau tertulis pada akta, tetapi juga
meliputi bahwa yang diterangkan itu adalah benar. Sedangkan pada akta
yang dibuat di bawah tangan kekuatan pembuktian ini hanya meliputi
kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan apabila tanda tangan itu diakui
oleh yang menandatanganinya, atau dianggap telah diakui sedemikian rupa
menurut hukum. Dalam arti formil, maka terjamin kebenaran atau
kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat
dalam akta itu, identitas dari orangorang yang hadir (comparten),
demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta
partij, bahwa para pihak memang menerangkan seperti yang diuraikan
57
dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keteranganketerangan itu sendiri
hanya pasti antara para pihak sendiri.63
3. Materiel (Materiele Bewijskracht)
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang
tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak
yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk
umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Apabila seorang
notaris mendengar keterangan dari para pihak yang bersangkutan, maka itu
hanyalah berarti bahwa telah pasti bahwa pihak yang bersangkutan
menerangkan demikian, terlepas dari kebenaran isi keterangan tersebut
yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya ada. Notaris tidak
memiliki kewajiban untuk mencari tahu kebenaran fakta yang diuraikan
penghadap kepadanya. Kebenaran bahwa pejabat menyatakan demikian
serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun.
Oleh karena akta tersebut, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu
berlaku sebagai yang benar, isinya itu mempunyai kepastian sebagai yang
sebenarnya, menjadi terbukti dengan sah diantara pihak dan para ahli
waris serta para penerima hak mereka dengan pengertian:
a. Bahwa akta itu apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup
dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda
pembuktian lainnya disamping itu;
63
GHS. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 57
58
b. Bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan
alatalat pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut
undang-undang.64
2.3 Tinjauan tentang Majelis Kehormatan Notaris
Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebagai berikut :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
Kewenangan yang dimiliki oleh majelis kehormatan notaris adalah apa
yang menjadi kewenangan majelis pengawas daerah sehingga penulis berpendapat
bahwa kewenangan yang dimiliki oleh majelis kehormatan notaris yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terdapat sikap berlawanan
dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
nomor 49/PUU-X/2012 yang mana telah menghapuskan kewenangan majelis
pengawas daerah dalam hal memberikan persetujuan tindakan kepolisian terhadap
notaris.
64
GHS. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 60
59
Berdasarkan hal tersebut maka kewenangan yang dimiliki oleh Majelis
Kehormatan Notaris adalah merupakan kewenangan procedural, karena
kewenangan Majelis Kehormatan Notaris tersebut berasal dari peraturan
perundang-undangan. Utamanya adalah Undang-Undang Jabatan Notaris.
Sedangkan dalam hal pelaksanaan berbagai wewenangnya, Majelis Kehormatan
Notaris harus memperhatikan berbagai syarat pelaksanaan yang dinyatakan dalam
peraturan perundangan.
Dalam kaitan dengan hal ini, wewenang dapat berarti hak dan kewajiban.
Hak dimaknai sebagai kekuasaan untuk mengatur dan mengelola sendiri.
Sedangkan kewajiban diartikan secara horizontal sebagai kekuasaan untuk
menyelenggarakan aturan sebagai mana mestinya dan serta secara vertical
diartikan sebagai cara menjalankan produk aturan terserbut dalam satu tertib
ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan.
Atas dasar ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa wewenang yang
melekat pada Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan persetujuan atas
tindakan kepolisian terhadap notaris adalah kewenangan mandat, yaitu
kewenangan yang bersumber pada proses atau pelimpahan dari pejabat atau badan
yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah, dalam hal ini
pelimpahan wewenang dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada
Majelis Kehormatan Notaris untuk melaksanakan tugas memberikan persetujuan
atau tidak, dikarenakan tugas dan tanggung jawab Majelis Kehormatan Notaris
berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu yang melekat
Seperti dijelaskan dalam bab terdahulu bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan
60
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan
Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus dilaksanakan dan tidak diperkenankan
adanya upaya hukum lanjutan atas putusan tersebut.
Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari
putusan Mahkamah Konstitusi, artinya telah tertutup lagi bagi segala
kemungkinan untuk menempuh upaya hukum setelahnya (misal Kasasi atau PK
Mahkamah Agung). Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno,
maka ketika itulah lahir kekuatan mengikat secara hukum (binding). Sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, kewenangan pemberian persetujuan pemeriksaan Notaris untuk
kepentingan proses peradilan, pada mulanya berada pada Majelis Pengawas
Daerah. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012
tertanggal 28 Mei 2012, yang menghapus frasa “dengan persetujuan Majelis
Pengawas Daerah” pada Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, kewenangan tersebut dihapus. Setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kewenangan pemberian
61
persetujuan pemeriksaan Notaris untuk kepentingan proses peradilan muncul
kembali dan dibebankan kepada Majelis Kehormatan Notaris.
Tentang apa yang menjadi kewenangan lembaga baru yang bernama
Majelis Kehormatan Notaris dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan, bahwa untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang mengambil fotokopi Minuta
Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris
dalam penyimpanan Notaris; dan memanggil Notaris untuk hadir dalam
pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta.
Selain hal tersebut yang terdapat di atas dalam Pasal yang lain juga
disebutkan mengenai kewenangan ini bahwa dalam melaksanakan pembinaan,
Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris Majelis Kehormatan Notaris
berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur: Notaris sebanyak 3 (tiga) orang,
Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang, dan ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua)
orang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran
majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 66 dan 66A
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka tampak jelas bahwa tugas
dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur
organisasi, tata kerja, dan anggaran Majelis Kehormatan Notaris diatur dengan
Peraturan Menteri.
62
Peran penting dari lembaga MKN ini adalah “menggantikan” peran MPD
dalam menyetujui atau menolak pemanggilan Notaris dan pengambilan fotokopi
protokol Notaris oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. MKN ini merupakan
badan yang bersifat independen dalam mengambil keputusan yang mempunyai
tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan atau pembinaan dalam rangka
memperkuat institusi Notaris dalam menegakkan Undang-Undang Jabatan Notaris
bagi setiap orang yang menjalankan jabatan sebagai Notaris. Mengenai tugas dan
kewenangan MKN ini sebenarnya belum diatur secara tegas di dalam suatu
bentuk peraturan perundang-undangan. Apabila dilihat dari perbandingan
mengenai tugas dan kewenangan dari MKN dan MPD terdapat persamaan dalam
implementasinya sebagai sebagai suatu lembaga perlindungan hukum terhadap
jabatan Notaris. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 66 UUJN, yang pada
saat itu MPD berwenang dalam memberikan atau menolak permintaan
persetujuan dari penyidik untuk memanggil dan memeriksa Notaris dalam proses
peradilan, namun saat ini, kewenangan tersebut telah menjadi tugas MKN.65
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, MKN dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Notaris yang diduga melakukan pelanggaran (malpraktek)
terkait dengan adanya dugaan unsur pidana dalam proses pembuatan akta otentik.
Apabila ditemukan adanya bukti pelanggaran (malpraktek) yang dilakukan oleh
Notaris yang menyebabkan kerugian bagi para pihak, maka dalam ini MKN dapat
memberikan persetujuan kepada penyidik untuk diperiksa dalam proses peradilan,
akan tetapi apabila MKN tidak menemukan adanya unsur pidana dalam akta yang
65
Lumaria, 2015, “Perlindungan Hukum terhadap Notaris Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014,” Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, Vol.4, No.1, hal.5.
63
dibuat oleh atau dihadapan Notaris, maka MKN tidak dapat memberikan
persetujuan pemeriksaan kepada penyidik, penuntut umum maupun hakim.66
Dalam praktek kenotariatan tidak sedikit pihak-pihak atau klien yang
datang menghadap Notaris mempunyai niat atau maksud yang baik, karena
banyak ditemukan pihak atau klien yang datang ke Notaris mencoba
memanfaatkan kekurangcermatan atau ketidaktelitian dari Notaris, sehingga pada
akhirnya apabila terjadi masalah, maka Notaris juga harus ikut mempertanggung
jawabkan perbuatannya sebagai pihak yang dikatagorikan turut serta atau
membantu melakukan suatu tindak pidana. Apalagi terdapat beberapa bentuk
kejahatan dalam proses pembuatan akta otentik, seperti Notaris yang diduga
melakukan pemalsuan surat atau memberikan (memasukkan) keterangan palsu ke
dalam akta otentik.67
Peran MKN sangat diperlukan untuk memberikan suatu pembinaan dan
perlindungan hukum bagi Notaris agar dapat terhindar dari pemasalahan hokum
yang dapat menjatuhkan institusi Notaris sebagai lembaga kepercayaan bagi
masyarakat. Kehadiran MKN ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk
perlindungan hukum yang optimal bagi Notaris serta dapat memberikan
pembinaan secara preventif maupun kuratif dalam penegakan UUJN dalam
menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum.68
66
Ibid. 67
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia
Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta UII Press, Yogyakarta, hal.18. 68
Dyah Madya Ruth S.N., 2015, Peran Majelis Kehormatan Notaris
(MKN) dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Notaris sebagai
Jabatan Publik Ditinjau dari UU No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU
No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Studi di NTB), Indonesia Notary
Community (INC), Bogor, hal.36.
64
2.4 Pengawasan terhadap Notaris
2.4.1 Pengertian Pengawasan
Dalam setiap organisasi terutama organisasi pemerintahan fungsi
pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah suatu usaha untuk
menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh
daerah-daerah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan
secara berdaya guna dan berhasil guna.69
Selanjutnya menurut Sujamto, pada dasarnya pengertian dasar dari suatu
pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah
sesuai dengan yang semestinya atau tidak.70
2.4.2 Pengawasan terhadap Notaris
Salah satu dasar hukum yang mengatur tentang pengawasan terhadap
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya adalah Pasal 1 butir 6 Undang-
Undang Jabatan Notaris, menyatakan bahwa Majelis Pengawas adalah suatu
badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk rnelaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Berdasarkan pasal tersebut diatas,
maka yang melakukan tugas pengawasan terhadap Notaris setelah berlakunya
Undang-Undang Jabatan Notaris adalah tugas dari Majelis Pengawas.71
69
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Hukum
Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 233 70
Sujamto, 1993, Aspek Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, Hal. 53 71
Muhammad Haris, 2015, “Pengawasan Majelis Pengawas Daerah
terhadap Notaris setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol.36, No.2, hal.5-6.
65
Menurut Pasal 67 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menjadi
pengawas untuk mengawasi segala tugas dan jabatan Notaris adalah Menteri.
Sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Jabatan Notaris,
maka ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota,
Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara
Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Sedangkan dalam Pasal I butir 5
Peraturan Menteri tersebut di atas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang
bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh
Majelis Pengawas terhadap Notaris.72
Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pengangkatan Anggota. Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja
dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah
kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang
dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.73
Bandingkan dengan ayat (1) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : KMK/006/SKB/VIII/1987
Nomor : M-04-PR.08.05 Tahun 1987 tentang tata cara Pengawasan, Penindakan
dan Pembelaan Diri Notaris, menyebutkan bahwa : pengawasan adalah kegiatan
administratif yang bersifat prefentif dan represif oleh Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Kehakiman yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam
72
Ibid. 73
Ibid.
66
menjalakankn profesinya tidak mengabaikan keluhuran martabat atau tugas
jabatannya, tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tidak
melanggar sumpah jabatan dan tidak melanggar norma kode etik profesinya.
Selanjutnya berdasarkan Kep.Men Keh & HAM Nomor : M-01H.T. 03.01 Tahun
2003 Pasal 1 ayat 8, pengawasan adalah kegiatan administrative yang besifat
preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para
Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.74
Berdasarkan rumusan di atas yang menjadi tujuan pokok pengawasan
adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan
kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh
peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah
ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi
demi terjaminya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sisi
lain dari pengawasan terhadap Notaris, adalah aspek perlindungan hukum bagi
Notaris didalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku Pejabat umum.75
Pengawasan terhadap Notaris sangat diperlukan, agar dalam melaksanakan
tugas dan jabatannya Notaris wajib menjungjung tinggi martabat jabatannya. Ini
berarti Notaris harus selalu menjaga segala tindak tanduknya, segala sikapnya dan
segala perbuatannya agar tidak merendahkan martabatnya dan kewibawaanya
sebagai Notaris.76
74
L. Sumartini, 2001, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum
Nasional tentang Hukum Acara Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal.35-36. 75
Ibid. 76
Endang Purnamaningsih, 2015, “Penegakan Hukum Jabatan Notaris
dalam Pembuatan Perjanjian Berdasarkan Pancasila dalam Rangka Kepastian
Hukum,” Adil: Jurnal Hukum, Vol.3, No.2, hal.326.
67
Salah satu dasar hukum yang mengatur tentang pengawasan terhadap
Notaris dalam menjalanakan tugas dan jabatnnya adalah Pasal 1 butir 6 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berbunyi : Majelis Pengawas adalah
suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Bandingkan dengan Pasal 50
Peraturan Jabatan Notaris yang berbunyi : Jika Notaris mengabaikan martabat
kedudukannya atau jabatannya atau melakukan tindakan yang melanggar
ketentuan-ketentuan dari perundang-undangan umum atau melakukan kesalahan-
kesalahan lainnya, baik di dalam maupun diluar menjalankan jabatannya, maka
hal itu oleh Kejaksaan yang di dalam wilayahnya Notaris itu bertempat
kedudukan, diberitahukannya kepada Pengadilan Negeri”.77
Berdasarkan Pasal tersebut di atas, maka yang melakukan tugas
pengawasan terhadap Notaris selalu berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris
adalah tugas dari Majelis Pengawas sedangkan sebelumnya pengawasn dilakukan
Pengadilan yang dilakukan bersama-sama oleh Mahkamah Agung dan
Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan sedangkan aparat pelaksanaan
pengawasan tersebut adalah Pengadilan Negeri yaitu Hakim.78
Dengan demikian
yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan
maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya
sebagaimana yang digariskan dalam peraturan dasar yang bersangkutan,
senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum
77
Ibid. 78
Ibid.
68
tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan
hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.79
2.4.3 Manfaat dan Norma serta Etika Pengawasan
1. Manfaat Pengawasan
Berdasarkan beberapa pengertian tentang pengawasan yang telah
disebut di atas maka jelaslah bahwa manfaat pengawasan secara umum
adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang
obyek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.
Jika dikaitkan dengan masalah penyimpangan, manfaat pengawasan
adalah untuk mengetahui terjadi atau tidak terjadinya penyimpangan, dan
bila terjadi perlu diketahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan
tersebut.80
Selain itu, pengawasan berfungsi pula sebagai bahan baku
untuk melakukan perbaikan-perbaikan di waktu yang akan datang, setelah
pekerjaan suatu kegiatan dilakukan pengawasan oleh pengawas.
2. Norma Pengawasan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata norma dijelaskan
sebagai “ukuran (untuk menentukan sesuatu), urgeren.81
Kata “norma”
berasal dari Bahasa Belanda, norm yang oleh wojowasito diberi arti
sebagai norma aturan, ukuran nilai.82
Jadi norma pengawasan adalah
79
Muhammad Haris, Op.cit, hal.61. 80
Sujamto, 1983, Beberapa Pengertian Dibidang Pengawasan, Ghalia
Indonesia, Jakarta. hal 64 81
W.J.S Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 20 82
S. Wojowasito, 1978, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, hal 428
69
patokan, kaidah atau ukuran yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang
yang harus diikuti dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan agar
dicapai mutu pengawasan yang dikehendaki.83
3. Etika Pengawasan
Kata “etika “ atau “etik” diperoleh dari bahasa asing. Dalam bahasa
Belanda dikenal kata “ethiek atau ethica” yang artinya dijelaskan sebagai
“falsafah tenang moral, ilmu moral, etika”.84
Arti kata ethics dalam bahasa Inggris ada baiknya diambil dari The
Harper Dictionary of Modern Thought yang dikutip oleh Sujamto dalam
bukunya berjudul “Norma dan Etika Pengawasan” menyatakan : The
branch of Philosophy that investigate morality and particular, the varities
of thinking by whom human conduct is guided and may be appraised. Its
spesial concern is with the Meaning and justification of utterencas about
the rightness or wrongnes of actions, the virtue or vice of the motives
which prompt them, the praiseworthness or blame worthiness of the agents
who perform them, and the goodness or badness of the consequneces to
which they give rise. Terjemahannya: Suatu Cabang Filsafat yang
menyelidiki moralis dan khususnya, keragamaan pemikiran dengan mana
perilaku manusia dituntun dan dinilai. Perhatian utamanya adalah tentang
Makna dan pertimbangan akan pertanyaan-pertanyaan tentang benar atau
salahnya tindaka-tindakan, kemuliaan atau kenistaan motif-motif yang
mendasari tindakan-tindakan tersebut, kepatutan dan ketidakpatutan para
83
Sujamto, 1989, Norma dan Etika Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta,
hal 18 84
Ibid, hal. 19.
70
pelaku tindakan tersebut, serta kebaikan atau keburukan akibat-akibat
yang timbul dari tindakantindakan tersebut.85
Secara etimologis, kata ethics dalam bahasa Inggris berasal dari kata
latin ethicus dan kata Yunani ethikos, yang berarti moral. Jadi pada
dasarnya, etika adalah suatu cabang filsafat yang obyek penyelidikannya
adalah moral atau tingkah laku manusia.
Kedudukan etika dalam filsafat, secara singkat dijelaskan oleh
Poedjawijatna sebagai berikut :
“Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu etika mencari
kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan (benar) yang
sedalam-dalamnnya. Sebagai tugas tertentu bagi Etika, ia mencari
ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia. Ada yang menyebut
Etika itu filsafat kesusilaan, ini sama, karena Etika hendak mencari
ukuran, mana yang susila itu, artinya, tindakan manusia manakah
yang baik”.86
2.4.4 Kode Etik Notaris
Etika berasal dari kata ”ethos” sebuah kata dari Yunani, yang diartikan
identik dengan moral atau moralitas.87
Istilah ini dijadikan sebagai pedoman atau
ukuran bagi tindakan manusia dengan penilaian baik atau buruk dan benar atau
salah. Etika melibatkan analisis kritis mengenai tindakan manusia untuk
menentukan suatu nilai benar dan salah dari segi kebenaran dan keadilan. Oleh
karena itu istilah etika sering juga diartikan dengan tata krama, sopan santun,
pedoman moral, dan norma susila.
85
Sujamto, Op.Cit., hal. 18 86
Poedjawijatna, 1984, Etika Filsafat Tingkath Laku, Bina Aksara, Jakarta,
hal 6 87
H. Budi Untung, 2001, Visi Global Notaris, Penerbit Andi, Yogyakarta,
hal. 65
71
Etika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai dan norma
moral yang mengatur perilaku manusia baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok dan institusi di dalam masyarakat. Oleh karena itu etika merupakan
ilmu yang memberikan pedoman norma tentang bagaimana hidup manusia diatur
secara harmonis, agar tercapai keselarasan dan keserasian dalam kehidupan baik
antar sesama manusia maupun antar manusia dengan lingkungannya, juga
mengatur tata hubungan antara institusi di dalam masyarakat dengan institusi lain
dalam sistem masyarakat dan environment (lingkungannya).88
Jadi dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dipergunakannya etika dalam
pergaulan antar masyarakat pada hakikatnya agar tercipta suatu hubungan yang
harmonis, serasi dan saling menguntungkan.
Notaris sebagai salah satu element manusia harus memperhatikan etika
dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga Notaris dalam menjalankan
tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati
keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani
kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan
ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang
baik oleh Notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris.89
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris 2015, hasil Kongres Luar
Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Banten, 29-30 Mei 2015, pengertian Kode Etik
Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah kaidah moral yang
ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan
88
Ibid, hal. 66 89
Putri A.R., 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator
Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, Sofmedia,
Jakarta, hal.5.
72
disebut ”perkumpulan” berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau
yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan
semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan
sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris
Pengganti pada saat menjalankan jabatan.
Hardjo Gunawan berpendapat bahwa ada beberapa alasan diperlukannya
kode etik profesi, yaitu :
1. Kode etik profesi dipakai sebagai sarana kontrol sosial
2. Kode etik profesi mencegah pengawasan ataupun campur tangan dari luar
terhadap intern perilaku anggota-anggota kelompok profesi tersebut,
karena nilai-nilai etika;
3. Kode etik profesi penting untuk pengembangan patokan kehendak yang
tinggi dari para anggota kelompok profesi tersebut yakni meningkatkan
tingkat profesioanlismenya guna peningkatan mutu pelayanan yang baik
dan bermutu kepada masyarakat umum yang membutuhkan jasa pelayanan
mereka.90
Adanya Kode Etik dalam kalangan Notaris, pengawasan atas pelaksanaan
Kode Etik itu perlu dilakukan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7
Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa INI Tahun 2015, yaitu :
1. Pada tingkat Kabupaten/Kota oleh Pengurus Daerah dan Dewan
Kehormatan Daerah.
2. Pada tingkat Propinsi oleh Pengurus Wilayah dan Dewan Kehormatan
Wilayah.
90
Majalah Renvoi, Nomor 3.15.11, tanggal 3 Agustus 2004, hal 33
73
3. Pada tingkat Nasional oleh Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat.
Berdasarkan Pasal 9 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa INI Tahun
2015, dalam rangka penegakan Kode Etik dilakukan pemeriksaan dan penjatuhan
sanksi dalam hal :
1. Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah/Dewan
Kehormatan Pusat setelah menemukan fakta dugaan Pelanggaran Kode
Etik sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 di atas, selambat-Iambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) han kerja Dewan Kehormatan yang
memeriksa wajib memanggil secara tertulis anggota yang bersangkutan
untuk memastikan terjadinya Pelanggaran Kode Etik oleh anggota
perkumpulan dan membenikan kesempatan kepada yang bersangkutan
untuk membenikan penjelasan dan pembelaan. Pemanggilan tersebut
dikinimkan selambat-Iambatnya 14 (empat belas) han kerja sebelum
tanggal pemeniksaan.
2. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada tanggal yang telah
ditentukan, maka Dewan Kehonmatan yang memeniksa akan memanggil
kembali untuk yang kedua kali selambat-Iambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari kerja setelah pemanggilan pertama.
3. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada pemanggilan
Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang
lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan
kedua.
4. Apabila setelah pemanggilan ketiga (3) ternyata masih juga tidak hadir,
maka Dewan Kehormatan yang memeriksa tetap bersidang dan
74
menentukan keputusan dan/atau penjatuhan sanksi sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 Kode Etik.
5. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dibuat berita ditandatangani oleh
anggota yang bersangkutan dan Dewan Dalam hal anggota yang
bersangkutan tidak bersedia pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan
cukup ditandatangani oleh Dewan Kehormatan yang memeriksa.
6. Dewan Kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya dalam waktu 30
(tiga puluh) hari kerja setelah tanggal sidang terakhir, diwajibkan untuk
mengambil keputusan atas hasil pemeriksaan tersebut sekaligus
menentukan sanksi terhadap pelanggarnya apabila yang terbukti ada
pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Kode Etik
dituangkan dalam Surat Keputusan.
7. Apabila anggota yang bersangkutan tidak terbukti melakukan Pelanggaran,
maka anggota tersebut dipulihkan namanya dengan Surat Keputusan
Dewan Kehormatan yang memeriksa.
8. Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib mengirimkan Surat Keputusan
tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan
tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus
Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan
Kehormatan Daerah.
9. Dalam hal keputusan Sanksi diputuskan oleh dan dalam Kongres, waib
diberitahukan oleh Kongres kepada anggota yang diperiksa dengan surat
tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan
75
Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah
dan Dewan Kehormatan Daerah.
10. Pemeriksaan dan pengambilan keputusan sdang, Dewan Kehormatan yang
memeriksa harus:
a. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat anggota yang
bersangkutan;
b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan; dan
c. Merahasiakan segala hal yang ditemukannya.
11. Sidang pemeriksaan dilakukan secara tertutup, sedangkan pembacaan
keputusan dilakukan secara terbuka.
12. Sidang Dewan Kehormatan yang memeriksa sah jika dihadiri oleh lebih
dari ½ (satu per dua) jumlah anggota. Apabila pada pembukaan sidang
jumlah korum tidak tercapai, maka sidang diundur selama 30 (tiga puluh)
menit. Apabila setelah pengunduran waktu tersebut korum belum juga
tercapai, maka sidang dianggap sah dan dapat mengambil keputusan yang
sah.
13. Setiap anggota Dewan Kehormatan yang memeriksa mempunyai hak
untuk mengeluarkan satu suara.
14. Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan
Kehormatan Daerah, maka tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan
Daerah dilimpahkan kepada Dewan Kehormatan Wilayah.
Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau
melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan. Dewan kehormatan Daerah
kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan
76
atau tempat tinggal anggota yang melanggar Kode Etik tersebut. Hal tersebut
berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan
atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya.
Terhadap hal tersebut di atas, berdasarkan Pasal 6 Kode Etik dalam
Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2015 maka sanksi yang dapat dikenakan terhadap
anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa :
1. Teguran;
2. Peringatan;
3. Pemberhentian sementara dan keanggotaan Perkumpulan;
4. Pemberhentian dengan hormat clan keanggotaan Perkumpulan; dan
5. Pemberhentian dengan tidak hormat dan keanggotaan Perkumpulan.
Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota
yang melakukan pelanggaran Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan
kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.