18
BAB II
TINJAUAN UMUM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA
DI PERAIRAN SOMALIA
2.1 Kasus Pembajakan Kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia
Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa tugas pokok
berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
pembajakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan dan penjarahan
terhadap kapal komersial. Kapal pembajak juga menghalangi bantuan kemanusiaan
yang masung untuk mengatasi krisis pangan di Somalia. Oleh sebab itu, tindakan
tersebut merupakan tindakan yang mengancam keamanan internasional dan
kepentingan kemanusiaan secara luas. Salah satu Hukum Internasional yang mengatur
mengenai penanganan terhadap pembajak Somalia adalah Konvensi Hukum Laut
PBB 1982.
Aturan tersebut berisi kerangka hukum resmi yang menetapkan bahwa negara
memiliki kewenangan yuridiksi terhadap penindakan pelanggaran hukum di perairan
laut. Pada Pasal 58 ayat 2 mengatur bahwa ketetapan hukum terhadap pembajak dapat
diberlakukan di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan berdasarkan Pasal 100
negara lain harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut
lepas di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara.1 Seperti yang telah
diketahui Pada bulan April 2009 masyarakat internasional dikejutkan dengan
pembajakan yang terjadi terhadap kapal Maersk Alabama di perairan Amerika serikat
tepatnya di perairan Teluk Aden, Somalia. Selama 2009, tercatat pembajak telah
mengantongi uang tebusan US$ 58 juta (Rp 522 miliar) dari 410 pembajakan. Angka
itu meningkat pada 2010 menjadi US$ 238 juta (Rp 2,1 triliun) dari 445
1 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982)
19
pembajakan. Hampir seluruh kejadian pembajakan berlangsung di sekitar Teluk
Aden dan di lepas pantai Somalia. Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa tidak
adanya tindakan yang dapat dilakukan dari pihak Negara Somalia dalam upaya
memberantas pembajakan yang terjadi, terlihat dari Presiden Somalia sendiri meminta
bantuan pada PBB dengan memberikan izin kepada negara mana pun untuk
menumpas bajak laut di wilayahnya.2
Dalam pembajakan kapal Maersk Alabama tersebut telah terjadi penyanderaan
awak kapal beserta kapten kapal yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. Kapal
Maersk Alabama berlayar pada perairan Somalia pada tanggal 8 April 2009. Pada
tanggal 8 April 2009 kapal tersebut didatangi beberapa kapal kecil (speed boat)
berpenumpang pembajak. Para pembajak menandai kedatangan mereka dengan suara
tembakan, disaat para awak kapal Alabama sedang beristirahat. Para pembajak
menaiki kapal Alabama melalui haluan kapal dengan tali dan jangkar pengait,
kemudian mereka menembakan senapannya ke udara. Berdasarkan Pasal 101
Konvensi hukum laut PBB 1982, Pembajakan di laut terdiri dari salah satu di antara
tindakan berikut :3
(a) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan
memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau
penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan :
(i) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang
atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian;
2 Judarwanto. Perompak Somalia, Kriminal Internasional Masalah Dunia. http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/04/15/perompak-somalia-kriminal-internasional-menjadi-masalah-dunia/ , diakses tanggal 6 mei 2015 3 UNCLOS “United Nations Convention on the Law of the Sea” online. Diakses dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf pada tanggal 5 juli 2015
20
(ii) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di
luar yurisdiksi negara manapun;
(b) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau
pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau
pesawat udara pembajak.
(c) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang
disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b).
Aktivitas pembajak Somalia telah menjadi ancaman serius bagi dunia pelayaran
Internasional . Kegiatan pembajakan yang telah berlangsung selama ini telah menjadi
suatu ancaman yang menakutkan bagi kapal-kapal dari berbagai negara di belahan
dunia yang melintasi Somalia, sehingga melambungkan nama pembajak Somalia di
mata internasional.
Pembajak Somalia atau bajak laut Somalia merupakan sebutan bagi para bajak
laut yang beroperasi di wilayah perairan Somalia yang meliputi kawasan Samudera
Hindia hingga lepas pantai timur Somalia, Laut Arab dan teluk Aden yang merupakan
jalur utama pelayaran dunia.4 Kejadian pembajakan yang sering terjadi di perariran
Somalia tersebut harus ditangani dengan baik dan juga harus ditegakkannya hukum
serta sanksi yang tegas baik oleh negara pantai sendiri (Somalia) maupun negara lain
yang dalam hal ini Amerika Serikat agar nantinya tidak terjadi lagi pembajakan yang
serupa.
4 Apriadi Tamburaka. 2011. ‘47 Hari dalam Sandera Perompak Somalia, Drama Upaya Pebebasan Kapal dan ABK MV.Sinar Kudus’. Jakarta:PT Bhuana Populer (Kompas Gramedia Group). h. 17
21
2.2 Definisi Pembajakan
Pembajakan (piracy) pada awalnya memiliki pengertian yang cukup sempit, yaitu
setiap tindakan kekerasan yang dilarang yang dilakukan sebuah kapal pribadi
terhadap kapal lain di laut lepas dengan tujuan untuk merampok (animo furandi).
Namun Dalam Pasal 15 Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 101 Konvensi
Hukum Laut 1982 menjelaskan tentang definisi pembajakan yang berbunyi:
Piracy consists of any of the following acts: (a) any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed
for private ends by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, and directed:
(i) on the high seas, gaianst another ship or aircraft, or against persons or propert on board such ship or aircraft;
(ii) against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any State;
(b) any act of voluntary participation in the operation of a ship or of an aircraft with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft;
(c) any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in subparagraph (a) or (b).
Seperti yang telah dikatakan Oppenheim Lauterpacht, arti mula-mula dan
sesungguhnya dari pembajakan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu
kapal partikelir (bukan kepunyaan suatu negara) di laut lepas terhadap suatu kapal
lain dengan maksud untuk merampok, yaitu mencuri barang-barang dengan kekerasan
(animus furandi)5 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana
pembajakan di laut lepas adalah sebagai berikut :
1. Adanya tindakan kekerasan, penahanan tidak sah, tindakan memusnahkan, dan
setiap tindakan menyuruhlakukan, turut serta atau membantu tindakan -tindakan
tersebut.
2. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh awak kapal atau penumpang dari suatu
kapal atau pesawat udara swasta.
5 Wirjono Prodjodikoro, 1960, Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, h. 27
22
3. Tindakan-tindakan tersebut ditujukan terhadap kapal atau pesawat udara lain atau
terhadap orangnya atau barangnya.
4. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan di laut lepas, atau di suatu tempat di luar
yurisdiksi negara manapun
Pembajakan di laut merupakan tindak pidana internasional dan dianggap
sebagai musuh setiap negara, serta dapat diadili dimanapun pembajak tersebut
ditangkap tanpa memandang kebangsaannya. Pembajakan di laut memang bersifat
“crimes of universal interest”, sehingga setiap negara dapat menahan perbuatan
yang dinyatakan sebagai pembajakan yang terjadi di luar wilayahnya atau wilayah
negara lain yaitu di laut lepas, dan berhak melaksanakan penegakan yurisdiksi dan
ketentuan-ketentuan hukumnya.
Dalam hal ini setiap negara boleh menangkap pembajak di laut lepas, dan
menyeret kepelabuhannya untuk diadili oleh pengadilan negara tersebut, dengan
alasan pembajakan di laut lepas tersebut adalah “hostes humani generis” (musuh
semua umat manusia). Tetapi hak ini hanya berlaku terhadap orang-orang yang
dianggap melakukan pembajakan dilaut berdasarkan kreteria yang ditentukan oleh
hukum internasional. Hal itu disebabkan mungkin terdapat perbuatan yang dianggap
pembajakan oleh undang-undang suatu negara tertentu, tetapi menurut hukum
internasional bukan pembajakan. Misalnya, bahwa dalam hukum pidana Inggris,
bekerja dalam perdagangan budak dianggap sama dengan pembajakan.6
6 Mochammad Radjab, l963, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), Penerbit Bhratara, Jakarta, h.. 226
23
2.3 Teori Kedaulatan dan Teori Yurisdiksi Negara
Kedaulatan negara sebagaimana yang teah kita ketahui merupakan kekuasaan
tertinggi dari suatu negara. Hal ini berarti diatas kedaulatan negara tidak ada
kekuasaan yang lebih tinggi lagi. Kedaulatan yang dimiliki suatu negara menunjukan
bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain.
Kedaulatan itu pada dasarnya mengandung dua aspek. Pertama, aspek internal
yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi
di dlam batas wilayahnya. Kedua, aspek eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk
mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional maupun mengatur
segala sesuatu yang berada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang
masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.7 Berdasarkan kedaulatan tersebut
maka dapat diturunkan hak, kekuasaan maupun kewenangan negara untuk mengatur
masalah intern maupun eksternnya, dengan kata lain, dari kedaulatan tersebut
diturunkan atau lahirlah yurisdiksi suatu negara.
Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Asas Kedaulatan Negara (State
Souvereignty) yang merupakan ciri hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi negara
merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan ataupun hak-hak tertentu
yang dapat dimiliki negara. Negara memiliki yurisdiksi dalam batas-batas
teritorialnya karena negara memiliki kedaulatan yang menunjukkan adanya kekuasaan
tertinggi dalam bidang apapun di dalam batas-batas teritorial dari negara yang
bersangkutan.8
7 Parthiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, cetakan II, Mandar Maju, Bandung, h. 347 8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional,Buku I Bina Cipta, Bandung, h.19
24
Yurisdiksi negara (kewenangan negara) Yaitu suatu hak atau kewenangan atau
kekuasaan atau kompetensi hukum negara di bawah hukum internasional untuk
mengatur individu-individu, peristiwa-peristiwa hukum di bidang pidana maupun
perdata atau benda/kekayaan dengan menggunakan hukum nasionalnya. Dalam
hukum internasional, yurisdiksi negara lahir dari prinsip kedaulatan negara,
persamaan derajat negara, prinsip non intervensi.
Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum
negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi menyebabkan suatu
negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam
suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut. Berdasarkan hukum perjanjian
internsional dan menurut kebiasaan internasional, pembajakan (piracy) merupakan
kejahatan murni atau merupakan bentuk tindak pidana transnasional (transnational
crime) atau yang lebih dikenal dengan tindak pidana yang terorganisasi (transnational
organized crime), 9 sehingga setiap negara memiliki yuridiksi untuk menangkap
pembajak dilaut. Pasal 19 Konvensi Jenewa juga senada dengan Pasal 105 Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 yang menyatakan di laut lepas, atau disetiap tempat lain di
luar yurisdiksi negara manapun setiap negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat
udara pembajak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh
pembajak dan berada di bawah pengendalian pembajak dan menangkap orang-orang
yang menyita barang yang ada di kapal.
Pengadilan negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat
menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan
yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang,
9Imam Santoso, 2014, Hukum Pidana Internasional, cetakan I, Pustaka Reka Cipta,Bandung, h.111
25
dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.
Berdasarkan Pasal 107 Konvensi Hukum Laut PBB 1982
A seizure on account of piracy may be carried out only by warships or military
aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and identifiable as being on
government service and authorized to that effect.
Berarti bahwa kapal negara bendera yang boleh menangkap para pembajak adalah
kapal perang atau kapal lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai
dalam dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal demikian
dari negara yang bersangkutan. Kemudian pengaturan yuridiksi negara terhadap bajak
laut yang terdapat dalam SUA Convention 1988 , diatur dalam Pasal 6 yang berisi :
1) Setiap negara pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk
menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3
ketika kejahatan dilakukan:
a) melawan untuk mengibarkan bendera negara pada waktu kejahatan
dilakukan di atas kapal;
b) dalam wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut teritorial;
c) dilakukan oleh seorang warga negara dari negara tersebut.
2) Setiap negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu
pelanggaran jika:
a) tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang berkewarganegaraan dari
negara yang bersangkutan;
b) selama pelaku dari negara tersebut, mengancam untuk membunuh atau
melukai orang lain;
c) tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang
bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
26
3) Setiap negara pihak yang telah metetapkan yurisdiksi sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat (2) harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal
Organisasi Maritim Internasional;
4) Setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang dianggap penting
untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana sebagaimana yang
ditetapkan dalam Pasal 3 terhadap kasus-kasus di mana tersangka/pelaku
berada dalam wilayahnya dan tidak mengekstradisi pelaku tersebut ke salah
satu negara pihak lainnya;
5) Konvensi ini tidak mengenyampingkan setiap yurisdiksi kejahatan yang
dilakukan sesuai dengan hukum nasional negara pihak.
Pasal 8 konvensi mengatur tentang:
1) pemilik kapal suatu negara bendera dapat menyerahkan setiap orang yang
dicurigai telah melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3
kepada pihak yang berwenang dari negara pihak lainnya (negara penerima);
2) negara bendera harus memberitahukan kepada pihak yang berwenang dari negara
penerima atas niatnya untuk menyerahkan pelaku tersebut dengan disertai alasan-
alasannya;
3) negara penerima harus menerima penyerahan tersebut, kecuali memiliki alasan
untuk mempertimbangkan bahwa konvensi tidak berlaku untuk itu. Penolakan
tersebut harus disertai dengan pernyataan dan alasan untuk penolakan;
4) negara bendera harus menjamin bahwa pemilik kapal wajib memberikan bukti-
bukti kepada pihak berwenang dari negara penerima atas pelanggaran yang
dituduhkan.
Pembajakan bersenjata atau pembajakan di laut merupakan kejahatan yang tertua
di dunia. Bahkan, tindakan pembajakan di laut atau dikenal dengan istilah piracy
27
merupakan satu-satunya tindak kriminal murni yang ditetapkan sebagai kejahatan
internasional. 10 Dalam memerangi pembajakan (piracy) setiap negara memiliki
kedaulatan akan teritorial atau wilayahnya. Kedaulatan teritorial atau kedaulatan
wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi
ekslusif di wilayahnya. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli
atau summa potestas atau superme Power yang hanya dimiliki negara.
Berdasarkan pendapat D.P O’Connell , kedaulatan dan wilayah berkaitan erat
karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah. S.T. Bernardez, berpendapat
wilayah adalah prasyarat fisik untuk adanya kedaulatan teritorial. Arbiter Huber,
berpendapat bahwa keaulatan memiliki 2 ciri, yaitu :
1) Kedaulatan merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu negara.
2) Kedaulatan menunjukkan negara tersebut merdeka dan merupakan fungsi negara,
PBB mengadakan Konferensi Hukum Laut di Jenewa 1958. Diikuti 86 negara
menghasilkan 4 konvensi, 1 protocol fakultatif, serta 9 resolusi.
4 konvensi tersebut yaitu :
1. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan
2. Konvensi tentang Laut Lepas
3. Konvensi tentang Landas Kontinen
4. Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber Kekayaan Hayati Laut
Lepas.
Rumusan kompromi yang ditawarkan konferensi waktu itu adalah 6 mil zona
perikanan. Dalam membahas kedaulatan negara atas wilayah laut ini akan mencakup :
10 Romli Atmasasmita, op.cit , h. 36.
28
1. Perairan Pedalaman
Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat garis pangkal.
Yang dimana dalam perairan pedalaman ini negara memiliki kedaulatan penuh
atasnya.
2. Laut Teritorial
Laut teritorial adalah laut yang terletak di luar sisi luar garis pangkal yang
tidak melebihi lebar 12 mil laut dari garis pangkal.
3. Jalur Tambahan
Jalur tambahan adalah suatu zona tambahan dan berda di luar laut teritorial
dimana suatu negara mempunyai kekuasaan terbatas untuk mencegah pelanggaran
terhadap peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.
4. Landas Kontinen
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah
permukaan laut yang terletak diluar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah
wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga jarak 200 mil
laut dari garis pangkal darimana lebar laut tepi kontinen tidak mencapai jarak
tersebut.
5. Zona Ekonomi Ekslusif ( ZEE )
ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil dari garis pangkal.
Yurisdiksii ZEE meliputi :
- Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan.
- Riset ilmiah kelautan.
- Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
29
6. Laut Lepas
Pada dasarnya, laut lepas tidak berlaku kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi
negara. Laut lepas merupakan ras communis, yaitu laut yang terbuka dan bebas bagi
semua negara. Pembajakan menurut PBB adalah sebuah tindakan pelanggaran
internasional (international infraction) dan tidak bisa ditoleransi lagi karena telah
merusak keseimbangan disuatu negara dan berdampak kenegara lain. Suatu perbuatan
yang dikatakan sebagai pelanggaran internasional adalah kelalaian negara untuk
mencegah atau membuat keadaan sehingga menyebabkan terjadinya tindak pidana
internasional ataupun kelalaian negara untuk melakukan pengusutan, penghukuman,
atau mengekstradisikan pelaku kejahatan (au punier aut judicre).11
Permasalahan utamanya adalah Somalia sebagai negara yang berdaulat dan
mempunyai yurisdiksi dinegaranya tersebut yang tidak bisa dicampuri oleh negara
lain. Menurut J. G. Starke, konsep “kedaulatan teritorial” yang menandakan bahwa
didalam wilayah kekuasaan ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-
orang dan harta benda yang menyampingkan negara lain. Kedaulatan teritorial adalah
kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksekutif
diwilayahnya. Dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan
hukum nasionalnya.
Apabila kedaulatan suatu negara dicampuri oleh negara lain, maka negara yang
bersangkutan dibolehkan untuk memberikan sikap tegas kepada negara yang
mencampuri urusan kedaulatannya, tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi kapal
perang dan kapal pemerintah asing yang menikmati kekebalan. Sebenarnya dalam
hukum internasional terdapat beberapa prinsip yang sering dianut oleh suatu negara.
11 Oentong Wahjoe, 2010, Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Bandung, h.25
30
2.3.1 Prinsip Yurisdiksi Negara
Menurut Jawahie Tantowi dan Pranoto Iskandar prinsip-prinsip tersebut
adalah:
1. Prinsip Teritorial (Territorial Principle)
Yurisdiksi teritorial sebagaimana dikemukakan pengertiannya oleh J. G. Starke
(1984:194) adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara terhadap orang, benda,
peristiwa atau masalah yang terdapat dan atau terjadi di dalam batas-batas
teritorialnya. Siapapun orangnya baik warganegara maupun orang asing yang berada
di dalam wilayah suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi atau kekuasaan hukum
dari negara yang bersangkutan. Setiap benda apapun bentuknya baik bergerak
maupun tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah suatu negara harus tunduk
pada kekuasaan hukum negara tersebut. Demikian pula peristiwa atau masalah apapun
yang berlangsung atau terjadi di dalam batas-batas teritorial suatu negara dapat
diselesaikan berdasarkan peraturan-peraturan hukum dari negara yang bersangkutan.
Menurut prinsip ini setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-
kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-
prinsip lain, prinsip teritorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting
dalam pembahasan yurisdiksi dalam hukum internasional. Menurut Hakim Loed
Macmillan, suatu negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan
perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas- batas teritorialnya sebagai pertanda
Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan
memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah negara yang ketertiban sosialnya
paling terganggu;
b. Biasanya pelaku ditemukan negara dimana kejahatan dilakukan;
31
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses
persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
d. Seorang warga negara asing yang datang ke wilayah suatu negara dianggap
menyerahkan diri pada sistem hukum nasional negara tersebut, sehingga ketika
ia melakukan pelanggaran hukum nasional di negara yang ia datangi maka ia
harus tunduk pada Hukum setempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah
(lawful) menurut sistem hukum nasional negaranya sendiri
2. Prinsip Nasionalitas (Nationality Principle)
Dimana yurisdiksi ditentukan dari kewarganegaraan dari seseorang yang
melakukan pelanggaran atau tindakan. Prinsip nasionalitas memperkenankan suatu
ne-gara untuk mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap seseorang yang
bersalah dalam pengertian melaku-kan pelanggaran terhadap peraturan hukum
nasionalnya. Klaim dan pernyataan yurisdiksi seperti ini, dapat dilakukan oleh negara
tersebut apabila pelakunya adalah warganegaranya sendiri. Seorang warganegara di
manapun dia berada, serta ke manapun dia pergi, akan selalu diikuti dengan hukum
nasional dari negerinya sendiri. Berdasarkan praktek hukum internasional dewasa ini,
yurisdiksi nasionalitas terdiri atas:
a) Prinsip Nasionalitas Aktif. Menurut prisip ini negara dapat melaksanakan
yurisdiksi terhadap warganegaranya. Prinsip ini pada umumnya diberikan oleh
hukum internasional kepada semua negara yang hendak memberlakukannya.
Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah bahwa negara tidak wajib
menyerahkan warganegaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana di luar
negeri.
b) Prinsip Nasionalitas Pasif. Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan
yurisdiksi apabila seorang warganegaranya menderita kerugian. Hukum
32
internasional mengakui prinsip ini tetapi dengan beberapa pembatasan. Dasar
pembenaran prinsip ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi
warganegaranya di luar negeri, dan apabila negara teritorial dimana tindak pidana
itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka
negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu
berada di wilayahnya. Jadi pada intinya Prinsip personalitas pasif menegaskan
yurisdiksi negara untuk diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukan diluar
teriitorial negara oleh seorang yang bukan warga negara, dimana korban
perbuatan tersebut adalah warga negara dari negara tersebut. Biasanya hal ini
diteterapkan terhadap teroris dan pelaku serangan terorganisai yang lain terhadap
warga negara dengan alasan kewarganegaraannya, tidak jarang digunakan untuk
mengadili individu yang melakukan kejahatan yang diatur hukum nasional yang
dilakukan di luar negeri.12
3. Prinsip Perlindungan (Protective Principle )
Prinsip yurisdiksi atas dasar perlindungan (protective jurisdiction principle)
adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya terhadap
peristiwa pidana yang terjadi di luar wilayah negaranya dan dilakukan oleh atau
korbannya bukan warga negaranya, tetapi peristiwa pidana (internasional) tersebut
membahayakan kepentingan keamanan, politik dan ekonomi negaranya. Alasan-
alasan yurisdiksi berdasarkan prinsip perlindungan ini adalah :13
1) Akibat tindak pidana itu sangat besar bagi negara terhadap mana tindak pidana
itu tertuju;
2) Apabila yurisdiksi tidak dilaksanakan terhadap tindak pidana demikian, maka
pelaku tindak pidana tersebut dapat lolos dari penghukuman karena di negara 12 I Wayan Parthiana, 2014, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laur Indonesia, Yrama Widya, Bandung, h. 18 13 J.G.Starke, 2010, Pegantar Hukum Internasional, edisi 10, Sinar Grafika, Jakarta , h. 304
33
dimana tindak pidana itu dilakukan (lex loci delicti) perbuatan itu tidak
melanggar hukum lokal atau karena ekstradisi akan ditolak dengan alasan
tindak pidana itu bersifat politis.
4. Prinsip Universalitas (Universality Principle)
Dimana yurisdiksi ditentukan berdasarkan beberapa kriteria pelanggaran atau
tindakan yang mengancam kepentingan bersama dari umat manusia. Maksud dari
prinsip ini tidak semata-mata berkaitan dengan atau waktu maupun pelaku dari suatu
peristiwa hukum melainkan berdasarkan corak dan sifat-sifatnya sendiri. Misalnya,
peristiwa itu menyangkut kepentingan semua negara atau semua umat manusia, tanpa
memandang tempat terjadinya peristiwa itu, tanpa memandang kewarganegaraan dari
si pelaku maupun korbannya.14 Karena itu terhadap peristiwa hukum demikian maka
menjadi kewajiban dan tanggung jawab semua negara untuk mencegah dan
memberantasnya. Agar prinsip yurisdiksi ini menjadi benar-benar efektif, maka setiap
negara sepatutnya mengatur dalam hukum nasionalnya.
Kejahatan atau dalam istilah yuridis disebut tindak pidana yang kadangkala tidak
saja menyangkut kepentingan satu negara, tetapi juga menyangkut kepentingan lebih
dari satu negara. Peristiwa itu juga dapat terjadi pada dua negara baik secara serentak
atau secara beruntun. Misalnya, peristiwanya terjadi didalam suatu negara tetapi
menimbulkan akibat di negara lain; pelaku tersebut melarikan diri ke negara lain; dan
lain sebagainya. negara yang dirugikan oleh pembajak Somalia berhak menangkap
dan mencampuri kedaulatan disuatu negara (Prinsip Universal). J.G.Starke
menyatakan bahwa:
14 I Wayan Parthiana II, Op. cit, h375
34
“Perompakan merupakan suatu tindak pidana yang berada di yurisdiksi semua negara dimanapun tindakan itu dilakukan, tindakan pidana itu merupakan bertentangan dengan kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebgai delik Jure Gentium dan setiap negara berhak menangkap dan menghukum semua pelakunya”.
Teori yurisdiksi dan Teori kedaulatan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Konsep kedaulatan dapat diartikan kekuasaan memiliki hak atas teritorial dan hak
yang lahir dari penggunaan kekuasaan tadi, dan unsur utama dari konsep kedaulatan
adalah memiliki kekuasaan penuh untuk melaksanakan hak teritorial dari suatu negara
dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan.15
5. Prinsip Ekstra-teritorial
Prinsip ekstra-teritorial adalah penerapan yurisdiksi suatu negara di wilayah
yang bukan merupakan wilayah negara. Kepentingan suatu negara tidak dalam batas
wilayahnya saja tetapi juga meluas sampai pada daerah yang jauh di luar nya seperti
laut lepas, ruang udara internasional (ruang udara bebas), atau pada wilayah lain
yang status yuridisnya sama seperti laut lepas maupun ruang udara internasional,
seperti Antartika (kutub selatan) dan Artika (kutub utara).
Kepentingan yang dimaksud tersebut misalnya berupa peristiwa hukum yang
melibatkan warga negaranya ataupun kepentingan dari negara itu sendiri contohnya
kapal laut suatu negara yang sedang berlayar di laut yang bukan wilayahnya ternyata
dibajak oleh para pembajak. Terhadap peristiwa ini tentu saja negara yang
bersangkutan sangat berkepentingan untuk mengatur dan menyelesaikannya
berdasarkan hukum nasionalnya sendiri. Dalam hal tersebut tentulah tampak bahwa
negara bendera sangat berkepentingan untuk mengatur peristiwa semacam itu.
15 Romli Atamasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, op cit, h. 88
35
2.4 Teori Yurisdiksi Universal
Penerapan yurisdiksi universal terhadap pelaku kejahatan internasional
merupakan masalah yang unik dan tidak mudah untuk dilaksanakan dalam hukum
internasional. Berbeda dengan model yurisdiksi lainnya. Pada model yurisdiksi
lainnya suatu negara akan dengan mudah menentukan apakah negara tersebut
mempunyai yurisdiksi atas suatu kejahatan atau tidak dengan melihat kepada
hubungan yang muncul dari suatu peristiwa dengan negara tersebut, seperti apakah
korban atau pelakunya mempunyai hubungan dengan negara, atau locus delicti.
Sementara yurisdiksi universal tidak mensyaratkan adanya hubungan demikian
dengan negara dimaksud.
Para sarjana hukum internasional sendiri juga menyatakan keunikan dan
keterbatasan pemberlakuan yurisdiksi universal dalam hukum internasional,
diantaranya menulis bahwa yurisdiksi universal
“… refers to jurisdiction established over a crime without reference to the place of perpetration, the nationality of the suspect or the victim or any other recognized linking point between the crime and the prosecuting State. It is a principle of jurisdiction limited to specific crimes.”
Pelaksanaan yurisdiksi universal menurut Bassiouni melewati batas kedaulatan
negara. Rasionalitas dibalik pelaksanaan yurisdiksi universal adalah tidak ada negara
yang bisa melaksanakan yurisdiksinya (atas pelaku) berdasarkan doktrin tradisional
(yurisdiksi teritorial); tidak ada negara yang mempunyai kepentingan langsung dan
yang ada hanyalah kepentingan masyarakat internasional untuk memaksakan
berlakunya.
Jadi melaksanakan yurisdiksi universal pada dasarnya tidak hanya meklaksanakan
yurisdiksi nasional negara tersebut akan tetapi sebagai wakil dari masyarakat
internasional, dengan kata lain suatu negara melaksanakan yurisdiksi universal sama
dengan melakukan tanggung jawab actio popularis terhadap orang-orang yang
36
merupakan musuh umat manusia (hostis humani generis).16 Pendapat yang senada
dengan itu juga dikemukakan oleh amnesty internasional tentang alasan penggunaan
prinsip yurisdiksi universal, yaitu:
1. Kegagalan Negara teritorial untuk melakukan tindakan. Hal ini bisa diisebabkan
oleh ketidakmampuan pengadilan setempat atau karena tidak tersedianya aturan-
aturan yang dapat dijadikan dasar hukum. Ketidakmampuan pengadilan bisa
karena ketidakmampuannya sendiri atau adanya intervensi pemerintah yang justru
tidak menginginkan pelaku dihukum.
2. Tidak adanya pengadilan pidana internasional dan pembatasan atas yurisdiksi
pengadilan tersebut. Pada saat ini, hambatan ini sudah diterobos dengan
pembentukan lnternational Criminal Court (ICC) tahun 1998. Akan tetapi masih
terdapat kendala dalam pelaksanaannya karena keterbatasan kewenangan ICC
dalam menghadapi berbagai tindakan kriminal internasional. Berdasarkan Pasal 4
ayat (2) Rome Statute 1998, ICC hanya daapat melaksanakan kewenangannya di
wilayah negara Para Pihak/State Parties atau di negara non-State parties
sepanjang ada perjanjian khusus. Kenyataannya tidak semua negara yang ada di
dunia ini sudah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut di atas.
3. Terjadinya perubahan system peradilan di beberapa negara locus delicti. Dengan
dilaksanakannya prinsip yurisdiksi universal bisa merubah sistem peradilan di
negara tempat kejadian. Bahkan dengan terbukanya investigasi untuk kejahatan
internasional membuka kejahatan-kejahatan lainnya yang tadinya tidak terlihat
ataupun semakin banyak pelaku yang terungkap dengan adanya investigasi
tersebut.
16 M.C. Bassiouni, 2001, Universal Jurisdiction For International Crimes: Historical Perspectives And Contemporary Practice, Virginia Journal of International Law, h. 96 URL : https://books.google.co.id/books?id=9MD9CKtulRcC&pg=PA48&lpg=PA48&dq
37
Penggunaan prinsip ini dapat dijadikan sebagai alat untuk mencegah para pelaku
(tersangka) kejahatan internasional untuk bepergian ke luar negeri karena
kemungkinan besar takut untuk ditangkap oleh negara lain. Kejahatan internasional
piracy tunduk pada yurisdiksi universal, tidak hanya berdasarkan kepada hukum
kebiasaan internasional, tapi juga sudah diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB
1982.
Dalam hukum internasional ada kejahatan yang merusak masyarakat internasional
harus dilarang oleh semua umat manusia, kejahatan demikian sering merusak norma-
norma jus cogens yaitu norma yang mempunyai kekuatan mengikat secara universal,
seperti norma tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan genocide. Dalam Pasal 53
disebutkan bahwa jus cogens dipandang sebagai peremptory norm yang kemudian
menimbulkan kewajiban bagi semua bangsa (obligation erga omnes)17, yang dalam
hal ini kewajiban untuk memberi sanksi kepada kejahatan tersebut di atas. Menurut
pendapat JH Marks adanya keterkaitan kepentingan negara secara keseluruhan dalam
penerapan yurisdiksi universal karena itu merupakan common interest rationale,
dalam hal ini suatu kejahatan internasional dalam suatu negara yang mempunyai
potensi untuk mendatangkan ancaman bagi negara lain mempunyai kepentingan untuk
mengadili pelakunya. Adapun kejahatan internasional dimaksud dalam konteks
common interest rationale ini misalnya seperti drug offences, piracy, hijacking,
hostage-taking, dan kejahatan terorisme lainnya.
Alasan common interest rationale tidak begitu mencukupi apabila yurisdiksi
universal diterapkan terhadap kejahatan internasional lainnya, seperti war crimes,
genocide, dan crimes against humanity, karena pelaku kejahatan internasional seperti
ini biasanya hanya melakukan satu kali pada satu peristiwa politik tertentu, sejarah,
17 Konvensi Wina 1969
38
dan pada suatu daerah tertentu, sedangkan kejahatan yang atasnya diberlakukan
yurisdiksi universal berdasarkan common interest rationale, dapat terjadi berulang-
ulang dan mengakibatkan timbulnya akibat yang sangat besar bagi masyarakat
internasional. Yurisdiksi Universal melewati batas kedaulatan negara yang secara
historis memiliki basis yurisdiksi kriminal secara nasional. ada dua keadaan
(position) yang membenarkan hal tersebut yaitu:
1. normative universalist position yang mengakui eksistensi nilai-nilai utama yang
disebarkan oleh masyarakat internasional. Nilai ini dianggap cukup penting untuk
membenarkan menolak batasan teritorial dalam menerapkan yurisdiksi.
2. Keadaan pragmatis yang mengakui bahwa adanya kepentingan internasional yang
mensyaratkan penegakan mekanisme yang tidak terbatas pada kedaulatan nasonal.
Kedua keadan ini memiliki elemen umum, yaitu:
1. keduanya membutuhkan eksistensi nilai-nilai umum dan atau kepentingan yang
disebarkan masyarakat internasional, dan
2. harus ada kebutuhan akan pemrosesan hukum secara kolektif bagi pelanggaran
serius terhadap nilai/kepentingan tersebut.
3. harus ada asumsi bahwa perluasan yurisdiksi akan menentukan dan mencegah
kejahatan dan khususnya meningkatkan ketertiban, keadilan dan perdamaian
dunia.
Kedua keadaan tersebut diatas mempunyai tujuan memberikan yurisdiksi
universal untuk tiap negara atau semua negara berdaulat, termasuk badan
internasional tertentu, Suatu tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi universal
adalah tindak pidana yang berada di bawah yurisdiksi semua negara di mana pun
tindakan itu dilakukan. Karena umumnya diterima, tindakan yang bertentangan
dengan kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai