40
BAB III
AGAMA KHONGHUCU PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
DI SURAKARTA
A. Agama Khonghucu pada Masa Orde Lama di Surakarta
Pada jaman presiden Soekarno, agama bukan sebuah persoalan. Artinya,
secara politis kebebasan beragama tidak terlalu diintervensi sehingga kehidupan
beragama di Indonesia nyaris tanpa masalah, terutama bagi masyarakat atau umat
pemeluk agama Khonghucu. Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh Tjie,
“aktivitas atau kegiatan keagamaan di Lithang Surakarta berjalan biasa saja, tidak
ada yang terlalu menonjol. Kegiatan tersebut merupakan kebaktian rutin pada
setiap hari Minggu pagi”.1
Agama Khonghucu oleh Soekarno diakui sebagai salah satu agama yang
ada di Indonesia selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Hal itu
tercantum dalam keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, yang
menegaskan bahwa agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuk Konghucu.
Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI), suatu
organisasi Khonghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu
agama dan Confucius adalah nabi mereka. “Bahkan pada masa itu umat penganut
agama Khonghucu di Surakarta ini sangat banyak, hingga mencapai ribuan”.2
1 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tanggal 25 Juli 2014
2 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tanggal 7 Maret 2015.
41
Menurut Buana Jaya, “agama khususnya Khonghucu pada jaman Soekarno
tidak begitu menjadi persoalan”3. Artinya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pemerintahan Soekarno pada waktu itu tidak mengintervensi keberlangsungan
agama yang ada di Indonesia.
Lebih lanjut Tjie mengatakan “meskipun pemeluk agama Khonghucu
sangat banyak, hampir semua orang Tionghoa memeluk agama Khonghucu,
namun yang datang untuk beribadah atau mengadakan kebaktian di Lithang
Surakarta hanyalah sedikit”. Hal ini disebabkan karena umat Khonghucu bisa
menjalankan ibadah atau kebaktian di rumah atau di Klenteng.
Dibawah ini beberapa hal yang terjadi pada masa Orde Lama :
1. Prosesi Keagamaan
Prosesi Keagamaan umat Khonghucu praktis tidak mengalami intervensi
dari pemerintah. Umat agama Khonghucu, khususnya di Surakarta bisa
melaksanakan peribadatan secara khidmat dan tenang sebagaimana pemeluk umat
agama lain yang ada di Surakarta menjalankan ibadahnya. Upacara-upacara
keagamaan Khonghucu bisa dilaksanakan tanpa ada gangguan dari pihak
manapun. Pemerintah juga menjadikan hari-hari besar dalam agama Khonghucu
sebagai hari libur fakultatif. Beberapa hari besar umat Khonghucu tersebut antara
lain, tahun baru Imlek, hari lahir nabi Khonghucu, hari wafat nabi Khonghucu,
dan hari raya Ching Bing. Hal ini menunjukkan bahwa agama Khonghucu
dipandang sama dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Sekolah yang
3 Wawancara dengan Buana Jaya pada Tanggal 23 Desember 2014
42
berada di bawah naungan yayasan Tripusaka yang notabene miliki Majelis Agama
Khonghucu (MAKIN) Surakarta juga menjadikan hari-hari besar agama
Khonghucu sebagai hari libur.4
2. Bidang Pendidikan Agama Khonghucu.
Di jaman Soekarno, agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang
diakui oleh pemerintah. Penyampaian pelajaran agama bisa disampaikan secara
formal di sekolah-sekolah. Pada masa pemerintahan Soekarno, yayasan Tri
Pusaka yang bergerak di bidang pendidikan, MAKIN Surakarta memberikan
pendidikan keagamaan atau ajaran-ajaran Kong Fu Tze kepada siswa-siswa SD
Tripusaka yang berada di lokasi kantor Majelis Agama Khonghucu (MAKIN)
Surakarta. Di bawah organisasi Kong Kauw Hwee mendirikan sekolah yang
bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu atau
miskin.5 Pada mulanya sekolah tersebut sekedar mengajarkan kepada siswa dan
siswinya bisa membaca, menulis, dan diajarkan pula agama Khonghucu yang
antara lain mengenai budi pekerti. Artinya, tidak sesuai dengan kurikulum
sebagaimana diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu murid-murid yang belajar di
Lithang Surakarta tidak bisa mengikuti ujian nasional. Baru pada tahun 1954
sekolah tersebut dapat bergabung dengan pemerintah dan mengikuti kurikulum
sebagaimana yang sudah ada.6
4 Wawancara dengan Buana Jaya pada Tanggal 23 Desember 2014
5 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 7 Maret 2014
6 Wawancara dengan Purwani pada tanggal 17 Desember 2014.
43
3. Prosesi Pernikahan Agama Khonghucu
Sebagaimana agama-agama lain yang ada di Indonesia, agama Khonghucu
juga memberikan pelayanan pernikahan secara agama Khonghucu bagi umatnya.
Pemberkatan pernikahan agama Khonghucu di Surakarta diadakan di Lithang
Swan Kong Tong. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, pernikahan tidak
mengalami masalah. Setiap orang memiliki hak untuk menikah dan memilih
agama masing-masing yang mereka percayai karena memang pada masa
pemerintahan presiden Soekarno, agama Khonghucu adalah agama yang sah di
Indonesia dan menjadi salah satu agama yang di akui.7 Apapun agamanya, bisa
menikah sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Apalagi, pernikahan secara
agama tertentu juga tidak ditulis di dalam surat atau akta pernikahan.
4. Kependudukan
Pada jaman pemerintahan Soekarno, belum ada kebijakan agama masuk
dalam kartu identitas, dalam hal ini KTP. Tidak ada kolom agama dalam kartu
identitas tersebut sehingga umat Khonghucu tidak perlu mencantumkan identitas
agama mereka di dalam KTP.
Misalnya, agama tidak perlu dicantumkan di kartu identitas semacam
KTP. Keberlangsungan kehidupan beragama justru didorong sebagai kekuatan
spiritual. Khonghucu, yang diakui sebagai salah satu agama di Indonesia, juga
dianggap sama atau sejajar kedudukannya dengan agama-agama lain seperti
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Budha. Begitu pula mengenai hak-hak
7 Wawancara dengan Buana Jaya pada tanggal 23 Desember 2014.
44
sipil yang lain seperti pernikahan.8 Demikian pula pemeluk agama Khonghucu di
Surakarta. Mereka tidak merasa risau atau tidak mengalami persoalan dalam hal
pencantuman identitas agama di KTP karena memang tidak ada kolom agama di
dalamnya.
5. Kesenian dan Budaya Agama Khonghucu
Umat agama Khonghucu di Surakarta pada masa pemerintahan Soekarno
juga memiliki kesenian, yaitu Liong dan Barongsai. Kesenian Barongsai dan
Liong tersebut juga berkaitan dengan keyakinan umat Khonghucu. Misalnya,
umat Khonghucu percaya bahwa pada kelahiran nabi Khong Fu Tse, binatang
Qilin muncul. Oleh karena itu, pada setiap merayakan hari kelahiran nabi Khong
Fu Tse selalu dihadirkan kesenian Liong dan Barongsai, dimana hal itu
merupakan representasi dari kehadiran binatang Qilin. Kesenian Liong dan
Barongsai pada masa pemerintahan presiden Soekarno boleh dipertontonkan scara
umum dan busana khas China yang identik dengan warna merah boleh dipakai.
Sama sekali tidak ada pelarangan dari pemerintah. Hal ini juga berdampak pada
jumlah penganut agama Khonghucu, pada masa pemerintahan Soekarno mencapai
ribuan.9
B. Kehidupan Beragama Umat Khonghucu pada Masa Orde Baru di
Surakarta
Dinamika agama Khonghucu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik.
Kebijakan politik telah membawa dampak atau pengaruh terhadap perkembangan
8 Wawancara Buana Jaya pada tanggal 23 Desember 2014.
9 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 7 Maret 2015.
45
agama Khonghucu yang mayoritas pemeluknya etnis Tionghoa. Sebagaimana
yang telah disinggung pada bab sebelumnya, salah satu wujud kebijakan yang
dijalankan oleh pemerintah Orde Baru adalah diterbitkannya Inpres No. 14 tahun
1967. Kebijakan tersebut membawa pengaruh negatif bagi kehidupan agama
Khonghucu karena isinya dianggap mengandung unsur diskriminatif terhadap
etnis Tionghoa, khususnya umat Khonghucu.
Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang berisi bahwa pemerintah hanya
mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Artinya
bahwa Khonghucu bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan
tersebut membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi. Perayaan
keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak
dimasukkan dalam hari besar di Indonesia. Dari segi pendidikan, sekolah di
bawah yayasan Tri Pusaka tidak boleh mengajarkan pelajaran agama
Khonghucu.10
Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor
477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978, yang menyatakan
hanya ada lima agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,
Hindu, dan Budha. Padahal, saat SE ini diterbitkan, UU Nomor 5 Tahun 1969 dan
Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 belum dicabut. 12 tahun
kemudian pemerintah melalui Mendagri kembali menerbitkan surat serupa
bernomor 77/2535/POUD, tanggal 25 Juli 1990 yang menyatakan bahwa hanya
10
Wawancara dengan Purwani pada tanggal 17 Desember 2014.
46
lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,
Hindu, dan Budha.11
Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit tentang larangan agama
Khonghucu di Indonesia, namun dengan diberlakukan undang-undang yang hanya
mengakui adanya lima agama yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha,
maka dengan sendirinya agama Khonghucu tidak termasuk di dalamnya. Artinya,
agama Khonghucu tidak dianggap agama di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui Inpres dan Surat
Edaran sebagaimana disebutkan di atas, telah membawa dampak yang kurang baik
bagi umat Khonghucu pada khususnya. Para pemuka agama Khonghucu menilai
bahwa hal tersebut merupakan perilaku diskriminatif. Mengenai hal ini, Haksu
Tjie mengatakan bahwa “kenyataan tersebut berkaitan dengan keadaan politik
pada tahun 1965, yaitu terjadinya peristiwa G 30/S PKI. Rupanya ada anggapan
bahwa Negara RRC merupakan Negara komunis pada waktu itu, maka muncul
stigma pemeluk agama Khonghucu yang mayoritas etnis China, pasti juga berbau
komunis”.12
“Aimee Dawis menyebutkan bahwa karena Tionghoa diduga
menjalin hubungan dengan komunis Tiongkok, Soeharto memutuskan hubungan
11
Airin Liemanto., Ratio Legis Presiden Abdurrahman Wahid Menjadikan
Khonghucu Sebagai Agama Resmi Negara (Analisis Keputusan Presiden Nomor 6
Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina), Skripsi, Malang:
Universitas Brawijaya. 2014. hlm. 3. 12
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 19 Desember 2014.
47
diplomatik dengan Tiongkok, lalu mengimplementasikan kebijakan asimmilasi
yang mengakibatkan erosi bahasa dan budaya Tionghoa”.13
Salah satu sentiment terhadap China adalah adanya sebagian kelompok
China, misalnya BAPERKI yang aktivitasnya dianggap sejajar dengan PKI.
Dikatakan bahwa sejak PKI meraih kesuksesan pada pemilu 1955 dan sikap
simpati terhadap keturunan orang-orang China yang dinyatakan secara terang-
terangan, aktivitas BAPERKI makin sejajar dengan PKI. Mulai saat itu
komunisme diasosiasikan dengan China.
Pada bulan Oktober 1967, sebuah mata rantai yang penting yang
menghalangi usaha pembauran dipatahkan ketika Indonesia memutuskan
hubungan diplomatik dengan Peking. Setelah itu berbagai langkah dijalankan
untuk membaurkan semua golongan China di Indonesia. Semua sekolah
berbahasa China ditutup, termasuk sekolah-sekolah BAPERKI, dan diubah
menjadi sekolah-sekolah negeri. Semua surat kabar China juga dilarang.
Dampak negatif dari kebijakan pemerintah Orde Baru sangat dirasakan
oleh umat pemeluk Khonghucu, termasuk umat Khonghucu yang ada di
Surakarta. Kehidupan keberagamaan mereka terganggu karena dalam
menjalankan peribadatan sudah tidak sebebas pada masa sebelumnya (orde lama).
Berkaitan dengan hal tersebut, Adjie Chandra menuturkan bahwa pada tahun 1979
akan diadakan kongres Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
13
Dalam I Wibowo dan Thung Ju Lan (ed)., Setelah Air Mata Mengering:
Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, (Jakarta: Media Nusantara),
hlm.58.
48
(MATAKIN) di Surakarta, batal dilaksanakan lantaran ijin pelaksanaannya tiba-
tiba dicabut. Padahal, semua delegasi yang ada di seluruh tanah air sudah datang
dan siap mengikuti kongres. Kenyataan tersebut tentu saja sangat merugikan dan
menimbulkan perasaan yang kurang nyaman khususnya bagi umat pemeluk
agama Khonghucu.14
Selain hal di atas, hak-hak sipil umat Khonghucu dilanggar, tidak
terkecuali umat Khonghucu yang ada di Surakarta. Di bawah ini akan diuraikan
beberapa dampak dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru
selama kurang lebih 32 tahun.
a. Dampak bagi Kehidupan Keagamaan
Dampak negatif dari dikeluarkannya Inpres tersebut menyebabkan ruang
gerak agama Khonghucu terbatasi. Misalnya, sulitnya mengadakan upacara atau
kegiatan tertentu baik yang berkaitan dengan peribadatan maupun tidak, seperti
mengadakan Munas MATAKIN. Setiap kali hendak mengadakan kegiatan atau
upacara tertentu wajib melakukan ijin terlebih dahulu kepada pemerintah melalui
lembaga yang berwenang. Peristiwa yagn terjadi pada tahun 1979 sebagaimana
yang dipaparkan oleh Adjie Chandra di atas satu contoh adanya diskriminasi
terhadap umat Khonghucu.
Di dalam menjalankan peribadatan, umat Khonghucu tidak serta merta
dapat menjalankan secara bebas. Upacara atau kegiatan keagamaan dijalankan
secara tertutup atau tidak diperkenankan diketahui oleh publik. Apabila hendak
14
Wawancara dengan Adjie Chandra pada tanggal 23 Desember 2014.
49
melakukan upacara peribadatan, mereka diharuskan ijin terlebih dahulu terlebih
kegiatan atau upacara agama tersebut membutuhkan tanah yang luas, artinya harus
dilakukan di tempat yang terbuka. Mereka wajib menutup tempat tersebut agar
tidak terlihat oleh publik. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kehidupan
beragama umat Khonghucu menjadi terganggu sekaligus merasa diperlakukan
deskriminasi. “Misalnya pada tahun 1979, ketika MAKIN Surakarta ini hendak
memperingati hari kelahiran nabi Khonghucu. Upacara itu termasuk besar dan
butuh tempat. Biasanya juga dilakukan di Lithang. Maka kita tidak boleh keluar
dari Lithang ini.”15
Di dalam Instruksi Presiden no 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan
dan adat istiadat China tanggal 6 Desember 1967 disebutkan bahwa Instruksi
tersebut mengandung pengertian bahwa segala bentuk peribadatan, tata cara
ibadah China yang memiliki aspek afinitas kulturil yang berpusat pada negeri
leluhurnya pelaksanaan harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga
atau perorangan. Hal itu menunjukkan adanya usaha pembatasan terhadap
kehidupan beragama umat Khonghucu. perayaan-perayaan pesta agama dan adat
istiadat dilakukan secara tidak mencolok di depan umum melainkan dilakukan
dalam lingkungan keluarga.
Berkaitan dengan hal ini, Buana Jaya mengatakan. “Melihat dari dampak
yang ada, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan presiden ke 2, telah
melakukan pelanggaran hak asasi bagi pemeluk agama tertentu, membunuh
15
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 14 Desember 2014
50
kesempatan keimannnya. Hal tersebut sebetulnya merupakan kezaliman penguasa
pada saat itu”.16
b. Dampak dalam Bidang Pendidikan
Perlu diketahui bahwa MAKIN Surakarta memiliki yayasan yang bernama
Tripusaka. Nama Tripusaka mengacu pada tiga pokok etika moral konfucian atau
Ti Jien Yong yang penjabarannya adalah Kebijakan, Cinta kasih, dan Keberanian
atau menaruh perhatian terhadap pendidikan intelektual, perasaan dan kemauan.
Salah satu bidang yang dijalankan oleh yayasan Tripusaka adalah bidang
pendidikan. Di kota Surakarta terdapat sekolah yang berada di bawah naungan
yayasan Tripusaka dalam berbagai jenjang yaitu SD, SMP, dan SMA. Sebagai
sekolah yang berada di bawah yayasan Khonghucu, maka lembaga-lembaga
pendidikan tersebut juga mengajarkan agama Khonghucu. “Sebagaimana yayasan
lain yang berada di bawah organisasi keagamaan tertentu, sekolah-sekolah yang
berada di bawah yayasan Tripusaka juga mengajarkan agama Khonghucu, dimana
agama tersebut yang dianut dan diyakini oleh pihak yayasan”.17
Sekolah yang berdiri kira-kira tahun 1925 tersebut pada mulanya berupa
pendidikan yang bertujuan untuk membantu anak-anak miskin agar bisa membaca
bahasa melayu dan berhitung. Pada perkembangan selanjutnya, sekolah Tripusaka
menjadi sekolah formal pada tahu 1935 tetapi masih bersifat membantu anak-anak
ekonomi lemah. Baru sekitar tahun 1950 Tripusaka dijadikan sekolah nasional
Indonesia dengan mata pelajaran mengikuti ketentuan pemerintah dengan tidak
16
Wawancara dengan Buana Jaya pada tanggal 23 Desember 2014. 17
Wawancara dengan Adjie Chandra pada tanggal 23 Desember 2014.
51
meninggalkan misi semula. Pada tahun 1966 sekolah menampung anak-anak yang
tidak dapat lagi sekolah lain, karena tuntutan sosial maka didirikan SMP siang
pada tanggal 14 Februari 1967, yang kemudian masuk pagi mulai tahun 1976.
SMP Tripusaka mendapatkan status diakui pada tanggal 31 Desember 1985 dan
diperbaruhi status diakui pada tahun 1992 hinga sekarang. Kemudian pada tanggal
31 Oktober 1981, menyusul didirikan SMA Tripusaka yang kemudian
mendapatkan status diakui pada tanggal 6 Januari 1986.
Namun dengan tidak diakuinya keberadaan Khonghucu sebagai agama di
Indonesia, maka secara otomatis agama Khonghucu tidak masuk dalam kurikulum
sekolah. Hal ini akan menyulitkan siswa pemeluk agama Khonghucu. Sebab
seandainya agama Khonghucu tetap diajarkan di sekolah, maka para siswa tidak
akan bisa mengerjakan atau tidak bisa mengikuti tes atau ujian. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan Haksu Tjie. “Sebenarnya tidak ada kata-kata yang
secara jelas mengatakan bahwa agama Khonghucu dilarang di Indonesia. Namun
dengan hanya diakuinya lima agama selain agama Khonghucu, maka para siswa
pemeluk agama Khonghucu kesulitan, terutama ketika akan menghadapi tes
ujian”.18
Salah satu sikap yang diambil adalah dengan memberikan dua pelajaran
agama, yaitu agama Khonghucu dan agama lain yang diakui pemerintah
sebagaimana yang tertulis dalam undang-undang. Dengan demikian para siswa
tetap bisa mengikuti ujian agama, dan di sisi lain mereka tetap menerima pelajaran
agama Khonghucu. Berkaitan dengan hal itu, Purwani selaku pengajar di SD
18
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tangga 16 Desember 2014.
52
Tripusaka dan sekolah Warga pada waktu itu, mengatakan bahwa; “apa yang
dilakukan tersebut memiliki tujuan agar pengajaran agama Khonghucu tetap bisa
diberikan kepada siswa yang memeluk agama Khonghucu, dan pada saat yang
bersamaan mereka juga dapat mengikuti kurikulum yang diberlakukan
pemerintah, yaitu tetap bisa mengikuti ujian tes bidang studi agama”.19
Adapun mengenai agama yang diajarkan untuk kepentingan kurikulum,
guru memilih agama Hindu. Pemilihan agama Hindu untuk keperluan tersebut
didasarkan pada pertimbangan karena ada kedekatan dalam proses peribadatan
misalnya sama-sama menggunakan dupa. Semula agama yang diajarkan oleh guru
agama adalah Budha sebagai wujud untuk memenuhi tuntutan kurikulum
sebagaimana yang diatur pemerintah. Akan tetapi di dalam prosesnya guru agama
Khonghucu dan para tokoh Khonghucu Surakarta menilai ada indikasi
„pencaplokan‟ siswa pemeluk agama Khonghucu oleh lembaga agama Budha.20
Situasi ini membuat para tokoh Khonghucu Surakarta mempertimbangkan
kembali mengenai pilihan agama yang diajarkan di sekolah, terutama sekolah di
bawah naungan MAKIN Surakarta, yaitu yayasan Tripusaka. Namun pada tahun-
tahun selanjutnya, ada pelarangan sama sekali terhadap pengajaran agama
Khonghucu di sekolah. Hal ini berdampak pada ditiadakannya pengajaran agama
Khonghucu yang sebenarnya sudah berjalan walaupun di luar kurikulum dan tidak
menjadi bidang studi yang akan diujikan kepada siswa. “Aturan yang melarang
sama sekali untuk mengajarkan agama Khonghucu di sekolah, tidak mungkin
19
Wawancara dengan Purwani pada tanggal 23 Desember 2014. 20
Wawancara dengan Adjie Chandra pada tanggal 23 Desember 2014
53
untuk tidak dipatuhi. Sebab kalaupun guru bertekad memberikan pelajaran, sudah
pasti akan ditegur oleh kepala sekolah”.21
Keadaan seperti itu telah membawa dampak yang „kurang baik‟ bagi
agama Khonghucu, yaitu banyaknya umat pemeluk agama Khonghucu yang
berpindah ke agama lain seperti Katholik, Protestan, dan Islam. Menurut apa yang
dituturkan oleh Haksu Tjie, “mayoritas mereka berpindah ke agama Katholik”.22
Perpindahan agama tersebut sebagai upaya untuk menyikapi kebijakan
pemerintah. Dengan kata lain, kebanyakan pemeluk agama Khonghucu yang
pindah agama untuk mencari „selamat‟ agar tidak kesulitan kelak dikemudian hari
dalam segala urusan yang berkaitan dengan adminitrasi dan birokrasi.
Kenyataan tersebut tentu saja secara kuantitas, umat pemeluk agama
Khonghucu menjadi berkurang. Di Lithang Swan Khong Tong, yang kebetulan
terdapat sekolah yang memang di bawah naungan yayasan Tripusaka juga
mengambil sikap terhadap dampak dari diberlakukannya Inpres no 14 tahun 1967.
c. Dampak dalam hal Pernikahan
Pernikahan merupakan salah satu tahapan hidup yang harus dilalui oleh
setiap orang. Pernikahan juga sesuatu yang sakral dan agung. Oleh karena itu
agama apapun mengatur perihal pernikahan tidak terkecuali agama Khonghucu.
Hal ini sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menyaratkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
21
Wawancara dengan Purwani pada tanggal 17 Desember 2014. 22
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 16 Desember 2014
54
masing-masing agama dan kepercayaan itu. Undang-undang tersebut berbunyi
sebagai berikut “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.23
Pernikahan bukan hanya sekedar legitimasi hubungan seksual antara
seorang wanita dengan seorang pria. Sebuah pernikahan bukan juga sekedar
upacara perestuan akan berlangsungnya proses lahirnya generasi baru manusia.
Ternyata, pernikahan masih mempunyai fungsi yang ketiga, yaitu dimulainya
kemandirian seorang anak manusia memasuki kehidupan bersosial. Artinya, anak
manusia tersebut akan melakukan interaksi sosial secara mandiri.24
Pernikahan dalam pengertian ajaran Khonghucu sendiri adalah perkawinan
antara laki-laki dan perempuan, pertautan antara Khian dan Khun-lah yang
melahirkan keturunan anak manusia dan ini adalah Firman Tuhan atau Kodrat.
Sebagaimana yang ada dalam kepercayaan agama Khonghucu bahwa Tuhan
(Tian/Thian) telah menciptakan manusia di dunia ini berlainan jenis Yin dan Yang
(pria dan wanita) yang saling melengkapi. Mereka memiliki Xin (Watak Sejati)
dan juga memiliki Hi, Ho, Ay, Lok, 4 (nafsu-nafsu) yang mendorong mereka
saling memiliki daya tarik, saling mengenal satu sama lain, saling mencintai, dan
saling menyayangi untuk hidup bersama. Dengan kata lain, telah menjadi kodrat
alam bahwa dua insan yang berlainan jenis kelamin itu membentuk suatu ikatan
23
Diambil dari UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 24
Kitab Si Shu (Zhong Yong BAB Utama, Pasal 4), 2012, hlm.2.
55
lahir batin dengan tujuan menciptakan keluarga yang bahagia, sejahtera dan
harmonis (Hee) serta abadi dalam ikatan perkawinan.
Menurut Confucius (Khonghucu) perkawinan adalah hal yang paling
pokok dalam berkeluarga karena keluarga merupakan susunan masyarakat terkecil
sebagai proses pembelajaran hidup dan arti kehidupan. Masa perkawinan adalah
masa dimana memisahkan kehidupan dari orang tua (menuju proses berdikari)
dimana mereka harus menentukan nasibnya sendiri untuk memenuhi
kehidupannya, menjalin hubungan yang harmonis antara suami istri yang berbeda
karakter dan sifat-sifatnya, membesarkan anak-anaknya berdasarkan pada tatanan
etika moral Ren, Yi, Li, Ti, Yong dan Xin.25
Sebagaimana diketahui dalam kaitannya dengan alam, Khian
dilambangkan sebagai langit, sedangkan Khun dilambangkan sebagai Bumi.
Berkaitan dengan metafisika, maka Khian itu melambangkan Tian ( Tuhan Khalik
Semesta Alam ), sedangkan Khun adalah ciptaan-Nya yakni alam semesta dan
seisinya. Dalam kaitannya dengan manusia, Khian dilambangkan sebagai laki-
laki, sedang Khun dilambangkan sebagai wanita atau ibu. Bahwa “terjadinya
berlaksana benda tak lain adalah pertautan antara (Khun/Yin dan Khian/Yang.
25
Ongky Setio Kuncono, Perkawinan Menurut Agama Khonghucu
Ditinjau Dari Undang-undang Nomor l Tahun 1974, dalam .
http://spocjournal.com/hukum/346-perkawinan-menurut-agama-khonghucu-
ditinjau-dari-undang-undang-nomor-l-tahun-1974.html diakses pada tanggal 22
April 2014.
56
Maka hanya pertauta antara Khun/Yin (Perempuan) dan Khian/Yang (Lelaki)
sajalah keturunan manusia itu akan terjadi”.26
Namun demikian, pada jaman Orde Baru, para pemeluk agama
Khonghucu mengalami kesulitan dalam hal pernikahan. Artinya, umat Khonghucu
tidak mendapatkan hak untuk ditulis di catatan sipil mengenai cara menikah
mereka selaku pemeluk agama Khonghucu. Hal ini karena petugas catatan sipil
tidak bersedia mencatat keterangan menikah dengan cara agama Khonghucu
sebab agama tersebut tidak diakui di dalam undang-undang yang ada.
Di Surakarta, umat pemeluk agama Khonghucu melakukan prosesi
pernikahan atau pemberkatan di dalam Lithang Swan Kong Tong. Tetapi ketika
hendak didaftarkan ke catatan sipil, petugas tidak bersedia mencatat agama
mereka. Hal ini terjadi karena agama Khonghucu tidak lagi diakui sebagai agama
yang ada di Indonesia.
Sebagai konsekuensinya, mereka harus menggunakan agama lain dalam
hal menikah, misalnya Budha. Sehingga pada surat nikah ditulis pernikahan
tersebut dilakukan dengan cara agama Budha. Hal ini tentu membuat umat
pemeluk agama Khonghucu merasa tidak nyaman. Namun pada satu sisi, mereka
juga sulit untuk menentang kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Sebab di dalam ajaran yang mereka yakini, menyatakan bahwa perkawinan
dianggap sah apabila telah disumpah di hadapan altar (tempat ibadah) Nabi
26
SoetandyoWignyosoebroto,1997,dalam
http://spocjournal.com/hukum/346-perkawinan-menurut-agama-khonghucu-
ditinjau-dari-undang-undang-nomor-l-tahun-1974. html diakses paada tanggal 28
September 2014.
57
Khonghucu maupun Altar leluhur dan dilakukan oleh seorang Rohaniawan beserta
saksi-saksi, disetujui oleh kedua belah pihak orang tua.
d. Dampak dalam hal Kartu Identitas atau KTP
KTP merupakan salah satu kartu identitas yang wajib dimiliki oleh setiap
warga Negara Indonesia terutama yang sudah memenuhi syarat untuk
memilikinya sebagaimana yang diatur di dalam undang-undang. Pada jaman
pemerintahan Orde Baru atau Orba, para pemeluk agama Khonghucu
mendapatkan kesulitan. Dengan kata lain, hak kependudukan penganut agama
Khonghucu juga dilanggar. Penganut agama Khonghucu sebelum reformasi tidak
bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu. Mereka
boleh meminta KTP asalkan agama yang tertulis dalam kolom agamanya bukan
agama Khonghucu, pemeluk Khonghucu biasanya memilih Budha atau Kristen
dalam KTP mereka. “Dengan tidak diakuinya Khonghucu sebagai agama di
Indonesi, maka umat Khonghucu juga tidak bisa menuliskan agama yang mereka
anut pada kolom agama di KTP yang mereka miliki. Sehingga mereka dengan
terpaksa mencantumkan agama lain yang sebenarnya di luar keyakinan mereka”.27
Akibat adanya Inpres tersebut, masyarakat atau umat pemeluk agama
Khonghucu kehilangan hak sipilnya. Hak sipil itu antara lain; hak menikah secara
agama Khonghucu, hak mencantumkan agama Khonghucu pada kartu identitas
seperti KTP, hak mendapatkan pendidikan agama Konghucu baik di SD, SMP,
SMA dan Perguruan Tinggi. Padahal, sebelum ada Inpres no 14 tahun 1967
27
Wawancara dengan Buana Jaya pada Tanggal 19 Desember 2014.
58
tersebut, sudah ada TAP MPRS tentang keharusan diadakannya kurikulum dan
pelaksanaan pendidikan agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan
Khonghucu. Lebih jauh Buana Jaya menilai bahwa “melihat dampak sebagaimana
dikatakan di atas, pemerintah Indonesia yang pada saat itu di bawah kekuasaan
presiden Soeharto, telah melakukan pelanggaran hak asasi bagi pemeluk agama,
khususnya Khonghucu”.28
Mengenai persoalan KTP, Purwani yang merupakan pemeluk agama
Khonghucu sekaligus salah satu pengurus MAKIN Surakarta, juga pernah
menuliskan agama di kolom KTP nya dengan agama Islam. Hal ini dilakukan
karena adanya tuntutan keadaan waktu itu. Akan tetapi setelah reformasi,
Purwani kembali mengganti identitas agamanya dengan Khonghucu.
e. Dampak dalam bidang Seni dan Budaya
Lebih jauh, Inpres no 14 tahun 1967 juga membuat budaya etnis Tionghoa
menjadi terhambat, misalnya tidak diperbolehkan merayakan tahun baru Cina atau
Imlek dan menampilkan ke publik kesenian Liong dan Barongsai. Kesenian Liong
dan barongsai pada masa Orde Baru tetap ada, walaupun dalam menampilkan
kesenian ini harus secara sembunyi-sembunyi. Kesenian Liong dan Barongsai
dilarang tampil di muka umum. Selain kesenian Liong dan Barongsai, dalam
merayakan tahun baru China atau Imlek, pemeluk Khonghucu dilarang
menggunakan busana khas China.
28
Wawancara dengan Buana Jaya pada tanggal 19 Desember 2014
59
Tahun baru Imlek dan kesenian Barongsai dan Liong, sebenarnya
bukanlah semata-mata bentuk kesenian atau wujud budaya belaka. Tetapi
merupakan bagian dari ajaran agama Khonghucu itu sendiri. Mengenai Imlek,
nabi Khong Zi yang merupakan penyebar agama Khonghucu, pernah bersabda
bahwa, “Kembalilah pada penanggalan dinasti Xia.” Sekedar diketahui, sebelum
ada sabda itu, umat Khonghucu mengikuti penanggalan berdasarkan awal musim
dingin. Imlek merupakan penanggalan berdasarkan awal musim semi atau musim
tanam. Sedangkan dinasti Xia merupakan dinasti pertama, yaitu 23 abad SM.
Dinasti Xia tersebut menetapkan tahun baru imlek pada awal musim semi. “Pada
masa dinasti Shang, yaitu dinasti kedua, tahun baru Imlek diajukan di akhir
musim dingin. Adapun nabi Khong Zi sendiri hidup pada masa dinasti Zhou, atau
tepatnya dinasti ketiga setelah dinasti Shang”.29
Mengenai Barongsai dan Liong, orang China khususnya pemeluk agama
Khonghucu menganggap bahwa dua binatang tersebut merupakan binatang yang
sakral dimana juga menjadi bagian dari agama Khonghucu. Umat Khonghucu
percaya bahwa dua binatang tersebut menyimbolkan tolak bala terhadap bencana,
paceklik dan lain sebagainya. Selain itu, dengan binatang tersebut juga dipercaya
memberikan pertanda akan adaya hari-hari yang lebih baik.
Pada kesenian Barongsai dan Liong di MAKIN Surakarta, ada tiga misi
yaitu misi ritual, misi entertainmen dan misi olah raga. “Khusus mengenai misi
ritual, Barongsai dan Liong yang dimainkan biasanya dominan dengan warna
29
Wawancara dengan Haksu Tjie Tjai Ing pada Tanggal 23 Desember
2014.
60
Hitam dan Putih atau merah dan putih sebagai simbol unsur Yin dan Yang karena
dipercaya bisa menolak bala”.30
Selain beberapa dampak di atas, dampak lebih jauh dari kebijakan
pemerintahan Orde Baru tidak hanya membatasi ruang gerak umat agama
Khonghucu dalam menjalankan praktik keagamaannya saja melainkan juga
membuat sebagian besar umat berpindah keyakinan. Mengenai jumlah pasti
berapa banyak pemeluk agama Khonghucu di kota Surakarta, sulit ditelusuri.
Namun menurut pengakua Tjhie Tjay Ing selaku sesepuh MAKIN Surakarta dan
sekaligus salah satu pengurusnya, mengatakan bahwa “sebelum pemerintahan
Orde Baru, umat penganut agama Khonghucu mencapai ribuan”.31
Kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru telah
mengakibatkan mayoritas pemeluk agama Khonghucu berpindah agama.
Mengenai berapa jumlah umat Khonghucu yang pindah agama juga sulit
ditelusuri data yang valid. Namun yang jelas, secara kuantitas jumlah pemeluk
agama Khonghucu jauh berkurang. Hal ini misalnya dilihat dari komposisi jumlah
pemeluk agama (2013). Kepala Kantor Kemenag Surakarta, Ahmad Nasirin
mencatat bahwa “pemeluk agama Islam 44.2654 jiwa, Kristen 83.519 jiwa,
30
Henricus Hans Sp., “Komunikasi dan Akulturasi (Studi Deskriptif
Kualitatif Komunikasi antar Budaya Tionghoa dan Jawa dalam Proses Akulturasi
pada Kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka Surakarta)”, Skripsi, Surakarta,
FISIP UNS,2011. hlm.4 31
Wawancara dengan Haksu Tjhie Tjai Ing pada Tanggal 23 Desember
2012
61
Katolik 7.3275 jiwa, Hindu 1.283 jiwa, Budha 3.610 jiwa dan Konghuchu 500
jiwa, lainnya 9 jiwa”.32
Berdasarkan komposisi di atas, jumlah umat Khonghucu dapat dikatakan
paling sedikit bila dibanding dengan jumlah pemeluk agama lain yang ada di kota
Surakarta. Jumlah pemeluk agama Khonghucu masih sangat sulit dilakukan
pendataannya. Hal itu mengakibatkan adanya perbedaan jumlah yang ada pada
lembaga yang memiliki data statistik. Dalam hal ini dapat dicontohkan dari data
BPS kota Surakarta yang menuliskan bahwa jumlah umat pemeluk agama
Khonghucu 111.33
Adanya perbedaan data tersebut salah satunya disebabkan karena adanya
umat Khonghucu yang memiliki KTP dimana pada kolom agama tercantum
agama lain namun di dalam praktik keagamaannya tetap memeluk agama
Khonghucu. Barangkali umat yang identitasnya sudah terlanjur tercantum di
kolom KTP dengan agama lain karena dampak kebijakan Orde Baru, enggan
mengurusnya agar bisa mengganti lagi identitas agamanya. Barangkali mereka
malas melakukan itu karena sudah tua dan sebagainya.34
Jadi, sebenarnya jumlah
pemeluk agama Khonghucu tidak sesuai dengan yang tercatat pada lembaga yang
berwewenang seperti BPS atau Kemenag dan lain sebagainya. Misalnya saja,
jumlah pengurus dan anggota MAKIN bisa mencapai 600 an. Namun yang hadir
pada sembahyang rutin di Lithang hanya 10 persennya saja.
32
http://edysupriatna.blogspot.com/2014/08/surakarta-di-panggung-
kerukunan antaragama.html#sthash.ExpnA5Pr.dpuf. Diakses pada tanggal 24
Desember 2014. 33
Wawancara dengan Adjie Chandra pada Tanggal 23 Desember 2014. 34
Wawancara dengan Adjie Chandra pada tanggal 23 Desember 2014
62
Di bawah ini merupakan contoh umat Khonghucu yang memiliki identitas
agama Kristen meskipun masih tetap menjalankan kebaktian atau peribadatan
agama Khonghucu.
Gambar 3
Contoh KTP Umat Khonghucu dengan identitas agama lain
Identitas agama yang tercantum dalam KTP sebenarnya bukan agama yang
dianutnya tersebut merupakan perwujudan dari sikap yang ditujukan pada
kebijakan pemerintah Orde Baru.Karena agama Khonghucu tidak diakui dan
untuk menghindari persoalan, lebih baik mencantumkan agama lain di KTP.
Informasi lain tentang jumlah penduduk berdasarkan agama di Surakarta
juga dapat dilihat dari data yang ada di Dispendukcapil Surakarta. Dari data yang
ada menunjukkan bahwa penduduk Kota Surakarta pada umumnya memeluk
agama Islam (77,78 persen), disusul kemudian pemeluk agama Kristen (14,37
persen) dan Katholik (7,50 persen). Sedangkan Hindu, Budha dan Konghucu serta
aliran kepercayaan sangat sedikit (0,36 persen). Jika dikaitkan dengan wilayah
63
kecamatan, maka agama islam mendominasi semua wilayah kecamatan di Kota
Surakarta.
Berdasarkan uraian di atas, Inpres dan segala bentuk aturan yang berkaitan
dengan deskriminasi terhadap umat agama Khonghucu telah membawa dampak
yang tidak baik bagi pemeluk agama Khonghucu. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Buana Jaya, “bahwa Inpres no 14 tahun 1967 yang dikeluarkan
oleh presiden Soeharto memiliki tujuan untuk mengontrol sepenuhnya segala
bentuk budaya yang dipandang asing khususnya yang datang dari Negara-negara
komunis”.35
Dengan demikian maka tidak heran seandainya kegiatan keagamaan
umat Khonghucu sangat dibatasi oleh pemerintah Orde Baru yang waktu itu
pemegang kekuasaan.
C. Sikap Tokoh Agama Khonghucu
Kenyataan adanya perlakuan yang dikrimantif dari pemerintah Orde Baru,
para pemuka agama Khonghucu tidak hanya pasrah atau diam dalam
menyikapinya. Para tokoh Khonghucu melakukan upaya tertentu agar aktualisasi
yang mereka lakukan dalam beragama tetap bisa dijalankan dengan sebaik dan
senyaman mungkin sebagaimana halnya para pemeluk agama lain.
Kebijakan politik yang membatasi ruang gerak umat Khonghucu dalam
menjalankan praktik keagamaan mereka, tidak serta merta seluruh pemeluk atau
umat agama Khonghucu, khususnya di kota Surakarta meninggalkan keyakinan
mereka. Umat Khonghucu yang masih bertahan atau tetap berpegang pada
35
Wawancara dengan Buana Jaya pada Tanggal 23 Desember 2014.
64
keyakinannya sebagai pemeluk agama Khonghucu, mengakui bahwa dengan
adanya kebijakan pemerintah Orde Baru yang bersifat diskriminatif terhadap umat
Khonghucu, telah membawa dampak yang buruk bagi pemeluk Khonghucu.
Banyak umat Khonghucu yang terpakasa harus pindah agama karena kebijakan
pemerintah Orde Baru. Akibatnya, secara kuantitatif jumlah umat Khonghucu
sangat banyak berkurang.
Data yang sudah dipaparkan di atas, baik dari BPS, Kemenag, maupun
Dispendukcapil menunjukkan bahwa pemeluk agama Khonghucu tetap ada
walaupun secara kuantitas sedikit. Para pemeluk agama Khonghucu yang masih
memegang teguh keyakinan mereka di tengah kebijkan politik yang diskriminatif
tersebut tetap membuat mereka terus berjuang untuk mengembalikan hak-hak
mereka sebagai warga Negara dan sekaligus pemeluk agama sebagaimana yang
diyakini.
Para tokoh atau pemuka agama Khonghucu bukan tidak melakukan
tindakan apapun. Artinya, para pemuka agama Khonghucu tidak sekedar pasrah
terhadap keadaan yang cenderung merugikan agama yang mereka anut tersebut.
Ada beberapa sikap yang diambil selain tetap memberikan pembelajaran agama
Khonghucu di sekolah meskipun akhirnya dilarang juga, para tokoh dan pemuka
agama Khonghucu yang tetap pada keyakinannya, tidak mau atau
mempertahankan identitas mereka sebagai pemeluk agama Khonghucu. Tokoh
agama Khonghucu seperti Thjie Tjai Ing tetap menuliskan agama mereka pada
KTP dengan atau sebagai pemeluk agama Khonghucu.
65
Dalam menyikapi kebijakan pemerintahan Orde Baru yang
mendiskriminasi umat pemeluk agama Khonghucu, para pemuka agama
Khonghucu melakukan beberapa tindakan, di antaranya melakukan komunikasi
dengan pemerintah, baik di daerah maupun pusat, menemui menteri agama dan
menteri dalam negeri, yang pada puncaknya mengadakan pertemuan dengan wakil
presiden Adam Malik untuk membicarakan persoalan yang dihadapi umat
Khonghucu. Dari komunikasi tersebut, selanjutnya para perwakilan tokoh
Khonghucu yang didampingi oleh Adam Malik melakukan pertemuan dengan
presiden Soeharto. Pertemuan tersebut membuahkan hasil bahwa mengenai
keberadaan agama Khonghucu di Indonesia, pemerintah memandang positif
namun pasif. Hal ini oleh tokoh agama Khonghucu “dianggap sebagai kemajuan,
mengingat sebelumnya pemerintah terkesan memandang negatif pada umat agama
Khonghucu”.36
36
Wawancara dengan Buana Jaya pada Tanggal 19 Desember 2014.