1
BAB III
ASAL USUL, PELAKSANAAN DAN PEMAKNAAN JAGONGAN DI
SEMBATURAGUNG
Bab ini akan memaparkan mengenai hasil penelitian terhadap Jagongan kematian di
masyarakat Sembaturagung. Data diperoleh melalui teknik wawancara. Bab ini akan disajikan
sebagai berikut:
I. Gambaran Umum Desa Sembaturagung.
1.1 Kondisi Geografis.
Desa Sembaturagung merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Jakenan,
Kabupaten pati. Kecamatana Jakenan pada masa kolonial menjadi ibukota Kawedanan yang
membawahi Kecamatan Jaken, Jakenan, Pucakwangi, dan Winong. Namun setelah Indonesia
merdeka, terjadilah pemusatan pemerintahan yang ada di Pati, sehingga Jakenan menjadi sebuah
kecamatan seperti halnya kecamatan Jaken, Pucakwangi dan Winong1. Kecamatan Jakenan
terletak di bagi an timur Kabupaten Pati (sekitar 16 km ke arah timur kota Pati). Berada di
ketinggian antara 10-25 meter dpl. Tepatnya berada di koordinat 6°45'0?LS,111°11'0?BT -
7°4'29?LS,111°9'3?BT. Kecamatan ini berbatasan dengan:
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Juwana.
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jaken.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pucakwangi dan Winong.
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pati Kota dan dibatasi oleh sungai terbesar di
Kabupaten Pati, Sungai Juwana.
Seluruh wilayah kecamatan Jakenan terletak di dataran rendah dengan tanah berjenis
aluvial. Wilayah barat yang menjadi daerah aliran sungai Juwana setiap tahun pada musim
penghujan menjadi langganan banjir akibat meluapnya Sungai Juwana. Secara administratif,
1 Data dari kantor desa Sembaturagung. Diakses pada tanggal 16 Juni 2017 WIB..
2
kecamatan Jakenan terdiri atas 23 desa yang terbagi ke dalam 58 Rukun Warga (RW) dan 341
Rukun Tetangga (RT). Desa-desa tersebut adalah: Bungasrejo, Dukuhmulyo, Glonggong,
Jakenan, Jatisari, Kalimulyo, Karangrejo Lor, Karangrowo, Kedungmulyo, Mantingan Tengah,
Ngastorejo, Plosojenar, Puluhan Tengah, Sembaturagung, Sendangsoko, Sidoarum, Sidomulyo,
Sonorejo, Tambahmulyo, Tanjungsari, Tlogorejo, Tondokerto, dan Tondomulyo.
1.2 Kondisi Demografis.
Mata pencaharian penduduk kecamatan Jakenan sebagian besar adalah bertani dengan
memanfaatkan lahan pertanian berupa sawah tadah hujan. Sebagian lagi menggantungkan hidup
sebagai buruh pada berbagai industri yang ada di kota Juwana dan Pati kota. Karena minimnya
lapangan pekerjaan yang tersedia maka tidak sedikit warga yang pergi merantau ke lain daerah
bahkan ke luar negeri, seperti umumnya warga kabupaten Pati lainnya. Selain padi, produk
pertanian daerah ini adalah tebu, kedelai, dan kacang hijau. Kecamatan Jakenan mempunyai
empat pasar: Pasar Jakenan yang diberi nama pasar Gorejo, pasar ini digunakan sebagai pasar
orang dan pasar hewan, namun pasar ini mulai sepi beberapa tahun terakhir. Pasar
Sembaturagung yang disebut pasar Jagan, bertempat di desa Sembaturagung dibuka setiap hari,
di desa Glonggong ada sebuah pasar kecil yang biasa disebut pasar dadak’an karena hanya ada
di saat fajar sampai jam 9an pagi dan pasar yang terakhir ada di Banglean yang terdapat di desa
Tambahmulyo.
1.2.1 Desa Sembaturagung.
Sembaturagung merupakan salah satu desa di kecamatan Jakenan, desa ini terbagi atas
dua dukuh yaitu dukuh Gang Malang dan Mbatur, dengan luas wilayah2:
Pemukiman 44 ha.
Sawah 196,276 ha.
Ladang atau tegalan 49.460 ha.
Perikanan (kolam, empang) 14,14 ha.
2. Data diperoleh dari Waryanti sebagai pelaksana sensus ekonomi di desa Sembaturagung tahun 2015.
Wawancara dengan waryanti pada tanggal 16 Juni 2017 WIB.
3
Jumlah penduduk Sembaturagung adalah sebagai berikut: 960 kepala keluarga, 3.197
jiwa, 1.559 laki-laki dan 1638 perempuan. Struktur mata pencaharian warga desa Sembaturgung
adalah sebagai berikut: Petani 1.257 orang, Pedagang 256 orang, Pns 89 orang, Buruh 116 orang,
Peternak 9 orang, Nelayan /perikanan 2 orang, Industri kecil 40 orang, dan Jasa 6 orang. 94
persen penduduk kecamatan Jakenan adalah suku Jawa, sedangkan sisanya adalah warga
keturunan Thionghua dan dari luar pulau Jawa yang menikah dengan warga masyarakat setempat
atau sedang mencari nafkah di desa ini.
1.3. Jemaat GITJ Sembaturagung.
1.3.1 Profil GITJ Sembaturagung.
Sejarah berdirinya gereja GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa) Sembaturagung diawali
dengan bertobatnya Slamet Santosa3 diawal bulan juli 1967. Slamet Santosa yang pada waktu itu
berprofesi sebagai sekertaris desa memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat sehingga
beliau dengan mudah mengajak masyarakat untuk ikut menerima layanan kristiani. Dibantu
dengan sepupunya yang bernama Supomo (Purnawirawan TNI), mereka terus mengajak banyak
warga menerima layanan kristiani. Setelah berjalan tiga bulanan, maka oleh pendeta Susanto
harso yang waktu itu melayani di GITJ Juwana dan Pendeta S. Djojodiharjo yang bertindak
sebagai ketua sinode GITJ meresmikan pepanthan (cabang pelayanan) Sembaturagung sebagai
bagian dari cabang pelayanan GITJ induk Juwana.
Seiring dengan berjalannya waktu, pepanthan Sembaturagung semakin berkembang
secara kuantitas maupun kualitasnya, sehingga pada tanggal 17 oktober 2001 pepanthan GITJ
Sembaturagung didewasakan sebagai gereja yang mandiri dengan pendeta Rukani sebagai
gembala jemaatnya. Pada saat didewasakan sebagai gereja yang mandiri, jumlah jemaat secara
keseluruhan yaitu mulai dari anak-anak sekolah minggu sampai dewasa ada 128 jiwa.
Keseluruhan warga jemaat ini hanya berasal dari satu desa saja, yaitu desa Sembaturagung.
3 Buku sejarah gereja GITJ Sembaturgung terbitan 2016. Sejarah ini selalu dibacakan dalam ibadah
perayaan hari ulang tahun gereja yang selalu dirayakan setiap tanggal 17 oktober. Slamet Santosa adalah tokoh perintis dari pendirian gereja Sembaturagung.
4
Sampai pada tanggal 5 oktober 2017, jumlah warga jemaat GITJ Sembaturagung
berjumlah 289 jiwa yang terdiri dari laki-laki 92 jiwa, perempuan 119 jiwa, kaum muda 32 jiwa,
remaja 11 jiwa dan 34 anak-anak sekolah minggu.4 98% warga jemaat berasal suku Jawa
sehingga budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Jawa begitu terasa dalam komunitas ini. Bahasa
pengantar dalam setiap bentuk pelayanan ibadah hampir keseluruhannya memakai bahasa Jawa
sebagai bahasa ibu mereka.
Gereja GITJ Sembaturagung ini menganut sistem konggregasional sinodal yang artinya
gereja setempat memiliki kewenangan untuk mengelola seluruh penatalayanan jemaat lokalnya
dengan mengacu kepada tata gereja yang disepakati oleh seluruh gereja-gereja anggota sinode
yang telah ditetapkan dalam sidang raya.5 Artinya bahwa setiap gereja lokal atau setempat dari
sinode GITJ diberi keleluasaan untuk mengembangkan pelayanan sesuai konteksnya, namun
tidak bertentangan dengan tata dasar tata laksana sinode (Tata Gereja).
1.3.2 Pelayanan Kematian di GITJ Sembaturagung.
Secara umum proses pelayanan kematian pada warga jemaat yang meninggal dunia
tidak terlalu banyak perbedaan dengan warga desa yang mengalami kematian. Hanya saja pada
beberapa bagian sudah mengalami sedikit modifikasi oleh karena pengaruh kekristenan. Jika
pada pemberitaan dukacita pada saudara yang beragama muslim biasanya disiarkan lewat
pengeras suara di masjid atau mushola, namun jika yang meninggal adalah warga nasrani maka
berita dukacita ini biasanya disampaikan dari mulut ke mulut ataupun melalui alat
telekomunikasi seperti handphone. Pernah juga beberapa kali ada anggota nasrani yang
meninggal dunia namun pemberitaan kabar dukacita tersebut disiarkan lewat pengeras suara di
masjid yang ada di desa ini,6 namun lebih banyak disampaikan dari mulut ke mulut.
Sama seperti pada proses perawatan jenasah pada umumnya, setiap warga jemaat yang
meninggal juga disuceni. Artinya dimandikan dan dirawat sedemikian rupa sebagai bentuk
4 Data diambil dari buku keanggotaan gereja GITJ Sembaturagung tahun 2017. 5 Buku Tata Gereja Sinode GITJ revisi tahun 2015. 6 Wawancara dengan Suwignyo dilakukan pada tanggal 17 Juni 2017.
5
perawatan dan penghormatan yang terakhir bagi almarhum yang biasanya akan dipimpin oleh
seorang majelisbagian diakonia. Setelah selesai dibersihkan dan beri pakaian yang baru atau
yang pantas, maka layon akan diletakkan di ruang tengah supaya setiap anggota keluarga,
kerabat dan siapa saja yang hendak memberi penghormatan terakhir akan dapat dengan mudah
melakukannya.
Sementara di rumah duka sedang ada proses perawatan bagi jenasah yang meninggal,
maka di pemakaman juga terjadi proses pembuatan liang lahat sebagai tempat peristirahatan
yang terakhir bagi almarhum. Ukuran liang lahatnya pun sama dengan yang lain, yaitu dua meter
panjangnya serta lebar dan dalamnya masing-masing satu meter, hanya yang membedakannya
adalah ketiadaan cemuri,7 sebab jenasah tidak dibungkus kain kafan namun diberi pakaian
lengkap lalu dibaringkan di dalam peti kemudian baru dimasukkan ke dalam liang lahat.
Setelah semua proses persiapan jenasah dan liang lahat selesai, maka di rumah duka
akan diadakan Pangabekti panguntape layon (ibadah pemberangkatan jenasah). Ibadah ini selalu
dipimpin oleh pendeta jemaat dan biasanya berlangsung hanya 1 sampai 1,5 jam saja, yang
kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari wakil keluarga yang berduka, dari wakil gereja dan
perangkat desa. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan pemberangkatan jenasah menuju ke
pemakaman. Prosesi ibadah dipemakaman juga berlangsung sangat singkat, berupa pembacaan
satu bagian dari kitab suci yang kemudian disambung dengan pembacaan pengakuan iman rasuli
secara bersama-sama. Setelah itu maka jenasah almarhum segera ditimbun dengan tanah.
Ketika proses pemakaman selesai, sebagian besar warga akan pulang ke rumah mereka
atau kembali ke pekerjaan mereka yang mereka tinggalkan karena adanya peristiwa kematian
tersebut, hanya kerabat dekat dan beberapa tetangga dekat yang langsung kembali ke rumah
duka untuk menemani keluarga inti yang sedang berduka. Namun pada malam harinya,
masyarakat akan kembali ke rumah duka untuk Njagong. Namun ada perbedaan yang cukup
besar dalam proses pendampingan yang dilakukan masyarakat kristen kepada anggota warganya
7 Cemuri adalah sebuah galian yang dibuat seukuran badan manusia yang ada di dasar liang lahat.
Biasanya diperuntukan bagi warga masyarakat yang beragama muslim.
6
yang mengalami kedukaan dengan masyarakat Sembaturagung yang beragama non kristen. Jika
pada masyarakat yang beragama muslim atau penganut kepercayaan melakukan kegiatan
pendampingan secara formal sesuai kepercayaan yang mereka percayai tersebut bisa berlangsung
selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, namun bagi warga kristen justru hanya
berlangsung selama dua malam atau dua hari, yaitu ibadah panglipuran (Penghiburan) malam
pertama dan kedua saja. Ketetapan tersebut dikarenakan adanya keputusan konven8 para
pengajar se-sinode GITJ. Kesepakatan hasil konven tersebut kemudian dilaksanakan oleh seluruh
anggota gereja se-sinode GITJ, tidak terkecuali GITJ Sembaturagung. Itulah sebabnya, sejak
diputuskannya hasil konven tersebut maka ibadah penghiburan hanya dilakukan selama dua
malam berturut-turut saja.
Suwignyo9 menuturkan bahwa sebenarnya penghiburan selama dua hari dirasakan
masih sangat kurang oleh keluarga yang berduka. Baginya, kehadiran pendeta, majelis dan
segenap jemaat di rumah dukanya menjadi kekuatan tersendiri yang menopang hidupnya. Pujian
dan renungan firman Tuhan yang disampaikan oleh pelayan firman begitu menguatkan baginya
dalam menjalani hari-hari yang penuh duka tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh
Saryo:
“Tinilar dening tiyang ingkang sampun gesang sesarengan kaleh kula langkung saking
40 tahun punika mboten perkawis ingkang gampil. Saben dinten, rina wengi tansah
sesarengan, lajeng kapedotan sesambetan punika saestu sedih sanget. Sinaosa kula
mangertos mangke ing kalanggengan badhe pinanggih malih, nanging samangke saestu
remuk raose manah kula. Kejawi kekiatan saking Gusti Yesus, bapa pandita, sedaya
majelis dan sederek nunggil pitados ingkang sampun mbiyantu abot repote kula saha
ngrencangi kula nalika nandang duhkita saestu ngenthengi momotan kawula. Namung
kemawon, menawi saget, mbok anggenipun kekempalan panglipuran dipun tambahi
maleh supados griya kula mboten suwung.” 10
8 Konven adalah sebuah pertemuan bersama para pengajar se-sinode GITJ yang dihadiri oleh para
pendeta, pembantu pendeta, pendeta khusus dan guru Injil yang membahas tentang sebuah isu teologi ataupun hal-hal yang perlu dibahas secara ber-sinode. Pada konven tahun 2009 yang bertempat di Bandungan, Ambara, ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan yaitu mengenai pelayanan Pangrukti layon (Pelayanan kematian) bahwa mengenai pelaksanaan pelayanan ibadah penghiburan diputuskan bersama bahwa hanya boleh dilakukan selama dua hari berturut-turut saja.
9 Wawancara dengan Suwignyo pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. Suwignyo adalah informan yang mengalami kedukaan karena kematian ibunya.
10 Wawancara dengan Saryo pada tanggal 17 Juni 2017. Saryo adalah informan yang mengalami kedukaan karena kematian istrinya.
7
Kehadiran pendeta, seluruh majelis dan segenap jemaat menjadi sumber penghiburan
tersendiri bagi hidupnya. Dengan kehadiran banyak orang di rumahnya, Saryo merasa bahwa ada
begitu banyak orang yang peduli dan mengasihi dirinya. Hal itu merupakan sebuah motivasi
yang besar baginya sehingga terus kuat menjalani hidup meskipun istrinya sudah tidak bersama-
sama dia lagi. Ibadah penghiburan selama dua hari baginya terasa begitu kurang, namun apa
daya sebab keputusan sudah diambil. Mereka masih mengharapkan agar di luar ibadah tersebut,
pendeta dan warga jemaat tetap bersedia hadir untuk menemani mereka melewati masa-masa
sedih tersebut.
II. Asal Usul Jagongan.
2.1 Istilah Jagongan.
Setiap kebudayaan pasti sudah mengembangkan berbagai perangkat dan kebijaksanaan
budaya untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap tahapan dari siklus perkembangan
kehidupan manusia, mulai dari kelahiran sampai kematian. Karena kematian dan kedukaan
adalah bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka setiap kebudayaan
pasti memiliki perangkat dan tata cara dalam membantu masyarakat melewati masa-masa sulit
karena kematian dan kedukaan. Dengan perangkat kebudayaan tersebut, anggota masyarakat
ditolong secara kultural sehingga tidak merasa kesepian dan sendirian dalam menanggung beban
kesedihan.
Masyarakat Jawa mengenal berbagai upacara bagi orang yang meninggal. Berdasarkan
penuturan Dwi Kristiyono11, berbagai perangkat budaya Jawa yang diciptakan oleh masyarakat
Jawa dalam upacara kematian tidak hanya ditujukan bagi orang yang sudah meninggal saja,
namun juga bagi anggota keluarga yang ditinggalkan agar bisa melewati dan mengatasi
kedukaan mereka. Berbagai bentuk upacara yang dibuat oleh masyarakat sebenarnya adalah
11 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017. Selain sebagai dalang wayang kulit,
beliau juga pengajar Bahasa Jawa dan Seni musik Karawitan. Karawitan merupakan kesenian musik khas Jawa yang menggunakan Gamelan sebagai alat musiknya.
8
sebuah bentuk kesatuan dari masyarakat dalam mendampingi (Coorporate caring) sesamanya
yang sedang berduka tersebut.
Di kebudayaan Jawa, kita mengenal upacara yang dilakukan pada saat seseorang
meninggal (geblag12) dan dikuburkan, kita juga menemukan upacara untuk memperingati orang
yang meninggal dunia pada hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, mendak ke satu
(ulang tahun pertama), mendak ke dua (ulang tahun ke dua) dan ke seribu hari13. Pada proses
upacara itulah masyarakat Jawa mempergunakan istilah Jagongan atau Njagong (Untuk
memperpendek kata Jagongan, kebanyakan orang lebih senang mengucapkannya menjadi
Njagong), sebagai sebuah usaha masyarakat dalam melakukan pendampingan kepada keluarga
yang mengalami dukacita.
Sangat sulit untuk menentukan kapan budaya Jagongan atau Njagong mulai dilakukan
oleh masyarakat Jawa dalam mendampingi dan menguatkan saudaranya yang sedang mengalami
kedukaan. Menurut penuturan Suyita Basuki14, orang mulai peduli dengan kesedihan sesamanya
sudah sejak awal peradapan manusia, sehingga sangat sulit untuk menentukan secara pasti kapan
itu dimulai. Lebih sulit lagi untuk melacaknya sebab belum banyak ahli sejarah yang merekam
kegiatan tersebut dalam bentuk tulisan secara detail. Lebih lanjut Basuki juga menuturkan bahwa
pada sekitar tahun 1864 di daerah Pati dan Jepara pernah muncul istilah Pager layu15, sebuah
tradisi yang makna dan bentuk pelaksanaan sama dengan Jagongan atau Njagong seperti yang
dikenal sekarang ini.
12 Dwi Kristiyono menuturkan bahwa upacara saat seseorang meninggal (geblag), memang lebih banyak
menunjuk kepada perawatan atau pembersihan jasad (layon) supaya siap disemayamkan atau dimakamkan. Geblag sebenarnya memiliki arti saat dimana seseorang itu rebah atau mati, yang kemudian segera disucikan atau dimandiin sehingga patut untuk dikembalikan kepada asal Jasadnya, yaitu bumi sebab orang Jawa mempercayai bahwa badan wadag (jasad) itu berasal dari bumi atau tanah dan akan dikembalikan ke tanah lagi.
13 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017. 14 Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017. Suyito Basuki adalah seorang dalang
wayang kulit, yang juga seorang penggiat kebudayaan Jawa. Beliau tinggal di kota Jepara. 15 Suyita Basuki menuturkan bahwa Pager layu memiliki arti menopang yang berduka (sedang mengalami
lelayu atau kematian sehingga mengalami kesedihan) agar bisa bertahan dan mendampinginya melewati kesedihan itu. Namun istilah tersebut tidak bertahan lama, karena segera diganti dengan istilah baru yaitu Tilawat, Layatan dan Njagong atau Jagongan kematian.
9
Dalam perkembangannya, istilah Pager layu inipun akhirnya berangsur-angsur hilang
seiring dengan datangnya istilah baru yang lebih akrab diucapkan di kalangan pemeluk agama
Islam yaitu Tilawat dan Takziah. Kedua istilah ini berakar dari budaya agama Islam yang mulai
semakin menguat di masyarakat Jawa. Kata Takziah ini memiliki arti dasar menghibur. Takziah
dimaksudkan dengan mengunjungi keluarga orang yang meninggal dunia dengan tujuan supaya
keluarga yang ditinggalkan dapat terhibur, diberikan kesabaran serta mendoakan orang yang
meninggal agar dosanya diampuni oleh Allah.16 Selama proses mendoakan jenasah yang
meninggal ini, saudara-saudara muslim memakai panduan ayat-ayat Tilawatan.17 Memang dalam
perkembangannya, penggunaan istilah Takziah dan Tilawat inipun lebih sering dipakai meskipun
kadang tumpang tindih penggunaannya.
Selain hadirnya dua istilah yang berbau agama Islam tersebut, masyarakat Jawa di Pati
kemudian menghadirkan istilah baru yaitu Jagongan atau Njagong kematian. Informasi yang
dituturkan oleh Bambang Sumartoyo18, bahwa pada sekitar tahun 1860 an, ketika ada seseorang
yang akan berangkat mendatangi rumah duka untuk memberi penghiburan bagi keluarga yang
berduka, saat ditanya akan pergi kemana, maka dia akan menjawab:”Arep lunga njagong
kepaten (akan pergi Njagong di kematian)”. Dalam perkembangannya, masyarakat Jawa
kemudian memakai beberapa istilah untuk mengungkapkan peristiwa pendampingan tersebut.
Kadang orang mengatakan Jagongan atau Njagong kematian, Nglayat, Takziah kadang juga
Tilawat.
Informan kami selanjutnya menjelaskan bahwa pemakaian istilah yang berhubungan
dengan pendampingan kepada keluarga yang mengalami kematian bisa ada beberapa istilah
seperti yang sudah dibahas di atas tadi, namun yang umum dipakai oleh masyarakat di
Sembaturagung adalah Njagong kepaten seperti yang dikatakanya:
16 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017. Parmo adalah salah satu tokoh muslim di
desa Sembaturagung. 17 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 18 Wawancara dengan Bambang Sumartoyo pada tanggal 23 Mei 2017. Bambang Sumartoyo adalah
seorang Pendeta Emiritus yang melayani lebih dari 40 tahun di kota Juana. Beliau juga yang menjadi salah satu Pendeta perintis di GITJ Sembaturagung.
10
“Samangke panci kathah istilah ingkang kaginaaken kangge perkawes punika, namung
kewamon ingkang limprah dipun ginaaken masyarakat mriki menawi kepengen mbiyantu
tetangginipun ingkang bibar nandhang kasisahan karona pepejah, conto ngrencangi ing
dalu-dalu sakbibaripun layon sampun dipun sareaken wonten pasarean inggih dipun
wastani njagong kepaten utawi jagongan kepaten ing daleme si..., ingkang nandhang
kasisahan”.19
Penggunaan istilah ini memang lebih banyak digunakan oleh generasi tua yang usianya diatas 45
tahunan, sebab bagi para pemuda, terutama yang beragama muslim lebih suka menggunakan
istilah Takziah atau Tilawat.
Basuki20 menambahkab bahwa di wilyah Pati bagian utara dan barat laut yang berbatasan
dengan wilayah kabupaten Jepara menyebutkan bahwa tradisi dimana masyarakat sedang
mendampingi kerabat atau masyarakat yang sedang berduka disebutnya sebagai layatan atau
nglayat. Artinya bahwa untuk sebuah kegiatan yang sama, masyarakat Jawa di beberapa tempat
memiliki istilah yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya adalah sebuah upaya masyarakat
yang secara bersama-sama sebagai sebuah kesatuan dalam memberikan pendampingan dan
penguatan kepada anggotanya yang sedang berduka.
2.2 Arti kata Jagongan.
Kata Jagongan sebenarnya memiliki arti linggihan Sinambi omong-omongan, maksudnya
adalah duduk bersama sembari berbincang-bincang.21 Memang secara umum proses Jagongan
selalu disematkan kepada mereka yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Jagongan pada
umumnya dilakukan saat tetangga atau kerabat memiliki hajatan yang berupa pernikahan
(jagongan manten), khitanan (jagongan sunatan), syukuran kelahiran bayi (jagongan bayek)dan
lain sebagainya. Pada umunya jagongan dimulai pada sore hari sampai menjelang pagi hari,22 di
beberapa daerah malah penggunaan istilah Jagongan lebih luas lagi, yaitu digunakan untuk
setiap kesempatan dimana ada beberapa orang yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang,
19 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 20 Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017. 21 S. A Mangun Suwita. Kamus Bahasa Jawa (Bandung: Yrama Widya, 2002), 72. 22 Wawancara dengan Dwi Kristiyono.
11
entahkah di warung kopi atau warung makan, di teras rumah atau pos kampling23. Pokoknya
dimana saja asalkan ada beberapa orang yang duduk bersama sambil berbincang-bincang.
Tetapi masyarakat Sembaturagung mempergunakan istilah Jagongan ini juga sebagai
sebuah kegiatan dimana masyarakat secara komunal membantu dan mendampingi sesamanya
yang sedang mengalami kedukaan karena peristiwa kematian. Jagongan dipakai sebagai sarana
comunity caring di Sembaturagung.
III. Pelaksanaan Jagongan.
3.1. Pemberitahuan kabar dukacita atau Pemberitaan Lelayu.
Hal yang pertama kali dilakukan dalam masyarakat Jawa ketika ada yang meninggal
dunia adalah segera memberikan panglipuran/penghiburan (pendampingan) kepada keluarga
yang kehilangan tersebut. Menolong yang berdukacita agar mampu menerima dengan iklas
kepergian almarhum tersebut meskipun tidak mudah. Kerabat dekat dan tetangga akan berusaha
menenangkan keluarga yang berduka dengan hadir di sekelilingnya, meyakinkan bahwa ada
begitu banyak orang yang menemaninya24. Setelah keluarga mulai agak tenang, maka akan ada
beberapa orang yang dengan segera merawat jenasah dengan menidurkannya secara membujur,
terlentang dan menghadap ke atas. Kaki dipan tempat jenasah dibaringkan biasanya direndam
dengan dengan air, maksudnya adalah supaya jangan sampai dipan dikerumuni oleh semut atau
binatang kecil lainya, juga dibawah dipan biasanya ditaruh dupa wangi atau es batu dalam
sebuah ember besar untuk menghilangkan bau yang kurang sedap25. Selanjutnya jenasah (layon)
akan ditutup dengan kain batik atau selendang yang masih baru. Bersamaan dengan itu, ada
sebagian orang yang segera memberitahu modin, perangkat desa atau pemimpin agama yang lain
tentang lelayu tersebut, ada yang mengumumkannya lewat pengeras suara di masjid atau
mushola (bagi yang beragama muslim), namun bagi yang beragama non muslim biasanya dari
23 Wawancara dengan Suyita Basuki pada tanggal 12 Mei 2017 WIB. 24 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 25 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017. Imawati merupakan salah satu tokoh gereja
dan masyarakat di desa Sembaturagung.
12
mulut ke mulut juga sangat cepat sekali kabar dukacita ini tersebar kepada para kerabat dan
masyarakat sekitar26.
Segera setelah masyarakat mendengar berita kematian atau lelayu dari anggota
masyarakat, maka mereka akan segera meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukan
untuk segera pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian itu. Tidak peduli apakah dia
seorang guru, pegawai pemerintahan, tukang bangunan, petani ataupun pedagang di pasar,
mereka akan segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas ke rumah duka27.
3.2. Perawatan Jenasah.
Setelah sampai di rumah, sebagian orang akan mempersiapkan segala keperluan untuk
nyuceni layon (membersihkan jenasah dengan memandikan untuk yang terakhir kali), dengan
mencari kursi panjang dari kayu atau bambu untuk tempat duduk tiga orang yang akan
memangku jenasah saat dimandikan nanti28. Mencari ember-ember besar atau Blung (semacam
tempat tandon air yang berukuran besar, biasanya setiap Rukun Warga/RT pasti memiliki 3
sampai 4 buah sebagai persediaan kalau ada kematian), kemudian mengisinya dengan air bersih
untuk upacara nyuceni layon tersebut. Selain itu juga disiapkan sabun mandi yang sudah
dipotong-potong, shampo dan minyak wangi untuk keperluan si jenasah. Bersamaan dengan itu,
ada sebagian warga yang lainnya akan membersihkan dan membereskan rumah sebelum semakin
banyak orang yang datang.29
Segera setelah pemimpin agama tiba di rumah duka, entahkah modin (kalau yang
meninggal dunia memeluk agama Islam), pendeta atau majelis gereja (kalau yang meninggal
dunia memeluk agama Kristen), ia akan segera membuka pakaian orang yang meninggal tersebut
dan menggantinya dengan kain sarung yang longgar atau dengan jarit, dibantu dengan beberapa
26 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017. Suci rahayu adalah salah seorang tokoh
wanita yang biasa merawat jenasah di desa Sembaturagung. 27 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 28 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 29 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.
13
orang mengikat rahangnya ke atas dengan kain kafan agar tidak terbuka, mengikat kedua
kakinya menjadi satu dan melipatkan kedua tangannya di dada.
Sriyono30 menuturkan bahwa sebelum agama-agama berkembang dengan pesat di
Sembaturagung, yang melakukan tugas itu adalah sesepuh desa atau pemimpin aliran
kepercayaan. Jasad kemudian dimandikan oleh anggota keluarga, kerabat atau juga teman-teman
dekat, diutamakan perempuan kalau yang meninggal adalah seorang perempuan (tetapi ini tidak
menjadi keharusan), dan orang laki-laki kalau yang meninggal laki-laki di bawah pimpinan para
sesepuh tadi. Tempat memandikan jenasah biasanya diadakan di samping rumah atau teras
rumah, yang penting tempatnya lumayan lebar dengan banyak orang yang membentangkan kain
penutup berupa jarit atau sarung-sarung yang lebar sehingga prosesi memandikan ini tidak serta
merta bisa dilihat secara langsung. Namun jika ada yang ingin menyaksikannya juga bisa sebab
kain yang dibentangkan sambung menyambung itu tidak terlalu tinggi sehingga bisa dengan
mudah melihat prosesi tersebut. Cara memandikan layon harus diguyur secara perlahan-lahan
dari arah kepala ke kaki dan terus menerus sampai selesai tanpa henti, dengan terus mencoba
membersihkan layon sebersih mungkin31.
Setelah selesai dimandikan maka jenasah akan diletakkan di sebuah ruangan yang lebih
lebar supaya para kerabat dan tetangga dapat memberi penghormatan yang terakhir. Setelah
jenasah dibaringkan di dalam rumah, maka dengan segera beberapa wanita dan pria akan
membereskan area bekas memandikan tersebut, memastikan air bekas memandikan jenasah
tersebut mengalir habis, jarit dan sarung serta berbagai peralatan yang dipakai untuk
memandikan tadi segera dicuci serta dibersihkan oleh beberapa wanita dan kelarabat yang
berduka sehingga semuanya kembali bersih dan rapi. Mesti tidak ada yang memberi instruksi,
namun para warga akan dengan cekatan mengerjakan semuanya itu32.
30 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. Sriyono adalah salah seorang penganut
aliran kepercayaan Sapto Darmo di desa Sembaturagung. 31 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 32 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB.
14
Beberapa orang yang lain akan menyiapkan tempat duduk bagi para tamu yang akan
Njagong di rumah duka, ada yang meminjam para tetangga, ada juga yang memang memesan
dari tetangga desa yang memiliki persewaan tenda dan kursi. Warga akan dengan sigap
memasang tenda, menata kursi, menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan sehingga pihak
keluarga yang berduka tidak perlu lagi memikirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyiapan tempat bagi para tamu, kebutuhan bagi jenasah dan segala sesuatu bagi proses
pemakaman jenasah nanti. Semuanya sudah dibantu disiapkan oleh warga dengan bergotong-
royong33.
3.3. Pembuatan Liang Lahat.
Sebagian pria yang lain akan pergi ke makam untuk mempersiapkan liang lahat bagi
sang jenasah tadi. Tidak ada yang memberi komando, namun saat ada berita kematian, beberapa
pria sudah dengan sengaja datang ke pemakaman dengan membawa cangkul, linggis, arit dan
beberapa peralatan lain yang dibutuhkan untuk membuat liang lahat. Sriyono34 menuturkan
bahwa setiap orang yang datang ke makam ini sudah dengan sadar akan kebiasaannya untuk
meringankan beban keluarga yang meninggal dengan menyiapkan liang lahat sebagai tempat
peristirahatan yang terakhir, maka mereka akan dengan segera menyiapkan itu. Mereka akan
saling bahu membahu, saling bergantian menggali tanah yang biasanya disiapkan dengan ukuran
panjang sekitar dua meter, lebar satu meter dan dalamnya sekitar satu tengah meter.
Sebagiannya lagi akan memasang tenda atau deklet di atas area pemakaman yang akan
dijadikan makam manakala peristiwa kematian terjadi dimusim penghujan agar dalam proses
penggalian dan pemakaman nantinya tidak basah kuyup. Juga ada beberapa pria yang membuat
nisan dari kayu yang diberi nama orang yang meninggal tadi. Dalam perkembangannya memang
sekarang banyak nisan beton yang sudah dijual di toko-toko penyedia perlengkapan kematian.
Bahkan dahulu, bagi yang menghendaki dimakamkan dengan peti, para pria yang memiliki
kemampuan tukang kayu akan bergotong-royong membuat peti bagi jenasah tersebut, selebihnya
33 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 34 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.
15
para pria akan duduk-duduk sambil ngobrol-ngobrol di sekitar area makam sampai semua proses
pemakaman siap dilakukan35.
3.4. Persiapan Di rumah.
Sementara para wanita yang datang ke rumah duka biasanya akan membawa se”baki”
beras (baki adalah semacam tempayan kecil yang mampu menampung beras 1-2 kg, pada zaman
dahulu terbuat dari anyaman pohon bambu namun sekarang sudah terbuat dari plastik atau
tembaga), juga kadang ada yang membawa mie instan, gula, kopi, teh, minyak goreng dan lain
sebagainya. Sementara para pria yang datang ke rumah duka akan membawa sejumlah uang
yang dimasukan ke dalam sebuah kotak atau sebuah baki yang ditutupi kain yang sudah
disiapkan, biasanya diletakkan di depan rumah orang yang berduka supaya warga yang datang
bisa dengan mudah menemukannya (nominal uang yang dimasukan tersebut sesuai dengan
kerelaan, tidak ada ukuran standar harus berapa sebab ini lebih kepada kepedulian sosial).
Pemberian uang itu merupakan bentuk dukungan dari tetangga, kenalan maupun kerabat kepada
keluarga yang berduka. Uang yang terkumpul itu harapannya bisa digunakan untuk membeli
keperluan-keperluan bagi kebutuhan jenasah maupun untuk tambahan biaya menjamu yang akan
Njagong nantinya36.
Para wanita yang sudah datang akan ada yang sebagian langsung ke dapur untuk secara
bersama-sama dengan wanita yang lain memasak nasi dan lauk pauk untuk para pria yang
bekerja menggali liang lahat bagi jenasah yang akan dimakamkan nanti, juga untuk suguhan
malamnya manakala para tetangga, kenalan dan kerabat yang Njagong untuk memberi
penghiburan bagi keluarga yang berduka37. Pada umumnya para wanita yang memasak makanan
tersebut tidak di rumah duka, namun akan memakai rumah kerabat atau rumah tetangga yang
letaknya dekat dengan rumah duka. Bagi tetangga yang rumahnya dipakai untuk memasak
makanan bagi para tamu atau orang-orang yang ikut Njagong itu, akan dengan sukarela atau
35 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 36 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 37 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.
16
sukacita mengijinkan rumahnya dipakai untuk memasak. Salah satu informan kami, Imawati38
menuturkan bahwa rumah yang bersedia dipakai untuk membantu meringankan beban orang
yang kesripahan (Kesedihan yang mendalam) pasti akan diberkahi Yang Maha Kuasa sebab
rumah itu sudah menjadi saluran berkah bagi sesamanya. Itulah sebabnya kebanyakan orang
pasti bersedia jika rumahnya dipakai untuk kebutuhan memasak bagi keluarga yang sedang
berdukacita. Jika di rumah yang dipakai itu tidak memiliki peralatan memasak yang cukup
memadai maka para wanita akan segera mencari di tetangga yang lain, atau kalau ada yang
punya di rumahnya maka akan segera pulang dan mengambilnya39. Yang menarik adalah bahwa
mereka begitu antusias dan bersemangat dalam bekerjasama membantu segala kebutuhan
tersebut.
Sedangkan sebagian wanita yang lainnya, terutama yang lebih tua (yang dituakan
seperti halnya pemimpin agama atau pemimpin masyarakat), mereka yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan yang berduka atau mereka yang memiliki kedekatan hubungan seperti
halnya sahabat karib akan dengan segera bergabung dengan anggota keluarga inti yang berduka
untuk memberi penghiburan (pendampingan)40. Ada yang memang terbiasa membantu
menenangkan manakala ada yang menangis dengan histeris, atau sekedar duduk berkumpul di
sekitaran jenasah yang sudah selesai di suceni. Ada juga beberapa wanita yang merangkai
bunga-bunga untuk hiasan keranda (tempat untuk mengusung jenasah), karangan bunga untuk
hiasan di atas makam atau juga untuk bunga tabur yang nantinya akan ditaburkan di sepanjang
jalan yang akan dilalui oleh iring-iringan usungan jenasah almarhum.
Menurut pengalaman Saryo41 dan Suwignyo42 yang diungkapan dengan pernyataan
yang senada; “Saestu pak, nalika kula ningali bilih kathah sederek ingkang rawuh wonten griya
kula, raos sedih kula radi kirang, awit kula ngraosno bilih kathah tiyang ingkang ntresnani
38 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 39 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 40 Wawancara dengan Imawat pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 41 Saryo adalah informan yang mengalami kedukaan karena meninggalnya Suwarni istrinya pada bulan
maret 2017. 42 Suwignyo adalah informan yang mengalami kedukaan karena meninggalnya Warkinah ibunya pada
bulan September 2016.
17
brayat kula”. Bagi mereka, kehadiran para pemimpin masyarakat, agama, kerabat, tetangga dan
para wanita yang duduk menemani keluarga yang berduka di sekitar jenasah almarhum sangat
besar pengaruhnya bagi jiwa mereka yang sedang tergunjang karena kesedihan. Mereka yang
duduk menemani keluarga di samping jenasah, dirasakan bagi yang berduka sebagai kekuatan
besar bagi yang berduka dalam melewati masa-masa sulit tersebut.
Setelah prosesi nyuceni layon selesai, maka keluarga dan warga akan segera meletakkan
layon (Jenasah) di ruangan tengah di atas pandosa (balai-balai kecil untuk menidurkan jenasah),
semua lubang yang ada di badan layon akan di tutup dengan kapas, lalu layon diberi pakaian
yang terbaik yang dimiliki saat masih hidup, atau kadang juga dikenakan pakaian yang baru serta
sedikit didandani. Memang bagi yang beragama muslim, hanya dibungkus kain mori (kafan)
dengan diikat di tiga tempat yaitu di bagian kaki, pinggang dan atas kepala43.
3.5. Persiapan Pemberangkatan Jenasah.
Pemakaman orang Jawa di Sembaturagung (apapun agama yang dianut) akan
dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Walaupun mungkin ada beberapa yang harus
menunggu sanak keluarga yang kebetulan berada di tempat yang jauh, namun pada umumnya
masyarakat akan berusaha secepat mungkin memakamkan jenasah saudaranya atau kerabatnya
yang meninggal tersebut. Sekalipun nilai-nilai agama sudah mulai mewarnai pemahaman
masyarakat Jawa di kota Pati, namun kepercayaan lokal hasil warisan leluhur ternyata masih
tetap dihidupi. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa jenasah orang yang meninggal harus
sesegera mungkin di makamkan agar rohnya tidak berkeliaran tanpa arah.44 Masyarakat Jawa
mempercayai bahwa jika jasad seseorang yang meninggal dibiarkan berlama-lama dan tidak
segera dikebumikan maka rohnya tidak bisa segera kembali ke tempatnya yang layak, namun
akan berkeliaran tidak menentu seperti burung yang mencari sarangnya. Itulah juga yang
menjadi alasan mengapa ketika ada orang yang meninggal dunia, anak-anak kecil dilarang untuk
mendekat, sebab anak-anak masih rentan untuk dihinggapi oleh roh orang yang meninggal dunia.
43 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 44 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017.
18
Setelah semuanya sudah siap, maka upacara pemberangkatan jenasah menuju ke
pemakamannya akan dilakukan dengan diawali memanjatkan doa-doa khusus yang dipanjatkan
kepada Yang Murbeng Gesang (manakala yang meninggal adalah penganut aliran kepercayaan
Kejawen), bagi yang beragama Islam akan disholatkan dan dibacakan beberapa ayat suci
Alquran, sementara bagi yang beragama kristen akan segera dilaksanakan ibadah Panguntape
layon (Ibadah pemberangkatan jenasah menuju tempat peristiratan yang terakhir). Setelah proses
doa-doa selesai, maka jenasah akan segera diusung untuk dibawa ke pemakaman45.
Biasanya jenasah akan dipikul oleh empat atau enam pria yang akan membawanya
sampai ke liang lahat. Sebelum usungan pergi meninggalkan rumah duka, biasanya akan berhenti
sejenak di depan pintu atau halaman rumah duka untuk melakukan prosesi brobosan46. Brobosan
adalah sebuah ritual dimana kerabat atau keluarga berlari-lari kecil secara bolak-balik di bawah
usungan yang diangkat itu sebagai lambang bahwa segenap keluarga merelakan dengan iklas
yang meninggal itu pergi ke alam baka atau sangkan paraning dumadi 47. Ritual ini menjadi
pertanda bahwa jiwa mereka telah iklas dan tenang melepaskan almarhum pergi, perasaan
mereka dibuat tenang sehingga tidak ada lagi yang akan menghalang-halangi kepergian
almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir (beberapa tahun terakhir ini prosesi
brobosan di kalangan kristiani sudah jarang dilakukan) . Pada umumnya yang memimpin proses
brobosan ini adalah dari anggota keluarga yang paling tua. Proses brobosan tersebut
dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:
1.Peti mati di bawa ke luar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas
setelah upacara doa lematian selesai. 2. Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu
laki-laki dan cucu perempuan akan berjalan berurutan melewati pati jenasah yang
berada di atas mereka (mrobos) sebanyak tiga kali searah jarum jam. 3.Urutan akan
selalu diawali dengan anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada diurutan pertama,
anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakangnya.48
45 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 46 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 agustus 2017 WIB. 47 Suwardi Endraswara. Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-usul Kejawen. (Yogyakarta: Narasi-Lembu
Jawa, 2015), 210. 48 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.
19
Setelah itu usungan jenasah akan segera dipikul beberapa pria yang secara bergantian
mengusungnya ke pemakaman. Mereka yang diwajibkan untuk memikul usungan jenasah
almarhum adalah semua kerabat laki-laki dan sahabat karib harus ikut merasakan berat jenasah
ini, tujuannya supaya mereka yang bergantian memikul ini juga merasakan beratnya berpisah
dengan orang yang mereka cintai tersebut.49 Sebagian besar yang hadir di rumah duka akan
mengikuti dari belakang usungan jenasah tersebut sampai dipemakaman.
3.6. Pemakaman Jenasah.
Upacara di pemakaman akan berlangsung dengan singkat, jenasah diangkat dan di
turunkan di liang lahat dan segera di upacarai sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh
almarhum, apapun bentuk kepercayaan yang dianut, upacara pemakaman akan selalu
dilaksanakan dengan cepat. Sebelum liang lahat ditutup dengan tanah secara penuh biasanya
pihak keluarga akan dengan simbolis melemparkan gumpalan-gumpalan tanah kecil sebagai
tanda bahwa mereka iklas ikut mengembalikan layon almarhum kembali ke asalnya, yaitu
kembali ke tanah atau bumi50. Setelah timbunan liang lahat sudah selesai dan membentuk
gundukan seperti bukit kecil maka nisan atau pathok di tanjapkan sebagai pertanda makam serta
ditaburi bunga-bunga. Rangkaian prosesi ini biasanya diakhiri dengan pidato atau sambutan dari
wakil keluarga atau perangkat desa mengenai ucapan terima kasih kepada segenap warga yang
sudah membantu semua proses pemakaman almarhum ini, sambutannya biasanya sangat singkat.
Segera setelah upacara pemakaman selesai, maka sebagian besar warga yang datang
akan kembali ke rumah dan ke tempat pekerjaan mereka yang tadinya mereka tinggalkan.
Namun malamnya, mereka akan datang kembali untuk Njagong di rumah duka untuk menemani
keluarga almarhum melewati kedukaannya. Yang langsung kembali ke rumah duka pasca
pemakaman biasanya hanya keluarga inti, sahabat karib dan tetangga yang akan mempersiapkan
untuk acara Njagong kematian pada malam harinya51.
49 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 50 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 51 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIb.
20
3.7. Upacara Slametan.
Pada malam harinya para keluarga dan kerabat akan mengadakan upacara selametan
untuk memperingati arwah almarhum dengan mengundang semua orang yang telah memberikan
bantuan serta sumbangan yang berupa materi maupun non materi. Setiap slametan yang
diadakan selalu dilakukan doa bersama untuk arwah almarhum maupun untuk keluarga yang
ditinggalkan. Rata-rata pertemuan dalam ritual doa ini berlangsung selama 1,5-2 jam. Joko
Susilo52 menuturkan bahwa maksud dari acara selametan ini adalah:
Pertama, Mendoakan arwah almarhum agar segera diampuni dosa-dosanya dan segera
mendapat tempat yang layak di sisi Yang Maha Kuasa. Kedua, Mendoakan anggota
keluarga yang ditinggalkan almarhum agar senantiasa tatag (tegar), iklas dan ara ana
apa-apa (tidak terjadi hal-hal yang buruk selepas kepergian almarhum, itulah inti
penggunaan istilah selametan). Ketiga, Sebagai sebuah proses untuk tetap memelihara
hubungan dengan almarhum sekalipun almargum sudah tidak bersama dengan mereka.
Masyarakat Sembaturagung mempercayai bahwa dengan terus memelihara hubungan
baik dengan almarhum akan mendatangkan kebaikan bagi hidup mereka di dunia ini.
Acara doa selametan yang berhubungan dengan kematian juga akan terus diadakan
oleh keluarga pada hari ke tiga selepas kematian almarhum (Nigang ndinteni), hari ke empat
puluh (Ngawandasa dinten), hari ke seratus (Nyatus), peringatan setahun meninggalnya
(Mendhak sepisan), peringatan dua tahun meninggalnya (Mendhak kaping kalih), peringatan ke
seribu harinya (Nyewu), dan yang terakhir adalah peringan ke dua ribu yang di kenal dengan
Lepas/lepase. Tetapi jika yang meninggal masih anak-anak, maka cukup diadakan sampai hari
yang ke seratus saja dengan istilah Selametan/sedhekah Ngesah.53 Setelah peringatan hari ke
seribu dan lepase maka oleh keluarga dan kerabat dianggap bahwa tanggung jawabnya kepada
almarhum dianggap sudah selesai. Akan tetapi masyarakat di Sembaturagung masih tetap
memelihara ikatan emosional dan spiritual dengan almarhum tetap ada, itulah sebabnya setiap
hari-hari tertentu seperti malam jumat atau menjelang hari besar Jawa (Satu Syuro) serta hari
raya besar agama mereka akan mengunjungi makamnya untuk Nyekar.
52 Wawancara dengan Joko Susilo diadakan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. Joko Susilo adalah salah
seorang tokoh muda desa Sembaturagung yang juga peduli dengan budaya Jawa. 53 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.
21
Pada zaman dahulu proses doa Selametan ini dipimpin oleh sesepuh desa atau sesepuh
agama Jawi, namun karena sekarang masyarakat Jawa di Sembaturagung sudah banyak yang
menganut agama Islam dan Kristen, maka proses upacara itupun mulai mengalami perubahan.
Bagi yang menganut agama Islam, upacara selametan masih diadakan, baik untuk tiga harinya,
tujuh harinya, empat puluh harinya dan seterusnya namun diisi dengan Dhikir atau membaca
Yazin.54 Bagi yang masih menganut agama Jawi seperti halnya Sapta Darma maka upacara
seperti ini dilaksanakan dengan teliti. Sedangkan bagi penganut kristiani, Cuma mengadakan
kumpulan atau pengabekti panglipuran selama dua malam berturut-turut setelah meninggalnya
almarhum.
Yang paling menarik dari budaya masyarakat Sembaturagung dalam menjalani malam-
malam upacara selametan tersebut, ketika ritual doanya sudah selesai sebagian dari mereka tidak
langsung pulang ke rumah, tetapi akan dengan sengaja tinggal untuk beberapa jam lagi di rumah
duka untuk dengan sengaja Njagong menemani keluarga yang masih dirundung kedukaan
tersebut. Mungkin ada beberapa yang pulang dahulu ke rumahnya sebentar untuk mengantar
sedikit makanan dan jajan (berkat) dari acara selamatan tersebut namun akan segera bergabung
dengan warga desa yang lain untuk Njagong juga. Terutama pada minggu pertama setelah
kematian almarhum, rumah duka pasti tidak akan terlihat sepi sebab keluarga, kerabat dan
tetangga akan terlihat Njagong di rumah tersebut. Warga Sembaturagung menyadari bahwa
ditinggal pergi orang yang dikasihi itu bukan perkara yang mudah, karena itu mereka sengaja
datang untuk menemani dan memberi dukungan kepada saudaranya yang berduka agar kuat dan
tabah melewati masa-masa sulit tersebut. Memang yang banyak melakukan Jagongan ini adalah
kaum pria, para wanita hanya sedikit jumlahnya, itupun bertugas untuk menyediakan sekedar
makanan dan minuman sebagai teman untuk melekan atau Wungon55 saja.
54 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 55 Melekan atau Wungon adalah sebuah istilah yang berarti berjaga-jaga atau tidak tidur. Dimana ada
beberapa orang yang dengan sengaja tidak tidur untuk sebuah tujuan. Biasanya masyarakat Jawa melakukan tradisi ini bukan hanya saat menemani saudaranya yang sedang berduka saja, namun saat menjelang hari besar Jawa (Malam satu Syuro) atau untuk sebuah ritual Tirakat mereka akan menjaga diri untuk tidak tidur semalam suntuk.
22
Mereka yang Njagong selama berhari-hari di rumah duka biasanya adalah kerabat
almarhum, pemimpin agama, sahabat karib, dan tetangga yang dekat dengan rumah duka.
Kegiatan yang dilakukan selama Njagong itu biasanya hanya duduk-duduk sambil ngobrol-
ngobrol bersama dengan keluarga yang berduka. Pada umumnya hanya sebagian orang saja yang
secara intens selama beberapa jam berbicara serius dengan memberikan beberapa nasehat yang
menguatkan bagi pihak keluarga agar bisa dengan iklas melepaskan dan merelakan kepergian
almarhum ke alam kekekalan. Karena pada prinsipnya, ketika seseorang masih dikuasai rasa
duka, banyak nasehat tidaklah terlalu berarti56. Yang mereka butuhkan adalah kehadiran banyak
saudara menemani dan mendukung mereka agar mereka tidak merasa kesepian dan sendirian
melewati malam-malam yang hampa tanpa kehadiran almarhum57.
Kebanyakan dari kerabat dan warga masyarakat yang hadir dalam Jagongan akan mulai
meninggalkan rumah duka saat tengah malam tiba, hal ini mereka lakukan sebab esok harinya
mereka harus bekerja, hanya keluarga dekatlah yang biasanya bertahan sampai subuh.
Masyarakat Sembaturagung mengusahakan minimal selama seminggu atau 7 hari berturut rumah
duka tidak boleh terlihat sunyi atau sepi. Menurut penuturan Joko susilo58 supaya yang berduka
tidak merasa nglangut (terbawa dalam kesedihan yang mendalam karena merasa sendiri tanpa
ada yang menemani). Masyarakat menyadari bahwa kehilangan seseorang yang dicintai itu
meninggalkan kesedihan yang mendalam, apalagi jika kematian terjadi secara tragis atau tiba-
tiba, maka makin dalamlah rasa kesedihan itu. Itulah sebabnya masyarakat berusaha untuk
membantu dengan menemaninya melewati kesedihan tersebut59.
Jagongan kematian itu berarti segala bentuk bantuan yang dengan sukarela diberikan
oleh masyarakat saat menjelang proses pemakaman almarhum sampai dengan hadir di malam-
malam acara Selametan. Semua bentuk bantuan dan kehadiran kerabat, kenalan dan warga
masyarakat desa saat terjadi kematian merupakan sebuah bentuk pendampingan masyarakat
56 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 57 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 58 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 59 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.
23
secara komunal yang tumbuh dan berakar dari budaya lokal. Sebuah kearifan lokal yang ternyata
memberi dampak yang sangat baik bagi mereka yang sedang mengalami kedukaan. itulah
sebabnya tradisi jagongan ini tetap terpelihara dengan baik meskipun gempuran modernisasi
menyerang di berbagai bentuk budaya di dalam masyarakat60.
Di dalam Jagongan kita melihat bagaimana kearifan lokal mampu mempersatukan
segala lapisan masyarakat tanpa membedakan agama, suku, dan status sosial. Rasa kekeluargaan
dan solidaritas yang tinggi membuat masyarakat Sembaturagung berusaha untuk datang saat
mendengar ada berita meninggalnya salah satu warga mereka. Keinginan mereka untuk
membantu tercermin dari tanpa adanya perintah atau komando dari seseorang untuk melakukan
sesuatu, namun mereka seperti telah memiliki tugas masing-masing serta mengerti bagaimana
harus segera bertindak. Masyarakat tidak menuntut imbalan sedikitpun dari pihak keluarga yang
berduka, mereka iklas melakukan semuanya itu. Informan kami, Suwignyo61 menuturkan bahwa
sering terjadi, manakala yang meninggal kebetulan dari keluarga yang sangat sederhana maka
beberapa warga yang mampu secara finansial akan saweran atau iuran secara sukarela untuk
membantu semua kebutuhan bagi perawatan jenasah sampai pada memberi jamuan sederhana
bagi warga masyarakat yang akan Njagong pada malam-malam sesudah jenasah dimakamkan.
IV. PEMAKNAAN JAGONGAN.
Tradisi dalam upacara kematian ini merupakan peninggalan kebudayaan atau warisan
leluhur masyarakat setempat yang masih dibudayakan. Meskipun harus diakui bahwa seiring
perkembangan zaman, ada beberapa hal yang mulai dihilangkan. Yang dihilangkan bukan pada
tata cara atau makna dari pelaksanaanya namun lebih kepada peralatan atau properti yang diganti
dengan sesuatu yang lebih mudah ditemukan. Sebagai contoh, dahulu saat mau mencuci rambut
layon, masyarakat harus mencari merang (ujung batang dari tanaman padi yang dibakar) sebagai
bahan untuk keramas, namun sekarang cukup dengan membeli shampo yang lebih praktis. Jika
60 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 61 Wawancara dengan Suwignyo pada tanggal 17 Juni 2017. Suwignyo merupakan anggota BPD desa
Sembaturagung yang juga penggiat kesenian Jawa di Sembaturagung.
24
pada zaman dahulu, tempat untuk menutupi area memandikan jenasah (Nyuceni layon) harus
ditutup dengan gedek (anyaman dari bambu) atau kloso (Tikar yang terbuat dari anyaman daun
pandan), namun sekarang orang lebih praktis menggunakan selendang atau kain yang lebih lebar
dan panjang serta beberapa hal praktis lainnya62.
Tradisi Jagongan merupakan suatu bentuk tradisi yang selalu dilakukan masyarakat
Sembaturagung setiap kali terjadi kematian. Bagi masyarakat Sembaturagung, Jagongan
memiliki nilai atau falsafah hidup yang sangat mendalam.
4.1 Jagongan sebagai wujud guyup rukun atau gotong-royong.
Sebagai masyarakat yang tumbuh, hidup dan berkembang di pulau Jawa, warga
Sembaturagung sungguh-sungguh menghidupi nilai luhur warisan leluhur mereka yaitu
kebersamaan atau guyup rukun. Joko Susilo63 menuturkan: “Guyup rukun niku ngih, gotong-
royong lah menawi wonten ing istilah bahasa Indonesia.”. Penghayatan akan nilai inilah yang
membuat masyarakat dengan rela berjerih lelah membantu sesamanya, bukan hanya tenaga dan
waktu yang mereka berikan, bahkan harta merekapun rela mereka korbankan.
Sriyono64 menambahkan bahwa guyup artinya dilampahi kanthi sesarengan, sedangkan
rukun artinya dalam proses melakukannya, dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang
perbedaan. Sehingga guyup rukun ini dimaknai sebagai melakukan sebuah pekerjaan yang
dikerjakan secara bersama-sama dalam kerukunan tanpa melihat berbagai perbedaan, baik suku,
agama maupun status sosialnya.
Guyup-rukun dipahami sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut
terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang-orang
di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan,
62 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 63 Wawancara dengan Joko Susilo dilakukan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 64 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.
25
tenaga fisik, mental, spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasehat yang konstuktif,
bahkan sampai hanya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa65.
Budaya guyup-rukun dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni guyup-rukun
tolong-menolong dan guyup-rukun kerja bakti. Budaya guyup-rukun tolong menolong terjadi
pada aktifitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan perayaan dan pada peristiwa
bencana atau kematian. Sedangkan budaya guyup-rukun kerja bakti biasanya dilakukan untuk
mengerjakan sesuatu yang sifatnya untuk kepentingan umum, entah yang terjadi atas inisiatif
warga atau guyup-rukun/sambatan lain seperti memperbaiki rumah warga, membangun tempat
ibadah, membangun sarana umum untuk masyarakat (kerja bakti) dan lain sebagainya.66 Nilai
luhur guyup-rukun adalah sebuah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau
tindakan individu dimana saat dilakukan tanpa mengharapkan balasan, dilakukan secara
bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu67.
Setiap orang sadar bahwa kehilangan seseorang yang dicintai merupakan beban berat
yang harus ditanggung, ditambah lagi harus memberikan pelayanan kematian yang pantas bagi
almarhum sebagai tanda kasih dan penghormatan terakhir bagi almarhum. Tentu aja hal itu
semakin membuat beban keluarga yang berduka semakin bertambah. Belum lagi harus
mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan prosesi upacara pemakaman yang
membutuhkan persiapan dan dana yang juga tidak sedikit. Semuanya itu akan membuat beban
keluarga yang berduka semakin terasa berat. Untuk itulah anggota masyarakat yang lain, yang
tidak berduka atau mengalami kesedihan itu berusaha guyup rukun membantu meringankan
beban keluarga yang sedang berduka tersebut dengan menyiapkan segala hal yang dibutuhkan
bagi kebutuhan jenasah dan prosesi upacara pemakamannya serta segala hal yang dibutuhkan
keluarga yang berduka selama beberapa hari ke depannya.68 Masyarakat yang sadar akan kondisi
tersebut secara sukarela mengambil inisiatif untuk bergotong-royong atau guyup rukun
65 Wawancara dengan Zaman Madyo Admojo pada tanggal 23 Mei 2017 WIB. 66 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 67 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 68 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB.
26
meringankan beban keluarga yang sedang berduka. Itulah sebabnya Jagongan bagi masyarakat
di desa Sembaturagung dimaknai sebagai wujud kerjasama masyarakat secara bersama-sama
dalam meringankan beban saudaranya yang sedang berduka. Masyarakat Sembaturagung juga
sadar bahwa guyup rukun atau gotong-royong juga berperan sebagai perekat kerukunan diantara
sesama anggota masyarakat.
4.2 Jagongan sebagai wujud rasa paseduluran atau solidaritas.
Paseduluran adalah rasa kebersamaan, rasa kesatuan kepentingan, rasa simpati sebagai
salah satu anggota dari keluarga atau kelompok yang sama, atau juga bisa diartikan sebagai
perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok/komunitas yang dibentuk oleh kepentingan
bersama.69 Demikianlah masyarakat di Sembaturagung terikat dengan satu dengan yang lain
karena mereka tinggal dan hidup di area/wilayah yang sama, dengan tingkat kepentingan hidup
saling membutuhkan yang sama dan juga mempercayai nilai-nilai luhur budaya yang sama
juga70.
Sebagaian besar masyarakat Sembaturagung masih memiliki hubungan kekerabatan
atau kekeluargan. Dahulu saat populasi masyarakat masih sedikit, desa Sembaturagung awalnya
hanya dihuni puluhan kepala keluarga saja. Namun karena keluarga-keluarga ini terus beranak
cucu dari generasi ke generasi maka desa ini menjadi semakin banyak jumlah penduduknya
seperti sekarang ini71. Memang benar bahwa ada sebagian warga yang karena pendidikan,
pekerjaan dan pasangan hidup harus keluar dari desa ini, tetapi sebagian besar dari generasi ke
generasi menetap di desa ini72. Itulah yang membuat masyarakat Sembaturagung memiliki
kedekatan hubungan satu dengan yang lain sebab kebanyakan dari mereka terlahir dari keluarga-
keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Mereka mayoritas bersuku sama,
memiliki kebudayaan dan memahami nilai-nilai kehidupan yang sama.
69 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 70 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 71 Wawancara dengan Warjomo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB . 72 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.
27
Informan kami, Suci Rahayu menuturkan: “Kadospundi kula mboten nderek sisah
menawi rencang kula ingkang rinten lan dalu tansah sesarengan ing dusun menika nembe
nandhang kesrimpahan?Temtu kula nderek sisah, wong sampun kados sederek kok. 73 Hal itulah
yang membangun masyarakat ini memiliki rasa paseduluran/persaudaran yang kuat. Kesadaran
bahwa jika ada anggota yang menderita, maka anggota yang lain berkuwajiban untuk
menolongnya. Jika ada yang menanggung kedukaan maka anggota yang lainnya berkuajiban
mendampingi dan menopangnya supaya bisa bertahan melewati masa-masa krisis hidupnya.
Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat di Sembaturagung begitu kompak membantu
anggotanya yang sedang kesripahan atau mengalami kedukaan yang berat karena sebuah
kematian dengan berusaha membantu melakukan segala hal yang bisa meringankan beban
saudaranya tersebut.
4.3 Jagongan sebagai wujud tanggung jawab sebagai saudara.
Masyarakat yang tinggal di Sembaturagung kebanyakan masih memiliki keterikatan
atau hubungan darah meskipun jauh. Hal itulah yang membuat setiap orang seperti terikat satu
dengan yang lain dengan mengatakan bahwa “awake dewe iki sejatine iseh mambu sedulur,
senajan to wes adoh74” (kita ini sebenarnya masih ada hubungan darah meskipun sudah jauh).
Konsep inilah yang membuat warga Sembaturagung menganggap bahwa warga desa adalah
saudaranya. Mereka merasa saling memiliki satu dengan yang lain (ndarbeni).
Selain itu, mereka juga memiliki keterikatan emosional karena mereka menghabiskan
hidup bersama-sama di tempat atau desa yang sama75. Perasaan yang tumbuh karena selalu
bersama dalam waktu yang lama membuat mereka saling peduli dan memperhatikan sehingga
ikatan persaudaraan mereka menjadi sedemikian kuat. Kondisi seperti ini akan sangat berbeda
dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan atau perumahan yang mayoritas bertetangga
dengan warga pendatang. Masyarakat Sembaturagung yang lebih ke arah pinggiran memegang
73 Wawancara dengan Suci rahayu dilakukan pada tanggal 18 Juni 2017. 74 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017. 75 Wawancara dengan Joko Susilo dilakukan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.
28
teguh pemahaman bahwa tetangga dekat itu lebih baik dibanding saudara kandung yang jauh
tempat tinggalnya. Itulah sebabnya setiap orang di desa ini berusaha untuk menjadikan
tetangganya sebagai saudaranya. Mengapa demikian, sebab jika terjadi sesuatu maka yang
pertama kali datang menolong atau membantu adalah tetangga yang terdekat dari rumahnya76.
Tetangga adalah saudara terdekat kita, sebab merekalah yang selalu dengan cepat
membantu apapun yang menjadi kesulitan kita. Sebagai contoh, manakala ada musibah
kebakaran rumah, tetanggalah yang akan pertama kali menolong, bukan keluarga yang rumahnya
jauh dari kita.77 Pemahaman inilah yang membuat warga desa menempatkan sesamanya penting
di kehidupannya seperti saudara kandungnya sendiri. Itulah yang mendorong masyarakat untuk
rela bekerja keras serta bergotong-royong membantu sesamanya yang sedang dilanda dukacita.
Masyarakat bukan hanya rela memberikan waktu dan tenaga mereka guna membantu keluarga
yang sedang berduka karena kematian, jika diperlukan hartapun rela mereka sumbangkan.
4.4 Jagongan sebagai wujud bela raos kepada sesamanya yang sedang menanggung beban
dukacita.
Kehilangan orang yang dicintai merupakan sebuah gonjangan hidup yang tidak mudah.
Apalagi jika yang berpulang itu masih terbilang dalam usia yang relatif muda, ditambah lagi
bentuk kehilangannya terjadi secara mendadak seperti terkena musibah kecelakaan atau tiba-tiba
saja meninggal dunia. Tentu saja akan membuat rasa dukanya semakin berat dan mendalam.
Sebagai anggota masyarakat yang sudah lama hidup bersama dalam suatu komunitas tentu
menyadari bahwa kehilangan tersebut sangat menyakitkan78. Berangkat akan kesadaran akan hal
itu, maka masyarakat mencoba memposisikan diri di keadaan orang yang sedang mengalami
kedukaan tersebut, bagaimana rasa sedih dan hancurnya hati karena harus kehilangan serta
berpisah dengan orang yang dicintai, masyarakat ikut merasakan kesedihan (bela raos).
76 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 77 Wawancara dengan Suci Rahayu diadakan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 78 Wawancara dengan Zaman Madyo Admojo pada tanggal 23 Mei 2017 WIB.
29
Masyarakat bukan hanya menaruh simpati, tetapi juga empati terhadap setiap anggotanya yang
mengalami kematian. Informan Imawati menjelaskan bahwa:
“Sebagai sesama manusia dan anggota masyarakat, kita ikut merasakan kesedihan yang
mendalam juga (bela raos) manakala ada anggota warga kita yang meninggal dunia. Kita
juga ikut merasakan apa yang mereka rasakan, mencoba memposisikan diri kita seperti
mereka yang berduka, sehingga dengan demikian kita bisa membantu dan mendampingi
mereka dengan tulus, sebab kita tahu bahwa beban yang mereka sedang tanggung sangat
berat. Siapa lagi yang menjadi harapan dan kekuatan bagi mereka dalam menjalani
kesedihan ini kalau bukan kita? kita memang tetangganya, tapi kita juga adalah saudara
dekatnya.”79
Rasa itulah yang mendorong masyarakat untuk sesegera mungkin membantu anggota
masyarakat yang berduka. Bahkan, jika yang meninggal dari keluarga yang tidak mampu atau
miskin, maka akan ada beberapa tokoh masyarakat atau gereja yang akan menggerakkan
masyarakat untuk “patungan” atau melakukan iuran guna mencukupi semua kebutuhan upacara
pemakaman jenasah serta biaya untuk kebutuhan yang lain sesudah prosesi pemakaman selesai.
Apa yang menggerakan masyarakat untuk melakukan semunya itu? Rasa empati dan simpatilah
yang mendorongnya atau bela raos..
4.5 Jagongan sebagai wujud “ Mulad sarira hangkrasa wani”.
Pemaknaan berikutnya yang dihidupi oleh masyarakat Sembaturagung adalah “ Mulad
sarira hangkrasa wani”. Secara sederhana dapat diartikan kalau seandainya hal itu terjadi di
hidup saya. Secara sederhana mungkin pemaknaan ini hampir sama dengan rasa empati, namun
perasaan ini jauh lebih dalam dan lama. Rasa empati secara sederhana dapat diartikan sebagai
mengerti perasaan atau pengalaman orang lain, dan merasakannya sesaat seakan-akan anda
sendiri yang merasakan80, namun makna “ Mulad sarira hangkrasa wani” itu menempatkan
seseorang yang pasti akan mengalami kedukaan seperti orang yang sedang dia bantu. Dwi
Kristiyono81 menjelaskan makna ini dengan sebuah kalimat sederhana:
“Besuk kalau keluargaku ada kesusahan, saya juga butuh orang lain untuk membantu dan
menemani saya melewati masa-masa sulit itu. Karena itu, mumpung sekarang saya bisa
79 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017. 80 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 81 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB.
30
menolong orang lain yang sedang kesusahan, maka saya akan berusaha semampu saya
untuk membantunya, karena apa yang ditanam baik, baik pula yang akan didapatnya
kelak”.
Masyarakat Sembaturagung percaya bahwa apa yang ditaburkan baik, maka kelak akan
menuai baik juga. Apabila sekarang menghibur mereka yang susah, maka kelak ketika
mengalami kesusahan, maka akan ada orang yang menghiburnya juga. Setiap orang sadar bahwa
kemalangan dan malapetaka bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja, itulah sebabnya
mengapa masyarakat menyadari pentingnya saling membantu dan saling menolong diantara
sesamanya yang sedang menanggung kemalangan atau kesusahan. Kesadaran akan hal itu
membuat masyarakat menjadi peduli akan kesusahan sesamanya.
Mulad sarira hangrasa wani sebagai nilai diri masyarakat.
Masyarakat Jawa memiliki pepatah hidup “aja rumangsa bisa nanging bisaa
rumangsa”, jika diuraikan secara literal akan memiliki maksud aja senang rumangsa bisa yen
durung bisa, nanging bisaa ngrumangsani yen durung bisa, nduwenan sifat rumangsaa seng
jero. Artinya setiap orang Jawa diharapkan agar jangan merasa bisa atau mampu, tetapi bisalah
(dapatlah) merasa (mengakui) bahwa dirinya belum bisa. Intinya jadilah orang yag rendah hati,
tidak sombong dan kesadaran bahwa seperti apapun kita, kita tetap membutuhkan orang lain.
Pepatah inilah yang mengantarkan orang Jawa pada kesadaran bahwa setiap manusia tidak bisa
hidup tanpa orang lain, mereka memerlukan bantuan orang lain dan saling ketergantungan satu
dengan yang lain82. Apabila orang Jawa sudah kehilangan nilai diri ini maka akan disebut
sebagai wong jawa seng ilang jawane83.
Mulad sarira hangrasa wani sebagai identitas diri. Mulad sarira hangrasa wani
berasal dari tiga suku kata utama yaitu sarira yang berarti badan/tubuh/diri sendiri, hangrasa
yang berarti merasa, wani yang berarti berani. Sehingga mulad sarira hangrasa wani artinya
berani melihat diri sendiri (menempatkan diri sendiri dengan segala kekurangan dan
82 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 83 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Juni 2017 WIB.
31
kelemahannya) sehingga selalu siap menerima masukan dan evaluasi84. Pepatah ini kemudian
menyadarkan orang Jawa bahwa diri ini adalah manusia lemah (jalma sawantah/ hanya ciptaan
Tuhan yang fana). Falsafah ini menolong orang Jawa untuk bisa intropeksi diri (mawas diri)
serta menempatkan diri dengan benar serta tepat (ngerti empan lan papan) kemudian dilanjutkan
dengan berani mengambil sikap yang benar seperti filosofi yang dipahami tadi.
Masyarakat Jawa menyadari betul bahwa dirinya adalah manusia biasa (jalma
sawantah), yang lemah dan terbatas. Mereka menyadari bahwa dirinya tidak bisa hidup sendiri
dan akan selalu butuh orang karena pada dasarnya hidupnya bergantung kepada orang lain.
Mereka juga sadar bahwa sebagai mahkluk yang lemah, suatu saat pasti akan mengalami
kematian sebab kematian sudah menjadi takdirnya (pinesti dening Gusti). Kesadaran tersebut
menggiring masyarakat Jawa kepada rasa peduli kepada sesamanya yang sedang menerima
kedukaan (duhkita) karena sebuah kematian yang juga suatu saat akan mendatanginya. Rasa
peduli yang ditumbuhkan karena pemahaman mulad sarira angrasa wani membuat masyarakat
Jawa memperlakukan sesamanya yang sedang berduka seperti saudaranya sendiri85. Pemahaman
Mulad sarira hangrasa wani ini kemudian mengarahkan kepada pencarian terbesar orang Jawa
mengenai hakekat kehidupan manusia, yaitu mengetahui dengan tepat mengenai sangkan parane
dumadi. Apa itu sangkan parane dumadi? Sangkan-paraning dumadi adalah sebuah pandangan
hidup orang Jawa yang yang membicarakan mengenai asal usul dan tujuan segala sesuatu yang
ada di dunia ini.86
Pengertian yang paling mendasar mengenai sangkan dan paran sebenarnya merujuk
kepada keyakinan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan kelak akan kembali kepada
Tuhan.87 Oleh karena itu mereka menyadari bahwa suatu saat kematian pasti mendatangi setiap
orang. Kedatangan kematian tersebut seperti pencuri yang tidak bisa diantisipasi atau dihindari,
jika sudah datang tidak bisa ditolak dan jika sudah menjemput tidak bisa menghindar.
84 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 85 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 86 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 87 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.
32
Kedatangan sang kematian dipahami orang Jawa mendatangkan kedukaan bagi keluarga yang
mengalaminya sebab hal itu berarti bahwa batas perjumpaan secara fisik berakhir. Setiap
peristiwa kematian yang terjadi dalam lingkungan jemaat ataupun masyarakat akan menyita
perhatian semua warga tanpa terkecuali, mereka akan datang untuk memberi dukungan dan
bantuan bagi keluarga yang berduka sebab perpisahan tersebut adalah beban yang tidak mudah
untuk ditanggung. Masyarakat sadar bahwa beban duka itu berat, sama seperti pemahaman
bahwa suatu saat mereka akan mengalami beban duka yang sama dan mereka membutuhka
dukungan serta bantuan dari sesamanya maka mereka akan memulainya terlebih dulu.
Seandainya saja ada seseorang atau keluarga yang jarang njagong kepaten, maka para tetangga
akan berucap tentang orang tersebut atau keluarga tersebut: Apa wong kui ora bakal mati a ?
(Apakah orang itu tidak akan meninggal dunia) atau saupama keluargane ana seng kapundut,
kira-kira bakal butuh tangga apa ara? (Seandainya ada anggota keluarganya ada yang
meninggal dunia, kira-kira membutuhkan bantuan orang lain apa tidak).88 Bagi mereka yang
tidak atau kurang peduli dengan kondisi sesamanya yang sedang berduka, masyarakat
memberikan sebutan wong Jawa seng ora njawani (orang Jawa yang sudah kehilangan jati diri
atau nilai dirinya sebagai orang Jawa). Apa yang masyarakat lakukan ini akhirnya menghasilkan
solidaritas yang semakin kuat. Sebab mereka terikat secara kuat dengan nilai diri yang mereka
hidupi.
Mulad sarira hangrasa wani sebagai penggerak kepedulian sosial. Kehadiran
kerabat, jemaat dan masyarakat dalam acara njagong kepaten ini karena mereka digerakan oleh
nilai diri bahwa saya harus membantu sesama saya yang berduka sebab suatu saat ketika saya
sedang berduka, saya juga membutuhkan sesama saya untuk membantu saya. Kesadaran bahwa
masyarakat membutuhkan sesamanya membuat masyarakat mempedulikan sesamanya. Njagong
kepaten dipahami masyarakat sebagai sebuah tradisi atau budaya yang membantu masyarakat
menghayati arti “hidup bersama” sebagai sebuah komunitas. Kesadaran secara kolektif atau
88 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.
33
bersama ini terbangun atas dasar kepercayaan yang sama atau sentimen bersama sehingga
mereka saling terikat satu dengan yang lain.89 Jagongan kepaten ini kemudian meleburkan
perbedaan antar keluarga, antar status sosial, dan antar kepercayaan. Masyarakat yang hadir
tidak lagi memperhitungkan ini dari keluarga siapa dan agamanya apa, yang mereka pahami
adalah mereka harus segera membantu sesamanya yang sedang berduka. Rasa peduli yang
muncul dari nilai diri yang mereka hidupi menggerakan masyarakat sesegera mungkin
menghadiri rumah duka dengan tujuan agar secepat mungkin menemani sesamanya yang sedang
berduka. Rasa peduli ini juga yang menggerakan masyarakat untuk tidak tanggung-tanggung
menyumbangkan tenaga, waktu, pikiran dan juga uang mereka.
Kedatangan masyarakat ke rumah duka dalam proses njagong kepaten ini apakah bisa
dianggap sebagai upaya agar mendapat balasan/agar orang lain kelak membalas apa yang sudah
mereka lakukan (upaya untuk mendapatkan balas budi)? Bisa dikatakan unsur balas budi itu ada,
sebab memang masyarakat Sembaturagung mempercayai kalau yang ditanam baik, pasti juga
akan ngundhuh (menuai) yang baik pula. Ketika mereka membantu, mendukung, menopang dan
menguatkan sesamanya yang berduka, maka suatu saat ketika sang duka menerpa hidupnya
maka anggota masyarakat yang lainpun akan membantu, mendukung, menopang dan
menguatkannya. Njagongan kepaten bukan hanya melunturkan sentimen atas keperbedaan
namun juga melahirkan rasa kepedulian secara komunal sehingga masyarakat secara kolektif
bisa memberikan dukungan, topangan dan usaha untuk menguatkan sesamanya yang sedang
digunjang oleh peristiwa kematian.
V. RANGKUMAN.
Secara keseluruhan, isi Bab ini telah dipaparkan dengan fokus pada serangkaian hasil-
hasil temuan di lapangan, sebagai data empiris yang diperlukan bagi penulisan tesis ini. Adapun
beberapa hal penting, yakni sebagai berikut:
89 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.
34
Pertama, Tradisi Jagongan atau Njagong kepaten merupakan sebuah tradisi yang lahir
dari kearifan lokal dimana masyarakat berusaha untuk memberikan dukungan dan pendampingan
kepada anggota warganya yang sedang mengalami kedukaan karena meninggalnya anggota
kerabatnya. Meskipun agak sulit untuk menentukan kapan secara tepat tradisi ini mulai
dikembangkan dan dilakukan oleh masyarat Jawa di Sembaturagung, namun yang pasti bahwa
tradisi Njagong kepaten ini dihidupi dan dijiwai dengan kuat oleh masyarakat Sembaturagung
sampai sekarang ini.
Kedua, pelaksanaan Jagongan ini merupakan sebuah bentuk kepedulian masyarakat
kepada sesamanya yang sedang menanggung beban hidup karena kehilangan seseorang yang
mereka cintai. Kehadiran masyarakat yang dengan segera membantu menyiapkan segala sesuatu
yang dibutuhkan bagi persiapan prosesi pemakaman dan acara sesudahnya membuat keluarga
yang berduka sangat tertolong. Selain itu, selama proses persiapan sampai proses pemakaman
jenasah berjalan, di sana dapat dijumpai adanya rasa kebersamaan, persatuan dan kerjasama yang
baik, yang tidak memandang suku, agama maupun strata sosial antar sesama. Semuanya bekerja
sama untuk membantu saudaranya yang sedang berduka.
Ketiga, Jagongan dimaknai bagi masyarakat sebagai wujud guyup rukun atau gotong-
royong sesama masyarakat di Sembaturagung. Ini adalah usaha masyarakat secara komunal
untuk memberikan bantuan kepada sesamanya yang sedang kesusuhan. Jagongan juga sebagai
wujud solidaritas sesama anggota masyarakat. Mereka yang tinggal, tumbuh dan hidup bersama-
sama di desa yang sama membuat setiap anggota masyarakat memiliki rasa keterikatan
emosional yang kuat.
Jagongan dimaknai sebagai mulad sarira hangrasa wani dimana mereka sadar bahwa
suatu saat mereka pasti akan mengalami kesedihan seperti yang sedang dialami oleh saudaranya
sehingga mereka akan membantu saudaranya dalam menanggung beban kedukaan tersebut.
Mulad sarira hangrasa wani menjadi identitas masyarakat yang ada di Sembaturagung,yang
kemudian menggerakan mereka untuk memiliki rasa peduli secara komunal atas kedukaan yang
35
dialami oleh anggotanya. Perasaan mereka yang menganggap bahwa sesamanya sebagai saudara
membuat mereka rela membantu tanpa pamprih apapun sebab mereka sadar bahwa tetangganya
adalah saudara dekat mereka yang akan sewaktu-waktu menolong mereka manakala mereka
sedang membutuhkan pertolongan. Masyarakat sadar bahwa peristiwa kematian dan kedukaan
pasti akan dialami oleh setiap manusia termasuk dirinya, itulah sebabnya mereka dengan
sukacita membantu dan mendampingi anggota masyarakat yang sedang berduka karena suatu
ketika, mereka juga akan membutuhkan bantuan dari sesamanya.