BAB III
GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BANDUNG
3.1 PD. Kebersihan Kota Bandung
Perusahaan daerah ini dibentuk berdasarkan Perda No. 02 tahun 1985 tentang
Pembentukan Perusahaan Daerah Kebersihan Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung.
Lalu dilakukan perubahan pada perda pembentukan tersebut untuk mengakomodir
penambahan modal dasar (dari aset BUDP). Dalam menentukan tarif retribusi atau jasa
pelayanan persampahan, PD. Kebersihan memiliki dasar pertimbangan, yaitu Keputusan
Walikota Bandung No. 644 Tahun 2002.
Program kerja PD. Kebersihan Tahun 2007 terdiri dari 9 kebijakan strategis yang
masing-masing memiliki rencana implementasinya. Program kerja tersebut antara lain :
a Meningkatkan kualitas SDM dan kesejahteraan pegawai
Mengikuti dan melaksanakan Diklat Internal dan Eksternal lingkup Bidang
Operasional dan Manajemen
Peningkatan status pegawai harian, serta perbaikan kesejahteraan pegawai;
perbaikan struktur gaji, tunjangan pelaksana, hari raya, beras dan air susu.
b Peningkatan pendapatan jasa kebersihan
Optimalisasi penagihan khusus rumah tinggal melalui pelayanan praktis dan
meningkatkan kerjasama dengan RW
Usulan penyesuaian tarif jasa kebersihan
Intensifikasi dan ekstensifikasi penagihan
c Peningkatan operasional pelayanan
Pengembangan operasional penyapuan tujuh titik
Pengembangan wilayah operasional dari 3 wilayah (Barat, Tengah, dan Timur)
menjadi 4 wilayah (Barat, tengah, timur, dan Utara)
d Peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana
Pengadaan tong sampah pejalan kaki 1000 unit
Pengadaan turk Arm Roll 10 m3
Pengadaan kontainer 10 m3
Pengadaan Well Loader 1 unit
Perbaikan dan pembuatan sarana TPS 5 lokasi
Pembuatan drainase dan tanggul penahan di TPA Cicabe
21
e Rekondisi TPA yang ada, serta perbaikan operasional TPA Sarimukti-Cipatat
Rekondisi TPA yang ada; penataan dilingkungan TPA dan penghijauan
Penataan TPA Sarimukti; pembuatan kolam Imdi, tempat curah/manuver truk,
pemasangan pipa gas, penataan drainase, perbaikan jalan operasi,
pengomposan, pengaturan pemulung, Perencanaan Teknis dan AMDAL.
f Sosialisasi dan implementasi program 3 R
Pemilahan dan pengolahan plastik melalui kerjasama dengan CV. Fajat, daru
ulang plastik menjadi tong sampah
Pengomposan dengan Bitari
Uji coba pembakaran sampah dengan Asro Riset
Pengolahan sampah menjadi energi listrik kerjasama dengan PT. BRIL
g Sosialisasi program peran serta pmasyarakat dan meningkatkan peran serta swasta
dibidang pengelolaan sampah
Penyuluhan melalui RW, kelurahan, dan kecamatan
Penyuluhan melalui media cetak dan elektronik
Peningkatan kerjasama dengan RW
Menjalin kepedulian dan mengajak pihak swasta dalam berbagai pengelolaan
kebersihan
h Penerapan sanksi hukum Perda K3 No. 3 Tahun 2005 Jo Perda No. 11 Tahun 2005
Sosialisasi Perda K3 No. 11 Tahun 2005 melalui buletin
Brosur dan liplet tentang K3
Pelatihan dan pembekalan juru sapu serta staf berkaitan dengan pelaporan
pelanggaran K3
Pengadaan sarana dan prasarana TPS di tempat-tempat tertentu
i Pengelolaan sampah menjadi energi listrik (waste to energy) kerjasama dengan PT.
BRIL
MoU telah dilaksanakan dan di Addendum
Penetapan lokasi sesuai RDTRK Gedebage
Studi kelayakan sedang dikerjakan oleh ITB
Amdal akan dilaksanakan
Sosialisasi dilakukan oleh Tim Sosialisasi Kota Bandung
Perjanjian kerjasama dan perijinan
Pembangunan
22
TABEL III.1
JUMLAH TRUK TAHUN 2007
Kapasitas Truk WO. Utara WO. Barat WO. Selatan WO. Timur Total Kondisi Baik: 10 m3 18 17 14 13 626 m3 3 9 11 7 30Jumah I 21 26 25 20 92Kondisi Rusak: 10 m3 0 2 4 0 66 m3 0 0 1 2 62Jumlah II 0 2 5 2 62Total I + II 21 28 30 22 101
Sumber : PD. Kebersihan Kota Bandung, 2007
3.2 Sejarah Pengelolaan Sampah Kota Bandung
Sistem pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir yang digunakan oleh
Kota Bandung berupa sistem open dumping. Sistem open dumping ini yaitu dibuang ke
landasan kemudian didorong oleh alat berat hingga ke jurang. Lahan yang dibutuhkan
untuk melakukan pengolahan dengan sistem ini juga cukup besar, karena sampah
dibiarkan begitu saja tanpa ada pengolahan untuk mengurangi jumlah sampah yang
dibuang. Menurut Kepala UPTD Kebersihan Kota Cimahi Sutisna Sumantri, S.T. dan
Kasubsi Pengaturan TPA PD Kebersihan Kota Bandung Riswanto, open dumping
merupakan sistem yang paling buruk dilakukan. Namun, sistem ini sebagian besar
diterapkan di TPA di Indonesia. Padahal, dengan sistem ini, aliran air licit atau air lindi
yang berasal dari sampah bisa menimbulkan pencemaran bagi lingkungan di sekitarnya,
termasuk bau dan lalat.
Kota Bandung mempercayakan pembuangan sampah kota menuju Kecamatan
Cimahi Selatan. Di kecamatan tersebut terdapat TPA Leuwigajah yang memiliki luas 25,1
Ha. TPA Leuwigajah tidak hanya digunakan oleh Kota Bandung saja, Kabupaten
Bandung, dan Kota Cimahi juga ikut membuang sampah mereka ke TPA tersebut.
Berdasarkan data di UPTD Kebersihan Kota Cimahi dan Kantor Pengaturan TPA
Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, ribuan sampah dari Kota Bandung, Kab.
Bandung, dan Kota Cimahi setiap harinya dibuang ke TPA itu. Rata-rata, sampah dari
Kota Bandung itu mencapai 2.700 m3/hari, Kab. Bandung sebanyak 700 m3/hari, dan
Kota Cimahi sebanyak 400 m3/hari. Jika ditotal setiap harinya, setidaknya sampah yang
23
dibuang ke TPA Leuwigajah mencapai 3.800 m3/hari. Jika dikalikan setahun atau 365 hari
sudah menapai 1.387.000 m3.
TABEL III.2
TIMBULAN SAMPAH PER MINGGU
DI 158 TPS KOTA BANDUNG No. TPS WO. Utara WO. Barat WO. Selatan WO. Timur
1 42 42 20 30 2 70 70 20 70 3 70 70 42 140 4 42 70 70 170 5 140 42 70 140 6 70 30 40 140 7 70 40 30 18 8 42 70 70 70 9 140 10 70 18
10 140 70 40 18 11 18 70 42 140 12 42 140 18 210 13 30 70 70 6 14 70 140 24 12 15 140 42 42 20 16 210 70 280 18 17 70 70 126 70 18 30 70 10 30 19 20 70 126 70 20 140 84 70 20 21 140 70 40 30 22 20 70 70 20 23 20 140 70 12 24 20 20 20 12 25 20 18 70 12 26 70 42 20 280 27 70 42 40 12 28 70 42 70 70 29 30 70 42 140 30 70 70 42 . 31 70 42 40 . 32 210 210 170 . 33 140 70 210 . 34 30 42 42 . 35 140 210 350 . 36 30 70 70 . 37 . 42 70 . 38 . 70 40 . 39 . 40 42 . 40 . 42 24 . 41 . 42 10 . 42 . 42 18 . 43 . 30 70 . 44 . 42 18 . 45 . 42 . . 46 . 70 . .
24
47 . 70 . . 48 . 10 . . 49 . 40 . .
Sumber : PD. Kebersihan Kota Bandung, 2007
TPA Leuwigajah sudah digunakan sejak tahun 1987, dan pada tahun 2005
diperkirakan hanya bertahan hingga tahun 2010. Ribuan kubik sampah yang ada sama
sekali tidak dikelola dengan baik. Sampah-sampah itu hanya dibuang ke jurang. Tak
heran, jika muncul prediksi bahwa usia TPA hanya lima tahun lagi. Bagaimana tidak?
Selama itu pula, pembuangan jutaan kubik sampah tidak diimbangi dengan pengelolaan
yang maksimal. Akibatnya, polusi udara dan pencemaran lingkungan selalu dikeluhkan
masyarakat di sekitarnya, baik itu warga RW 10 Kampung Cireundeu Kelurahan
Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan atau pun Kampung Cilimus Desa Batujajar Timur Kec.
Batujajar, Kab. Bandung yang berbatasan langsung dengan lokasi sampah.
Pada tanggal 22 Februari 2005 TPA Leuwigajah mengalami bencana longsor.
Belum juga rencana pengelolaan TPA Leuwigajah secara terpadu direalisasikan, bencana
longsor datang mendahului. Seperti biasa, rencana tinggal rencana karena perencanaan
acap kali didahului bencana yang sebetulnya sudah jauh-jauh hari diprediksi para ahli dan
akademisi yang melakukan penelitian di sana, termasuk pengelolanya sendiri.
Setelah bencana longsor tersebut, Kota Bandung kewalahan dalam menangani
penumpukan sampah di TPS-TPS yang tersebar. Hampir 2 minggu lamanya sampah
menumpuk karena tidak tahu harus dibuang kemana. Langkah sementara yang diambil
Pemerintah Kota Bandung untuk mengatasi penumpukan sampah di TPS-TPS adalah
membuat lubang di beberapa tempat. Namun cara tersebut tidak bisa digunakan terlalu
lama karena jumlah sampah yang telah menumpuk sudah terlalu banyak.
Menjelang peringatan Konferensi Asia-Afrika 2005, lokasi TPA bagi sampah dari
Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung ditetapkan di area seluas 24 hektare
di kawasan hutan Perhutani di Cigedig. Untuk aspek legal penggunaan lahan tersebut
Perhutani Jabar-Banten dan Pemprov Jabar menadatangani nota kesepahaman (MoU)
bernomor 658.1/14/Desen-31/SJ/ Dir/2006. Dalam surat yang ditandatangani Direktur
Utama Perhutani Dr Transtoto dan Gubernur Jabar H Danny Setiawan dinyatakan bahwa
penggunaan lahan dalam kawasan hutan dalam wilayah administratif Kuasa Pemangkuan
Hutan Bandung Utara itu berlaku mulai Agustus 2006 hingga satu tahun ke depan, atau
berakhir sekitar Agustus 2007.
25
Dalam MoU itu juga disebutkan, penyediaan TPA Sarimukti, selain dimaksudkan
sebagai TPA di sana juga akan dilakukan pengolahan sampah menjadi kompos. Ini antara
lain untuk mengatasi masalah-masalah gangguan terhadap lingkungan yang ditimbulkan
akibat penampungan sampah. Soal anggaran untuk membangun unit pengolahan sampah
menjadi kompos ini dinyatakan akan dibiayai APBD Kota Bandung, Kota Cimahi, dan
Pemprov Jabar. Menanggapi ihwal belum terealisasinya pengolahan sampah menjadi
kompos di TPA Cigedig Sarimukti ini, Kepala Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-
Banten Ir Moh Komarudin sangat prihatin. Sebab, dalam MoU dinyatakan bahwa di TPA
Cigedig akan ada unit pengolahan sampah yang diproses menjadi kompos.
Disebutkan Komarudin, jika memang Pemprov Jabar tidak serius, bisa saja tempat
tersebut ditutup dan dikembalikan pada fungsinya sebagai hutan setelah MoU habis masa
berlakunya sekitar Agustus 2007. Pihak Perhutani, menurut dia, menyediakan lahan di
kawasan hutan untuk TPA tersebut semata-mata karena kepeduliannya akan lingkungan
dan kebersihan suatu daerah. Tentang masih belum adanya tanda-tanda perealisasian unit
pengolahan sampah menjadi kompos di TPA Cigedig ini, Komarudin menilai sebagai
ketidakseriusan ketiga pemerintah daerah dalam menangani sampah di Cigedig. Karena
itu, area kawasan hutan seluas 24 hektare di Cigedig itu kini menjadi tidak jelas
keberadaannya. Apakah lokasi itu akan digunakan sesuai MoU atau kemudian
ditinggalkan begitu saja. Perhutani, untuk penyediaan lahan tersebut, kata Komarudin,
sudah mengeluarkan uang sedikitnya Rp 539 juta. Kini penggunaan TPA Sarimukti telah
diperpanjang hingga tahun 2009, namun setelah itu, rencananya, tidak akan ada
perpanjangan lagi.
Setelah 2009, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi harus
berusaha mencari cara agar sampah tidak menumpuk di wilayah mereka. Kota Bandung
memilih bekerjasama dengan pihak swasta PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) untuk
membangun pabrik pengolahan sampah menjadi energi listrik (waste to energy/PLTS).
PLTS yang dibangun di tengah kota yang menerapkan teknologi canggih ini tidak akan
menimbulkan gangguan bau, seperti halnya di negara-negara maju, Malaysia, Amerika,
Inggris dan RRC. Sejak ditandatanganinya perpanjangan nota kesepahaman pada 28
Agustus 2006, PT BRIL bekerjasama dengan ITB, melakukan studi kelayakan.
Pembangunan pabrik pengolahan sampah di Gedebage itu sejalan dengan projek terpadu
di Bandung Timur yang direncanakan Pemkot Bandung. Projek lain yang akan dibangun
di kawasan itu adalah pembangunan sarana olah raga yang diperkirakan menelan biaya Rp
26
200 miliar dan pembangunan terminal Rp 200 miliar. Menurut Walikota Bandung, dari 35
ha areal yang ditawarkan pemilik lahan untuk pabrik pengolah sampah, yang sudah
dibebaskan investor seluas 20 ha. Menurut rencana, 5 ha untuk pabrik, 5 ha daerah hijau,
dan 10 ha ring belt.
Namun PT BRIL belum memutuskan apakah akan tetap berinvestasi dalam
pembangunan PLTS. PT BRIL masih menunggu keseluruhan hasil kajian tim Feasibility
Studi (FS) PLTS. Saat ini, tim baru menemukan fakta bahwa produksi sampah Kota
Bandung hanya 500 ton atau 2.000 m3/ hari, bukan 7.500 m3/hari seperti yang kerap
diungkapkan PD Kebersihan Kota Bandung. Volume sampah itu dinilai memberatkan
pihak investor. Pasalnya, dengan bahan baku 500 ton hanya mampu diubah menjadi energi
listrik sebesar 10 megawatt. Sementara, nilai investasi untuk menghasilkan daya 10
megawatt tidak jauh berbeda dengan nilai untuk menghasilkan 30 megawatt, yang
membutuhkan dana Rp 500 miliar. Kondisi itu akan berpengaruh pada kecepatan
tercapainya break event point (BEP). Harapan PT. BRIL, BEP tercapai lima sampai
delapan tahun. Jika lebih dari itu, not oke. Kapasitas produksi listrik, berbanding lurus
dengan kecepatan waktu tercapai BEP.
Di lain pihak, Sekretaris Daerah Kota Bandung Edi Siswadi meminta agar tidak
mencemaskan jumlah produksi sampah Kota Bandung. Berdasarkan hasil penelitian tim
FS, potensi sampah di kota masih ada sekira 300-500 ton yang belum terangkut PD
Kebersihan. Dengan merevitalisasi PD Kebersihan, melengkapi sarana-sarananya, saya
minta perubahan skenario dari 30 megawatt menjadi 10 megawatt dulu. Pemerintah Kota
Bandung kemungkinan besar akan mendatangkan sampah dari luar wilayah Kota
Bandung. Keuntungan lain dari pelaksanaan bertahap ini, kenaikan retribusi yang akan
dibebankan kepada masyarakat tidak akan terlalu drastis.
Rencana pembangunan PLTS menyebabkan warga terbelah dua. Satu pihak
bersikeras menolak, sementara pihak lainnya menyetujuinya dan meminta agar rencana itu
segera direalisasikan. Warga yang menolak tergabung dalam Aliansi Rakyat Tolak
Pemaksaan Pabrik Sampah di Permukiman (ARTP2SP). Adapun yang setuju dengan
PLTS tergabung dalam Gerakan Pemuda Putra Daerah (Gempur). Adanya pro dan kontra
terhadap rencana pembangunan PLTS di kawasan Bandung Timur Gedebage, menurut
Sekda Kota Bandung, merupakan hal yang wajar akibat dari perbedaan persepsi. Persoalan
pro dan kontra tidak perlu dikhawatirkan, bahkan harus menjadi pendorong pemerintah
untuk bekerja lebih giat dan semangat dalam rangka meningkatkat pelayanan khususnya
27
dalah hal persampahan. Yang terpenting adanya trensparansi jasa tentang azas manfaat.
Prospek dan kepentingan untuk masyarakat disampaikan secara jujur dan ikhlas.
Pembangunan pabrik pengolahan sampah bukan untuk kepentingan pemerintah, apalagi
pejabat. Untuk mengatasi pro dan kontra ini, Pemkot telah siap mengadakan MoU dengan
warga Rancasari. Untuk permintaan warga akan dibicarakan secara baik-baik, diusahakan
tidak terjadi konflik vertikal maupun horizontal.
Mengenai masalah akses, akan dihindari melalui permukiman warga. Yang paling
mungkin adalah menggunakan akses jalan tol dari KM 149,4 karena kebetulan ada rencana
pembuatan interchange di titik itu. Konsekuensinya, pemkot dan investor harus
membangun jalan dari titik itu menuju lokasi sepanjang dua kilometer. Rencana
pembangunan akses jalan tol ke Gedebage telah mendapat sinyal positif dari Menteri
Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar,
Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, dan Kepala Bappenas, Paskah
Suzetta. Untuk mempercepat pelaksanaan rencana pembangunan kases jalan ke PLTS itu,
wali kota segera mengusulkan kepada DPRD Kota Bandung untuk menganggarkan biaya
pembebasan lahan dan pembangunan jalan sebesar Rp 30 miliar dalam APBD perubahan
tahun 2007. Ditargetkan tahun 2008 projek tersebut sudah bisa dimulai. Jalan yang akan
dibangun dimulai dari KM 149,4 Jalan Tol Padaleunyi dengan panjang jalan yang
menghubungkan jalan tol dengan lokasi PLTS itu 2,5 km dan lebar 15 meter.
3.3 Pengangkutan Sampah di Kota Bandung
Langkah-langkah pengelolaan kebersihan yang dilakukan oleh PD. Kebersihan
dilaksanakan setelah sampah terkumpul di TPS-TPS. Sistem yang mengharuskan
melakukan pengumpulan sampah terlebih dahulu di TPS disebut dengan sistem tidak
langsung atau komunal. Kegiatan pengumpulan dan pengangkutan sampah dari sumber
sampah/pemukiman hingga TPS menjadi tanggung jawab masyarakat yang
dikoordinasikan oleh RT/RW, LKMD atau LSM secara swadaya dan swakelola. Alat yang
dipakai dalam pengangkutan sampah dari sumber ke TPS adalah hand cart (gerobak
tangan), yang memerlukan paling sedikit satu orang untuk menariknya. Menurut data
mengenai tingkat pelayanan persampahan di Kota Bandung, masyarakat merasa bahwa
kondisi hand cart pada umumnya sudah mencapai kondisi yang kurang baik, sebab
terkadang ada sampah yang berserakan keluar dari hand cart. Selain itu masyarakat juga
merasa bahwa jumlah petugas yang melakukan pengangkutan dari sumber ke TPS masih
28
kurang. Kemungkinan disebabkan jarang ada yang mau bekerja sebagai petugas sampah.
Kesejahteraan sebagai petugas sampah kurang dapat terjamin, sementara terkadang
petugas harus bekerja setiap hari dan ditemani dengan benda-benda yang berbau dan
menjijikan. Karena kondisi kerja yang seperti itu, maka sudah menjadi sesuatu yang biasa
apabila penampilan dari petugas sampah pun terlihat kurang baik, kalaupun memakai
seragam tetapi kondisi dari seragam yang mereka kenakan biasanya kumal dan dekil.
TPS-TPS yang ada di Kota Bandung terbagi dalam dua tipe yaitu steel container
(kontainer besar) serta bak-bak komunal yang dibangun permanen, keduanya biasa terletak
di pinggir jalan. Ukuran dari TPS kontainer terbagi dua jenis yaitu 6 dan 10 m3, untuk
peletakkannya dibutuhkan landasan permanen sekitar 20 sampai 25 m2. Karena kesulitan
mendapatkan lahan, kontainer biasanya diletakkan pada lahan yang tersedia tanpa
memperdulikan ukuran dari lahan tersebut. Sementara ukuran bak komunal sangat
tergantung pada lahan yang tersedia. Peletakan TPS seharusnya tidak mengganggu arus
lalu lintas, namun di Kota Bandung beberapa TPS telah menyebabkan hambatan dalam
lalu lintas terutama saat proses pengambilan oleh truk pengangkut sampah.
Pada bak sampah di sumber ataupun di TPS biasanya terjadi sedikit perubahan
dalam jumlah sampah. Terdapat suatu sistem pengelolaan yang disebut Prof. Enri
Damanhuri sebagai sistem informal. Sistem ini terbentuk karena adanya dorongan
kebutuhan sebagian masyarakat untuk bertahan hidup yang secara sadar atau tidak sadar
telah ikut berperan dalam penanganan masalah persampahan di Kota Bandung. Sistem
informal memandang sampah sebagai sumber daya ekonomi, keuntungan didapatkan
melalui proses pemungutan, pemilahan, dan penjualan sampah untuk didaur ulang. Sistem
ini melibatkan pemulung, bandar pengumpul sampah, dan industri daur ulang.
Pengangkutan sampah tahap selanjutnya, dari TPS ke TPA, yang menjadi
tanggung jawab PD. Kebersihan Kota Bandung tidak memiliki rencana yang cukup jelas.
Kota Bandung tidak memiliki jadwal, waktu yang pasti kapan sampah dari setiap TPS
diambil. Pergerakan truk – truk pengangkut sampah di Kota Bandung dimulai dari pool
yang terbagi empat sesuai dengan pembagian wilayah operasional yang dilakukan oleh
PD. Kebersihan. Ke empat pool tersebut terletak di :
a. Bagian Utara, dekat dengan Pasar Sadang Serang
b. Bagian Barat, di Jalan Cicukan – Holis
c. Bagian Selatan, di Jalan Sekelimus Barat
d. Bagian Timur, di Pasir Impun
29
Keberangkatan truk sampah dari setiap pool tidak ditetapkan kapan, semua tergantung
pada waktu kedatangan masing-masing sopir. Jika diperkirakan, sebagian besar truk
pengangkut sampah, mulai bekerja dari pukul enam pagi sampai dengan pukul enam sore.
Mengenai pergerakan dari truk-truk pengangkut sampah sendiri, Kota Bandung
tidak memiliki rencana fisik dalam hal tersebut. Semua pergerakan truk pengangkut
sampah di kendalikan oleh sopir yang berada di belakang kemudi setiap truk pengangkut
sampah. Tetapi ada beberapa syarat juga yang harus diperhatikan oleh para sopir dalam
mengambil keputusan untuk memilih jalan yang akan mereka lalui, seperti menuju
gerbang tol terdekat. Mulai dari pool sampai menuju TPS mana terlebih dahulu yang harus
dituju, semua keputusan hampir diberikan semuanya kepada sopir. Kecenderungan
pemilihan TPS pertama yang dituju oleh para sopir adalah TPS yang terdekat dengan pool
mereka atau TPS yang terjauh dari gerbang tol terdekat di wilayah mereka. Alasan
pemilihan TPS pertama tersebut adalah untuk mendapatkan jarak fisik (yang juga
berdampak pada jarak waktu) yang lebih dekat pada saat melakukan pergerakan dari TPS
kedua dengan gerbang tol. Efek pemilihan ini telah mendukung pergerakan minimal dalam
kota. Namun pemilihan semacam itu berarti tidak memperhatikan karakteristik TPS,
seberapa penting sampah di suatu kawasan harus cepat diambil dibandingkan dengan
kawasan lain.
Karakteristik TPS sangat penting untuk diperhatikan, terutama dari sisi volume.
Volume sampah yang dihasilkan akan memberikan dampak pada jumlah hari kunjungan
truk pengangkut sampah ke TPS tersebut dan ritasi pada setiap harinya. Volume sampah
menjadi pertimbangan pertama sebab sampah pada TPS yang volume sampahnya cukup
banyak akan memberikan peluang yang lebih cepat dalam penyebaran bau dan
kemungkinan bibit penyakit yang terkandung pada sampah.
Hal lain yang mempengaruhi karakteristik dari TPS adalah lokasi dari TPS itu
sendiri. Lokasi TPS ini sangat berpengaruh terutama pada jenis sampah yang dihasilkan.
Permukiman merupakan lokasi yang menghasilkan sampah dengan jenis yang paling
beragam. Dari daerah permukiman ini umumnya dihasilkan sampah berupa sisa makanan,
plastik, kertas, karton/dos, kain, kaca, daun, logam, dan kadang-kadanga sampah
berukuran besar seperti dahan pohon. Permukiman dapat meliputi rumah tinggal yang
ditempati oleh sebuah keluarga, atau sekelompok rumah yang berada dalam suatu
kawasan, maupun unit rumah tinggal yang berupa rumah susun. Dari rumah tinggal juga
dapat dihasilkan sampah golongan B3 (bahan berbahaya dan racun), seperti baterai, lampu
30
TL, oli bekas, dan lain-lain. Permukiman adalah tempat dimana mayoritas penduduk
berada, sehingga jika sampah di TPS dekat lingkungan mereka tidak cepat diambil maka
bahaya akan mengancam orang dalam jumlah yang banyak. Selain itu terdapat juga faktor
dorongan dari warga permukiman sendiri yang tidak ingin wilayahnya terdapat sampah.
Waktu kerja truk pengangkut sampah yang dimulai dari pukul enam pagi sampai
pukul enam sore tersebut, untuk beberapa TPS memerlukan waktu tambahan lagi. Dua
belas jam waktu kerja saat ini hanya menghasilkan 3 rit (bolak balik TPS – TPA). Hal itu
menyebabkan TPS yang volume sampahnya berlebih, sehingga memerlukan 4 sampai
dengan 5 rit, memerlukan waktu tambahan pergerakan truk pengangkut sampah pada
malam hari. Begitu pula TPS yang mendapatkan giliran rit keempat atau kelima dari
sebuah truk yang bertugas. Pergerakan truk pengangkut sampah pada keadaan terang
disebut sebagai shift I, sementara yang dilakukan pada saat gelap disebut sebagai shift II.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sedikitnya ritasi yang dapat dihasilkan
oleh truk pengangkut sampah dalam jangka waktu dua belas jam tersebut. Faktor pertama
adalah jarak yang relatif jauh menuju TPA Sarimukti. Lokasi TPA Sarimukti yang berada
di sebelah Barat luar Kota Bandung, sekitar Rajamandala, telah cukup menghabiskan
waktu truk pengangkut sampah dalam mencapainya. Truk sampah yang memiliki
keterbatasan kecepatan karena mengangkut beban sampah hingga 10 m3 ditambah dengan
berat truk itu sendiri, tidak bisa bergerak terlalu cepat. Untuk sementara semua itu harus
dilakukan hingga Kota Bandung mendapatkan lokasi TPA lain yang lebih dekat. Dengan
adanya rencana pembangunan PLTS di Gedebage, maka jarak tempuh truk bisa dikurangi
dan ada kemungkinan jumlah ritasi truk pengangkut sampah bisa meningkat.
Faktor kedua adalah antrian saat membuang sampah, mungkin ini adalah faktor
yang sulit diubah, semuanya tergantung pada sistem antrian yang digunakan di TPA. Saat
membuang sampah biasanya truk pengangkut sampah harus mengantri, seperti saat akan
melewati gerbang tol, untuk membuang sampahnya di TPA. Proses antrian ini tentunya
akan menghabiskan waktu menunggu yang cukup lumayan. Kalaupun PLTS di Gedebage
jadi dibangun, waktu yang dihabiskan truk dalam proses antrian ini kemungkinan besar
tidak akan berubah kecuali PLTS mempunyai sistem lain dalam proses pemindahan
sampah dari truk ke tempat yang telah disediakan. Jadi faktor kedua ini bisa dikatakan
faktor yang tetap hingga PLTS di Gedebage dibangun dan diketahui apakah telah memiliki
sistem yang berbeda dengan yang telah digunakan di TPA selama ini. Jika terdapat sistem
yang berbeda maka waktu bisa dikurangi, jika tidak maka waktu akan sama saja.
31
Faktor yang ketiga dan yang paling penting adalah waktu kerja truk pengangkut
sampah. Pukul enam pagi hingga pukul enam sore adalah waktu dimana masyarakat di
Kota Bandung melakukan kegiatan sehari-harinya. Disini terjadi benturan antara
pergerakan truk pengangkut sampah dengan pergerakan masyarakat kota yang memiliki
mobilitas tinggi. Masalah lain dari mobilitas tinggi tersebut adalah dominasi kendaraan
pribadi. Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) yang dimiliki Kota Bandung tampak
kurang diminati oleh masyarakatnya, sehingga jalan-jalan dipenuhi oleh kendaraan pribadi
yang terkadang kapasitas kendaraan sering tidak mencapai fungsi maksimalnya (misal,
kendaraan untuk empat orang hanya menampung dua atau bahkan satu orang saja). Hal
tersebut tentunya sangat membantu dalam peningkatan keramaian dan kepadatan lalu
lintas, pada akhirnya berujung pada kemacetan lalu lintas. Truk-truk pengangkut sampah
tersebut harus terlibat dalam ramai dan padatnya lalu lintas perkotaan, bahkan tak jarang
truk pengangkut sampah itu sendiri yang menjadi penyebab kemacetan karena harus
berhenti mengambil sampah dan mengurangi luas efektif jalan. Keberadaan truk
pengangkut sampah pada kondisi terang, dimana menyatu dengan kegiatan utama sebagian
besar masyarakat, telah menimbulkan beberapa protes yang tidak tersampaikan secara
terang-terangan kepada Pemkot Bandung. Sifat dari truk pengangkut sampah ini sangat
sensitif. Mungkin masyarakat tidak akan terlalu mengeluh karena polusi yang ditimbulkan
dari asap knalpot, tapi akan bereaksi pada polusi yang disebabkan dari sampah yang
diangkut. Bau dan cairan lychet yang berasal dari sampah sangat mempengaruhi
masyarakat karena mengganggu dan dampaknya terhadap kesehatan cukup terasa, seperti
penyakit diare. Banyak keluhan umum yang dilontarkan masyarakat seperti tidak mau
kendaraan yang ditumpangi berada dekat dengan truk pengangkut sampah karena baunya,
truk sampah yang menyebabkan kemacetan saat mengambil sampah, serta truk sampah
yang berjalan lambat.
Tampak bahwa pergerakan shift I truk pengangkut sampah tidak hanya berdampak
pada waktu lebih lama yang dibutuhkan oleh truk pengangkut sampah tapi juga
mengganggu kegiatan masyarakat yang sebagian besar terjadi pada saat terang. Semakin
lama waktu perjalanan yang diperlukan maka akan semakin besar biaya perjalanan yang
dihabiskan.
Jika faktor lain, yaitu ketersediaan truk pengangkut sampah diperhitungkan maka
bisa juga berpengaruh pada terjadinya fenomena 3 rit dalam dua belas jam. Apabila
jumlah truk pengangkut sampah yang dimiliki oleh PD. Kebersihan sama dengan jumlah
32
TPS yang ada kemungkinan terjadinya shift II bisa dihilangkan. Beberapa truk sampah
yang mengangkut sampah di TPS yang volumenya tidak terlalu banyak bisa membantu
truk pengangkut sampah yang mengangkut sampah di TPS yang volumenya sangat
banyak. Namun jumlah truk pengangkut sampah yang sama dengan jumlah TPS ini akan
menyebabkan kinerja truk tidak efektif dan efisien, sebab ada kemungkinan sejumlah truk
tidak terpakai pada hari-hari tertentu. Tidak semua TPS memerlukan pengangkutan setiap
hari.
Bagaimana tentang pengangkutan sampah saat Kota Bandung masih
mempergunakan TPA Leuwigajah. Pengangkutan sampah di Kota Bandung pada masa
menggunakan TPA Leuwigajah hampir tidak memiliki perbedaan pada saat menggunakan
TPA Sarimukti. Pergerakan utama truk-truk pengangkut sampah terjadi pada saat hari
terang, pukul enam pagi sampai dengan enam sore. Namun kelebihan pada saat masih
menggunakan TPA Leuwigajah adalah jarak yang lebih dekat jika dibandingkan dengan
TPA Sarimukti. Sesuai dengan faktor pertama pada fenomena 3 rit dalam dua belas jam
saat menggunakan TPA Sarimukti sekarang ini, jumlah ritasi yang bisa dilakukan saat
menggunakan TPA Leuwigajah adalah 4 rit dalam dua belas jam. Faktor jarak sangat
terasa pengaruhnya dalam mengurangi rata-rata ritasi dari 3 jam per rit (TPA Leuwigajah)
menjadi 4 jam per rit (TPA Sarimukti). Perbedaan sebesar 1 jam per rit ini hanya
dipengaruhi oleh faktor jarak, bagaimana jika terjadi intervensi pada faktor lainnya, tentu
akan ada perbedaan rata-rata ritasi yang lebih besar lagi.
PLTS di Gedebage telah memiliki keuntungan dalam faktor jarak untuk
meningkatkan rata-rata ritasi truk pengangkut sampah. Lokasi yang masih berada di Kota
Bandung telah mengurangi jarak yang harus ditempuh truk pengangkut sampah dari setiap
TPS menuju PLTS. Jika hanya dilihat 3 faktor yang mempengaruhi rata-rata ritasi truk
pengangkut sampah yaitu, jarak, proses antrian, dan waktu kerja truk pengangkut sampah,
maka ada satu lagi faktor yang bisa diintervensi untuk meningkatkan rata-rata ritasi.
Faktor tersebut tidak lain adalah waktu kerja truk sampah, faktor proses antrian sulit
diintervensi karena hal tersebut sangat bergantung pada rencana sistem pemindahan
sampah dari truk ke tempat yang telah disediakan di PLTS. Selama ini pergerakan utama
truk pengangkut sampah adalah pada saat hari terang, dimana jalan-jalan di Kota Bandung
ramai dan padat sehingga harus memilih jalan-jalan tertentu yang arus lalu lintasnya lebih
lancar. Pergerakan saat hari terang ini juga telah menghambat laju pergerakan truk
pengangkut sampah karena harus terlibat dalam kemacetan pada beberapa titik, dan yang
33
tidak bisa dilupakan adalah kegiatan masyarakat yang juga terganggu dengan keberadaan
truk tersebut dalam mobilitas mereka.
34