37
BAB III
KONSEP IMAMAH ALI SYARIATI
Di dalam pembahasan ini, konsep imamah akan dijelaskan terlebih dahulu
secara umum dan kemudian menurut Ali Syariati. Untuk memaparkan konsep
pemikiran Syariati, penulis menggunakan dua formula lainnya di dalam
hermeneutika Dilthey yaitu ausdruck dan verstehen di mana keduanya saling
berkaitan. Melalui ausdruck, penulis memaparkan ekspresi Syariati pada tulisan-
tulisannya yang tercantum di dalam penelitian ini dan disertai oleh footnote
(catatan kaki). Sedangkan melalui verstehen, penulis berusaha untuk memahami
dan mengandaikan diri sebagai Ali Syariati dengan mengungkapkan gagasan Ali
Syariati di dalam narasi.
A. Konsep Imamah
1. Konsep Imamah Secara Umum
Imamah merupakan salah satu akidah umum di dalam ajaran Syiah.
Akidah umum pertama dalam Syiah adalah Keesaan Allah (tauhid), kemudian
Kenabian (Nubuwah) dan terakhir Imamah (kepemimpinan). Definisi Imamah
mencakup sumber pengambilan pemikiran, kekuasaan politik dan kepemimpinan
agama. Imamah adalah bentuk dari pemerintahan Tuhan. Maka, ia merupakan
perintah Allah dalam penunjukkannya, sebagaimana halnya dalam kenabian.
Namun terdapat perbedaan yang utama antara kenabian dan Imamah. Kenabian
adalah pendirian risalah, sedangkan Imamah adalah penjaga bagi risalah.64
64 Musawi, Mujtaba. 2004. Teologi Islam Syiah, halaman 237-239.
38
Syiah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiyah)
menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia.
Demikian pula mengenai Imamah, bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut
perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus
dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi
dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan.65 Dalam hal ini mereka
menyandarkan prinsip Imamah pada sebuah ayat dari Alquran yang artinya, “Dan
pada setiap kaum (pastilah) ada sang pemberi petunjuk.”66 Syiah meyakini bahwa
seorang imam, penerus Rasulullah Saw harus ditetapkan melalui nash atau
pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah Saw atau imam sebelumnya
sebagaimana Alquran menerangkan pengangkatan Ibrahim as sebagai imam,
“Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia.”67
Imamah diyakini Syiah lebih dalam dari sekedar melalui pemilihan oleh
masyarakat. Hal ini menyangkut penentuan takwa seorang imam. Seseorang yang
dikatakan sebagai imam berarti telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai
tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah Swt tanpa ada kesalahan
sedikitpun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena
itu, penentuan bahwa seseorang telah memenuhi sifat ishmah datangnya dari
Rasulullah Saw. Dengan demikian, Syiah meyakini bahwa keimaman para imam
maksum tidak bisa diperoleh melalui pemilihan masyarakat.68
65 Syirazi, Nashir Makarim. 1423 H. Aqidah Syiah. Jakarta: Penerbit Al-Huda, halaman 7.
66 Quran Surat Ar-Ra’du ayat 7.
67 Quran Surat Al-Baqarah ayat 124.
68 Syirazi, Nashir Makarim. 1423 H. Aqidah Syiah. Jakarta: Penerbit Al-Huda, halaman, 80.
39
Ja’far Subhani memaparkan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan
seorang imam dalam Imamah untuk merujuk pada makna signifikan Imamah itu
sendiri. Kewajiban-kewajiban itu diantaranya:
1. Menjelaskan makna Alquran dan mengurai kerumitan merupakan salah
satu tanggung jawab Nabi Saw, sebagaimana dinyatakan Alquran, “…dan
Kami menurunkan kepadamu Al-Dzikr (Alquran) agar engkau
menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan untuk mereka.”69
2. Menjelaskan hukum-hukum syariat merupakan tanggung jawab Rasulullah
Saw, yang dilaksanakan sebagiannya melalui referensi ayat-ayat Alquran
dan sebagiannya melalui perbuatannya sendiri, yang disebut sunnah.
Penjelasan demikian diberikan secara bertahap, selaras penyingkapan
pelbagai peristiwa sehari-hari; sifat tanggung jawab ini sedemikian hingga
perlu dilanjutkan, karena jumlah hadis Nabi Saw mengenai aturan-aturan
hukum tidak lebih dari 500 hadis dan jumlah hadis hukum ini tidak
memadai untuk (sebuah sistem komprehensif dari) jurisprudensi.
3. Menghindarkan perpercahan. Karena Nabi Saw merupakan poros
kebenaran Allah dan beliau memperjelas segala persoalan, sedemikian
hingga jenis penyimpangan apapun dalam keimanan umat menjadi
tercegah dan tak ada jenis sektarianisme apapun yang berkembang semasa
hidup beliau.
4. Menjawab segala pertanyaan agama dan teologi.
5. Mendidik para pengikutnya melalui sabda-sabda dan perbuatan-
perbuatannya.
69 Quran Surat An-Nahl ayat 44.
40
6. Menegakkan keadilan, persamaan dan keamanan di tengah masyarakat
Islam yang mulai lahir.
7. Melindungi tapal batas dan wilayah-wilayah Islam dari ancaman musuh
Islam.
Subhani menjelaskan70 bahwa jika kedua tanggung jawab terakhir sudah
dapat dilaksanakan seorang pemimpin yang telah dipimpin oleh masyarakat maka
jelas tanggung jawab-tanggung jawab sebelumnya membutuhkan sosok pemimpin
yang punya pengetahuan dan kemampuan luar biasa. Kategorinya disebutkan
Subhani merupakan sosok pemimpin yang secara model dan kesadaran
aktivitasnya mengikuti jejak Nabi Saw, dan terpenting harus ditunjuk melalui
Rahmat khusus Allah Swt. Ia juga mengkhususkan bahwa dalam diri pemimpin
tersebut haruslah memuat pengetahuan mendalam akan risalah Nabi Saw, bebas
dari segala jenis kesalahan dan dosa. Namun bukan berarti imam adalah sosok
nabi atau rasul. Kedudukan imam tidak pernah sama dengan kedudukan nabi.
Imamah dalam bahasa Arab berakar dari kata imam. Kata imam71 sendiri
berasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti
70 Ja’far Subhani, 2012. Syiah (Ajaran dan Praktiknya). Jakarta: Nur Al-Huda, halaman 160-161.
71 Gelar yang parallel dengan imam adalah amir dan khalifah. Pada awal pemerintahan Islam, masa Rasulullah Saw dan Khulafaar-Rasyidun, penguasa daerah disebut amil (pekerja pemerintah, gubernur) sinonim dengan amir. Kata amir berasal dari kata amr yang berarti “perintah”. Amir bermakna “yang memerintah”, kemudian makna ini berkembang sehingga berarti “pemimpin”. Selama pemerintahan Islam di Madinah, para komandan divisi militer disebut amir, yaitu amir al-jaisy atau amir al-jund. Para gubernur yang mulanya adalah pemimpin militer yang menaklukan daerah, juga disebut amir. Tugas utama amir pada mulanya adalah penguasa daerah, yaitu pengelola administrasi politik pengumpul pajak, dan pemimpin agama. Kemudian pada masa pasca Rasulullah Saw, tugas amir bertambah meliputi memimpin ekspedisi militer, menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan taklukan Islam, membangun masjid, menjadi imam salat jumat, mengurus administrasi pengadilan dan bertanggung jawab kepada khalifah di Madinah. Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, makna amir hampir
41
“pemimpin atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului.” Orang yang
menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh dan
ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.72
Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam
urusan agama dan juga urusan dunia sekaligus.73 Dengan demikian Islam tidak
mengenal pemisahan mutlak agama dan negara, dunia dan akhirat, masjid dan
istana atau ulama dan politikus. Inilah yang menjadikan penganut syiah tidak
hanya memandang para imam sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai
pengatur segala urusan umat yang berhubungan dengan pranata-pranata sosial,
politik, keamanan, ekonomi, budaya dan seluruh kebutuhan interaksi umat
lainnya.
Terdapat dua kriteria imamah di antaranya Ishmah dan Ilmu. Itu sebabnya,
sosok yang menggantikan Rasulullah Saw setelah wafatnya beliau haruslah
memiliki syarat-syarat seperti Ishmah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau
sekecil apapun) dan Ilm (ilmu yang sempurna).74Dengan demikian, Syiah
menegaskan bahwa orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang
tertentu (bukan semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan
Rasulullah Saw. Ahlul bait yang dimaksud sebagaimana disebutkan dalam
sama dengan masa Rasulullah Saw. Taufik Abdullah. et.al., 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, halaman 204-206.
72 Ibid.
73 Ibid, halaman 205.
74 Lihat Ja’far Subhani. 1991. Ma’al Syiah al-Imamiyah fi ‘Aqaidihim (Mu’awiniyatu Syu’uni al-Ta’lim wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413), halaman 56-70. Ja’far Subhani, Ishmah Keterpeliharaan Nabi dari Dosa, Jakarta: Yayasan As-Sajjad.
42
Alquran Surat Al-Ahzab ayat 33 di antaranya Imam Ali ibn Abi Thalib dan kedua
anak beliau, Imam Hasan dan Imam Husain.
Tak hanya menggunakan dalil aqli dalam menetapkan ishmah para imam,
Syiah juga menggunakan dalil naqli berdasarkan Alquran dan Hadits di antaranya
adalah firman Allah kepada Nabi Ibrahim as.75 Ayat ini mengisahkan Ibrahim as
setelah melampaui beberapa fase kenabian dan melewati sejumlah ujian berat,
diangkat menjadi imam seluruh manusia. Dengan kesungguhan Ibrahim as, ia
meminta kepada Allah agar jabatan ini juga diberikan kepada sebagian
keturunannya dan Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim
dan pendosa tidak akan bisa mencapai jabatan tersebut.
Dengan begitu, ada beberapa kelompok manusia dan pembagiannya dalam
beberapa posisi yang menurut Allamah Thabathabai76 dibagi menjadi empat posisi
yaitu:
1. Manusia zalim sepanjang umurnya
2. Manusia tidak zalim sepanjang umurnya
3. Manusia zalim di awal umurnya dan tidak di akhir umurnya
4. Manusia yang tidak zalim di awal umurnya tetapi zalim di akhirnya
Berdasarkan pendapat Allamah Thabathabai tersebut, maka kelompok
manusia nomor kedua yang berhak mendapat dan diangkat menjadi imam sebab
tidak pernah berbuat zalim alias bersifat maksum. Selain itu, Syiah juga
menyodorkan firman Allah Swt yang lain yang menegaskan kepada manusia
75 Alquran Surat Al-Baqarah ayat 124.
76 Allamah Thabathabai. 1991. al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jilid I. Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, halaman 270.
43
untuk mematuhi pemimpin.77Adapun dalil naqli yang mereka kutip sebagai
penguat bahwa imam berasal dari kalangan Ahlul bait merupakan ayat Alquran
Surat Al-Ahzab ayat 33 yang artinya, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-
sucinya.”
Konon ayat tersebut diyakini tak hanya oleh Syiah namun juga Sunni dan
menyatakan bahwa ayat itu diturunkan kepada lima orang; Rasulullah Saw, Ali
ibn Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain.78 Dari pandangan ini,
kepemimpinan Ilahi ditafsirkan tak berhenti dari wafatnya Rasulullah Saw
melainkan terus berlanjut di bawah kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dan orang-
orang suci dari keturunannya melalui pernikahannya dengan Fatimah Az-Zahra.
Dengan begitu dapat diketahui bahwa setidaknya ada tiga syarat penting
yang harus dimiliki seorang imam yaitu:79
1. Merupakan pilihan dan diangkat oleh Allah Swt, bukan diangkat oleh
masyarakat umum
2. Memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh
secara ladunni dari sisi Allah Swt
3. Maksum dari segala kesalahan dan kekeliruan serta dosa
Imamah dalam Syiah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan,
tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat yang 77 Alquran Surat An-Nisa ayat 59.
78 Ditemukan dalam banyak literatur baik di kalangan Sunni maupun Syiah seperti musnad Ahmad bin Hambal, Mustadrak Al-Hakim, Sunan At-Tirmizi, tafsir Al-Tabari, Tarikh Baghdadi dan lain-lain. Lihat pembahasan khusus ayat ini dalam Ali Umar Al-Habsyi. 2004. Keluarga Suci Nabi Saw: Tafsir Surah Al-Ahzab ayat 33. Jakarta:Ilya.
79 Muhammad Taqi Misbah Yazdi. 2005. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Jakarta: al-Huda, halaman 290.
44
kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. “Khwajah
Nasiruddin at-Thusi sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari
menggunakan ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa imam adalah luthf
(karunia) Allah. Maksudnya seperti kenabian dan berada di luar otoritas manusia.
Sebab itu, imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia seperti Nabi
Saw, imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi
berhubungan langsung dengan Allah Swt sedangkan imam diangkat oleh Nabi
Saw setelah mendapat perintah dari Allah Swt.”80
2. Imamah Menurut Ali Syariati
Lantas, apa konsep imamah menurut Ali Syariati? Untuk mengetahui
bagaimanakah kepemimpinan dalam ummah versi Ali Syariati, alangkah baiknya
jika pengertian imam lebih dulu dipahami. Sebenarnya, tak hanya istilah imam
yang dapat merujuk pada sosok pemimpin. Dalam bahasa Arab kita juga
mengenal beberapa istilah seperti hakim, za’im, ra’is, mulk, qaishar, dan qa’id.
Namun Syariati lebih condong pada istilah imam yang dinilainya “telah mencakup
seluruh pengertian yang terkandung dalam istilah ummah, sebagaimana tercakup
dalam pandangan yang terkandung di dalamnya, termasuk perbedaan-perbedaan
yang menjadi ciri khasnya hingga mampu membedakannya dari istilah padanan
yang terdapat dalam berbagai kebudayaan dan aliran kemasyarakatan, politik serta
ilmu pengetahuan yang ada.”81
80 Murtadha Muthahhari. 2002. Manusia dan Alam Semesta. Jakarta: Lentera, halaman 471.
81 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 92.
45
Ia menjelaskan terpilihnya istilah imam dalam imamah sebagai yang
paling tepat berikut ini:
…telah saya katakan bahwa masyarakat Islam yang dicita-citakan bukanlah komunitas dalam bentuk (qaum), juga bukan masyarakat yang dibangun atas kesamaan bahasa, kebudayaan, keturunan dan sejarah. Tidak pula masyarakat yang ditegakkan atas asas kebersamaan dalam gaya hidup, profesi dan peran yang dimainkan oleh individu-individunya dalam memperoleh penghasilan. Melainkan masyarakat yang di dalamnya anak-anak manusia memiliki kewajiban bersama untuk bergabung di sekitar kepemimpinan bersama, dan berpegang teguh pada satu pandangan mengenai kehidupan; bukan kebahagiaan yang statis, melainkan dinamis; dan bukan kebahagiaan dalam eksistensi, melainkan menuju kesempurnaan yang terus menerus, untuk seterusnya sampai pada tingkat dan kemuliaan paling tinggi. Bertolak dari sini, maka persoalan yang paling penting dalam masyarakat Islam adalah Imamah, kepemimpinan dan keteladanan masyarakat Islam.82
Syariati menjelaskan urgensi imamah dalam ummah dengan menjadikan
landasan salah satu surat Imam Al-Baqir kepada salah satu pengikutnya berikut
ini:
Setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah dalam bentuk ibadah yang ditekuninya dengan sungguh-sungguh, tetapi ia tidak mengetahui imamnya yang diutus Allah, maka semua amal usahanya itu tidak diterima. Ia adalah orang yang sesat dan kebingungan. Allah menolak semua amalnya, dan perumpamaan orang seperti itu adalah ibarat seekor domba yang tersesat dan terpisah dari kelompok dan penggembalanya. Keterpisahannya itu merusak hari-hari yang dilaluinya. Ketika malam tiba, ia bergabung dengan kelompoknya dalam kandang mereka, dan ketika sang penggembala menggiring mereka, domba tersebut membangkang dan memisahkan diri dari kelompoknya, sehingga ia kebingungan mencari penggembala dan kelompoknya. Ketika ia bertemu dengan seorang penggembala dengan sekelompok dombanya, ia diperlakukan dengan baik, dan si gembala
82 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 91.
46
berteriak kepadanya, ‘Ayo bergabunglah engkau dengan penggembala dan kelompokmu. Engkau domba sesat yang kebingungan.’ Domba itu lalu mencari-cari kelompok dan penggembalanya dengan kebingungan. Ia tidak punya gembala yang menggiringnya ke padang rumput atau mengajaknya pulang. Ia tetap dalam kebingungan seperti itu di saat ada seekor serigala yang menemuinya, lalu memakannya.83
Dengan kutipan tersebut, Syariati menegaskan bahwa tidak ada satu
manusia di dunia ini yang tidak memerlukan seorang imam. Manusia dikatakan
Syariati membutuhkan sosok imam. Naluri manusia untuk selalu mencari-cari
sosok yang diidolakan, dijadikan suri teladan baik nyata maupun terbentuk dalam
kerangka pikirannya atau dalam alam khayal menunjukkan keseriusan manusia
membutuhkan sosok pemimpin. Sosok yang menjadi acuan. Pendapat ini
termaktub dalam tulisannya berikut:
…manusia ditinjau dari sudut asasinya—merupakan makhluk yang asyik dengan angan-angannya tentang sesuatu yang absolut, sekalipun hal itu tak pernah ditemukan. Angan-angan seperti itu ia ciptakan sendiri dalam khayalnya, karena ruhnya selalu berusaha tanpa henti untuk menghamba kepada sifat-sifat keutamaan yang mutlak dan keindahan yang tersembunyi, serta menemukan kepuasan dengan itu. ….manusia selamanya ingin mempunyai seorang Imam dan pencariannya terus ia lakukan tanpa henti. Karena itu dalam sejarah umat manusia, tidak ada seorang pun di antaranya mereka yang tidak membutuhkan Imam atau Imam-imam, baik yang real maupun yang merupakan ciptaan khayal mereka.84
Konsep Imamah sebenarnya berpijak pada dua latar belakang masalah
hingga mendorong Ali Syariati menelaah konsep ini dari tinjauan sosiologis.
Pertama, ummah dan imamah yang merupakan prinsip penting akidah Islam
83 Ibid, halaman 92-93.
84 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 95.
47
khususnya penganut Syiah lebih sering dipaparkan oleh ulama secara teologis dan
filosofis. Pengkajiannya pun semata-mata bercorak akidah dan sepenuhnya
metafisis. Berdasarkan sebab pertama ini, Syariati bermaksud menjelaskan
persoalan ummah dan imamah sebagai salah dua prinsip penting agama Islam
dalam kedinamisan dan modern. Ia mengatakan di dalam pendahuluan buku
Ummah dan Imamah Suatu Tinjauan Sosiologis, “Padahal, bila kita mau
mengatakan bahwa kajian tentang ummah dan imamah ini memiliki relevansi
penting dengan kehidupan manusia, maka tidak kurang penting dari tema pokok
kajian dan prinsip teologisnya adalah aspek-aspek spesifik sosiologisnya dan
konteksnya dengan kehidupan umat manusia di planet bumi ini.”85
Pengkajian konsep imamah dalam aspek-aspek sosiologisnya
membuktikan bahwa Islam memang semestinya bergerak maju karena waktu juga
terus bergerak maju dan manusia harus mengkaji masalah dalam bentuknya yang
lebih efektif dan dinamis. Syariati juga menjelaskan bahwa perbedaan istilah yang
digunakannya dalam memaparkan konsep imamah merupakan ungkapan dan
istilah yang hanya berbeda dalam tataran semantik, metode pendefinisian serta
perbedaan sudut pandang (point of view) dan bukan karena perbedaan akidah.
Hal ini ia tegaskan karena adanya realita bahwa orang Islam yang bercorak
pikir tradisional umumnya memiliki pemahaman agama yang mandek. Ia
menjelaskan bahwa;
…Adalah jelas bahwa orang mukmin nominal dan ulama tradisional yang pemahaman agamanya mandek, akan menganggap setiap pandangan dan kesimpulan-kesimpulan baru dalam soal akidah sebagai kekufuran dan kesesatan. Mereka menganggap pula bahwa
85 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 19.
48
‘inti agama’—yang tetap tak berubah—sudah cukup untuk memahami dan menghayati agama, seperti laiknya ilmu eksakta dalam perkembangan dan kesempurnaannya. Akhirnya mereka juga menganggap bahwa ‘ilmu-ilmu tradisional’ adalah hakikat Islam yang paling utama, dan berdasarkan itu mereka menolak semua pembuktian dan interpretasi yang bercorak modern, bahkan terhadap bahasa dan istilah-istilah teknis yang berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Lebih dari itu, pembaruan-pembaruan metodologis pun mereka anggap sebagai bid’ah yang sama sesatnya dengan bid’ah dalam urusan agama.86
Kedua, bermula dari keprihatinannya akan Islam sejak masa Sayyid
Jamaluddin Al-Afghani. Ia merasakan sendi-sendi meragukan dalam tubuh Islam
seperti bercampur aduknya akidah dengan unsur-unsur budaya dan asing.
Menurutnya, ajaran-ajaran Islam kini harus kembali pada sumbernya yang asli di
mana menurut Syariati sudah terlampau jauh empat belas abad lamanya hingga
menciptakan kesenjangan dan menyebabkan Islam menjadi ‘kabur’ dan
meragukan.87
Dua latarbelakang masalah itu yang mendasari Syariati menulis konsep
imamah dalam tinjauan sosiologis meski secara jujur ia mengatakan bahwa
awalnya hal itu terkesan rumit dilakukan. Dalam memahami konsep imamah
melalui buku-buku Syiah yang ia baca sekilas terdengar seperti tidak sejalan
dengan logika modern, pandangan sosiologis, dan kemanusiaan. Ia merasa belum
siap untuk mencerna apa itu imamah sembari ia terus mempelajarinya dengan
metodologi sosial hingga suatu waktu ia merasa sudah mengerti untuk
memaparkan konsep imamah.
86 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 20.
87 Ibid, halaman 22.
49
…keadaan seperti itu terus berjalan beberapa waktu lamanya hingga dengan tiba-tiba dan hampir mirip ilham atau kasyaf, terbukalah di depan saya jendela menuju dunia baru yang sebelumnya betul-betul asing bagi saya. Dengan menggunakan metode kajian tentang ummah dan imamah, jendela tersebut saya buka sehingga saya memasuki dunia baru dan di situ saya bisa mengamati bahwa masalah imamah yang selama ini belum bisa saya cerna melalui metode teologis dan filosofis itu ternyata tampak jelas sebagai suatu keniscayaan kehidupan bila dilihat dari sudut pandang sosio-politis dan keagungan dan kemuliaannya tampak nyata di hadapan saya. Saat itu tak ada lagi masalah lain yang menghalangi diri saya dari penglihatan yang kuat dan tajam ini. …masalah imamah ini tidak cocok untuk disodorkan dan disajikan, khususnya kepada generasi muda terpelajar dan modern (secara konvensional-teologis dan filosofis). Jika dilihat dari sudut ilmiah-modern, cara seperti itu bakal menimbulkan sikap negatif sekali. Sejak itu, siang malam saya berkeinginan sekali untuk mengungkapkan apa yang telah saya capai tadi. Selanjutnya sejak awal sudah harus saya katakan di sini bahwa saya tidak berbicara dalam posisi saya sebagai seorang ilmuwan dalam bidang agama, melainkan sebagai peneliti biasa yang berusaha memahami persoalan-persoalan agama dengan kedudukan yang dirasakan oleh seorang Muslim sebagai suatu tanggung jawab.88
Perlu dicatat oleh para pembaca karya-karya Ali Syariati bahwa sosok
pemikir ini memiliki pemikiran yang tidak final pada suatu kesimpulan akhir.
Melalui tulisannya dalam buku Ummah dan Imamah Suatu Tinjauan Sosiologis
dan membaca bagaimana ia merasa kesulitan pada mulanya memahami konsep
imamah hingga akhirnya ia mampu menegaskan bahwa ia sudah paham ketika ia
mengatakan, “…saat itu tak ada lagi masalah lain yang menghalangi diri saya dari
penglihatan yang kuat dan tajam ini,” cukup membuktikannya sebagai sosok
pemikir yang tidak mudah berhenti pada satu titik kesimpulan. Dalam suatu
88 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 43-44.
50
kesempatan ia pernah berkata, “Aku tidak percaya bahwa apa yang kukatakan
sudah merupakan kebenaran final. Apa yang kukemukakan sekarang mungkin
saja besok akan kuralat atau kusempurnakan.”89
Beberapa istilah yang dirujuk dalam mendefinisikan imamah berawal dari
definisi ummah. Syariati menegaskan bahwa dibalik kata imamah dan ummah
memiliki asal yang sama dalam beberapa aspek baik maknanya maupun
bentuknya yang tidak terbatas. Alasannya, sebuah pemilihan terhadap suatu nama
tertentu menurutnya dapat dipastikan memiliki maksud oleh orang yang memilih
nama tersebut (Syariati memberikan contoh pemberian nama untuk anak-anak
dalam suatu keluarga di mana biasanya nama tersebut mewakilkan ‘petunjuk
tentang cita-rasa si pemilih dan keyakinannya’ dalam memberikan nama tersebut).
Dengan hati-hati ia juga menjelaskan bahwa kajian sosiologis ilmiah
terhadap kajian kebudayaan, akidah dan ilmu sosial yang telah dikenal selama ini
sangat memerlukan filologi. Utamanya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
bahasa dan sejenisnya—dan pengetahuan mengenai perkembangan, kemerosotan
dan lenyapnya suatu bahasa. Ia berpijak pada suatu pemikiran bahwa; “dengan
melakukan analisis terhadap suatu kata, acap kali diperoleh petunjuk yang amat
berarti; dengan mengamati barang sejenak terhadap akar suatu nama, bisa
diperoleh dorongan pada langkah-langkah berikutnya yang boleh jadi akan
mengantarkan seseorang untuk sampai kepada suatu konsep tertentu dan
menjadikannya mampu menemukan prinsip ilmiah.”90
89 Lihat awal buku dari Azra, Azyumardi. et al., 2013. Ali Syariati:Melawan Hegemoni Barat. Jogjakarta: Rausyan Fikr Institute.
90 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 46.
51
Maka dengan gamblang Syariati menjelaskan definisi istilah ummah yang
berasal dari kata ‘amma dan memiliki makna ‘bermaksud’ atau dalam bahasa
Arabnya adalah qashada serta memiliki makna lain yaitu ‘azima. Pengertian ini
meliputi tiga arti; gerakan, tujuan dan ketetapan hati yang sadar. Bahkan ia
menambahkan, jika istilah ‘amma mencakup arti kemajuan, maka kata ‘kemajuan’
itu sendiri sudah semestinya mencakup empat makna; usaha, gerakan, kemajuan
dan tujuan—dan dengan keempat arti ini, Syariati meyakininya. Kemudian ia
melanjutkan bahwa istilah ummah (umat) secara prinsipil yang ia katakan sebagai;
“jalan yang terang. Artinya, suatu kelompok manusia yang menuju ke jalan
tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat
yang dilalui, tercakup pula dalam istilah ummah. Dengan berpijak pada pengertian
serupa itu, maka keturunan, tanah air, perkumpulan, kebersamaan baik dalam
tujuan, profesi berikut perangkatnya, ras, status sosial dan gaya kehidupan, yang
dipandang sebagai pengikat paling dasar dan sakral antara berbagai individu, tidak
termasuk dalam hubungan tadi.”91 Definisi istilah ini dibandingkan Syariati
dengan istilah lainnya seperti yang sudah dipaparkan dalam bab pembahasan;
nation, qaum, qabilah, Sya’b dan lainnya lebih istimewa dan unggul sebab
memiliki makna kemanusiaan dinamis dan gerakan yang memiliki arah tujuan.
Gerakan tujuan bersama dalam istilah ummah menuntut sebuah kemajuan yang
intinya dimiliki oleh istilah ummah itu sendiri. Istilah ini tidak dapat ditandingi
meski dengan istilah qabilah yang juga memiliki makna dinamis. Menurut
Syariati;
91 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 50.
S
i
s
m
9
H
Dalamditemumungkdan yakeharumenujkeyakihalnyatidak marah ytertentlain. Ditu just
Berd
Syariati kem
imamah me
seseorang di
Penje
melalui baga
Tabel 2. L
92 Ali SyariatHidayah, hala
LandasaPemikiran Imamiyah
Sya
m istilah qabiukan adanyakin terjadi aang meyakinusan apapunu tujuan terinan dan tua dengan kaumelangkah dyang sama. tu, sedangkaDalam istilahtru merupak
dasarkan pe
mudian men
enampakkan
ipilih sebaga
elasan meng
an berikut:
Landasan Da
ti. 1989. Umaman 51.
an Dasar Sekte Syiah h menurut ariati
ilah memanga gerakan yanadanya sekuni tujuan yann sehubunganrsebut. Mereujuan (konsum muslimidengan langktujuan yangan gerakan h ummah, g
kan landasan
engertian da
njelaskan ist
diri dalam
ai kekuatan p
genai posisi
asar Pemikir
mah dan Ima
g terdapat keng menuju tu
umpulan orang sama, tetan dengan jaeka memangsepsional dain yang ada kah yang samg ingin mere
yang merekgerak yang mn ideologis.92
ari istilah u
tilah imamah
m suatu bent
penstabilan d
i dua kekua
ran Sekte Sy
amah:Suatu T
Imamah
Ummah
ebersamaan ujuan terseb
ang yang meapi tidak memlan yang hag memiliki an emosionsekarang inma dan sereeka capai teka lakukan mengarah ke2
ummah yan
h di dalam
tuk dan sika
dan pendinam
atan ini seki
yiah Imamiya
Tinjauan Sos
tujuan, tapi ut. Sebab, saempunyai tumiliki ikatanarus dilalui ukesamaan dal) sebagaim
ni. Tetapi meempak menujerletak pada menuju ke
e tujuan ber
ng sudah d
ummah. M
ap sempurn
misan massa
iranya dapat
ah Menurut
siologis. Jakar
Penstabilanmenguasai
(umma
pendinamisakemajuan
perubahan id
Bergerak dimenuju arah bkepemimpina
52
tidak angat ujuan n atau untuk dalam mana ereka
uju ke titik arah
sama
dipaparkan,
Menurutnya,
na di mana
a.
t dipahami
Syariati.
rta: Pustaka
n masa; massa ah)
an;asas n dan deologis
namis, bersama, n kolektif
53
Penstabilan massa atau dalam hal ini adalah ummah, meliputi serangkaian
tindakan yang dilakukan seorang imam dalam melindungi ummah. Syariati
mengatakan, hal-hal itu diantaranya; ancaman, penyakit dan bahaya. Penguasaan
ini semata-mata untuk menjaga ummah pada stabilitas dan ketenangan. Adapun
pendinamisan dalam ummah merupakan sikap seorang imam berlandaskan asas
kemajuan dan perubahan ideologis, sosial serta keyakinannya dalam memandu
ummah dan pemikiran mereka menuju ideal.
Definisi kedua kekuatan tersebut ditujukan dalam pembahasan Syariati
selanjutnya sebagai tanggung jawab paling utama bagi seorang imam dalam
prinsip imamah. Kemampuan seorang imam dalam menciptakan stabilitas,
ketenangan serta memandu ummah menuju kesempurnaan ideal dapat dilihat dari
lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap kenyamanan dan ketenangan. Dua
kekuatan; penstabilan dan pendinamisan juga yang akhirnya mengerucutkan
pengertian baik ummah maupun imamah dalam dua butir besar yaitu 1) Suatu
transformasi terus-menerus menuju tercapainya kesempurnaan yang mutlak dan 2)
Perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tinggi.93
93 Syariati menjelaskan dalam bahasanya yang emosional; “Umat adalah manifestasi dari sekumpulan orang yang individu-individunya merasa—oleh ikatan darah dan hidupnya—untuk bergabung di bawah kepemimpinan agung dan tertinggi, yang memikul tanggung jawab terhadap kemajuan dan kesempurnaan individu dan masyarakatnya, serta meyakini adanya keharusan bahwa yang namanya kehidupan itu bukanlah sekedar eksis melainkan perjalanan tanpa henti menuju kesempurnaan mutlak dan kesadaran terhadap jati diri yang mutlak—suatu perjalanan tak terhingga dan penciptaan nilai-nilai luhur dalam bentuknya yang kontinyu…suatu transformasi terus menerus…guna menyempurnakan kemanusiaan. Ia adalah hijrah abadi untuk menjadi diri kita sendiri.” Lihat Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 65.
54
Nilai-nilai penting dalam tubuh ummah dan imamah ini dijelaskan lebih
detil lagi oleh Syariati dengan membawa contoh ayat Quran yang memiliki
kandungan bahwa manusia tidak sekedar ‘eksis’ melainkan menempuh perjalanan
dan bergerak menuju kesempurnaan hidup. Ia mengutip beberapa ayat diantaranya
dalam surat Asy-Syura ayat 53, Ali Imran ayat 28 dan Fathir ayat 18 berturut-turut
yang artinya berbunyi; “Ingatlah bahwasannya kepada Allah jualah kembalinya
semua urusan,”, “Kepada Allah-lah tempat kembali,” dan “Sesungguhnya kita
milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali.”
Allah dalam kutipan tiga ayat berbeda surat di atas dikatakan Syariati
sebagai Kesempurnaan Mutlak, Keabadian, Kekekalan, Ilmu, Penemuan,
Kesadaran, Keindahan, Kemampuan, Kebaikan, Perwujudan, Kemanfaatan,
Kelembutan, Keadilan, dan Keagungan; “dalam pengertiannya yang mutlak tanpa
ujung dan tanpa batas. Berakhlaklah kamu sekalian dengan akhlak Allah, begitu
Nabi berkata.”94
2.1. Manusia Membutuhkan Sosok Imam
Sebagai seorang Sosiolog, Ali Syariati menuliskan segala gagasannya
berlandaskan keilmuan sosiologi dan psikologi sosial. Sebelum menjabarkan
pendapatnya mengenai kebutuhan manusia akan sosok imam, Syariati lebih dulu
mengonstruksi pemikirannya dengan interaksi-interaksi sosial. Menurutnya, umat
manusia di sepanjang sejarahnya telah mencapai penyempurnaan dalam berbagai
bentuk. Penyempurnaan paling penting adalah semakin sempurnanya hubungan-
hubungan kemanusiaan dengan ikatan sosial antar individu dengan masyarakat. Ia
menjelaskan bahwa maksud dari penyempurnaan ini bukan hanya secara istilah 94 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 65.
55
melainkan dalam dua pengertian sejarah yaitu; sejak munculnya awal kejadian
dan sejak adanya manusia. Pengertian ini juga dimaksudkan Syariati pada
pengertian yang mencakup masa-masa Pra-Sejarah.95 Berawal dari sini, secara
psikologi sosial, Syariati mengkaji istilah Aku dan Kami. Menurutnya, ketika
seseorang mengucapkan kata Aku (le moi) maka makna yang ada adalah individu
yang terpisah dari individu-individu lainnya yang merupakan kebalikan dari orang
lain atau lautruie. Sebaliknya, ketika seseorang mengatakan kami, maka
tergambar sebuah hubungan antara Aku dengan orang lain atau orang-orang lain
yang terpisah dari Kami yang lain atau dengan seluruh Kami lainnya.
Dengan mengkaji istilah Aku dan Kami, Syariati terlihat sebagai sosok
yang ingin mengedepankan kebersamaan dalam konsep Ummah. Sebagai seorang
pengajar (dosen) ia membentuk dirinya dan mahasiswanya dengan istilah Kami,
begitupun ia menjelaskan bahwa istilah Kami ia gunakan saat menyebut dirinya
dan bersama orang-orang setanah airnya, Iran, untuk merupakan lawan dari kata
Kami yang lain dari negara lain; India, Turki, Inggris dan sebagainya.96
Maka, dengan pengistilahan Kami di dalam tubuh Ummah, di mana
Ummah terdiri dari individu-individu, maka individu-individu tersebut memang
dekat dalam aspek pemikiran dan memiliki ikatan yang lebih mendalam dan kuat.
Ketika menjelaskan tentang ini, Syariati lebih dulu membayangkan dirinya dan
orang lain bahwa;
“Saya mempunyai keyakinan, hatta pada waktu-waktu belakangan ini, bahwa
ikatan paling tinggi dan sakral adalah kesamaan ideology dan keyakinan. Artinya,
95 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 68.
96 Ibid, halaman 68-69.
56
saya menyadari bahwa orang paling dekat dengan diri saya adalah orang-orang
yang mempunyai jalan berpikir seperti saya, dan memiliki keimanan seperti yang
saya yakini.”
Dari sini, Syariati mengerucutkan lagi bahwa jika ditautkan dengan istilah
Ummah, ternyata ia menjumpai istilah ta’ashub yakni interaksi antara anak-anak
manusia dalam bentuknya yang lebih tinggi ketimbang interaksi yang didasarkan
atas kesamaan ideology dan kemiripan dalam keyakinan. Jadi, bukan hanya
persoalan keyakinan dan kesamaan ideologi yang dimaksud oleh Syariati. Di
dalam tubuh Ummah, suatu interaksi sosial lebih penting ketimbang kesamaan
ideologi itu sendiri. Syariati ingin menunjukkan bahwa kesamaan ideologi dan
keimanan tidaklah cukup untuk mengantarkan pada pengertian anak-anak manusia
yang membutuhkan sosok imam panutan. Ia berpedoman pada Sartre yang
mengatakan bahwa persamaan ideologis dan keyakinan meski sebagai satu ikatan
paling tinggi pun tidak berarti apa-apa. Artinya, belum ada pengaruhnya
sedikitpun terhadap kehidupan individu dan tidak memberi pengaruh terhadap
kehidupan umat manusia, “Ia tidak punya eksistensi sebagai sesuatu yang esensial
sebab tidak berlaku dalam kehidupan praktis.”97Maka sampailah pada
pembahasan Syariati tentang mengapa manusia membutuhkan sosok imam.
Berangkat dari peristilahan Aku dan Kamu serta bagaimana keduanya dipisahkan
dalam pengertian masing-masing, mencetak sebuah interaksi sosial di dalam
tubuh Ummah yang tidak hanya mengedepankan kesamaan ideologi dan
keyakinan saja namun juga sesuatu yang lebih dalam dari itu.
97 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 82.
57
Sesuatu yang lebih dalam tersebut dirasakan penulis melalui pembacaan
terhadap pemikiran Syariati adalah sifat asasi manusia yang memang selalu asyik
dengan khayal, angan-angan, keinginan, harapan, dan kepercayaan pada sesuatu
yang absolut. Keinginan ini diciptakan dari dalam diri setiap manusia tanpa henti
untuk menghamba pada sesuatu yang bersifat indah, mutlak, dan menemukan
ketenangan serta kepuasan di dalamnya. Sifat asasi ini yang kemudian dikatakan
Syariati, “Kebutuhan terhadap imam tampak menonjol dalam sejarah,
kebudayaan, dan agama-agama yang terus berlangsung dalam bentuk mencintai
pahlawan, menghamba kepada kepala suku, kultus individu, dan dalam bentuk-
bentuk lainnya baik yang positif maupun negatif, yang lurus maupun yang
menyimpang.”98 Sifat asasi manusia ini muncul dalam pemikiran Syariati
berdasarkan dua fakta kebudayaan yaitu kebudayaan India dan Aria.
Dalam menjelaskan kepastian adanya kebutuhan manusia terhadap sosok
imam, Syariati membagi99 dua kebudayaan manusia menjadi manusia dalam
kebudayaan Semit dan Hermetis serta manusia dalam kebudayaan India. Manusia
dalam kebudayaan Semit dan Hermetis atau Mesir Kuno dijelaskan Syariati
sebagai manusia yang menanti kehadiran pribadi-pribadi unggul untuk
menyelamatkan mereka. Keyakinan ini menurutnya bisa dibuktikan pada pahatan-
pahatan kuno yang dibuat tujuh ribu tahun lalu di antara sungai Eufrat dan Tigris.
Namun sebaliknya, manusia dalam kebudayaan India atau Hinduisme dijelaskan
Syariati sebagai manusia yang tidak melakukan penantian manusia dari luar
98 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 95.
99 Ibid, halaman 97-98.
58
dirinya melainkan mereka mengajak diri mereka sendiri untuk menemukan
potensi-potensi diri dengan pembinaan spiritual. Dalam hal ini mereka
menjadikan diri mereka sebagai juru selamat bagi diri mereka sendiri. Begitupun
hal ini dilihat Syariati dalam Budhisme, yang tidak menonjolkan konsep jelas
akan ketuhanan namun para pengikut Budha adalah orang-orang yang paling
banyak menyembah pribadi-pribadi seperti yang telah disebutkan terdahulu.
Setiap pengikut Budhisme selalu menempatkan patung Budha di biara-biara
mereka untuk mereka sembah di waktu sembahyang.
Syariati menjelaskan bahwa pemikiran kebudayaan Semit (Mesir Kuno)
adalah manusia menunggu adanya kehadiran para penyelamat. Konsep
‘keselamatan’ ini dapat dilihat pada pahatan kuno yang dibuat tujuh ribu tahun
lalu di daerah antara sungai Eufrat dan Tigris. Pemikiran ini memiliki kriteria
pribadi penyelamat diantaranya; seseorang yang memiliki pribadi luar biasa,
penyelamat agung misterius, manusia di atas manusia (manusia unggul) yang
dalam perannya mampu membimbing manusia ke arah yang lebih baik atau
Syariati menegaskan; menurut istilah yang telah disepakati oleh semua agama,
menuju surga.100
Tidak seperti kebudayaan Semit. Bangsa Aria yang lahir dari Hinduisme
(India) menyerukan pada umat manusia untuk tidak menunggu manusia dari luar
melainkan mengajak diri sendiri untuk menemukan potensi-potensi besar di dalam
dirinya, membinanya dengan pelatihan spiritual dan menjadikan dirinya sebagai
juru selamat yang sebenarnya. Aliran-aliran keagamaan di India lebih condong
kepada menciptakan sosok penyelamat dari dalam diri sendiri ketimbang 100 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 96-97.
59
mencarinya dari luar dirinya. Namun, konsep ini bukan memberikan sentuhan
akhir kesimpulan bahwa bangsa Aria tidak memiliki kesamaan asasi manusia
untuk memerlukan sosok yang diunggulkan. Meski mereka memiliki konsep
penyelamatan dari dalam diri sendiri, mereka tetap mengkultuskan sosok-sosok
terdahulu, mengkaitkan keselamatan individual mereka dengan orang-orang yang
mereka anggap ahli dalam spiritual. Hal ini dipaparkan Syariati sebagai berikut:
Seperti diketahui bahwa asas dan titik pusat aliran-aliran keagamaan di India, dibangun atas kaidah: setiap individu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan tidak ada kebutuhan baginya terhadap pemimpin atau juru selamat, tetapi keselamatan seorang individu secara praktis diikatkan pada wali-wali, badal-badal, guru-guru dan mursyid-mursyid sufi. Di depan seorang individu India, terdapat rangkaian mata rantai amat panjang yang terdiri atas pribadi-pribadi yang mengantarkannya dari kehidupan dunia ini (samsara) yang bersifat material dan temporal, menuju alam keselamatan, keterbebasan, kemerdekaan dan ketentraman.”101
Berdasarkan dua pemikiran kebudayaan besar ini, Syariati memberikan
kesimpulan bahwa manusia tidak mungkin membebaskan diri dari kebutuhan
terhadap seorang pemimpin, idola dan teladan. Dan bila pribadi seperti itu tidak ia
temukan secara nyata di luar dirinya, maka ia akan menciptakannya dalam
khayalan dan angan-angannya.102
Pada tulisannya yang lain, dengan tegas Ali Syariati mengatakan bahwa;
…Imam sama sekali tidak termasuk dalam kategori pribadi-pribadi yang pernah ada dalam sejarah di bawah nama, hero, quthb, dan kepala-kepala suku. Saya pun tidak ingin mengatakan bahwa imam itu adalah “supra manusia” tetapi manusia super yang selaras dengan tuntutan manusia akan memoral bagi kehidupan individu maupun masyarakat serta selaras dengan kebutuhan intelektual dan psikologis
101 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 98.
102 Ibid, halaman 99.
60
yang selama ini terpenuhi dengan makrifat dan pemujaan terhadap Quthb, idola, dan para kepala suku yang lazimnya mitis. Imam akan melaksanakan tugasnya yang selama ini diisi oleh pribadi-pribadi tadi dalam membimbing individu-individu, melembutkan ruh (spiritualitas) dan menajamkan pemikiran umat manusia di sepanjang sejarah. Dengan demikian, imam memiliki peranan semacam itu, sungguh pun ia memiliki kepribadian yang berbeda dari kepribadian orang-orang yang disebutkan terdahulu.103
Berdasarkan hal ini, Syariati memberikan kesimpulan. Meski pada dua
kebudayaan besar tersebut, masing-masing manusianya berbeda dalam pemikiran
mereka untuk meraih sosok manusia unggul, keduanya tetap memiliki kesamaan
yakni membutuhkan sosok pemimpin yang dicita-citakan. Syariati menyimpulkan
“Yakni, manusia itu tidak mungkin membebaskan diri dari kebutuhan terhadap
seorang pemimpin, idola dan teladan. Dan bila pribadi seperti itu tidak ia temukan
secara nyata di luar dirinya, maka ia akan menciptakannya dalam khayalan dan
angan-angannya.”104
2.2. Imam Adalah Seorang Manusia
Manusia sebagai sumber keteladanan, dijelaskan Syariati sebagai makhluk
yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan malaikat. Saat Allah
memerintahkan kepada malaikat agar bersujud kepada Adam, dikatakan Syariati
hal tersebut merupakan simbol ketundukan malaikat terhadap manusia. Hal ini ia
katakan sebagai berikut:
Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding malaikat—bahkan pun malaikat yang dekat dengan Allah—dengan dasar bahwa ia memang memiliki pengetahuan atau iradah, atau ilmu tentang
103 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 113.
104 Ibid, halaman 99.
61
nama-nama. Tingkat kemuliaan dan ketinggian derajat manusia ini demikian rupa sehingga para malaikat harus bersujud kepadanya, dan mereka pun tunduk di depan kakinya. Ini merupakan isyarat atas ketundukan para malaikat di depan manusia. Bertolak dari sini, maka manusia secara potensial—yakni manusia yang memiliki kelebihan-kelebihan yang dianugerahkan Allah kepadanya dalam bentuk pembekalan atas dirinya—adalah makhluk paling mulia. Allah telah memilihnya dari semua jenis makhluk dan semua ciptaan yang ada, dan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi, dan menurut sebagian riwayat (riwayat itu berbunyi: Allah telah menjadikan Adam atas citra-Nya atau atas bentuk Yang Maha Rahman), manusia diciptakan Tuhan menurut Citra-Nya.105
Dengan hadirnya atribut iradah dan ilmu pada sosok manusia, maka ia
juga mewarisi sifat-sifat Tuhan di mana ia mampu memilih jalan telah
ditunjukkan kepadanya atau tidak dengan atribut tersebut. Manusia berdasarkan
hal ini memang ditakdirkan memiliki sifat keteladanan untuk menjadi teladan bagi
manusia lainnya. Syariati menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa para
panutan yang memiliki kewajiban untuk mendidik dan mewarnai moral manusia
melalui perilaku dan kelebihan mereka tak lebih adalah manusia seperti kita juga.
Sebab jika tidak maka tidaklah mungkin para imam itu menjadi teladan dan kita
sebagai manusia tak mungkin sama sekali meneladani malaikat tertentu dengan
berlandaskan pada ayat Allah yang artinya, “kalau seandainya Kami jadikan rasul
itu malaikat, niscaya Kami jadikan ia seorang laki-laki.”106
105 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 119.
106 Alquran Surat Al-An’am 6:9.
62
Dengan demikian, Syariati menegaskan kembali bahwa imam bukanlah
seorang supra manusia107 yang kecemerlangan sosok luarnya menyebabkan
manusia terdorong untuk menjadikan ia sosok imam lebih daripada manusia biasa
dan menganggapnya sebagai makhluk jenis lain. Ia berpendapat, justru corak
pemikiran semacam ini yang hadir sebelum Islam.108
Selain itu, yang bisa membedakan antara imam dan manusia lainnya
hanyalah moral dan kesiapan spiritual. Kedua hal tersebut pantas disandang pada
seorang imam dan bukan seorang supra manusia. Sebagaimana yang dikatakan
dalam firman Allah Swt yang artinya, “rasul-rasul mereka berkata kepada mereka,
‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu.”109
Imam adalah seorang yang melalui perwujudan, pemikiran dan aspek-aspek kehidupannya, memberi petunjuk kepada umat manusia sampai pada tingkat yang memungkinkan mereka menjadi manusia yang semestinya, dan mengajak mereka menuju peningkatan, melakukan perjalanan dan membina diri dengan cara tersebut agar mereka dapat selamat dari kehinaan yang menjadi nasib ‘domba-domba’ (yang sesat) sebagaimana yang diisyaratkan Imam Ja’far Ash-Shadiq.110
Berdasarkan kutipan di atas, Syariati mensyaratkan seorang imam memiliki
pemikiran kehidupan yang mampu memberikan petunjuk bagi ummah dalam
107 “Saya pun tidak ingin mengatakan bahwa imam itu adalah ‘supra manusia’ tetapi ‘manusia super’ yang selaras dengan tuntutan manusia akan moral bagi kehidupan individu maupun masyarakat, serta selaras dengan kebutuhan intelektual dan psikologis yang selama ini terpenuhi dengan makrifat dan pemujaan pada quthb, idola, dan para kepala suku yang lazimnya mitis. Imam akan melaksanakan tugasnya yang selama ini diisi oleh pribadi-pribadi tadi dalam membimbing individu-individu, melembutkan ruh (spritualitas) dan menajamkan pemikiran umat manusia di sepanjang sejarah.” Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 113.
108 Ibid, halaman 121.
109 Alquran Surah Ibrahim Nomor surah 14 ayat 11.
110 Ibid, halaman 114.
63
mencapai kesempurnaan hidup. Beberapa petunjuk yang dimaksud Ali Syariati
berkaitan mulai dari atribut seorang imam yang mestinya memiliki esensi yang
lebih tinggi daripada manusia pada umumnya, mampu mendidik, memberi andil
dalam memperlembut ruhani umat manusia serta menyempurnakan mereka.
Menurutnya, Alquran mengatakan bahwa tidak ada satu makhluk pun selain
Allah yang lebih suci, lebih mulia, dan lebih tinggi ketimbang insan kamil.111
Istilah insan kamil merupakan yang menurutnya tepat dalam mendeskripsikan
sosok imam semestinya. Syariati menerangkan bahwa;
…dalam pandangan dunia Islami—menganggap nabi atau imam itu sebagai esensi atau realitas non-manusia. Sebab, dengan begitu, kalaulah kita tidak menganggap dzat (esensi) imam tersebut lebih tinggi dibanding manusia biasa dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya kecuali Tuhan, yang dengan itu kita pun terjerumus dalam syirk, maka kita akan menganggapnya lebih rendah dibanding manusia dan kita pun terjerumus pula dalam syirk yang sama.112
Syariati menegaskan bahwa imam merupakan perwujudan real dari manusia
konsepsional yang ia katakan sebagai manusia teladan dan syahid. Meski
demikian, imam bukanlah malaikat, ia bukan makhluk supra manusia, karena ia
berkata bahwa yang di atas manusia hanyalah Allah adapun imam adalah manusia
super.113
Ada dua hal besar yang bisa diambil dari gagasan Syariati. Pertama, sosok
imam mestilah berwujud manusia yang dalam pencapaiannya telah melampaui
pada pencapaian manusia pada umumnya, ia mampu memberikan bimbingan
111 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 129.
112 Ibid.
113 Ibid.
64
ruhani, moral atau perilaku manusia lainnya, serta cara hidup manusia itu sendiri.
Kedua, bimbingan cara hidup sebagai manusia memuat bagaimana seharusnya
menjadi seorang manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu dijalankan. Dengan
dua gagasan besar ini, Syariati kembali menegaskan bahwa sosok imam bukanlah
Tuhan, bukanlah supra manusia, namun hanyalah manusia super, unggul yang
dalam kapasitasnya mampu mengejawantahkan perannya dengan semaksimal
mungkin untuk melindungi umat (ummah) dari kesesatan selayaknya diibaratkan
Ja’far Ash-Shadiq—domba-domba yang tersesat.
Untuk memberikan perumpaan logis, Syariati menjelaskan:
Manusia hakiki yang bernama Adam ini, dan seluruh manusia dalam konteks tertentu adalah manusia. Kita semua adalah anak-cucu Adam, tetapi tidak semua kita adalah Adam. Keseluruhan sifat ini adalah merupakan sesuatu yang kulliy (universal) dan konseptual yang membentuk ‘hakikat yang aqliah’ yang dalam konteks-konteks tertentu dimiliki oleh satuan-satuannya dan setiap mereka yang dalam dirinya terdapat sifat-sifat tersebut dalam skala paling besar dan paling sempurna, maka ia merupakan manusia yang paling banyak memiliki kemanusiaan dan ke-Adam-an.114
Istilah manusia super atau manusia sempurna, dijelaskan Syariati
bersumber pada Alquran melalui kisah-kisah para Nabi dan Rasul yang dimuat di
dalamnya. Dalam hal ini, Syariati mengambil salah satu contoh kasus yakni
bersujudnya semua makhluk kepada Adam sebagai simbol pengakuan semesta
kepada manusia sebagai sosok pemimpin. Berdasarkan alasan ini, Syariati
memaparkan bahwa manusia tidak diperkenankan untuk menganggap realitas
Adam melebihi porsinya dari manusia namun juga kurang dari porsinya sebagai
114 Lihat Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 127.
65
pemimpin. Ia mengatakan bahwa jika manusia melakukan hal tersebut, yaitu tidak
menganggap dzat (esensi) imam lebih tinggi dibanding manusia biasa namun
mengatakan bahwa imam lebih tinggi daripada Tuhan maka manusia tersebut
terjerumus dalam perbuatan Syirk. Dan begitupun menganggap imam sebagai
lebih rendah dari manusia biasa merupakan syirk yang sama.115 Bahkan dalam
ucapan Syariati selanjutnya, ia kembali menegaskan bahwa imam bukanlah
Tuhan, bukan perwujudan metafisis, bukan malaikat, melainkan manusia yang
teladan, syahid, dan real dari manusia konsepsional. Singkatnya ia mengatakan
bahwa imam adalah bukan makhluk supra manusia sebab di atas manusia
hanyalah Allah. Imam hanyalah manusia super.116
2.3. Imamah di dalam Ummah
Ali Syariati tidak bisa memisahkan definisi antara imamah dengan ummah.
Menurutnya, keduanya saling berkaitan.117 Imamah merupakan refleksi tentang
petunjuk yang diberikan kepada umat yang mengantarkan mereka sampai ke
tujuan. Dilihat dari sudut pandang ini, maka istilah ummah itu sendiri, sepenuhnya
mengharuskan dan mewajibkan adanya imamah—suatu keharusan yang sama
sekali tidak ditempuh dalam istilah-istilah lain seperti; qabilah, mujtama’, qaum,
nation, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak mungkin ada ummah tanpa imamah.
Meski dalam kata qabilah ditemukan pula istilah ummah. Namun, ummah masih
115 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 129.
116 Ibid.
117 Ibid, halaman 53.
66
memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki istilah qabilah, yaitu memiliki
gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama.118
Konsep ummah menjadi konklusi bagi Syariati bermula dari pemikiran
Montgomery Watt119 yang berbunyi; “Umat manusia, di sepanjang sejarah dan di
berbagai wilayah geografis, hidup berkelompok. Apa sebutan yang dipergunakan
untuk komunitas-komunitas seperti itu? Nama yang dipilih manusia untuk
menyebut komunitas-komunitas itu akan mampu menyingkapkan pandangan dan
konsepsi kelompok-kelompok tersebut terhadap kehidupan sosial dan konsep-
konsep terapannya yang mereka setujui bersama.120Dari situ, Ali Syariati
menjabarkan istilah-istilah qabilah, mujtama’, qaum, nation, dan ditambahkan
pula dengan beberapa istilah lainnya sebagai berikut:121
1. Qabilah; merupakan istilah yang paling tua jika dibandingkan dengan
istilah-istilah lainnya. Qabilah merupakan kumpulan individu yang
memiliki tujuan yang sama.
2. Mujtama’; kumpulan manusia yang ada di suatu tempat. Artinya, perekat
kelompok manusia tipe ini adalah kesamaan tempat.
3. Qaum; Titik khas konsep ini ada dua. Pertama yakni menghuni suatu
wilayah geografis tertentu dan kedua, pelaksanaan fungsi masing-masing
individu dalam kelompok.
118 Nadirsyah, et al., 2013. Ali Syariati: Melawan Hegemoni Barat. Jogjakarta: Rausyan Fikr Institute, halaman 90-91.
119 Ahli politik dan Teologi Islam yang berasal dari Inggris.
120 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 46.
121 M. Subhi-Ibrahim. 2012. Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam. Jakarta: Dian Rakyat, halaman 72-73.
67
4. Nation; Pada konsep nation, ikatan yang menyatukan individu-individu
dalam masyarakat adalah kekerabatan, ras dan kesamaan keturunan.
Esensi konsep masyarakat nation adalah pandangan hidup kesukuan.
5. Sya’b; Intinya, manusia hidup di bumi terbagi-bagi dalam berbagai cabang
(Syu’b) dan tiap cabang merupakan satu bangsa tersendiri.
6. Thabaqah/class; Shariati mengartikan thabaqah sebagai sekumpulan
manusia yang memiliki langgam hidup, intuisi, profesi dan penghasilan
yang sama dan setingkat. Jadi, ikatan dasar yang dijadikan rujukan adalah
kesamaan sumber penghasilan, gaya hidup, serta status dan posisi sosial
mereka. Kesamaan-kesamaan tersebut menjadi cikal-bakal terbentuknya
social-class.
7. Tha’ifah (kelompok); Shariati mendefinisikan tha’ifah sebagai
sekumpulan orang yang berada di sekitar tempat tertentu. Shariati
mencontohkan kelompok-kelompok manusia yang hidup di padang pasir
(sekeliling oase).
8. Ras; Shariati mendefinisikan ras sebagai kumpulan individu yang
memiliki ciri-ciri biologis yang sama.
9. Massa; Massa adalah sekelompok individu yang tersebar di suatu tempat
tertentu.
10. People (rakyat); rakyat adalah kumpulan manusia yang menempati bagian
tertentu dunia ini dan menganggapnya sebagai tanah airnya. Menurut
Shariati, kebalikan dari people adalah group yang bermakna jama’ah,
partai, kaum dan suku.
68
Dengan demikian, ia merumuskan bahwa ummah merupakan sekumpulan
manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang satu sama lain
saling bahu-membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan,
berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif. Ia juga mengatakan bahwa ummah
merupakan komunitas yang dinamis dan selalu berhijrah122 serta memiliki
orientasi pemikiran yang ideal (tauhid).123
Imamah dikatakan oleh Ali Syariati sebagaimana halnya dengan istilah
ummah,124 ia menampakkan diri sebagai bentuk sikap yang sempurna. Di
dalamnya seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan juga pendinamisan
massa. Penstabilan yang dimaksud adalah menguasai massa hingga berada dalam
stabilitas dan ketenangan yang akhirnya dapat melindungi mereka dari ancaman,
penyakit dan bahaya. Adapun pendinamisan merupakan asas kemajuan dan
perubahan ideologis, sosial dan keyakinan untuk menggiring massa dan pemikiran
mereka menuju bentuk ideal. Pendinamisan inilah yang lebih ditekankan Ali
Syariati. Dengan demikian, imamah menurutnya bukanlah sebuah lembaga yang
anggotanya menikmati kenyamanan dan kebahagiaan mapan. Juga bukan lembaga
122 Bagi Syariati, hijrah bukan monopoli sejarah Islam seperti diketahui penanggalan Islam didasarkan pada peristiwa migrasi (hijrah)nya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Menurutnya, Amerika modern yang maju pun dibangun atas dasar hijrah pula. Hijrah menjadi konsep kunci terbentuknya masyarakat yang sehat karena ia memicu dinamisasi individu-individu di dalamnya untuk bergerak bersama menuju tujuan ideal yang dicita-citakan bersama, berdasarkan satu prinsip yang kokoh. (Lihat Ali Shariati, Rasulullah Saw Sejak Hijrah Hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah Periode Madinah, Bandung: Mizan, 1996. H-11-39)
123 M. Subhi-Ibrahim. 2012. Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam. Jakarta: Dian Rakyat, halaman 75.
124 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 63.
69
yang melepaskan diri dari kepemimpinan dan tanggung jawab dari persoalan
kesejahteraan umat, juga bukan suatu bentuk kehidupan tanpa tujuan.
Imamah bukanlah semacam kantor dan pemelihara masyarakat dalam bentuknya yang beku dan kaku. Tanggung jawab paling utama dan penting dari Imamah—yakni filsafat politik untuk membentuk Imamah dan seperti yang tercakup dalam pengertiannya—adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat dan melakukan akselerasi dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan. Apabila terdapat sebagian individu yang mementingkan kehidupan yang mapan, yang tidak mau bergerak dan menuju kesempurnaan, atau tidak mengakui adanya sasaran kedua, maka pemikiran yang seperti itu tidak patut dibiarkan hidup di tengah-tengah umat. Sebab, Imamah tidak menjadikan sebagai tujuannya penerimaan masyarakat umum atau kepentingan orang-orang elit, melainkan atas asas risalah, sehingga ia memilih “apa yang sudah semestinya”. Jadi, tidak menjatuhkan pilihannya atas dasar “kemaslahatan”, melainkan atas dasar “hakikat” yang dimunculkan oleh ideologi dan risalah yang tidak diyakini kecuali oleh keseluruhan umat.125
Kembali pada konsep tiada ummah tanpa imamah. Secara terperinci,
istilah ummah memiliki tiga konsep: (1) adanya kebersamaan dalam arah dan
tujuan, (2) gerakan menuju arah dan tujuan tersebut serta (3) keharusan adanya
pimpinan dan petunjuk kolektif. Sebab tiga konsep inilah, ummah memerlukan
imamah yang dalam mazhab pemikiran Syiah adalah kepemimpinan progresif dan
revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna
membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar
dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan
kemandirian dalam mengambil keputusan.126
125 Ali Syariati. 1989. Ummah dan Imamah:Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pustaka Hidayah, halaman 64.
126 Nadirsyah, et al., 2013. Ali Syariati: Melawan Hegemoni Barat. Jogjakarta: Rausyan Fikr Institute, halaman 92.
70
Sebab tugas imam dalam pandangan Syariati tidak terbatas pada
memimpin manusia dalam aspek politik, kemasyarakatan, perekonomian, juga tak
terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir
atau khalifah tapi juga memiliki tugas menyampaikan pada umat manusia
mengenai keseluruhan aspek kemanusiaan yang variatif. Syariati juga
mengingatkan bahwa imam bukanlah sosok yang supra-manusia namun manusia
biasa yang mempunyai banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia
super.127
Dari pemikiran tersebut, Ali Syariati menyimpulkan128 bahwa imamah
tidak diperoleh melalui pemilihan melainkan pembuktian kemampuan seseorang
yang pada maksudnya adalah masyarakat yang merupakan sumber kedaulatan
dalam sistem demokrasi—tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan,
tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada (pada imam
tadi). Mereka bukan menunjuknya sebagai imam tetapi mengakui kelayakannya
sebagai seorang imam. Imamah merupakan terdiri atas pribadi-pribadi tertentu
seperti halnya Nubuwah yang tidak sama dengan pemerintahan yang tidak
berbatas pada masa, sistem, serta orang-orang tertentu. Imamah dan khilafah
sebenarnya tanggung jawab satu dalam mencapai tujuan dengan segala bentuk
keterbatasan di mana tidak selamanya seorang penguasa mampu dikatakan
sebagai seorang imam.
127 Nadirsyah, et al., 2013. Ali Syariati:Melawan Hegemoni Barat. Jogjakarta: Rausyan Fikr Institute, halaman 92.
128 Ibid, halaman 93.