-
42
3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK
MINYAK SAWIT KASAR
Pendahuluan
Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan oleh suhu yang dialaminya.
Istilah minyak dan lemak merupakan petunjuk mengenai sifat fisiknya, dimana
pada suhu kamar minyak berfase cair sedangkan lemak berfase padat (Timms
1985). Minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) sebagai suatu bahan
berbasis minyak dan lemak, memiliki karakteristik yang khas terkait perubahan
sifat fisiknya akibat pengaruh suhu. Pada pengembangan sistem transportasi
CPO moda pipa, pengaruh suhu terhadap perubahan sifat fisik CPO sangat
penting untuk diketahui, khususnya pada saat CPO dialirkan dalam sistem pipa
yang mengalami perubahan suhu selama pengaliran.
Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan oleh komposisi asam lemak
dan susunan asam lemak tersebut di dalam triacylglycerol (TAG). Menurut Ong et
al. (1995), karakteristik fisik dasar minyak sawit mencakup berat jenis atau
densitas (density), panas jenis (specific heat), panas lebur (heat of fusion), dan
kekentalan atau viskositas (viscosity). Karakteristik fisik empiris minyak sawit
antara lain titik leleh (melting point), kandungan lemak padat (solid fat content
atau SFC), serta sifat fase dan polimorfisme lemak sawit. Terkait dengan sistem
pengaliran CPO di dalam pipa, sifat fisik yang berperan adalah densitas, sifat
reologi, dan sifat kristalisasi lemaknya yang dinyatakan dengan SFC.
Codex Alimentarius Comission (CAC) dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005),
merekomendasikan suhu pengaliran CPO dalam pipa adalah 50-55 oC. CPO
harus terus dipertahankan pada kisaran suhu tersebut agar CPO berada dalam fase
cair dan tidak mengalami kristalisasi. Upaya untuk mempertahankan suhu agar
tetap tinggi antara lain dengan penggunaan insulasi di sepanjang pipa dengan
material yang dapat menghambat terjadinya pelepasan panas yang berlebihan dari
CPO bersuhu tinggi ke lingkungan. Kondisi pengaliran pada suhu tinggi tersebut
selama ini telah diaplikasikan untuk jarak dekat, misalnya untuk menghubungkan
antara tangki penyimpanan dengan truk tangki pengangkut CPO.
-
43
Pada sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh,
suhu awal CPO yang tinggi akan mengalami penurunan akibat pelepasan panas ke
lingkungan. Pada saat terjadi penurunan suhu tersebut, karakteristik CPO
khususnya sifat fisik densitas, sifat reologi, dan nilai SFC akan mengalami
perubahan. Perubahan sifat fisik CPO akibat pengaruh suhu pengaliran, akan
menentukan kendali proses pengalirannya sesuai desain pipa yang digunakan.
Menurut Fasina et al. (2006), perubahan sifat reologi akibat pengaruh suhu akan
menentukan energi yang dibutuhkan untuk pemompaan minyak. Dengan
demikian, pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO perlu dipelajari secara lebih
mendalam. Data karakteristik CPO akibat pengaruh suhu sangat penting artinya
sebagai dasar di dalam menyusun rancangan teknik kendali untuk
mempertahankan sifat fisik CPO agar tetap dapat dialirkan di dalam sistem pipa.
Beberapa penelitian yang mengkaji pengaruh suhu terhadap sifat fisik
minyak nabati telah dilakukan, antara lain oleh Tangsathitkulchai et al. (2004),
Fasina et al. (2006), dan Kim et al. (2010), akan tetapi penelitian tersebut tidak
menggunakan sampel CPO. Suhu diketahui berpengaruh pula terhadap proses
kristalisasi minyak sawit, seperti telah diteliti oleh Miskandar et al. (2002), Graef
et al. (2008, 2009), dan Tarabukina et al. (2009) untuk sampel minyak sawit yang
telah mengalami pemurnian (refined bleached deodorized palm oil/RBDPO).
Untuk tujuan transportasi di dalam pipa, pembentukan kristal lemak yang
berlebihan justru harus dapat dicegah karena dapat menyebabkan terjadinya
penyumbatan dalam pipa. Belum terdapat penelitian yang secara fokus
mempelajari fenomena perubahan sifat fisik CPO khususnya perubahan densitas,
SFC, dan sifat reologinya sebelum tahap kristalisasi lemak berlangsung. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini ingin diperoleh informasi pengaruh suhu terhadap
sifat fisik CPO pada kisaran suhu pengaliran sebelum induksi kristalisasi lemak
terjadi akibat suhu yang menurun.
Fenomena perubahan sifat fisik CPO akibat pengaruh suhu dipelajari pada
kisaran suhu 25 oC hingga 55
oC, yang diasumsikan merupakan kisaran suhu
pengaliran yang mungkin diterapkan dalam sistem pipa yang akan dikembangkan
di Indonesia. Pengukuran sifat fisik CPO dilakukan pada kondisi pretreatment
suhu standar, karena perlakuan suhu yang dialami suhu sebelum pengukuran sifat
-
44
fisik akan mempengaruhi hasil pengujian. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat
dikembangkan model matematika pengaruh suhu terhadap parameter sifat fisik
CPO, serta pengujian korelasi antara parameter sifat fisik tersebut.
Penelitian-penelitian terkait sifat reologi dan kristalisasi lemak seperti
penelitian Chong et al. (2007) dan Vuillequez et al. (2010) menunjukkan bahwa
terjadinya perubahan sifat fisik (khususnya sifat reologi dan kristalisasi)
minyak/lemak bukan hanya ditentukan oleh suhu sampel saat pengukuran, tetapi
juga dipengaruhi oleh lama waktu yang dialami oleh sampel saat mengalami
proses penurunan dan penyetimbangan suhu. Respon perubahan sifat reologi
minyak/lemak saat suhu sedang mengalami penurunan dengan laju penurunan
suhu tertentu, akan menghasilkan besaran parameter sifat reologi yang berbeda.
Oleh karena itu, pada kasus pengaliran CPO di dalam pipa yang akan mengalami
kondisi dan waktu pengaturan suhu yang berbeda (dalam penelitian ini disebut
metode penerapan suhu), informasi mengenai pengaruh metode penerapan suhu
yang dialami sampel CPO terhadap hasil pengukuran sifat reologinya perlu
dipelajari lebih lanjut.
Pada penelitian ini diajukan model sistem transportasi CPO moda pipa yang
membutuhkan tahap pemanasan kembali saat suhu CPO mengalami penurunan
sebelum proses kristalisasi CPO dimulai. Dengan demikian, bila pengaliran
berlangsung pada jarak tempuh yang jauh, proses penurunan suhu dan pemanasan
kembali akan terjadi secara berulang di sepanjang aliran pipa pada jarak tertentu.
Bagaimana pengaruh siklus suhu yang menurun dan meningkat secara berulang
terhadap sifat fisik CPO juga akan dipelajari dalam tahap penelitian ini.
Tujuan dari tahap penelitian ini adalah untuk memperoleh data pengaruh
suhu terhadap parameter sifat fisik CPO beserta pemodelan matematikanya.
Secara lebih terperinci, pengaruh suhu dipelajari pada kondisi pengukuran
standar, pada kondisi dengan metode penerapan suhu tertentu, dan pada kondisi
ketika CPO mengalami siklus suhu menurun dan meningkat. Pendekatan kondisi
pengukuran yang berbeda di dalam kajian pengaruh suhu terhadap parameter sifat
fisik CPO ini, diharapkan akan menghasilkan data karakteristik CPO yang lebih
komprehensif dan relevan dengan teknis penggunaan data tersebut di lapangan.
-
45
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga bulan Juni
2011. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor;
dan Laboratorium South East Asian Food and Agricultural Science and
Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam tahap penelitian ini adalah sampel CPO
yang diperoleh dari tiga perusahaan kelapa sawit yang berlokasi di Kalimantan
Barat, Banten, dan Jakarta. Tiga sampel tersebut dipilih berdasarkan hasil
pengujian Tahap I (Bab 2), dengan bilangan iod berturut-turut 51.31, 54.15, dan
50.38 g/100 g sampel, untuk melihat adanya korelasi antara sifat kimia terhadap
perubahan sifat fisik CPO akibat pengaruh suhu.
Pada pengujian pengaruh metode penerapan suhu dan pengaruh siklus suhu
terhadap sifat fisik CPO, digunakan satu sampel CPO yang berdasarkan hasil
penelitian tahap sebelumnya memiliki bilangan iod yang paling rendah, yaitu
sebesar 50.38 g/100 g sampel. Sampel CPO dengan bilangan iod yang berada di
dekat batas bawah spesifikasi standar bilangan iod menurut SNI 01-2901-2006
(yaitu sebesar 50-55 g/100 g lemak), memiliki derajat ketidakjenuhan yang lebih
rendah. Pada saat terjadi penurunan suhu, proses kristalisasi sampel CPO tersebut
diperkirakan lebih mudah terjadi, lebih cepat terdeteksi, dan memberikan
gambaran kondisi terberat dalam pencegahan proses kristalisasi lemak CPO.
Dengan demikian, diharapkan data hasil pengujian dengan sampel CPO tersebut
akan mendekati batas kritis terjadinya proses kristalisasi untuk sampel CPO pada
umumnya.
Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah piknometer
untuk mengukur densitas CPO. Selain itu digunakan Nuclear Magnetic
Resonance (NMR) Analyzer Bruker Minispec PC 100 (Bruker Optics Ltd.,
-
46
Canada) untuk mengukur kandungan lemak padat (solid fat content/SFC), dengan
pengaturan suhu yang dilakukan dengan dry block untuk suhu di atas 30 oC dan
waterbath circulation Thermomix UB-Frigomix untuk suhu di bawah 30 oC. Sifat
reologi diukur menggunakan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 (Karlsruhe,
Jerman) yang diatur suhunya dengan HAAKE Circulator dan HAAKE
Temperature Control Module F3. Digunakan pula Differential Scanning
Calorimetry (DSC) tipe DSC-60 (Shimadzu Corp. Jepang) yang dikendalikan
suhunya oleh software Thermal Analysis System TA-60WS untuk mengukur profil
entalpi CPO.
Metode Penelitian
Pengaruh suhu terhadap sifat fisik CPO dipelajari pada kisaran suhu yang
akan diterapkan dalam proses pengaliran, yaitu antara suhu kamar 25 oC hingga
suhu 55 oC. Suhu 55
oC dipilih karena merupakan suhu rekomendasi Codex
Alimentarius Comission sesuai CAC/RCP 36 (CAC 2005) tentang suhu maksimal
pengaliran CPO. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tahap sebelumnya, SFC
CPO pada suhu 55 oC telah sangat rendah, kurang dari 10%. Pengukuran sifat
fisik dilakukan pada setiap selang suhu 5 oC, yaitu pada suhu 25, 30, 35, 40, 45,
50, dan 55 oC. Bagan alir tahap penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Tahap penelitian ini diawali dengan pengukuran sifat fisik CPO pada
kisaran suhu 25-55 oC. Sifat fisik yang diukur terkait dengan proses pengaliran
CPO di dalam pipa, mencakup densitas, SFC, dan sifat reologi. Parameter sifat
reologi yang diamati mencakup parameter indeks tingkah laku aliran (flow
behaviour index atau n), indeks konsistensi (concistency index atau K) dan
viskositas terukur (apparent viscosity atau ). Densitas atau berat jenis () CPO
(g/mL) diukur mengikuti metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005), sedangkan
SFC CPO diukur menggunakan NMR berdasarkan metode IUPAC 2.150 ex 2.323
(IUPAC 1987). Pengukuran sifat reologi dilakukan dengan HAAKE Viscometer
(HAAKE 1991, 1992). Prosedur analisis sifat fisik tersebut secara lengkap dapat
dilihat pada bagian prosedur analisis pada penelitian Tahap I (Bab 2), yang
masing-masing dilakukan dengan minimal dua ulangan.
-
47
Gambar 8 Diagram alir penelitian pengaruh suhu terhadap sifat fisik
minyak sawit kasar (CPO).
Pengukuran sifat fisik CPO pada kisaran suhu 25-55 oC
Densitas, metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005)
Profil SFC, metode IUPAC 2.150 ex 2.323 (IUPAC 1987)
Sifat reologi CPO (HAAKE 1991, 1992)
Analisis pengaruh suhu terhadap sifat
fisik CPO dan pemodelan matematikanya
Pengaruh suhu terhadap densitas
Pengaruh suhu terhadap SFC
Pengaruh suhu terhadap sifat reologi
Penentuan korelasi antar parameter sifat fisik
CPO terkait dengan pengaruh suhu
Korelasi densitas dengan SFC
Korelasi densitas dengan sifat reologi
Korelasi SFC dengan sifat reologi
Pengujian pengaruh siklus suhu 25-55 oC terhadap sifat fisik CPO
Pengaruh siklus suhu terhadap profil entalpi
Pengaruh siklus suhu terhadap SFC
Pengaruh siklus suhu terhadap sifat reologi
Pengujian pengaruh metode penerapan suhu terhadap sifat
reologi CPO pada kisaran suhu 25-55 oC
(1) Sampel CPO mengalami penyetimbangan suhu selama 24 jam di
suhu pengukuran setelah pemanasan awal 55 oC
(2) Sampel CPO mengalami penurunan suhu dari 55 oC dengan laju 1
oC/menit menuju suhu pengukuran
-
48
Sebelum dilakukan pengukuran sifat fisik, sampel CPO harus mengalami
penyetimbangan suhu di suhu pengukuran selama 30-35 menit. Waktu 30-35
menit dipilih sebagai waktu penyetimbangan pada suhu pengukuran sesuai dengan
prosedur standar penentuan densitas dan SFC. Dari tiga sampel CPO yang
digunakan, dilakukan perbandingan antar sampel untuk melihat variasi sifat
fisiknya akibat pengaruh suhu.
Berdasarkan data yang diperoleh, dilakukan analisis data pengaruh suhu
terhadap sifat fisik CPO tersebut, dan dilakukan penepatan model matematikanya.
Parameter viskositas terukur ( ditentukan kesesuaiannya dengan model
Arrhenius (Steffe & Daubert 2006). Dilakukan pula analisis korelasi antar
parameter sifat fisik CPO untuk menyusun model matematika pendugaan
parameter sifat fisik CPO tertentu melalui pengujian parameter sifat fisik lainnya.
Pada tahap selanjutnya dipelajari pengaruh metode penerapan suhu
khususnya terhadap sifat reologi CPO yang diukur dengan HAAKE Viscometer
Rotovisco RV20, karena sifat reologi berkaitan langsung dengan proses
pengaliran di dalam pipa. Proses pengaliran CPO dapat berlangsung pada
kondisi suhu setimbang yang konstan (isotermal), maupun pada suhu non-
isotermal karena mengalami penurunan dari suhu 55 oC. Kedua kondisi
pengaliran tersebut diperkirakan akan menghasilkan parameter sifat reologi yang
berbeda. Pengaruh suhu dipelajari pada dua metode penerapan suhu yaitu:
(1) sampel CPO mengalami penyetimbangan suhu selama 24 jam di suhu
pengukuran setelah pemanasan awal 55 oC;
(2) sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu pemanasan awal 55 oC
dengan laju 1 oC/menit menuju suhu pengukuran.
Kondisi suhu setimbang pada metode penerapan suhu (1) mensimulasikan
kondisi pengaliran CPO dalam pipa secara isotermal, sedangkan kondisi suhu
yang belum setimbang pada metode penerapan suhu (2) mensimulasikan kondisi
CPO saat mengalami penurunan suhu ketika dialirkan di dalam pipa. Melalui
perlakuan tersebut, diharapkan dapat ditentukan sifat reologi CPO pada kedua
metode penerapan suhu, sehingga data yang digunakan dalam perhitungan teknik
kendali aliran CPO dapat lebih sesuai dengan profil perubahan suhu yang terjadi
selama pengaliran CPO dalam sistem pipa.
-
49
Pada tahap berikutnya, dilakukan pengujian pengaruh siklus suhu menurun
dan meningkat dengan kisaran suhu 25-55 oC untuk mensimulasikan model sistem
pengaliran CPO moda pipa jarak jauh yang membutuhkan tahap pemanasan
kembali di beberapa lokasi untuk mencegah terjadinya kristalisasi lemak. Laju
penurunan dan peningkatan suhu yang diterapkan pada penerapan siklus suhu
adalah 1 oC/menit. Pengaruh siklus suhu dievaluasi melalui profil entalpi
(thermogram) DSC yang dilakukan sebanyak 10 siklus, sedangkan pengaruh
siklus suhu terhadap SFC dan CPO dilakukan sebanyak 3 siklus. Siklus suhu
tersebut diterapkan beberapa kali pada sampel CPO dalam kondisi statis, kecuali
pada pemantauan CPO yang dilakukan pada shear rate 100 s-1. Prosedur
analisis pengujian pengaruh siklus suhu secara lengkap dapat dilihat pada bagian
prosedur analisis, dan semua pengujian dilakukan minimal dengan dua ulangan.
Untuk melihat perbedaan antar sampel atau antar perlakuan, dilakukan uji one-
way analysis of variance (ANOVA one-way) menggunakan program statistik
SPSS Statistics 17.0. Uji Duncan multiple-range dilakukan untuk menentukan
perbedaan yang nyata antara data rata-rata pada P
-
50
menit, dan selanjutnya disimpan pada suhu 0 oC selama 60 menit. Sebelum
dilakukan pengukuran SFC, contoh uji dipertahankan dulu pada masing-masing
suhu pengukurannya selama 30-35 menit, dengan menggunakan dry block untuk
suhu di atas 30 oC dan waterbath circulation Thermomix UB-Frigomix untuk
suhu di bawah 30 oC.
Pengujian pengaruh siklus suhu terhadap profil entalpi (modifikasi metode
Saberi et al. 2011)
Untuk mengetahui pengaruh siklus suhu menurun dan meningkat yang
dialami CPO secara berulang terhadap profil entalpi CPO, dilakukan pengujian
dengan Differential Scanning Calorimetry (DSC) tipe DSC-60 (Shimadzu Corp.
Jepang) yang dikendalikan dengan software Thermal Analysis System TA-60WS.
Hasil pengujian dengan DSC akan menghasilkan kurva profil entalpi
(thermogram). Pada saat suhu menurun, diperoleh kurva eksotermik (terjadi
pelepasan panas), sedangkan pada saat suhu meningkat diperoleh kurva
endotermik (terjadi penyerapan panas).
Tahap persiapan sampel dan instrumen yang digunakan dalam percobaan ini
sama dengan yang digunakan dalam analisis kalorimetri dinamis menurut Saberi
et al. (2011). Modifikasi prosedur analisis dilakukan terhadap program suhu yang
diterapkan. Perlakuan peningkatan suhu dilakukan pada laju 10 oC/menit untuk
mensimulasikan proses pemanasan yang cepat dengan heat exchanger pada jalur
perpipaan hingga suhu 55 oC dan sampel dipertahankan pada suhu tersebut selama
10 menit. Selanjutnya sampel diturunkan suhunya dengan laju penurunan suhu 1
oC/menit hingga suhu 25
oC, dan ditahan pada suhu tersebut selama 1 menit.
Kemudian dilakukan pemanasan kembali ke suhu 55 oC dan penurunan suhu
kembali ke 25 oC dengan laju perubahan suhu yang sama hingga 10 siklus.
Pengujian pengaruh siklus suhu terhadap kandungan lemak padat
(modifikasi metode IUPAC 1987)
Percobaan siklus suhu menurun dan meningkat dilakukan dengan
memodifikasi metode pengukuran SFC berdasarkan IUPAC 2.150 ex 2.323
-
51
(IUPAC 1987). Sampel CPO tidak melalui prosedur tempering standar, tetapi
langsung diukur SFC-nya dengan NMR pada metode penerapan suhu yang
dialaminya. Sebelumnya sampel CPO dimasukkan ke dalam tabung sampel NMR
setinggi + 2.5 cm. Sampel tersebut kemudian dipanaskan secara cepat dengan
dry block hingga suhu 55 oC dan ditahan selama 30 menit untuk menghilangkan
memori kristal awal. Sampel kemudian diturunkan suhunya dengan laju
penurunan suhu 1 oC/menit hingga suhu 25
oC, dan selanjutnya ditingkatkan
kembali suhunya ke 55 oC dalam waktu 10 menit. Pengukuran SFC dilakukan
pada setiap selang penurunan suhu 5 oC, dan pengujian dilakukan pada 3 siklus
suhu menurun dan meningkat.
Pengujian pengaruh siklus suhu terhadap viskositas terukur (HAAKE 1991,
1992)
Pengujian dilakukan dengan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 yang
dikontrol siklus suhunya dengan HAAKE Circulator dan HAAKE Temperature
Control Module F3 sesuai program suhu yang ingin diterapkan (HAAKE 1992).
Pengujian berlangsung pada shear rate yang tetap yaitu 100 s-1
. Sampel CPO
diberi perlakuan suhu yang meningkat hingga suhu 55 oC, dengan laju 1
oC/menit.
Peningkatan suhu tidak dilakukan pada laju yang lebih cepat, karena keterbatasan
sistem kontrol suhu pada instrumen yang digunakan (HAAKE 1991). Setelah
suhu 55 oC tercapai, dilakukan penurunan suhu menjadi 25
oC dengan laju
penurunan suhu 1 oC/menit. Siklus suhu menurun dan meningkat dilakukan pada
3 siklus, dan dilakukan pengukuran terhadap nilai sampel CPO tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Suhu terhadap Sifat Fisik CPO pada Kisaran Suhu 25-55 oC
Proses pengaliran CPO dalam pipa dipengaruhi oleh suhu selama
pengaliran, yang juga akan menentukan kendali pengalirannya sesuai desain
perpipaan yang dirancang. Untuk memastikan bahwa suhu pengukuran telah
tercapai dan setimbang, sampel CPO yang dianalisis sifat fisiknya terlebih dahulu
-
52
mengalami penyetimbangan di suhu pengukuran selama 30-35 menit. Waktu
penyetimbangan 30-35 menit merupakan waktu yang telah ditetapkan dalam
prosedur penentuan densitas minyak menurut AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005),
dan dalam prosedur penentuan SFC menurut IUPAC 2.150 ex 2.323 (IUPAC
1987). Pada pengukuran sifat reologi CPO, dilakukan pula penyetimbangan suhu
selama 30-35 menit sebelum prosedur pengukuran sifat reologi berlangsung.
Pada tahap penelitian ini digunakan tiga sampel CPO yang masing-masing diberi
kode CPO A, CPO B, dan CPO C.
Pengaruh suhu terhadap densitas CPO
Profil densitas CPO yang diukur pada kisaran suhu 25-55 oC dapat dilihat
pada Gambar 9 dengan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 12. Secara
umum, pada suhu yang semakin tinggi, densitas CPO semakin rendah, yang sesuai
dengan hasil penelitian Ong et al. (1995) yang menggunakan sampel RBDPO.
Pada suhu rendah di bawah 45 oC variasi nilai densitas antar sampel CPO cukup
besar, sedangkan pada suhu di atas 45 oC, densitas ketiga sampel CPO memiliki
nilai rata-rata sebesar 0.894 g/mL.
Gambar 9 Densitas tiga sampel CPO pada suhu 25-55 oC.
0,885
0,890
0,895
0,900
0,905
0,910
0,915
0,920
0,925
0,930
20 25 30 35 40 45 50 55 60
Den
sita
s (k
g/m
3)
Suhu (oC)
CPO A
CPO B
CPO C
0.930
0.925
0.920
0.915
0.910
0.905
0.900
0.895
0.890
0.885
-
53
Bila dibandingkan dengan data Ong et al. (1995) yang menggunakan sampel
RBDPO, densitas RBDPO pada suhu 50 oC sedikit lebih rendah yaitu 0.891 g/mL.
Pengujian Tangsathitkulchai et al. (2004) menggunakan sampel CPO pada suhu
15.5 oC menghasilkan data densitas sebesar 0.908 g/mL, yang masih sesuai
dengan kisaran data percobaan dalam penelitian ini.
Penurunan densitas CPO dapat dimodelkan dengan persamaan regresi
linier pengaruh suhu (T) terhadap densitas () yang diajukan oleh PORIM. Nilai
densitasCPO menurut PORIM (Timms 1985) mengikuti Persamaan 9. Persamaan
pengaruh suhu terhadap densitas CPO juga diajukan oleh Narvaez et al. (2007)
(Persamaan 10).
(g/mL) = 0.9244 0.00067 T (9)
(g/mL) = 0.9451 0.00124 T (10)
Berdasarkan data densitas tiga sampel CPO dapat disusun persamaan regresi
linier (Persamaan 11) dengan nilai R2 yang tinggi (0.984). Penentuan model
matematika melalui regresi linier pengaruh suhu terhadap densitas CPO disajikan
pada Gambar 10.
(g/mL) = 0.9354 0.00082 T (11)
Gambar 10 Regresi linier pengaruh suhu terhadap densitas tiga sampel CPO.
= 0.9354 - 0.00082 TR = 0.984
0,885
0,890
0,895
0,900
0,905
0,910
0,915
0,920
20 25 30 35 40 45 50 55 60
Den
sita
s (k
g/m
3)
Suhu (oC)
0.920
0.915
0.910
0.905
0.900
0.895
0.890
0.885
-
54
Persamaan 9, 10, dan 11 menghasilkan prediksi nilai densitas CPO yang
sedikit berbeda pada suhu yang sama. Menurut Timms (1985), adanya perbedaan
kecil pada nilai densitas yang dihitung dari persamaan matematika pengaruh suhu
tersebut tidak signifikan secara statistik bila dibandingkan dengan kesalahan
dalam pengukuran dan variasi sampel CPO yang diukur.
Pengaruh suhu terhadap kandungan lemak padat CPO
Kandungan lemak padat (SFC) merupakan fraksi lemak dalam bentuk padat
(dalam %) yang terdapat di dalam suatu sampel pada suhu tertentu setelah melalui
tempering suhu tertentu, yang diukur dengan Nuclear Magnetic Resonance
(NMR). Menurut Metin dan Hartel (2005), bila lemak didinginkan di bawah titik
leleh dari komponen bertitik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat
terhadap lemak cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG, yang dikenal
dengan istilah SFC.
Hasil pengukuran SFC tiga sampel CPO dengan menggunakan metode
standar perlakuan awal suhu (pretreatment) berupa pemanasan sampel CPO pada
suhu 80 oC selama 30 menit, dipertahankan pada suhu 60
oC selama 5 menit, dan
disimpan pada suhu 0 oC selama 60 menit), dapat dilihat pada Gambar 11 dengan
data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13. Bentuk kurva SFC yang
dihasilkan tiga sampel CPO tersebut sesuai dengan bentuk kurva SFC minyak
sawit menurut Timms (1985). Bentuk kurva SFC sampel minyak dan lemak
sangat tergantung dari pretreatment yang dialami sampel, khususnya riwayat
perubahan suhu yang dialaminya. Pada suhu yang semakin tinggi, SFC semakin
rendah. Hal itu terjadi karena pada suhu yang lebih tinggi, terjadi pelelehan pada
fraksi lemak yang semula merupakan fase padat menjadi fase cair, yang sangat
terkait dengan titik leleh (TM) sampel CPO.
Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa pada suhu 25 oC, sekitar
16.5% lemak dalam sampel CPO berbentuk padat. Dengan semakin
meningkatnya suhu, kandungan lemak dalam bentuk padat dalam sampel CPO
semakin menurun. Pada suhu di atas 40 oC, nilai SFC sampel CPO kurang dari
10%, dan pada suhu 55 oC SFC sampel CPO bernilai kurang dari 5%.
-
55
Gambar 11 Kandungan lemak padat (SFC) tiga sampel CPO pada suhu 25-
55 oC.
Keterbatasan pengukuran SFC oleh instrumen Nuclear Magnetic
Resonance (NMR) Analyzer Bruker Minispec PC 100 yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah tingkat ketelitian pengukuran pada SFC di bawah 5% yang
kurang baik. Diduga pada suhu 55 oC, SFC sampel CPO sudah sangat rendah dan
dalam kondisi hampir cair sempurna.
Bila data SFC sampel CPO dibandingkan dengan data Basiron (2005)
tentang SFC RBDPO, kisaran nilai SFC CPO lebih tinggi. Pada sampel RBDPO,
nilai rata-rata SFC pada suhu 45 oC telah mencapai 0.7%, sedangkan pada sampel
CPO yang diujikan, SFC rata-rata bernilai 5.37%. Fenomena tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Siew dan Mohammad (1989), dimana pada suhu lebih
tinggi dari 25 oC, SFC CPO lebih tinggi dibandingkan SFC RBDPO. Lebih
tingginya nilai SFC CPO dibandingkan RBDPO, selain diduga akibat instrumen
NMR yang digunakan telah mencapai batas sensitivitas pengukurannya, juga
karena jenis sampel yang dianalisis berbeda. Sampel CPO yang belum
mengalami tahap pemurnian, masih mengandung komponen selain lemak serta
kotoran, yang diperkirakan menyebabkan nilai SFC yang lebih tinggi. Pada CPO
terkandung pecahan dari TAG berupa diacylglycerol (DAG), yang menurut Siew
dan Ng (1996), juga mempengaruhi sifat kristalisasi lemak. Nilai SFC RBDPO
0
5
10
15
20
25
20 25 30 35 40 45 50 55 60
Kan
du
ngan
lem
ak
pad
at
(%)
Suhu (oC)
CPO A
CPO B
CPO C
-
56
yang berbeda dibandingkan CPO, menurut Siew dan Mohammad (1989)
dipengaruhi oleh proses deodorisasi yang telah dialami RBDPO pada suhu tinggi,
yang mengakibatkan perubahan sifat kristalisasinya, termasuk mempengaruhi
nilai SFC-nya.
Pengaruh suhu terhadap sifat reologi CPO
Pengaruh suhu terhadap sifat reologi CPO difokuskan sebelum proses
kristalisasi tahap pertama, yang menurut Tarabukina et al. (2009) termasuk dalam
zona A dengan sampel yang berada dalam fase cair, dan peningkatan viskositas
hanya disebabkan oleh terjadinya penurunan suhu. Pengukuran sifat reologi CPO
dilakukan pada kondisi suhu yang isotermal setelah penyetimbangan selama 30-
35 menit. Menurut Goodrum et al. (2002), karena viskositas merupakan fungsi
dari suhu, maka nilai parameter reologi indeks tingkah laku aliran (flow behaviour
index atau n) dan nilai indeks konsistensi (concistency index atau K) juga dapat
berubah dengan perubahan suhu. Dengan demikian, n dan K harus ditentukan
melalui percobaan penentuan viskositas pada kondisi suhu tertentu (isotermal).
Pengukuran sifat reologi CPO dilakukan dengan mengukur shear stress dan
viskositas terukur () CPO pada kisaran shear rate ( ) 0-400 s-1. Berdasarkan
rheogram yang diukur pada suhu yang berbeda, dapat diamati adanya perbedaan
respon shear stress akibat shear rate yang diterapkan pada ketiga sampel CPO
akibat perbedaan suhu (Gambar 12).
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12, bentuk kurva dan slope yang
dihasilkan pada setiap suhu berbeda. Pada suhu 25-40 oC, kenaikan shear stress
tidak proporsional (lebih tinggi) dibandingkan kenaikan shear rate, sehingga
membentuk kurva convex (cekung ke bawah) yang merupakan ciri dari fluida
yang bersifat non-Newtonian pseudoplastic (Rao 1999). Sedangkan pada suhu di
45-55 oC, shear stress yang terukur kenaikannya sebanding (linier) dengan
kenaikan shear rate yang mengindikasikan sifat fluida Newtonian.
-
57
Gambar 12 Rheogram yang diukur pada kisaran suhu 25-55 oC pada sampel
CPO A, CPO B, dan CPO C.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Shea
r stres
s (P
a)
Shear rate (s-1)
1
2
3
4
5
6
7
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
0
10
20
30
40
50
60
70
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Shea
r stres
s (P
a)
Shear rate (s-1)
1
2
3
4
5
6
7
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
0
10
20
30
40
50
60
70
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Shea
r stres
s (P
a)
Shear rate (s-1)
25 C (2)
30 C (1)
35 C (2)
40 C (1)
45 C (1)
50 C (1)
55 C (1)
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
CPO A
CPO C
CPO B
-
58
Dengan melakukan penepatan model reologi menggunakan persamaan
power law, dapat ditentukan parameter sifat fluida n dan K tiga sampel CPO pada
kisaran suhu 25-55 oC (Tabel 7 dan Lampiran 14). Data lengkap persamaan
regresi linier hubungan shear rate dan shear stress tiga sampel CPO pada kisaran
suhu 25-55 oC dapat dilihat pada Lampiran 15. Secara umum, pada suhu
pengukuran yang sama terdapat variasi nilai n dan K di antara ketiga sampel CPO
tersebut. Diperkirakan penyebab variasi sifat reologi CPO disebabkan oleh
adanya perbedaan komposisi asam lemak sesuai dengan hasil pengujian pada
tahap penelitian sebelumnya, maupun akibat susunan asam lemak tersebut di
dalam TAG. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Wang dan Briggs (2002)
terhadap 5 jenis minyak kedelai, dimana perbedaan komposisi asam lemak dalam
minyak kedelai menghasilkan variasi pada sifat reologinya.
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa ketiga sampel CPO bersifat
sebagai fluida Newtonian pada suhu 55 oC, dengan nilai n sekitar 1 dan nilai K
yang sangat rendah mendekati 0. Pada suhu 50 dan 45 oC, ketiga sampel CPO
CPO mengalami penurunan nilai n, akan tetapi sifatnya masih mendekati sifat
fluida Newtonian karena nilai n yang tinggi di atas 0.9. Dengan suhu yang
semakin rendah, sifat fluida CPO semakin pseudoplastic dengan nilai n yang
semakin kecil dan nilai K yang semakin besar.
Tabel 7 Parameter model fluida CPO yang ditunjukkan oleh indeks tingkah laku
aliran (n) dan indeks konsistensi (K) pada tiga sampel CPO.
Suhu
(oC)
Indeks tingkah laku aliran (n)* Indeks konsistensi (K, Pa.sn)*
CPO A CPO B CPO C CPO A CPO B CPO C
25 0.534 a 0.781 a 0.545 a 2.519 c 0.369 d 2.452 c
30 0.558 a 0.858 b 0.673 b 1.406 b 0.174 c 0.702 b
35 0.761 b 0.902 b,c 0.738 c 0.279 a 0.103 b 0.310 b
40 0.822 c 0.918 b,c 0.786 d 0.141 a 0.070 a,b 0.179 a
45 0.930 c,d 0.960 c 0.932 e 0.043 a 0.038 a 0.050 a
50 0.946 c,d 0.960 c 0.931 e 0.041 a 0.035 a 0.033 a
55 0.987 d 0.968 c 1.004 f 0.027 a 0.027 a 0.026 a
* Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P
-
59
Pada suhu 25 oC, sifat pseudoplastic ketiga sampel CPO semakin dominan.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ong et al. (1995) mengenai sifat aliran
fluida RBDPO yang memiliki indikasi sifat aliran turbulent non-Newtonian pada
suhu di bawah 30 oC dengan di atas 100 mPa.s. Timms (1985) menyatakan
bahwa pada saat mendekati titik lelehnya, sifat non-Newtonian dapat terjadi
karena keberadaan kristal lemak di dalam sampel minyak. Karakter sifat reologi
CPO tersebut serupa dengan hasil penelitian Goodrum et al. (2002) pada sampel
yellow grease dan poultry fat, dimana sampel tersebut pada suhu kamar bersifat
sebagai fluida non-Newtonian sedangkan pada suhu tinggi (71.1 oC) bersifat
sebagai fluida Newtonian karena lemak padatnya telah meleleh.
Tangsathitkulchai et al. (2004) melakukan pengukuran sifat reologi CPO
pada suhu 30, 40, dan 60 oC pada shear rate 0-4000 s
-1, dan disimpulkan bahwa
CPO memiliki sifat fluida Newtonian. Selain itu CPO juga bersifat time
independent dimana shear stress tidak mengalami perubahan ketika diterapkan
shear rate pada waktu tertentu. Kesimpulan Tangsathitkulchai et al. (2004) yang
berbeda mengenai sifat fluida CPO disebabkan oleh kisaran perlakuan shear rate
yang diterapkan jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian ini, sehingga profil
perubahan shear stress cenderung menghasilkan kurva yang linier.
Bila dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya seperti yang telah
diteliti oleh Kim et al. (2009), minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut,
zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari memiliki sifat fluida Newtonian. pada
suhu 25 oC untuk tujuh sampel minyak nabati tersebut lebih rendah yaitu berkisar
antara 43-63 mPa.s, dibandingkan CPO yang berkisar antara 134-293 mPa.s
pada shear rate 100 s-1
. Demikian juga yang diperoleh Fasina et al. (2006) yang
menyatakan bahwa 12 sampel minyak nabati yaitu minyak almond, canola,
jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kacang tanah, safflower, wijen, kedelai, biji
bunga matahari, dan walnut bersifat sebagai fluida Newtonian, dengan di suhu
20 oC berkisar antara 59-87 mPa.s. Perbedaan tersebut diduga terkait dengan
perbedaan komposisi asam lemak di dalam sampel. Sampel minyak nabati
lainnya lebih dominan mengandung asam lemak tak jenuh (78.1-91.9%),
sedangkan sampel CPO hanya mengandung asam lemak tak jenuh sekitar 49.8%.
Menurut Kim et al. (2009), ikatan rangkap dengan konfigurasi cis pada asam
-
60
lemak tak jenuh memiliki bentuk rantai yang bengkok, yang menyulitkan untuk
tersusun rapat satu sama lain. Hal tersebut mengganggu penataan kristalin dan
menyebabkan struktur lemak menjadi tidak kuat dan tidak kaku, dengan molekul
yang tersusun lebih longgar sehingga bersifat lebih cair. Selain itu menurut Wang
dan Briggs (2002), adanya konfigurasi rantai asam lemak yang bengkok
mencegah terjadinya interaksi atau penataan antar molekul serta mengurangi friksi
intermolekuler, sehingga mengakibatkan menjadi lebih rendah.
Berdasarkan pengujian statistik dengan ANOVA one-way dan uji lanjut
Duncan terhadap nilai n dan K (Lampiran 16), dapat diketahui bahwa suhu
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap sifat reologi CPO. Pada suhu
40, 45, 50 dan 55 oC, sifat reologi CPO secara umum relatif sama. Perbedaan
yang nyata pada sifat reologi CPO mulai terjadi pada suhu di bawah 40 oC. Bila
dikaitkan dengan titik leleh (melting temperature, TM) CPO yaitu rata-rata 39.07
oC (hasil penelitian Tahap I pada Bab 2), maka pada suhu di atas TM, lemak padat
CPO telah mengalami pelelehan sempurna, dan menghasilkan sifat reologi yang
tidak berbeda nyata pada kondisi CPO yang cair sempurna. Sebaliknya pada suhu
di bawah TM, mulai terjadi kondisi supercooling yang menginduksi terjadinya
kristalisasi lemak CPO, yang mengakibatkan perbedaan yang nyata terhadap sifat
reologinya.
Sifat CPO sebagai fluida pseudoplastic menguntungkan dalam sistem
pengaliran dalam pipa, karena pada saat mengalami peningkatan shear rate,
fluida akan bersifat semakin encer (shear thinning). Berdasarkan pengukuran
sifat reologi sampel CPO tersebut, dapat diamati pula perubahan akibat
pengaruh shear rate (Gambar 13). Penerapan shear rate tertentu dalam proses
pengaliran di dalam pipa (pada penelitian ini dipilih shear rate 100 s-1
dan 400 s-1
)
akan menghasilkan CPO yang berbeda, seperti dapat dilihat pada Tabel 8 dan
Lampiran 14. Pada saat CPO bersifat sebagai fluida pseudoplatic (di suhu 25-40
oC), shear rate yang semakin tinggi akan menurunkan . Terkait sistem
pengaliran CPO dalam pipa, dengan semakin tingginya laju aliran (flow rate) yang
diterapkan, akan menyebabkan CPO menjadi lebih rendah. Pada suhu 45-55 oC,
saat CPO cenderung bersifat sebagai fluida Newtonian, nilai relatif tetap dan
perbedaan shear rate yang diterapkan tidak akan berpengaruh terhadap .
-
61
Gambar 13 Profil viskositas terukur CPO yang diukur pada kisaran suhu 25-55 oC
pada sampel CPO A, CPO B, dan CPO C.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Visk
osita
s ter
ukur
(mPa
.s)
Shear rate (s-1)
1
2
3
4
5
6
7
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Visk
osita
s te
ruku
r (m
Pa.s)
Shear rate (s-1)
1
2
3
5
6
6
7
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Visko
sita
s te
ruku
r (m
Pa.
s)
Shear rate (s-1)
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
CPO A
CPO C
CPO B
-
62
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada suhu yang semakin tinggi,
nilai CPO semakin rendah. Pada suhu 55 oC, nilai CPO sekitar 25 mPa.s, dan
nilai semakin besar pada suhu yang lebih rendah hingga lebih dari 100 mPa.s.
Plot hubungan antara suhu dengan nilai ketiga sampel CPO disajikan pada
Gambar 14. Bentuk kurva hubungan suhu dengan CPO tersebut sesuai dengan
hasil penelitian Tangsathitkulchai et al. (2004) pada CPO, khususnya pada shear
rate 400 s-1
, dimana akan menurun secara eksponensial ketika suhu meningkat.
Penurunan secara eksponensial akibat peningkatan suhu pada kisaran 5-95 oC
juga terjadi pada tujuh sampel minyak nabati yang diteliti oleh Kim et al. (2009)
dan 12 sampel minyak nabati yang diteliti oleh Fasina et al. (2006).
Menurut Ong et al. (1995), sampel RBDPO yang bersuhu di bawah 30 oC
memiliki lebih besar dari 100 mPa.s. Timms (1985) mengemukakan bahwa
minyak meningkat dengan meningkatnya berat molekul, tetapi menurun dengan
meningkatnya ketidakjenuhan dan suhu, dengan penurunan minyak sekitar 30%
untuk setiap peningkatan suhu sebesar 10 oC. Menurut Santos et al. (2005)
pengaruh suhu terhadap penurunan disebabkan oleh terjadinya penurunan
interaksi molekuler di dalam fluida, sedangkan menurut Munson et al. (2001)
disebabkan oleh terjadinya penurunan gaya kohesif pada molekul-molekul fluida
saat suhu mengalami peningkatan. Selain itu menurut Tangsathitkulchai et al.
(2004), peningkatan suhu juga menurunkan jumlah partikel lemak yang
mengendap serta membantu pelarutannya, sehingga mengalami penurunan.
Tabel 8 Viskositas terukur tiga sampel CPO pada shear rate 100 s-1
dan 400 s-1
.
Suhu
(oC)
Viskositas terukur pada shear rate
100 s-1
(mPa.s)*
Viskositas terukur pada shear
rate 400 s-1
(mPa.s)*
CPO A CPO B CPO C CPO A CPO B CPO C
25 293.0 e 134.0 e 299.7 d 153.3 e 98.9 f 159.3 e
30 183.2 d 90.2 d 154.9 c 99.2 d 74.1 e 98.4 d
35 92.6 c 64.3 c 92.9 b 66.5 c 56.1 d 64.6 c
40 58.3 b 47.4 b 66.3 b 48.1 b 42.2 c 49.2 b
45 30.9 a,b 31.7 a 36.6 a 28.1 a 30.0 b 33.3 a
50 31.5 a,b 29.2 a 23.9 a 29.3 a 27.6 b 21.7 a
55 25.1 a 22.8 a 25.8 a 24.6 a 21.8 a 26.0 a * Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P
-
63
Gambar 14 Pengaruh suhu terhadap viskositas terukur tiga sampel CPO pada
shear rate 100 s-1
dan 400 s-1
.
Nilai pada shear rate 400 s-1 lebih rendah dibandingkan pada shear rate
100 s-1
, karena terkait dengan sifat fluida CPO yang pseudoplastic yang akan
semakin rendah saat shear rate meningkat. Pada kisaran shear rate tersebut,
ketiga sampel CPO secara umum rendah (di bawah 35 mPa.s) dan tidak berbeda
nyata pada suhu 45, 50, dan 55 oC. Dengan demikian, bila CPO berada pada suhu
tinggi di atas TM CPO 39 oC, sifat reologinya tidak berbeda nyata akibat lemak
dalam bentuk padat telah meleleh sempurna.
Berdasarkan data pada Tabel 7 dan 8, dapat disimpulkan bahwa pada suhu
yang semakin rendah sifat fluida CPO semakin pseudoplastic, akan tetapi nilai
pada suhu-suhu rendah tersebut lebih tinggi dibandingkan saat CPO bersifat
sebagai fluida Newtonian di suhu tinggi. Penerapan shear rate yang sangat tinggi
sekalipun, tidak menyebabkan penurunan yang lebih rendah dibandingkan
dengan penerapan suhu analisis yang lebih tinggi. Dengan demikian, penggunaan
suhu pengaliran yang lebih tinggi akan lebih menguntungkan karena nilai yang
dihasilkan lebih rendah dan tidak berubah akibat pengaruh shear rate yang
diterapkan (karena bersifat sebagai fluida Newtonian).
0
50
100
150
200
250
300
350
20 30 40 50 60
Vis
kos
itas
ter
ukur
(mP
a.s)
Suhu (oC)
CPO A, g 100 s-1
CPO B, g 100 s-1
CPO C, g 100 s-1
CPO A, g 400 s-1
CPO B, g 400 s-1
CPO C, g 400 s-1
CPO A, g 100 s-1
CPO B, g 100 s-1
CPO C, g 100 s-1
CPO A, g 400 s-1
CPO B, g 400 s-1
CPO C,g 400 s-1
-
64
Pengaruh suhu terhadap viskositas terukur fluida () dapat dimodelkan
dengan baik oleh model Arrhenius seperti dapat dilihat pada Persamaan 12 (Steffe
& Daubert 2006).
= exp
(12)
dimana Ea adalah energi aktivasi untuk aliran, R adalah konstanta gas universal,
dan T adalah suhu absolut. Nilai Ea dan konstanta persamaan Arrhenius (Ar)
ditentukan menggunakan regresi linier dari data percobaan. Nilai Ea
mengindikasikan bahwa suatu fluida akan lebih mudah mengalami perubahan
viskositas saat terjadi perubahan suhu (Steffe & Daubert 2006; Wang & Briggs
2002).
Untuk fluida non-Newtonian, terdapat pengaruh shear rate yang akan
mengubah respon perubahan viskositas terukur () akibat perubahan suhu. Steffe
dan Daubert (2006) mengemukakan cara penepatan model Arrhenius untuk fluida
non-Newtonian dengan mengunakan patokan suhu tertentu (reference temperature
atau Tr) dan tertentu (reference atau r) pada shear rate tertentu (Persamaan
13).
ln
=
1
1
(13)
Tr yang dipilih dalam penelitian ini adalah 300 K (atau 27 oC), sedangkan r
dihitung berdasarkan Persamaan 12. Dengan menggunakan r hasil perhitungan,
dapat diperoleh konstanta model Arrhenius untuk ketiga sampel CPO sebagai
fluida non-Newtonian yang ditampilkan pada Tabel 9 untuk shear rate 100 s-1
dan Tabel 10 untuk shear rate 400 s-1
. Penepatan model Arrhenius dengan plot
1/T terhadap ln ketiga sampel CPO untuk penentuan nilai Ea dan Ar pada data
di shear rate 100 s-1
dan 400 s-1
, dapat dilihat pada Lampiran 17.
Berdasarkan penepatan dengan model Arrhenius tersebut, dapat ditentukan
nilai Ea ketiga sampel CPO pada saat mengalami shear rate tertentu. Pada ketiga
sampel CPO yang diuji, nilai Ea pada shear rate 100 s-1
berkisar antara 48.20-
-
65
70.13 kJ/mol, sedangkan pada shear rate 400 s-1
, nilai Ea berkisar antara 41.46-
53.28 kJ/mol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CPO yang dialirkan
pada shear rate yang lebih tinggi akan memiliki nilai Ea yang lebih rendah dan
lebih tidak sensitif terhadap perubahan suhu yang dialaminya.
Penggunaan model Arrhenius pada RBDP olein (fraksi olein minyak sawit
yang telah dimurnikan) oleh Gupta et al. (2007) menghasilkan nilai Ea sebesar
27.88 kJ/mol. Kim et al. (2010) yang menggunakan model Arrhenius pada tujuh
sampel minyak nabati menghasilkan nilai Ea 24.6-26.9 kJ/mol dan nilai Ar 1.18 x
10-6
-2.23 x 10-6
Pa.s. Sedangkan penelitian Fasina et al. (2006) pada 12 sampel
minyak nabati menghasilkan nilai Ea 28.7-33.3 kJ/mol dan nilai Ar 1.1 x 10-8
-4.9
x 10-8
Pa.s. Nilai Ea CPO lebih besar dibandingkan Ea RBDP olein dan sampel
minyak nabati yang diteliti Kim et al. (2009) dan Fasina et al. (2006), yang
menunjukkan bahwa saat terjadi perubahan suhu, sampel CPO semakin mudah
berubah dibandingkan sampel minyak nabati lainnya.
Menurut Wang dan Briggs (2002), nilai Ea juga ditentukan oleh komposisi
kimia lemak. Diperkirakan, nilai Ea semakin besar bila terjadi perubahan fase
bahan pada kisaran suhu pengujian. CPO mengalami perubahan fase pada kisaran
suhu 25-55 oC, karena memiliki TM rata-rata sebesar 39.07
oC. Sedangkan sampel
minyak nabati lain yang diteliti Gupta et al. (2007), Kim et al. (2010), dan Fasina
et al. (2006) pada umumnya telah berbentuk cair pada suhu kamar, dan memiliki
sifat fluida Newtonian.
Tabel 9 Parameter model Arrhenius pengaruh suhu terhadap viskositas terukur
CPO sebagai fluida non-Newtonian pada shear rate 100 s-1
.
Jenis
CPO
Ea (kJ/mol)
Ar
(Pa.s) r
(Pa.s)
Tr
(K) Model Arrhenius
CPO
A 70.00 1.39 x 10
-10 0.214 300 100 s
-1 = 0.214 exp 8420
1
1
300
CPO
B 48.20 4.43 x 10
-7 0.109 300 100 s
-1 = 0.109 exp 5797
1
1
300
CPO
C 70.13 1.30 x 10
-10 0.212 300 100 s
-1 = 0.212 exp 8435
1
1
300
-
66
Tabel 10 Parameter model Arrhenius pengaruh suhu terhadap viskositas terukur
CPO sebagai fluida non-Newtonian pada shear rate 400 s-1
.
Jenis
CPO
Ea (kJ/mol)
Ar
(Pa.s) r
(Pa.s)
Tr
(K) Model Arrhenius
CPO
A 51.31 1.39 x 10
-7 0.119 300 400 s
-1 = 0.119 exp 6172
1
1
300
CPO
B 41.56 4.98 x 10
-6 0.086 300 400 s
-1 = 0.086 exp 4999
1
1
300
CPO
C 53.28 6.43 x 10
-8 0.122 300 400 s
-1 = 0.122 exp 6409
1
1
300
Untuk membuktikan adanya korelasi antara Ea dengan sifat kimia CPO,
dilakukan uji korelasi Pearson antara Ea dengan kandungan asam lemak bebas
(ALB) dan bilangan iod (BI). Hasil uji korelasi tersebut disajikan pada Lampiran
18, yang menunjukkan bahwa BI berkorelasi nyata dengan Ea CPO, akan tetapi
ALB tidak berkorelasi nyata dengan Ea CPO. Walaupun kisaran BI sampel CPO
telah dibatasi oleh SNI pada kisaran 50-55 g/100 g sampel, akan tetapi kisaran BI
yang sempit tersebut menghasilkan nilai Ea yang berbeda.
Berdasarkan data dari tiga sampel CPO, dapat disusun suatu persamaan
matematika yang dapat memprediksi nilai Ea sampel CPO berdasarkan BI-nya
pada shear rate tertentu. Prediksi Ea sampel CPO dari BI-nya pada shear rate
100 s-1
dilakukan dengan Persamaan 14 dengan R2 = 0.946, sedangkan prediksi Ea
sampel CPO dari BI-nya pada shear rate 400 s-1
dapat dilakukan dengan
Persamaan 15 dengan R2 = 0.993.
Ea 100 s-1
= -6.254(BI) + 387.6 (14)
Ea 400 s-1
= -3.185(BI) + 214.1 (15)
Penentuan persamaan regresi linier tersebut dapat dilihat pada Lampiran 19.
Saat CPO mengalami perubahan suhu pada kisaran 25-55 oC di shear rate
tertentu, CPO dengan BI yang semakin kecil memiliki Ea yang semakin besar,
sehingga semakin mudah mengalami perubahan . Pada CPO dengan BI yang
rendah, akan terdapat lebih banyak fraksi asam lemak jenuh yang bertitik leleh
-
67
tinggi (fraksi stearin), dan mudah memadat pada suhu kamar. Dengan tingginya
kandungan asam lemak jenuh di dalamnya, ketika suhu meningkat melewati titik
lelehnya, maka sampel CPO tersebut juga akan semakin mudah berubah.
BI memiliki korelasi yang nyata dan sangat menentukan nilai Ea suatu
sampel CPO. BI menunjukkan proporsi kandungan asam lemak jenuh dan tak
jenuh di dalam sampel CPO (Basiron 2005), dan sampel CPO dengan BI yang
rendah memiliki jumlah ikatan rangkap yang lebih sedikit. Pada minyak yang
mengandung lebih banyak ikatan rangkap (BI lebih tinggi), saat suhu mengalami
perubahan, maka juga akan lebih mudah mengalami perubahan dan memiliki
Ea yang lebih kecil. Hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian Kim et al.
(2009) yang menunjukkan bahwa sifat reologi minyak nabati ditentukan oleh
komponen utama asam lemak di dalamnya yaitu asam lemak tak jenuh 18:1 dan
18:2, dan minyak yang mengandung lebih banyak ikatan rangkap memiliki nilai
Ea yang lebih kecil.
Korelasi Antara Parameter Sifat Fisik CPO Terkait dengan Pengaruh Suhu
Perubahan parameter sifat fisik CPO yaitu densitas, SFC, dan sifat reologi
saat terjadi perubahan suhu pada kisaran 25-55 oC, disebabkan oleh terjadinya
fenomena fisik tertentu yang dialami CPO. Bila fenomena fisik yang
menyebabkan perubahan parameter sifat fisik tersebut sama, dan data parameter
sifat fisik yang berbeda berkorelasi, maka korelasi antar parameter sifat fisik
CPO dapat menghasilkan model matematika yang dapat digunakan untuk
memprediksi suatu parameter sifat fisik melalui pengukuran parameter sifat fisik
lainnya pada saat sampel CPO mengalami perubahan suhu. Khususnya terkait
dengan sifat reologi, prediksi sifat fluida melalui penentuan parameter n dan K
sangat penting artinya mengingat ketersediaan instrumen untuk mengukur
parameter sifat reologi yang masih terbatas, dan waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan analisis tersebut cukup panjang.
Data hasil pengujian sifat fisik tiga sampel CPO pada suhu 25-55 oC dan
dengan kondisi pengukuran standar, diuji korelasi Pearson (Lampiran 20).
Densitas tidak memiliki korelasi yang nyata (P
-
68
reologi (n, K, dan ). Densitas yang dihitung dengan membagi massa CPO
dengan volumenya, diduga tidak terlalu dipengaruhi oleh jumlah kristal lemak
yang terbentuk saat suhu mengalami perubahan, dan densitas dapat langsung
dihitung menggunakan Persamaan 10.
Perubahan nilai SFC akibat pengaruh suhu pada kisaran suhu 25-55 oC
berkorelasi nyata (P
-
69
SFC dan viskositas secara perlahan selama proses kristalisasi RBDP olein. Secara
umum, viskositas sampel akan meningkat dengan meningkatnya SFC dan
kandungan kristal.
Parameter sifat reologi CPO (nilai n dan K) dapat diprediksi dengan
persamaan matematika hasil regresi linier tiga sampel CPO, yang menghubungkan
antara SFC dengan parameter reologinya. Nilai n dapat diprediksi berdasarkan
SFC dengan Persamaan 16 (R = 0.903), sedangkan K dapat diprediksi
berdasarkan SFC dengan Persamaan 17 (R = 0.977). Penentuan persamaan
regresi linier hubungan antara SFC dengan parameter reologi CPO dapat dilihat
pada Lampiran 21.
n = -0.029(SFC) + 1.070 (16)
K = 0.146(SFC) 0.732 (17)
Pengaruh Metode Penerapan Suhu terhadap Sifat Reologi CPO
Menurut Rye et al. (2005), sifat reologi lemak dipengaruhi oleh kondisi
proses antara lain suhu penyimpanan, laju pendinginan, waktu penyimpanan,
shear (gaya geser) dan perlakuan suhu (tempering) yang diterapkan. Oleh karena
itu, hasil pengukuran sifat fisik CPO juga ditentukan oleh perubahan suhu yang
berlangsung sebelum pengukuran. Terkait dengan tujuan pengaliran di dalam
pipa, profil perubahan suhu yang dialami CPO sebelum dialirkan akan
mempengaruhi sifat reologi dan kemudahannya untuk mengalir di dalam pipa.
Proses pengaliran CPO dalam pipa dapat berlangsung pada dua kondisi
perubahan suhu, dan disimulasi dalam dua metode penerapan suhu yaitu pada
suhu pengaliran yang konstan (isotermal), dan pengaliran pada suhu non-isotermal
karena mengalami penurunan dari suhu 55 oC akibat pelepasan panas di sepanjang
pipa. Pengaruh suhu terhadap sifat reologi CPO dipelajari pada dua metode
penerapan suhu yaitu:
(1) sampel CPO mengalami penyetimbangan suhu selama 24 jam di suhu
pengukuran setelah pemanasan awal 55 oC;
-
70
(2) sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu pemanasan awal 55 oC
dengan laju 1 oC/menit menuju suhu pengukuran.
Untuk pengujian tahap ini hanya digunakan sampel CPO C yang memiliki
bilangan iod 50.35 g/100 g sampel. Perbandingan grafik hubungan shear rate
terhadap shear stress (rheogram) sampel CPO yang diukur pada kedua metode
penerapan suhu disajikan pada Gambar 15. Data yang disajikan adalah data salah
satu ulangan, dengan profil data antar ulangan yang relatif sama. Terdapat
perbedaan bentuk rheogram sampel CPO dimana metode penerapan suhu (1)
menghasilkan nilai shear stress yang lebih tinggi dibandingkan metode penerapan
suhu (2) pada shear rate yang sama.
Pada sistem transportasi moda pipa, pengaliran berlangsung pada shear rate
tertentu dan beban pengaliran dalam pipa ditentukan oleh viskositas terukur ()
fluida tersebut. Profil yang disajikan pada Gambar 16 juga menunjukkan
adanya perbedaan nilai CPO yang diukur pada metode penerapan suhu (1) dan
(2), khususnya pada shear rate yang rendah. Pada metode penerapan suhu (1),
nilai lebih tinggi dan menurun secara tidak linier dengan meningkatnya shear
rate, sedangkan pada metode penerapan suhu (2), nilai relatif rendah dan
bernilai konstan pada kisaran shear rate yang dicobakan.
Kuantifikasi perbedaan sifat reologi CPO pada dua metode penerapan suhu
tersebut dilakukan dengan membandingkan parameter model fluida dari
persamaan power law, yang mencakup nilai n dan K yang dihitung dari persamaan
regresi linier hubungan shear rate dan shear stress yang dihasilkan (Lampiran
22). Hasil perhitungan parameter sifat reologi CPO pada kedua metode penerapan
suhu tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 dengan data selengkapnya pada
Lampiran 23. Pada Tabel 12 disajikan data sampel CPO pada shear rate 100 s-1
dan 400 s-1
setelah mengalami metode penerapan suhu, dengan data selengkapnya
juga disajikan pada Lampiran 23. Secara umum, pada saat CPO bersifat sebagai
fluida non-Newtonian pseudoplastic, maka pada shear rate yang semakin tinggi
nilai akan semakin rendah. Akan tetapi, bila CPO bersifat sebagai fluida
Newtonian, maka perubahan shear rate tidak akan banyak mempengaruhi nilai
dengan nilai yang relatif konstan.
-
71
(1)
(2)
Gambar 15 Rheogram CPO pada beberapa suhu dengan metode penerapan suhu
(1) setelah penyetimbangan pada suhu pengukuran selama 24 jam,
dan (2) setelah penurunan suhu dengan laju 1 oC/menit.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Sh
ear
stre
ss (
Pa)
Shear rate (s-1)
25 C 2
30 C 1
35 C 1
40 C 2
45 C 2
50 C 2
55 C 2
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
0
10
20
30
40
50
60
70
50 100 150 200 250 300 350 400
Sh
ea
r st
ress
(P
a)
Shear rate (s-1)
25 C 2
30 C 1
35 C 1
40 C 2
45 C 2
50 C 2
55 C 2
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
-
72
(1)
(2)
Gambar 16 Viskositas terukur CPO pada beberapa suhu dengan metode
penerapan suhu (1) setelah penyetimbangan pada suhu
pengukuran selama 24 jam, dan (2) setelah penurunan suhu
dengan laju 1 oC/menit.
0
100
200
300
400
500
600
700
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Vis
ko
sita
s te
ru
ku
r (
mP
a.s
)
Shear rate (s-1)
Series2
Series3
Series5
Series8
Series9
50 C 1
Series14
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
0
100
200
300
400
500
600
700
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Vis
kosi
tas
teru
ku
r (m
Pa.s
)
Shear rate (s-1)
Series2
Series3
Series5
Series8
Series9
Series11
Series14
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
25 oC
30 oC
35 oC
40 oC
45 oC
50 oC
55 oC
-
73
Tabel 11 Parameter model fluida CPO yang ditunjukkan oleh indeks tingkah laku
aliran (n) dan indeks konsistensi (K) CPO C pada dua metode
penerapan suhu.
Suhu
(oC)
Metode penerapan suhu
(1)
Setelah pemanasan ke suhu 55 oC
dan penyimpanan 24 jam
(2)
Setelah pemanasan ke suhu 55 oC
dan penurunan suhu pada laju 1 oC/menit
Indeks tingkah
laku aliran (n)*
Indeks
konsistensi aliran
(K, Pa.sn)*
Indeks tingkah
laku aliran (n)*
Indeks
konsistensi aliran
(K, Pa.sn)*
55 0.959 e 0.028 a 0.976 a 0.030 a,b
50 0.947 e 0.036 a 1.029 a 0.020 a
45 0.914 d 0.051 a 1.034 a 0.025 a,b
40 0.842 c 0.132 a 1.008 a 0.036 a,b
35 0.748 b 0.280 b 0.972 a 0.046 b,c
30 0.712 a 0.626 c 0.951 a 0.066 c
25 0.696 a 0.907 d 1.179 b 0.034 a,b
* Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P
-
74
Sampel CPO yang diukur sifat reologinya pada metode penerapan suhu (1)
menghasilkan nilai n, K, dan yang berbeda nyata antar suhu (P
-
75
Metode penerapan suhu (1) menghasilkan sifat reologi CPO yang lebih
berat dibandingkan metode penerapan suhu (2). CPO yang mengalami metode
penerapan suhu (1) cenderung bersifat pseudoplastic pada suhu di bawah 45 oC
dengan yang relatif lebih tinggi. Sebaliknya pada metode penerapan suhu (2),
CPO cenderung tetap mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian dengan
yang relatif rendah hingga suhu terendah 30 oC. Pada aplikasi pengaliran CPO
di dalam pipa dengan jarak tempuh yang jauh dan mengalami penurunan suhu
sepanjang pengaliran, data sifat reologi CPO yang lebih sesuai digunakan adalah
data hasil pengujian dengan metode penerapan suhu (2), karena kondisi suhu
aktual yang terjadi selama pengaliran CPO akan terus menurun hingga suhu
tertentu, sebelum mencapai kondisi isotermal.
Terdapat perbedaan suhu saat terjadi transisi sifat aliran fluida CPO
(Newtonian atau non-Newtonian pseudoplastic) pada kedua metode penerapan
suhu di kisaran 25-55 oC. Pada metode penerapan suhu (1), transisi sifat reologi
terjadi pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 45 oC), yang diperkirakan terjadi
karena kondisi sampel yang statis sehingga interaksi molekul menjadi lebih kuat
dan lebih tinggi. Pada metode penurunan suhu (2), T yang diterapkan lebih
besar (laju penurunan suhu cepat), sehingga waktu yang tersedia untuk berada
pada kondisi supercooling menjadi lebih singkat. CPO cenderung tetap bersifat
sebagai fluida Newtonian dengan nilai yang CPO tidak berbeda nyata saat
dialirkan di dalam pipa selama suhu masih menurun hingga suhu 30 oC.
Informasi mengenai suhu saat terjadinya transisi sifat reologi dari
Newtonian menjadi non-Newtonian pseudoplastic sangat penting, karena
perbedaan sifat aliran fluida yang dimiliki sampel CPO sangat mempengaruhi
perhitungan sistem perpipaan yang akan didesain. Pada fluida Newtonian,
pendekatan serta persamaan matematika yang digunakan untuk perhitungan faktor
friksi dan penurunan tekanan (pressure drop atau P) per km panjang pipa
berbeda dengan fluida yang bersifat sebagai fluida non-Newtonian pseudoplastic.
-
76
Pengujian Pengaruh Siklus Suhu 25-55 oC terhadap Sifat Fisik CPO
Pada sistem pengaliran di dalam pipa jarak jauh, suhu pengaliran CPO akan
mengalami penurunan akibat pelepasan panas selama mengalir di sepanjang pipa.
Di dalam penelitian ini diajukan model sistem transportasi CPO moda pipa yang
dilengkapi dengan tahap pemanasan kembali pada CPO yang sedang mengalir,
untuk mencegah terjadinya proses kristalisasi lemak CPO. Pemanasan dilakukan
dengan heat exchanger yang dipasang di lokasi tertentu, ketika suhu CPO telah
mengalami penurunan akibat pelepasan panas. Diperkirakan, tahap pemanasan
(suhu meningkat) dan pendinginan (suhu menurun) akan terjadi selama pengaliran
dalam beberapa tahap secara berulang, sehingga perlu diketahui bagaimana
pengaruh suhu meningkat dan suhu menurun secara berulang (siklus suhu)
tersebut terhadap perubahan sifat fisik CPO. Sifat fisik CPO yang diamati karena
pengaruh siklus suhu adalah profil entalpi (thermogram) DSC, SFC, dan
viskositas terukurnya.
Pengaruh siklus suhu terhadap profil entalpi CPO
Pada percobaan ini, dipelajari profil entalpi (thermogram) sampel CPO yang
diukur dengan DSC, pada saat diterapkan siklus peningkatan dan penurunan suhu
yang mensimulasikan kondisi pemanasan kembali di heat exchanger, dan
pelepasan panas ke lingkungan di sepanjang aliran pipa. Tahap peningkatan suhu
dilakukan pada laju 10 oC/menit (mensimulasikan pemanasan cepat dengan heat
exchanger); sedangkan tahap penurunan suhu dilakukan pada laju 1 oC/menit.
Siklus suhu tersebut diterapkan sebanyak 10 kali. Hasil pengujian pengaruh
siklus suhu terhadap profil entalpi DSC dapat dilihat pada Gambar 17. Ketika
dilakukan pemanasan dari suhu kamar ke suhu 55 oC akan terjadi penyerapan
panas, sedangkan ketika sampel mengalami penurunan suhu (pendinginan) akan
terjadi pelepasan panas. CPO mengalami siklus suhu sebanyak 10 kali dan
diamati entalpi yang dilepaskan selama pendinginan (Hcooling) dan entalpi yang
diserap selama pemanasan kembali (Hheating).
-
77
Gambar 17 Profil entalpi (thermogram) DSC sampel CPO saat mengalami tahap
pemanasan ke 55 oC dan penurunan suhu ke 25
oC secara berulang
sebanyak 10 siklus. Laju peningkatan suhu 10 oC/menit, laju
penurunan suhu 1 oC/menit.
Berdasarkan hasil ANOVA one-way (P
-
78
ketika CPO didinginkan dari 55 oC ke 25
oC pada laju penurunan suhu 1
oC/menit
tersebut adalah pada kisaran 26.78 30.18 oC. Berdasarkan hasil ANOVA one-
way (P
-
79
Pengaruh siklus suhu pada kandungan lemak padat CPO
Percobaan penentuan profil kandungan lemak padat (SFC) sampel CPO
pada saat dikenai siklus suhu tidak dilakukan dengan prosedur tempering suhu
standar, tetapi SFC diukur langsung pada kondisi peningkatan dan penurunan
suhu berulang. Grafik pengaruh siklus suhu terhadap SFC CPO dapat dilihat pada
Gambar 18 dengan data lengkap tersaji pada Lampiran 27.
Sampel CPO awal yang belum mengalami pemanasan, memiliki SFC
sekitar 5-6% pada suhu 25 oC. SFC sampel CPO yang relatif rendah ini
disebabkan oleh tidak dilakukannya prosedur tempering suhu standar. Dengan
menerapkan prosedur tempering suhu standar (mencakup pemanasan ke suhu 80
oC selama 30 menit, dipertahankan pada suhu 60
oC selama 5 menit, dan disimpan
pada suhu 0 oC selama 60 menit), akan diperoleh SFC pada 25
oC sekitar 15%.
Data SFC yang dihasilkan pada percobaan siklus suhu lebih rendah dibandingkan
data SFC yang dihasilkan dengan prosedur standar yang mengalami
penyetimbangan di suhu pengukuran selama 30-35 menit.
Gambar 18 Grafik kandungan lemak padat CPO saat mengalami tahap pemanasan
ke 55 oC dan penurunan suhu ke 25
oC secara berulang sebanyak 3
siklus. Laju peningkatan dan penurunan suhu 1 oC/menit.
0
10
20
30
40
50
60
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Su
hu
(oC
)
Kan
du
ngan
lem
ak
pad
at
(%)
Waktu (menit)
Kandungan lemak padat
Suhu
-
80
Pada pengujian siklus suhu, CPO mengalami penurunan suhu pada laju 1
oC/menit, dan tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menyusun kristal
lemaknya, sehingga dihasilkan SFC yang rendah. Selain itu pengujian ini juga
memiliki kelemahan, karena terdapat kemungkinan suhu aktual saat pengukuran
belum tercapai akibat keterbatasan instrumen pengatur suhu dan alat NMR yang
tidak dapat mengukur SFC secara on line.
Setelah CPO mengalami pemanasan cepat ke suhu 55 oC (menggunakan dry
block), SFC sampel CPO turun menjadi di bawah 2%, akibat hilangnya fraksi
kristal lemak dari sampel. Pada saat dilakukan penurunan suhu dengan laju 1
oC/menit hingga 25
oC, secara umum terjadi lagi peningkatan SFC. Akan tetapi.
peningkatan SFC tidak kembali ke nilai SFC awal sebelum mengalami pemanasan
ke 55 oC. Nilai SFC sampel CPO setelah pemanasan awal seluruhnya di bawah
2%. Secara umum diperoleh profil perubahan SFC yang hampir sama pada setiap
siklus, dan tidak terjadi kenaikan SFC secara drastis pada saat suhu diturunkan ke
25 oC. Nilai SFC cenderung mengalami peningkatan saat suhu menurun, akan
tetapi peningkatannya tidak kembali ke nilai SFC awal sebelum pemanasan awal.
Pengaruh siklus suhu pada viskositas terukur CPO
Pengujian pengaruh siklus suhu meningkat dan menurun terhadap sifat
reologi CPO pada kisaran suhu 25-55 oC dengan laju perubahan suhu 1
oC/menit
difokuskan pada terjadinya perubahan viskositas terukur (). Karena keterbatasan
dalam program peningkatan suhu pada instrumen HAAKE Viscometer Rotovisco
RV20, maka peningkatan suhu ke 55 oC dilakukan pada laju yang lambat, yaitu 1
oC/menit. Grafik perubahan CPO selama penerapan siklus suhu pada kisaran
25-55 oC, dapat dilihat pada Gambar 19 (data selengkapnya pada Lampiran 28).
Sebelum mengalami pemanasan, nilai sekitar 500 mPa.s, dan setelah
mengalami pemanasan ke 55 oC nilai menurun menjadi sekitar 20 mPa.s. Pada
saat suhu diturunkan kembali ke 25 oC, CPO cenderung meningkat kembali,
akan tetapi peningkatan hanya mencapai sekitar 60 mPa.s, dan tidak mencapai
sampel CPO awal sebelum pemanasan.
-
81
Gambar 19 Viskositas terukur CPO saat mengalami siklus suhu 55 oC dan 25
oC
secara berulang dengan laju perubahan suhu 1 oC/menit (shear rate
100 s-1
).
Profil perubahan sampel CPO selama penerapan siklus suhu relatif
konstan dan tidak berbeda nyata antar siklus yang dikonfirmasi dengan hasil
ANOVA one-way pada P
-
82
Simpulan
Suhu mempengaruhi sifat fisik minyak sawit kasar (CPO) yang mencakup
densitas (), SFC, dan sifat reologinya. Pada suhu yang semakin tinggi, nilai
densitas dan SFC CPO semakin rendah. Pengaruh suhu terhadap densitas CPO
dimodelkan dengan persamaan (g/mL) = 0.9354 - 0.00082 T (R2 = 0.984).
Kisaran nilai SFC CPO pada suhu 25-55 oC adalah sebesar 16.5-4.36%. Sifat
reologi CPO pada suhu 25 oC bersifat sebagai fluida non-Newtonian
pseudoplastic. Pada suhu yang semakin tinggi, terjadi transisi sifat fluida CPO
menjadi fluida Newtonian dengan viskositas terukur () yang rendah.
Berdasarkan model Arrhenius, CPO yang dialirkan pada shear rate yang lebih
tinggi akan memiliki nilai Ea yang lebih rendah dan lebih tidak sensitif terhadap
perubahan suhu yang dialaminya. Nilai Ea CPO relatif lebih besar dibandingkan
Ea sampel minyak nabati lainnya, sehingga CPO cenderung lebih mudah
berubah saat terjadi perubahan suhu.
Terdapat korelasi antara bilangan iod (BI) dengan Ea CPO. Prediksi Ea
sampel CPO dari BI-nya pada shear rate 100 s-1
dapat dilakukan dengan
persamaan Ea = -6.254 (BI) + 387.6 (R2 = 0.946), sedangkan untuk shear rate 400
s-1
dapat dilakukan dengan persamaan Ea = -3.185 (BI) + 214.1 (R2 = 0.993).
Saat CPO mengalami perubahan suhu pada kisaran 25-55 oC di shear rate
tertentu, CPO dengan BI yang semakin kecil memiliki Ea yang semakin besar,
sehingga semakin mudah mengalami perubahan
Perubahan nilai SFC akibat pengaruh suhu pada kisaran suhu 25-55 oC
berkorelasi nyata dengan perubahan yang terjadi pada sifat reologi CPO di suhu
yang sama. SFC di sekitar 5% yang terjadi pada suhu di bawah TM 39.07 oC dan
suhu lain yang lebih rendah, menghasilkan sifat fluida non-Newtonian
pseudoplastic yang berbeda nyata dibandingkan suhu-suhu yang lebih tinggi.
Berdasarkan SFC-nya, parameter sifat reologi n dapat diprediksi dengan
persamaan n = -0.029(SFC) + 1.070 (R = 0.903), sedangkan K dapat diprediksi
dengan persamaan K = 0.146(SFC) 0.732 (R = 0.977).
-
83
Parameter sifat reologi CPO sangat ditentukan oleh metode penerapan suhu
yang dialaminya. Metode penerapan suhu (1) (sampel CPO telah disetimbangkan
suhunya selama 24 jam di suhu pengukuran setelah pemanasan awal CPO di suhu
55 oC) menghasilkan sifat reologi CPO yang lebih berat dibandingkan metode
penerapan suhu (2) (sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu
pemanasan awal 55 oC dengan laju 1
oC/menit menuju suhu pengukuran). CPO
yang mengalami metode penerapan suhu (1) cenderung bersifat pseudoplastic
pada suhu di bawah 45 oC dengan yang relatif lebih tinggi. Sebaliknya pada
metode penerapan suhu (2), CPO cenderung tetap mempertahankan sifatnya
sebagai fluida Newtonian dengan yang relatif rendah hingga suhu terendah 30
oC. Informasi mengenai suhu transisi model aliran fluida CPO (Newtonian atau
non-Newtonian pseudoplastic) pada kedua metode penerapan suhu di kisaran 25-
55 oC mempengaruhi perhitungan sistem perpipaan yang akan didesain.
Penerapan suhu yang meningkat dan menurun (siklus suhu) pada kisaran
suhu 25-55 oC tidak mengubah sifat termal CPO (mencakup Hcooling dan Hheating
serta T onset kristalisasi), profil SFC, maupun profil . Profil perubahan
parameter sifat fisik tersebut selama penerapan siklus suhu relatif konsisten antar
siklus. Pada kisaran suhu 25-55 oC, CPO mengalami perubahan sifat fisik yang
dapat balik (reversible) dan dapat berulang (reproducible).