43
BAB III
PERKEMBANGAN MODE BERBUSANA DI KOTA MAGELANG
AWAL ABAD XX
Pada masa awal kehadirannya di Nusantara, peradaban Kolonial
mendominasi kebudayaan di Indonesia. Namun dikarenakan kepribadian bangsa
Jawa yang tinggi (local genius), sehingga dalam percampurannya budaya Jawa
tidak lenyap begitu saja. Peran kepribadian bangsa Jawa ikut menentukan dalam
memberi warna kebudayaan Indis. Unsur-unsur kebudayaan Belanda itu mula-
mula dibawa oleh para pedagang dan pejabat VOC, kemudian rohaniawan
Protestan dan Katolik juga mengikutinya. Peran para cendekiawan dalam
mengembangkan kebudayaan Indis sangat besar dalam bidang pendidikan,
teknologi pertanian, dan transportasi. Dalam tahap berikutnya, kaum terpelajar
Indonesia mendapat pendidikan di Belanda, menuntut berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Mereka juga sangat berperan dalam mengembangkan kebudayaan
Indis di Indonesia.1
Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial
di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia menerima
nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa
jajahan atau kolonial. Hasil perpaduan menunjukkan bahwa ciri-ciri Barat (Eropa)
tampak lebih jelas dan dominan. Oleh Rob Nieuwenhuys, jalinan yang erat
semacam ini digambarkan seolah-olah terdapat osmose dan pertukaran mental
diantara orang Jawa dan Belanda, yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan
1
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Jaman Kompeni sampai
Revolusi. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011) hlm. 19.
44
budaya Eropa dsn sebaliknya.2 Kesejahteraan dan peningkatan status seseorang
menuntut perubahan gaya hidup, tampak dalam hal penggunaan bahasa, cara
berpakaian, cara makan, kelengkapan alat perabot rumah tangga, mata
pencaharian hidup, kesenian, kepercayaan/agama, dan sikap lebih menghargai
waktu.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis,
yaitu sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada
masa kekuasaan Hindia Belanda. Pembuktian terjadinya proses perubahan budaya
dalam kasus ini adalah modernisasi masyarakat yang terjadi di Kota Magelang,
dibuktikan melalui informasi perkembangan dan perubahan mode berbusana.
Sebagai salah satu bukti bahwa pakaian mempunyai kredibilitas sebagai alat
perekam dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
A. Pakaian Elite Jawa Sebelum Masuknya Kebudayaan Barat
Pakaian adalah kebutuhan primer manusia selain makanan dan tempat
berteduh (rumah), manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan
menutupi dirinya, namun dengan perkembangan zaman kehidupan manusia,
Pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan
seseorang yang memakainya.
Pada zaman pra-sejarah manusia belum mengenal busana seperti sekarang,
pada zaman terdahulu manusia memakai kulit binatang, tumbuh-tumbuhan untuk
menutupi tubuh mereka. Manusia purba yang hidup di daerah dingin, menutupi
2
Rob Nieuwenhuys, Oost Indische Spiegel, (EmQuirido’s, Uitg.
B.v.Amsterdam)(ditulis kembali oleh Dick Hartoko, Bianglala Sastra, 1978)
45
tubuhnya dengan kulit binatang, misalnya kulit domba yang berbulu tebal.
Sedangkan manusia purba yang hidup di daerah panas melindungi tubuh mereka
dengan memanfaatkan kulit pepohonan yang di rendam terlebih dahulu lalu di
pukul-pukul lalu di keringkan. Selain itu mereka juga menggunakan dedaunan dan
rumput untuk menutupi tubuh mereka.
Berdasarkan bukti arkeologis, di daerah Sulawesi, Kalimantan, Seram,
Halmahera, Nias dan pantai Barat Irian Jaya telah ditemukan sisa-sisa kehidupan
zaman pra sejarah yang diantaranya terdapat pakaian dari kulit kayu yang
dinamakan fuya atau tapa.3
Gambar 1. Macam-macam bentuk fuya
(Sumber: kichiworld.wordpress.com)
Pengetahuan suku bangsa di Indonesia tentang tata cara berpakaian atau
berbusana semakin berkembang ketika agama Hindu dan Budha masuk ke
Indonesia. Kenyataan bahwa kebudayaan Hindu dan Budha berpengaruh besar
3 Sartono Kartodirdjo, dkk, Sejarah Nasional Indonesia 1 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1977), hlm. 276.
46
terhadap model pakaian Indonesia tampak pada relief-relief bangunan candi.
Relief-relief di dinding candi Borobudur misalnya adalah contoh konkrit dan
lengkap yang menggambarkan keanekaragaman pakaian dan perhiasan pada
zamannya. Pada relief-relief tersebut jelas ditampilkan busana yang dipakai
manusia ketika pada masa itu dengan latar belakang peristiwa yang tengah
berlangsung. Dalam berbagai kegiatan seperti mengolah sawah, membangun
rumah, bermain musik atau tari digambarkan dengan pakaian yang berbeda.
Perbedaan juga tampak pada pakaian yang dipakai oleh para pembesar, raja, ratu,
tokoh agama serta rakyat kebanyakan. Bersamaan dengan pakaian tampil pula
kelengkapannya atau perhiasan yang dikenakan. Perhiasan yang dikenakan pun
sangat kompleks, meliputi hiasan kepala sebagai lambang kebesaran pemakainya,
hiasan telinga, leher, pergelangan kaki bahkan perhiasan dibagian pinggang dan
pangkal lengan. Tradisi berpakaian indah dan mengenakan perhiasan dari macam-
macam benda tidaklah mati karena terus berubah.
Gambar 2. Relief di Candi Pawon
(Sumber : Google.co.id)
47
Pengaruh Hindu dan Budha dalam hal berpakaian tampak dalam
penggunaan kain terusan tanpa dijahit atau yang biasa disebut sebagai kain
panjang yang menutupi tubuh para wanita ataupun pinggang para pria. Hal ini
berkaitan dengan ideologi bahwa kain panjang yang tidak dipotong merupakan
sebuah hal yang melambangkan kesucian dan bagi masyarakat Jawa hal tersebut
merupakan lambang kesakralan.4 Masyarakat Jawa lebih menyukai kain yang
diwiru daripada kain yang dijahit.
Gambar 3. Relief di Candi Sukuh
(Sumber : Google.co.id)
Penelitian relief pada kaki candi Hindu-Jawa, termasuk berbagai relief
candi zaman Majapahit, cukup membuktikan bahwa kedua jenis manusia pada
zaman itu hanya mengenal kain kain lipat (selubung). Pemunculan pakaian yang
menutupi tubuh secara lebih baik, terutama pantalon untuk lelaki dan kebaya
4 Jean German Taylor, Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-
1940, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas,
Kepentingan, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 131.
48
untuk perempuan, terjadi secara lambat laun sejak abad ke-15 sampai abad ke-16,
di mana kebudayaan Islam memiliki pengaruh kuat di dalam memperbaiki
perilaku berbusana masyarakat.5
Keberadaan busana pada zaman sebelum
kedatangan Islam sebenarnya juga telah diketahui lewat adanya prasasti pada abad
ke-9 Masehi yang menyebut istilah untuk pakaian seperti: kulambi (bahasa Jawa:
klambi atau baju), sarwul (sekarang dimaknai sebagai sruwal yang memiliki arti
celana), ken (berarti kain).6
Sehingga orang Jawa sering dianggap telanjang
walaupun mereka telah berpakaian.7
Namun demikian, keberadaannya
dimungkinkan belum merupakan busana yang mampu menutupi tubuh secara
lebih baik.
Ketika islam datang, model pakaian di Jawa mengalami perubahan yang
cukup signifikan. Pakaian yang pada awalnya terbuka pada bagian dada,
kemudian disempurnakan sesuai norma-norma keislaman. Dari bentuk pakaian
terbuka menjadi bentuk pakaian menutup aurat badan. Sarung dan kain panjang
yang sebelumnya dililitkan disekitar pinggang kemudian diangkat lebih tinggi
untuk menutupi dada.
Selain dengan cara di atas, kaum perempuan Jawa juga menambahkan satu
pakaian lagi yang dililitkan secara ketat di sekitar dada.8 Satu keunikan tersendiri
bahwa kerajaan-kerajaan Jawa dimana pengaruh budaya Islam telah masuk seperti
5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Volume 2, cetakan ketiga
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 318. Periksa Biranul Anas, dkk.,
Indonesia Indah: Busana Tradisional (Jakarta: Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII,
1998), 10. 6
Timbul Haryono, Busana dan Kelengkapannya: Aspek Teknomik,
Sosioteknik, dan Ideoteknik, Seminar Busana (Yogyakarta: Hastanata, 2008), 2 7 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 1:
Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: YOI, 1992), hal. 99. 8 Ibid., hal. 100
49
pada upacara adat, pandangan hidup, seni bangunan, namun ternyata dalam etika
berpakaian tidaklah banyak membawa perubahan. Dari beragam komposisi
pakaian, perhiasan sampai kepada makna simbolik yang ingin ditampilkan
pengaruh Hindu masih memegang dominasi yang kuat dalam lingkungan istana.9
Di Indonesia kontak dengan bagian dunia Islam lebih tua dibandingkan
dengan benua Eropa. Kontak dengan Islam mulai tampil sebelum Belanda dan
orang-orang Eropa lainnya muncul di wilayah ini. Karenanya pilihan antara
pemakaian busana didasarkan pada bidang Islam atau pribumi sudah sangat lama
ini dilukiskan dalam satu gambaran Barat tentang Indonesia.
Gambar 4. Susuhunan Pakubuwana IX berpakaian Haji sebagai pengaruh
Islam dengan turban di kepala tahun 1866.
(Sumber: http://www.kitlv.nl.).
9 Dwi ratna Nurhajarini, Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa
Di Kota Yogyakarta Pada Awal Sampai Pertengahan Abad XX, Tesis S-2,
(Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM, 2003), hal. 73.
50
Gambar di atas menunjukkan bagaimana pengaruh Islam berpengaruh
hingga dalam berbusana. Pakaian Raja-Raja Jawa mengadopsi pakaian Islam
dengan memakai celana panjang, pakaian dan turban gaya Turki.
Pembakuan dalam pakaian merupakan tanda lahir dari perubahan dalam
berbagai bidang. Menurut Taylor10
perubahan penting dalam pakaian untuk semua
kelompok laki-laki dan perempuan Jawa adalah mencakup betis ke atas.
Kecenderungan menutup tubuh bagian atas pertama tampak di kota-kota
pelabuhan Jawa pada abad XVI. Tubuh yang kurang tertutup oleh pakaian
menjadi penanda bagi golongan non-muslim, orang miskin, budak dan anak-anak.
B. Pakaian Elite Jawa Setelah Masuknya Kebudayaan Barat
Dengan kedatangan bangsa Eropa, perkembangan “mode” menjadi lebih
beragam. Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas
tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing. Pada awalnya Belanda
ingin mempertahankan pakaian Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang
Indonesia yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa di daerah-daerah
yang dikendalikan oleh VOC adalah penganut Kristiani.11
Meskipun ada aturan
ketat yang diterapkan oleh VOC mengenai cara berpakaian berbagai bangsa,
peminjaman dan saling meniru unsur-unsur pakaian tetap nampak.
VOC bisa menerapkan aturannya di Batavia dan kota-kota lain tempat
mereka memiliki kontrol ketat, namun di luar daerah ini jauh lebih sulit,
10
Jean German Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun
1800-1940”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Trend,
Identitas, Kepentingan, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 121. 11
Kees van Dijk, “Sarung, Jubah dan Celana: Penampilan Sebagai Sarana
Pembedaan dan Diskriminasi”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Ibid., hal. 66.
51
khususnya menyangkut elit Indonesia yang sering bekerjasama dengan para
pejabat VOC. Salah satu orang pertama yang memakai pakaian Eropa adalah
Mangkurat II (1677-1703).12
Pada pertengahan abad XVII ketika Rickloff van
Goens, sebagai wakil VOC, mengunjungi istana Mataram, menyaksikan salah satu
penampilan publik biasa raja Mataram, Susuhunan Mangkurat I (1646-1677). Van
Goens mendeskripsikan bagaimana “sekitar empat, lima, enam, tujuh, sampai 800
bangsawan berkuda berkumpul di alun-alun” dan “dengan sangat tekun”
mengamati dandanan kepala sang raja, apakah memakai tutup kepala Jawa atau
turban gaya Turki. Jika raja mengenakan turban, semua orang menanggalkan
tutup kepala mereka dan mengambil tutup kepala yang lain dari pelayan mereka
agar sama dengan sang raja.13
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Islam sangat
besar terhadap kerajaan dan penggunaan tutup kepala Jawa menunjukkan
perjuangan bagi hegemoni kultural yang dimulai sejak kedatangan Islam dan
restorasi nilai-nilai Jawa di dalam latar Islam.
Peran Barat sebelum tahun 1850 diungkapkan dengan mengimpor ke Jawa
bahan kain dari India dan menampilkan tubuh yang berbaju sebagai simbol
penguasa. Sejak pertengahan abad XIX, peran Barat dalam perubahan kostum di
Jawa ditunjukkan dalam penerimaan unsur-unsur khusus dari pakaian Barat bagi
pria. Beberapa tahun kemudian kaum perempuan mulai menerima pengaruh Barat
pada gaya pakaian yang mereka kenakan.
Perubahan paling jelas dalam pakaian adalah penerimaan batik sebagai
bahan pakaian bagi semua orang. Batik telah lama menjadi bahan pakaian bagi
12
Ibid., hal. 69 13
Ibid., hal. 71
52
laki-laki dan perempuan bangsawan di Jawa. Menurut Taylor, batik bukan
merupakan bahan busana bagi kaum perempuan di luar kelompok bangsawan
sampai pertengahan kedua abad XIX. Hal itu dikarenakan batik merupakan buatan
tangan yang memerlukan waktu cukup lama untuk dapat menghasilkan sepotong
kain. Produk batik dihasilkan oleh keluarga bangsawan dengan desain yang halus
dan rumit yang dilakukan oleh para perempuan. Batik tidak diproduksi untuk
dijual namun untuk dipakai para anggota keluarga. Oleh sebab itu batik tidak
dipakai oleh orang biasa karena pola dan warna tertentu pada batik ditetapkan
oleh raja dan yang berhak memakai hanya orang-orang tertentu.14
Dengan ditemukannya cat sintetis dan teknik pembuatan batik dengan cara
cap berpengaruh besar terhadap aspek ekonomi dan perdagangan. Pengusaha batik
yang semula terdapat di lingkungan keraton kemudian meluas dan menyebar
sampai ke daerah-daerah.
Tidak semua orang memiliki demikian banyak pilihan gaya. Bagi banyak
penduduk biasa di Hindia, sebelum tahun 1900 lingkup ini dibatasi oleh aturan-
aturan khusus yang dikeluarkan pertama-tama, pada masa awal kehadiran Belanda,
oleh VOC dan kemudian oleh pemerintah Kolonial. Aturan-aturan ini berkaitan
dengan pakaian-pakaian apa yang boleh dan apa yang tidak boleh oleh
sekelompok orang tertentu. VOC menerapkan larangan-larangan pemakaian
busana yang sama bagi setiap penduduk dengan maksud sebagai kontrol sosial
VOC terhadap masyarakat jajahan. Kostum Jawa sendiri pada masa VOC berupa
kain persegi panjang tidak dipotong yang menutupi tubuh bagian bawah, beragam
kain lilit penutup dada dan pinggul, serta kain penutup bahu. Kostum itu dipakai
14
Taylor, hlm 126
53
oleh pria dan wanita, dan pada dasarnya sama untuk semua kelas. Status sosial
seseorang ditunjukkan melalui kualitas kain yang dipakai, desain-desain dan
perhiasan.
Pakaian Barat ditabukan oleh banyak orang . jika ada pengecualian maka
ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda. Di daerah-daerah di
bawah kendali Belanda, hanya anggota ningrat setempat dan Protestan pribumi
yang diperbolehkan meniru aspek-aspek gaya hidup Barat, termasuk pakaian.
Ketentuan ini berubah sekitar masa pergantian abad, ketika aturan
berpakaian yang dibuat oleh pemerintah Kolonial tidak lagi ketat dan ideal
tentang “kemajuan” memiliki daya tarik kuat bagi banyak pelopor gerakan
nasionalis. Oleh karena itu rakyat Indonesia dalam jumlah yang terus bertambah
mulai memakai pakaian “modern”. Hal yang sama dapat dikatakan tentang
penduduk Cina yang mulai terpengaruh dengan kebudayaan ini, sehingga mereka
memotong kuncir dan memakai pakaian Barat.
C. Pakaian di Magelang Pada Awal Abad XX
Awal abad XIX Magelang merupakan sebuah kota yang menuju pada
modernisasi. Pembangunan yang dilakukan dalam kota tidak hanya meliputi
pembangunan fisik saja melainkan juga pembangunan dalam bidang seni dan
budaya yang tercermin dalam gaya busana yang ada di Kota Magelang awal
jaman tersebut.
Perkembangan gaya berpakaian di kalangan masyarakat Kota Magelang
pada masa kolonial Belanda menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi
kehidupan masyarakat kota Magelang. Tidak hanya golongan priyayi tetapi juga
54
bagi kaum elit baru yang menginginkan perubahan dan persamaan hak dalam
berbagai hal kehidupan terutama kehidupan bergaya Eropa yang bebas dan tanpa
aturan tradisional dalam melakukan aktivitasnya.
Masyarakat Eropa dianggap mempunyai derajat sosial yang tinggi dalam
masyarakat. Suatu bentuk eksplorasi yang sengaja dijalankan pada saat berada di
puncak kekuasaannya yaitu pemberian pengaruh pada tata busana lokal yang
sudah dianut oleh masyarakat Jawa. Budaya Barat sengaja dimasukkan pada
kegiatan-kegiatan masyarakat yang selanjutnya akan memberi efek domino pada
masyarakat lokal itu sendiri.
Perkembangan fashion pada awal abad XX yang didukung oleh
modernisasi dalam industri pakaian membawa perubahan-perubahan dalam hal
jenis pakaian yang akan dipakai baik dalam dimensi tempat maupun waktu.
Pengaruh ini dibawa oleh bangsa barat dengan memasukkan unsur-unsur
pemakaian pakaian dengan mode dan waktu tertentu. Setiap waktu dan acara-
acara resmi, masyarakat Magelang mulai mengganti mode pakaian disesuaikan
dengan aturan-aturan barat. Dari berbagai sumber terutama rekaman foto, pakaian
yang dikenakan oleh masyarakat di Magelang pada awal abad ke-20 tampil dalam
dua model yaitu jenis pakaian tradisional dan pakaian modern. Pakaian modern
adalah pakaian yang mengacu pada gaya pakaian Barat yang dianggap lebih maju
dari segi teknologi. Pakaian jenis ini mempunyai ciri-ciri dan syarat-syarat
pakaian untuk berbagai kesempatan, yakni pakaian rumah atau harian, pakaian
kerja (termasuk pakaian sekolah), dan pakaian resmi atau pesta. Berikut ini akan
dipaparkan macam-macam pakaian modern yang dipakai masyarakat di Magelang.
55
1. Pakaian Harian
Pakaian harian yang dimaksud disini merupakan seperangkat pakaian yang
dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Untuk pakaian sehari-hari kalangan laki-laki
biasanya menggunakan baju batik atau lurik yang dipadukan dengan jarik, celana
panjang atau menggunakan kain sarung. Golongan terpelajar biasanya
menggunakan celana sebatas lutut dan pakaian dengan kancing didepan dan
terkadang menggunakan topi. Untuk kalangan perempuan biasanya menggunakan
baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen15
, alas kaki
dankelengakapan atas berupa hiasan rambut yang berbentuk konde atau sanggul.
Gaya pakaian tersebut dibuat dari kain batik ataupun kain lurik.
Gambar dibawah ini menunjukkan pakaian harian laki-laki Jawa di
Magelang dengan menggunakan kain sarung dan pakaian atas berkancing depan.
Sedangkan gambar selanjutnya menunjukkan para perempuan dan laki-laki duduk
berdampingan. Para perempuan menggunakan pakaian kebaya dipadukan dengan
bawahan kain jarik berbagai motif dengan rambut disanggul. Sedangkan pakaian
laki-laki berpakaian berupa atasan baju berkancing dengan bawahan celana
panjang.
15
Stagen adalah sepotong kain yang panjang, terbuat dari kain katun yang
kuat. Panjang kain untuk stagen mencapai 12 meter dengan lebar kira-kira 12,5
sentimeter. Fungsinya sebagai peengikat kain atau sarung pada pinggang.
56
Gambar 5.
Para lai-laki dalam pakaian sehari-hari di tahun 1910
(sumber: www.kitlv.nl).
Gambar 6.
Para perempuan dan laki-laki di Magelang menggunakan pakaian sehari-hari
tahun 1927
(sumber: www.kitlv.nl).
57
Selain itu pakaian harian yang lazim digunakan adalah rok Barat. Biasanya
dipakai saat sekolah dengan kelengkapan berupa alas kaki. Rambut diberi riasan
pelengkap berupa penjepit atau pita baik potongan rambut panjang atau pendek.
Namun pemakaian kebaya lambat laun sudah mulai tidak digunakan
terutama untuk golongan priyayi. Mereka cenderung berpakaian ala Barat dengan
baju-baju model Eropa yang sering digunakan oleh para noni-noni. Baju yang
dipakai biasanya berupa rok, blus, dan sepatu.
Gambar 7.
Dua anak kecil Jawa memakai pakaian dengan model Barat tahun 1920
(sumber: www.kitlv.nl)
Selain pakaian yang telah mengalami pengaruh gaya Barat seperti diatas,
masih dijumpai juga masyarakat yang masih menggunakan pakaian berupa kain
panjang yang ditarik hingga ke dada. Biasanya mereka adalah masyarakat yang
tinggal di desa dan jauh dari perkotaan.
58
Gambar 8.
Seorang Ibu dengan pakaian kain panjang yang ditarik sampai dada bersama
kedua anaknya tahun 1910
2. Pakaian Sekolah
Kebijakan politik etis mulai diberlakukan di beberapa wilayah Indonesia,
terutama di Jawa. Hal ini karena Jawa merupakan pusat dari wilayah kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda, terutama di kawasan ibu kota kerajaan dan sekitarnya.
Pengembangan pendidikan itu juga tidak bisa dilepaskan dari peran serta dari para
kaum cendekia yang masih peduli dengan nasib pendidikan di Indonesia. Mereka
membuka sekolah-sekolah rakyat untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.16
Perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir abad ke-19 menunjukkan
16
Sutedjo Bradjanagara, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jogjakarta : Kongres
Pendidikan Indonesia, 1956), hlm. 65.
59
kecenderungan yang dipengaruhi oleh politik pendidikan pada khususnya dan
politik kebudayaan pada umumnya.17
Pada saat itu, secara perlahan masyarakat Indonesia mulai mengenal dan
mengenyam bangku pendidikan. Walaupun begitu, tidak semua masyarakat
Indonesia memiliki nasib yang cukup beruntung. Hanya kaum elite (kaum yang
berada dan merupakan keturunan ningrat) saja yang bisa mendapatkan pendidikan.
Hal ini dikarenakan biaya sekolah yang masih tinggi sehingga tidak semua
kalangan masyarakat bisa menjangkaunya.18
Perkembangan pada dunia pendidikan juga terjadi di Kota Magelang.
Apabila sebelum tahun 1906 hanya terdapat beberapa sekolah maka pada tahun
1936 di kota Magelang telah terdapat sebanyak 40 buah sekolah dari berbagai
jenis baik umum maupun khusus. Sekolah-sekolah tersebut antara lain sebuah
Sekolah Dasar khusus Eropa, 2 sekolah MULO, sebuah kursus pengembangan
umum bagi gadis, Sekolah Keputrian, sebuah kursus pertukangan, HIS dan
asramanya, HCS, Frobelschool, Standardschool dan sebagainya. Terdapat juga
sebuah MOSVIA dan sebuah sekolah Ambon.19
Pada jaman kerajaan awal kedatangan VOC, di pulau Jawa pendidikan
hanya dapat dirasakan oleh anak-anak raja. Pendidikan yang diberikan berupa
17
Politik Pendidikan dan Politik Kebudayaan merupakan suatu kebijakan
politik yang dikeluarkan pemerintah yang mempengaruhi bidang pendidikan dan
kebudayaan masyarakat. Seperti mulai bermunculan sekolah yang didirikan
pemerintah dengan sistm Barat dan banyaknya masyarakat yang kebudayaannya
mulai terpengaruh dengan kebudayaan yang kebarat-baratan, (Suryosubroto,
Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1982.),
hlm. 39). 18
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan di Indonesia, (Jakarta : INIS,
2004), hlm.30. 19
kotatoeamagelang.wordpress.com
60
bahasa jawa. Pada saat tersebut tidak terdapat gaya berpakaian tertentu pada
bidang pendidikan. Semua anak-anak raja yang belajar tetap mengenakan pakaian
yang biasa mereka pakai sehari-hari. Beranjak akhir abad ke-19, sejalan dengan
semakin terbukanya kesempatan pendidikan pada kalangan tertentu, masyarakat
pulau Jawa mulai mengadopsi gaya berpakaian orang Belanda. Mereka mulai
terbiasa mengenakan setelan jas dengan bawahan kain batik lengkap dengan selop
dan blangkon di kepala. Para kaum terpelajar dari golongan atas tersebut semakin
lama semakin membiasakan diri dengan gaya berpakaian orang-orang Belanda di
sekitarnya. Tidak hanya untuk belajar, mereka lambat laun menggunakan setelan
jas dalam gaya berpakaian sehari-hari. Pada tingkat pendidikan rakyat bawah,
tidak ada suatu bentuk gaya berpakaian yang khusus. Mereka hanya mengenakan
baju atasan dan celana kain untuk bersekolah.
Pakaian sekolah pada masa Kolonial Belanda memang terbagi menjadi
dua yaitu pakaian sekolah rakyat kebanyakan dan pakaian sekolah Eropa. Pakaian
sekolah rakyat kebanyakan murid-murid perempuan menggunakan kebaya dan
jarik, sedangkan bagi murid laki-laki memakai baju dan jarik biasanya disertai
pemakaian penutup kepala berupa ikat kepala. Seperti gambar-gambar dibawah
ini,
61
Gambar 09.
Para siswi dari sekolah Hindia Belanda di Mendut Magelang tahun 1915
(sumber: www.kitlv.nl).
Gambar 10.
Para siswa MULO Magelang sedang berfoto bersama tahun 1910
(sumber: www.kitlv.nl).
62
Pakaian sekolah bagi anak-anak priyayi yang bersekolah di sekolah-
sekolah milik pemerintah Kolonial biasanya memakai pakaian gaya Eropa, rok
dan blus bagi perempuan serta kemeja, jas dan dasi dipadukan dengan celana
pendek atau panjang maupun jarik bagi kaum laki-laki.
Gambar 11.
Johanna Gerarda sedang berfoto bersama siswa dari MULO Magelang tahun 1927
(sumber: www.kitlv.nl).
Dari gambar diatas bisa dilihat adanya keberagaman dalam pakaian
sekolah anak-anak tersebut. Ada yang memakai pakaian sekolah yang masih
mencerminkan adat istiadat berupa atasan kemeja, bawahan jarik dan ikat kepala.
Ada juga yang memakai pakaian gaya Eropa dengan memakai jas, dasi dan celana
sebatas lutut atau panjang. Namun yang menarik dari gambar tersebut ada yang
memakai gabungan diantara kedua kebudayaan tersebut yaitu pemakaian jas, dasi
namun bawahan masih menggunakan jarik. Hal ini menunjukkan identitas mereka
63
sebagai orang-orang yang dekat dengan Kolonial sehingga tercermin dari gaya
pakaiannya yang telah terpengaruh oleh gaya Barat.
3. Pakaian Kerja
Di Kota Magelang selain Residen dan Asisten Residen, pejabat pemerintah
yang lain adalah seorang Sekretaris, dua Komisaris, Kepala Pergudangan, dua
Pengawas Tanaman Teh, seorang Pengawas Tanaman Nila, seorang Dokter Lokal
dan seorang Perwira Kesehatan.20
Gambar dibawah ini memperlihatkan anggota paramedis di Rumah Sakit
Militer di Magelang tahun 1910. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa para
mantri lokal tetap memakai baju sesuai adat istiadat berbeda dengan para mantri
dari Belanda. Mereka masih memakai baju atasan kemeja dengan jarik sebagai
bawahan, tanpa alas kaki dan memakai penutup kepala.
Gambar 12.
Tim Paramedis dari Rumah Sakit Militer Magelang tahun 1910
(sumber: www.kitlv.nl).
20
Aardrijkskundig en Statistich; Wordenboek van Nederlansch-Indie
Bewerk naar de Jongste en Beste. Amsterdam:P.N. van Kampen, 1869. Hal 405.
64
Gambar 13.
Para Guru pengajar di OSVIA Magelang tahun 1918
(sumber: www.kitlv.nl).
Perbedaan pakaian kerja dapat ditemukan pada sebuah iklan yang
dikeluarkan oleh toko pakaian Sidho Madjoe. Iklan pakaian dalam bentuk bulletin
yang dikeluarkan oleh toko Sidho Madjoe ini menggambarkan bentuk pakaian dan
harga pakaian serta aksesoris yang digunakan sebagai pelengkap pakaian tersebut.
Pakaian yang ditawarkan oleh toko Sidho Madjoe merupakan pakaian yang
diperuntukkan bagi priyayi-priyayi (Groot-Ambtscostuums) buat Inlandsche
Ambtenaren tanah Jawa dan Madura.21
Pakaian-pakaian tersebut terdiri dari jas,
pantalon dengan warna putih dan hitam, dengan harga yang berbeda-beda sesuai
dengan pangkat dan kedudukan dalam pemerintahan. Gambar berikut
21
Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah,
hal. 1.
65
menunjukkan perbedaan pakaian dari pangkat yang tinggi hingga terendah bagi
pejabat Hindia Belanda.
Gambar 14. Merupakan pakaian dinas bagi pemerintah kolonial Belanda dari
kanan ke kiri Pakaian Gubernur, Residen atau Asisten Residen van Billiton,
Asisten Residen, Gewestelijk Secretaris, dan Controleur B.B.
(Sumber: Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah).
Gambar di atas dapat diketahui perbedaan pakaian seragam dinas yang
digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pakaian Gubernur dengan jas putih
bergaris hitam dibagian kancing jas depan dan memiliki hiasan berupa bunga di
ujung lengannya serta memakai pantalon putih bergaris hitam di bagian sisinya
dilengkapi aksesoris pedang. Pakaian Residen atau Asisten van Billiton hampir
sama dengan pakaian Gubernur hanya tidak menggunakan aksesoris pedang.
Pakaian Asisten Residen hingga controleur B.B. hanya dibedakan oleh jas yang
tidak memiliki garis hitam di bagian kancing serta ujung lengan yang motifnya
semakin sedikit.
Pakaian yang diperuntukkan bagi Inl. Gouv. Ambtenaren juga memiliki
perbedaan sesuai dengan tinggi rendahnya pangkat. Seseorang yang menjabat
66
sebagai pejabat pemerintah Hindia Belanda harus memakai seragam dinas sesuai
dengan pangkatnya begitu pula dengan aksesoris yang menyertainya. Perbedaan
yang nyata dari pakaian dinas ambtenar Hindia Belanda adalah pada bagian jas
kancing depan yang bermotif, bagian pundak belakang, ujung lengan baju, dan
bagian bawah jas. Semakin tinggi pangkatnya maka semakin banyak hiasan yang
menyelimuti pakaian tersebut. Kancing pakaian juga memiliki perbedaan baik dari
bentuk maupun bahan yang digunakan, semua hal tersebut disesuaikan dengan
hirarki kepangkatan dalam tubuh pemerintahan Hindia Belanda.22
Berikut ini
adalah gambar pakaian bagi Inl. Gouv. Ambtenaren di tanah Jawa dan Madura.
Gambar 15. Dari atas kanan ke kiri bawah merupakan pakaian bagi Boepati-
Pangeran, Boepati-Adipati GS, Boepati-Adipati, dan Boepati-Toemenggoeng
(Sumber: Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah).
22
Ibid.
67
Perbedaan pakaian-pakaian tersebut juga diikuti dengan perbedaan harga
secara kualitas bahan yang digunakan. Di bawah merupakan tabel harga pakaian-
pakaian dari para ambtenar Hindia Belanda di Jawa dan Madura.
Tabel 1. Daftar Harga Pakaian Groot-Ambtscostuums oentoek Inl. Gouv.
Ambtenaren di Tanah Jawa dan Madoera.23
Untuk masyarakat biasa yang bukan merupakan golongan menengah
keatas, tidak ada batasan bagi mereka untuk memakai pakaian kerja. Mereka tidak
23
Ibid.
68
terikat harus memakai seragam dalam aktivitasnya. Berikut adalah gambar
seorang pembatik yang sedang melakukan pekerjaanya.
Gambar 16. Dua wanita pembatik di Kedoe tahun 1910
(sumber: www.kitlv.nl).
4. Pakaian Resmi
Pada masa Kolonial Belanda untuk acara-acara resmi seperti perjamuan
makan, pernikahan, maupun penyambutan pejabat pemerintah Kolonial, pakaian
yang digunakan biasanya pakaian yang telah ditetapkan oleh aturan-aturan yang
jelas. Kaum perempuan pribumi biasanya mengenakan kebaya sedangkan gaun
terusan ataupun blus dan rok dengan model yang modern biasanya dipakai oleh
para perempuan Eropa. Pakaian pria biasanya menggunakan seragam sesuai
dengan pangkat dan jabatannya, sedangkan pria-pria Eropa mengenakan jas
dilengkapi dasi yang bermacam-macam dan celana panjang. Gambar dibawah ini
memperlihatkan seorang pribumi dalam perjamuan bagi pejabat Kolonial Belanda.
69
Gambar 17.
Bupati Magelang Raden Adipati Ario Danoesoegondo yang memakai beskap di
dalam acara pesta tahun 1935
(sumber: www.kitlv.nl).
Terlihat Bupati Magelang pada waktu itu yaitu Raden Adipati Ario
Danoesoegondo bersama sang istri (di dekat pilar) mengenakan pakaian Jawa
diantara kerumunan orang Eropa dengan pakaian ala Baratnya. Raden Adipati
Ario memakai Langenharja berdasi kupu-kupu dengan bawahan kain jarik yang
diwiru dan memakai blangkon serta memakai alas kaki berupa selop.
70
Gambar 19. Langenharja
(Sumber: http://matiusbudayasolo.blogspot.co.id/)
Sang istri juga terlihat modis dengan atasan kebaya, bawahan jarik yang
diwiru serta rambut yang disanggul rapi. Kebiasaan memakai pakaian lengkap24
pada waktu menghadiri acara yang bersifat resmi ditunjukan untuk menghormati
yang mengundang. Selendang dan tas menjadi bagian dari penampilan dan tak
lupa pemakain make up bagi para wanita.
24
Pakaian yang lengkap adalah pemakaian kain kebaya yang bagus dan
berbeda dengan yang dipakai harian, juga dilengkapi dengan perhiasan seperti
anting, subang, kalung, gelang, cincin.
71
Gambar 19.
Acara perjamuan makan di kantor Residen Magelang tahun 1935
(sumber: www.kitlv.nl).
Kehadiran orang-orang Belanda di pulau Jawa semenjak awal abad ke-17
sampai dengan abad ke-19 memiliki andil yang besar terhadap kemajuan gaya
hidup dan gaya berpakaian masyarakat pulau Jawa sendiri. Berkat perkawinan
campuran antara pribumi dan orang Belanda menghasilkan akulturasi budaya
pada gaya hidup masyarakat pulau Jawa. Serangkaian perpaduan budaya tersebut
memiliki dampak terhadap gaya berpakaian masyarakat pulau Jawa, terutama bagi
kalangan atas. Mereka jadi lebih mengenal gaya berpakaian terlepas dari sekedar
fungsi pakaian semata. Para perempuan mulai menggunakan kebaya dan dress
sebagai pakaian sehari-hari. Masyarakat Magelang juga mulai mengenal renda,
sepatu, kerudung kepala, pakaian pesta, pakaian tidur yang pada awal abad ke-17
tidak mereka kenakan. Para pria mulai terbiasa menggunakan setelan jas pada
acara-acara formal, pesta, saat bekerja di pemerintahan VOC maupun saat sedang
72
mengenyam pendidikan. Secara umum semenjak VOC datang dan berkembang di
pulau Jawa, kehidupan masyarakat pulau Jawa pun berangsur-angsur menuju
modernisasi begitupula terhadap gaya berpakaian masyarakat di Magelang.
Perkembangan gaya berbusana kalangan Elite Jawa (Priyayi) di Magelang
pada masa Kolonial tidak terlepas dari adanya pengaruh dari kebudayaan Barat.
Kemajuan yang terjadi di Magelang pada awal abad 20 dan juga berkembangnya
sistem pendidikan Barat membuat semakin terbukanya pikiran masyarakat
mengenai dunia Baru. Keinginan untuk terlihat berbeda dan diakui kedudukannya
membuat para priyayi di Magelang menunjukkan identitasnya melalui pakaian.
Dengan menjadi ala Barat membuat mereka tampil menjadi masyarakat yang
hampir sederajat dengan para golongan Eropa. Pengaruh dari perkembangan
fashion pakaian di Magelang masa Kolonial juga berpengaruh terhadap gaya
hidup dan sosio kultural masyarakat.