38
BAB IV
ANALISIS
A. Proses Kreatif
Proses kreatif dapat dibagi menjadi lima tahapan antara lain prapenulisan,
inkubasi, inspirasi/iluminasi, penulisan, hingga evaluasi/revisi. Analisis ini dilakukan
untuk mengetahui proses kreatif Hanum Salsabiela Rais dalam penulisan novel 99
Cahaya di Langit Eropa.
1. Prapenulisan
Pada tahap prapenulisan, pengarang dapat mengemukakan gagasan
berdasarkan ide yang telah diolahnya. Adapun dua hal tersebut berpengaruh terhadap
proses kreatif Hanum Salsabiela Rais antara lain pengaruh/saran dari orang lain dan
pemunculan ide.
a. Pengaruh/Saran Orang Lain
Sebelum menulis novel 99 Cahaya di Langit Eropa, Hanum mendapatkan
saran dari sang suami, Rangga Almahendra, agar menulis sebuah novel. Menurutnya,
sang suami menyarankan dirinya untuk menulis agar dapat mengisi waktu luang.
Apalagi, Hanum telah menghasilkan buku, sehingga kreativitasnya telah terbentuk
dalam dunia kepenulisan. Hal ini telah dijelaskan dalam kutipan wawancara berikut.
39
…, sesampainya di Austria Hanum tidak banyak pekerjaan selain masak.
Biasanya siang antar masakan ke kampus (Rangga). Beberapa waktu
kemudian dapat hadiah ulang tahun. Maka ia tulis novel berjudul Menapak
Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta sebagai
rasa terima kasih. Novel ini mengisahkan tentang kedekatan Hanum dengan
ayahnya. Di Indonesia sudah dijilid sebanyak 20.000 kopi dan dicetak 2 kali.
Kasih sayang ayah yang tampak dalam karakternya dapat membentuk karakter
Hanum. Kemudian Rangga sarankan untuk menulis novel lagi. Hal ini
dilakukan untuk mengisi waktu luang sekaligus berjalan-jalan. Maka
ditulislah novel 99 Cahaya di Langit Eropa…. (hasil wawancara Rangga pada
8 Agustus 2015).
Pada awalnya Hanum tidak bisa mengikuti sang suami karena kesibukannya di
TransTV. Namun karena mendapat nasihat dari sang ayah untuk memprioritaskan
keluarga, Hanum memutuskan ikut sang suami. Sebagaimana disampaikan dalam
hasil wawancara Rangga sebelum Hanum menulis novel 99 Cahaya di Langit Eropa
berikut.
Awalnya beliau (Hanum Salsabiela Rais) bekerja sebagai presenter TransTV
selama dua tahun (2008-2010). Pada saat itu ia (Rangga) mendapat beasiswa
dari pemerintah Austria untuk kuliah S3 di WU Wina, Austria sedangkan
Hanum menjalankan kariernya. Namun kemudian ia bingung karena harus
menentukan pilihan antara ikut suami ke Austria atau tidak. Namun, ia
mendapat nasihat dari ayahnya (Amien Rais) agar (1) harus mengikuti suami
karena suami adalah prioritas dan (2) nasihat beliau tentang luasnya bumi
Allah SWT yang harus dijelajahi (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).
Hanum menyatakan bahwa tujuan menulis adalah sebagai sarana berkreasi
dan mengisi waktu luang. Hal ini dilakukan karena kemampuan Hanum sebagai
jurnalis dan bakatnya dalam kepenulisan sehingga pengarang dapat menguasai
kreativitas menulis. Hanum mampu mengolah kemampuan menulis secara ekspresif
berdasarkan gejolak batin dan berseni meski dengan gaya catatan perjalanan.
Kegiatan ini dilakukan agar tugasnya sebagai istri tidak hanya melayani suami dan
mengurus tempat tinggal semata. Melainkan lebih fokus juga pada aktivitas untuk
mengisi waktu luang agar hidupnya selama di Eropa tidak terbuang percuma.
40
Sebagaimana dalam hasil wawancara Hanum, ia menyatakan, “Setelah hijrah ke
Eropa menemani suami yang sedang menempuh S3, praktis saya tidak melakukan
apa-apa selain menunggu suami pulang. Saya disarankan oleh Mas Rangga untuk
menulis apa saja untuk mengisi waktu” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).
Pekerjaan Hanum sewaktu menjadi wartawan di TransTV kembali
dikembangkan dalam kepenulisan. Hal ini juga didukung oleh usul Rangga untuk
menulis tentang apa saja sambil mengelilingi Eropa. Pegalaman jalan-jalan itu ditulis
kembali dalam sebuah cacatan disertai eksplorasi. Eksplorasi itu diwujudkan dengan
gaya kepenulisan yang menarik. Pembaca dapat menyelami kisah perjalanan yang
ditulis Hanum berdasarkan kesan takjub yang dirasakannya. Ditambah dengan
Rangga yang mengeksplorasi karya ini dengan tambahan berbagai fakta. Berdasarkan
hasil wawancaranya, Rangga menyatakan, “Maka Rangga dan Hanum membuat
sebuah karya yang membuat pembaca mendapatkan hikmah dari perjalanan mereka”
(hasil wawancara pada 8 Agustus 2015). Kemampuan Hanum yang dapat
mengeksplorasi kemampuan seni tulis, dirasa mampu memengaruhi batin pembaca.
Menurutnya, bila pembaca menjadi tergugah dan terinspirasi maka lebih berharga.
Hal itu melibatkan unsur pemuasan batin dalam bahasa dan gaya tulis.
Hanum pernah menuturkan, ketertarikannya dengan kepenulisan memperkuat
minatnya untuk memilih bidang jurnalistik. Sebelumnya, ia memilih Jurusan Dokter
Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta karena pengaruh minat teman-temannya.
Jurusan itu dianggap bergengsi sehingga memberikan daya tarik bagi teman-teman
Hanum untuk memilih bidang itu. Sebagaimana dalam hasil wawancaranya, Hanum
menyatakan, “Sesungguhnya passion saya ada di dunia kepenulisan dan jurnalisme,
41
bukan jadi dokter gigi. Waktu itu mendaftar kuliah dokter gigi hanya ikut-ikutan
teman dan untuk gengsi-gengsian” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).
Selain ketertarikannya dengan kepenulisan, ketiadaan panutan di lingkungan
keluarga sebagai dokter gigi menimbulkan daya tarik Hanum untuk memilih bidang
jurnalistik. Di bidang ini, ia tunjukkan bakatnya dengan berkarir di TransTV sebelum
menyusul Rangga ke Wina, Austria untuk studi S3. Selama di Eropa ia bekerja untuk
proyek Video Podcast Executive Academy di WU Viena selama 2 tahun. Tahun 2010,
ia memulai pengalamannya menjadi penulis buku karena telah menulis buku berjudul
Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri Untuk Ayah Tercinta dan
diterbitkan. Setelah itu, Hanum dan juga Rangga mulai menulis kisah perjalanan
mereka ke dalam novel-novel yang berlatar Eropa seperti Berjalan di Atas Cahaya
dan 99 Cahaya di Langit Eropa. Kini, Hanum Salsabiela Rais menjadi kontributor
detik.com untuk wilayah Eropa dan sekitarnya
Peran Rangga Almahendra sebagai pemberi ide perlu diperhitungkan.
Kegiatan ini didukung pula oleh latar belakangnya sebagai dosen dan peneliti di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal ini bertolak dari pengalamannya yang
pernah menuliskan hasil penelitian sehingga ia bisa menyajikan fakta berdasarkan
fenomena yang diamati. Sebagaimana ia menuturkan, “Adanya passion dimana
Hanum sebagai wartawan dan Rangga sebagai dosen yang dapat menjadi penulis.
Keduanya mempunyai sinergi dalam membangun emosi dan pemaparan fakta” (Hasil
wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015). Apa yang dikembangkan oleh Rangga
dalam penulisan novel 99 Cahaya di Langit Eropa, mempunyai unsur fakta disertai
referensi sejarah. Ia menyajikan fakta tentang hubungan historis antara Islam dengan
42
Eropa disertai pengamatannya tentang kehidupan sosial masyarakat Eropa. Hal itu
membuktikan, Rangga dapat melibatkan diri dalam penulisan novel ini.
Kemampuannya juga didukung oleh kreativitas Hanum yang menyukai tulis-menulis
sejak kecil.
b. Ide
Awal penciptaan novel ini adalah saat Hanum mengikuti suaminya ke Wina
untuk studi doktoral di Universitas Wina selama kurang lebih tiga tahun. Hanum
mengikuti sang suami sejak tahun 2008. Hanum dalam wawancara tanggal 9 Juni
2015, mengatakan bahwa ia menulis novel ini karena adanya ketertarikan dengan
kondisi keagamaan di Eropa yang berbeda dengan Indonesia. Hal itu juga didukung
oleh kesadaran intelektual akan kondisi umat yang mengalami perang pemikiran.
Situasi keagaman sebagian besar masyarakat Eropa cenderung sekuler sehingga Islam
menjadi minoritas. Berbeda dengan situasi dan kondisi keagamaan masyarakat
Indonesia yang cenderung bebas dan terbuka karena kuatnya toleransi beragama.
Sebagaimana dalam hasil wawancaranya, ia menyatakan, “Situasi di Eropa yang
cenderung atheis justru membuat saya semakin jatuh cinta dengan Islam” (hasil
wawancara Hanum pada 9 Juni 2015).
Apa yang diungkapkan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dalam
novel 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan ungkapan ekspresi dari kisah perjalanan
untuk mengungkap jejak-jejak Islam yang ada di Eropa. Ide dituliskan berdasarkan
pengalaman pengarang dalam setiap kisah perjalanan. Selain dakwah dan
menceritakan kisah perjalanan, cerita ini juga mempunyai muatan sastra dalam narasi
dan gaya kepenulisan. Sebagaimana dalam pernyataan Rangga berikut.
43
Maka Rangga dan Hanum membuat sebuah karya yang membuat pembaca
mendapatkan hikmah dari perjalanan mereka. Kalau novel mempunyai
kekuatan narasi dan memiliki daya seni. Misalnya Andrea Hirata yang
menulis secara puitis. Namun kalau Hanum menulis dengan gaya tulisan yang
sederhana tetapi harus dapat membangun emosi. Maka novel ini juga
mempunyai muatan emosi (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).
Seni berbahasa yang dipola secara menarik, dituliskan agar memberikan karakter atau
kesan bagi pembacanya. Penulisan sederhana ini juga dimaksudkan agar pembaca
dapat memahami maksud yang disampaikan Hanum dan Rangga. Dengan
penulisannya yang menyentuh jiwa, maka pembaca akan mudah menyerap maksud
pengarang. Sebagaimana menurut Sumardjo (2001: 58) bahwa bercerita adalah seni.
Namun secara praktis, gaya bahasa ini digunakan ketika Hanum dan Rangga
berinteraksi dengan orang-orang Eropa selama tiga tahun tinggal di sana.
Selama menikmati perjalanan, Hanum menemukan beberapa hal menarik
yang dapat memengaruhi proses penemuan ide. Menurut Rangga Almahendra dalam
hasil wawancara pada 8 Agustus 2015, tujuan penulisan novel ini adalah sebagai
realisasi untuk mewujudkan cita-cita „menjadi agen muslim yang baik‟. Tambahan,
dalam hasil wawancaranya, Hanum menyatakan, “Bagi saya yang lebih penting
adalah, bagaimana makna sebuah perjalanan harus bisa membawa pelakunya naik
„derajat„ yang lebih tinggi, baik horizon ilmu maupun perspektif kemanusiaannya,
meninggikan keimanan dan ketaqwaanya pada Allah SWT. Buku ini memaparkan
dan merefleksikan ini semua” (Hasil wawancara Hanum di situs
www.hanumrais.com). Berdasarkan proses penemuan ide, Hanum dan Rangga
menemukan nilai-nilai kesempurnaan Islam sesuai judul bukunya. Seperti judulnya,
angka 99 pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan wujud kesempurnaan
dalam Asmaul Husna. Sebagaimana yang diyakini, nilai-nilai Islam yang hakiki
44
adalah mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Menurutnya, letak kesempurnaan
terletak pada ajarannya sebagai pembawa kedamaian atau rahmatan lil ‘alamin. Hal
inilah yang menyebabkan masyarakat Eropa di masa lalu dapat menerima Islam
karena disampaikan dengan cara damai. Bukti penerimaan Islam yang ada di Eropa
tampak pada lukisan, arsitektur, produk budaya, ilmu pengetahuan, dan kehidupan
sosial yang memiliki unsur Islam. Sebagaimana dalam hasil wawancara dengan
Rangga, ia menyatakan, “Judul ini terinspirasi dari kalimat Asma‟ul Husna sebagai
implementasi kebebasan berpendapat tentang Islam yang sebenarnya. Apa yang
disampaikan dari buku ini menjelaskan tentang kebesaran Tuhan yang ada di Eropa”
(Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).
Rangga Almahendra juga menambahkan, bahwa nilai-nilai Islam mengandung
ajaran kedamaian. Sebagaimana dalam hasil wawancara dengan Rangga, ia
mengatakan, “Islam sebenarnya mengajarkan cinta damai di mana jika dihitung
secara kalkulasi adalah sebesar 99 persen. Sisanya 0,001 persen adalah kekerasan”
(hasil wawancara pada 8 Agustus 2015). Kenyataan ini membuktikan bahwa Islam
mengajarkan kebaikan dalam setiap syiarnya agar dakwahnya bisa diterima. Namun
untuk mencegah serangan musuh Islam, mereka harus bisa mempertahankan
kehormatan Islam dengan semangat jihad. Tetapi, tujuan itu mulai dirusak oleh
orang-orang yang jiwanya telah ternodai hawa nafsu. Menurut Hanum, pemikiran
mereka telah dipengaruhi oleh pemberitaan media Barat yang mendiskreditkan Islam.
Ada faktor kebencian yang sudah dipendam oleh orang-orang yang tidak menyukai
eksistensi Islam di Eropa. Hal ini disampaikan dalam prolog novel 99 Cahaya di
45
Langit Eropa oleh Hanum dan Rangga tentang buruknya citra Islam akibat pengaruh
faktor eksternal.
Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan
keduanya mengalami pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya.
Berbagai kejadian sejak 10 tahun terakhir—misalnya pengeboman Madrid dan
London, menyusul serangan teroris 11 September di Amerika, kontroversi
kartun Nabi Muhammad, dan film Fitna di Belanda—menyebabkan hubungan
dunia Islam dan Eropa mengalami ketegangan yang cukup serius (Rais dan
Almahendra 2014: 4).
Selain itu juga ada perasaan tidak menyenangkan akibat hasutan orang-orang atau
kelompok-kelompok tertentu yang memengaruhi buruknya citra Islam. Mereka inilah
yang menjadi faktor keretakan hubungan dunia Islam dengan Eropa. Hanum pernah
menyatakan dalam kutipan novel ini, “Saya merasakan ada manusia-manusia yang
dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya. Luka
dan dendam akibat ratusan tahun Perang Salib yang rupanya masih membekas sampai
hari ini” (Rais dan Almahendra 2014: 4).
Kondisi umat Islam yang kurang peka terhadap ilmu pengetahuan dan
lemahnya kaum muslim dalam merespon isu dapat menjadi pengendapan inspirasi
penulisan. Hanum ingin agar umat Islam semakin mencintai agamanya sendiri supaya
syiar Islam semakin meluas dan mempunyai kekuatan. Sebagaimana dalam kutipan
prolog novel 99 Cahaya di Langit Eropa berikut.
Dunia Islam saat ini sudah mulai memalingkan muka dari pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya
bersinar lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kemudian ketika ada negara yang
melarang pemakaian jilbab, pembangunan minaret, atau seorang yang
mengolok-olok Islam dengan membuat video Fitna, kita hanya bisa berteriak-
teriak di depan kedutaan negara mereka sambil membakar bendera. Hanya itu.
Ini yang coba saya refleksikan dalam catatan perjalanan ini.Saya mencoba
mengumpulkan kembali sisa kebesaran peradaban Islam yang kini terserak.
46
Dan saya justru menemukan jejak-jejak peninggalan tersebut selama
menempuh perjalanan menjelajah Eropa (Rais dan Almahendra 2014: 6).
Fenomena yang disampaikan pengarang di atas, semakin gencar disuarakan orang-
orang yang membenci Islam, menjadikan Islam dipandang negatif bagi siapapun.
Namun, umat Islam kurang memiliki kemampuan untuk menghadapi pelaku
islamfobia (pembenci dakwah Islam). Kondisi ini yang menimbulkan rasa kecewa
bagi Rangga sehingga ingin membuktikan Islam yang sebenarnya dalam novel ini.
Sebagaimana dalam hasil wawancara, ia menyatakan, “Novel ini ditulis karena
adanya fenomena islamfobia, padahal Islam itu indah” (hasil wawancara Rangga pada
8 Agustus 2015).
Apa yang disampaikan di atas merupakan hasil perenungan Hanum dan
Rangga selama perjalanan. Bahkan apa yang terjadi terhadap umat Islam di zaman
modern ini, menguji kepekaannya untuk membuktikan Islam yang sebenarnya.
Hanum, dalam hasil wawancara pada 9 Juni 2015, ingin membuktikan the moderate
voice of Islam (membuktikan Islam yang sebenarnya) kepada seluruh pembaca,
termasuk umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan oleh pendapat Rangga dalam hasil
wawancaranya berikut.
Maka ditulislah novel 99 Cahaya di Langit Eropa sebagai implementasi
dakwah sekaligus menyuarakan pendapat mereka tentang Islam yang
sebenarnya (the moderate voice of Islam). Seringkali media Barat
mengidentikan Islam dengan kekerasan seperti contohnya adanya aksi
terorisme. Bahkan masyarakat Indonesia yang muslim, diantaranya ada yang
menjadi islamfobia (Hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).
Apa yang disampaikan di atas, membuktikan bahwa kisah perjalanan juga bisa
dilukiskan dalam bentuk novel. Berbagai peristiwa yang terjadi, dapat memengaruhi
47
pemikiran pengarang. Berbagai ide, pandangan, dan perspektif dapat memengaruhi
proses penciptaannya yang selanjutnya membentuk gagasan penulisan.
2. Inkubasi
Proses inkubasi yaitu bagaimana pengarang menyimpan idenya agar dapat
diingat kembali sebelum dituang ke dalam karya tulis. Apa yang dialami Hanum dan
Rangga selama di Eropa, membuatnya perlu merefleksikan kejadian-kejadian yang
pernah dialami. Mereka menemukan berbagai hal menarik yang diyakini dapat
menggugah emosi dan daya intelektual. Semua itu dideskripsikan dalam novel 99
Cahaya di Langit Eropa. Hanum pernah bertemu dengan orang-orang yang dianggap
mempunyai pengetahuan dan terkait dengan dunia Islam di Eropa, terutama dari segi
sejarah seperti Fatma, Marion, Sergio, dan Luiz. Hanum juga dibantu oleh Rangga
saat akan menuliskan dalam novel. Rangga lebih banyak membantu Hanum dari segi
intelektual seperti sejarah maupun kehidupan sosial. Berdasarkan proses
pembuatannya, Hanum memberi pernyataan dalam dialognya di KompasTV tahun
2012.
Lumayan panjang dan harus cepat. Jadi waktu itu, begitu saya mau pulang,
baru menulis tentang perjalanan saya ini. Jadi, perjalanan selama tiga tahun ini
saya rangkum dalam waktu kurang lebih empat bulan. Saya menulis dibantu
oleh suami saya. Jadi, dalam penulisan ini saya harus mengingat-ingat
kembali serpihan-serpihan bagaimana saya punya fase-fase berteman,
bagaimana interaksi dengan mereka. Itu yang bisa saya tebarkan atau sharing
kepada pembaca, sehingga ketika mereka akan ke Eropa, sudah tahu
bagaimana menghadapi hal tersebut (Hasil wawancara di KompasTV tahun
2012).
Proses penulisan yang dilakukan selama empat bulan, dihabiskan Hanum dengan
mengumpulkan berbagai data dan mengingat kembali pengalaman yang didapat.
48
Pengalaman itu sebagian besar didapat dari hasil interaksi dengan beberapa orang
yang ada di Eropa. Pernyataan yang disampaikan mereka dan bagaimana perilaku
sosial masyarakat Eropa dapat diceritakan kembali dalam novel saat akan pulang ke
Indonesia. Hanum dan Rangga ingin merefleksikan kembali kisah perjalanan selama
tiga tahun di Eropa.
Ide-ide tersebut sebagian berdasarkan keterangan dan referensi yang didapat
saat melakukan perjalanan di Eropa. Data-data tentang kejadian menarik yang
terhimpun dalam kisah perjalanan, dikumpulkan kembali. Data-data itu berisi tentang
kehidupan sosial masyarakat Eropa hingga sejarah Islam di sana. Menurut Hanum,
hasil interaksi dengan orang-orang Eropa dapat dikembangkan kembali dalam karya
tulisnya. Berdasarkan hal ini Hanum menuturkan, “Saya menuliskannya dalam
bahasa ringan dan sederhana berdasarkan interaksi saya dengan banyak orang Eropa
dari berbagai lini yang pernah saya temui selama 3 tahun tinggal di Eropa” (Hasil
wawancara di situs www.hanumrais.com). Tanggapan dari beberapa warga Eropa
yang ditemui, Hanum kumpulkan dalam catatan. Catatan-catatan itu berisi tanggapan
dan argumen mereka, selanjutnya ia tuliskan ulang sebagai data untuk bisa mengingat
kembali ide-ide yang didapat.
Salah satu contoh interaksi dapat diketahui pada tokoh-tokoh yang merupakan
refleksi dari teman perjalanan Hanum dan Rangga selama melakukan perjalanan.
Contohnya pada tokoh Fatma dan Marion dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa.
Mereka mempunyai referensi yang menarik seputar sejarah Islam di Eropa.
Berdasarkan hal ini, Hanum menyatakan, “Marion dan Fatma banyak mempunyai
informasi tentang sejarah Islam di Eropa” (Hasil wawancara pada tanggal 9 Juni
49
2015). Hanum mendapatkan hasil wawancara berdasarkan interaksi dengan Marion
dan Fatma. Marion yang merupakan peneliti bidang sejarah Islam Abad Pertengahan
lulusan Universitas Sorbonne Paris, mempunyai pengetahuan yang luas tentang
sejarah Islam di Perancis. Marion juga merupakan seorang mualaf (orang non-Islam
yang baru masuk ke dalam agama Islam) sehingga dapat memaparkan fakta sejarah
Islam di Eropa secara mendalam. Hasil interaksi ini dijadikan data oleh Rangga
disertai berbagai tambahan referensi. Maka, Marionlah yang dapat menginspirasi
Hanum untuk menulis tentang sejarah Islam di Perancis.
Fatma, ia merupakan seorang ibu rumah tangga asal Turki, yang berdomisili
di Wina. Selain berdomisili, ia juga pencari kerja namun sulit mendapatkannya
karena masalah jilbab. Akhirnya ia memilih ikut kursus bahasa Jerman sebagai
alternatif untuk diterima di suatu perusahaan yang membolehkan penggunaan simbol
agama namun harus menguasai bahasa Jerman. Saat kursus itulah ia mengenal
Hanum. Sikap gigih Fatma yang membuat Hanum tertarik berteman dengan dirinya.
Fatma yang mempunyai pengetahuan luas tentang sejarah penaklukkan Turki
Utsmani di Wina, dijadikan data sebagai inspirasi untuk mengumpulkan ide.Iajuga
dapat menjelaskan tentang latar belakang stigma negatif masyarakat Eropa terhadap
Islam.
Selain mereka, juga terdapat Sergio dan Gomez. Pertemuan pertama dimulai
dengan Gomez, ia merupakan warga Spanyol yang mengaku merupakan keturunan
Muslim dari kakek buyutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam pernah tegak di
Spanyol sejak awal penaklukkannya yaitu 750 tahun. Selain itu, Sergio, seorang
pemandu wisata yang menawarkan jasa perjalanan mengelilingi area Mezquita
50
(masjid yang berubah menjadi gereja di Spanyol). Sergio merupakan pria tua yang
sudah lama bekerja sebagai agen pejalanan wisata bagi para turis. Ia banyak
menceritakan sejarah Islam di Cordoba serta pengaruhnya. Sergio juga
mengungkapkan kekecewaan terhadap ekspansi pasukan Kristen dari Iberia (daratan
di sekitar Spanyol) yang menguasai Spanyol dengan kekerasan. Hasil interaksi
dengan mereka dituangkan sebagai ide penulisan novel 99 Cahaya di Langit Eropa.
Mereka dapat menjadi inspirasi dan pengetahuan menarik tentang sejarah
kekhalifahan Islam di Spanyol.
Rangga juga menyatakan tentang proses penyimpanan ide. Berdasarkan hal ini
ia menyatakan, “Untuk mengingat kembali ide-ide mereka, biasanya dilakukan
dengan banyak membaca berbagai karya seperti buku, dan lain-lain. Mereka juga
mencatat hal-hal menarik” (Hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015). Kisah
perjalanan Hanum selama tiga tahun di Eropa disusun kembali sebagai data sebelum
ditulis dalam novel. Rangga kemudian mencari referensi yang mendukung fakta
berdasarkan pemaparan Hanum. Mulai dari sejarah, nilai-nilai sosial, hingga aspek
kemanusiaan yang dihimpun dalam data, dihubungkan dengan berbagai referensi
seperti buku dan artikel. Semuanya berkenaan dengan sejarah kemunculan dan
perkembangan Islam di Eropa. Hal-hal itu mampu membantu memberi tambahan
refernsi terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan hubungan historis antara
Islam dengan Eropa.
51
3. Inspirasi/Iluminasi
Inspirasi/Iluminasi merupakan tahapan ketika pengarang mendapatkan
gagasan yang muncul secara tiba-tiba. Agar ide-ide Hanum dan Rangga dapat ditulis
kembali, mereka perlu merefleksikan kembali perjalanan di Eropa. Cara-cara itu
dapat dilakukan dengan membaca, menulis, beriskusi, dan lain-lain. Setelah itu,
muncul dorongan batin untuk mengeluarkan gagasan atau ide yang menurut Hanum
dan Rangga ideal untuk dituliskan. Ide itu sudah bisa dirasakan dan dipahami dengan
jelas. Pengarang dapat mewujudkan ide tersebut. Wujud ide itu cenderung kepada
penemuan nilai-nilai Islam yang ingin pengarang ungkapkan kepada pembaca.
Sebagaimana dalam pernyataan Hanum berikut.
Kondisi keberagamaan di Eropa sangat berbeda dengan di indonesia yang
mayoritas muslim. Namun yang membuat heran adalah ternyata Islam pernah
sangat berjaya di Eropa. Dibuktikan dengan banyaknya peninggalan situs-
situs besar Islam di banyak negara Eropa, seperti tertulis dalam novel 99
Cahaya di Langit Eropa (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).
Munculnya ide penulisan ini akan memunculkan gagasan nyata sebelum dapat
dikembangkan dalam karya tulis. Sebelumnya, ide-ide tentang kisah perjalanan yang
telah dihimpun menjadi data, memberikan sebuah gagasan menarik untuk
dikembangkan dalam tulisan. Perjalanan yang mereka rasakan bukan sekedar jalan-
jalan biasa untuk mendapatkan kesenangan semata, namun untuk mendapatkan
pemahaman tentang Islam. Sebagaimana dalam pernyataan Hanum dalam novelnya,
“Akhir dari perjalanan selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkan saya pada
pencarian makna dan tujuan hidup. Mengantarkan saya pada sumber kebenaran abadi
sumber kebenaran abadi yang Mahasempurna” (Rais dan Almahendra, 2014: 9).
Hanum dan Rangga merasa telah menemukan nilai-nilai yang diyakini dapat
52
menggugah iman. Kisah perjalanan ini dijadikan Hanum dan Rangga sebagai
inspirasi untuk dakwah. Sebagaimana dalam pernyataan Hanum, “Saya ingin
berdakwah melalui novel ini” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015).
Hal ini juga ditambah dengan kekaguman pengarang terhadap peradaban
Islam yang kini sulit dilacak. Sebagaimana hal itu, Hanum mengungkapkan, “Situasi
di Eropa yang cenderung atheis justru membuat saya semakin jatuh cinta dengan
Islam” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015). Kondisi ini yang kemudian menjadi daya
tarik bagi pengarang terhadap peradaban modern Eropa dan Islam yang pada masa
lalu pernah bersatu. Hal ini menimbulkan perasaan kagum bagi pengarang terhadap
hubungan kedua peradaban tersebut.
Ketertarikan pengarang dengan sejarah hubungan kedua peradaban tersebut
menjadi inspirasi untuk mengembangkan karya tulis. Setelah idenya didapat dan telah
ditransformasi dalam pikiran, selanjutnya dikembangkan menjadi karya tulis. Ide
yang didapat kemudian disimpan dan dihimpun sebagai data. Hanum dan Rangga
harus menghabiskan waktu selama empat bulan untuk bisa menghimpun data dan
menuliskannya kembali dalam bentuk kerangka tulisan sebelum ditulis dalam buku.
Sebagaimana dinyatakan Hanum ketika ia mengingat idenya kembali, “Dengan
terlebih dahulu membuat kerangka berfikir, yang kemudian dikembangkan menjadi
cerita” (hasil wawancara pada 9 Juni 2015).
Setelah dikembangkan dalam sebuah konsep, kemudian diseleksi untuk
menemukan bagian yang menurut mereka sesuai dengan ide penulisan sebelum
dituliskan. Mereka harus mencatat ide-ide dalam daftar atau catatan sebagai data atau
53
bahan tulisan untuk penyederhanaan. Pengumpulan ide-ide tersebut juga disertai
dengan tambahan referensi seperti buku dan artikel untuk dapat membantu
menjelaskan ilham yang telah mereka dapatkan. Selain mencatat dan membaca,
Hanum juga mengumpulkan data berupa foto. Hanum mengumpulkan foto-foto itu
sebagai data untuk memberikan gambaran konkret tentang tempat-tempat yang telah
dikunjungi.
Ide yang telah ditemukan selanjutnya ditulis dalam novel. Hanum dan Rangga
telah melalui proses pengendapan ide untuk penyesuaian. Ide yang didapat
direfleksikan kembali menjadi data yang didapat dari kisah perjalanannya.
Berdasarkan pernyataan Hanum dalam buku 99 Cahaya di Langit Eropa, ia ingin
segera mengungkapkan kisah perjalanan ini kepada pembaca sebagaimana dalam
pernyataannya, “…,Tapi kita masih bisa menyelamatkan kenangan perjalanan kita
dalam sebuah buku. Kita harus menulis. Bukan hanya untuk kita, tapi juga
membaginya untuk yang lain” (Rais dan Almahendra 2014: 410).
Kenangan yang ditulis kembali dilakukan sebagai refleksi terhadap nilai-nilai
yang telah didapatkan. Hanum dan Rangga mendeskripsikan kembali isi buku ini
sebagai catatan perjalanan tentang sejarah peninggalan Islam di Eropa. Menurut
mereka, berkuasanya Islam di Eropa pada masa lalu telah meninggalkan sisa-sisa
peradaban Islam yang pernah disampaikan dengan cara damai. Sebagaimana dalam
pernyataannya sebagai berikut.
Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian… Pencarian saya
telah mengantarkan saya pada daftar-daftar tempat-tempat ziarah baru di
Eropa yang belum pernah saya dengar sebelumnya…. Tapi dengan
mengunjungi tempat-tempat tersebut, saya jadi semakin mengenal identitas
54
agama saya sendiri. Membuat saya makin jatuh cinta dengan Islam (Rais dan
Almahendra 2014: 3-4).
Misi pencarian untuk menemukan nilai-nilai Islam membuat pengarang ingin
mengulang kembali kisah perjalanan. Ide-ide itu dikembangkan dan dieksplorasi
secara mendalam. Berbagai hal seperti nilai-nilai keikhlasan, kasih sayang,
sinergisitas antara agama dengan pengetahuan, sosial, politik, dan sejarah dapat
dibuktikan dengan berbagai peninggalan yang dijelaskan dalam novel 99 Cahaya di
Langit Eropa.
Gagasan tantang permasalahan dunia Islam dan keinginan untuk
menggambarkan dunia Islam yang sesungguhnya, menjadi inspirasi Hanum dan
Rangga. Hanum meyakini bahwa kondisi dunia Islam yang semakin penuh dengan
ujian, mendorongnya memengaruhi pembaca agar dapat mencintai Islam. Ia tidak
ingin pembaca semakin menjauh dari nilai-nilai Islam. Gagasan yang telah terhimpun
dari kisah perjalanan dan dikumpulkan dalam data-data, diungkapkan kembali
sebagai refleksi atas pemahaman terhadap nilai Islam yang sebenarnya. Ide-ide itu
telah diketahui oleh pikiran-pikiran rasional mereka. Hal itu dilakukan setelah melalui
proses pengendapan ide.
Gagasan ini telah menemukan bentuknya yang ideal, yaitu telah tampak
bentuk ide yang sesuai untuk dikembangkan dan mudah ditulis. Gagasan ini
munculnya tiba-tiba, sehingga pengarang harus secepatnya mengeluarkan agar tidak
mudah tertinggal atau hilang. Pengalaman-pengalaman menarik yang didapat dari
perjalanan mereka harus secepatnya dikeluarkan. Hal ini disebabkan oleh dorongan
naluriah untuk secepatnya menuliskan karya. Hanum yang dianggap mempunyai
55
talenta atau bakat dalam menulis, dapat menyampaikan dengan mudah isi pikiran
dalam olahan kreatif dan estetis. Hal ini dibarengi oleh Rangga yang merupakan
seorang dosen dan bisa menyumbangkan pemikiran intelektualnya. Sebagaimana
dikatakan Rangga, ia menyatakan, “Rangga dan Hanum mempunyai hubungan saling
melengkapi. Namun mereka berbeda gaya penulisan karena Hanum lebih kuat pada
emosi dan perasaan sedangkan Rangga lebih kuat pada unsur fakta” (Hasil
wawancara pada 8 Agustus 2015).
Kedua pengarang ini dapat membangun sinergi dan kerjasama yang baik
untuk bisa menelurkan pemikiran mereka. Hanum bisa mengolah gaya bahasa
semenarik mungkin sehingga daya emosi dan perasaan bisa memberikan penghayatan
bagi pembaca. Pengarang bisa segera menuliskannya dalam novel. Baginya, semakin
pembaca memahami ceritanya maka semakin baik. Hal ini dapat dibuktikan dari
olahan bahasa sederhana namun penuh dengan daya ekspresi agar pembaca dapat
menghayati dan memaknai setiap kisah perjalanan mereka. Pengarang ingin pembaca
menemukan nilai-nilai Islam agar semakin mencintai agamanya. Dari situlah,
pengarang dapat membangun emosi pembaca melalui deskripsi sejarah dari setiap
artefak dan simbol-simbol Islam yang ditemui.
4. Penulisan
Pengarang telah menemukan gagasan yang sesuai dengan tujuan penulisan
novel. Gagasan itu selanjutnya ditulis dalam catatan. Hal ini dilakukan sebagai sarana
penuangan gagasan berdasarkan hasil dari proses iluminasi. Pada proses itu,
pengarang harus menulis kembali setelah menemukan ide yang tepat. Namun, agar
56
tersusun secara sistematis, diperlukan beberapa pola teknis untuk dapat menghasilkan
tulisan yang menarik. Adapun struktur penulisan yang digunakan Hanum dan Rangga
dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa adalah sebagai berikut.
a. Pengawalan Novel Secara Menarik
Pemilihan awal cerita dimulai dari judul. Judul cerita merupakan nama sebuah
buku atau karangan yang dapat menyiratkan secara singkat isi atau maksud si
pengarang. Judul karya ini adalah 99 Cahaya di Langit Eropa yang menyiratkan
tentang beberapa nuansa Islam yang terdapat di Eropa melalui berbagai simbol,
artefak, maupun nilai-nilai yang diterapkan. Angka „99‟ pada judul novel ini
merupakan simbol penting bagi umat Islam karena melukiskan nilai-nilai
kesempurnaan Islam yang terdapat dalam asmaul husna. Sebagaimana judul ini,
hubungannya dengan isi novel adalah keterkaitan nilai-nilai Islam dengan
eksistensinya di Eropa. Berdasarkan pengalaman sejarah, simbol-simbol Islam yang
ada di Eropa tersebut merupakan simbol penerimaan masyarakat Eropa terhadap
dakwah Islam. Sebagaimana tertera dalam kutipan novel ini, Hanum menyatakan,
“Perjalanan saya menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan
yang pernah dipancarkan Islam di benua ini. Vienna, Paris, Madrid, Cordoba,
Granada, dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan saya selama menjelajahi
Eropa” (Rais dan Almahendra 2014: 8).
Selanjutnya, penggambaran disampaikan dalam bagian overture atau nada
awal. Penamaan ini didasarkan pada ketertarikan pengarang terhadap musik.
Pengawalan cerita dimulai dari kisah penaklukkan oleh Turki yang dipimpin oleh
57
Mustafa Kara Pasha saat akan menaklukkan Eropa Barat. Namun, karena jumlah
pasukan Austria lebih banyak, ditambah datangnya pasukan bantuan dari Jerman dan
Polandia, membuat Turki akhirnya kalah. Hal itu berpengaruh terhadap renggangnya
hubungan Islam dengan Eropa. Kisah ini menjadi pemilihan awal cerita perjalanan
Hanum di Eropa, yaitu Austria. Penceritaan dimulai dari Bukit Kahlenberg sebagai
tempat kalahnya pasukan Islam yang diwakili Turki terhadap pasukan Austria,
Jerman, dan Polandia. Penceritaan itu menjadi menarik untuk menggambarkan awal
ketegangan hubungan antara Islam dengan Eropa. Sebagaimana dibuktikan dalam
pernyataan Fatma yang memperkuat sentimen Eropa terhadap Islam dalam novel
berikut.
„Aku perlu memberitahumu sedikit sejarah, Hanum.Turki negaraku, pernah
hampir menaklukkan Eropa Barat. Sekitar 300 tahun lalu, Pasukan Turki yang
sudah mengepung kota Wina akhirnya dipukul mundur oleh gabungan Jerman
dan Polandia dari atas bukit ini. Islam Ottoman Turki kemudian kalah terdesak
ke arah Timur. Jadi, bisa saja turis itu benar. Roti croissant memang simbol
kekalahan Turki saat itu‟ (Rais dan Almahendra, 2014: 42).
Pengawalan cerita yang dimulai dari pengaruh penaklukkan Turki terhadap Eropa dan
kemudian perjalanan Hanum serta Rangga mengelilingi Eropa, dapat menjadi bahan
menarik untuk ditulis di bagian awal cerita. Pada bagian novel ini, juga dijelaskan
latar belakang penulisannya. Hanum memberikan pernyataannya di awal novel ini
dengan menyatakan, “Buku ini adalah catatan perjalann saya atas sebuah pencarian”
(Rais dan Almahendra, 2014: 3). Pernyataan ini membuktikan bahwa awal penulisan
novel ini adalah perjalanan mereka mengelilingi Eropa untuk menyelami misteri
kejayaan Islam di Eropa, yang menyebabkan bangsa itu menjadi maju seperti
sekarang.
58
b. Pengolahan Bahasa yang dapat Memikat Pembaca
Pengarang dapat mengolah gaya bahasa untuk memikat hati pembaca. Novel
ini ditulis berdasarkan penggunaan bahasa yang pernah dipelajari sewaktu berada di
dunia jurnalistik. Selain itu, pengarang juga mampu memanfaatkan seni bercerita
dengan pembentukan narasi. Retorika ini digunakan untuk dapat menyentuh emosi
pembaca. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat menyelami makna dari sebuah
perjalanan yang diyakini mereka sebagai realisasi mewujudkan rasa cinta terhadap
Islam.
Kemampuan bahasa ini memainkan peran penting dalam teknik kepenulisan
novel 99 Cahaya di Langit Eropa. Pengarang perlu menguasai ketepatan
pengungkapan, keefektifan struktur kalimat, penggunaan bahasa kiasan yang
menarik, dan menguasai objek pembicaraan. Sebagaimana tertera dalam salah satu isi
novel ini yang mengandung unsur diksi seperti dijelaskan, “Dia begitu ringan
memahami agamanya tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua orang
muslim mempunyai pandangan sama, bahwa mereka boleh memasuki tempat ibadah
umat agama lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat dalam hati. Niat
saat itu tentu untuk mencari perlindungan diri dari serangan hawa dingin” (Rais dan
Almahendra, 2014: 36). Ungkapan pujian Hanum terhadap Fatma dalam menghadapi
musim dingin, memberi titik tolak dalam membentuk gaya bahasa sebagai sanjungan
terhadap sikap Fatma. Seperti kata, “dia begitu ringan memahami agamanya”
memberikan satu makna bahwa si tokoh Fatma dianggap mengagumkan karena ia
tidak ingin sebuah permasalahan dibesar-besarkan. Seperti ketika merasakan
menggigilnya tubuh akibat musim dingin, mereka memilih berlindung di tempat yang
59
hangat bahkan di gereja sekalipun. Hal ini dikarenakan tidak ada tempat lain yang
bisa menghangatkan tubuh selain gereja. Namun, Hanum memberi penegasan dalam
kalimat berikutnya bahwa setiap tindakan tergantung pada niat. Jadi, dari gaya bahasa
tersebut Hanum ingin menunjukkan kekaguman terhadap Fatma dalam hal
kecerdasannya.
c. Pemilihan Gaya Bahasa disertai Diksi yang Tepat
Pengarang memilih gaya bahasa yang sesuai dengan kebutuhannya dalam
menulis novel ini. Cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas, yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang, merupakan pola yang dapat
membentuk gaya bahasa. Gaya bahasa yang dipakai pengarang juga sesuai dengan
daya ekspresi yang terefleksi dari realita. Gaya kepengarangan Hanum dapat
dibuktikan melalui aspek pemilihan kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana.
Pengarang menggunakan gaya bahasa sederhana disertai muatan ekspresi.
Penggunaan gaya bahasa dalam novel ini hampir sebagian besar dipengaruhi oleh
ekspresi pengarang. Beberapa hal yang menonjol adalah penggunaan gaya bahasa
metafora sebagai pembanding terhadap dua hal yang berbeda keadaan. Terdapat
beberapa contoh isi dalam novel ini yang menggunakan gaya metafora, di antaranya
berikut.
1. Ungkapan Hanum terhadap sikap bijak Fatma dalam menghadapi hinaan dari para
turis di Bukit Kahlenberg. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan berikut.
Cara berfikirku tak mampu menggapai cara berfikir seorang perempuan, ibu
rumah tangga, yang tak mengenyam pendidikan terlalu tinggi bernama
Fatma. Emosi dan perasaan tersinggung terkadang terlalu kelam dalam diri.
60
Menutupi cara berfikir untuk “membalas dendam” dengan cara luar biasa
elok, elegan, dan jauh lebih berwibawa daripada sekedar membalas dengan
perkataan atau sikap antipasti (Rais dan Almahendra, 2014: 46).
Ungkapan ini dideskripsikan saat Hanum menemani Fatma ketika berada di
sebuah kafe di Kahlenberg. Namun, hinaan turis yang merendahkan Turki
membuat Fatma harus mengambil sikap bijak dengan membayar semua makanan
turis itu. Kesabaran dan ketulusan Fatma membuat Hanum merasa kagum.
Kekaguman ini digambarkan tokoh Hanum atassikap bijak Fatma. Sosok Fatma
yang ditemui saat di Austria memberikan nilai tersendiri bagi pengarang karena
sikapnya yang melampaui ibu rumah tangga pada umumnya. Kejadian ini
memunculkan inspirasi bagi Hanum untuk mengekspresikan berbagai kejadian
yang dialami. Hal ini juga terdapat pada bagian lain yang melukiskan suatu
kejadian secara sederhana dan dapat menyentuh batin pembaca karena daya
retorik dari Hanum.
2. Keikhlasan yang dibuktikan oleh sang pemilik Restoran Der Wiener Deewan.
Hanum menyatakan dalam kutipan novelnya, “Dia mempromosikan ajaran Islam
tentang ikhlas bukan dengan ucapan yang hanya berhenti di mulut. Dia
menggelarnya menjadi sebuah kedai makanan sumber kerelaan antara penjual dan
pembeli” (Rais dan Almahendra, 2014: 59). Bukti yang diberikan oleh pemilik
restoran, Natalie Deewan, ditunjukkan dengan adanya restoran yang
mengaplikasikan nilai-nilai Islam seperti keikhlasan. Hanum lantas
mengekspresikan kekagumannya terhadap penerapan nilai keikhlasan yang jarang
ditemui di Eropa.
61
3. Ungkapan Hanum saat mendeskripsikan lukisan Maria Antoinete saat berkunjung
ke Istana Schoenbrunn. Dalam kutipan novel ini, Hanum menjelaskan, “Si pelukis
makin menambah kedigdayaan Maria dengan sengaja menyoroti wajah Maria
dengan cahaya matahari yang bersinar melalui jendela, sementara wajah suaminya
redup tak tersentuh sinar matahari” (Rais dan Almahendra, 2014: 66). Ungkapan
dengan kata kedigdayaan yang dihubungkan dengan sebab wajah Maria yang
disoroti cahaya matahari, memberikan satu simpulan bagi Hanum bahwa cahaya
merupakan simbol kegagahan dan keperkasaan.
d. Pemilihan Imaji untuk Menghidupkan Cerita
Pengarang memilih kesan-kesan yang dapat dihidupkan kembali dengan
melakukan konkretisasi citraan. Hal-hal menarik dalam pengisahan itu melibatkan
unsur panca indera dan perasaan. Citraan ini melibatkan imaji yang merupakan daya
bayang pengarang untuk menggambarkan atau mewujudkan sesuatu dalam angan-
angan (pikiran) secara cermat dalam hidup (Kasnadi dan Sutedjo, 2008: 217). Imaji di
sini merupakan gambaran pengalaman indera yang disampaikan dengan
menggunakan bahasa. Salah satu contoh kutipan ini dapat memberikan deskripsi
tentang pengamatan Hanum terhadap lukisan bunda Maria yang terdapat tulisan Arab
sebagai berikut.
Aku mengucek-ucek mata. Cahaya redup yang menyinari lukisan
membuat bayang-bayang kepalaku menggelapkan lukisan. Kumiringkan
kepalaku ke kanan dan ke kiri, mengecek penjelasan Marion tentang inkripsi
Arab di tepi kerudung Maria. Kuteliti lagi setiap jengkal kerudung yang
mengitari wajah Maria. Dari bawah ke tengah, ke kanan, dan ke kiri, lalu ke
atas. Bayi Yesus digambar itu tampak meremas bagian bawah kerudung Maria.
Coretan-coretan di kerudung itu memang tidak jelas, tapi aku yakin jika
diperhatikan benar-benar, goresan itu berbentuk tulisan Arab. Aku benar-benar
62
menyerah. Marion tersenyum penuh misteri kepadaku (Rais dan Almahendra,
2014: 165).
Pengarang memberikan deskripsi tentang sebuah lukisan berdasarkan citraan yang
dapat merangsang indera pembaca. Kata-kata seperti mengucek-ucek mata, kuteliti,
cahaya redup, coretan-coretan, diperhatikan, dan goresan memberikan citraan
penglihatan sehingga pembaca seakan digiring untuk melihat secara langsung
terhadap objek yang dilihat. Kemudian kata kumiringkan dan tersenyum memberikan
imaji gerakan sehingga pembaca dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh tokoh
Hanum dan Marion.
e. Pemilihan Aliran dan Tema yang Mengena
Pemilihan aliran sebuah cerita dipengaruhi oleh penentuan tema yang
digunakan (Kasnadi dan Sutedjo, 2008: 221). Tema didasarkan pada keinginan
pengarang untuk mengangkat persoalan kehidupan yang diilhami oleh pengalaman
hidup. Tema yang diangkat berkaitan dengan sejarah dunia Islam di Eropa. Persoalan-
persoalan itu dijelaskan kembali oleh pengarang melalui kisah perjalanan.
Petualangan mereka dilakukan dengan menemukan peninggalan sejarah Islam di
Eropa untuk membuktikan hubungan yang harmonis sejak dahulu di antara kedua
peradaban tersebut. Hal itu dilakukan sebagai respon terhadap realita yang
menyangkut kerenggangan di antara hubungan Islam dengan Eropa. Sebagaimana
tertera dalam bagian awal novel ini disebutkan, “Perjalanan saya menjelajah Eropa
adalah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan Islam di benua
ini” (Rais dan Almahendra, 2014: 8).
63
Setelah permasalahan tersebut ditentukan, kemudian terbentuklah aliran
cerita. Kemudian cerita ini mengarah pada pelukisan kejadian yang diamati
pengarang. Pengarang melukiskan manusia dan lingkungan sebagai refleksi terhadap
fenomena atau realita dalam kenyataan sosial. Berdasarkan permasalahan tersebut,
digunakanlah aliran realisme dalam novel ini. Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:
114), realisme merupakan bentuk penceritaan yang merefleksikan kenyataan dan
kebenaran. Hal ini tercermin dalam kutipan sebuah novel 99 Cahaya di Langit Eropa
seperti pernyataan Hanum, “Di Indonesia kami tak perlu susah payah minta izin
Shalat Jumat, memakai jilbab, atau cuti haji dan umrah. Tapi di Austria, segalanya
berbeda. Hal-hal sepele jika tidak ditanggapi dengan bijak bisa memercikkan konflik”
(Rais dan Almahendra, 2014: 205). Apa yang dilihat pengarang merupakan hasil
pengamatannya terhadap realitas masyarakat Eropa dan dunia Islam. Simbol dan
aktivitas keagamaan yang ada di Eropa tidak mendapat akses. Realita inilah yang
perlu dilukiskan pengarang untuk menggambarkan kondisi umat Islam di Eropa.
Realita itu digambarkan sesuai kenyataan untuk menggambarkan situasi keagaman di
Eropa.
f. Pemilihan Sudut Pandang
Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama yang bersifat
empatif, yaitu dapat melibatkan emosi dan peran ke dalam diri pembaca. Sudut
pandang ini dapat memengaruhi daya bayang pembaca sehingga mereka dapat
menghayati isinya. Pengarang dapat terlibat secara langsung dalam setiap kejadian di
dalam novel ini. Penggunaan seperti kata aku dapat berpengaruh secara langsung
terhadap imaji pembaca. Kekaguman tokoh Hanum terhadap pengetahuan sejarah
64
Marion yang mampu menjelaskan pengaruh Islam dengan Eropa melalui artefak dan
simbol-simbol dalam novel ini, dijelaskan dengan pernyataan, “Tiba-tiba aku merasa
begitu mencintai sejarah karena ternyata dia bisa menyimpan begitu banyak teka-
teki” (Rais dan Almahendra, 2014: 171). Kata aku di atas dapat memengaruhi daya
bayang pembaca untuk mengikuti apa yang dilakukan pengarang.
g. Pemilihan Seting
Pemilihan tempat yang ada dalam novel ini sesuai dengan apa yang dialami.
Hal ini dilakukan untuk menceritakan pengalaman yang telah dirasakan pengarang.
Pemilihan setting ini adalah negeri Eropa karena sebagian besar isi cerita adalah
negeri Eropa. Perjalanan dimulai dari Wina (Austria), Paris (Perancis), Cordoba dan
Granada (Spanyol), dan Istanbul (Turki). Tempat-tempat di Eropa itu memenuhi
sebagian besar isi novel dan inilah yang tepat untuk menggambarkan latar perjalanan
yang dialami pengarang secara langsung. Sebagaimana pernyataan pengarang dalam
novel 99 Cahaya di Langit Eropa, disebutkan, “Sebagai pendatang baru, aku bertekad
untuk menghabiskan waktuku dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Wina sambil
menunggu panggilan kerja di kampus Rangga” (Rais dam Almahendra 2014: 20-21).
Latar kota Wina, Austria menjadi latar penceritaan yang sesuai dengan pengalaman
Hanum dalam menikmati perjalanan.
h. Penciptaan Karakter yang Memikat
Penggambaran tokoh di sini harus sesuai dengan karakterisasi tokoh dan
kehidupannya. Tokoh-tokoh dalam novel ini sesuai dengan kisah nyata yang pernah
ditemui pengarang. Pengarang perlu menghidupkan kembali karakter baik melalui
65
sifat maupun dialognya. Sebagaimana dinyatakan dalam isi novel ini disebutkan,
“Fatma yang tak bersekolah tinggi ini ternyata mempunyai kecermatan yang tinggi.
Meski muslimah sejati, ternyata dia tahu banyak model dan tipe gereja di Eropa.
Termasuk mengapa gereja dibangun dengan gaya khusus” (Rais dam Almahendra
2014: 37-38). Penggambaran sifat Fatma yang mampu menjelaskan tentang jenis-
jenis gereja, membuktikan bahwa ia mempunyai pengetahuan yang luas. Hal ini
membuktikan bahwa pemilihan tokoh Fatma tepat untuk membangun narasi dan
penokohan dalam novel ini.
i. Penentuan Efek Tegang dalam Sebuah Cerita
Hanum dan Rangga membuat kisah perjalanan yang mempunyai ciri berbeda
dari beberapa buku catatan perjalanan. Cerita ini mengandung unsur konflik yang
menjadi pembangun narasi. Ketegangan ini dibuat berdasarkan guncangan batin
pengarang terhadap para tokoh yang mengalami suatu kondisi tertentu. Beberapa
awal permulaan konflik dalam novel ini antara lain:
1) Konflik batin Hanum berhadapan dengan para turis yang menghina bangsa Turki
saat makan di kafe sekitar bukit Kahlenberg. Sikap mereka kemudian dibalas
Fatma dengan membayar semua pesanan mereka (Rais dan Almahendra, 2014:
38-40),
2) Konflik batin Hanum karena Fatma pergi dari Wina tanpa kabar akibat kematian
anaknya, Aise (Rais dan Almahendra, 2014: 106),
3) Kondisi batin yang dialami Rangga ketika berhadapan dengan beberapa kolega di
Wina karena berbeda pandangan dalam masalah budaya. Hal itu dibuktikan oleh
66
pelarangan mereka kepada Rangga dan Khan untuk meletakkan bekal di
mikrowave dan kulkas, meskipun milik kampus (Rais dan Almahendra, 2014:
206), dan
4) Masalah agama ketika Rangga berhadapan dengan Stefan yang ateis karena selalu
mempertanyakan masalah ketuhanan (Rais dan Almahendra, 2014: 210-219).
Beberapa konflik di atas dapat memberikan unsur konflik yang dapat membangun
emosi pembaca.
j. Pemilihan Konflik Cerita
Kejadian-kejadian menarik dalam kisah perjalanannya, dapat diolah sebagai
bahan cerita dalam novel ini. Semua efek yang diakibatkan oleh tegangan sikap antar
para tokoh menjadikan hal ini sebagai faktor pembangun konflik. Seperti sikap
kesabaran Hanum dan Fatma dalam menghadapi situasi di Eropa yang penuh
tantangan. Konflik itu kemudian diolah semenarik mungkin untuk dapat membangun
kesan tegang terhadap situasi yang dialami pengarang. Contohnya terdapat pada
sebuah dialog antara Fatma dengan pelayan saat akan membayar pesanan untuk para
turis yang telah merendahkan bangsa Turki saat berada di Bukit Kahlenberg sebagai
balasan atas perlakuan mereka. Contoh kutipan ini disebutkan, “‟Aku yakin tagihan
mereka tak lebih dari 15 Euro. Kalau sisa, itu untuk tipmu. Kalau kurang, suruh
mereka bayar kekurangannya saja. Oh ya, berikan pesan ini untuk mereka kalau kami
sudah pergi,‟ ujar Fatma sambil menyerahkan kertas. Pelayan itu mendengarkan baik-
baik permintaan Fatma (Rais dan Almahendra, 2014: 41). Penghinaan para turis
terhadap bangsa Turki dengan menyamakannya pada roti croissant sambil memakan
67
dengan rakus sebagai simbol membalas serangan mereka, memunculkan respon
Fatma dengan membayar pesanan para turis itu. Hal ini membuktikan bahwa sebuah
keburukan bisa dibalas dengan cara bijak sebagaimana yang ingin pengarang
sampaikan.
k. Pengakhiran Konflik Cerita
Kejutan yang dapat dibangun adalah tentang bagaimana bagian akhir dari
sebuah konflik cerita. Berbagai konflik yang terjadi dalam setiap kisah perjalanan
mereka menjadikan hal itu menarik dari sisi narasi. Pengarang memberikan akhiran
cerita berupa ekspresi Fatma saat mendapat balasan e-mail dari para pelancong yang
melecehkan Turki sewaktu berada di Kahlenberg dan ditunjukkan kepada Hanum
(Rais dan Almahendra, 2014: 369-370). Hal itu dilakukan seorang turis tersebut
sebagai ungkapan maaf karena melecehkan Turki dengan memakan roti croissant
sambil berkata, “Kalau kalian mau mengolok-olok Muslim, begini caranya!” (Rais
dan Almahendra, 2014: 38-39). Hal itu dilakukan dengan memakan roti croissant
secara rakus sebagai simbol pembalasan terhadap bangsa Turki. Namun di bagian
akhir cerita, para pelancong itu menyatakan perasaan menyesal dan meminta maaf
karena saat itu Fatma juga mengirimkan pesan yang tertulis, „Hi, I am Fatma, a
Muslim from Turkey‟ (Hai, nama saya Fatma, seorang Muslim asal Turki) (Rais dan
Almahendra, 2014: 46) yang menegaskan kemarahan wanita asal Turki tersebut.
l. Penggunaan Alur Cerita
Alur yang digunakan dalam novel ini sebagian besar bersifat maju. Hal ini
ditunjukkan melalui urutan peristiwa yang dialami Hanum dan Rangga bersifat
68
kronologis karena selaras dari bagian per bagian. Hal ini membentuk urutan kejadian
dari sejak pengarang berada di Wina, yang merupakan tempat pertama saat tinggal di
Eropa, hingga menyelesaikan perjalanan mereka selama tiga tahun dan berakhir di
Istanbul (Turki). Alur-alur cerita mengikuti kisah perjalanan Hanum dari Wina
(Austria), Paris (Perancis), Cordoba dan Granada (Spanyol), hingga Istanbul (Turki).
m. Penciptaan Suasana Cerita
Suasana haru dan kagum mewarnai setiap kisah perjalanan tokoh Hanum dan
Rangga selama tiga tahun di Eropa. Perjalanan yang mereka alami menjadi
pengalaman menarik sebagai kekaguman terhadap aspek historis antara Islam dengan
Eropa. Suasana di Eropa selama perjalanan inilah, dipolakan semenarik mungkin
dengan pendeskripsian berbagai tempat dan situasi dalam penulisan novel 99 Cahaya
di Langit Eropa.
n. Penulisan Akhir Cerita
Cerita diakhiri pengarang dengan suasana menyenangkan (happy ending).
Pada bagian ini, pengarang memilih bagian yang tepat sebagai akhiran untuk
novelnya. Bagian akhir dituliskan dengan Epilog sebagai akhir cerita Hanum dan
Rangga mengelilingi beberapa negara di Eropa. Hanum juga menambahkan, kisah
perjalanan ini membuatnya merasa kembali di titik nol yang disebut sebagai
Adventurum ad Initio (sebuah pengembaraan akhir menuju awal). Bagian ini
menceritakan Hanum saat beribadah haji.
Awalnya aku tidak memedulikan isi surat edaran itu, namun entah
kenapa malam itu aku tak bisa tidur. Tadinya surat itu tak kupedulikan atau
kuremehkan begitu saja. Namun malam itu, surat itu kembali hadir seperti
69
membisiki hatiku yang terdalam. Membuat hati ini gundah dan gelisah. Ada
bisikan kuat dalam hatiku untuk menuntaskan pengembaraanku selama di
Eropa ini. Sebuah pengembaraan akhir menuju titik awal. Adventurum ad
Initio.
Haji, itulah jawabannya. Jawaban yang membuat otakku akhirnya
bisa memerintah saraf-saraf mataku untuk melemas, mengantarku menuju
kematian kecilku malam ini. Aku tidur dengan pulas (Rais dan Almahendra,
2014: 377).
Setelah menceritakan bagian epilog, Hanum menceritakan tentang perjalanan
sejarah dunia Islam dalam judul Jejak Kronologis yang disusun dengan format
penulisan angka tahun dan peristiwa. Selanjutnya adalah penyajian foto berbagai
artefak dan tempat pernah dikunjungi pengarang selama perjalanan. Bagian terakhir
diberi judul Danke (ucapan terima kasih dalam bahasa Jerman) yang berisi
penceritaan proses pengumpulan foto sebagai data untuk dilampirkan dan
dimasukkan dalam cerita beserta ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang
telah bekerjasama dalam penulisan novel ini.
o. Penentuan Unsur Ekstrinsik Cerita
Pengarang menggunakan lokasi Eropa sebagai latar kisah perjalanan.
Berbagai aspek seperti sejarah dan kehidupan sosial memengaruhi kreativitas
pengarang untuk menghidupkan suasana dan latar cerita. Sebagaimana dalam kutipan,
“Tinggal di Eropa selama 3 tahun menjadi arena menjelajahi Eropa dan segala isinya”
(Rais dan Almahendra, 2014: 2). Berbagai kejadian dan fakta yang terdapat di Eropa,
seperti peninggalan sejarah dan kehidupan sehari-hari masyarakat Eropa, dapat
menjadi bahan untuk penulisan novel ini. Penceritaan sejarah seperti kedatangan
bangsa Turki untuk menaklukkan Eropa, sejarah cappuccino, sejarah roti croissant,
dan lain-lain; sedangkan aspek sosialnya adalah sekulerisme yang memengaruhi
70
pemikiran masyarakat Eropa; dipilih mereka dalam olahan kreatif sebagai ekspresi
untuk menunjukkan salah satu pengaruh perkembangan Islam terhadap modernitas
Eropa.
p. Penyisipan Pesan
Pesan yang bisa ditangkap dapat dibuktikan dari ungkapan pengarang
terhadap kejayaan Islam di Eropa. Kejayaan itu dapat dibuktikan melalui berbagai
peninggalan sejarah Islam yang pernah ditorehkan di Eropa. Penghayatan itu yang
dapat memberi kesan kekaguman dan kecintaan terhadap Islam. Selain itu pesan yang
didapat dari penghayatan terhadap simbol Islam menjadi sebuah contoh dakwah dari
setiap kisah perjalanan. Hal itu bertujuan bagi pembaca dan pengarang untuk semakin
mencintai Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam isi novel ini, “Belajar dari
keberhasilan sekaligus kegagalan agar manusia memiliki dua sayap pengalaman yang
lengkap, untuk membuatnya terbang lebih tinggi pada kemudian hari” (Rais dan
Almahendra, 2014: 392). Setiap pengalaman dapat memberi pelajaran kepada
pembaca tentang kemajuan yang ditorehkan dunia Islam. Dengan ini, pembaca akan
memahami esensi nilai-nilai Islam yang pernah ditorehkan pada masa jayanya.
q. Pemilihan Judul
Pemilihan judul dilakukan dengan menghayati setiap kisah perjalanan yang
dialami pengarang. Penggunaan angka 99 pada novel ini disimbolkan sebagai
kesempurnaan nilai-nilai Islam yang pernah berjaya di negeri Eropa. Hubungan
historis antara Islam dengan Eropa telah memberi kesan bagi pengarang sehingga
dapat memunculkan daya kreativitas dalam penentuan judul. Kekaguman pengarang
71
terhadap situasi yang ada di Eropa, dapat dikemas dalam judul novel sebagai inti dari
setiap kisah perjalanan mereka. Jadi, judul novel 99 Cahaya di Eropa memiliki
makna sebagai implikasi berbagai pengaruh dari dunia Islam dalam memengaruhi
kemajuan Eropa.
5. Evaluasi/Revisi
Gagasan yang telah lama tersimpan dalam memori pengarang selanjutnya
dikembangkan dalam bentuk penulisan. Gagasan itu berupa pengalaman-pengalaman
yang didapat Hanum dan Rangga selama tiga tahun di Eropa. Gagasan yang telah
dikonkretisasi dalam bentuk tulisan, selanjutnya perlu diadakan perbaikan sebelum
dipublikasi melalui pencetakan.
Sebelumnya mereka saling bersinergi untuk melihat hasil tulisan yang akan
disunting kembali. Salah satu contoh adalah pada kata ka’bah pada novel 99 Cahaya
di Langit Eropa. Sesuai ketentuan yang diinginkan penerbit, pengarang harus
melakukan penyesuaian berdasarkan kaidah bahasa Indonesia resmi. Hal ini
dilakukan dengan mengganti redaksi penulisan menjadi kata kabah yang telah
mengikuti kaidah resmi bahasa Indonesia agar hasil karyanya diterima penerbit.
Sebagaimana dalam pernyataan Rangga dalam hasil wawancaranya, ia
menyatakan, “Novel ini dilakukan dengan beberapa proses editing yang sesuai
prosedur. Tentunya menggunakan standar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Contohnya kata Ka’bah. Menurut editor, hal ini ditolak karena tidak sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia. Untuk itu pengarang harus menggantinya dengan kata
Kabah” (Hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015). Pengarang perlu
72
memperbaiki redaksi penulisan novel. Sesuai dengan pernyataan diatas, Rangga dan
juga Hanum harus melakukan penyempurnaan dari segi redaksional sebelum
diterbitkan. Sebab, penerbit yang dituju adalah Gramedia sehingga tuntutan untuk
menjadikan naskah tulisan menarik untuk dibaca semakin besar. Untuk itulah
penyesuaian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan mudah direspon pembaca
sangat penting.
B. Perwujudan Mimpi dan Hasrat
Analisis terhadap proses kreatif Hanum Salsabiela Rais dalam novel 99
Cahaya di Langit Eropa juga dapat ditinjau dari metode perwujudan mimpi dan
hasrat. Pendekatan ekspresif ini memiliki kaitan erat dengan psikologi pengarang.
Untuk mengkajinya, perlu pendekatan psikologi sastra berdasarkan aspek-aspek id,
ego, dan superego agar dapat mengetahui proses penciptaan novel tersebut. Untuk itu
perlu dijelaskan sebagai berikut.
1. Id
Id merupakan insting dasar manusia untuk mendapatkan pemenuhan. Hal ini
dapat disampaikan dari pendapat Freud tentang delir mimpi atau harapan tersembunyi
yang dimiliki pengarang. Fokus kajian ini selanjutnya diarahkan pada kejiwaan
Hanum dan Rangga seperti kepribadian maupun pemikiran. Memahami masalah itu
penting untuk mengetahui kepakaran, ungkapan perasaan dalam gaya bahasa, dan
seluk beluk tulisan yang mencerminkan perasaan pengarang.
Apa yang dipikirkan Hanum dan Rangga merupakan implementasi dakwah
yang harus dilakukan agar mudah dipahami masyarakat. Secara pemikiran, pengarang
73
menilai kondisi masyarakat tidak sesuai dengan harapan untuk membangun dunia
Islam yang lebih baik. Hal itu dapat diketahui adanya fenomena islamfobia dan
kelemahan intelektual umat Islam. Karyanya merupakan gambaran gejolak batin
tentang permasalahan yang terjadi terhadap umat Islam. Sebagaimana dalam
kutipannya sebagai berikut.
Dunia Islam saat ini sudah mulai memalingkan muka dari pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya
bersinar lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kemudian ketika ada negara yang
melarang pemakaian jilbab, pembangunan minaret, atau seorang yang
mengolok-olok Islam dengan membuat video Fitna, kita hanya bisa berteriak-
teriak di depan kedutaan negara mereka sambil membakar bendera. Hanya itu
(Rais dan Almahendra 2014: 6).
Apa yang diutarakan merupakan ungkapan kekecewaan Hanum terhadap realita yang
melingkupi umat Islam. Kegelisahan tentang kondisi umat Islam inilah yang
membuatnya ingin menyampaikan isi hati. Hal ini dapat membuktikan bahwa daya
kepekaan Hanum dan Rangga terhadap Islam sangat besar.
Wujud kecintaan terhadap Islam yang sangat besar membuat mereka harus
mampu tegar di bumi Eropa. Sebagaimana dalam pernyataan ini, Hanum menyatakan,
“Situasi di Eropa yang cenderung atheis justru membuat saya semakin jatuh cinta
dengan Islam” (Hasil wawancara pada 9 Juni 2015). Perwujudan rasa cinta terhadap
Islam membuatnya harus mampu bertahan dari kondisi sekulerisme dan ateisme yang
sudah bercokol di Eropa. Ia ingin menunjukkan nilai-nilai Islam yang prinsipil
melalui kisah perjalanan mengelilingi Eropa untuk menguak peninggalan Islam di
sana. Salah satunya dalam dialog antara Hanum dengan Sergio, pemandu wisata di
Cordoba, saat menceritakan letak mihrab Mezquita (masjid yang kini menjadi gereja).
74
„Arah mihrab itu tidak sepenuhnya menghadap kiblat kalian di Mekkah.
Seharusnya mihrab itu dibangun sedikit miring ke Tenggara. Tapi mihrab itu
terlalu lurus ke selatan….jadi tidak menghadap apapun,‟ ujar Sergio dengan
kata-kata yang membuat kami sedikit „terusik‟.
„Itu tidak disengaja….mungkin saat itu belum ditemukan cara untuk
mengetahui secara persis arah tenggara,‟ kataku berusaha „membela‟ posisi
mihrab Mezquita.
„Bukan demikian. Penguasa saat itu, Sultan Al Rahman, sangat
menyadarinya. Dia memang sengaja membuatnya begitu. Karena—nah, ini
ada hubungannya dengan bagaimana Cordoba bisa menyandingkan orang-
orang yang berbeda keyakinan dengan begitu indah—di sebelah masjid ada
gereja yang sudah terlebih dahulu berdiri di situ. Jika memaksakan mihrab ke
arah tenggara, mau tak mau gereja itu harus dirobohkan. Sultan tak mau
melakukannya,‟ kata Sergio mengangkat bahunya singkat (Rais dan
Almahendra, 2014: 273-274).
Perjalanan ini dianggap istimewa bagi pengarang, karena bisa memberi pengetahuan
tentang dunia Islam di masa lalu, yang bisa menyebar di Eropa hanya bermodalkan
nilai-nilai keikhlasan para kaum muslim, cinta, dan kasih sayang. Hal ini juga
dijelaskan Hanum terkait tujuan penulisan novel ini, “Bagi saya yang lebih penting
adalah, bagaimana makna sebuah perjalanan harus bisa membawa pelakunya naik
„derajat„ yang lebih tinggi, baik horizon ilmu maupun perspektif kemanusiaannya,
meninggikan keimanan dan ketaqwaanya pada Allah SWT” (Hasil wawancara
Hanum di situs www.hanumrais.com).
Rasa kekecewaan ini juga disampaikan oleh Rangga Almahendra ketika harus
bertahan hidup di Eropa. Kuatnya pengaruh sekulerisme dan rasa alergi pada sebagian
besar masyarakat Eropa menjadikan segala aspek keagamaan dipisahkan dari urusan
dunia. Sebagaimana dijelaskan oleh Rangga saat menceritakan tentang kepribadian
Stefan sebagai salah satu cerminan sebagian masyarakat Eropa yang jauh dari
pengaruh agama, “Susah memang berbicara tentang Tuhan pada orang yang sejak
lahir tak pernah mengenal agama, batin Rangga. Stefan tidak percaya Tuhan itu ada.
75
Dia berfikir jika Tuhan itu ada, mana mungkin Tuhan sejahat itu untuk membebankan
semua kewajiban untuk umat-Nya?” (Rais dan Almahendra, 2014: 215). Selain
masalah ketuhanan yang dikeluhkan Rangga, tidak berkumandangnya adzan dan
sulitnya menemukan rumah makan halal juga merupakan dampak sekulerisme di
Eropa. Akibatnya, mereka harus bisa mengatur sendiri jadwal shalat ataupun mencari
tempat shalat terdekat (masjid) dan terpaksa menyembelih sendiri.
Berdasarkan hal ini,Rangga menyatakan, “Rangga dan Hanum mengaku
kesulitan dengan kehidupan sehari-hari selama di Eropa. Misalnya saat mencari
makan, mereka berdua mengaku kesulitan mencari makanan halal.Selain itu sulitnya
menentukan waktu shalat karena tidak adanya adzan. Terpaksa mereka menyembelih
hewan sembelihan sendiri” (Hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015). Hal ini
juga tergambar dalam isi novel yang menjelaskan tentang sulitnya mendapat makanan
halal di Eropa, sehingga Hanum memilih solusi bijak dengan membawa dan membuat
bekal sendiri seperti kutipan, “Kami mempunyai kebiasaan membawa bekal dari
rumah untuk makan siang. Bukan kami tak suka makanan barat, namun karena
mencari menu yang tak bercampur babi di kantin kampus bukan perkara mudah”
(Rais dan Almahendra, 2014: 205).
Kekhawatiran itu yang menguji daya kepekaan Hanum dan Rangga untuk bisa
menjalani hukum-hukum Islam yang mereka anut. Apa yang ada dalam pikiran
mereka adalah kekhawatiran ketika berhadapan dengan kondisi yang membuat
keimanan mereka diuji. Akibatnya mereka harus bisa bersabar dengan kehidupan di
Eropa. Perasaan kecewa tentunya telah menggelayuti mereka selama tinggal di sana.
Sebagaimana realita tersebut, Hanum menyampaikan, “Saya pernah punya
76
pengalaman pribadi. Saat itu saya melamar pekerjaan sebagai guru piano disebuah
sekolah di Austria. Saya datang interview dengan memakai hijab. Ternyata mereka
mau menerima saya sebagai guru asal saya mau mencopot jilbab saya. Saya putuskan
untuk tidak menerima pekerjaan tersebut daripada menggadaikan iman saya” (Hasil
wawancara Hanum pada 9 Juni 2015).
Hal ini yang menjadi perenungan terhadap kondisi yang dianggap bisa
menggadaikan iman. Salah satunya juga terdapat dalam ungkapan Hanum terhadap
situasi yang dialami Rangga dalam pernyataannya, “Sampai-sampai untuk minta
waktu mengerjakan Shalat Jumat, Rangga perlu meyakinkan supervisor dan kolega-
koleganya bahwa ini adalah ibadah wajib yang tak boleh dia tinggalkan.
Bagaimanapun Rangga menjelaskan, sepertinya mereka masih sulit memahaminya”
(Rais dan Almahendra, 2014: 205). Kondisi yang digambarkan pengarang di atas
merupakan sebagian ungkapan kekecewaan atas kondisi keberagaman yang tidak
mendapat bagian dari aspek kehidupan manusia. Situasi inilah yang menyebabkan
keimanan mereka diuji sehingga harus mampu bersikap bijak dalam menghadapi
benturan iman dan budaya.
Secara naluriah, daya kritis dan kepekaannya terbangun sehingga
memengaruhi terbentuknya ekspresi. Pemikirannya dapat diwujudkan dalam novel 99
Cahaya di Langit Eropa terhadap situasi Eropa yang sekuler. Salah satunya ketika
menyikapi Rangga ketika berhadapan dengan koleganya yang tidak boleh
menggunakan microwave untuk masak perbekalan sekaligus pelarangan oleh dosen
Rangga ketika meninggalkan ujian karena melakukan aktivitas yang dianggap
„mengganggu‟. Kondisi itu juga dapat dijelaskan Hanum dalam kutipan novel ini,
77
“Kondisi di Eropa saat ini makin sekuler, menjungkir-balikkan antara yang patut dan
tidak patut. Menganggap orang yang beragama apapun itu adalah suatu bentuk
penyimpangan dan menilai orang tanpa keyakinan agama sebagai bentuk
kenormalan” (Rais dan Almahendra, 2014: 208).
Kata-kata yang dilontarkan Hanum dan Rangga disampaikan dengan bahasa
yang mudah dipahami dan dikemas secara sederhana. Sebagaimana dijelaskan dalam
bagian berikut.
Tak ada gunanya berdebat sengit menjelaskan shalat adalah kewajiban
personal, konsep dosa-pahala, dan lain sebagainya. Sampai lelah rasanya
harus menjelaskan kami umat muslim tidak makan babi. Berbuih-buih bibir
ini, mereka tidak paham juga bahwa itu adalah larangan dalam Al-Quran—
meskipun kami sudah menjelaskannya dengan bahasa rasional dari sisi
kesehatan sekalipun (Rais dan Almahendra, 2014: 209).
Kemampuan bahasa ini diolah berdasarkan kepakarannya ketika merespon realita.
Hal yang terjadi itu mampu membangkitkan hasrat untuk melepaskan segala beban
pikiran terhadap kondisi itu. Hal inilah yang selanjutnya membuat Hanum dan
Rangga perlu untuk segera menyampaikan kisah perjalanannya yang dikemas sebagai
realisasi dakwah/syiar Islam. Hal ini dilakukan sebagai implementasi membangkitkan
kesadaran kepada pembaca untuk mencintai Islam. Berbagai simbol yang ditemui
dapat menjadi pemuas batin untuk membuktikan kemajuan Islam di Eropa.
Sebagaimana ketika Hanum menjelaskan dalam bagian prolog tentang penulisan
kembali kisah perjalanan mereka, ia menjelaskan, “Ini yang coba saya refleksikan
dalam catatan perjalanan ini. Saya mencoba mengumpulkan kembali sisa kebesaran
peradaban Islam yang kini terserak. Dan saya justru menemukan jejak-jejak
peninggalan tersebut selama menempuh perjalanan menjelajahi Eropa” (Rais dan
78
Almahendra, 2014: 6). Semua perwujudan keinginan ini dikonkretisasi dengan gaya
bahasa yang mampu membangkitkan emosi pembaca.
Salah satunya adalah ungkapan kekaguman terhadap kemajuan Islam Spanyol
yang menjadi percontohan sebuah toleransi dan kesejahteraan. Hal itu tertera dalam
isi novel ini yang menjelaskan, “Marion menyanjung Cordoba sebagai kota yang
berhasil mengawinkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keharmonisan.Cordoba
adalah teladan peradaban Islam yang ideal di Eropa. Masjid-masjid dibangun
berdampingan dengan perpustakaan, universitas, rumah sakit, dan taman-taman yang
menyejukkan hidup manusia” (Rais dan Almahendra, 2014: 194). Ungkapan di atas
merupakan rasa bangga pengarang atas kejayaan islam yang pernah ditorehkan di
Eropa. Kata mengawinkan di atas merupakan suatu bentuk ungkapan metaforis
terhadap makna penyatuan Cordoba yang bisa menghidupkan suasana kemakmuran,
kesejahteraan, dan keharmonisan. Bentuk dan gaya bahasa yang tercermin dalam
ungkapan pengarang di atas merupakan ekspresi kekaguman terhadap kemajuan
peradaban Islam Eropa. Pengaruh kuatnya gaya, struktur, dan tema karya sastra
sebagai cerminan pikiran dan perasaan Hanum yang mencangkup pesan utama,
peminatan, gelora jiwa, dan sensasi tertentu dapat memberi kesinambungan dan
koherensi terhadap kepribadian.
2. Ego
Apa yang ada dalam pikiran pengarang selanjutnya dikonkretisasi dalam
bentuk karya sastra. Keadaan yang tersembunyi dalam alam bawah sadar akan
terbentuk melalui mimpi manifest, yaitu gambaran yang kita ingat ketika berada
79
dalam wilayah sadar/bangun. Bangunan mimpi dalam alam bawah sadar terbentuk
melalui mekanisme perwujudan hasrat. Dengan kata lain, apa yang ada dalam pikiran
pengarang berupa ide, gagasan, dan hasrat dapat terwujud dalam realita melalui
berbagai bentuk seperti tulisan, gambaran, perilaku, dan lain-lain. Adapun kondisi itu
disebabkan oleh adanya fenomena tentang kondisi lemahnya intelektualitas dan
respon umat Islam dalam menjawab tantangan zaman. Permasalahan itu dapat terlukis
dalam ide pengarang yang salah satunya dapat diamati dalam kutipan di bawah ini.
Dunia Islam saat ini sudah mulai memalingkan muka dari pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya
bersinar lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kemudian ketika ada Negara yang
melarang pemakaian jilbab, pembangunan minaret, atau seorang yang
mengolok-olok Islam dengan membuat video Fitna, kita hanya bisa berteriak-
teriak di depan negara mereka sambil membakar bendera. Hanya itu (Rais dan
Almahendra, 2014: 6).
Fenomena itu yang terus direnungkan Hanum untuk memperoleh pelepasan. Di
bagian selanjutnya Hanum menyatakan, “Ini yang coba saya refleksikan dalam
catatan perjalanan ini. Saya mencoba mengumpulkan kembali sisa kebesaran
peradaban Islam yang kini terserak. Dan saya justru menemukan jejak-jejak
peninggalan tersebut selama menempuh perjalanan menjelajah Eropa” (Rais dan
Almahendra 2014: 6). Ide-ide yang tertangkap Hanum saat melihat realita kaum
muslimmemunculkan keinginannya untuk menulis karya sebagai refleksi terhadap
prestasi peradaban Islam di Eropa. Berdasarkan gejolak batin, seharusnya umat Islam
bisa bangkit karena memiliki tingkat keilmuan yang mumpuni. Penulisan novel ini
dapat memberi contoh bagi pembaca terhadap kemajuan Islam yang pernah
ditorehkan di Eropa. Berbagai peninggalan, simbol, dan artefak yang kini berada di
Eropa mempunyai hubungan historis dengan peradaban Islam. Respon pengarang
80
terhadap realita yang mengungkung umat islam inilah yang dapat ia wujudkan dalam
bentuk ungkapan kebahasaan melalui karya tulis.
Penulisan itu merupakan transformasi ide dan gagasan ke dalam wujud nyata
sebuah karya. Hal inilah yang disebut sebagai mekanisme figurasi. Ide yang
tersimpan dalam pikiran merupakan respon realita terkait dengan terdegradasinya
umat Islam. Salah satu faktornya dipengaruhi oleh media asing yang isi
pemberitaannya dianggap cenderung melemahkan nilai-nilai Islam. Sebagaimana
dinyatakan Rangga dalam dialognya.
Maka ditulislah novel 99 Cahaya di Langit Eropa sebagai implementasi
dakwah sekaligus menyuarakan pendapat mereka tentang Islam yang
sebenarnya (the moderate voice of Islam). Seringkali media Barat
mengidentikan Islam dengan kekerasan seperti contohnya adanya aksi
terorisme. Bahkan masyarakat Indonesia yang muslim, diantaranya ada yang
menjadi islamfobia (hasil wawancara pada 8 Agustus 2015).
Respon terhadap realita ini memengaruhi daya kepekaan Hanum dan Rangga untuk
membuktikan daya intelektualitas yang seharusnya dimiliki umat Islam. Islam yang
dipandang sebagai ajaran yang indah dan menentramkan harus dapat mencontoh
peradaban Islam di masa lalu yang dapat memajukan Eropa hingga seperti sekarang.
Salah satunya dalam kutipan pada novel ini yang menerangkan tentang sumbangan
peradaban Islam dalam membangun peradaban Eropa seperti kutipan, “Islam pertama
kali masuk ke Spanyol membawa kedamaian dan kemajuan peradaban. Benih-benih
Islam itu tumbuh menyinari tanah Spanyol hingga 750 tahun lebih, jauh sebelum dan
lebih lama daripada Indonesia mengenal Islam” (Rais dan Almahendra, 2014: 5).
Novel ini ditulis sebagai respon pemikiran mereka terhadap relita. Mereka
merespon dengan daya kreativitas yang mampu dikembangkan dengan gaya
81
jurnalistik. Mereka mendayaupayakan pandangan hidup, guncangan emosi,
pengalaman, dan daya kritik terhadap krisis mengenai takdir hidup manusia. Semua
hal yang berkaitan dengan perasaan emosional dan krisis mengenai takdir manusia
umumnya akan memengaruhi pandangan hidup dalam pengalaman perjalanan.
Guncangan emosi Hanum dan Rangga dapat membentuk pola bahasa dan gaya
penyampaian mereka. Seperti diutarakan Rangga sebagai berikut.
Maka Rangga dan Hanum membuat sebuah karya yang membuat pembaca
mendapatkan hikmah dari perjalanan mereka.Kalau novel mempunyai
kekuatan narasi dan memiliki daya seni. Misalnya Andrea Hirata yang
menulis secara puitis. Namun kalau Hanum menulis dengan gaya tulisan yang
sederhana tetapi harus dapat membangun emosi. Maka novel ini juga
mempunyai muatan emosi (hasil wawancara Rangga pada 8 Agustus 2015).
Gaya penulisan Hanum yang sederhana ini penting untuk bisa membangun emosi
pembaca. Berbagai sajian dalam kisah perjalanan ini penting untuk memberi
pemahaman kepada pembaca akan pentingnya kesadaran mencintai agama Islam
sebagai agama yang cinta damai.
Sebagaimana penuangan ekspresi dan pandangan Hanum terhadap nasib suatu
peradaban melalui kisah perjalanan untuk mengungkapkan fakta sejarah yang
sebenarnya. Peradaban tersebut meliputi kebudayaan yang melingkupi kehidupan
manusia sebagai bagian dari suatu kekuasaan negara.
Saya mencoba membuka mata dan hati saya menerima hal-hal baru dan
merefleksikannya untuk memperkuat keimanan saya. Menelisik hikmah dalam
setiap perjalanan, belajar dari pengalaman dan membaca rahasia-rahasia masa
lalu yang kini hampir tak terlihat lagi di permukaan. Saya tak menyangka
Eropa yang sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam (Rais
dan Almahendra, 2014: 7-8).
Rasa keprihatinan Hanum dan Rangga ini menjadi bagian dari pengalaman yang
menginspirasi penciptaan novel ini. Respon ini juga terdapat dalam hasil wawancara
82
kepada Hanum yang merasa kecewa terhadap kondisi umat Islam yang mulai
terdegradasi. Salah satunya adalah kasus Fatma yang tidak mampu menunjukkan arah
jalan kepada turis akibat tidak mampu berbahasa Inggris. Berbeda dengan perempuan
berpenampilan punk yang bisa berbahasa Inggris dengan baik sehingga memudahkan
turis itu menemukan jalan yang dimaksud.
Tentang keprihatinan saya tentang kondisi ummah sekarang ini. Itu yang
pertama dan paling memotivasi saya. Fatma, teman saya pernah getol sekali
ingin belajar bahasa Inggris bersama saya. Ketika saya tanya apa yang
membuatnya begitu termotivasi. Ia menjawab, karena suatu kali ia pernah
begitu tersinggung terhadap dirinya sendiri. Suatu kali seorang turis asing
berbahasa Inggris bertanya padanya, mungkin bertanya peta atau arah menuju
suatu tempat. Namun Fatma menggeleng tanda tak paham. Turis tadi kecewa,
mungkin ia sudah begitu desperate bahwa ada seseorang yang bisa
menjawabnya. Lalu Fatma melihat turis itu bertanya kepada seorang
berandalan jalanan berdandanan punk. Fatma tersinggung oleh dirinya sendiri,
ketika perempuan berbaju metal dengan penuh tempelan paku dan sekrup di
sekujur tubuhnya itu menjawab sang turis dengan bahasa Inggris yang sangat
lancar. Wajah turis itu langsung sumringah (Hasil wawancara Hanum di situs
www.hanumrais.com).
Apa yang tersampaikan dalam pikiran Hanum, mendorong hasrat untuk menunjukkan
nilai-nilai positif umat Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang diinginkan
pengarang adalah membuktikan citra Islam yang positif. Kesadaran ini yang
membangkitkan hasratnya untuk membuktikan citra positif Islam melalui kisah
perjalanan ini. Inilah yang membuat alam bawah sadar Hanum dan juga Rangga
berusaha untuk menunjukkan Islam yang benar melalui bentuk konkretisasi yang
mudah diterima masyarakat, yaitu karya sastra.
Berdasarkan permasalahan proses kreatif dalam tinjauan prikologi, pemikiran
mereka yang terdiri dari ide dan pandangan hidup sebagai lapisan bawah sadarakan
mendorong terciptanya karya sastra sebagai bentuk yang dapat diterima masyarakat.
83
Perasaan kecewa dan resah terhadap kondisi yang dialami umat Islam, memberikan
suatu pemunculan ide untuk mengembangkan syiar Islam melalui kisah perjalanan
yang dihimpun dalam novel. Hal ini dilakukan agar pembaca mudah menerima.
3. Superego
Unsur kejiwaan ini merupakan pengendali antara kejiwaan id dan kejiwaan
ego. Jika id merupakan prinsip naluri atau hasrat dan ego merupakan prinsip realitas,
maka superego merupakan prinsip idealitas. Hal ini membuktikan bahwa superego
merupakan unsur kejiwaan yang tidak dapat memberi energi namun mampu
mengimbangi pengaruh id dalam bekerja di alam realitas. Adapun pengendaliannya
lebih berorientasi pada kontrolnya terhadap unsur seksualitas. Kondisi ini akan
memunculkan sensor yang mengendalikan semua mekanisme perwujudan hasrat.
Nilai-nilai yang terpatri merupakan wujud kesadaran yang telah tertanam di
dalam batinnya. Nilai-nilai itu dapat mengontrol setiap mekanisme perwujudan
hasrat. Berbagai aspek kontrol yang mengatur pemuasan hasrat dapat terbangun dari
lingkungan dan pendidikan yang pernah dialami pengarang. Hal ini dapat terjadi pada
diri Hanum dan Rangga yang mempunyai maksud tertentu dalam mengembangkan
proses kreatifnya. Nilai-nilai yang dimiliki dapat tercermin dalam ide-ide yang
digunakan untuk menyampaikan maksud. Sebagaimana maksud penulisan dalam
novel ini, Hanum menyatakan, “Islam seperti yang diajarkan junjungan kita
Muhammad SAW” (Hasil wawancara Hanum pada 9 Juni 2015). Hal ini
membuktikan bahwa nilai-nilai yang diyakini merupakan aspek realisasi terhadap
pemahaman atas wujud Islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam yang sebenarnya
84
adalah yang sebagaimana dituntun oleh Nabi Muhammad SAW. Alasannya adalah
karena nilai-nilai yang diajarkan sebagian besar adalah wujud kasih sayang Sang
Pencipta kepada hamba-Nya. Sebagaimana dalam hasil wawancaranya, Hanum
menyatakan, “Islam adalah Rahmatan lil ‘alamin” (hasil wawancara Hanum pada 9
Juni 2015). Pernyataan ini juga mencerminkan isi novel yang menjelaskan tentang
nilai-nilai Islam yang telah tertanam dalam diri pengarang. Salah satunya ketika
Hanum melihat kesedihan Fatma karena saat melihat lukisan kakek buyutnya, Kara
Mustafa Pasha, ia teringat akan sebuah kenangan buruk akibat kekalahannya yang
berakibat pada buruknya hubungan dunia Islam dengan Eropa. Kutipan ini
mencerminkan nilai-nilai yang tertanam dalam diri Hanum sebagai berikut.
Andai saya Mustafa bisa merengkuh Eropa dengan cinta dan kasih sayang,
mungkin lukisannya dipajang sebagai lukisan terbesar dan terhormat tidak
hanya di museum kecil ini, tetapi di seluruh museum Austria atau bahkan
Eropa. Tetapi itu hanya ilusi. Mustafa telah menetapkan hati. Dia maju perang
dengan pedang dan meriam untuk membuat Eropa berlutut di hadapannya.
Dia kalah dan mati di medan perang (Rais dan Almahendra, 2014: 82-83).
Berdasarkan kutipan di atas, Hanum merefleksikan sebuah harapan pada peristiwa
sejarah bahwa seorang penakluk asal Turki harus bisa menaklukkan Eropa dengan
cinta dan kedamaian. Hal ini mencerminkan nilai-nilai Islam yang seharusnya dianut
yaitu tentang kedamaian sebagaimana yang dijargonkan Islam sebagai agama
rahmatan lil ‘alamin atau rahmat seluruh alam. Pengarang juga mengandaikan, jika
para penganut agama Islam tidak menjalankan nilai-nilai itu maka yang didapat
mereka adalah permasalahan besar seperti kerusakan, kehancuran, dan permusuhan.
Berdasarkan hal tersebut, nilai-nilai yang tercermin dalam proses kreatifnya adalah
refleksi dari maksud pengarang.
85
Nilai-nilai yang tertanam, berusaha mengendalikan kondisi batin sebelum
mempertimbangkan hal-hal yang seharusnya dapat diterima masyarakat dengan baik.
Apa yang ada dalam diri Hanum dan Rangga merupakan perasaan kecewa sebagai
umat Islam terhadap permasalahan umat Islam saat ini. Sebagaimana dalam hasil
wawancara Rangga berikut.
Judul ini terinspirasi dari kalimat Asma‟ul Husna sebagai implementasi
kebebasan berpendapat tentang Islam yang sebenarnya. Apa yang
disampaikan dari buku ini menjelaskan tentang kebesaran Tuhan yang ada di
Eropa. Islam sebenarnya mengajarkan cinta damai di mana jika dihitung
secara kalkulasi adalah sebesar 99 persen. Sisanya 0,001 persen adalah
kekerasan. Novel ini ditulis karena adanya fenomena islamfobia, padahal
Islam itu indah. Nilai-nilainya dapat kita ketahui dari ajaran-ajarannya yang
lembut sesuai dengan yang tercermin dalam Asma’ul Husna (hasil wawancara
Rangga pada 8 Agustus 2015).
Apa yang dinyatakan Rangga di atas merupakan ungkapan atas nilai Islam dalam
proses kreatif penulisan novel ini. Salah satunya pengarang menjelaskan tentang nilai
sebuah senyum yang merupakan refleksi dari substansi Islam sebagai agama cinta
damai, sebagaimana dalam pernyataan berikut.
‟Ezra sendiri yang tersadar akan kekuatan senyum Latife. Ezra tadinya sangat
iri dengan Latife. Tapi yang membuat Ezra jatuh cinta kepada Islam; karena
Latife selalu tersenyum pada semua orang, termasuk Ezra, meskipun ada
persaingan bisnis di antara mereka.Wajah Latife itu memang terlalu smiley.
Marah pun dia seperti tersenyum,‟ pungkas Oznur menyanjung Latife (Rais
dan Almahendra, 2014: 91-92).
Bukti ini memberikan suatu gambaran tentang nilai-nilai Islam yang dijelaskan
sebagaimana substansi ajaran Islam. Penggambaran yang disajikan pengarang melalui
pujian Oznur kepada Latife (mereka berdua adalah teman Fatma) memberikan sebuah
bukti tentang indahnya Islam yang mereka terapkan dalam kehidupan. Seperti
senyum pada contoh di atas, memberikan bukti bahwa Islam mengajarkan
perdamaian dan kasih sayang.
86
Hanum ingin menunjukkan bahwa Islam yang benar adalah yang sesuai
dengan tuntunan Al-Quran dan Assunah yaitu menjadi rahmat seluruh alam semesta.
Pencarian terhadap nilai-nilai Islam dapat dibuktikan pula melalui kisah
perjalanannya. Hal ini dibuktikan melalui pemaparan tentang sejarah dunia Islam
yang pertama kali masuk ke wilayah Eropa seperti kutipan, “Islam pertama kali
masuk ke Spanyol membawa kedamaian dan kemajuan peradaban. Benih-benih Islam
itu tumbuh menyinari tanah Spanyol hingga 750 tahun lebih,....” (Rais dan
Almahendra, 2014: 5). Pandangan ini disampaikan pula oleh Hanum melalui
penuturan Sergio, seorang pemandu wisata asal Spanyol. Ia mengakui adanya
kegemilangan Islam di Eropa sebagai akibat dari kemajuan Islam yang ditebarkan di
Spanyol seperti kutipan, “„Dari Cordoba inilah sejatinya Eropa maju seperti sekarang.
Bukan hanya karena transfer ilmu pengetahuan, namun lebih daripada itu. Transfer
nilai-nilai keharmonisan hidup antarumat beragama. Semuanya dirayakan di Cordoba
ratusan tahun lalu,‟ Sergio lantas menghela nafas” (Rais dan Almahendra, 2014: 271-
272).
Hanum perlu melihat kondisi pembaca terhadap kemunculan novel 99 Cahaya
di Langit Eropaini. Respon pembaca yang dapat diketahui adalah penilaian mereka
menurut berbagai pandangan. Respon pembaca tersebutdapat dibuktikan dari kualitas
nalar ketika menilai suatu karya apabila telah dipublikasikan. Keyakinan terhadap
prinsip Islam dan sejarah dapat memberikan kekuatan untuk memberi rangsangan
pengetahuan atas Islam yang sebenarnya. Sebagaimana Hanum mengatakan,
“Bagaimana makna sebuah perjalanan harus bisa membawa pelakunya naik „derajat„
yang lebih tinggi, baik horizon ilmu maupun perspektif kemanusiaannya,
87
meninggikan keimanan dan ketaqwaanya pada Allah SWT” (Hasil wawancara
Hanum di situs www.hanumrais.com). Dialog yang disampaikan pengarang di atas
dapat mencerminkan pandangan pengarang yang terdapat dalam isi novel ini.
Ketika Konstantinopel kemudian jatuh ke tangan kekhalifahan Islam, Sultan
Mehmed sang penakluk Bynzantium hanya memplester semua ikon Kristen
itu, tapi tidak menghancurkannya. Dia hanya menutupnya dengan kain
sehingga tak terlihat ketika umat islam beribadah. Bahkan kemudian Sultan
Abdulmajid membuka plester itu dan melukis kembali semua mozaik dan
fresco yang ada di Haghia Sofia agar kembali seperti aslinya (Rais dan
Almahendra, 2014: 335).
Salah satu kutipan di atas membuktikan bahwa nilai-nilai Islam diterapkan oleh
pengarang melalui kekagumannya terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Kemajuan
Islam di zaman dahulu, diyakini pengarang sebagai aplikasi dari pengamalan ajaran
islam yang sesungguhnya. Nilai-nilai yang diyakini pengarang dapat tersampaikan
dalam isi novelnya.
Nilai-nilai dan norma yang didapat dari pendidikan dapat membangun
karakternya dalam menghasilkan kreativitas menulis. Salah satunya pada penulisan
novel 99 Cahaya di Langit Eropa yang menjadikan Hanum sebagai pengarang yang
dikenal masyarakat hingga dikembangkan kembali dalam film berjudul sama. Isi
novel ini membuktikan bahwa perjalanan yang dilakukan bukan hanya sekedar
hiburan sebagaimana yang biasa dilakukan para avonturir (orang yang menjadikan
aktivitas jalan-jalan sebagai gaya hidup). Perjalanan yang diyakini Hanum merupakan
bentuk realisasi nilai-nilai Islam untuk menguak sejarah kemajuan Islam melalui
berbagai simbol dan artefak yang ada di Eropa.