59
BAB IV
EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN
BEBAN PAJAK PADA PT ADIS
IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak pada PT ADIS
Dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang, PT ADIS melakukan
perencanaan pajak yang bertujuan meminimalkan beban pajak yang melebihi dari
kewajiban yang semestinya tanpa harus melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Adanya perbedaan antara perlakuan akuntansi dan
perlakuan pajak dalam pengakuan pendapatan dan beban atau biaya akan mengakibatkan
perbedaan laba komersial dan laba fiskal, namun tidak semua beban komersial dapat
dijadikan beban atau biaya fiskal. Hal ini yang mendorong PT ADIS untuk
melaksanakan perencanaan pajak yang efektif untuk dapat meminimalkan beban pajak.
Melalui perencanaan pajak tersebut sekaligus juga diharapkan adanya
penggunaan dana perusahaan secara efektif dalam arti bahwa beban-beban pajak yang
memungkinkan untuk diperkecil ataupun dikurangi dialihkan untuk pembayaran lainnya
yang lebih bermanfaat untuk perusahaan. PT ADIS dapat dikatakan belum
melaksanakan perencanaan pajak yang efektif, meski sebagian besar banyak melakukan
koreksi fiskal negatif atas beban-beban atau biaya komersial yang sementara
menyebabkan laba perusahaan menjadi atau terlihat kecil, namun masih terdapat biaya
atau beban-beban yang seharusnya tidak dapat mengurangi penghasilan bruto tapi masih
diperlakukan sebagai biaya bagi perusahaan, hal ini menyebabkan perusahaan terkena
resiko fiskal positif. Ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan seorang perencana
60
pajak perusahaan dalam memahami dan melaksanakan ketentuan peraturan perpajakan
yang berlaku sebagai upaya untuk meminimalkan beban pajak penghasilan.
IV.2. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan PPh Pasal 21
Sesuai dengan UU PPh No. 7 Tahun Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU PPh No. 17 Tahun 2000, setiap pemberi kerja wajib untuk
melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan atas Pajak Penghasilan karyawannya.
PT ADIS memiliki karyawan yang jumlahnya sekitar 254 orang baik yang berada di
kantor pusat maupun cabang. Jumlah penghasilan bruto karyawan PT ADIS pada tahun
2004 adalah sebesar Rp 4.011.780.246,- dengan PPh Pasal 21 terutang sebesar
Rp 1.370.373.086,-. Selama tahun berjalan, PT ADIS telah membayar PPh Pasal 21
sebesar Rp 1.069.018.459,- sehingga PT ADIS memiliki PPh Pasal 21 kurang disetor
Rp 301.354.627,- pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT Tahunan) yaitu SPT 1721. Dalam perhitungan PPh Pasal 21 sudah
dilakukan dengan sistem mendekati yang seharusnya. Angka yang dilaporkan pada akhir
tahun tersebut dinilai terlalu besar karena seharusnya relatif kecil atau bahkan nihil. Hal
ini mengindikasikan bahwa perusahaan belum maksimal dalam pelaksanaan dan
perencanaan PPh Pasal 21 atas karyawannya.
PT ADIS menyadari bahwa karyawan merupakan aset yang penting yang
dimiliki oleh perusahaan. Oleh karena itu, berbagai usaha dilakukan oleh perusahaan
untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan cara memberikan tunjangan dan
fasilitas antara lain sebagai berikut :
61
1. Uang Lembur, diberikan kepada karyawan yang terlibat langsung dalam
pengerjaan tugas tertentu yang telah bekerja lebih dari jam kerja normal yaitu di
atas pukul lima sore sampai dengan pukul tujuh malam. Uang lembur hanya
diberikan kepada golongan tertentu saja dan diterima karyawan bersamaan
dengan gaji bulanan.
2. Tunjangan makan diberikan bersamaan dengan gaji bulanan berdasarkan jumlah
hari kerja karyawan, besarnya tunjangan diberikan sesuai dengan golongan
masing-masing karyawan.
3. Tunjangan transportasi kepada karyawan untuk membantu biaya transportasi
pulang dan pergi dan ke tempat kerja yang diberikan bersama gaji bulanan
berdasarkan jumlah hari kerja karyawan. Khusus untuk posisi direksi dan
setingkat manajer mendapatkan fasilitas kendaraan yaitu mobil melalui sistem
COP (Car Ownership Program), dimana biaya pembelian mobil tersebut
sebagian dibiayakan oleh perusahaan dengan budget khusus yang telah
disediakan dan selebihnya ditanggung karyawan tersebut, dengan perjanjian
mobil dapat dibawa pulang karyawan dan BPKB kendaraan tersebut tetap atas
nama karyawan namun dipegang oleh perusahaan dalam jangka waktu 5 tahun
sesuai dengan kebijakan manajemen perusahaan.
Hal ini dimaksudkan agar dalam jangka waktu tersebut karyawan tersebut
tetap memiliki ikatan kerja sebagai karyawan atau dengan kata lain tidak boleh
mengundurkan diri dari perusahaan. Setelah melewati masa 5 tahun, BPKB
tersebut dapat dipegang oleh karyawan. Untuk biaya-biaya dan pengeluaran yang
berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut baik fasilitas perbaikan dan
perawatan suku cadang kendaraan seperti bensin, oli dan lain sebagainya
62
ditanggung oleh perusahaan dengan memberikan tunjangan COP yang dibayar
bersama dengan gaji bulanan dan perusahaan telah memotong pajak atas
tunjangan tersebut. Atas pemberian fasilitas transportasi ini, perusahaan akan
terkena resiko dikoreksi oleh pihak fiskus yaitu koreksi positif, karena dapat
diartikan sebagai pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan yang tidak
bisa menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan.
4. Selain memberikan tunjangan kesehatan yang dibayar bersama gaji bulanan,
perusahaan juga memberikan biaya pengobatan dan rumah sakit kepada
karyawan dan atau keluarga karyawan yang menderita sakit ringan biasa atau
melakukan rawat inap di rumah sakit yang besarnya disesuaikan dengan sistem
batas atas (plafon) yang berbeda-beda tiap golongan Karyawan hanya dapat
mengajukan klaim atas biaya pengobatan, apabila minimal telah mempunyai
masa kerja 3 bulan dihitung dari tanggal masuk kerja. Biaya ini diberikan dengan
memakai sistem penggantian (Reimbursement) dari biaya yang tercantum di
kuitansi asli. Atas biaya pengobatan dan rumah sakit dengan sistem
reimbursement ini, perusahaan akan terkena resiko dikoreksi fiskal positif oleh
pihak fiskus, karena hal ini dapat diartikan sebagai pemberian dalam bentuk
natura atau kenikmatan yang tidak bisa menjadi pengurang penghasilan bruto
perusahaan.
63
Berikut ini besarnya biaya pengobatan dan rumah sakit yang diberikan perusahaan
sesuai dengan batas atas (plafon) yang berbeda-beda tiap golongan :
Tabel 4.1
STATUS PAJAK
GOL. T00 K00 K01 K02 K03
I
II
Rp 850.000
Rp 1.250.000
Rp 1.700.000
Rp 2.150.000
Rp 2.600.000
III Rp 1.200.000 Rp 1.800.000 Rp 2.400.000 Rp 3.000.000 Rp 3.700.000
IV Rp 2.200.000 Rp 2.800.000 Rp 3.800.000 Rp 4.700.000 Rp 5.650.000
V Rp 3.300.000 Rp 4.200.000 Rp 4.750.000 Rp 5.850.000 Rp 7.050.000
VI Rp 8.150.000 Rp 8.450.000
VII
Rp.5.445.000
Rp 6.900.000
Rp 7.800.000 Rp 9.350.000 Rp 10.950.000
Keterangan :
T00 : Wajib Pajak dengan status tidak kawin dan tidak mempunyai anak
K00 : Wajib Pajak dengan status kawin dan tidak mempunyai anak
K01 : Wajib Pajak dengan status kawin dan mempunyai anak 1 (satu)
K02 : Wajib Pajak dengan status kawin dan mempunyai anak 2 (dua)
K03 : Wajib Pajak dengan status kawin dan mempunyai anak 3 (tiga)
5. Tunjangan Hari Raya (THR) diberikan berupa uang kepada karyawan dalam
setahun sekali. Jumlah yang diberikan biasanya sesuai dengan gaji pokoknya.
64
Selain tunjangan dan fasilitas di atas, perusahaan juga mengikuti program Jamsostek
dalam memberikan perlindungan bagi karyawannya untuk mengatasi risiko sosial
ekonomi tertentu. Jenis program jamsostek yang diberikan yaitu Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dibayar
perusahaan dan merupakan penambah penghasilan bruto bagi karyawan yang besarnya
sesuai ketentuan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja yaitu :
- Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,89% x gaji, dibayar oleh pemberi kerja
- Jaminan Kematian (JK) sebesar 0,3% x gaji, dibayar oleh pemberi kerja
- Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3,7% x gaji, dibayar oleh pemberi kerja dan 2%
dibayar oleh karyawan.
Dari evaluasi perencanaan pajak PPh Pasal 21 dan rekonsiliasi fiskal, diketahui
beberapa hal antara lain :
1. Perusahaan belum melakukan perencanaan pajak atas PPh Pasal 21, dimana
PT ADIS menanggung semua PPh Pasal 21 atas karyawannya. Dimana hal ini
akan merugikan bagi perusahaan karena sesuai dengan peraturan perpajakan
yang berlaku bahwa biaya tersebut tidak diperkenankan sebagai pengurang
penghasilan bruto. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember
2000 Pasal 7 huruf e bahwa PPh Pasal 21 yang ditanggung pemberi kerja
termasuk dalam pengertian kenikmatan dalam bentuk natura tidak boleh
diperlakukan sebagai pengurang penghasilan bruto. Oleh karena itu, PT ADIS
harus lebih cermat dalam melakukan perencanaan pajak atas PPh Pasal 21
tersebut. Untuk mengatasi hal ini, ada alternatif yang dapat dilakukan
65
manajemen perusahaan yaitu dengan mengubah pengeluaran non deductible
tersebut menjadi deductible dengan cara melakukan Gross up. Artinya,
perusahaan memberikan tunjangan pajak sejumlah uang tertentu atau sebesar
jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dan memasukkannya sebagai komponen
penambah penghasilan bruto karyawan yang akan dipotong PPh Pasal 21.
Metode Gross up ini akan menguntungkan bagi pihak karyawan dan perusahaan
karena jumlah pendapatan yang dibawa pulang karyawan (take home pay) akan
semakin besar atau tetap dan tidak dipotong pajak, selain itu tunjangan tersebut
dapat dijadikan beban fiskal (deductible expense) bagi perusahaan.
Menurut Zain (2005), besarnya tunjangan pajak dalam metode gross up dihitung
sebagai berikut :
Tabel 4.2
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tunjangan Pajak
PKP < Rp 25.000.000,- 1/228.6 (PKPSTP – 0)
Rp 25.000.000,- < PKP < Rp 50.000.000,- 1/108 (PKPSTP – 12.500.000)
Rp 50.000.000,- < PKP < Rp 100.000.000,- 1/204 (3 PKPSTP – 75.000.000)
Rp 100.000.000,- < PKP < Rp 200.000.000,- 1/36 (PKPSTP –55.000.000)
Rp 200.000.000,- < PKP 10/78 (0.35 PKPSTP – 33.750.000)
Keterangan : PKPSTP (Penghasilan Kena Pajak Sebelum Tunjangan Pajak) (h.91).
66
2. Perusahaan kurang efektif dalam memberikan tunjangan makan kepada
karyawannya yang dibayar bersama gaji bulanan, sebaiknya perusahaan
mengganti tunjangan dalam bentuk uang tersebut dengan menyediakan makanan
dan minuman bagi seluruh karyawan secara bersama-sama di tempat kerja,
karena hal ini diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto dan
merupakan pengecualian pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan. Hal
ini sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No.466/KMK.04/2000 dan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-213/PJ/2001 Pasal 1 huruf a yang
menyatakan bahwa penyediaan makanan dan minuman yang diberikan pemberi
kerja bagi seluruh karyawan secara bersama-sama termasuk Dewan Direksi dan
Komisaris yang diberikan di tempat kerja dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto pemberi kerja dan bukan objek PPh Pasal 21 sesuai dengan Pasal 4 Ayat
(3) huruf d UU PPh No. 17 Tahun 2000.
Perlakuan pajak atas pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan
kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan, keamanan
dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja,
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja (deductable expense)
dan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan walaupun bukan di daerah
terpencil, dengan menyediakan makan dan minum bagi seluruh karyawan secara
bersama-sama di tempat kerja, dari segi moral akan mendorong semangat moral
moral akan mendorong semangat kebersamaan dan kesetaraan antara pengusaha
dan karyawannya, sedangkan dari segi efisiensi karyawan tidak perlu pergi ke
luar kantor hanya untuk membeli makan siang, sehingga waktu jam kerja pun
tidak akan terbuang untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.
67
3. Perusahaan memberikan natura atau kenikmatan khusus kepada direksi dan
setingkat manajer berupa fasilitas kendaraan yaitu mobil melalui sistem COP
(Car Ownership Program). Hal ini akan merugikan perusahaan karena sesuai
UU PPh No. 17 Tahun 2000, pemberian dalam bentuk natura tidak bisa menjadi
pengurang penghasilan bruto. Sebaiknya, perusahaan mengalokasikan fasilitas
transportasi pegawai tersebut ke dalam bentuk tunjangan transportasi, sehingga
atas biaya tersebut dapat dijadikan beban fiskal bagi perusahaan sebagai
pengurang penghasilan bruto.
Atas pemberian fasilitas transportasi ini, perusahaan akan terkena resiko
dikoreksi positif seluruhnya oleh pihak fiskus, karena perusahaan telah
memberikan sejumlah uang tertentu kepada pegawai atas pembelian fasilitas
transportasi yang digunakan untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan
operasional perusahaan. Namun, jika perusahaan memberikan dalam bentuk
tunjangan transportasi, aktiva perusahaan berupa mobil tersebut dapat dijual
untuk digunakan dalam operasional perusahaan, sehingga perusahaan dapat
menghemat beban pemeliharaan kendaraan tersebut.
4. Perusahaan memberikan biaya pengobatan dan biaya rumah sakit kepada
karyawannya dengan sistem reimbursement, hal ini akan merugikan perusahaan,
karena hal tersebut merupakan atau dapat diartikan sebagai pemberian dalam
bentuk natura atau kenikmatan yang tidak bisa menjadi pengurang penghasilan
bruto. Sebaiknya perusahaan mengalokasikan biaya reimbursement tersebut
menjadi tunjangan kesehatan yang dibayar bersama gaji bulanan secara rutin
baik karyawan tersebut sakit maupun tidak. Hal ini untuk memastikan tidak ada
jumlah aliran uang tertentu yang diterima, diserahkan atau bisa dinikmati
68
karyawan (objek PPh Pasal 21) baik yang diterima secara langsung maupun
tidak langsung dan beberapa kelemahan admnistrasi lainnya yang mungkin
terjadi.
Jika perusahaan menggunakan sistem reimbursement atas biaya
pengobatan dan rumah sakit, maka akan terkena resiko dilakukan koreksi positif
oleh pihak fiskus karena dianggap ada sejumlah uang tertentu yang diterima,
diserahkan atau bisa dinikmati karyawan dari pembayaran reimbursement
tersebut walaupun hanya sebentar atau sementara. Namun, jika perusahaan
mengalokasikannya ke dalam bentuk tunjangan kesehatan, perusahaan akan
dapat memperlakukan biaya tersebut sebagai biaya fiskal (deductable expenses)
dan dapat menjadi penambah penghasilan bagi karyawan itu sendiri.
Selain diganti menjadi tunjangan kesehatan, perusahaan juga dapat
mengikutkan karyawannya dalam program asuransi kesehatan, dimana premi
tersebut ditanggung oleh perusahaan atas nama karyawan sehingga dapat
dijadikan beban fiskal sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan dan yang
dikenakan pajak pada karyawan relatif kecil terhadap tunjangan premi asuransi
tersebut.
Berikut ini contoh beberapa alternatif perhitungan PPh Pasal 21 atas salah
seorang pegawai tetap PT ADIS yang akan memperlihatkan tunjangan pajak yang akan
diterimanya :
A adalah Staf Senior Teknikal Bagian Akuntansi pada PT ADIS dengan masa kerja 12
bulan dan memiliki status (K/1). A menerima gaji pokok Rp 5.000.000,- setiap bulan
ditambah dengan berbagai macam tunjangan yang diterimanya. Perhitungan PPh Pasal
21 di bawah ini sudah disetahunkan dan telah dilakukan pembulatan ribuan rupiah atas
69
PPh Pasal 21 terutang sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
No. Kep.545/PJ/2001.
Berikut ini pendapatan A serta beberapa tunjangan yang diterimanya setiap bulan :
Tabel 4.3
Gaji
Uang Lembur
THR (sekali dalam setahun)
Tunjangan Transport
Tunjangan Kesehatan
Tunjangan Makan
Iuran dibayar oleh pemberi kerja :
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Premi Jaminan Kematian (JK)
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)
Iuran dibayar oleh A:
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)
Rp 5.000.000
Rp 176.000
2 x gaji
Rp 360.000
Rp 264.000
Rp 312.000
0,89% x gaji
0,3% x gaji
3,7% x gaji
2% x gaji
Perhitungan PPh Pasal 21 dapat dilakukan dengan 4 alternatif yaitu :
Alternatif 1 : PPh Pasal 21 Ditanggung Pegawai
Alternatif 2 : PPh Pasal 21 Ditanggung Pemberi Kerja
Alternatif 3 : PPh Pasal 21 Diberikan dalam Bentuk Tunjangan Pajak
Alternatif 4 : PPh Pasal 21 di Gross up
70
Tabel 4.4 Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2004
PPh Pasal 21
Keterangan
Ditanggung Pegawai/
Pemberi Kerja
Diberikan dalam bentuk
tunjangan pajak
Di Gross up
Gaji Setahun
Uang Lembur
THR
Tunjangan Transport
Tunjangan Kesehatan
Tunjangan Makan
Tunjangan Pajak
Iuran yang dibayar oleh
pemberi kerja :
Premi JKK (0,89% x gaji)
Premi JK (0,3% x gaji)
60.000.000
2.112.000
10.000.000
4.320.000
3.168.000
3.744.000
-
534.000
180.000
60.000.000
2.112.000
10.000.000
4.320.000
3.168.000
3.744.000
7.620.000
534.000
180.000
60.000.000
2.112.000
10.000.000
4.320.000
3.168.000
3.744.000
8.965.000 **)
534.000
180.000
Jumlah Penghasilan Bruto 84.058.000 91.678.000 93.023.000
Dikurangi :
- Biaya Jabatan 5%
(max. Rp 1.296.000/thn)
Iuran yang dibayar oleh
pegawai :
- Iuran JHT (2% x gaji)
(1.296.000)
(1.200.000)
(1.296.000)
(1.200.000)
(1.296.000)
(1.200.000)
Penghasilan Neto Setahun
PTKP (K/1)
81.562.000
(5.760.000)
89.182.000
(5.760.000)
90.527.000
(5.760.000)
Penghasilan Kena Pajak
PPh Pasal 21 :
5% x 25.000.000
10% x 25.000.000
15% x 25.802.000
15% x 33.422.000
75.802.000
1.250.000
2.500.000
3.870.000
-
83.422.000
1.250.000
2.500.000
-
5.013.000
84.767.000
1.250.000
2.500.000
-
-
71
15% x 34.767.000 - - 5.215.000
PP Pasal 21 Setahun
Tunjangan Pajak
7.620.000
-
8.763.000
(7.620.000)
8.965.000
(8.965.000)
PPh Pasal 21 yang harus
disetor/dipotong dari
penghasilan pegawai
7.620.000 *) 1.143.000 -
*) atau PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja
PKPSTP : Penghasilan Kena Pajak Sebelum Tunjangan Pajak
Tunjangan Pajak = 1/204 (3 x PTKPSTP – 75.000.000) x 12
= 1/204 (3 x 75.802.000 – 75.000.000) x 12
= 8.965.000,- *)
Tabel 4.5 Perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PTKP) Tahun 2004 (sesuai
UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan)
Keterangan
PPh Pasal 21 Ditanggung
Pegawai/ Pemberi Kerja
PPh Pasal 21 Diberikan
dalam Bentuk Tunjangan
Pajak
PPh Pasal 21 di Gross up
Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) :
- Untuk Diri Pegawai
- Tambahan untuk
pegawai yang kawin
- Tambahan untuk
tanggungan
2.880.000
1.440.000
1.440.000
2.880.000
1.440.000
1.440.000
2.880.000
1.440.000
1.440.000
Jumlah 5.760.000 5.760.000 5.760.000
Berikut ini faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan dalam pemilihan keempat
alternatif tersebut yaitu perbandingan Antara Take Home Pay, Biaya Komersial dan
Biaya Fiskal :
72
Tabel 4.6 Perbandingan Take Home Pay, Biaya Komersial dan Biaya Fiskal
Keterangan Ditanggung Pegawai
Ditanggung Perusahaan
Diberikan Tunjangan
Pajak
Di Gross up
Take Home Pay :
Gaji dan Tunjangan
Dikurangi :
- Iuran JHT (2%)
- PPh Pasal 21
83.344.000
1.200.000
7.620.000
83.344.000
1.200.000
-
90.964.000
1.200.000
8.763.000
92.309.000
1.200.000
8.965.000
Jumlah 74.524.000 82.144.000 81.001.000 82.144.000
Biaya Fiskal :
Penghasilan Bruto
84.058.000
84.058.000
91.678.000
93.023.000
Jumlah 84.058.000 84.058.000 91.678.000 93.023.000
Biaya Komersial :
Biaya Fiskal
Ditambah :
- Iuran JHT (3,7%)
- PPh Pasal 21
84.058.000
2.220.000
-
84.058.000
2.220.000
7.620.000
91.678.000
2.220.000
-
93.023.000
2.220.000
-
Jumlah 86.278.000 93.898.000 93.898.000 95.243.000
Selisih Biaya Fiskal
dan Biaya Komersial
2.220.000 9.840.000 2.220.000 2.220.000
Dari hasil perbandingan alternatif di atas, alternatif keempat dengan
menggunakan metode gross up lebih baik, karena gaji karyawan yang dibawa pulang
setahun merupakan yang terbesar yaitu Rp 82.144.000,-. Di lain pihak perusahaan akan
menanggung selisih antara biaya komersial dengan biaya fiskal yang tidak berbeda
dengan alternatif lainnya yaitu sebesar Rp 2.220.000,-, hal ini dapat menghemat PPh
Pasal 21 karyawan tersebut. Jika dilihat dari biaya komersial, biaya fiskal yang besar
tersebut akan terlihat seperti suatu pemborosan, namun tidak demikian, dengan biaya
73
fiskal yang besar tersebut nantinya akan berdampak pada laba sebelum pajak yang akan
menjadi lebih kecil dan PPh Badan yang terutang pun akan menjadi lebih kecil.
Alternatif kedua dengan PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan memang
menguntungkan karyawan, karena gaji yang dibawa pulang mereka memiliki selisih
biaya fiskal dan komersial yang terbesar yaitu Rp 9.840.000,-. Hal ini disebabkan
adanya kenikmatan berupa pajak yang ditanggung perusahaan sebesar Rp 7.620.000 dan
iuran JHT sebesar Rp 2.220.000,-. Jika perusahaan masih menaggung PPh Pasal 21 atas
karyawannya, maka akan menimbulkan koreksi fiskal sebesar Rp 9.840.000,- yang
berarti adanya tambahan pajak penghasilan.
Penggunaan altenatif ketiga akan merugikan karyawan, meskipun memiliki
selisih biaya fiskal dan komersial yang sama dengan alternatif keempat yaitu sebesar
Rp 2.220.000,-, namun gaji yang dibawa pulang karyawan setahun sebesar
Rp 81.001.000,- kurang maksimal karena tunjangan pajak yang diterima karyawan pun
nilainya kurang maksimal.
Penggunaan alternatif pertama sebaiknya tidak dilakukan oleh perusahaan,
karena hal ini akan merugikan kedua belah pihak, baik itu karyawan maupun
perusahaan, dimana gaji yang dibawa pulang karyawan setahun memiliki jumlah terkecil
dari alternatif lainnya yaitu sebesar Rp 74.524.000 meskipun selisih antara biaya fiskal
dan biaya komersial memiliki nilai yang sama besarnya dengan alternatif lainnya. Hal
ini akan terjadi koreksi fiskal sebesar Rp 2.220.000,- yang dapat mengakibatkan jumlah
PPh Badan bertambah.
74
IV.3. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
Bagi PT ADIS, PPh Pasal 23 sangat penting karena PT ADIS merupakan
perusahaan jasa yang bergerak dalam bidang asuransi kerugian dan kegiatan lain seperti
asuransi kendaraan bermotor. Setiap kegiatan atau transaksi yang dikerjakan oleh
PT ADIS selalu berhubungan dengan PPh Pasal 23 sebagai pemotong dan atau yang
dipotong pihak lain, dimana dalam hal PT ADIS berperan sebagai pihak yang
memotong antara lain :
1. Jasa Akuntan pada Kantor Akuntan Publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja.
2. Jasa Perbaikan Alat-alat Kendaraan
3. Jasa Pembasmian Hama dan Jasa Pembersihan
4. Jasa Pemanfaatan Informasi dibidang teknologi termasuk jasa internet
5. Jasa Perancangan Design
Sebagai pihak pemotong PT ADIS berkewajiban untuk menyetorkan pajak yang
telah dipotongnya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana perusahaan tersebut
terdaftar sebagai Wajib Pajak. Sedangkan bagi pihak yang dipotong berhak untuk
mengkreditkan pajak penghasilan yang telah dipotong tersebut terhadap pajak
penghasilan yang terutang pada tahun pajak yang bersangkutan dan meminta kepada
pihak pemotong dokumen bukti pemotongan PPh Pasal 23 tersebut sesuai ketentuan agar
dapat dikreditkan. Karena hal ini merupakan bukti bahwa pihak pemotong telah
melakukan kewajibannya untuk menyetorkan pajak penghasilan yang telah dipotongnya
75
ke KPP. Batas waktu penyetoran pajak paling lambat adalah tanggal 10 bulan berikutnya
dan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari
setelah masa pajak berakhir. Jika PT ADIS tidak melakukan pemotongan, perusahaan
berisiko akan terkena sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% perbulan maksimal
selama 24 bulan, dan hal ini akan menganggu likuiditas kas perusahaan karena non
deductible expense perusahaan bertambah, sedangkan jika terlambat melaporkan SPT
Masa akan terkena sanksi sebesar Rp 50.000,- sesuai dengan UU KUP Pasal 16 Tahun
2000.
Dari evaluasi yang dilakukan atas pelaksanaan PPh Pasal 23, ditemukan
beberapa hal antara lain :
1. Untuk memberikan laporan keuangan yang terpercaya, PT ADIS
menggunakan jasa auditor dari Kantor Akuntan Publik Prasetio, Sarwoko dan
Sandjaja. Dimana pembayaran pada jasa audit ini menimbulkan kewajiban
bagi perusahaan untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan
PPh Pasal 23 yang dikenakan dengan tarif 7,5% dengan tarif pemotongan
yaitu 15% x 50% dari penghasilan bruto sesuai dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. Kep-170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah
melakukan pemotongan, penyetoran atas jasa tersebut dengan jumlah sebesar
Rp 327.549.332,- serta melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak dimana
PT ADIS terdaftar sebagai Wajib Pajak.
2. Dalam menjalankan kegiatan usahanya yang selalu berusaha memenuhi
kepuasan pelanggan, PT ADIS bekerjasama dengan beberapa bengkel
rekanan untuk melakukan jasa perbaikan alat-alat transportasi dan
pemeliharaan suku cadang kendaraan kepada pihak tertanggung atas klaim
76
yang diajukan sehubungan dengan obyek pertanggungan yang diasuransikan.
Dimana pembayaran atas jasa ini menimbulkan kewajiban bagi perusahaan
untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang
dikenakan dengan tarif 6% dengan tarif pemotongan yaitu 15% x 40% dari
penghasilan bruto sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
Kep-170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan,
penyetoran atas jasa tersebut dengan jumlah sebesar Rp 74.277.745,- serta
melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak dimana PT ADIS terdaftar
sebagai Wajib Pajak
3. Perusahaan menggunakan jasa untuk membersihkan semua ruangan seperti
lantai, dinding dan peralatan kantor serta aktiva perusahaan lainnya dari
kotoran atau hama setiap hari agar kebersihan tetap terjaga. Dimana
pembayaran atas jasa ini menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk
melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang
dikenakan dengan tarif 1,5% dengan tarif pemotongan yaitu 15% x 10% dari
penghasilan bruto sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
Kep-170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan,
penyetoran atas jasa tersebut dengan jumlah sebesar Rp 189.253.236,- serta
melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak dimana PT ADIS terdaftar
sebagai Wajib Pajak.
4. Dalam menjalankan kegiatan operasional sehari-hari, perusahaan
menggunakan jasa internet. Jasa ini digunakan oleh karyawan dalam
memperlancar hubungan komunikasi antar bagian operasional dengan semua
kantor cabang serta dengan semua pelanggan dan pihak lain yang ada
77
kaitannya dengan perusahaan melalui fasilitas email. Dimana pembayaran
atas jasa ini menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang dikenakan dengan
tarif 6% dengan tarif pemotongan yaitu 15% x 40% dari penghasilan bruto
sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-170/PJ/2002.
Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan, penyetoran atas jasa
tersebut dengan jumlah sebesar Rp 441.463.486,- serta melaporkannya ke
Kantor Pelayanan Pajak dimana PT ADIS terdaftar sebagai Wajib Pajak.
5. Untuk mempromosikan produknya kepada pelanggan perusahaan
menggunakan jasa periklanan melalui media cetak dan elektronik untuk
melakukan perancangan design yang dibebankan ke dalam beban pemasaran.
Dimana pembayaran atas jasa ini menimbulkan kewajiban bagi perusahaan
untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang
dikenakan dengan tarif 6% dengan tarif pemotongan yaitu 15% x 40% dari
penghasilan bruto sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
No. Kep-170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah melakukan
pemotongan, penyetoran atas jasa tersebut dengan jumlah sebesar
Rp 3.576.047.083,-. Atas jasa ini pun perusahaan telah melakukan
pemotongan dan melaporkannya ke KPP dimana perusahaan terdaftar
sebagai Wajib Pajak.
Atas evaluasi pelaksanaan PPh Pasal 23 di atas, PT ADIS telah
melakukan perencanaan yang tepat dimana perusahaan selalu berusaha
melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan atas pemakaian jasa-jasa
PPh Pasal 23 setiap bulan di tahun 2004 dengan benar. Selain itu, PT ADIS
78
juga telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dimana telah
menyetorkan PPh Pasal 23 tersebut sebelum tanggal 10 bulan berikutnya dan
menyampaikan SPT Masa sebelum batas waktu pelaporannya berakhir
kepada KPP dimana perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak. Dalam
melakukan penyetoran PPh Pasal 23 sebaiknya jangan dilakukan terlalu cepat
atau awal agar tidak mengganggu likuiditas dan arus kas perusahaan, tapi
juga jangan lewat dari batas waktu yang telah ditentukan karena akan
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% perbulan disamping
Rp 50.000,- atas keterlambatan pelaporan PPh Paal 23. Perlakuan atas PPh
Pasal 23 ini juga telah diterapkan dengan baik oleh PT ADIS pada tahun-
tahun sebelumnya dan sudah dibedakan antara pemotongan PPh Pasal 23
sesuai dengan tarif PPh Pasal 23 dan PPh Final dengan ketentuan khusus UU
PPh Pasal 4 ayat (2), sehingga perusahaan akan terhindar dari resiko terkena
sanksi pajak.
IV. 4. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan PPh Badan
Untuk mendapatkan laba fiskal dalam menghitung PPh Badan, PT ADIS
melakukan rekonsiliasi fiskal atas laporan laba ruginya. PT ADIS dapat dikatakan belum
melaksanakan perencanaan pajak yang efektif, meski banyak melakukan koreksi fiskal
negatif atas beban-beban atau biaya komersial yang sementara menyebabkan laba
perusahaan menjadi atau terlihat kecil, namun masih terdapat biaya atau beban-beban
yang seharusnya tidak dapat mengurangi penghasilan bruto tapi masih diperlakukan
sebagai biaya bagi perusahaan. Dengan melakukan rekonsiliasi fiskal sebelum dan
setelah perencanaan pajak, dapat terlihat perbedaan antara laba sebelum pajak yang
79
dihasilkan, maka dengan melakukan perencanaan pajak yang efektif, laba sebelum pajak
dapat diminimalkan.
Dari hasil evaluasi terhadap PPh Badan ditemukan beberapa koreksi positif dan
koreksi negatif dalam rekonsiliasi fiskal perusahaan, antara lain :
1. PPh Pasal 21
PT ADIS melakukan koreksi fiskal positif atas PPh Pasal 21 sebesar
Rp 1.370.373.086,-, karena perusahaan menaggung PPh Pasal 21 karyawannya.
Beban ini memang harus dikoreksi positif karena PPh Pasal 21 yang ditanggung
pemberi kerja bukan merupakan deductible expense.
2. Biaya Entertainment
Perusahaan melakukan koreksi positif atas biaya entertainment sebesar
Rp 158.881.000,- karena perusahaan tidak melampirkan daftar nominatif pada
SPT Badan dan membuktikan bahwa biaya tersebut formal sesuai Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak No. SE-27/PJ.22/1986, maka sudah seharusnya
perusahaan memberikan daftar nominatif sebagai bukti pelaksanaan
entertainment, sehingga beban tersebut dapat menjadi beban fiskal. Daftar
nominatif ini memuat informasi mengenai tanggal dan jenis entertainment yang
diberikan, nama tempat, alamat, jumlah entertainment, nama relasi, posisi, nama
perusahaan dan jenis usaha yang diberikan entertainment. Namun jika
perusahaan sering mengeluarkan biaya entertainment, pembuatan daftar
nominatif ini menjadi sedikit merepotkan karena perusahaan harus membuat
daftar nominatif atas setiap pengeluaran yang dilakukan dan kadang pihak relasi
bisnis tersebut mungkin tidak senang jika dicantumkan namanya.
80
2. Denda Pajak
Denda pajak ini merupakan tambahan kewajiban pajak yang merupakan
kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 untuk tahun pajak 2003
lalu berdasarkan SKPKB PPh tanggal 15 Oktober 2004 yang perhitungannya
akan dibebankan pada tahun 2004. Perusahaan memperlakukan biaya tersebut
sebagai pengurang penghasilan bruto, hal ini tidak diperkenankan sesuai UU PPh
Pasal 9, sehingga perusahaan melakukan koreksi positif seluruhnya atas denda
pajak sebesar Rp. 19.924.383,-.
3. Penyusutan Sewa Guna Usaha
Atas penyusutan sewa guna usaha, perusahaan melakukan koreksi positif sebesar
Rp 90.303.542,- karena hal ini bukan hak perusahaan dalam melakukan
penghitungan penyusutan atas harta sewa guna usaha, melainkan kewajiban
pihak lessor atas aktiva yang bersangkutan yang dapat dibiayakan, jadi sudah
seharusnya perusahaan melakukan koreksi positif atas biaya tersebut.
4. Cadangan Pesangon
Perusahaan telah menerapkan lebih dini PSAK No. 24 (Revisi 2004) mengenai
“Imbalan Kerja” dan mencatat penyisihan imbalan pasca kerja sesuai dengan
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 tanggal 25 Maret 2003.Atas
perkiraan cadangan pesangon sebagai penyisihan kesejahteraan karyawan
perusahaan melakukan koreksi positif sebesar Rp 287.373.000,-. Sesuai dengan
UU PPh Pasal 9 Ayat (1) huruf c pembentukan atau pemupukan dana cadangan
tidak dapat dibebankan dalam laporan rugi fiskal, jadi sudah seharusnya
perusahaan melakukan koreksi positif atas biaya tersebut.
81
5. Pendapatan Jasa dan Giro
Atas pendapatan lain-lain yang diperoleh PT ADIS, perusahaan harus melakukan
koreksi fiskal negatif atas pendapatan jasa giro sebesar Rp 35.671.990,-.
Pendapatan ini diperoleh dari penyimpanan dana perusahaan di Bank selama
tahun 2004. Sesuai pasal 4 ayat (2) UU PPh No. 17 Tahun 2000, maka atas
pendapatan jasa giro dikenakan pajak final sebesar 20% yang dipotong langsung
oleh bank yang bersangkutan. Bila tidak dikoreksi negatif, hal ini akan
merugikan bagi perusahaan karena penghasilan kena pajak perusahaan akan
menjadi lebih besar. Selain itu perusahaan juga menanggung beban atas pajak
final yang telah dipotong oleh Bank.
6. Hasil Investasi
Perusahaan melakukan koreksi negatif sebesar Rp 9.166.213.453,- atas hasil
investasi, karena di tahun 2004 terdapat kesalahan dalam melakukan
penghitungan yang seharusnya sudah terutang PPh Final sehingga tidak perlu
diamasukkan sebagai objek pajak untuk perhitungan tarif, oleh karena itu nilai
yang tertera dalam laporan keuangan komersial menjadi lebih besar dari yang
seharusnya. Atas kesalahan ini perusahaan memang perlu melakukan koreksi
negatif dari hasil investasi yang telah dikenakan PPh Final tersebut.
7. Biaya Penyusutan Aktiva Tetap
Perusahaan melakukan koreksi negatif sebesar Rp 30.083.755,-.atas biaya
penyusutan aktiva tetap. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pengakuan
antara perusahaan dengan pajak dalam hal penentuan masa manfaat atas
penggunaan aktiva, sehingga atas perbedaan pengakuan ini nilai yang tertera
dalam laporan keuangan komersial menjadi lebih kecil dari yang seharusnya,
82
oleh karena itu perusahaan perlu melakukan koreksi negatif atas biaya
penyusutan tersebut.
9. Pembayaran Sewa Guna Usaha
Apabila PT ADIS menggunakan sewa guna usaha dengan hak opsi, maka semua
pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan kecuali pembebasan atas tanah
merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sepanjang
sewa guna usaha itu dapat digolongkan pada sewa guna usaha dengan hak opsi.
Atas pembayaran ini telah dikoreksi fiskal negatif dengan jumlah sebesar
Rp 158.900.428,-.
10. Laba/Rugi Penjualan Aktiva
Pada tahun 2004 didapati kerugian atas penjualan aktiva sebesar
Rp 76.768.333,-. Dalam UU PPh Pasal 6 ayat (1) huruf d, kerugian karena
penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto perusahaan. Oleh karena itu
perusahaan memang perlu melakukan koreksi negatif atas kerugian penjualan
aktiva tersebut.
11. Keuntungan/Kerugian Investasi yang Belum Direalisasi
Dalam laporan komersial prinsip koservatif terhadap suatu transaksi yang belum
menjadi suatu fakta dapat direalisasikan dengan membentuk penyisihan atas
kerugian yang mungkin diderita tanpa pengakuan atas suatu klaim atau potensi
keuntungan yang belum direalisasi. Namun, dalam ketentuan peraturan
perpajakan hal tersebut tidak dapat diterima, tapi lebih cenderung untuk
menganut realitas atau keadaan yang telah terjadi secara nyata dengan meneliti
83
secara seksama tiap elemen pengurang basis pengenaan pajak. Atas dasar
perbedaan pengakuan ini, perusahaan memang perlu melakukan koreksi negatif
untuk kerugian investasi yang belum direalisasi sebesar Rp 1.428.254.499,-.
IV.5. Rekonsiliasi Fiskal Sebelum dan Setelah Perencanaan Pajak
Dalam pengakuan pendapatan dan beban, terdapat perbedaan perlakuan
akuntansi komersial dan pajak. Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya rekonsiliasi
fiskal atas laporan laba rugi perusahaan. Hal ini dikarenakan tidak semua beban yang
diakui dalam laporan rugi komersial bisa menjadi beban dalam laporan laba rugi fiskal.
Koreksi positif atas suatu beban komersial akan menambah laba fiskal perusahaan,
sedangkan koreksi negatif atas suatu beban komersial akan mengurangi laba fiskal
perusahaan. Dengan rekonsiliasi fiskal sebelum dan setelah perencanaan pajak, dapat
terlihat perbedaan antara laba sebelum pajak yang dihasilkan.
Dengan melakukan perencanaan pajak yang efektif akan membuat perusahaan
mampu untuk meminimalkan beban pajak perusahaan yang meyebabkan laba fiskal
tidak jauh berbeda dengan laba komersial sehingga laba sebelum pajak dapat
diminimalkan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perencanaan yang efektif atas
beban yang tidak dapat mengurangi penghasilan bruto dalam laporan keuangan fiskal.
Hasil akhir yang dicapai oleh perusahaan atas perencanaan pajak yang dilaksanakannya
adalah penghematan pembayaran pajak. Dalam rekonsilisi fiskal sebelum dan sesudah
perencanaan pajak dapat terlihat adanya perbedaan antara laba komersial dan laba fiskal
karena adanya koreksi positif atas beban atau biaya yang tidak menjadi beban fiskal.
84
Dari hasil rekonsiliasi fiskal sebelum dan setelah perencanaan pajak, dapat
dilihat bahwa sebelum perencanaan pajak, PT ADIS memperoleh laba sebelum Pajak
Penghasilan sebesar Rp 20.610.177.174,-. Namun setelah dilakukan perencanaan pajak
yang efektif, laba sebelum Pajak Penghasilan perusahaan berubah menjadi
Rp 17.387.930.809,-. Dengan perencanaan pajak tersebut, PT ADIS dapat menghasilkan
penghematan Penghasilan Kena Pajak dengan persentase sekitar 9,1%. Hal ini juga
berpengaruh atas Pajak Penghasilan Badan yang harus di bayar oleh perusahaan adalah
sebesar Rp 5.719.265.801,-, sedangkan setelah perencanaan pajak perusahaan hanya
membayar Rp 5.198.879.243,- dengan persentase penghematan yang sama sekitar
sebesar 9,1%. Pada tahun-tahun sebelumnya sejak tahun 1999 terdapat rugi fiskal yang
dapat dikompensasikan di tahun 2004 sebesar Rp 1.487.624.503, hal ini dapat dijadikan
sebagai pengurang penghasilan neto fiskal di tahun 2004. Selain itu pada tahun 2004
juga terdapat pembayaran fiskal luar negeri atas karyawan yang bertolak ke luar negeri
dalam rangka dinas yang ditanggung perusahaan sebesar Rp 164.000.000,-, pengeluaran
tersebut dapat dikreditkan oleh PT ADIS terhadap PPh Terutang dalam SPT Tahunan
pemberi kerja untuk tahun pajak 2004 dengan mencantumkan nama karyawan, nama
prusahaan dan NPWP perusahaan dalam Surat Setoran Pajak (SSP) atau Tanda Bukti
Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBFLN) yang diatur dalam PPh Pasal 25 ayat (8).
85
Dari hasil rekonsiliasi sebelum dan setelah perencanaan pajak, ada beberapa
usulan perencanaan pajak yang dapat meminimalkan beban pajak pada PT ADIS, antara
lain :
a. PPh Pasal 21
PT ADIS dapat melakukan perencanaan pajak atas PPh Pasal 21 dengan
menggunakan metode gross up yaitu dengan memberikan sejumlah tunjangan
PPh kepada karyawan yang dapat dijadikan beban fiskal. Beban PPh Pasal 21
sebelum perencanaan pajak adalah Rp 1.370.373.086,- dan dilakukan koreksi
positif. Setelah perencanaan pajak, tunjangan PPh akan diberikan kepada
karyawan sebesar Rp 1.370.373.086,- dengan ini beban perusahaan akan
bertambah sebesar tunjangan PPh Pasal 21 yang diberikan.
b. Fasilitas Transportasi Pegawai
Pemberian fasilitas transportasi khusus kepada direksi dan setingkat manajer
tidak efektif, karena atas pemberian natura atau kenikmatan tersebut tidak bisa
menjadi beban fiskal sesuai dengan UU PPh No. 17 Tahun 2000 Pasal 9 Ayat (3)
huruf e. Perencanaan pajaknya adalah dengan mengganti fasilitas tersebut dan
memberikannya kepada karyawan dalam bentuk uang sebagai penambah
penghasilan. Atas tunjangan yang diterima karyawan tersebut terkena PPh Pasal
21, namun perusahaan dapat membebankannya sebagai biaya dalam laporan laba
rugi fiskal. Jadi, sudah seharusnya perusahaan melakukan koreksi fiskal positif
atas pemberian fasilitas trasnportasi tersebut seluruhnya sebesar
Rp 207.011.202,-.
86
c. Biaya Pengobatan dan Rumah Sakit
Perusahaan memberikan biaya pengobatan dan rumah sakit kepada karyawannya
dengan sistem reimbursement, hal ini akan merugikan perusahaan karena
merupakan pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan yang tidak bisa
menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan. Sebaiknya perusahaan
mengganti biaya reimbursement tersebut menjadi tunjangan kesehatan
yang menjadi objek PPh Pasal 21, selain itu perusahaan dapat mengikutkan
karyawannya dalam program asuransi kesehatan dimana premi tersebut
ditanggung oleh perusahaan dan dapat menjadi pengurang penghasilan bruto
dalam laporan fiskal. Atas dasar ini, maka perusahaan harus melakukan koreksi
positif atas biaya pengobatan dan rumah sakit seluruhnya sebesar
Rp 201.205.717,-
d. Pakaian Seragam
Pakaian seragam ini merupakan aturan kebijakan perusahaan yang ditujukan
untuk keseragaman surveyor (pegawai lapangan) dan tidak terkait dengan
keamanan dan keselamatan pekerja sebagaimana yang diwajibkan oleh
Departemen Tenaga Kerja. Atas biaya ini perusahaan harus melakukan koreksi
positif sebesar Rp 21.808.000,- karena tidak dapat dijadikan beban fiskal
sebagai pengurang penghasilan bruto. Sebaiknya perusahaan memberikan
tunjangan seragam dalam bentuk uang yang dapat menjadi beban fiskal dan
menambah penghasilan bagi karyawan. Jika perusahaan melakukan perencanaan
tersebut, maka pengeluaran atas pakaian seragam dapat dijadikan beban fiskal
dan terhindar dari resiko di koreksi fiskal positif oleh pihak fiskus.
87
e. Sumbangan Pegawai
Sesuai dengan UU PPh Pasal 9, sumbangan dalam bentuk apapun, baik itu
sumbangan pegawai maupun sumbangan lainnya tidak dapat dijadikan sebagai
pengurang penghasilan bruto, karena hal tersebut tidak berhubungan dengan
kegiatan utama perusahaan atau sehubungan dengan biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, kecuali sumbangan untuk GNOTA atau
sumbangan korban bencana alam antara lain Tsunami Nanggroe Aceh
Darussalam atau Sumatra Utara, hal ini diatur antara lain dalam Keputusan
Menteri Keuangan No. 609/KMK.03/2004 tentang perlakuan pajak penghasilan
atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatra Utara. Atas dasar ini, maka perusahaan harus melakukan koreksi positif
atas sumbangan pegawai seluruhnya sebesar Rp. 2.200.000,-.
f. Biaya Rapat
Dalam kegiatan rapat yang dilakukan perusahaan terdapat biaya makan dan
minum yang disediakan untuk peserta rapat sebesar Rp. 20.023.060,-. Atas biaya
makan dan minum tersebut, perusahaan perlu melakukan koreksi positif karena
merupakan natura atau kenikmatan yang diterima peserta rapat yang tidak dapat
dijadikan biaya fiskal sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan.
Sebaiknya perusahaan mengganti biaya makan dan minum tersebut hanya
dengan biaya yang terkait dengan kegiatan tersebut seperti alat tulis yang
digunakan untuk kegiatan rapat, atau dapat menggunakan jasa pihak ketiga,
misalnya saja dengan melalui pemakaian jasa Event Organizer (EO), dimana
semua pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan rapat telah disediakan
oleh EO tersebut tanpa perusahaan perlu mengalami kerepotan mempersiapkan
88
pelaksanaan kegiatan rapat tersebut, maka atas pemakaian jasa tersebut
perusahaan harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 yang dapat dijadikan
biaya fiskal sebagai pengurang penghasilan bruto.
g. Sumbangan Sosial
Sama halnya dengan sumbangan pegawai, sumbangan sosial inipun tidak dapat
dijadikan beban fiskal, karena tidak berhubungan dengan kegiatan utama
perusahaan atau sehubungan dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan sesuai UU PPh Pasal 9, kecuali sumbangan untuk
GNOTA atau bantuan kemanusiaan bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam
dan Sumatra Utara, maka atas biaya ini perusahaan harus melakukan koreksi
positif sebesar Rp. 112.210.000,-.
h. Koran dan Majalah
Perusahaan berlangganan koran Kompas dan majalah Gatra, biaya ini tidak ada
hubungan langsung dengan kegiatan usaha atau biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, sehingga atas biaya ini perusahaan harus
melakukan koreksi positif seluruhnya sebesar Rp 12.014.000,-. Sebaiknya untuk
mencari sebuah informasi penting terutama yang ada kaitannya dengan kegiatan
usaha dapat dilakukan melalui pemanfaatan fasilitas internet, sehingga atas
pemakaian jasa tersebut perusahaan harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23
yang dapat dijadikan biaya fiskal bagi perusahaan.
i. Keperluan Dapur
Selama tahun 2004, PT ADIS mengeluarkan biaya untuk keperluan dapur
sebesar Rp 45.260.905,-. Biaya ini harus dikoreksi seluruhnya karena tidak
berhubungan dengan kegiatan perusahaan, maka sudah seharusnya perusahaan
89
melakukan koreksi positif atas biaya ini. Sebaiknya perusahaan menggunakan
jasa katering sehubungan dalam hal penyediaan makan dan minum untuk seluruh
pegawai yang dapat dijadikan beban fiskal perusahaan, namun atas pemakaian
jasa katering tersebut perusahaan harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
j. Biaya Lain-lain
Biaya lain-lain dapat diakui sebagai biaya perusahaan bila didukung dengan
bukti yang kuat berupa daftar nominatif. PT ADIS akan terkena resiko koreksi
positif atas biaya lain-lain sebesar Rp 257.485.008,- bila tidak dilengkapi dengan
bukti pendukung yang jelas. Untuk menghindari biaya tersebut terkena koreksi
fiskal, maka PT ADIS harus mempunyai bukti-bukti pendukung secara normal
dan mengklasifikasikan secara rinci biaya lain-lain tersebut apakah termasuk
dalam kegiatan 3M yang terkait dengan kegiatan usaha ke dalam akun yang
sesuai sehingga biaya-biaya lain tersebut dapat menjadi beban fiskal.