56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Profil Trans Jogja
Salah satu usaha yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan
transportasi di Yogyakarta adalah pengoperasian Trans Jogja sebagai moda
transportasi terpadu. Trans Jogja melayani penumpang pada beberapa koridor
jalan-jalan utama di Yogyakarta. Namun dalam perjalanannya masih ditemukan
keluhan-keluhan dari pengguna Trans Jogja yang menunjukkan masih terdapat
beberapa masalah dalam pengoperasiannya. Trans Jogja merupakan pelayanan
transportasi publik yang bersubsidi dengan menerapkan “Buy The Service”.
Sistem ini didasarkan pada kontrak kerjasama yang dilakukan konsorsium (PT.
Jogja Tugu Trans) dengan UPTD Trans Jogja dan tidak bisa dipungkiri bahwa
masyarakat memiliki harapan besar dalam pengembangan pelayanan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan.
Operasional Trans Jogja dimulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00
setiap harinya, dalam usahanya melayani penumpang manajemen Trans Jogja
menempatkan masing-masing dua orang petugas di sebuah shelter dan dua orang
petugas di dalam bus sebagai supir dan juga petugas yang memandu naik dan
turunnya penumpang, waktu tunggu bus dengan trayek yang sama adalah selama
maksimal 15 menit, misalnya bus 1A melintas di shelter X maka untuk menunggu
kedatangan bus 1A kembali dibutuhkan waktu 15 menit, sedangkan biaya yang
harus dikeluarkan oleh penumpang untuk menggunakan fasilitas Trans Jogja
57
adalah sebesar Rp. 3.000,- untuk satu kali perjalanan dari shelter asal hingga
shelter tujuan. Manajemen Trans Jogja juga memberikan fasilitas kartu elektronik
langganan, setiap orang bebas untuk memiliki kartu tersebut dengan persyaratan
yang tidak terlalu rumit cukup dengan mengisi formulir permohonan, dan
membayar sejumlah uang untuk mengisi saldo kartu yang terdiri dari jumlah Rp.
15.000, 25.000, 50.000 dan 100.000 bagi penumpang yang memiliki fasilitas kartu
tersebut biaya yang dikenakan sekali perjalanan hanya Rp. 2.700,- ditambah
dengan fasilitas free charge apabila penumpang turun selama satu jam dan
kemudian sebelum satu jam kembali menggunakan Trans Jogja.
Secara umum, Trans Jogja beroperasi melalui rute-rute jalan utama di
Yogyakarta, dan rute-rute yang dilalui di dalam Kota Yogyakarta. Untuk lebih
mempermudah penumpang dalam menghafalkan jalur, setiap 2 jalur akan
melewati rute yang sama, dengan arah yang berlawanan. Misalnya, jalur 1A akan
melewati jalur yang kurang lebih sama dengan jalur 1B, hanya dalam perbedaan
arah. Trans Jogja diimplementasikan untuk pertama kalinya pada tahun 2008
untuk mengatasi permasalahan transportasi di Yogyakarta. Permasalahannya
antara lain sebagai berikut:
a. Tingginya tingkat pertumbuhan lalu lintas sedangkan tingkat pertumbuhan
jalan rendah.
b. Model transportasi yang terdahulu, kebanyakan dimiliki oleh perusahaan
pribadi, layanan dinilai kurang memuaskan.
c. Pertumbuhan tinggi pada jenis sepeda motor, 6000-8000/bulan.
d. Pertumbuhan generasi baru pusat lalu lintas.
58
e. Tingginya tingkat polusi udara.
f. Tingginya tingkat biaya operasi kendaraan.
Sistem pelayanan Trans Jogja dibuat untuk meningkatkan sistem
transportasi umum di Yogyakarta. Oleh sebab itu aksesibilitas, keterjangkauan,
kenyamanan, dan ketersediaan diintegrasikan dalam suatu sistem yang memuat
sebagai berikut:
a. Cakupan layanan
Trans Jogja melayani daerah Yogyakarta mencakup wilayah utara, selatan,
timur, barat pada kota Yogyakarta pada jalan arteri.
b. Shelter
Shelter Trans Jogja dirancang sesuai dengan yang ditunjukkan gambar 4.1.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa shelter dibuat tinggi agar sejajar dengan
ketinggian bus.
Gambar 2. Shelter Bus Trans Jogja
c. Kendaraan
Untuk memenuhi kualitas pelayanan kepada penumpang, bus Trans Jogja
dirancang berbeda dari transportasi umum reguler lainnya. Spesifikasi bus
Trans Jogja dapat dilihat dari Tabel 3.
59
Tabel 3. Spesifikasi Bus Trans Jogja
No Kategori Spesifikasi
1 Tipe Bus Sedang, kendaraan baru (<1 tahun)
2 Kapasitas bus ≥ 22 kursi + 1 supir + 22 berdiri
3 Model Bus Kota
4 Dimensi
a. Panjang
b. Lebar
c. Tinggi
P= 7400-8000mm
L= 1800-2400mm
T= 2700-3100mm Sumber : Dinas Perhubungan (2008)
Gambar 3. Bus Trans Jogja
d. Trayek
Secara umum, Trans Jogja beroperasi melalui rute-rute jalan utama di
Yogyakarta, dalam kota Yogyakarta (perluasan trayek ke daerah Bantul dan
Sleman).
Sumber: Dishubkominfo Provinsi DIY, 2013
Gambar 4. Rute Perjalanan Bus Trans Jogja
60
Untuk lebih mempermudah penumpang dalam menghafalkan jalur, setiap
2 jalur akan melewati rute yang sama, dengan arah yang berlawanan. Jalur yang
dilewati tidak selalu sama sebab kondisi jalan yang berbeda. Misalnya karena ada
beberapa ruas jalan yang hanya satu arah. Kondisi lain yang perlu diketahui
bahwa tidak semua halte berada selalu berseberangan, walaupun rata-rata berada
tidak jauh satu sama lain.Sampai dengan saat ini, ada 6 (enam) jalur Trans Jogja
yang beroperasi yaitu:
1) Jalur 1A
Candi Prambanan - Bandara Adisutjipto-Jembatan Layang Janti -Ambarukmo
Plaza - UIN Sunan Kalijaga-Saphir Square - Bioskop XXI - Rumah Sakit (RS)
Bethesda - Toko Buku (TB) Gramedia - Hotel Santika - Kantor Kedaulatan
Rakyat - Stasiun Tugu - Jalan Malioboro - Pasar Beringharjo - Benteng
Vredeburg - Monumen 1 Maret - Kantor Pos Besar - Keraton Yogyakarta -
Alun-Alun Utara - Taman Parkir Bank Indonesia - Taman Pintar –
Gondomanan - Pasar Sentul - Jalan Taman Siswa - Taman Makam Pahlawan
Kusumanegara - Balaikota Yogyakarta - Kebun Binatang Gembira Loka -
Jogja Expo Center (JEC) - Jembatan Janti - kembali ke arah kalasan, Bandar
Udara Adi Sucipto sampai Terminal Prambanan.
2) Jalur 1B
Terminal Prambanan – Kalasan – Bandara Adisucipto –Maguwoharjo – Janti
(lewat bawah) - Blok O – JEC – Babadan – Gedongkuning -Gembira Loka –
SGM - Pasar Sentul – Gondomanan - Kantor Pos Besar - RS PKU
Muhammadiyah - Pasar Kembang – Badran -Bundaran Samsat Kota
61
Yogyakarta – Pingit – Tugu - TB Gramedia -Bundaran UGM – Kolombo –
Demangan - UIN Sunan Kalijaga – Janti – Maguwoharjo - Bandara Adisucipto
– Kalasan - Terminal Prambanan.
3) Jalur 2A
Terminal Jombor – Monjali – Tugu - Stasiun Tugu – Malioboro - Kantor Pos
Besar – Gondomanan - Jokteng Wetan – Tungkak –Gambiran – Basen –
Rejowinangun – Babadan – Gedongkuning -Gembira Loka – SGM – Cendana
- Mandala Krida – Gayam -Jembatan Layang Lempuyangan – Kridosono -
Duta Wacana – Galeria - TB Gramedia - Bunderan UGM – Kolombo -
Gejayan-Terminal Condong Catur – Kentungan – Monjali - Terminal Jombor.
4) Jalur 2B
Terminal Jombor – Monjali – Kentungan - Terminal Condong Catur – Gejayan
– Kolombo - Bundaran UGM - TB Gramedia – Kridosono - Duta Wacana -
Jembatan Layang Lempuyangan – Gayam - Mandala Krida – Cendana – SGM
- Gembira Loka – Babadan – Gedongkuning – Rejowinangun – Basen –
Tungkak - Jokteng Wetan – Gondomanan - Kantor pos besar-RS PKU
Muhammadiyah – Ngabean – Wirobrajan – BPK – Badran - Bundaran Samsat
Kota Yogyakarta – Pingit – Tugu – Monjali - Terminal Jombor.
5) Jalur 3A
Terminal Giwangan – Tegalgendu - HS Silver - Pegadaian Kotagede –Basen –
Rejowinangun – Babadan- Gedongkuning – JEC - Blok O -Janti (lewat atas) –
Maguwoharjo - Ringroad Utara - Terminal Condong Catur – Kentungan - MM
UGM - Mirota Kampus – Terban – Gondolayu – Tugu – Pingit - Bundaran
62
Samsat Kota Yogyakarta –Badran - Pasar Kembang - Stasiun Tugu –
Malioboro - Kantor Pos Besar - RS PKU Muhammadiyah – Ngabean - Jokteng
Kulon - Plengkung Gading - Jokteng Wetan – Tungkak – Wirosaban –
Tegalgendu - Terminal Giwangan.
6) Jalur 3B
Terminal giwangan – Tegalgendu – Wirosaban – Tungkak - Jokteng Wetan -
Plengkung Gading - Jokteng Kulon – Ngabean - RS PKU Muhammadiyah -
Pasar Kembang – Badran - Bundaran Samsat Kota Yogyakarta – Pingit – Tugu
– Gondolayu - Mirota Kampus - MM UGM – Kentungan - Terminal Condong
Catur - Ringroad Utara – Maguwoharjo - Bandara Adisucipto – Maguwoharjo -
Janti (lewat bawah) - Blok O – JEC – Babadan - Gedongkuning-
Rejowinangun –Basen - Pegadaian Kotagede - HS Silver – Tegalgendu -
Terminal Giwangan. Untuk jalur 4A dan 4 B yang beroperasi mulai Oktober
2010 lalu, telah ditutup pada Oktober 2011.
e. Tiket Perjalanan Trans Jogja
1) Tiket Single Trip
Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013
Gambar 5.Tiket Single Trip
63
a) Tiket sebesar Rp. 3.000,00 untuk setiap perjalanan.
b) Penumpang membeli tiket single trip di semua lokasi halte.
c) Penumpang menerima tiket single trip dan tiket siap digunakan.
2) Tiket Reguler Umum
Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013
Gambar 6. Tiket Reguler Umum
a) Tiket sebesar Rp.2.700,00 untuk setiap perjalanan.
b) Penumpang membeli tiket reguler di halte bertanda POS/Card Center (Dinas
Perhubungan Prov.DIY).
c) Penumpang menerima tiket reguler sesuai nominal yang dibeli dan siap
digunakan.
d) Pilihan nominal pulsa/isi ulang Rp. 15.000,-, Rp.25.000.-, Rp.50.000,-, dan
Rp. 100.000,-.
64
3) Tiket Reguler Pelajar
Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013
Gambar 7. Tiket Reguler Pelajar
a) Tiket sebesar Rp. 2.000,00 untuk setiap perjalanan.
b) Pelajar mendaftar secara kolektif di sekolah.
c) Pihak sekolah menghubungi Dinas perhubungan propinsi DIY dan petugas
akan datang ke sekolah.
d) Petugas menyerahkan tiket di sekolah dan tiket siap digunakan.
e) Kartu tiket perdana bernilai Rp. 15.000,- .
f) Pilihan nominal pulsa/isi ulang Rp. 15.000,-, Rp.25.000.-, Rp.50.000,-, dan
Rp. 100.000,-.
Smartcard ini dapat dikategorikan indikator evaluasi William Dunn
tentang dualitas nilai, dikarenakan cara ini mempunyai tujuan dan kualitas ganda.
Smartcard hadir untuk memberikan paket harga sesuai dengan jenjang dan
kondisi ekonomi penggunanya. Ini juga dimaksudkan untuk menarik masyarakat
agar tertarik menggunakan Trans Jogja.
Berdasarkan hasil evaluasi kinerja layanan Trans Jogja tahun 2011
sebagaimana disajikan dalam Tabel 4. yaitu hasil pengukuran load factor.
65
Tabel 4. Hasil Pengukuran Load Factor Tahun 2011
Ruas Pengamatan
Menuju
Arah
Trayek (%)
1A 1B 2A 2B 3A 3B
Jl. Imogiri Utara 19,06 15,00
Jl.Imogiri Selatan 8,00 20,83
Jl. Kusumanegara Barat 32,66 23,93
Jl. Kusumanegara Timur 23,64 61,11
Jl. Sultan Agung Barat 20,00
Jl. Sultan Agung Timur 18,06
Jl. Wahid Hasyim Utara 14,06 15,63
Jl.Wahid Hasyim Selatan 14,06 13,75
Jl. HOS.
Cokroaminoto Utara 14,72
Jl. Kaliurang Utara 21,56
Jl.Kaliurang Selatan 24,64
Jl.Adisucipto Barat 57,95
Jl.Adisucipto Timur 15,71
Rata-rata 33,20 22,80 23,90 12,20 16,40 18,30 Sumber : Dishubkimfo, 2013.
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa trayek
dengan load factor sangat rendah. Oleh sebab itu efektivitas dari pengoperasian
bus pada beberapa trayek juga menjadi belum optimal. Terlihat bahwa load factor
terbesar hanya 61,11% yang dialami Trayek 2B pada Jl. Kusumanegara menuju
arah Timur, sedangkan load factor terendah berada pada Trayek 3A pada Jl.
Imogiri menuju arah Selatan sebesar 8,00%. Rata-rata dari setiap trayek yaitu
pada trayek 1A sebesar 33,20% dan untuk trayek 1B sebesar 22,80%. Pada trayek
2A load factor sebesar 23,90%, sedangkan untuk trayek 2B hanya sebesar 12,20.
Pada trayek 3A rata-rata load factor sebesar 16,40% dan untuk trayek 3B sebesar
18,30%.
66
Load factor ini juga dapat dikategorikan indikator evaluasi pelaksanaan
kebijakan William Dunn tentang orientasi masa kini dan masa lampau. Dapat
dikatakan load factor ini menjadi acuan bagaimana jumlah, kepadatan shelter, dan
pengguna Trans Jogja dari waktu ke waktu. Apabila rendah prosentasenya, berarti
peminat Trans Jogja masih sedikit, begitupula sebaliknya.
Berkaitan dengan kebijakan, landasan kebijakan Trans Jogja sendiri adalah
Perda No 1 Tahun 2008 serta Undang-undang nomer 22 tahun 2009 tentang
angkutan jalan. Undang undang adalah aturan negara, dikarenakan setiap daerah
mempunyai otonomi daerah, muncullah Perda yang memungkinkan daerah
mengatur dan mengoptimalkan suatu kebijakan itu sendiri. Trans Jogja disini
adalah bentuk otonomi daerah yang mana di dalam undang-undang sudah
tercantum bahwa angkutan umum adalah salah satu transportasi potensial
penggerak perekonomian, sehingga Trans Jogja ini merupakan bentuk
transformasi angkutan dalam kota yang ramah, aman, dan nyaman sesuai dengan
motto Trans Jogja yang juga tercantum dalam Perda.
Pada sisi lain, apabila dilihat dari aspek kelembagaan pengelolaan Trans
Jogja dijalankan oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika DIY. Unit
Pelaksana Teknis Daerah atau UPTD Trans Jogja ialah contracting agency dan
PT. Jogja Tugu Trans ialah operator pengelola bus Trans Jogja.
67
Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013
Gambar 8. Kelembagaan Trans Jogja Eksisting
Selanjutnya, relasi kelembagaan dalam penyelenggaraan Trans Jogja
ditunjukkan pada gambar berikut :
DPRD Prov.DIY
Kontrak
7 tahun
DEWAN PENGAWAS
Sumber: Dishubkominfo DIY, 2013.
Gambar 9 Skema Kelembagaan Trans Jogja
Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta
Unit Pelaksana Teknis Daerah Trans Jogja
PT. JOGJA TUGU TRANS TTRANS (PT. JTT)
DPRD Prov.DIY
Gubernur DIY Organda DIY
PemProv DIY PT. JOGJA
TUGU TRANS
(Operator)
PT. JOGJA TUGU
TRANS
(Operator)
UPTDTrans Jogja OPERATOR
Dishub DIY
68
Berdasarkan Gambar 9 menunjukkan bahwa adanya struktur tersebut,
masing-masing pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Trans Jogja memiliki
tugas dan tanggung jawab yang juga diatur dalam MOU kerjasama, sebagai
berikut:
1) Dewan Pengawas
Dewan pengawas memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian
kerja sama, menetapkan standar kualitas pelayanan, serta mengendalikan
pendapatan dari kegiatan operasionalisasi bus Trans Jogja yang bersumber
dari hasil penjualan tiket. Tugas dewan pengawas tersebut dapat dilihat
ditujukan untuk membuat pelaksanaan tanggung jawab pihak PT. Jogja Tugu
Trans maupun UPTD Trans Jogja tetap pada koridornya masing-masing
sehingga kualitas pelayanan bus Trans Jogja tetap terjaga.
2) Operasional PT. Jogja Tugu Trans
Pengoperasian armada sesuai jumlah, jadwal dan SPM, yaitu tugas dan
tanggung jawab PT. Jogja Tugu Trans untuk memanfaatkan secara optimal
seluruh armada bus Trans Jogja yang telah ditentukan jumlah, jadwal, dan
SPMnya. Jumlah armada bus Trans Jogja saat ini adalah 54 unit yang
dioperasikan mulai pukul 06.00 WIB sampai 22.00 WIB dengan jarak antar
bus maksimal 15 menit. Adapun kewajiban yang harus dilakukan yaitu:
a) Memelihara sarana (kebersihan, kelayakan, kenyamanan sesuai SPM), yaitu
tugas dan tanggung jawab PT JTT untuk memelihara sarana penunjang
pelayanan Trans Jogja sehingga tetap bersih, layak, dan nyaman sesuai SPM
pelayanan yang telah ditentukan.
69
b) Menjamin keamanan dan kenyamanan penumpang, yaitu tugas dan tanggung
jawab PT. Jogja Tugu Trans untuk menyelenggarakan pelayanan bus yang
tidak hanya menjamin kenyamana penumpang, tetapi juga keamanan.
Keamanan yang dimaksud berkaitan dengan keamanan bus dari tindak
kejahatan maupun keamanan dari keselamatan jiwa penumpang;
c) Menggaji sopir bus, yaitu tugas dan tanggung jawab PT. Jogja Tugu Trans
untuk membayarkan hak dari sopir armada bus Trans Jogja sebagai bagian
dari karyawan PT JTT.
3) Operasional Unit Pelaksana Teknis Daerah Trans Jogja
a) Menyediakan dan memelihara prasarana (shelter, bus lane, mesin tiket dll),
yaitu tugas dan tanggung jawab UPTD Trans Jogja untuk menyediakan
prasarana yang diperlukan PT. Jogja Tugu Trans dalam operasionalisasi
pelayanan Trans Jogja.
b) Melakukan promosi, yaitu tugas dan tanggung jawab UPTD Trans Jogja
untuk mempromosikan pelayanan Trans Jogja pada masyarakat, termasuk
upaya untuk bekerja sama dengan pihak lain dalam melakukan promosi
tersebut.
c) Melakukan pengawasan pelaksanaan SPM, yaitu tugas dan tanggung jawab
UPTD Trans Jogja untuk mengawasi pelaksanaan tanggung jawab PT. Jogja
Tugu Trans dalam memenuhi SPM ketika menyelenggarakan pelayanan
Trans Jogja.
70
d) Melakukan pembayaran Biaya Operasional Kendaraan, yaitu tugas dan
tanggung jawab UPTD Trans Jogja untuk membayar BOK yang diklaim oleh
PT JTT sebagai bentuk insentif sesuai ketentuan yang disepakati.
e) Memungut tiket, yaitu tugas dan tanggung jawab UPTD Trans Jogja untuk
menentukan mekanisme tiket, baik harga maupun jenisnya, serta mengelola
seluruh hasil penjualan tiket.
f) Melakukan evaluasi dan pengembangan sistem, yaitu tugas dan tanggung
jawab UPTD Trans Jogja untuk mengevaluasi sistem penyelenggaraan
pelayanan Trans Jogja yang telah dilakukan untuk kemudian merumuskan
perbaikannya.
B. Deskripsi Data Hasil Penelitian
1. Konsep kerjasama penyelenggaraan UPTD Trans Jogja dengan PT.
Jogja Tugu Trans
Kerja sama antara UPTD Trans Jogja Dishubkominfo Pemerintah DIY
dengan PT Jogja Tugu Trans dalam pengelolaan layanan Trans Jogja secara resmi
dimulai sejak tahun 2008 dengan penandatanganan perjanjian kerja sama nomor:
4/PERJ/GUB/II/2008 dan nomor: 31/JTT/G/II-2008 tentang Pengelolaan Sistem
Pelayanan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan
dengan Sistem buy the service di DIY. Perjanjian kerja sama tersebut selalu
diperbaharui setiap tahunnya. Berikut merupakan penuturan pihak PT. Jogja Tugu
Trans mengenai hal tersebut:
“Kontraknya yang kita sepakati selama 7 tahun dari 2008 sampai
2015.Perjanjian kerja sama selama 7 tahun ini menggunakan anggaran dari
APBD. APBD kan ditetapkan pertahun makanya diimplementasikan dalam
kontrak per satu tahun. Jadi tiap tahun kita ada kontrak, karena berkaitan
dengan anggaran tiap satu tahunnya walaupun di perjanjian kerjasama
71
tersebut sudah dianggarkan selama 7 tahun berapa besarnya.” (Wawancara
dengan Bapak Septa pada tanggal 20 Juni 2014).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa kerja sama antara UPTD
Trans Jogja dengan PT. Jogja Tugu Trans disepakati akan berlangsung untuk
jangka waktu 7 tahun, yaitu mulai tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Terkait
dengan penggunaan dana APBD dalam pelaksanaan kerja sama tersebut, maka
dalam hal ini setiap tahun dilakukan penandatanganan kontrak baru di antara
kedua belah pihak meskipun sejak awal anggaran dari APBD telah disepakati
besaran jumlahnya untuk 7 tahun.
Penyelenggaraan bus Trans Jogja dijalankan oleh UPTD Trans Jogja
sedangkan operator yang melayani adalah PT. Jogja Tugu Trans. Pengelolaan bus
Trans Jogja didasarkan pada perjanjian kerja sama tersebut. Apabila dilihat dari
nama perjanjiannya, dapat dilihat bahwa dalam perjanjian kerja sama tersebut
memuat istilah buy the service. Pengertian sistem buy the service dalam perjanjian
kerjasama ini adalah sistem pembelian pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah
DIY kepada operator angkutan perkotaan. Hal demikian menunjukkan bahwa
pelaksanaan kerja sama tersebut diharapkan dapat membuat sistem pengelolaan
bus kota yang sebelumnya berbasis pada sistem setoran menjadi lebih baik dengan
penerapan sistem buy the service.
Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Bus Trans Jogja secara garis besar
mengatur mengenai beberapa hal bahwa para pihak sepakat mengadakan kerja
sama pengelolaan sistem pelayanan angkutan orang di jalan dengan kendaraan
umum wilayah perkotaan dengan sistem buy the service di Daerah Istimewa
72
Yogyakarta. Sementara tujuan dari perjanjian kerjasama pengelolaan bus Trans
Jogja adalah:
a. Memperbaiki sistem transportasi angkutan orang di jalan dengan kendaraan
umum wilayah perkotaan di DIY.
b. Mengurangi kemacetan lalu lintas di wilayah DIY.
c. Meningkatkan keamanan, kenyamanan dan ketepatan waktu dalam pelayanan
angkutan orang di jalan dengan kendaraan umum wilayah perkotaan dengan
sistem buy the service.
d. Memberikan fasilitas kepada masyarakat dalam rangka menyediakan
transportasi yang murah dan terjangkau.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian
dimaksudkan untuk pengelolaan Trans Jogja. Salah satu hal penting yang dapat
dilihat adalah adanya “sepakat mengadakan kerja sama”. Hal demikian
menunjukkan bahwa tidak hanya upaya kerja sama yang telah disepakati untuk
dilaksanakan, tetapi seluruh aturan main dalam kerja sama tersebut juga
merupakan bentuk kesepakatan kedua belah pihak sehingga seharusnya
dilaksanakan dengan baik. Termasuk pula poin-poin dalam perjanjian kerja sama.
Pada sisi lain, beberapa tujuan yang dirumuskan dalam perjanjian kerja sama
tersebut akan menjadi penanda atas keberhasilan dari pelaksanaan kerja sama.
Apabila tujuan tersebut seluruhnya tercapai maka dapat dikatakan kerja sama
berjalan optimal. Sebaliknya, apabila terdapat tujuan yang belum tercapai maka
dapat dikatakan terdapat suatu hal dalam pelaksanaan perjanjian yang belum
berjalan baik.
73
Kerja sama pemerintah DIY dengan PT Jogja Tugu Trans merupakan
tujuan-tujuan penyelenggaraan Trans Jogja. Dalam hal ini justru tidak termuat
tujuan dari pengelolaan hubungan antara pemerintah dan swasta dalam
menyelenggarakan pelayanan transportasi publik secara lebih baik, seperti
misalnya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan angkutan
umum perkotaan. Selain itu, apabila dilihat dari poin-poin tujuan tersebut maka
dapat dilihat penyelenggaraan layanan Trans Jogja didesain untuk dua tujuan
besar, yaitu mengurangi kemacetan dan memperbaiki layanan transportasi bus
umum. Pengawasan internal dilakukan oleh pihak Pemerintah DIY dengan
melihat kesesuaian antara SPM yang ditentukan dengan kinerja PT. Jogja Tugu
Trans dalam mengelola operasionalisasi Trans Jogja. Sementara pengawasan
eksternal dilakukan oleh pihak auditor independen dan publik terhadap hasil audit
kinerja PT. Jogja Tugu Trans.
Tujuan dari kerja sama antara PT Jogja Tugu Trans dengan UPTD Trans
Jogja dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang yang mendasari
pelaksanaan kerja sama tersebut. Menurut pihak UPTD Trans Jogja tujuan kerja
sama untuk operasionalisasi Trans Jogja dapat dilihat pada kutipan wawancara
berikut:
“Tujuan Trans Jogja itu kan jangka pendeknya adalah penyediaan angkutan
yang nyaman, aman, tepat waktu, terjadwal. Sedangkan jangka panjangnya
itu dia harus bisa menjadi sebuah transportasi andalan di kawasan perkotaan
Yogyakarta.” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa tujuan kerja sama antara
PT Jogja Tugu Trans dengan UPTD Trans Jogja dalam hal ini terbagi menjadi
tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Secara jangka pendek, tujuan kerja
74
sama tersebut adalah untuk menyediakan angkutan yang nyaman, aman, tepat
waktu, dan terjadwal. Sementara tujuan jangka panjangnya adalah untuk
menyediakan suatu transportasi andalan di kawasan perkotaan Yogyakarta. Dapat
dilihat bahwa dalam hal ini pihak UPTD Trans Jogja lebih menilai kerja sama
dengan PT Jogja Tugu Trans sebagai salah satu upaya dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat akan transportasi umum yang nyaman, aman, tepat waktu,
dan terjadwal.
Berbeda dengan penuturan pihak UPTD Trans Jogja tersebut, dalam hal ini
pihak PT Jogja Tugu Trans lebih menilai bahwa tujuan dari kerja sama antara PT.
Jogja Tugu Trans dengan UPTD Trans Jogja lebih cenderung berkaitan dengan
berbagai hal negatif dari pengelolaan bus kota yang ada sebelumnya. Hal
demikian dituturkan oleh pihak PT Jogja Tugu Trans sebagai berikut:
“… Trans Jogja itu berfungsi merevolusi angkutan kota yang tadinya
dahulunya berbasis setoran dengan sifat pelayanannya yang seperti itu, yang
banyak negatifnya lah, yang banyak dikeluhkan, yang bikin ugal-ugalan,
yang bikin polusi udara. Diganti dengan sistem Trans Jogja yang
berorientasi pada pelayanan dan yang lebih ramah lingkungan.” (wawancara
dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa dalam hal ini pihak PT.
Jogja Tugu Trans lebih melihat tujuan kerja samanya dengan UPTD Trans Jogja
guna memperbaiki kinerja angkutan kota yang ada sebelumnya. Hal demikian
menunjukkan bahwa PT. Jogja Tugu Trans menilai tujuan utama dari pelaksanaan
kerja sama adalah untuk mencapai pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat.
Lebih lanjut pihak PT Jogja Tugu Trans menyatakan hal sebagai berikut:
“… yang dulu angkutan kota itu mungkin dari masing-masing koperasi
berjalan sesuai dengan yang sudah ada, kita menyebutnya angkutan reguler
yang berbasis setoran, nah sekarang kita dikontrak pemerintah yang bukan
75
berbasis setoran artinya kita tidak memikirkan berapa jumlah penumpang
yang diangkut, kita hanya disuruh melayani dari jam setengah enam pagi
sampai jam setengah sepuluh malam terus begitu saja. Nanti atas pelayanan
itu kita dibayar oleh pemerintah berdasarkan kilometer tempuhnya bukan
jumlah penumpangnya.” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
Kutipan wawancara tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pihak PT.
Jogja Tugu Trans memandang tujuan utama kerja samanya dengan pihak UPTD
Trans Jogja adalah untuk meningkatkan pelayanan angkutan kota yang ada
sebelumnya. Peningkatan pelayanan tersebut dilakukan dengan upaya mengubah
sistem angkutan berbasis setoran dengan sistem pelayanan angkutan berdasarkan
kilometer tempuh. Hal tersebut kembali ditegaskan oleh pihak PT. Jogja Tugu
Trans sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:
“Ya kunci utamanya itu pelayanan. Sistem Trans Jogja itu kan buy the
service artinya pemerintah membeli pelayanan, hal itu untuk memberikan
kepastian kepada masyarakat, kita yang melayani, pemerintah membeli
pelayanan kepada kita, yang kita layani adalah masyarakat, kita dikontrak
oleh pemerintah untuk melayani itu. Dan tujuan utamanya adalah untuk
pelayanan angkutan itu, ya untuk melayani masyarakat. Meningkatkan
pelayanan kualitas yang dulu seperti itu sekarang dicoba seperti ini.”
(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
Penuturan pihak PT. Jogja Tugu Trans dalam kutipan wawancara tersebut
semakin memperjelas bahwa dari segi pandangan secara luas sudah ada perbedaan
tujuan, sehingga dimungkinkan akan menjadi kendala yang berarti untuk
kemajuan Trans Jogja apabila tidak segera diluruskan. Terlebih ini adalah masa
akhir PT. Tugu Trans yang nantinya akan berakhir pada tahun 2015.
76
2. Pelaksanaan Kebijakan Trans Jogja
Proses pelaksanaan dalam suatu kebijakan merupakan salah satu aspek
yang menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Proses pelaksanaan
merupakan salah satu tahap yang penting dimana untuk mengukur keberhasilan
suatu kebijakan yang nantinya apabila menemui kendala ataupun masalah dapat di
evaluasi untuk keberlanjutan yang lebih baik. Penyelenggaraan juga harus
mempersiapkan tujuan dan secara matang dengan tahapan-tahapan apa saja yang
perlu ditempuh dalam mencapai tujuan tersebut.
Sistem buy the service diimplementasikan menuntut adanya pembelian
layanan angkutan umum Trans Jogja oleh pemerintah dari operator. Operator
merupakan badan usaha yang berdasarkan sistem lelang dipilih sebagai
penyelenggara layanan angkutan umum Trans Jogja pada rute yang telah
disediakan. PT. Jogja Tugu Trans adalah satu satunya operator yang
menyelenggarakan layanan angkutan umum Trans Jogja saat ini. Pemerintah DIY,
dalam hal ini Dinas Perhubungan yang dinaungi oleh UPTD Trans Jogja menjalin
kerjasama dengan PT. Jogja Tugu Trans dengan perjanjian Gross Kontrak yang
dituangkan dalam dokumen Perjanjian Kerjasama Sama (PKS). PKS tersebut
mengalami pembaharuan setiap tahunnya. Penyelenggaraan layanan angkutan
umum yang belum optimal mengakibatkan menurunnya minat para calon
pengguna layanan angkutan umum. Hal tersebut menyebabkan okupansi
penumpang belum dapat menghasilkan pendapatan dari tiket yang dapat menutup
biaya operasional Trans Jogja.
“Pelaksanaan Trans Jogja memang sudah hampir 7 Tahun ini, dari segi
implementasi memang sudah cukup, kami beserta operator selalu
77
mengoptimalkan dan berupaya seiring waktu berjalan agar Trans Jogja
menjadi angkutan primadona di daerah sendiri.” (Wawancara dengan Etik
Esti Mayati, 20 Mei 2014).
Tujuan utama dari penyelenggaraan layanan Trans Jogja adalah
mendorong pengguna kendaraan bermotor pribadi, baik mobil dan sepeda motor,
untuk berpindah menggunakan Trans Jogja. Dengan demikian, efektivitas
penyediaan layanan bus angkutan umum massal Trans Jogja tidak hanya
bergantung pada kualitas layanan semata, tetapi juga integrasi berbagai program
yang diarahkan untuk mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan
kendaraan bermotor pribadi.
Dalam kurun waktu hampir 7 tahun ini, pemerintah provinsi
mempercayakan Dinas Perhubungan yang difokuskan oleh UPTD Trans Jogja
untuk menunjuk operator, dan satu-satunya operator Trans Jogja yang terpilih
adalah PT. Jogja Tugu Trans.
“Kita menunjuk PT. Jogja Tugu Trans sebagai operator Trans Jogja yang
telah di kontrak selama 7 Tahun dengan periode 2008-2015, itupun bisa
diperpanjang atau tidak, tergantung keputusan pemerintah daerah nantinya
dan hasil kinerja PT. Jogja Tugu Trans sendiri yang menunjukkan”
(Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
Dalam perjalanannya Trans Jogja mengalami pasang surut
perkembangannya. Peristiwa seperti ini lumrah terjadi, hanya saja yang perlu
dikaji adalah ketika dalam posisi dan kondisi baik dan stabil dapat bertahan atau
ditingkatkan lebih baik lagi. Terlebih Trans Jogja ini, yang sudah merupakan
transportasi andalan, sudah seyogyanya selalu memantau setiap pelaksanaan yang
terjadi, sehingga kekurangan dan masukan dapat tertampung dan dievaluasi yang
memunculkan solusi yang tepat guna.
78
UPTD Trans Jogja yang berkolaborasi dengan PT. Jogja Tugu Trans
memberikan hasil yang cukup baik dalam segi pelaksanaannya, hanya saja
terdapat beberapa hal yang menjadi catatan misalnya catatan load factor, kondisi
armada dan shelter, ketepatan waktu tersebut dapat menjadi salah satu hal yang
menjadi kendala dalam penyelenggaraan Trans Jogja karena pada dasarnya
fasilitas publik yang menjadi sorotan paling tajam adalah infrastruktur fisiknya,
dan aspek internal pasti akan dipandang setelahnya. Baik buruknya pelaksanaan
hingga akhirnya proses evaluasi kebijakan Trans Jogja juga ditentukan dari
bagaimana kolaborasi dan kerjasama antara UPTD Trans Jogja dan PT. Tugu
Trans selaku operator.
3. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Trans Jogja
Berdasarkan fakta-fakta di lapangan yang terjadi, diperlukan evaluasi
pelaksanaan menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan layanan angkutan
umum Trans Jogja. Kebutuhan untuk mengevaluasi kinerja Trans Jogja dimulai
dari konsep dasarnya menjadi penting mengingat konsep dasar tersebut
merupakan dasar bagi penerapan sistem secara keseluruhan. Evaluasi kinerja dan
prasyarat implementasi Trans Jogja dengan sistem buy the servise menjadi
langkah awal sebelum melakukan perbaikan untuk meningkatkan kinerja Trans
Jogja kedepan.
Dalam agendanya, seluruh aktor yang terlibat mengadakan rapat tahunan,
yang biasanya membahas kinerja selama setahun berjalannya pelaksanaan Trans
79
Jogja. Agenda ini rutin, dan difungsikan mengetahui tolok ukur dan problematika
di setiap tahunnya.
“Rapat evaluasi pertama dilakukan di tahun 2010, untuk setelahnya kita
biasanya melakukan evaluasi setiap setahun sekali dengan waktu antara
bulan Oktober atau September.” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20
Mei 2014).
“Dalam setiap rapat evaluasi biasanya diikuti oleh UPTD Trans Jogja
sendiri dan dihadiri PT. Jogja Tugu Trans serta pemerintah daerah, sebelum
rapat digelar biasanya kita sudah mempunyai pandangan hasil survey
tentang Trans Jogja yang biasanya dilakukan oleh Pustral UGM yang mana
akan dijadikan tolak ukur, yang mana menjadi pihak independent”
(Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
“Rapat evaluasi biasanya membahas tentang penegasan dan pembaharuan
kerjasama, laporan operasional per periode, laporan anggaran, dan gagasan
kebijakan serta problematika yang terjadi selama satu periode ” (Wawancara
dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
Rapat evaluasi ini rutin diselenggarakan, dengan harapan segala
problematika dan masalah yang terjadi selama setahun dapat menemukan solusi
terbaik, dan untuk tahun kedepannya menjadi lebih efektif dan pembaharuan ke
arah yang lebih baik untuk Trans Jogja. Akan tetapi, manfaat dari rapat evaluasi
ini terkadang kurang dirasakan karena kebijakan bersifat top-down, usulan atau
gagasan yang bersifat bottom-up memiliki respon yang cenderung lambat dan sulit
untuk mendapatkan jalan keluar yang solutif.
“Tidak sedikit kami melayangkan usulan, tentang nasib SDM, usulan
anggaran dan masih banyak lagi, akan tetapi respon dari pemerintah pusat
kurang apresiatif dalam menanggapinya, terkadang malah muncul kebijakan
baru yang mana kebijakan lama belum menemukan solusi yang tepat”
(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
Sementara itu, di sisi lain pihak UPTD Trans Jogja menilai bahwa
permasalahan mengenai penurunan pendapatan yang dialami PT. Jogja Tugu
80
Trans lebih karena kinerja perusahaan tersebut yang memang belum optimal.
Berikut merupakan penuturan pihak UPTD Dishubkominfo DIY mengenai hal
tersebut:
“Rencana kedepannya Trans Jogja nanti ada empat operator atau multi
operator. Hal ini disebabkan karena selama ini dinilai masih terdapat
kendala yang dialami oleh PT Jogja Tugu Trans yang dirasa kurang optimal
dalam memberikan pelayanan sehingga harus dibentuk pesaing yang di
dalamnya terdapat PT Jogja Tugu Trans.” (wawancara dengan Ibu Etik Esti
Mayati, 20 Mei 2014).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut pihak UPTD
Trans Jogja, penurunan pendapatan yang dialami PT. Jogja Tugu Trans terjadi
karena kinerja perusahaan yang memang belum optimal. Sementara itu,
perusahaan tersebut adalah satu-satunya perusahaan yang menangani kegiatan
operasional bus Trans Jogja. Oleh sebab itu, guna meningkatkan daya kompetitif
dari PT. Jogja Tugu Trans maka solusi yang diterapkan adalah penambahan
perusahaan yang akan menjadi operator bus Trans Jogja. Hal demikian diharapkan
dapat meningkatkan daya saing setiap perusahaan sebagai operator bus Trans
Jogja sehingga kinerja perusahaan lebih optimal dan kualitas pelayanan dapat
ditingkatkan.
Berikut merupakan penuturan dari pihak UPTD Trans Jogja mengenai hal
tersebut:
“Standar Operasional Prosedur sejauh ini sebenarnya sudah dipenuhi. Tapi
ada juga yang belum, terutama tentang waktu tempuh itu sering lewat ya.
Poin SOP yang lain saya rasa sudah dipenuhi. Hanya yang belum
sepenuhnya maksimal itu untuk standar kendaraan. Tapi Ada beberapa
armada yang sebenarnya memang perlu perawatan lebih. Tapi itukan dari
awal sudah disepakati menjadi bagian tanggung jawab PT. Jogja Tugu
Trans” (wawancara dengan Ibu Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
81
“Terus terang untuk SOP yang paling sulit dipenuhi saat ini itu tentang
standar waktu tempuh. Tetapi sebenarnya ini memerlukan campur tangan
pemerintah untuk solusinya sebab akar masalahnya itu kan jalanan yang
semakin padat. Berbeda dengan Jakarta yang punya jalan sendiri, kita tidak
punya jalan sendiri. Jadi otomatis kalau semakin jalanan padat ya
mempengaruhi waktu tempuh bus. Akhirnya kilometer tempuh bus
berkurang, BOK berkurang, penerimaan PT Jogja Tugu Trans berkurang.”
(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa
penyelenggaraan layanan Trans Jogja terkait waktu tempuh tiap bus belum
sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan baik oleh PT. Jogja Tugu Trans.
Bahkan dalam kutipan wawancara tersebut juga dapat diketahui bahwa semakin
lama semakin sulit untuk mengimplementasikan standar waktu tempuh Trans
Jogja sebab bus Trans Jogja tidak memiliki jalur khusus. Oleh sebab itu ketika
volume kendaraan di jalanan meningkat semakin hari akan semakin membuat PT.
Jogja Tugu Trans kesulitan mencapai standar waktu tempuh. Dampaknya tidak
hanya dirasakan oleh penumpang, tetapi juga oleh PT. Jogja Tugu Trans sendiri.
Hasil rapat evaluasi pelaksanaan terbaru yang didapat bahwasanya, akan
ada penambahan armada dan pelebaran jalur koridor serta shelter. Ini
memungkinkan bahwa cakupan Trans Jogja tidak hanya mencakup kawasan kota
lagi, akan tetapi merambah daerah Bantul dan Sleman, berikut mengenai hal
tersebut:
“...Rencana kedepan, akan ada shelter nomaden, maksudnya shelter yang
menyerupai truck terbuka yang didesain seperti shelter pada umumnya.
Shelter dan koridor pun direncanakan akan diperluas tidak hanya dikota
akan tetapi merambah di daerah Bantul dan Sleman, dan pastinya harus
dibarengi dengan penambahan armada. Ini dimaksudkan karena tidak bisa
dipungkiri transportasi massal di Jogja sangat minim dan hanya Trans Jogja
ini. Dan kebijakan itu akan kami namakan New Trans Jogja ” (wawancara
dengan Ibu Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
82
Berdasarkan tolok ukur teori evaluasi kebijakan William Dunn, evaluasi
dibagi menjadi 4 karakteristik antara lain fokus nilai, interdependensi fakta
nilai,orientasi masa kini dan lampau, dan dualitas nilai. Dalam pengertian fokus
nilai, dapat diartikan bahwa tujuan dan target dari kebijakan Trans Jogja. Evaluasi
terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial
kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi
mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.
“Dalam hal ini, kami dibarengi dengan operator sudah berusaha secara
optimal untuk Trans Jogja ini, tapi ya tidak bisa dipungkiri kendaraan pribadi
lebih cepat berkembang dan lebih diperhatikan oleh pemerintah dibandingkan
Trans Jogja yang difungsikan untuk transportasi massal. Secara tidak langsung
citra transportasi massal menjadi berkurang karena kemudahan dan akses
kendaraan pribadi yang lebih banyak dan mudah” (Wawancara dengan Etik Esti
Mayati, 20 Mei 2014).
“Kondisi jalan yang semakin ramai dan padat pula, ketercapaian waktu
tempuh menjadi hal yang sulit kita raih, sehingga kadang banyak complain
tentang waktu tunggu, tapi ya bagaimana lagi, Trans Jogja tidak punya jalur
sendiri, dan tidak dimungkinkan mempunyai jalur sendiri, karena jalan-jalan di
Jogja yang terbatas. (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
Interdependensi fakta nilai dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
ketercapaian kebijakan serta hasil hasil dari kebijakan Trans Jogja. Oleh karena
itu pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
“ Trans Jogja ini memberikan pembaharuan bagi Yogyakarta dalam
transportasi umum, dari sistem pun berubah yang dulunya sistem setoran di Trans
Jogja sekarang ini menjadi buy the servise, sistem pemberhentian yang jelas
ditandai dengan adanya shelter. Bus pun kita buat senyaman mungkin, ditunjang
dengan AC dan tulisan tempat pemberhentian.” (Wawancara dengan Etik Esti
Mayati, 20 Mei 2014).
“Akan tetapi kami juga tidak bisa mengelak bahwa SDM kami masih
kurang, terlebih masalah utama adalah anggaran yang tidak menyesuaikan dengan
keadaan terbaru. Sehingga peraturan yang ada terkadang tidak seiring dengan
biaya yang dikeluarkan.” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
83
Seperti yang tercantum di teori Dunn, orientasi waktu pun diperhatikan. Ini
dimaksudkan agar ada tolok ukur dan perbandingan. Evaluasi bersifat retrospektif
dan setelah aksi-aksi dilakukan. Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis
nilai, bersifak prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan.
“Orientasi waktu dari dulu sampai sekarang masih kami pakai buat acuan.
Karena secara tidak langsung itu menjadi tolok ukur nantinya bahwa kebijakan
Trans Jogja ini akan dibenahi dalam segi yang memang perlu dibenahi, terlebih
masalah meningkatkan minat untuk menggunakan Trans Jogja. Orientasi juga bisa
menjawab apakah kebijakan Trans Jogja berhasil ataupun tidak dalam segi
implementasinya” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
“Orientasi yang dirasakan dari waktu ke waktu adalah peminat Trans Jogja
yang masih minim. Padahal tidak bisa dipungkiri, meskipun Trans Jogja di
subsidi, penjualan tiket tetap menjadi masukan dana bagi Trans Jogja.
Dalam sebuah kebijakan, sering ditemui tujuan ganda dan cara ganda dari
hasil yang diharapkan. Sehingga dengan fungsi dan manfaat ganda diharapkan
pelaksanaan kebijakan dapat lebih menyeluruh dan multi guna.
“Dalam hal ini, Trans Jogja mempunyai program smartcard, ini sebenarnya
adalah cara kami dalam menggaet para pelajar maupun mahasiswa agar lebih
enjoy dan mau menggunakan Trans Jogja. Dengan harga yang beda dan relatif
murah sesuai kemampuan siswa dan mahasiswa. Sistem deposit juga
diberlakukan, sehingga mereka tidak perlu membayar ketika naik Trans Jogja,
hanya menunjukkan kartu, ketika saldo habis tinggal deposit lagi. Begitu pula
seterusnya.” (Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
Memang sudah seharusnya sebuah kebijakan berkembang dan di evaluasi
pelaksaan serta memberikan cara tersendiri dalam setiap waktu dan perubahannya,
sehingga selalu bermunculan gagasan dan ide pembaharuan dari sebelumnya yang
dapat menjadi inovasi dan perbaikan suatu kebijakan serta dapat menjadi jawaban
jitu dalam setiap problematikanya. Penambahan armada, perluasan koridor dan
shelter memang dituntut seiring laju perkembangan DIY yang semakin pesat dan
untuk pengoptimalan Trans Jogja.
84
4. Ketercapaian Pemecahan Masalah
Setelah hampir 7 tahun beroperasi, Trans Jogja tidak luput dari
problematika yang terjadi. Problematika ini mencakup berbagai aspek yang dibagi
menjadi dua aspek mendasar yaitu yang pertama adalah aspek internal, yang
kedua adalah aspek ekternal. Problema ini pun harus menemukan solusi dan jalan
keluar agar nantinya sebuah porblematika tidak menjadi sebuah masalah dan
perbaikan mutlak dilakukan agar Trans Jogja dapat terus berkembang.
Problematika pertama adalah aspek internal. Aspek internal sendiri adalah
aspek problematika yang terjadi di instansi itu sendiri, yaitu antara UPTD Trans
Jogja dan PT Jogja Tugu Trans, problematika internal yang dirasakan adalah
tentang landasan hukum dan sanksi yang kurang tegas dalam penegakannya.
Minimnya perawatan dari PT Tugu Trans dan monitoring dari UPTD sendiri
merupakan masalah yang harus ditanggapi dan dibenahi. Dalam peraturan, PT.
Jogja Tugu Trans selaku operator harus menaati dan komitmen terhadap standart
yang diterapkan dan peraturan yang telah disepakati secara bersama-sama, berikut
adalah tabel standart kendaraan:
85
Tabel 5. Standar Kendaraan yang Harus Dipenuhi PT JTT
No Aspek Keterangan
Exterior
1 Bodi Tanpa kerusakan, cat tidak rusak/pudar
2 Kaca Kaca pintu/jendela bersih, tidak rusak
3 Identitas Terpasang dengan tulisan jelas (nomor
kendaraan, papan trayek, tanda informasi
pengaduan)
4 Pintu Pintu utama & darurat baik, panel baik, cat tidak
rusak
5 Papan Trayek Terpasang di depan dan belakang, mudah dilihat,
dilengkapi lampu
6 Lampu Semua lampu berfungsi normal
Intertior
7 Kabin Tanpa kerusakan dan bersih
8 Jok Tanpa kerusakan, bersih, kuat, ada jok untuk
difabel
9 Handle Pegangan untuk penumpang berdiri terpasang
kuat Sumber: Dokumen kerjasama PT JTT-PemProv DIY (2013)
Sementara itu, untuk syarat umum kendaraan yang harus dipenuhi oleh PT
JTT adalah sebagai berikut:
a. Alat pemadam kebakaran api ringan berfungsi dengan baik;
b. Palu pemecah kaca;
c. Ban cadangan;
d. Alat pendingin udara (suhu udara di kabin harus berada pada temperatur
stabil yaitu 200C);
e. Kotak Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) standar.
Dalam hal ini informasi tentang ketercapaian standar kendaraan dan syarat
umum kendaraan tidak diketemukan data yang mendukung. Dapat diindikasikan
bahwa kedua belah pihak antara UPTD dan PT. Jogja Tugu Trans tidak
86
menganggap penting dalam ketercapaian standar kelengkapan. Pelanggaran yang
dilakukan pun dirasa tumpul sanksi, padahal sudah disepakati kedua belah pihak.
“Kami selaku operator selalu berupaya untuk mengoptimalan kinerja Trans
Jogja, akan tetapi keterbatasan SDM dan anggaran yang diberikan
membatasi kami dalam hal-hal yang sudah diatur sebelumnya, dalam hal
penanganan sarana Trans Jogja itu, yang penting adalah hal yang bersifat
mendesak dan harus diperbaiki” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli
2014).
Aspek pengawasan atau monitoring salah satunya dapat dilihat dari
kesepakatan sanksi yang diberikan pada operator apabila tidak memenuhi SPM
yang telah ditentukan. Apabila terdapat kondisi armada yang tidak memenuhi
kriteria dalam hal ini diartikan sebagai tindakan pelanggaran oleh PT. Jogja Tugu
Trans sehingga operator Trans Jogja tersebut akan dikenai sanksi. Berikut
merupakan beberapa sanksi apabila tidak mematuhi SPM terkait kendaraan:
Tabel 6. Sanksi untuk PT JTT Apabila Melanggar Standar Kendaraan
No Deskripsi Pelanggaran Sanksi
1 Bus dalam keadaan kotor Denda Rp 500.000/bus/hari
2 Peralatan penunjang
keselamatan tidak berfungsi
Denda Rp 1.000.000/bus/hari
3 Suhu udara dalam kabin lebih
dari 280 C
Kilometer tempuh bus bersangkutan
hanya dihitung 50% dari kilometer
tempuh yang dicapai
4 Identitas bus atau indentitas
awak bus tidak ditampilkan
Denda sebesar Rp 100.000 per
pelanggaran
5 Kerusakan pada perlengkapan
interior bus
Denda Rp 100.000/item
kerusakan/hari
6 Kerusakan pada pintu bus Denda sebesar Rp 1.000.000/bus Sumber: Dokumen kerjasama PT JTT-PemProv DIY (2013)
Tabel tersebut menunjukkan beberapa sanksi yang harus diterima oleh PT.
Jogja Tugu Trans apabila terdapat standar kendaraan yang tidak dipenuhi dalam
operasionalisasi bus Trans Jogja. Dapat dilihat bahwa sanksi yang diatur cukup
beragam. Mulai dari kebersihan bus, peralatan penunjang keselamatan dalam bus,
87
kelengkapan identitas bus maupun awak bus, interior bus, bahkan pintu bus juga
diatur sanksinya apabila terdapat kerusakan. Sementara sanksi yang diatur sbagian
besar merupakan sanksi berupa denda, namun adapula sanksi berupa pengurangan
kilometer tempuh yang tercatat.
Hal demikian juga dibenarkan oleh pihak PT. Jogja Tugu Trans yang
mengungkapkan bahwa terdapat hambatan dalam pemenuhan standar kendaraan.
Berikut adalah kutipan wawancara yang menunjukkan hal tersebut:
“Tidak saya pungkiri kalau memang terdapat beberapa armada yang seiring
berjalannya waktu memerlukan perawatan lebih. Tapi kan BOK tidak
kunjung disesuaikan. Jadi ya PT. Jogja Tugu Trans mau merawat dengan
baik dari mana dananya. Selama ini yang jelas kami sudah mengupayakan
semaksimal mungkin untuk perawatan agar armada tetap layak jalan.”
(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
“Kami selalu memonitoring keadaan dan kondisi bus sebelum bus
beroperasi setiap pagi harinya. Dan kami mempunyai bus cadangan. Ini
dimaksudkan agar jumlah armada tetap sama dan tidak menganggu
perputaran trayek. Pengisian bahan bakar kami lakukan setiap malam hari
setelah bus selesai beroperasi, sehingga di pagi harinya dapat beroperasi
tepat di waktunya juga”(wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa untuk standar kendaraan
dalam SPM pelayanan belum sepenuhnya mampu dipenuhi oleh PT. Jogja Tugu
Trans. Alasan mendasar dalam hal ini adalah jumlah BOK yang tidak lagi
mencukupi untuk perawatan armada bus saat ini. Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, pada satu sisi BOK diberikan dalam jumlah tetap dan hanya diubah
apabila terjadi perubahan harga BBM. Pada sisi lain, armada bus Trans Jogja
seiring berjalannya waktu memerlukan biaya perawatan yang lebih besar. Oleh
sebab itu, semakin hari yang terjadi adalah armada bus Trans Jogja menjadi
semakin tidak terawat dengan baik akibat keterbatasan biaya.
88
Sementara itu, beberapa denda yang harus diterima PT. Jogja Tugu Trans
apabila melanggar SPM tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Sanksi untuk PT JTT Apabila Melanggar Standar Kendaraan
No Deskripsi Pelanggaran Sanksi
1 Pengemudi menaikkan/menurunkan
penumpang selain di shelter tanpa
instruksi ruang kendali utama
Denda Rp 500.000/bus/lokasi
pelanggaran
2 Bus berputar arah dari rute yang
ditentukan tanpa petunjuk ruang
kendali utama
Denda Rp
1.000.000/bus/pelanggaran
3 Melakukan operasi dan layanan di
luar waktu operasi tanpa
persetujuan Dishubkominfo
Denda Rp 2.500.000/bus;
kilometer tempuh tidak
dihitung
4 Tidak memenuhi jumlah bus
operasi sesuai kesepakatan
Denda Rp 1.000.000/bus
5 Tidak parkir di lokasi yang telah
disediakan
Denda Rp
500.000/bus/pelanggaran
6 Keterlambatan dimulainya
pelayanan operasional armada bus
tanpa alasan/ di luar kondisi darurat
Pengurangan kilometer tempuh
sebesar 1 round trip tiap
pelanggaran pada hari tersebut Sumber: Dokumen kerjasama PT JTT-PemProv DIY (2013)
Berdasarkan data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat berbagai
jenis denda dan ketentuan pelanggaran. Ketentuan mengenai mekanisme sanksi
dan SPM yang harus dipenuhi tersebut dapat dikatakan merupakan wujud kontrol
atau pengendalian atas kinerja dari PT. Jogja Tugu Trans dalam operasionalisasi
bus Trans Jogja. Selain berkaitan dengan ketentuan sanksi atas pelanggaran SPM
yang telah diuraikan, pengawasan dalam hal ini juga dilakukan dengan bentuk
audit.
“Operator bus Trans Jogja wajib untuk diaudit setiap tahun. Audit kinerja
dilakukan setelah berakhirnya tahun anggaran oleh auditor independen.
Hasil dari audit yang dilakukan tersebut akan menjadi dokumen publik yang
nantinya bisa menjadi pandangan dan tolak ukur persepsi
publik”(Wawancara dengan Etik Esti Mayati, 20 Mei 2014).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa pengawasan dalam
hal ini dibedakan menjadi pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan
89
internal dilakukan oleh pihak Pemerintah DIY dengan melihat kesesuaian antara
SPM yang ditentukan dengan kinerja PT. Jogja Tugu Trans dalam mengelola
operasionalisasi Trans Jogja. Sementara pengawasan eksternal dilakukan oleh
pihak auditor independen dan publik terhadap hasil audit kinerja PT. Jogja Tugu
Trans.
Permasalahan mengenai manajemen sumber daya manusia dalam PT.
Jogja Tugu Trans tersebut dalam hal ini juga dibenarkan. Berikut merupakan
keterangan dari pihak PT Jogja Tugu Trans mengenai hal tersebut:
“Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam manajemen sumber daya manusia
kami masih mengalami hambatan. Kembali lagi ini terkait dengan masalah
belum disesuaikannya BOK jadi memang ada keterbatasan anggaran. Disaat
awal kontrak karyawan, didalam kontrak jelas tertulis besaran gaji yang
akan didapat perbulannya dan gaji ini sudah diatas UMR, namun karena
kami mengalami keterbatasan dalam anggaran, maka ada gaji karyawan
yang akhirnya dipotong untuk menutupi biaya operasionalisasi armada dan
disisi lain bila dilihat pertahunnya gaji belum mengalami kenaikan dan hal
ini dimanfaatkan oleh segelintir oknum untuk menghasut karyawan yang
sebenarnya bila dilihat nilai besaran gaji karyawan sudah diatas UMR
Karyawan menuntut adanya kenaikan gaji dan sampai sekarang belum bisa
direalisasikan. Tuntutan juga datang dalam hal peningkatan status pegawai
kontrak menjadi pegawai tetap.” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli
2014).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa hambatan dalam
manajemen sumber daya manusia di PT. Jogja Tugu Trans berkaitan dengan
keterbatasan anggaran yang ada. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa
PT. Jogja Tugu Trans telah mengajukan penyesuaian BOK namun belum
ditindaklanjuti. Dapat dilihat bahwa dalam hal ini PT. Jogja Tugu Trans menilai
bahwa hal demikian kemudian berdampak pula pada munculnya masalah di
bidang pengelolaan sumber daya manusia karena terbatasnya dana yang ada.Yang
kedua adalah sektor ekternal, tidak sedikit mengalami problematika, antara lain
90
dengan moda Transportasi massal yang lebih dahulu muncul, antara lain
KOPATA dan KOBUTRI. Keberadaan mereka semakin tersisihkan dengan moda
transportasi yang lebih baik dan lebih baru serta nyaman. Meskipun itu sudah
menjadi hukum alam, akan tetapi nasib dan keberadaannya harus jelas dan
diperhatikan.
“ Kami menggabungkan dan bekerjasama dengan koperasi yang lama ke
PT. Tugu Trans, sehingga awak bus dan sopir tidak kehilangan mata
pencahariannya dan dapat menjadi bagian dari Trans Jogja itu sendiri, solusi
ini kita pilih agar tidak ada yang merasa dirugikan” (wawancara dengan
Bapak Sebta, 20 Juli 2014).
Dinas Perhubungan umumnya, dengan UPTD sebagai bidangnya
berkoalisi dengan PT. Jogja Tugu Trans menjadikan komitmen problematika ini
harus mendapatkan jalan keluar terbaik tanpa merugikan satu sama lain. Solusi
menggabungkan dan bekerja sama ini lah yang diambil untuk mengatasi
keresahan dan kebimbangan koperasi dan awak-awaknya yang mana dahulu
bermata pencaharian serupa, hanya jenis transportasinya saja yang berbeda.
Sebelum problematika ini menemui jalan keluar, sempat terjadi unjuk rasa besar-
besaran terjadi di DIY dengan memblokir jalan dan bus-bus mogok berhenti
operasi.
“Banyak ditemui bus Trans Jogja yang mengemudi secara ugal-ugalan ugal-
ugalan di jalan, dan asap bus yang hitam pekat” (wawancara dengan Cipta,
penumpang Trans Jogja, 29 Juli 2014).
“Terkadang, karena jalan di Jogjakarta yang semakin padat dan macet di
jam jam kerja, pada jam-jam itu sering supir bis mengemudi secara arogan,
memang ketepatan waktu itu paling utama, akan tetapi keselamatan
penumpang adalah yang utama” (wawancara dengan Hanako, penumpang
Trans Jogja, 29 Juli 2014).
91
“Pelayanan yang diberikan kadang terkesan setengah hati, terkadang ada
yang sambil bermain hape, kadang juga kurang senyum” wawancara dengan
Efi, penumpang Trans Jogja 30 Juli 2014).
Lain hal dengan sumber daya manusianya, sarana terdahulu pun juga harus
diperhatikan, mengingat bus adalah salah satu aset transportasi itu sendiri. Bus-
bus Kopata dan Kobutri yang sudah berumur dan berdampak kurang baik bagi
lingkungan juga harus diperhatikan nasibnya. Akan tetapi UPTD Trans Jogja
memberikan sebuah solusi.
“Bus-bus seperti Kopata dan Kobutri yang sudah tidak difungsikan dan
tidak dioperasionalkan juga kita hargai, dengan dua bus Kopata dapat
menjadi satu bus Trans Jogja, kurang dan lebihnya akan kami tanggung dan
kita negoisasikan dengan atasan” (wawancara dengan Bapak Sebta, 20 Juli
2014).
Ternyata PT. Jogja Tugu Trans pun memberikan tawaran yang cukup baik
terhadap rekan koperasi, yaitu dengan mengganti bus-bus lama dengan yang baru.
Selain keberadaannya yang sudah tidak layak jalan, asap polusi yang dapat
mengakibatkan dampak yang tidak baik bagi lingkungan, setidaknya bus-bus itu
dapat berharga dan menjadi berguna kembali, meskipun menjadi bentuk yang baru
dan berbeda. Sekarang meskipun masih ada bus-bus KOPATA dan KOBUTRI
yang beroperasi, namun skalanya hanya sedikit sekali yang masih beroperasi.
Kebanyakan sudah beralih fungsi menjadi bus pariwisata dan angkutan khusus
kota.
5. Faktor Pendukung Pelaksanaan Trans Jogja
Selain beberapa hal yang disampaikan diatas, terdapat faktor pendukung
pelaksanaan Trans Jogja. Faktor pendukung diantaranya:
92
a. Adanya tempat menyampaikan aspirasi dan keluhan masyarakat yang
ditampung lewat costumer center, penyampaian dapat melalui telepon atau
datang langsung ke Dishubkimfo UPTD DIY.
b. Dukungan dan desakan opini publik masyarakat serta konsumen Trans Jogja
akan kemajuan dan keberlangsungan moda transportasi massal ini sangat
besar, terlebih Trans Jogja menjadi transportasi massal unggulan DIY.
6. Faktor Penghambat PelaksanaanTrans Jogja
Meskipun penyelenggaraan evaluasi kebijakan Trans Jogja berjalan
dengan baik namun tentunya terdapat faktor penghambat diantaranya:
a. Kurang tanggapnya tindakan instansi baik UPTD Trans Jogja ataupun PT.
Jogja Tugu Trans akan keluhan dan aspirasi dari masyarakat dan konsumen
bagi keberlangsungan Trans Jogja.
b. Mekanisme pengambilan keputusan yang relatif lama, karena
penyelenggaraan Trans Jogja merupakan kegiatan yang sifatnya terpadu
sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan harus
berkoordinasi dengan baik dalam mengambil suatu langkah kebijakan.
c. Dasar hukum dan kebijakan yang penegakannya belum sepenuhnya
diimplementasikan.
d. Load factor yang masih rendah.
e. Problematika internal dan ekternal di kubu Trans Jogja yang harus segera
disikapi dan ditemukan solusinya.
93
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, seiring
berjalannya Trans Jogja yang sudah menginjak tahun ke 6, selalu mengalami
perkembangan dan pasang surutnya di dalamnya. Berbagai perubahan dan
percobaan kebijakan selalu dilakukan untuk menunjang dan mengoptimalkan
Trans Jogja itu sendiri. Derbyshire (dalam Samodra Wibawa, 1994: 49)
memberikan batasan terhadap policy sebagai sekumpulan rencana kegiatan yang
dimaksudkan untuk memberikan efek perbaikan terhadap kondisi-kondisi sosial
dan ekonomi. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa evaluasi belum sepenuhnya
mencapai tujuan yang diharapkan. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa hal.
Misalnya adalah load factor Trans Jogja pada tahun 2011 sebagaimana telah
dipaparkan yang menunjukkan angka rata-rata tertinggi hanya 33,2% dan angka
rata-rata terendah adalah 12,2%. Angka load factor tersebut menunjukkan bahwa
bus Trans Jogja rata-rata hanya terisi sepertiga bagian untuk yang paling tinggi.
Sehingga dapat dikatakan minat orang untuk menggunakan jasa Trans Jogja masih
rendah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Trans Jogja belum menjadi moda
transportasi publik yang digemari oleh masyarakat luas. Kondisi demikian
menunjukkan bahwa keberadaan Trans Jogja belum sepenuhnya mampu menarik
masyarakat untuk menggunakannya sebagai transportasi publik utama atau
pilihan.
Aspek lain yang menunjukkan bahwa tujuan penyelenggaraan Trans Jogja
dari segi kinerja layanan belum tercapai adalah pada penilaian kepuasan
pelanggan terhadap kinerja layanan Trans Jogja yang dilakukan oleh tim peneliti
94
Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Provinsi DIY tahun 2012. Pada
penelitian tersebut digunakan 16 indikator kualitas pelayanan Trans Jogja yang di
antaranya berkaitan dengan kenyamanan, ketepatan waktu, keselamatan,
pelayanan awak kendaraan, tarif, kebersihan, dan kemudahan atau jangkauan
pelayanan. Dari 16 indikator yang digunakan pada penelitian tersebut tidak
terdapat satupun indikator yang nilainya memenuhi standar (Dishubkominfo,
2012). Artinya dalam hal ini kinerja layanan Trans Jogja masih belum dinilai baik
oleh pengguna layanan.
Untuk memberikan perbaikan dalam berbagai aspek di Trans Jogja, maka
diperlukan adanya evaluasi, dan evaluasi ini dapat diperoleh dari tinjauan
pelaksanaan per periode dan pandangan saran pihak-pihak yang bersangkutan. Hal
ini diperlukan agar dalam pelaksanaan Trans Jogja disetiap tahunnya
permasalahan yang sering muncul dapat dikurangi bahkan diminimalisir
semaksimal mungkin. Berikut merupakan evaluasi yang dilakukan penulis dengan
menggunakan Model Evalusi William Dunn pada tahun 1998.
1. Fokus nilai
Evaluasi berbeda dengan pemantauan, evaluasi lebih dipusatkan pada
penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program.
Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan
sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi
mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena
ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi
mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.
95
Menurut Briant & White (dalam Samodra Wibawa, 1994:63) evaluasi kebijakan
pada dasarnya harus bisa menjelaskan sejauh mana kebijakan publik dan
implementasinya mendekati tujuan.
Dalam faktanya, setiap kebijakan yang dikeluarkan dalam Trans Jogja
selalu mempunyai tujuan dan target yang jelas, dengan mengedepankan
kepentingan umum, terlebih dengan evaluasi kebijakan yang berguna untuk
mengevaluasi dan membentuk kebijakan baru yang lebih tepat guna. Namun, yang
cukup disesalkan adalah Bus Trans Jogja ini adalah kebijakan yang mendorong
masyarakat untuk menggunakan angkutan umum, akan tetapi kebijakan ini tidak
dibarengi dengan kebijakan managemen kebutuhan lalu lintas untuk menarik
pengguna kendaraan pribadi beralih kepada bus Trans Jogja. Sebagus apapun
transportasi massal yang dihadirkan, akan selalu kalah pamor dengan
komsumtifitas kendaraan pribadi baik roda dua ataupun roda empat yang tidak ada
batasnya, dan ini dari dahulu sampai sekarang masih belum mendapatkan solusi
kongkrit, tidak hanya di DIY, akan tetapi di seluruh penjuru Indonesia.
2. Interdependensi fakta nilai
Tuntutan evaluasi tergantung baik fakta maupun nilai. Untuk menyatakan
bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang
tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan
berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk
menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan
secara aktual merupakan konsukensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk
memecahkan permasalahan tertentu. Oleh karena itu pemantauan merupakan
96
prasyarat bagi evaluasi. Evaluasi pelaksanaan bertujuan untuk memberikan
informasi kepada pembuat kebijakan tentang bagaimana program-program mereka
berlangsung. Serta menunjukkan faktor-faktor apa saja yang dapat dimanipulasi
agar diperoleh pencapaian hasil yang lebih baik, untuk kemudian memberikan
alternatif kebijakan baru atau sekedar cara implementasi lain. (Samodra Wibawa,
1994: 13-14)
Dalam hal ini Trans Jogja hadir sebagai inovasi terbaru dalah hal
pertransportasian massal di DIY, dari terdahulunya seperti Colt Kampus,
KOPATA, KOBUTRI, ASPADA. Masa Colt kampus tahun 1975-1979 dan masa
KOPATA, KOBUTRI, ASPADA pada tahun 1979-1998. Bus-bus tersebut
dahulunya masih menggunakan sistem penarikan setoran. Sistem perjalanan
dibagi menjadi model jalur, tapi dari segi operasionalnya belum dipatuhi secara
maksimal, dalam artian jalur dapat berpindah atau menjadi jalur bus yang ramai
armada apabila banyak konsumen dalam satu jalur itu. Terdapat dua sampai tiga
petugas dalam satu bus, yaitu sopir bus sebagai pengendali bus, serta dua orang
menjadi kondektur yang bertugas menjadi pemberi simbol ke supir bus apabila
ada penumpang yang mau masuk maupun turun, bertugas menjadi penarik biaya
kepada penumpang. Penjual makanan, minuman bahkan pengamen diperbolehkan
masuk dan menjajakan apa yang akan dijualnya.
Dalam hal ini, bus-bus dikelola oleh sebuah wadah koperasi bersama.
Sarana dan prasarana yang digunakan masih berupa terminal dan pemberhentian
sesuai tujuan penumpang. Pemberhentian biasanya tidak pasti, bisa di terminal
besar, pemberhentian bayangan, dan sepanjang jalan sesuai para calon penumpang
97
menunggu datangnya bus. Setelah hadirnya Trans Jogja, transportasi ini cukup
mencuri perhatian yang cukup banyak. Transportasi yang dihadirkan cukup murah
dan nyaman. Dengan inovasi dari bus sebelum-sebelumnya, Trans Jogja dengan
sistem buy the servise mampu memberikan perubahan pertransportasian dalam
kota di DIY. Tempat tunggu yang dihadirkan pun jelas, diberikan titik-titik point
shelter yang difungsikan para calon penumpang untuk menunggu bus datang.
Sarana dan prasarana dalam bus pun ber-AC , tempat duduk dan penyangga untuk
yang berdiri. Penjual dan pengamen tidak diperbolehkan masuk kedalam shelter
maupun bus. Terdapat juga dua petugas dalam bus, yaitu supir bus sebagai
pengemudi dan kondektur sebagai petugas yang memberitahu tujuan yang sedang
dilewati. Jalur bus pun jelas, tidak mungkin ada pergantian karena sudah diatur
berdasarkan jalur koridor yang ada.
Sambutan Trans Jogja sangat baik, dari masyarakat daerah, pelajar,
mahasiswa maupun luar daerah terlebih wisatawan. Terlebih dengan DIY yang
menjadi kota tujuan wisata, aspek yang paling mendukung adalah segi
transportasi. Hadirnya Trans Jogja juga memberikan icon transportasi massal di
DIY. Wajah baru jalanan pun tampak lebih rapi dan teratur.
Permasalahan yang muncul pastilah dari transportasi terdahulu, baik
internal maupun ekternal. Sempat terjadi demo unjuk rasa tentang nasib dan
keberlanjutan setelah tergusur adanya Trans Jogja. Akan tetapi dengan tanggap
Dinas Perhubungan beserta pemerintah daerah memberikan solusi yang cukup
memberikan angin segar bagi nasib transportasi terdahulu, terlebih dengan
SDMnya. Mereka merangkul SDM terdahulu bagi yang mau bergabung dengan
98
Trans Jogja yang nantinya akan menjadi satu melebur dengan operator yang
ditunjuk, yaitu PT. Jogja Tugu Trans. Bus-bus yang terdahulu pun dihargai,
apabila mau menukarkan atau menjual, dua bus Kopata mendapatkan satu bus
Trans Jogja. Akan tetapi bus tetap dipegang oleh operator karena sudah menjadi
tanggung jawabnya, hanya saja royalty dapat diterima sesuai dengan kesepakatan.
Dengan solusi ini dirasa cukup mampu menjawab dari problematika yang terjadi
selama ini.
Permasalahan internal pun dirasa cukup rumit. Penegakan sanksi atas
pelanggaran yang diterapkan kepada operator pun dipandang sebelah mata. Semua
pihak mengelak dan mempunyai alasan masing-masing baik Dinas Perhubungan
maupun PT. Jogja Tugu Trans sendiri. PT. Jogja Tugu Trans berdalih bahwa
anggaran sangat terbatas, sehingga terkadang biaya habis dioperasional dan
pemeliharaan bus, bahkan terkadang pegawai mendapatkan pemotongan gaji.
Kalaupun sanksi ditegakkan, peraturan yang ditetapkan dianggap tidak
kondisional dengan lingkungan, seperti peraturan ketepatan waktu adalah
peraturan yang dianggap sangat sulit diimplementasikan terlebih Trans Jogja tidak
mempunyai jalur khusus. Dengan keadaan itu PT. Jogja Tugu Trans sebagai
operator tidak bisa berbuat banyak. Dinas Perhubungan pun sepertinya cukup tau
dengan keadaan dan peraturan sanksi yang telah dibuat, inovasi pun dirasa lambat
dalam menanggapi kondisi yang dihadapi.
Dalam kebijakan, hal yang paling sering terabaikan adalah pengontrolan
dan pemantauan. Trans Jogja ini yang sudah menginjak umur ke tujuh, dirasa
memiliki control dan pantauan yang kurang. Sangat disayangkan sebenarnya,
99
ketika sebuah kebijakan andalan akan tetapi pengontrolan dan optimalisasinya
tidak berjalan beriringan. Tidak jarang ditemui shelter dan bus yang ditemukan
kerusakan, baik sarana maupun prasarananya. Bus yang mempunyai asap pekat,
pintu yang sudah rusak, ac yang tidak maksimal dari fungsinya. Seharusnya hal
seperti ini menjadi perhatian lebih bagi operator maupun Dinas Perhubungan
khususnya, karena kembali lagi Trans Jogja menonjolkan pelayanan dan
kenyamanannya. Evaluasi pun selalu diadakan setiap tahunnya membahas agenda
tahunan, akan tetapi perubahan yang terjadi ataupun kebijakan yang keluar tidak
semaksimal dan memberi jalan keluar yang cukup efisien.
3. Orientasi masa kini dan masa lampau
Tuntutan evaluatif berbeda dengan tuntutan advokatif, diarahkan pada
hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat
retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan. Rekomendasi yang juga mencakup
premis-premis nilai, bersifak prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan.
Dari waktu ke waktu Trans Jogja mengalami pasang surut. Tentunya hasil
yang sekarang diraih adalah pelajaran dan hasil dari evaluasi dari kebijakan serta
transportasi sebelumnya. Dalam hal ini Trans Jogja mengalami kemajuan, terlebih
dari jumlah armada dan shelter yang semakin bertambah, terlebih ada wacana
bahwa koridor akan diperluas jangkauannya hingga Sleman dan dan Bantul. Ini
memang harus dilakukan karena tidak bisa dipungkiri jumlah angka
komsumtifitas semakin hari semakin bertambah dan harus diimbangi dengan
sarana dan prasarana yang ada. Cakupan dan jangkauan harus di tempatkan di
100
tempat-tempat strategis agar orang yang ingin mengakses Trans Jogja lebih dekat
dan mudah.
Meskipun load factor, belum memenuhi sasaran, terlebih antara shelter
satu dengan yang lainnya tidak sama, karena tidak bisa dipungkiri titik keramaian
tidak semuanya sama. Load factor bisa menjadi acuan dan gambaran lapangan
bahwa perlu dibuat koridor koridor pendek maupun panjang sehingga masyarakat
semakin tertarik menggunakan Trans Jogja. Perlu ditambah atau tidak suatu
koridor atau armada dalam satu jalur juga bisa dipertimbangkan dari catatan load
factor pada tahun tahun sebelumnya. Inilah perlu dilakukan evaluasi mendalam,
sehingga pengoptimalan dalam sebuah koridor dapat dimaksimalkan.
4. Dualitas nilai
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda,
karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama
dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya,
kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun
ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan
lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hierarki yang merefleksikan
kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. Di dalam
mengidentifikasi tujuan-tujuan evaluasi yang berbeda-beda dapat dilihat
bagaimana suatu program dinilai gagal oleh suatu perangkat atau instrumen
kriteria, sementara dipihak lain dianggap berhasil oleh kriteria lainnya
(Suharyanto, dalam Deka Budianto, 2006 :15).
101
Dalam hal ini, suatu evaluasi dapat dikatakan menjadi cara munculnya
suatu kebijakan baru, ataupun menjadi cara inovasi dari kebijakan yang terdahulu
dengan cara mencari kekurangannya dan memberikan solusi yang dirasa menjadi
jalan keluar terbaik dari sebuah problematika yang ada. Trans Jogja sudah
menjadi primadona dan icon transportasi massal di Daerah Istimewa Yogyakarta,
dalam segi transportasi massalnya. Berbagai kelebihan dan kekurangannya
terkandung didalamnya. Dalam setiap kebijakannya pun selalu memiliki fungsi
dan tujuan ganda, sehingga dapat menjadi solusi kongkrit dan menjadi plan
second ketika sebuah kebijakan kurang berhasil diimplementasikan. Contohnya
dalam kebijakan Trans Jogja memberlakukan sistem card, dalam berbagai
pandangan konsep ini dianggap baik karena dilain sisi pelajar (dengan tiket
reguler pelajar), dapat membayar tiket lebih murah yaitu Rp. 2000,- dan dapat
mengisi saldo. Dalam hal ini mempunyai fungsi dan tujuan ganda, cara ini
dimaksudkan untuk menarik para pelajar beralih dari memakai kendaraan pribadi
menjadi menggunakan bus, serta harga lebih murah agar pelajar lebih mudah
untuk menjangkaunya dari segi ekonomisnya.