BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Asal Usul Kerajaan Jailolo dan Senioritas Kerajaan di Maluku
Francoise Valentijn dalam (Adnan Amal, 2007: 26) mengatakan bahwa
kerajaan Jailolo berasal dari sebuah kampong (kampung atau desa), dan kerajaan
yang berdiri di desa itu kemudian diberi nama yang sama. Hal ini, sejalan dengan
cerita rakyat dari Desa Porniti yang mengatakan di wilayah jazirah tersebut
awalnya terdiri dari beberapa kampung yaitu, kampong Jailolo, kampong Porniti,
kampong Gufasa.
Menurut sumber Nagarakartagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca,
mengatakan bahwa kemungkinan Kolano pertama Jailolo adalah seorang
perempuan yang berkuasa secara tiran dan memerintah dengan tangan besi.
Wilayah kekuasaaan kerajaan Jailolo pada masa awal berdiri sebagai sebuah
kerajaan yang juga tercatat dalam kitab Nagarakartagama wilayahnya belum
mencakup Halmahera secara keseluruhan khususnya bagian utara sebelah barat,
karena di sana terdapat Kerajaan Loloda (Paramitha, 1978: 164).
Berdirinya kerajaan Jailolo belum dapat dipastikan kapan, yang dapat
dicatat hanyalah peristiwa kesejarahan bahwa pada masa awal ada seorang raja
perempuannya yang kawin dengan Raja Loloda, sebuah kerajaan di bagian utara
pulau Halmahera mungkin merupakan kerajaan yang lebih tua dari Jailolo.
Menurut cerita rakyat di daerah ini, perkawinan antara Ratu Jailolo dengan Raja
28
Loloda merupakan perkawinan politik untuk memberikan akses kepada
Jailolo menguasai seluruh Halmahera. Politik Jailolo berhasil, sebab sebelum
tahun 1250 teritorial Kerajaan Jailolo telah meliputi hampir seluruh Halmahera
termasuk Loloda (Adnan Amal, 2007: 26).
Karena memerintah dengan tangan besi, terjadi perlawanan dan
pembangkangan terhadap Kolano Jailolo, yang diikuti dengan eksodus para
pembangkang politik ke pulau-pulau kecil disekitar Halmahera: Ternate, Tidore,
Moti, dan Makian. Di pulau-pulau inilah para pemberontak Jailolo mendirikan
kerajaan-kerajaan salah satu di antaranya yang terbesar dan terkuat adalah
Ternate. Akhirnya dapat merongrong dan bahkan mengakhiri eksistensi Kerajaan
Jailolo.
Katarabumi menjadi Kolano (raja) Jailolo pada tahun 1534. Adnan Amal
(2007: 30) menulis bahwa Katarabumi berasal dari keluarga bangsawan tinggi.
Pemaknaan gelar sebagai “bangsawan tinggi” menjadi catatan yang sangat
penting. Arti kata “bangsawan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008),
mengandung arti sebagai keturunan orang mulia, terutama raja dan kerabatnya
(keturunan ningrat) atau juga sering disebut sebagai keturunan darah biru,
sehingga dapat disimpulkan bahwa katarabumi merupakan keturunan raja-raja
Jailolo sebelumnya.
Katarabumi diangkat menjadi Jogugu (Perdana Menteri atau
Mangkubumi) Jailolo pada tahun 1529. Pengangkatan itu terjadi, karena Sultan
Jusuf yang berkuasa saat itu sudah sakit-sakitan dan putranya Sultan Fairuz
29
Alaudin masih kecil, sehingga pengangkatan itu bertujuan agar dapat menjalankan
roda pemerintahan. Setelah menjadi Jogugu karena beberapa prestasi yang dicapai
salah satunya adalah dapat menahan serangan-serangan yang dilakukan oleh
kerajaan Ternate yang sangat ingin menguasai Kerajaan Jaiolo. Katarabumi
mendapat kepercayaan rakyat dan juga berbagai usaha yang dilakukan dengan
mengadakan kerjasama dengan Portugis yang akhirnya menjadi Kolano Jailolo
pada tahun 1534 Adnan Amal (2007:30)
4.2 Letak dan Geografi Jailolo (Halmahera)
Jailolo pada masa kejayaannya menguasai hampir keseluruhan pulau
Halmahera seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal. Oleh karena itu, perlu
untuk membahas secara tata letak dan secara geografi terkait dengan pulau
Halmahera.
Halmahera adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Pulau
Sulawesi dengan batas laut Maluku di sebelah barat, di sebelah utara dan timur
dengan samudera pasifik dan di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Obi.
Pulau ini merupakan yang terbesar di Maluku Utara dan dikelilingi
berbagai pulau kecil lainnya yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni.
Secara etimologi Halmahera terdiri dari dua kata yaitu: Hale artinya sebagai tanah
dan Ma-hera sebagai asal-usul, sehingga keseluruhannya secara secara harfiah
menjadi “tanah asal dari tanah-tanah yang lainnya”, pengertian seperti ini juga
terdapat di Maluku Tengah untuk pulau Seram, yaitu nusa-ina (pulau ibu), karena
30
pulau itu juga dikelilingi berbagai pulau kecil lainnya dan dianggap sebagai
tempat asal penduduk pulau-pulau itu (Kutoyo dan Kartadarmadja, 1977: 7).
Pulau Halmahera berbentuk empat jazirah yang seolah-olah empat pulau
yang terpisah yang dihubungkan pada satu wilayah tertentu. Masing-masing
jazirah disebut sesuai dengan letaknya, yaitu Jazirah Utara, Jazirah Timur Laut,
Jazirah Tenggara, dan Jazirah Selatan. Keempat jazirah tersebut di selingi oleh
tiga teluk, yaitu: pertama adalah Teluk Kau di utara diantara Jazirah Utara dan
Jazirah Timur Laut, kedua adalah Teluk Buli antara Jazirah Timur Laut dan
Jazirah Tenggara, dan ketiga adalah teluk Weda antara Jazirah Tenggara dan
Jazirah Selatan (Leirissa, 1990: 6).
Keempat jazirah tersebut diliputi oleh suatu rangkaian pegunungan dengan
ketinggian sekitar 1000 sampai 2000 meter dari permukaan laut. Di antaranya
terdapat pegunungan vulkanik yang membentang dari gunung Tolo di wilayah
Tobelo sampai daerah Loloda di bagian selatan dan yang menyambung dengan
rangkaian gunung api di pulau-pulau kecil lainnya di sekitarnya, sperti gunung
Gamalama di pulau Ternate dan juga yang lainya.
Pulau Halmahera di selimuti oleh hutan-hutan lebat terutama dipedalaman,
jenis hutan tropis tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tinggi dan barbagai
jenis rotan. Hutan di Halmahera seperti juga dengan daerah yang lainnya
merupakan hutan tropis, dan di daerah pesisir ditumbuhi hutan bakau. Dari semua
tumbuhan yang tumbuh di hutan Halmahera, ada tumbuhan endemik yang tumbuh
31
liar di hutan Halmahera yaitu tanaman cengkeh, pala, dan juga guraka mera (jahe
merah).
Tumbuhan cengkeh banyak tumbuh di daerah bagian barat Halmahera
khusus di daerah Gunung Jailolo dan daerah Tamo (bagian dari pengunanan
Sembilan), bahkan sebelum tahun 2000, sebelum konflik SARA yang terjadi di
Halmahera masyarakat sering pergi mengambil cengkeh di hutan, kemudian
dijemur sampai kering dan dijual ke pedagang.
Sedangkan tanaman pala itu berasal dari Halmahera bagian Timur tepatnya
daerah Maba dan sekitarnya. Pala yang semula hanya ada di Halmahera, tetapi
mempunyai nilai jual yang tinggi pada waktu jaman perdagangan membuat
tanaman ini mulau dibudidayakan oleh masyarakat dan akhirnya tersebar ke
daerah lain.
Tanaman yang satu ini yaitu guraka merah, bagi masyarakat daerah Jailolo
mengatakan adalah tanaman endemik Halmahera, karena disalah satu gunung,
antara Jailolo dan Kecamatan Kao terdapat sebuah gunung yang penuh ditumbuhi
oleh guraka merah. Sehingga gunung tersebut dinamai gunung Guraka.
Hasil rempah-rempah berupa buah cengkeh, pala dan juga guraka inilah
yang menjadi daya tarik bangsa luar. Masyarakat awalnya hanya menggunakan
rempah-rempah tersebut sebagai obat-obatan dan bumbu masakan. Khasiatnya
yang begitu banyak sehingga tersebar sampai ke daerah lain, para pedagang dari
Indonesia seperti Jawa, Bugis, Makasar. Kemudian tersebar sampai ke pedagang
Arab dan Tionghoa. Setelah itu pedagang Arab dan Tioghoa mulai berlayar ke
32
Maluku untuk mencari rempah-rempah, bahkan kemungkinan pedagang Tionghoa
sudah hadir lebih duluan dari pedagang yang lain. Hal ini searah dengan apa yang
dijelaskan dalam buku Sartono Kartodirjo (1987: 10) bahwa Maluku menjadi
pelabuhan terakhir antara perdagangan Barat dan Timur.
Pedagang China dan Arab bahkan juga dari Persia yang membawa
Rempah-rempah tersebut ke daerah Eropa. Perdagangan mulai berubah setelah
terjadi perang Salib, dan rempah-rempah dari dunia Timur menjadi tidak mudah
diperoleh. Hal inilah yang membuat pelayaran besar-besaran yang diawali oleh
bangsa Portugis dan Spanyol ke dunia timur. Keinginan untuk mendapatkan
rempah-rempah langsung ke daerah asalnya, membuat kedua bangsa ini tiba di
Maluku.
4.3 Asal Usul Katarabumi
Katarabumi menjadi Kolano (raja) Jailolo pada tahun 1534. Adnan Amal
(2007: 30) menulis bahwa Katarabumi berasal dari keluarga bangsawan tinggi.
Pemaknaan gelar sebagai “bangsawan tinggi” menjadi catatan yang sangat
penting. Arti kata “bangsawan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008),
mengandung arti sebagai keturunan orang mulia, terutama raja dan kerabatnya
(keturunan ningrat) atau juga sering disebut sebagai keturunan darah biru,
sehingga dapat disimpulkan bahwa katarabumi merupakan keturunan raja-raja
Jailolo sebelumnya.
Katarabumi diangkat menjadi Jogugu (Perdana Menteri atau
Mangkubumi) Jailolo pada tahun 1529. Pengangkatan itu terjadi, karena Sultan
33
Jusuf yang berkuasa saat itu sudah sakit-sakitan dan putranya Sultan Fairuz
Alaudin masih kecil, sehingga pengangkatan itu bertujuan agar dapat menjalankan
roda pemerintahan. Setelah menjadi Jogugu karena beberapa prestasi yang dicapai
salah satunya adalah dapat menahan serangan-serangan yang dilakukan oleh
kerajaan Ternate yang sangat ingin menguasai Kerajaan Jaiolo. Katarabumi
mendapat kepercayaan rakyat dan juga berbagai usaha yang dilakukan dengan
mengadakan kerjasama dengan Portugis yang akhirnya menjadi Kolano Jailolo
pada tahun 1534 Adnan Amal (2007:30)
Sesuatu hal yang menarik terkait dengan asal-usul, patut ditelusuri adalah
nama Katarabumi. Nama ini bukan nama asli Jailolo (Halmahera), tetapi nama
Sansekerta yang biasanya dipakai keraajaan-kerajaan yang berada dibawah
pengaruh Hindu dan Budha yang akan dibahas pada subbagian berikut ini.
Nama Katarabumi memang menjadi misteri, karena sulit untuk mencari
hubungan antara nama Sansekerta dengan bukti-bukti sejarah terkait dengan
Hindu-Budha yang ada sekarang. Tetapi terkait dengan nama tersebut, bisa dibuat
dua perkiraan yang dinalar berdasar logika yaitu kerajaan Jailolo timbul
bersamaan dengan perdagangan :
a. Kerajaan Jailolo sudah ada sejak jaman perdagangan yang dibawa oleh
orang India/Gujarat yang kemudian mendirikan Kerajaan.
Pendapat ini dikemukakan karena di kerajaan Jailolo,
terdapat sebuah prasasti yang berada di pedalaman Jailolo.
Masyarakat menamakan sebagai Batu Tulis yang terdapat di Sungai
34
Porniti. Berdasarkan wawancara dengan Arnol Kapong dan
Lambertus Lahopang yang pernah melihat prasasti tersebut, bahwa
tulisan tersebut bukan menggunakan huruf latin tetapi huruf
menyerupai paku. Bila ditelusuri huruf paku berarti hampir
menyerupai aksara Kaganga yang pernah ditemukan di Sumatera
dengan Surat Ulu. Seandainya hal itu benar, berarti pedagang dari
India sudah mulai masuk sejak abad pertama seperti juga dengan
daerah yang lain, dan membentuk kerajaan, seperti Kutai dan
Sriwijaya.
Van den Berg (1954: 205) mengatakan bahwa perdagangan
cengkeh sudah terjadi di Maluku sekitar tahun 650. Perdagangan ini
memberikan informasi bahwa peradaban di Jailolo sudah tersusun
dengan baik, sehingga perdagangan bisa berlangsung dan kerajaan
Jailolo bisa berkembang dengan baik, dapat dikatakan bahwa Jailolo
bukan kerajaan yang kecil, dan sudah terkenal oleh sebab itu Mpu
Prapanca menulis Jailolo sebagai kerajaan di Halmahera dalam kitab
Nagarakartagama.
Perjalanan waktu yang panjang sampai pada Katarabumi
yang mulai terkenal pada tahun 1534, nama ini terdengar asing
karena Jailolo sudah dipimpin oleh Sultan Jusuf yang beragama
Islam. Van den Berg (1954: 207) juga mengatakan bahwa Islam
masuk di Maluku sekitar tahun 1400 di Kerajaan Ternate, dan
35
kemudian menyebar ke Kerajaan yang lainnya seperti Tidore, Jailolo
dan Bacan. Tetapi disini Islam adalah kepercayaan yang dibawa oleh
pedagang Arab.
Menarik untuk disimak, karena Katarabumi masih berada
dalam keluarga kerajaan tetapi tidak menjadi muslim, karena para
Raja di Maluku menjadi Islam harus mengganti nama sesuai dengan
nama Arab. Hal ini juga bisa di interpretasikan bahwa tidak semua
kerabat raja di Kerajaan Jailolo yang menjadi muslim. Salah satunya
adalah Katarabumi dan juga yang lainnya. Dalam kondisi ini pasti
terjadi pro dan kontra terkait dengan agama baru yang harus dianut.
Dapat dikatakan Katarabumi berada di kelompok yang menolak
Islam di Jailolo. Kondisi ini diperjelas dengan usaha Katarabumi dan
pengikutnya untuk mengkudeta kerajaan Jailolo dengan bantuan
Portugis, yang akan dibahas di bagian selanjutnya. Katarabumi tetap
mempertahankan dirinya adalah Kolano Jailolo dan bukan Sultan
Jailolo.
Penggunaan gelar Kolano dan tidak menggunakan Sultan
sangat jelas menujukan kepercayaan dan pemahaman yang dianut
bukan Islam, dan masa akhir hidupnya di akhiri dengan bertapa, yang
juga akan dibahas pada bagian berikutnya.
b. Kerajaan Jailolo melakukan kerjasama dengan Kerajaan Majapahit lewat
perdagangan rempah-rempah.
36
Alasan ini, dipakai karena terkait Katarabumi adalah nama
Sansekerta. Dapat juga di perkirakan dengan perdagangan sudah
ramai terjadi antara Maluku dan kerajaan Majapahit yang terjadi
berdasarkan catatan Marco Polo pada tahun 1292, rempah-rempah
dari Maluku diangkut ke Jawa bagian timur yang kemudian diangkur
ke Malabar, India (Van den Berg, 1954: 207). Perdagangan rempah
membuat transfer pengetahuan dan juga kepercayaan sangat besar
terjadi. Hubungan ini juga bisa dinalar sebagai adanya nama
Katarabumi di Halmahera.
Majapahit dengan Gajah Mada sangat terkenal, bisa juga
perluasan Majapahit sampai di Maluku sehingga membentuk
kerajaan taklukan dan pengaruh kepercayaan dan budaya mulai
berkembang di Jailolo. Sehingga nama-nama tersebut masih
digunakan sampai 2000 tahun kemudian. Tetapi hipotesis ini
mungkin akan ditolak, karena di kitab Nagarakertagama yang
membahas Kerajaan Jailolo, hanya menulis kalau kerajaan Jailolo
awalnya dipimpin oleh seorang wanita yang memerintah dengan
tangan besi, dan kekuasaaan Jailolo belum dapat menguasai
Halmahera seutuhnya. Tidak membahas sama sekali Patih Gajah
Mada atau yang lainnya menaklukan Jailolo. Jadi terkait Majapahit
mempunyai perluasan sampai di Maluku dapat ditolak. Adnan Amal
37
(2007: 14) juga meragukan kalau Kerajaan Majapahit yang besar itu
pernah menanamkan pengaruhnya di Maluku.
Majapahit berdiri pada tahun 1294 mulai berkembang dan
mulai melakukan perluasan (Muljana, 1968: 16). Sedangkan
perdagangan yang terjadi di Maluku atau Jailolo sejak abad ke enam.
Bahkan pada sumber Dinasti Tang sudah mencatat perdagangan
Cengkeh di Maluku dengan bangsa Cina (Leirissa, 1975: 2). Hal ini
dapat diperkirakan pengaruh Majapahit datangnya belakangan dalam
jejaring perdagangan yang dibangun oleh bangsa Jawa dengan
Maluku.
4.4 Pengaruh Bangsa Luar di Kerajaan Jailolo.
Kedua pendapat tentang misteri nama Katarabumi, terkait dengan kerajaan
Jailolo dapat ditepis dengan belum adanya bukti sampai saat ini. Tetapi perlu
ditegaskan bahwa “belum ada bukti” bukan “tidak adanya bukti”, itu berarti masih
ada kemungkinan bahwa akan ditemukan bukti yang menghubungkan semua itu.
Alasan logis yang dapat dikemukakan terkait dua pendapat di atas adalah,
akan sulit kalau masyarakat lokal dapat dengan sendirinya membentuk kerajaan
kalau tanpa pengaruh dari luar seperti yang terjadi bagi seluruh kerajaan yang ada
di Indonesia dan sekitarnya. Alasan yang lain sudah disinggung sebelumnya, yaitu
nama Katarabumi. Nama ini merupakan bukti yang sangat jelas bahwa pengaruh
Hindu-Budha masuk sampai ke Halmahera.
38
Bukti terkait candi atau situs lain selain Batu Tulis mungkin sukar
ditemukan. Tidak ditemukan situs dapat terjadi karena dua kejadian yaitu:
a) Situs atau peninggalan terebut hancur akibat bencana alam. Tulisan dari
Stampa Leopoldo (1992: 63) yang mengatakan bahwa pada masa
pemerintahan Katarabumi yang sedang menghadapi peperangan dengan
Purtugis dan dibantu Ternate, Gunung Jailolo meletus dan debu vulkanik
dan hujan batu menutupi benteng dan istana Katarabumi sehingga terpaksa
ia harus menyerah, oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa situs-situs
tersebut terkubur dalam bumi. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=
%2C%20espanoles (Diunduh Pada 2 September 2013)
b) Kajadian yang lain, adalah dihancurkan. Sangat mungkin kalau situs-situs
tersebut dihancurkan, karena sekian ribu tahun daerah ini dikuasai oleh
Kesultan Ternate yang beragama muslim. Hal ini juga terjadi dengan
Kerajaan Loloda sebuah kerajaan tua di sebelah utara bagian barat
Halmahera yang istana dan situs-situsnya dihancurkan oleh kesultanan
Ternate.
Bangsa Cina lebih dulu mengenal hirarki masyarakat dengan membentuk
Kerajaan yang jauh lebih dulu dari bangsa Indonesia. Berdasarkan sejarah yang
tercatat bangsa Cina yang pertama melakukan perdagangan cengkeh di Maluku
sehingga ada kemungkinan juga peradaban di Jailolo sebagai kerajaan tertua di
Maluku adalah pengaruh dari Cina. Perjanjian Moti dilakukan untuk meredakan
berbagai kemelut yang terjadi di Maluku. Pertemuan yang diselenggarakan di
39
Moti pada 1322. Agenda pertemuan membahas upaya perdamaian sekaligus
meredam ketegangan antar kerajaan Maluku, penyeragaman bentuk-bentuk
kelembagaan kerajaan, serta penentuan peringkat dan senioritas peserta
musyawarah. Delegasi Jailolo dipimpin seorang perempuan (tak jelas nama dan
posisinya), Bacan dipimpin Muhammad Hasan, Ternate dipimpin Sida Arif dan
Tidore dipimpin Kolano Sele. Loloda juga mengirim rajanya, tetapi karena
dilanda topan, perahunya terpaksa mendarat di Dufa-dufa Ternate Adnan Amal
(2007: 519)
Musyawarah akhirnya menyepakati seluruh agenda pertemuan, kecuali
tentang penentuan peringkat. Bacan menuntut agar dirinya ditetapkan sebagai
peringkat pertama berdasarkan alasan kesejarahan: Raja Bacan berasal dari
keturunan Buka, putera tertua Jafar Sadek dan Nur Sifa. Alasan ini ditolak peserta
lain, dengan alasan bahwa tidak dapat disangkal sebelum kerajaan- kerajaan
Ternate, Tidore, dan Bacan berdiri, Jailolo telah lebih dulu eksis. Karena itu,
Jailolo harus dipandang sebagai kerajaan paling tua dan paling senior.
Kerajaan Ternate tercatat pertama dipimpin oleh Kolano Ciko atau
Mashur Malamo pada tahun 1257-1277, kolano ini memimpin sebelum masuknya
Islam di Ternate (Adnan Amal, 2007: 520). Pengakuan pada Perjanjian Moti
sangat jelas akan berdirinya kerajaan Jailolo. Berarti Kerajaan Jailolo sudah
berdiri dan eksis jauh dari kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku. Sehingga bisa
juga ada kemungkinan Kerajaan Jailolo berdiri dengan pengaruh bangsa Cina
yang datang dan mengajari bagaimana membentuk sebuah kekuasaan.
40
Kedatangan bangsa Cina ke Maluku tidak melalui Jawa, kerena meraka telah
menemukan rute tersendiri dari Philipina melalui Pulau Mindanau dan kemudian
ke Maluku dan itu merupakan rute terdekat, sehingga pengaruhnya sudah lebih
dulu sampai ke Maluku dari pada pengaruh yang datang dari bangsa Jawa.
4.5 Aspek Politik dan Kekuasaan
Aspek ini akan membahas bagaimana Katarabumi melakukan konspirasi
untuk dapat mengambil kekuasaan tertinggi di Kerajaan Jailolo. Kemudian juga
dibahas hubungan dengan kerajaan lain, serta dengan berbagai upaya yang
dilakukan untuk memperluas kekuasaannya sehingga diangap sebagai Kolano
Jailolo yang tebesar.
4.5.1 Jogugu Menuju Kolano
Tahun 1529 Katarabumi diangkat menjadi Jogugu Jailolo. Katarabumi
yang berasal dari keluarga bangsawan sangat berpeluang untuk menjadi raja
Jailolo. Kesempatan ini tentunya sangat berharga bagi Katarabumi yang kemudian
merencanakan untuk mendapatkan singgasana yang saat itu masih dipimpin oleh
Sultan Jusuf yang sudah berumur dan sedang sakit-sakitan.
Sultan Fairuz Alauidin menjadi sultan Jailolo pada tahun 1533
menggantikan ayahnya Sultan Jusuf yang meninggal dunia. Walaupun pimpinan
kerajaan di pegang oleh orang lain, Katarabumi tetap memainkan perannya
sebagai Jogugu untuk menjalankan roda pemerintahan kerana sang sultan masih
dibawah umur dan sering sakit-sakitan. Keadaan ini semakin mempermudah
41
posisi Katarabumi untuk menyusun strategi yang kemudian dapat mengantarkan
sang Jogugu untuk menjadi Kolano di Jailolo.
Kelemahan yang ada pada Sultan Fairuz dimanfaatkan oleh Katarabumi
dengan melakukan konspirasi dengan Portugis. Konspirasi ini menjadi hal ini
sangat menarik untuk disimak. Menarik karena bekerja sama dengan Portugis,
bukan dengan Spanyol yang sudah menjadi kongsi dari kerajaan Jailolo dan
Tidore. Strategi dari Katarabumi cukup baik, karena Spanyol akan mendukung
Sultan Fairuz dan pengikutnya, sedangkan Purtugis ada di pihak Ternate yang
selalu menginginkan hasil rempah-rempah dari Jailolo yang pasti akan juga mau
mengambil untung dari konspirasi ini.
Gambar 4. Benteng Gamlamo di Ternate.
Konspirasi berjalan dengan baik, Gubernur d’Ataide di Ternante mulai
melakukan apa yang telah direncanakan dengan menuduh orang Spanyol di
Jailolo telah memberikan perlindungan pada 4 sampai 5 negeri yang dahulu
berada dibawah kekuasaan Portugis. Alasan tersebut membuat sang Gubernur
mengerahkan pasukannya untuk menyerang Jailolo. Tuduhan ini mungkin sangat
42
mudah untuk ditantang Katarabumi sebagai Jogugu dan menantang kembali
sebagaimana biasanya, tetapi itu tidak dilakukan. Tentara Portugis mengepung
Jailolo dan memerintahkan untuk Jailolo untuk menyerah. Penyerangan tersebut
dapat berjalan dengan baik, dan Sultan Fairuz yang masih kecil dan sedang sakit
dibawa ke Benteng Gamlamo di Ternate untuk “berobat”.
De Argensola (1708: 48), mengatakan setelah Sultan Fairuz berada di
Ternate dan dirawat, akhirnya sang sultan tersebut meninggal karena diracun oleh
orang-orang suruhan Katarabumi. Setelah Sultan Fairuz meninggal, kemudian
Jogugu mengambil alih Kesultanan Jailolo pada tahun 1534. Sewaktu menjadi
Kolano, Katarabumi memproklamasikan bahwa dirinya memerintah Jailolo atas
nama Raja Portugis. Bahkan mengatakan bahwa Katarabumi sebagai Raja
pertama yang memberikan kevasalannya atau menjadi daerah taklukan Portugis
http://books.google.co.id/books?id=rEkxAAAAMAAJ&pg Diakses Pada 21
Februari 2013
Konspirasi terebut mulai diketahui semenjak hadiah yang diterima oleh
Katarabumi dari Gubernur d’Ataide terlalu berlebihan, berupa pakaian dengan
jumlah yang besar dan sebuah payung emas diketahui umum (Adnan Amal, 2007:
30-31).
4.5.2 Hubungan dengan Kerajaan Lain di Indonesia
Sebelum pemerintahan Katarabumi, Kerajaan Jailolo sudah mempunyai
hubungan dengan Kerajaan lain di Indonesia. Perdagangan merupakan indikator
yang paling utama sehingga membuka pintu untuk bekerja sama dengan kerajaan
43
di Maluku Utara atau juga dengan kerajaan yang lain, seperti kerajaan Majapahit.
Kitab Nagarakartagama adalah bukti jelas yang menulis Jailolo sebagai kerajaan
di Halamahera.
Pengakuan akan Jailolo sebagai kerajaan tertua, secara tertulis diakui oleh
kerajaan-kerajaan yang lain pada Perjanjian Moti pada tahun 1322 yang lebih
dikenal dengan atau Motir Verbond (Adnan Amal, 2007: 28). Katarabumi
melanjutkan apa yang telah disepakati dalam perjanjian sebelumnya, tetapi
seiring berjalan waktu Ternate paling sering melanggar perjanjian tersebut dan
sering untuk menyerang Jailolo walaupun sangat sulit untuk mendapatkan
keinginannya.
Hubungan yang dibangun oleh Katarabumi dengan kerajaan Maluku
lainnya itu dipicu dengan kebiasaan perkawinan antar tiap kerajaan yang sebagai
upaya penguasaan. Kedatangan bangsa luar seperti Portugis dan Spanyol
membuat persaingan tiap kerajaan Maluku semakin tajam. Portugis yang
berkongsi dengan Ternate, sedangkan Spanyol yang bekerja sama dengan
Kerajaan Tidore dan Jailolo. Kedekatan ini membuat Jailolo lebih dekat dengan
kerajaan Tidore dibandingkan dengan Ternate. Bahkan pada saat Katarabumi
masih menjadi Jogugu Jailolo, kerajaan Tidore membantu untuk menangkis
semua serbuan kerajaan Ternate yang dibantu Portugis (Adnan Amal, 2007: 30)
Perlawanan dengan kerajaan Maluku lain, tidak bersifat mutlak, bahkan
Hairun yang sangat menginginkan kerajaan Moro di utara Halmahera sebagai
vasalnya dengan mendukung Portugis untuk mengembangkan agama kristen di
44
Moro. Perkembangan misi Jesuit berjalan dengan pesat yang kemudian
mempersulit Ternate untuk mewujutkan misinya. Kelicikan Hairun yang mencoba
untuk menghancurkan kerajaan Moro dengan mempengaruhi kerajaan Maluku
lainnya. Valentijn (1724: 203) menulis bahwa pertemuan tersebut menghasilkan
kesepakatan untuk mengenyahkan orang-orang kristen di Maluku. Hasil yang lain
dari pertemuan itu, Katarabumi dan militernya yang terkuat bertugas untuk
penyerangan dan Sultan Khairun yang menangani sisi kesepakatan politik. http://
books.google.co.id/books?id=66VJAAAAcAAJ&pg=RA1 diakses Pada 3
September 2013
4.5.3 Hubungan dengan Bangsa Spanyol dan Portugis
Kerjasama kerajaan Jailolo dengan bangsa Spanyol sudah berlangsung
sejak pemerintahan Sultan Zainal Abidin pada tahun 1527. Pemerintahan
Katarabumi melanjutkan hubungan yang telah dibangun oleh pendahulunya.
Selain berdagang bangsa Spanyol juga mengajari pasukan Jailolo untuk
berperang dengan memberikan dan melatih pasukan Jailolo menggunakan
senjata, sehingga dapat mempertahankan diri. Bangsa Spanyol juga
membenahi benteng Jailolo dan menempatkan persenjataan artileri untuk
memperkuat pertahanan dan meningkatkan kemampuan bela diri terhadap
berbagai gangguan keamanan (Paramitha, 1978: 45).
45
Gambar 5. Salah satu dinding Benteng Saboga peninggalan Spanyol di Jailolo (Sumber: http://
jailolotrip.blogspot.com)
Kerjasama yang sudah berlangsung lama, sehingga sangat mungkin juga
kalau Katarabumi lahir dan berkembang dengan masa Spanyol yang berada di
Jailolo. Tercatat Spanyol membantu Katarabumi untuk menahan serangan dari
Ternate dan Portugis sampai masa akhir Katarabumi (Stampa Leopoldo, 1967:
23).
Salah satu peninggalan bangsa Spanyol di wilayah Kerajaan Jailolo yang
masih ada sampai sekarang adalah Benteng Saboga yang terletak dekat desa
Gamtala di perpotongan dua sungai besar Jailolo yaitu Sungai Akelamo dan
Sungai Akediri. Perpotongan dua sungai itu tepatnya di muara, jadi sangat
strategis sebagai pos penjagaan rute rempah-rempah dari pedalaman hutan Jailolo.
Selain Spanyol, Portugis juga punya hubungan yang khusus dengan
Katarabumi. Portugis sangat mendukung Katarabumi untuk menjadi Raja Jailolo,
sudah tentu akan mempermudah Portugis untuk mengusai perdagangan cengkeh
di Halmahera. Usaha yang dibangun dengan konspirasi besar agar Portugis dapat
46
menguasai daerah barat Halmahera tersebut yang mempunyai tanaman yang
tumbuh secara alami di hutan yaitu cengkeh dan pala. Oleh karena itu, upaya yang
dilakukan Katarabumi untuk menjadi Kolano sepenuhnya didukung oleh Portugis.
Adnan Amal (2007: 30) mengatakan sewaktu Katarbumi menjadi Kolano
Jailolo, ia memakai jubah kebesaran pemberian Gubernur de’Ataide yang berada
di Ternate. Katarabumi juga mengakui bahwa Kerajaan Jailolo adalah vasalnya
Portugis. Hubungan Portugis dengan Katarabumi tidak berlangsung lama.
Portugis sangat marah karena Katarabumi dan pasukannya menyerang dan
membunuh orang-orang Kristen di Kerajaan Moro. Setelah penyerangan tersebut,
Katarabumi menjadi incaran Portugis sebagai target yang harus dimusnahkan.
4.5.4 Penyerangan ke Kerajaan Moro
De Argensola (1708: 72), menerangkan penyerangan Katarabumi dan
pasukannya besarnya menyerang kerajaan Moro di Halmahera bagian utara pada
Tahun 1536. Penyerangan di pesisir Moritia, dan kampung Sugala berhasil
ditaklukan. Pernyerangan tersebut membuat Pastor Alvares kabur ke Ternate,
tetapi ditangkap oleh armada Jailolo. Negosiasi yang membuat pasukan
Katarabumi kemudian meloloskannya ke Ternate http://books.google.co.id/books?
id=rEkxAAAAMAAJ&pg diakses Pada 21 Februari 2013.
Kejadian yang mengarikan dalam penyerangan tersebut adalah malam
sebelum penyerahan diri, Raja Moro Tioliza yang mengkonversi agamanya dan
mengganti nama menjadi Don Joao membunuh sendiri istri dan anak-anaknya
agar tidak tertawan atau jatuh ke tangan musuh. Don Joao alias Tioliza bermaksud
47
melakukan bunuh diri, tetapi sempat dicegah oleh anak buahnya. Keesokan
harinya, Tioliza menyerahkan diri kepada Katarabumi. Atas permohonan kaum
kerabatnya, Raja Moro itu tidak dibunuh (Adnan Amal, 2007: 30)
Penyerangan Katarabumi dan pasukannya berlanjut ke Tolo (sekarang
sekitar Tobelo). Penyerangan ini agak tertahan karena Portugis sudah mengirim
pasukannya ke Tolo, dan terjadi pertempuran sengit. Portugis berhasil mengusir
Katarabumi dan pasukannya kembali ke Jailolo. Setelah penyerangan ini, Portugis
mulai berencana untuk melakukan penyerangan balasan ke Jailolo.
4.5.5 Menjadi Kolano Terbesar Jailolo
Pengangkatan Katarabumi menjadi Jojogu yang kemudian menjadi Kolano
membuat Ternate mengalami kesulitan dalam melakukan ambisi politiknya untuk
menguasai Jailolo yang sudah menjadi incarannya sejak lama. Selama berkuasa,
Katarabumi berhasil membebaskan seluruh wilayah Kesultanan Jailolo yang
diduduki Kerajaan Ternate.
Katarabumi memiliki kekuatan perang yang sangat menakutkan bagi
kerajaan Maluku yang lain. Ternate sangat tau akan kekuatan itu, makanya
Khairun memanfaatkan kekuatan Katarabumi untuk menumpas Kerajaan Moro
yang rajanya Don Joao de Mamuya serta rakyatnya yang sudah menjadi Kristen.
Keberhasilan Katarabumi karena didukung oleh pasukannya yang kuat dalam
berperang. Repuatasi pasukan ini sangat ditakuti oleh Portugis. Pasukan Alifuru
Jailolo memiliki reputasi perang hutan yang sangat menakutkan dan pasukan ini
sewaktu-waktu dapat menghilang dan tidak diketahui jejaknya.
48
Gambar 6. Pasuakan Alifuru dari Kerajaan Jailolo (Alfuros of Gilolo), (Sumber: Ebay London)
Kerajaan Jailolo berada di pulau yang besar dan dikelilingi oleh kerjaan-
kerajaan yang berada di pulau kecil yang berhadapan langsung dengan Pulau
Halmahera. Pasukan Katarabumi juga mempunyai pasukan laut yang tangguh.
Kekuatan dari pasukan katarabumi di lautan begitu kuat sehingga Kerajaan Jailolo
sering disebut sebagai Jiko ma Kolano atau penguasa teluk (Andaya, 1993: 51).
Kekuatan Katarabumi mencapai kesuksesan yang tinggi karena dapat
mengamankan seluruh daerah kekuasaan Jailolo yang sebelumnya sering di jajah
oleh Kesultanan Ternate. Katarabumi juga dapat memperluas wilayahnya sampai
Halmahera bagian utara dan juga pulau Morotai yang berada sebelah utara dari
Pulau Halmahera yang dikuasai oleh Kerajaan Moro sebelumnya. Kekuatan ini
mengherankan Portugis, karena tidak menyangka kekuatan Katarabumi menjadi
tangguh dan sangat disegani di seluruh kawasan Maluku. Pihak Portugis menilai
Katarabumi sangat tangguh dalam militer. hal ini terbukti ketika Purtigis harus
mengusir pasukan Jailolo dari Morotia membutuhkan pasukan dalam jumlah yang
sangat besar dan membutuhkan waktu sampai tiga bulan (Adnan Amal, 2007: 31).
49
4.6 Aspek Sosial dan Ekonomi
Bagian ini membahas aspek sosial meliputi sistem politik pemerintahan
yang dibangun oleh Katarabumi dan juga melihat masyarakat Jailolo dari sisi
kesukuan dan mata pencaharian. Sedangkan pada aspek ekonomi melihat
perdagangan yang terjadi pada masa Katarabumi dan hasil bumi berupa rempah-
rempah dan tanaman yang lainnya.
4.6.1 Aspek Sosial dan Pemerintahan Katarabumi
Pemerintahan Kerajaan Jailolo yang dipimpin oleh Katarabumi menganut
sistem pemerintahn monarki yang dielaborasi dengan unsur-unsur tradisi dan
adat. Raja dalam hal ini Katarabumi yang memegang kekuasaan yang paling
tinggi, dan pengambil keputusan akhir dari semua urusan pemerintahan maupun
kerajaan. Pola pemerintahan yang dilakukan seperti dengan bentuk piramida
kekuasaan yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pada puncak piramida kekuasaan
berada di tangan raja yaitu Katarabumi yang memainkan peran tersebut.
Berikutnya adalah kaum bangsawan yang mempunyai keturunan raja, baik
keturunan Katarabumi itu sendiri, maupun dari kerabat-kerabat terdekat ataupun
kerabat yang jauh. Selanjutnya orang pekerja pemerintah seperti Bobato
(semacam menteri) yang dikepalai oleh seorang Jogugu yang selalu dijabat oleh
orang kepercayaan raja. Pimpinan militer dipegang seorang Kapita Laut
(Panglima Laut) yang selalu dijabat oleh putra mahkota atau putra raja lainnya.
Wilayah kerajaan yang begitu besar sehingga sering kerajaan terbagi menjadi
beberapa jiko (semacam distrik) yang dipimpin oleh Jiko Ma Kolano (Kepala
50
Pemerintahan Wilayah) yang membawahi sejumlah Soa (komunitasi setingkat
desa) yang dikepalai seorang Kimalaha. Selain itu kadang ada seorang Utusang
sebagai wakil pribadi raja untuk mengurus kepentingan kerajaan, seperti
mengumpulkan upeti dan tugas-tugas khusus lainnya. Pada daerah taklukan yang
bukan kerajaan, raja menggangkat seorang Salahakan (Gubernur), sementara
daerah taklukan yang sudah ada rajanya maka raja tersebut tetap memegang
kekuasaan dan daerah vasal (Adan Amal, 2007: 11-12).
tipe oligarki yang ada di pemerintahan Katarabumi adalah para Jiko Ma
Kolano atau juga para Kimalaha dan juga Utusang. Jabatan ini masih memiliki
pemisahan yang tegas, namun terbuka kesempatan bagi warga biasa untuk
memperoleh jabatan dan kekuasaan tersebut. Dalam hal ini, bila para prajurit
memiliki derajat lebih tinggi dari masyarakat biasa.
Penduduk di Kerajaan Jailolo, umumnya adalah suku Wayoli, Tobaru, dan
sebagian Suku Loloda. Bahkan Van Fraassen (1980), mengatakan suku Wayoli
dan Tobaru merupakan yang sudah eksis sejak zaman kerajaan Jailolo. Kedua
suku ini menjadi suku besar di Halmahera. Suku Wayoli menduduki di daerah
selatan dan Suku Tobaru dan Suku Loloda menempati daerah utara Halmahera.
Ketiga suku ini mempunyai bermata pencarian sebagai nelayan dan petani, karena
keadaan geografis sangat memukinkan untuk dapat melakukan kedua profesi
tersebut.
Khusus suku Wayoli setelah kejatuhan Katarabumi, membuat suku ini
terpecah. Sebagian memilih keluar dari Jailolo karena daerah tersebut dikuasai
51
oleh Ternate dan tidak mau tunduk pada Ternate. Sedangkan sebagian lainnya
menetap dan memilih mengikuti penguasa yang baru dan dijadikan distrik Ternate
yang kemudian dinamakan suku Sahu yang berasal dari kata “Sahur” karena
kapitanya menghadap sultan pada saat sultan sedang sahur, dan memrintahkan
daerah yang baru dinakaman demikian.
Suku-suku inilah yang sering disebut sebagai orang Alifuru (Al-furos)
yang reputasi perang hutan sangat ditakutkan. Tetapi pemaknaan orang Alifuru itu
kadang diartikan sebagai orang yang hidup di hutan, orang kampung, orang
tertinggal. Penamaan itu diberikan oleh orang Ternate terhadap orang-orang dari
Halmahera. Istilah tersebut sampai sekarang masih digunakan.
4.3.2 Aspek Ekonomi
Sebelum kedatangan bangsa Barat, Maluku telah lama dikunjungi oleh
bangsa Cina. Leirissa (1975: 2) mengatakan cengkeh telah dikenal sejak abad ke
tujuh yang tercatat dalam sejarah Dinasti Tang. Orang Cina telah menemukan
jalan laut ke kepulauan rempah-rempah. Setelah itu mulai berdatangan pedagang
Cina ke Maluku melalui Philipina, kemudian kebutuhan akan cengkeh mulai
meninggakat dan informasinya tersebar luas dan sampai di Eropa melalui jalur
darat.
Schrieke (1960: 11) menerangkan perjalanan cengkeh yang bukan melalui
jalur Cina, tetapi melalui Malaka yang diambil dari pedagang Jawa dan Melayu
yang mengambil cengkeh di Maluku. Dari Malaka kemudian di angkut ke kota-
52
kota India. Selanjutnya sampailah rempah-rempah ke Eropa melalui Aden dan
Hormuz.
Hasil bumi berupa remapah-rempah terutama cengkeh menjadi komoditi
utama bagi kerjaan Jailolo. Kedekatan Katarabumi dengan Portugis juga
membawa proses perdagangan dapat berjalan dengan baik dan sangat
menguntungkan Portugis terutama dapat hasil yang melimpah dari Jailolo dan
Ternate sebagai dua kerajaan di Maluku Utara. Kelimpahan ini sampai Portugis
harus menjadwalkan tiga rute perjalanan kapal-kapalnya untuk menggangkat
rempah dari Maluku.
Arnold Van Wickeren (2009) menjelaskan tiga rute perjalanan rempah-
rempah dari Maluku oleh Portugis. Rute yang pertama melalui kepulauan Banda
ke Malaka biasanya dilakukan pada bulan Januari dan Februari tiba di Banda
kemudian berlayar lagi pada bulan Mei dan Juli yang ditempuh dalam waktu 19
sampai 20 bulan. Rute ini sering kali digunakan oleh Portugis walaupun lebih
lama dengan rute yang lain. Karena rute ini dapat memperoleh tanaman Pala, Fuli
dan sedikit Cengkeh di Banda.
Sedangkan rute kedua dilakukan dari Maluku melalui rute Borneo
(Kalimantan) yang kemudian ke Malaka. Jadwal tiba kapal ini dari Malaka di
perairan Maluku sekitar pertengahan Agustus dan kembali lagi ke Malaka pada
akhir Oktober. Rute ini lebih cepat karena hanya membutuhkan waktu sekitar
sepuluh bulan 15 hari. Tetapi rute ini jarang dilakukan, kerena tidak melalui
Banda, sehingga pala dan fuli tidak diperoleh.
53
Rute yang ketiga yang langsung membawa rempah-rempah dari kepulauan
Maluku tanpa mampir di Banda ataupun di Borneo. Kapal-kapal yang berangkat
dari Goa pada pertengahan bulan April atau akhir bulan April dari Cochin. Kapal
tersebut tiba di Malaka pada akhir Mei dan tiba di Maluku pada Akhir bulan
Oktober. Setelah mendapatkan rempah-rempah maka kapal-kapal tersebut
meninggalkan Maluku pada pertengahan bulan Fubruari dan tiba di Malaka pada
pertengahan November, kemudian tiba di Cochin pada awal Januari atau
Pertengahan Maret di Goa.
Gambar 7. Pohon Cengkeh dan seorang serdadu Alifuru (Sumber: Steven, 1780: 8)
http:books.google.co.id/books?id
Selain cengkeh, Kerajaan Jailolo menjadi penghasil bumi bagi Kerajaan
Maluku lainnya seperti Ternate dan juga Kerajaan Tidore. Hubungan ini terjadi
karena kedua kerajaan ini hanya berada di pulau yang kecil, dan tidak dapat
mencukupi kebutuhan dari masyaraktnya. Kerajaan Jailolo yang berada di
54
Halmahera yang mempunyai tanah subur, membuat tumbuhan seperti sagu,
pisang, batatas (ubi jalar), bete (tales), dan kasbi (singkong) sebagai tumbuhan
penghasil karbohidrat yang sangat diminati. Hasil bumi menjadi sumber
pendapatan yang memadai bagi Kerajaan Jailolo.
4.7 Aspek Kepercayaan dan Budaya
Masa pemerintahan Katarabumi terjadi setelah Islam sudah masuk di
Kerajaan Jailolo, tetapi Islam masih dalam ketegori agama dari orang-orang
kerajaan. Hal ini terbukti setelah pasca Katarabumi orang-orang Jailolo sering
disebut “kafir” oleh orang Ternate. Pemanggilan ini menujukkan kalau
masyarakat Jailolo tidak memilih Islam sebagai agamanya, ataupun kalau
memeluk agama Islam hanya sedikit. Penggunaan kata Kafir, dapat juga diartikan
sebagai orang yang bukan memeluk Islam sebagai kepercayaanya, misalnya yang
beragama Kristen (katolik).
Terkait dengan penyebaran Islam di Jailolo, peristiwa penting pernah
terjadi pada masa Kesultanan Babulah (anak dari Sultan Khairun) yang
memerintah Ternate menggantikan ayahnya karena dibunuh oleh Portugis.
Babulah membalas kematian ayahnya dengan membunuh ribuan orang Kristen di
Halmahera. Peritiwa itu disebut sebagai “Vesper Maluku” (malam Maluku),
ribuan orang yang tidak dibunuh dipaksa masuk muslim atau kembali ke agama
suku. Tetapi kebanyakan orang yang tidak dibunuh lebih memilih kembali ke
agama suku dari pada memilih agama muslim. Kejadian ini semakin memperkuat
55
istilah kafir bagi orang Halmahera (Jailolo) karena tidak memilih Islam menjadi
agama (Schuurman, 1994: 11).
Peristiwa Vesper Maluku menjadi catatan penting, karena orang Kriten di
Halmahera sudah ada. Selain di Kerjaan Moro yang merupakan pusat Kristen oleh
Portugis, tentu juga di Jailolo sudah terdapat orang Kristen. Bangsa Spanyol ada
di Jailolo dengan waktu yang cukup lama, kedatangan bangsa ini dengan salah
satu tujuan adalah menyebarkan agama Kristen, sangat tidak mungkin upaya
penyebaran agama Kristen tidak dilakukan di Jailolo oleh Spanyol.
Hal ini masih dapat dianggap benar karena masyarakat Jailolo khususnya
suku Wayoli yang kemudian terbentuk suku yang baru adalah Sahu, juga suku
Tobaru yang adalah orang-orang yang menjadi Pasukan Alifuru tidak memilih
menjadi Muslim walaupun daerah tersebut adalah jajahan kesultanan Ternate yang
adalah kerajaan Muslim besar di Maluku. Kesetiaan orang-orang Jailolo itu masih
tertahan sampai kedatangan Belanda dan kemudian memilih menjadi Kristen
(Protestan). Penjelasan terkait agama akan lebih baik dengan penelitian tersendiri,
sehingga akan lebih tepat dengan melihat beberapa aspek yang lain yang juga ikut
mempengaruhi sehingga mereka tidak memilih Islam sebagai agamanya.
Pelayaran bangsa Spanyol dan Portugis juga mempunyai salah satu misi
yaitu menyebarkan agama Kristen, karena itulah mereka diberikan ijin oleh Paus
untuk berlayar ke dunia timur. Sekali lagi sangat tidak mungkin bangsa Spanyol
tidak melakukan sesuatu seperti apa yang dititahkan Paus kepada mereka.
Sewaktu di Maluku bangsa Spanyol berada di Tidore dan Jailolo, Tidore pulau
56
yang kecil dan pengembangannya agak sulit, yang mungkin adalah Kerajaan
Jailolo. Hanya saja penyebaran agama Kristen di Jailolo tidak seheboh dengan apa
yang dilakukan oleh Portugis di Ternate dan Kerajaan Moro.
Terkait dengan penyebaran Kristen di Jailolo, dapat dikatakan kalau
bangsa Spanyol memiliki cara yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
Portugis. Spanyol lebih melihat kekristenan dari sisi kualitas (nilai) yaitu
bagaimana menjadi orang Kristen terkait dengan perbuatan dan sikap, dan bukan
hanya pada sisi kuantitas yang sering digunakan Portugis, misalnya berapa banyak
orang yang menjadi Kristen, ada berapa banyak Gereja yang didirikan, dan
sebagainya.
Gambar 8. Salah satu Sasadu di Jailolo (Sumber: http://www.wego.co.id/berita/pesta-makan-adat-
di-jailolo/)
Selain kekristenan, masyarakat Jailolo tentunya mempunyai kepercayaan
terhaap berhala. Hal ini terlihat dari Pasukan Alifuro (Alfuros Soldier) dapat
57
menghilang sewaktu-waktu dan dapat muncul kembali. Kekuatan ini sudah tentu
merupakan kebiasaan dari kepercayaan animisme yang ada pada saat itu.
Kebudayaan yang berkembang pada jaman Katarabumi tidak tercatat,
tetapi dapat terekspresikan saat ini. Kebudayaan yang berkembang di wilayah
Jailolo menjukan peradaban yang telah ada dan berkembang. Kebiasaan ini
terkespresikan di daerah Suku Wayoli yang kemudian menjadi Sahu sekarang ini,
untuk setiap kelompok masyarakat (sekarang kampung) selalu ada Sasadu
(Rumah Adat) yang selalu di pakai untuk musyawarah, upacara adat, acara
syukuran akan panen hasil bumi. Sasadu dapat dilihat pada Gambar 9. Adanya
Sasadu menujukan budaya dan peradaban yang dapat dikatakan lebih maju dari
berbagai suku lainnya yang ada di Halmahera.
Proses pembuatan yang sangat rumit geometrisnya dan berbentuk persegi
panjang dan atapnya terbuat dari daun pohon sagu dan tiangnya dari kayu besi
atau kayu gufasa, dalam acara yang dilakaukan di Sasadu biasanya diiringi oleh
musik dan tarian-tarian. Banyak tarian yang ada yaitu, tarian Legu Salai yang
sering dilakukan untuk penyambutan, Cakalele untuk tarian perang dan juga yang
lainnya.
Dahulu ada tarian Waleng kadang disebut sebagai Waleng-Waleng
merupakan jenis tarian yang memanggil arwah-arwah nenek moyang yang
kemudian diikuti dangan musik dan orang yang kerasukan mulai melakukan
tarian. Tarian ini berangsur hilang dengan mulai berkembang Protestan yang
mengharuskan meninggalkan kepercayaan berhala.
58
Alat-alat musik yang digunakan pada upacara adat terlihat pada Gambar
10, tampak gong, gendang dan lainnya sama dengan daerah-daerah di Indonesia.
Hanya saja gendang yang di Sasadu sangat panjang, ukurannya kurang lebih 2-5
meter. Gendang tersebut dinamakan Kakabelu, yang terbuat dari pohon sagu atau
pohon pinang yang tumbuh liar di hutan Jailolo. Kakabelu dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 9. Kakabelu menjadi alat musik wajib di Sasadu (Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/254837)
4.8 Berakhirnya Kekuasaan Katarabumi
Bagian ini membahas tentang penyerangan Portugis yang didalangai oleh
Sultan Khairun ke Jailolo, yang selanjutnya membuat kejatuhan Jailolo sebagai
kerajaan terbesar. Pada bagian selajutnya membahas strategi Khairun untuk
menguasai Jailolo, sebagai keinginan turun-temuran dari Ternate.
4.8.1 Penyerangan Portugis dan Ternate ke Jailolo
Serbuan Katarabumi ke Moro, dukungannya kepada Deyalo, berikut
pernyataan- pernyataannya yang kontroversial tentang hubungan Portugis-Jailolo,
59
telah menimbulkan kesan Portugis bahwa Katarabumi adalah pribadi yang sukar
dipercaya dan, karena itu, harus disisihkan dari percaturan politik dan militer di
Maluku. Sebagai balasan atas aksi-aksi Katarabumi, Bernaldin de Sousa yang
diangkat sebagai Gubernur untuk kedua kalinya berencana memberi “pelajaran”
kepada Katarabumi dengan menyerbu Jailolo pada 1551. Walaupun perang ini
diprakarsai Portugis sendiri, tetapi label yang diberikan kepadanya adalah
“serbuan Ternate dengan bantuan Portugis” (Adnan Amal, 2007: 35)
Stampa Leopoldo (1867) mengatakan bahwa kejatuhan Katarabumi bukan
hanya semata-mata karena penyerangan Portugis yang didalangi Khairun. Tetapi
dengan bersamaan itu Gunung Jailolo melutus dan terjadi hujan batu dan
menutupi istana dan benteng Jailolo. Logistik yang berkurang, sehingga
memaksakan Katarabumi untuk menyerah dan turun dari singasana Kerjaan
Jailolo.
Penyerahan Katarabumi dilakukan dan setelah itu, dan Portugis
memerintahkan pintu benteng dibuka untuk memperlihatkan volume persenjataan
dan posisi pertahanan benteng selama beberapa hari. Andaya (1993: 130)
mengatakan dalam penyerahan Katarabumi menolak menyaksikan penyerahan
Jailolo. Dengan mengenakan jubah pemberian Gubernur d’Ataide, Sultan Jailolo
itu menghilang pada suatu malam yang gelap dan masuk hutan. Ia menjalani
hidup sebagai seorang pertapa.
Pada saat-saat terakhir, Untuk menghindari penyerangan Portugis
Katarabumi ingin mengonversi agamanya menjadi Kristen Katolik. Ketika akan
60
dibaptis dan para pastor telah siap di depannya, mereka meminta agar sebelum
dibaptis Katarabumi harus menceraikan istri-istrinya dan menyisakan satu orang
saja. Katarabumi menolak permintaan ini, sehingga pembaptisan gagal dilakukan.
Beberapa hari kemudian, masih dalam tahun 1551, Katarabumi wafat karena
minum racun (Stampa Leopoldo: 1867).
Sepeninggal Katarabumi, Jailolo kehilangan dinamika dan kekuatannya
sebagai sebuah kerajaan. Putra Kolano Katarabumi, yaitu Cachil Guzarate (baca:
kacil Guzarate) dan yang mengantikan ayahnya ditangkap oleh Khairun besertai
ibu dari Guzarate dibawa ke Ternate dan dibujuk untuk bekerja sama dengan
Ternate, tetapi mereka menolak dan memilih lebih baik mati dari pada menjalin
hubungan dengan Ternate (Van Wickeren: 2009).
Katarabumi hanya meninggalkan nama dan identitas sebagai bekas sebuah
kerajaan tertua dan terbesar pada masa awal kelahiran kerajaan-kerajaan Maluku.
Jailolo juga telah meninggalkan identitasnya sebagai salah satu dari empat pilar
kerajaan Maluku yakni: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan yang dikenal sebagai
Moloku Kie Raha.
Menurut para pengamat sejarah Maluku, kerjasama yang dijalin Jailolo di
bawah Katarabumi dengan kerajaan-kerajaan Maluku lainnya telah memperkuat
posisi Sultan Khairun dari Ternate dalam menghadapi Portugis maupun Misi
Jesuit yang memboncenginya, terutama dengan Gubernur Jordao de Freitas.
61
4.8.2 Strategi Kerajaan Ternate Menguasai Jailolo
Ancaman Ternate terhadap Jailolo dimulai pada 1284, ketika Siale Kolano
Ternate ketiga menyerang beberapa desa Kerajaan Jailolo dan mendudukinya.
Pada 1304, Kolano Ternate lainnya, Ngara Malamo, menyerang Jailolo dan
menduduki untuk waktu yang lama beberapa desa di Batu Cina, di bagian selatan
Jailolo.
Sekalipun dalam Pertemuan Moti, yang Jailolo diakui sebagai kerajaan
peringkat pertama dari tiga kerajaan lain (Ternate, Tidore, Bacan) dalam hal
senioritasnya, tetapi hal ini tidak mengakhiri ambisi Ternate untuk mencaplok
Jailolo. Pada 1343, Kolano Ternate, Tulu Malamo, tidak lagi mengakui keputusan
Motir Verbond, dan menyerang serta menduduki Jailolo. Raja Jailolo ketika itu
tidak dapat berbuat sesuatupun, walaupun tindakan Tulu Malamo menuai reaksi
keras dari Kolano Tidore dan Bacan.
Sekalipun serbuan Tulu Malamo atas Jailolo telah menuai reaksi keras dari
kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, pada 1359 Kolano Ternate, Gapi Malamo,
kembali menyatakan tantangannya terhadap Jailolo. Kali ini agresi yang
dilancarkan Ternate tidak berhasil. Bala tentara Jailolo dapat menghalau tentara
Ternate keluar dari wilayahnya.
Sejarah panjang terkait keinginan Ternate akan Jailolo. Khairun yang
menjadi dalang dari skenario yang disiapkannya untuk menjatuhkan Katarabumi.
Awalnya Katarabumi lebih menyukai Sultan Deyalo untuk menguasai Ternate
ketimbang Khairun. Tetapi tahta dikuasai Ternate Khairun. Khairun sangat tahu
62
kalau tentaranya tidak mampu untuk mengalahkan Jailolo. Oleh karena itu,
diadakan pertemuan dengan mengadakan pertemuan Maluku dan meminta
Katarabumi yang melakukan peperangan melawan Kerajaan Moro. Disisi ini,
pasukan Jailolo akan berkurang akibat peperangan yang panjang. Setelah itu ia
manghasut Portugis dan kemudian membantu Portugis untuk menyerang Jailolo.
Kelicikan Khairun memang sangat hebat, karena mampu memperdayai Jailolo dan
Portugis.
Tetapi menjadi catatan penting yang terabaikan oleh pakar sejarah adalah
kematian Khairun di Benteng Gamlamo yang menurut anggapan sejarawan
Portugis sepenuhnya berada dipihak yang salah. Mereka tidak memperhatikan
kejadian sebelumnya yang diatur Khairun untuk mengadu domba antara
Katarabumi dan Portugis, dan Ternate yang mendapatkan keuntungan yang besar.
Kematian Khairun, mungkin ada kaitan dengan kemarahan Portugis terkait
dengan Katarabumi. Karena setelah itu anak dari Katarabumi (Kachil Gizarate)
dan istrinya di tangkap oleh Khairun dan dibawa ke Ternate. Tetapi dari mereka
lebih memilih untuk mati dari pada bekerja sama dengan Ternate. Setelah
Katarabumi Wafat, sebagian penduduk Jailolo terutama suku Wayoli keluar dari
wilayah Jailolo dan daerah yang ditinggal kemudian dilakukan oksodus besar-
besaran dari penduduk Ternate yang berpindah ke Jailolo yang diperintahkan oleh
Ternate.
63