67
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ABORSI JANIN YANG
TERINDIKASI HIV/AIDS
A. Hukum Islam Memandang Aborsi
Ayat-ayat yang terkandung di dalam al-Quran mengajarkan semua umat dan
telah mengendalikan perbuatan manusia. Tidak ada satu pun ayat dalam al-Quran
yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat muslim. Sebaliknya,
banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan yang sangat
mulia. Selanjutnya, ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar hukum tentang aborsi
dijelaskan dalam beberapa surat sebagai berikut:1
a. Umat muslim, dilarang melakukan aborsi atau membunuh anak (termasuk di
dalamnya janin yang masih dalam kandungan) dengan alasan takut miskin.
Sebagaimana firman Allah SWT:
2 خطئب كجيش ى كب لزه ئيبكى ئ ى شصل لدكى خشيخ ئيلق ح ل رمزها أ ا
Ayat di atas menjelaskan, tidak boleh membunuh anak-anak karena takut miskin,
Allah lah yang akan memberikan rezeki, karena membunuh mereka adalah sesuatu
dosa yang besar.
b. Manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, tidak boleh dihinakan baik dengan
merubah ciptaan tersebut, atau menguranginya dengan cara memotong sebagian
1 https://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/258/hukum-aborsi-dalam-islam. 2 Q.S. Al-Isra’ (17): 31.
68
anggota tubuhnya, maupun dengan cara memperjual belikannya, atau dengan cara
menghilangkannya sama sekali yaitu dengan membunuhnya. Sebagaimana firman
Allah sebagai berikut:
3ى هب فض انطيجبد ى ي سصلب انجحش ى في انجش هب ح يب ثي آدو نمذ كش كثيش عه
خهمب رفضيل ي
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah telah memuliakan anak-anak Adam, dengan
memberikan rezeki yang baik dan dilebihkan dengan kelebihan yang sempurna
dibandingkan ciptaan Allah yang lain.
c. Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang,
menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua orang.4
نك أخم ر ب ي فغبد في السض فكأ لزم فغب ثغيش فظ أ ي ثي ئعشائيم أ كزجب عه
ى سعهب ثبنجي نمذ خبءر يعب ب أحيب انبط خ ب فكأ أحيب ي يعب بد ثى لزم انبط خ ئ
غشف نك في السض ن ى ثعذ ر كثيشا ي
d. Tidak ada kehamilan yang merupakan kecelakaan atau kebetulan, setiap janin
yang terbentuk adalah rencana Allah SWT yang menciptakan manusia dari tanah,
kemudian menjadi segumpal darah dan menjadi janin, semua itu tidak terjadi
secara kebetulan. Hal ini diungkapkan Allah dalam al-Quran surat Al-Hajj ayat ke
lima.5
3 Q.S. Al-Isra’ (17): 70. 4 Q.S. Al-Maidah (5): 32. 5 Q.S. Al-Hajj (22): 5.
69
طفخ ثى ي رشاة ثى ي انجعث فاب خهمبكى ي زى في سيت ي ك ب انبط ئ يب أي عهمخ ثى ي
أخم يغ مش في السحبو يب شبء ئن نكى غيش يخهمخ نجي ثى خشخكى يضغخ يخهمخ
يشد يكى ي ف يز كى ي ي ثعذ عهى طفل ثى نزجهغا أشذكى ش نكيل يعهى ي أسرل انع ئن
كم ص جزذ ي أ سثذ د زض بء ا ب ان ضنب عهي رش السض بيذح فارا أ يح شيئب ج ث
Dalam teks-teks al-Quran maupun hadist tidak didapati secara khusus hukum
aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa seseorang tanpa hak.
Salah satunya adalah firman Allah SWT berikut:
6ن عهي غضت الل ب ى خبنذا في ذا فدضاؤ خ يمزم يإيب يزع ي ب أعذ ن عزاثب عظي ع
Ayat tersebut menyatakan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam dan kekal disana, karena
Allah murka dan melaknatnya dengan siksaan yang berat.
Dalam hadist juga dijelaskan “seorang kamu ditempatkan penciptaannya di
dalam perut ibumu selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula (40
hari), kemudian menjadi mudghah selama itu pula (40 hari) kemudian Allah
mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan dikatakan
kepadanya: tulislah amal, rezeki, dan ajalnya, serta celaka atau bahagianya, kemudian
ditiupkan kepadamu ruh. (HR. Imam Al-Bukhori dari Abdullah)”.7
Dasar-dasar ayat di atas sudah jelas bahwa perbuatan aborsi atau pengguguran
kandungan dilarang dengan keras, karena pada dasarnya menggugurkan kandungan
6 Q.S. An-Nisa’(4): 93. 7 MUI, Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 458.
70
berarti menghilangkan nyawa. Hal ini yang menjadi landasan ditetapkannya hukum
aborsi, karena aborsi disamakan dengan pembunuhan, khususnya perbuatan aborsi
tersebut dilakukan dengan sengaja bukan kerena darurat.
Para ulama menjelaskan bahwa jika anak telah menjadi embrio, maka ibu
tidak boleh menggugurkan, sebab anak tersebut telah terikat. Lain halnya jika masih
berupa sperma yang terikat dan terkadang berkemungkinan untuk tidak menjadi
seorang anak. Maksud kata terikat disini adalah sudah terlanjur berada di dalam rahim
seorang ibu.8
Namun terdapat perdebatan diantara ahli fiqih mengenai aborsi dalam
berbagai literatur klasik yang berkisar pada sebelum terjadinya penyawaan (qabla
nafkh al-ruh), maksudnya adalah kehamilan sebelum adanya peniupan “ruh” ke
dalam janin karena kehamilan sesudah penyawaan (ba’da nafkh al-ruh) semua ulama
sepakat melarang kecuali dalam kondisi darurat yang mengancam kehidupan nyawa
ibunya. Para ulama dari empat madzhab mempunyai pendapat yang beragam, ada
yang membolehkan hingga mengharamkan mutlak.9
a. Madzhab Hanafi
Sebagian besar dari fukaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi
diperbolehkan sebelum janin terbentuk. Tepatnya membolehkan aborsi sebelum
peniupan ruh, tetapi harus disertai dengan syarat-syarat yang rasional, meskipun
kapan janin terbentuk masih menjadi hal yang ikhtilaf. Sementara, Ali Al-Qami,
8 Muhammad Syafiqul Anam, Fiqh Kehamilan, (Jombang: Darul Hikmah, 2011), hlm. 125.
9 Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi (Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan),
(Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 92.
71
salah seorang imam madzhab Hanafiyah kenamaan dan sangat terkenal pada
zamannya, beliau menyatakan bahwa hokum aborsi adalah makruh.10
Ulama yang membolehkan pilihan aborsi umumnya sependapat bila belum
terjadi penyawaan, karena dianggap belum ada kehidupan, sehingga bila
digugurkan tidak termasuk perbuatan pidana (jinayah). Pendapat yang
membolehkan aborsi sebelum janin berusia 120 hari adalah Ibnu Abidin, salah satu
pengikut hanafi yang menyatakan fuqoha madzhab ini memperbolehkan
menggugurkan kandungan selama janin masih berbentuk segumpal daging atau
segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan
waktu terbentuknya janin sempurna adalah setelah janin berusia 120 hari. Mereka
membolehkan sebelum waktu itu, karena janin belum menjadi manusia.11
Namun, menurut Al-Buti yang tergolong ulama kontemporer dari kalangan
Hanafi mengatakan bahwa membolehkan aborsi sebelum kehamilan memasuki
bulan keempat hanya dalam tiga kasus yaitu, pertama, apabila dokter khawatir
bahwa kehidupan ibu terancam akibat kehamilan; kedua, jika kehamilan
dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit di tubuh ibunya; ketiga, apabila
kehamilan yang baru menyebabkan terhentinya proses menyusui bayi yang sudah
ada dalam kehidupannya sangat bergantung pada susu ibunya.12
Kaidah yang
mendasari pendapat ini adalah “menghindari bahaya dengan memilih resiko yang
10 Ibid, hlm. 93. 11 M. Nu’aim Yasin, Fiqh Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 202. 12 Ibid.
72
paling ringan”. Dalam hal ini nyawa si ibu didahulukan atas nyawa si janin, karena
si ibu adalah sumber asalnya.13
b. Madzhab Hanbali
Dalam pandangan jumhur Ulama Hanabilah, janin boleh digugurkan
selama masih dalam fase segumpal daging (mudghah), karena belum berbentuk
anak manusia. Pandangan tersebut disebut juga oleh ulama lain yang
membolehkan aborsi secara mutlak sebelum peniupan ruh, diantaranya disebutkan
Yusuf Bin Abdul Hadi, boleh meminum obat untuk menggugurkan janin yang
sudah berupa segumpal daging.14
Namun, Gamal Serour seorang pakar
kependudukan dari Al-Azhar, membatasi sebelum kehamilan berusia 40 harus
siperbolehkan selebihnya dilarang. Namun, pendapat Ibnu Jauzi paling ketat dari
madzhab ini yang menyatakan bahwa aborsi hukumnya haram mutlak baik
sebelum atau sesudah penyawaan pada usia 40 hari.15
Dari paparan pendapat para fukaha Hanabillah cenderung sebagian
besarberpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum terjadinya yaitu sekitar
janin sebelum berusia 40 hari.
c. Madzhab Syafi’i
13 Rahman Imran, Islam Dan KB, (Jakarta: Lentera, 1997), hlm. 232. 14 Ibid, hlm. 210.
15 Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi (Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan),
(Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 96.
73
Ulama-ulama Syafi’iyah berselisih pendapat mengenai aborsi sebelum 120
hari. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan selama masih berupa
sperma atau sel telur (nutfah) dan segumpal darah (alaqah) atau berusia 80 hari,
atau sebelum janin diberi ruh. Sebagian Fukaha Syafi’iyah menyepakati bahwa
aborsi haram sebelum usia kehamilan 40-42 hari. Namun sebagian lagi
menyatakan bahwa aborsi diizinkan sepanjang janin belum berbentuk sempurna,
yakni belum tampak bagian-bagian tubuh seperti tangan, kaki, kepala, rambut, dan
bagian-bagian tubuh lainnya.16
Imam Al-Ghazali, salah sorang ulama dari madzhab Syafi’iyah, beliau
sangat tidak menyetujui pelenyapan janin, karena menurutnya hal tersebut
tergolong pidana (jinayah) dan mutlak haram tanpa melihat apakah sudah ada ruh
atau belum. Urutan pertama dari wujud kehidupan itu adalah bertemunya air
sperma dalam kandungan dan bercampur dengan ovum perempuan dalam rahim.17
Karena itu menggugurkan merupakan suatu pelanggaran tindak pidana, makin
lama perkembangan kandungan, makin meningkat pula hukumannya dan yang
paling besar hukumannya adalah bila anak dibunuh sesudah lahir dalam keadaan
hidup.18
Para ulama sepakat mengharamkan pengguguran kandungan yang
dilakukan setelah peniupan ruh atau setelah 4 bulan, dan tidak dihalalkan bagi
16 Ibid, hlm. 98.
17 Sayid Ahmad, Islam Berbicara Soal Seks, Percintaan, Dan Rumah Tangga, (PT Gelora
Aksara Prtama, 2008), hlm. 82. 18 Abdul Syukur, Buku Lengkap Fiqh Wanita, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), hlm. 404.
74
kaum muslimin melakukannya karena hal itu merupakan pelanggaran pidana
(jinayah) atas makhluk yang hidup. Akibat hukum bagi pelaku pengguguran
kandungan setelah penyawaan, menurut mayoritas (jumhur) ulama Syafi’iah
sepakat pelakunya wajib membayar kompensasi (ghurrah).19
d. Madzhab Maliki
Jika rahim telah dibuahi sperma maka tidak boleh mengganggunya, lebih-
lebih jika sperma tersebut telah berbentuk janin, dan lebih-lebih jika janin tersebut
telah ditiupkan ruh, maka para ulama sepakat bahwa itu merupakan
pembunuhan.20
Ulama Malikiyah berpandangan bahwa kehidupan sudah dimulai sejak
terjadinya konsepsi. Oleh karena itu, menurut mereka aborsi tidak diizinkan
bahkan sebelum janin berusia 40 hari, alasannya bila air mani telah tersimpan
dalam rahim berarti sudah ada proses kehidupan.21
Hal ini sejalan dengan pendapat
Al-Laisy, menurutnya jika rahim telah mengangkap air mani, maka tidak boleh
suami-isteri ataupun salah satu dari mereka menggugurkan janinnya, baik sebelum
penciptaan. Tetapi, menurut mayoritas Malikiyah aborsi boleh dilakukan hanya
untuk menyelamatkan nyawa ibu, selain itu mutlak dilarang.22
19 Maria Ulfah Anshor. Op. Cit, hlm. 101. 20 Musthofa Masyur, Fiqh Dakwah, (Jakarta: Cahaya Umat, 2000), hlm. 215.
21 Arjatmo Tjokonegoro dan Hendra Utama, Aborsi Dalam Perspektif Fiqh Kontemporer,
(Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007), hlm. 160. 22
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi (Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan),
(Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 101.
75
Aborsi setelah penyawaan dikategorikan sebagai bentuk kejahatan yang
terkutuk, tidak peduli apakah kehamilan tersebut hasil dari sebuah pernikahan
yang sah atau karena hubungan zina, kecuali jika aborsi tersebut ditujukan untuk
menyelamatkan nyawa ibunya. Mayoritas (jumhur) ulama Malikiyah sepakat
untuk memberikan hukuman (ta’zir) bagi pelaku aborsi pada janin sebelum terjadi
penyawaan (qabla nafkhi al-Ruh).23
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Para fuqaha
sepakat atas haramnya pengguguran janin setelah janin mendapatkan nyawa atau
setelah berusia empat bulan dalam kandungan ibunya karena pada usia itu telah
ditiupkan ruh pada janin. sedangkan hukum pengguguran bayi sebelum peniupan ruh
beberapa madzhab fiqih dalam masalah ini berselisih pendapat tentang hukum
menggugurkan janin yang usianya belum mencapai empat bulan atau belum ditiupkan
ruh kepadanya.
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Aborsi Janin yang Terindikasi HIV/AIDS
Hukum aborsi menurut hukum Islam adalah haram sejak bertemunya sel telur
dengan sperma, namun untuk aborsi janin yang terindikasi virus HIV/AIDS harus
dikaji ulang. Penyakit AIDS sampai saat ini memang belum ditemukan obatnya,
namun data dari Rasulullah adalah tidak ada penyakit kecuali telah diturunkan
obatnya. Siapa tau jika bayi itu dilahirkan sudah ada obat untuk mematikan virus HIV
pada tubuh bayi tersebut, namun jika dibiarkan artinya virus HIV akan terus
23 Ibid.
76
menyebar lebih luas. Dari keterangan di atas, harus ditimbang dulu lebih berat
kebaikannya (mashlahat) atau keburukannya (mafsadat).
Pada dasarnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga satu-satunya
yang memiliki mandat membuat fatwa agama Islam yang didirikan oleh Pemerintah,
dalam fatwanya Nomor 4 Tahun 2005 menekankan pada pelaksanaan aborsi dengan
berdasarkan umur janin. Akan tetapi jika sudah terjadi pembuahan ovum (implantasi
blastosis) maka walaupun sebelum nafkh ar-ruh hukumnya haram, kecuali ada alasan
medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari’at Islam.24
Mengacu pula pada pendapat Madzhab yang memberikan keringanan dalam
pandangannya mengenai aborsi, dalam hal ini madzhab Hanafi dan madzhab Maliki.
Menurut Al-Buti dari kalangan Hanafi, mengatakan bahwa membolehkan aborsi
hanya dalam tiga kasus yaitu; pertama, apabila dokter khawatir bahwa kehidupan ibu
terancam akibat kehamilan; kedua, jika kehamilan dikhawatirkan akan menimbulkan
penyakit di tubuh ibunya; ketiga, apabila kehamilan yang baru menyebabkan
terhentinya proses menyusui bayi yang sudah ada dan kehidupannya sangat
tergantung pada susu ibunya.25
Lalu menurut mayoritas ulama Malikiyah aborsi boleh
dilakukan hanya untuk menyelamatkan nyawa ibu, selain itu mutlak dilarang.26
24 Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi,
(Jakarta: Komisi Fatwa MUI, 2005), hlm. 8. 25 Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi (Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan),
(Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 94. 26 Ibid, hlm. 103,.
77
Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai aborsi yang dilakukan
dengan alasan bisa membahayakan nyawa sang ibu, dapat dianalisis dengan
menggunakan beberapa kaidah fiqih, antara lain:
1. Bahaya itu harus dihilangkan ( شسيضال .(انض
2. Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih
ringan ( شس الخف شس الشذ يضال ثبنض atau jika dihadapkan pada dua kondisi (انض
yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil resikonya
ب) ب ضشسا ثبسركبة اخف عي اعظ س فغذرب .(ارا رعب سض ان
3. Keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang
ساد ) حظ شساد رجيع ان .(انض
4. Fatwa itu dapat berubah tergantung pada perubahan situasi dan keadaan, tempat,
motivasi, dan tradisi yang berlaku (رغيشانفزىجزغيشالصيخاليكخالحال).27
Para ulama membolehkan aborsi dengan dalih bahwa bahaya yang sangat berat
dapat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan. Mereka berpendapat bahwa
pelakunya tidak lain hanya memilih satu diantara dua bahaya yang lebih ringan.
Karena menggugurkan janin lebih ringan bila dibandingkan dengan kematian sang
ibu. Hukum asal aborsi sebagaimana yang telah dikemukakan adalah haram, akan
tetapi hukum Islam atau fiqih memiliki karakter yang dinamis dan realistis, dapat
27
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan
Fiqhiyah), (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hlm. 133.
78
dikaji secara terus menerus sesuai dengan perkembangan masyarakat, ilmu
pengetahuan, dan teknologi modern.28
Berdasarkan kaidah syar’iyah bahwa jika harus memilih, maka keselamatan
sang ibu harus didahulukan daripada janin, hal ini disebabkan karena ibu merupakan
asal-muasal janin dan kehidupannya tidak bergantung kepada orang lain. Ibu juga
memiliki hak yang harus diberikan sebagaimana ia juga memiliki kewajiban yang
harus ditunaikan. Ia juga merupakan seorang isteri bagi suaminya, ibu bagi anak-
anaknya serta menjadi penopang bagi kehidupan keluarganya. Oleh karena itu, tidak
tepat kiranya mengorbankan jiwa sang ibu demi menyelamatkan janin yang belum
jelas masa depannya serta belum memiliki hak dan kewajiban. Jadi, dibolehkan
melakukan aborsi, meskipun setelah janin memiliki ruh demi keselamatan sang ibu
karena merupakan solusi untuk mencegah timbulnya masalah yang lebih besar.29
Aborsi janin yang terindikasi HIV/AIDS jika dikaitkan dengan kondisi pelaku
aborsi yang terinfeksi HIV/AIDS dalam kaedah-kaedah hukum Islam, hukumnya bisa
berubah dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi aborsi seperti ini masuk
kategori sebagai Aborsi karena darurat atau pengobatan (al-isqath al-dharuri/al-
‘ilajiy) yaitu yang dilakukan karena adanya indikasi fisik yang mengancam nyawa ibu
bila kehamilannya dilanjutkan.30
Aborsi ini dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi
medis sebelum lahir secara alami untuk menyelamatkan nyawa dan jiwa ibu yang
28 Hasbi Ash Shiddiq, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV Mulya, 1967), hlm. 177.
29 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Bandung: Penerbit
Risalah, 1985), hlm. 137. 30
Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi (Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan),
(Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 39.
79
terancam karena pada wanita hamil yang terinfeksi virus HIV/AIDS kondisinya akan
semakin lemah dan janinnya jika dilahirkan akan mengalami cacat lahir.31
Dalam Hal
ini yang dianggap lebih ringan resikonya adalah mengorbankan janin, sehingga aborsi
janin ini menurut agama dibolehkan.
Dari paparan di atas, simpulan yang bisa digambarkan adalah adanya
pembolehan untuk melakukan tindakan aborsi janin yang terindikasi HIV/AIDS
karena hal tersebut bersifat darurat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah, apabila
dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudharatnya
dengan yang dikerjakan adalah yang lebih ringan mudharatnya, yang oleh para ahli
fiqih disandarkan pada firman Allah di dalam surat Al-Baqarah ayat 173:32
اضطش ف نغيش الل م ث يب أ ضيش نحى انخ انذو يزخ و عهيكى ان ب حش ل عبد فل ئ غيش ثبغ
غفس سحيى الل ئ ئثى عهي
Dan juga pada surat Al-Isra’ ayat 33:33
ل رمز عهطبب ف ني لزم يظهيب فمذ خعهب ن ي ئل ثبنحك و الل في ها انفظ انزي حش ل يغش
صسا ي كب انمزم ئ
Ayat pertama, menjelaskan bahwa Allah mengharamkan bangkai, darah, daging
babi dan binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, namun jika dalam
keadaan terpaksa dan bukan menginginkannya maka tidak ada dosa bagi yang
melakukannya. Ayat kedua, menjelaskan bahwa tidak boleh membunuh jiwa yang
31 Abdurrahman Wahid, Seksualitas Kesehatan Reproduksi Dan Ketimpangan Gender,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 211. 32 Q.S. Al-Baqarah (2): 173. 33 QS. Al-Isra’ (17): 33.
80
diharamkan Allah membunuhnya, kecuali dengan suatu alasan yang benar. Kedua
ayat tersebut jelas menyatakan bahwa segala sesuatu yang diharamkan akan
mendapatkan pengecualian jika dilakukan dalam keadaan terpaksa atau darurat dan
dengan suatu alasan yang benar.