120
BAB V
BENTUK-BENTUK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI
PENGUASAAN CENDANA
Hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor
Tengah Selatan bemula dari dua konsep pemikiran berbeda yang melibatkan pihak
penghegemoni dan pihak yang dihegemoni. Dalam hal ini pemerintah berposisi
sebagai penghegemoni dan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni. Pemerintah
menjalankan hegemoni penguasaan cendana sebaliknya masyarakat melakukan
kontra hegemoni. Sesuai pandangan Gramsci, hegemoni sebagai pemerolehan
supremasi (kekuasaan tertinggi) melalui kepemimpinan intelektual dan moral dengan
dukungan kekuatan dan persetujuan, maka kontra hegemoni adalah kebalikannya.
Dalam kaitan ini, kontra hegemoni merupakan ketidaksetujuan atau penentangan atas
perilaku hegemoni. Dengan demikian, pihak yang memiliki peluang sebagai
penghegemoni hanya pihak yang memiliki kekuasaan, khususnya pihak penguasa
formal yakni pemerintah. Sedangkan kontra hegemoni merupakan perlawanan atau
reaksi ketidaksetujuan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni atas peraturan
yang ditetapkan pemerintah.
Sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat
memunculkan hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat. Dalam hal ini
pemerintah berposisi sebagai penghegemoni sedangkan masyarakat sebagai pihak
yang dihegemoni kemudian meresponnya dengan kontra hegemoni. Pemerintah
121
nenetapkan atuan tentang penguasaan cendana bertujuan untuk melestarikan cendana
dan meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini memunculkan beberapa bentuk
hegemoni pemerintah. Ide-ide pemerintah tidak sejalan dengan ide-ide masyarakat,
terutama masyarakat primer cenderung lebih mementingkan kebutuhan hidup dalam
usaha memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Masyarakat menganggap
pemerintah sebagai pihak penguasa telah memaksa masyarakat untuk mematuhi
peraturan yang cenderung memonopoli penguasaan kayu cendana tanpa memberi hak
kepemilikan kepada masyarakat. Hal ini memunculkan berbagai bentuk kontra
hegemoni masyarakat baik secara manifes maupun simbolik
5.1 Bentuk-Bentuk Hegemoni Pemerintah
Hegemon pemerintah dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah
Selatan adalah ekpresi wewenang dan kekuasaan pemerintah menguasai dan
mengatur cendana yang terlegitimasi dalam bentuk peraturan pemerintah. Pemerintah
selaku penguasa wilayah beserta jajarannya (Dinas Kehutanan) memiliki wewenang
dan kekuasaan mengatur penguasaan cendana di wilayah tersebut. Selaku penguasa
tertinggi pemerintah mampu menghegemoni masyarakat dan melakukan pengawasan
terhadap objek dalam bidang-bidang pemhuasaan cendana. Dengan demikian
hegemoni dalam penguasaan cendana merupakan wewenang pemerintah untuk
melakukan berbagai bentuk pengawasan dan cendana di wilayah tersebut.
Bentuk-bentuk hegemoni berupa pengawasan merupakan kelanjutan dari
munculnya peraturan pemerintah. Peraturan yang telah ditetapkan pemerintah
122
didukung dengan kekuasaan negara sebagai alat kekerasan atau paksaan untuk
mejaga kekuasaan kelas dominan. Dengan demikian. hegemoni pemerintah yang
bekerja pada lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran selalu didampingi
aparat koersif. Bahkan antara hegemoni dan koersi (dominasi) berjalan secara
berdampingan. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai penguasa
wilayah tertinggi, berwewenang menetapkan peraturan untuk meregulasi cendana di
wilayahnya. Sebaliknya, masyarakat selaku pihak yang dikuasai harus mentaati
peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Guna menjamin ketaatan masyarakat
terhadap peraturan, pemerintah melakukan pengawasan dengan meregistrasi cendana,
membentuk polisi penjaga hutan, dan melakukan operasi sahabat.
5.1.1 Peraturan Pemerintah
Bentuk-bentuk hegemoni yang tertuang dalam peraturan pemerintah telah
berlangsung sejak zaman kerajaan sampai zaman reformasi. Bahkan, peraturan
pemerintah yang mengatur penguasaan cendana saat ini merupakan ketetapan yang
mengacu pada aturan-aturan masa lampau khususnya peraturan masa Portugid dan
kolonial Belanda. Dalam kaitan ini, pemerintah selaku pelaksana kekuasaan tertinggi
negara berkaitan dengan teori kekuasaan dan pengetahuan, bahwa kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan
kemauan-kemauannya sendiri sekaligus menerapkan tindakan-tindakan sesuai
kemauannya terhadap pihak lain. Kekuasaan sangat tergantung hubungan antara
pihak yang memiliki kemampuan atau pengetahuan untuk melancarkan pengaruh
123
dengan pihak lain yang menerima pengaruh tersebut baik secara sukarela maupun
terpaksa. Berkat hegemoni, dominasi, dan kekuasaan yang dimiliki, pemerintah
berwewenang mengatur keberadaan cendana yang tertuang dalam bingkai peraturan
pemerintah.
5.1.1.1 Peraturan Masa Kerajaan Lokal
Peraturan masa kerajaan lokal merupakan peraturan adat tidak tertulis yang
dilaksanakan berdasarkan kontrol para usif (raja lokal). Dalam kaitan ini, seorang usif
(raja atau penguasa wilayah) memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan
masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya. Usif dianggap keturunan uis neno
disebut neno ana (anak Tuhan atau anak dewa penguasa alam). Kerkuasaan usif
mengatur masyarakat disebutkan dalan hasil wawancara berikut dengan seorang
tokoh masyarakat F.H. Fobia.
“Dulu, dorang percaya usif sakti, neno ana punya (anaknya dewa) turunan
uis neno (dewa penguasa alam tertinggi). Usif kuasai semua wilayah, dia
hormati dorang semua di sini, cendana usif punya, kalo tebang cendana
usif yang atur, hasilnya usif dapat paling banyak, tapi usif juga beri
bagian pada fettor, temukung, amaf.... “ (wawancara dengan F.H. Fobia,
tanggal 24 Mei 2007).
Hal ini menunjukkan hegemoni penguasa (usif) dalam segala bidang kehidupan
masyarakat termasuk penguasaan cendana. Hegemoni usif didukung kekuasaan,
kepercayaan masyarakat, dan keberadaan lembaga pemerintahan tradisional sehingga
muncul mitos bahwa hanya usif yang berhak menguasai cendana yang tumbuh di
wilayah kekuasaannya. Hegemoni usif sejalan dengan pemikiran Weber, penguasa
124
mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga
pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Hegemoni dan dominasi
memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran
masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan
kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni dan dominasi lebih menekankan
pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan untuk mendapat kesejahteraan.
Weber membedakan tiga jenis hegemoni dan dominasi yakni dominasi
karismatik, tradisional, dan legal rasional. Dominasi karismatik didasarkan atas
kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa dan kesetiaan
bawahan. Dominasi tradisional, penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan
oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada
tradisi sebelumnya. Dominasi legal rasional, keabsahan penguasa didasarkan pada
hukum dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum.
Hegemoni dan dominasi masa kerajaan lokal berkaitan dengan dominasi
karismatik dan dominasi tradisional. Hegemoni dan kekuasaan diperoleh berdasarkan
kepercayaan, mitos-mitos, dan nilai-nilai subjektivitas. Sistem kepercayaan
masyarakat telah menggiring kayu cendana sebagai simbol legitimasi kekuasaan
penguasa lokal. Jadi, hanya usif yang memiliki kuasa terhadap cendana, dan setiap
penebangan cendana harus sepengetahuan usif. Mereka yang berhak menguasai kayu
cendana hanya para usif (raja) yang dianggap keturunan uis neno.
Hegemoni usif terkait penguasaan cendana tampak dalam hubungan dagang
dengan pihak-pihak asing. Pihak-pihak yang ingin membeli kayu cendana harus
125
melakukan kontak dengan usif selaku penguasa wilayah. Usif berhak menyetujui dan
melakukan penjualan langsung dengan pedagang-pedagang asing dengan menerapkan
sistem barter. Perdagangan cendana dilakukan apabila kapal atau perahu dagang
datang berlabuh di perairan pada hari-hari tertentu. Saat itu usif yang menempati
sonaf (istana) di daerah turun ke pesisir. Mereka membawa kayu cendana untuk
ditukar dengan barang-barang yang dibawa oleh saudagar seperti kain lena, barang-
barang porselen, gelas, sendok, garpu. Barter tidak boleh ditukar sebelum usif datang
dan harus disaksikan langsung oleh usif. Hasil pertukaran cendana dibagi sesuai
kesepakatan adat yang berlaku. Keuntungan perdagangan kayu cendana memberi
porsi terbesar bagi usif selaku penguasa wilayah. Usif memperoleh separuh dari
pemerolehan penjualan secara keseluruhan. Separuhnya lagi, dibagi dengan perangkat
penguasa bawahannya. Pola pembagian hasil cendana diatur berdasarkan ketentuan
sebagai berikut ; 1). Pembagian 5/10 atau 0,5 untuk usif, 2). Pembagian 2/10 atau
0,2 untuk fettor; 3). Pembagian 1/10 atau 0,1 untuk temukung, 4) Pembagian 2/10
atau 0,2 untuk tukang tebang.
Meskipun usif memperoleh pembagian terbesar dan menguasai sebagian besar
produksi cendana, porsi-porsi tertentu diberikan kepada perangkat lembaga
pemerintahan tradisional berdasarkan kesepakatan bersama. Terutama pembagian
untuk para amaf selaku pemimpin-peminpin klen. Seorang amaf yang memiliki
jumlah anggota cukup besar seringkali diangkat menjadi temukung atau perangkat
pemerintahan tradisional setingkat kepala desa. Dengan demikian seorang amaf yang
126
menjabat sebagai temukung juga mendapat hak pembagian pemungutan dan
penjualan cendana yang tumbuh di wilayah pemerintahan adatnya.
5.1.1.2 Peraturan Masa Portugis
Bangsa Potugis datang ke Pulau Timor khususnya ke wilayah Timor tengah
Selatan pada abad ke-16 sekitar tahun 1522. Pada masa ini di wilayah Pulau Timor
terbentuk beberapa kerajaan lokal yang masing-masing berdiri sendiri secara
independen. Awalnya, kedatangan Bangsa Portugis ke pulau Timor semata-mata
bertujuan mencari hasil alam, kemudian berusaha mengadakan pendekatan dengan
para penguasa lokal. Portugis berupaya menguasai perdagangan cendana dan
menundukkan raja-raja dengan menggunakan strategi penyebaran agama. Namun
strategi demikian tidak membawa hasil maksimal.
Strategi Portugis menguasai perdagangan cendana berjalan lebih ekspresif
setelah menempatkan Simon Louis, seorang kapten kapal yang memimpin armada
perdagangan. Ia berusaha menundukkan raja-raja Timor untuk memperoleh hak
monopoli perdagangan cendana diwilayah tersebut. Namun usahanya belum berhasil
maksimal karena pola-pola yang diterapkan Portugis dianggap menipu para usif dan
masyarakat Timor, sehingga muncul pertentangan antara Bangsa Portugis dengan
masyarakat lokal. Maka, kayu cendana seringkali menjadi ajang pertikaian antar
kelompok yang berkepentingan.
Portugis berhasil mengusai perdagangan kayu cendana di Pulau Timor pada
tahun 1645 setelah berhasil meredam berbagai bentuk penentangan masyarakat
127
seperti dituturkan seorang tokoh masyarakat F.H. Fobia berdasarkan penuturan
kakeknya seorang meob (panglima perang) bernama Kau Fobia sebagai berikut.
“Orang-orang Portugis suka tukar kayu cendana dengan harga rendah.
Satu pikul kayu cendana ada harga sangat rendah sebanding harga sebuah
piring, sebuah garpu, keramik. Ketika itu usif Amanuban jual cendana,
harga rendah ditetapkan Potugis sampai itu usif tidak mampu bayar
hutang untuk beli alat rumah tangga itu piring, sendok, garpu tadi...”
(wawancara dengan F.H. Fobia tanggal 24 Mei 2007).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni Portugis
tampak dalam transaksi cendana. Portugis berhak menentukan pola dan nilai barter
dengan perbedaan tajam. Pola-pola barter menetapkan bahwa Portugis memperoleh
2/3 bagian sedangkan usif dan masyarakat lokal memperoleh bagian 1/3. Apabila
kondisi pasar sedang lesu, nilai barter menurun drastis. Bahkan seringkali kayu
cendana dihargai sangat murah setara dengan harga sebuah sendok atau garpu.
Pola-pola transaksi cendana pada masa Portugis sejalan dengan Teori
Hegemoni dan Dominasi Gramsci maupun Teori Kekuasaan dan Pengetahuan
Foucault. Sesuai pandangan Gramsci maupun Foucault, kelompok sosial (dalam hal
ini Bangsa Portugis) memperoleh keunggulan atau supremasi mealui dua cara yakni;
1) dominio (dominasi) atau coercion (paksaan) dan 2) cara kepemimpinan intelektual
dan moral. Setiap praktik sosial yang dilakukan Portugis tidak dapat dipisahkan dari
pengetahuan yang melandasinya serta relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya.
Kekuasaan merupakan wujud kemampuan mereka untuk memaksa atau
mempengaruhi masyarakat lokal untuk mengikuti keinginannya.
128
Ajang perebutan kekuasaan terkait hak monopoli perdagangan cendana di
kalangan penjelajah barat tidak pernah surut. Portugis yang telah menguasai
perdagangan cendana di wilayah Timor bagian barat mendapat saingan Belanda.
Belanda berhasil menduduki Kupang pada tahun 1653 setelah merebut benteng
Portugis di pesisir Teluk Kupang. Meskipun demikian, hubungan politik dan
perdagangan Belanda dengan Portugis di Pulau Timor berlangsung relatif baik,
namun seringkali terjadi perselisihan memperebutkan kekuasaan ekspor kayu
cendana (Ardana, 2005:51). Perselisihan memperebutkan kekuasaan antara Portugis
dan Belanda membuka batas-batas demarkasi wilayah yang jelas. Perundingan
pembagian wilayah kekuasaan ditetapkan pada tahun 1859 bahwa wilayah Pulau
Timor bagian barat menjadi kekuasaan Belanda dan menjadi wilayah Indonesia
sekarang. Sedangkan wilayah Pulau Timor bagian timur di bawah kekuasaan Portugis
dan menjadi bagian wilayah Timor Leste sekarang (Kase, 2004:19-26).
5.1.1.3 Peraturan Masa Kolonial Belanda
Hegemoni penguasaan cendana oleh Bangsa Belanda tampak jelas sejak
adanya pembagian wilayah kekuasaan antara Portugis dengan Belanda yang
menyerahkan wilayah kekuasaan Pulau Timor bagian barat kepada Bangsa Belanda.
Sejak saat itu perdagangan kayu cendana di Pulau Timor bagian barat dikuasai
Belanda. Raja-raja lokal (usif) sebagai penguasa wilayah dipaksa untuk meningkatkan
jumlah tebangan dan menyerahkan seluruh hasil tebangan kepada Pemerintah
Belanda seperti dikemukakan F.H.Fobia tanggal 10 Agustus 2010.
129
“Belanda banyak tebang cendana, suruh usif tebang cendana jual untuk
Belanda, Belanda yang bawa keluar, Belanda yang jual ke Eropa. Belanda
juga tanam cendana, ada etu (ladang) punya Belanda tapi tidak banyak
hasil, cendana banyak mati dimakan sapi, bakar api...”
Peraturan demikian merupakan salah satu bentuk hegemoni dan dominasi pemerintah
Belanda yang bertujuan memenuhi kebutuhan atas permintaan ekstrak minyak
cendana di pasaran dunia. Semua produksi cendana pada masa ini dikuasai oleh
penjajah Belanda, bahkan Belanda memonopoli perdagangan cendana sehingga
keuntungan raja-raja lokal semakin berkurang (Ardana, 2006:69).
Hegemoni dan dominasi pemerintah Belanda seringkali bekerja pada lapangan
budaya dan di tingkat moral yang dijalankan secara persuasif maupun koersif. Hal ini
sejalan konsep hegemoni Horkheimer dan Adorno yang mengacu pada kegemaran
Bangsa Barat menguasai alam dan melakukan dominasi atas alam untuk memenuhi
kebutuhan makanan, pertanian, dan industri. Hegemoni di sini bersifat paksaan serta
penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat ekonomi dan kesejahteraan.
Eksistensi alam (terutama produksi cendana) semata-mata digunakan sebagai objek
yang harus dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi manusia, terutama
kepentingan ekonomi dan kesejahteraan Bangsa Belanda.
Hegemoni bahkan memonopoli penguasaan cendana pemerintah Belanda
dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi. Di dalamnya ada alat-alat
kekerasan (means of coercion) dan alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means
of estabilishing hegemonic leedership). Pemerintah Belanda mulai mengekstraksi
kayu cendana dengan mendirikan pabrik penyulingan ekstrak minyak cendana di
130
Kupang pada pertengahan abad ke-19. Estraksi ini bertujuan menghasilkan minyak
cendana yang nantinya dijual di pasaran dunia sebagai bahan baku obat-obatan dan
kosmetik. Sejak saat itu, ditengarai terjadi proses penebangan cendana secara besar-
besaran, sehingga kerusakan dan penurunan populasi cendana secara drastis.
Penebangan yang tidak teratur dan ekstraksi berlebihan menyebabkan cendana kian
merosot dan mengancam keseimbangan populasi cendana.
Menghindari kemerosotan cendana, beberapa usaha peremajaan dan antisipasi
telah dilakukan oleh pemerintah Belanda namun tidak berhasil. Mengantisipasi
kerusakan populasi cendana, pada tahun 1921 Pemerintah Belanda berusaha memberi
perhatian akan nasib cendana melaui penetapan kawasan budidaya cendana tetapi
kurang berhasil karena dimakan ternak, rusa, dan kebakaran hutan (Parimartha,
2002:284 ; Koppins, 2005:7).
Kerusakan dan ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan
penurunan populasi cendana. Kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan
yang melarang masyarakat menjual dan melakukan penebangan cendana dan
penebangan-penebangan selanjutnya akan dilakukan dan dikendalikan langsung oleh
Belanda. Sejalan dengan pelarangan tersebut, Pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan penguasaan cendana yang bersifat menghegemoni masyarakat, dengan
butir-butir sebagai berikut ; 1) Denda 10 rupiah uang perak dan penjara maksimal 3
(tiga) tahun bagi orang yang menyebabkan kayu cendana mati, terbakar, penebangan
liar, dan mencuri kayu cendana. 2) Denda 5 rupiah uang perak atau penjara maksimal
3 (tiga) tahun bagi orang yang ketahuan mematikan anakan cendana. 3) Denda 1
131
ringgit uang perak atau penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi yang membakar belukar
yang menyebabkan daun cendana gugur. 4) Denda 1 ringgit uang perak atau penjara
maksimal 3 (tiga) tahun bagi orang yang memotong ranting cendana.
5.1.1.4 Peraturan Masa Kemerdekaan
Kemerosotan populasi cendana semakin parah setelah masa kemerdekaan
disebabkan maraknya penebangan oleh masyarakat. Sebaliknya, usaha-usaha
peremajaan tidak dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah. Pihak pemerintah
belum menaruh perhatian besar terhadap keberadaan cendana karena saat ini
merupakam masa-masa awal pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa ini, terjadi perubahan tata pemerintahan kolonial menjadi tata
pemerintahan Republik Indonesia, dan telah terjadi pergolakan sistem politik di
seluruh Indonesia. Pergolakan tersebut bukan semata-mata berasal dari dalam
wilayah Indonedia seperti pemberontakan-pemberontakan separatis seperti Darul
Islam, TRI/ Permesta, PKI, dan perlawanan menghadapi pihak asing terutama tentara
sekutu yang ingin kembali menguasai wilayah Indonesia. Kondisi demikian
mengharuskan pemerintah Indonesia berkonsentrasi penuh pada usaha-usaha
mempersatukan Bangsa Indonesia yang baru saja terbentuk dan mempertahankan
kemerdekaan Bangsa Indonesia dalam revolusi fisik melawan tentara sekutu.
Berbarengan dengan berbagai pergolakan politik internal dan eksternal,
konsolidasi sistem pemerintahan Nasional Indonesia tetap dilakukan. Sistem
pemerintahan nasional berjalan efektif setelah berakhirnya masa revolusi fisik di
132
Indonesia atau setelah tahun 1950. Setelah tahun 1950, pola-pola pemerintahan lokal
yang merupakan warisan Belanda ditata kembali, termasuk jabatan usif selaku
penguasa wilayah dihapuskan diganti dengan sistem pemerintahan kabupaten.
Meskipun demikian, mantan-mantan usif tetap memperoleh porsi sebagai pemimpin
daerah seperti bupati, camat, dan kepala desa. Sama halnya dengan sistem
pemerintahan sebelumnya, hegemoni pemerintah masih tampak dalam peraturan
terkait penguasaan cendana.
Sistem pemerintahan nasional Republik Indonesia menetapkan bahwa seluruh
wilayah pegunungan yang menjadi lahan subur pertumbuhan cendana dikuasai oleh
negara dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Penguasaan cendana
bukan lagi di bawah kekuasaan para usif (raja lokal) tetapi telah berada di tangan
pemerintah daerah. Konsekuensi logis atas pemberlakuan sistem pemerintahan
nasional adalah terjadinya penebangan cendana yang dilakukan pemerintah daerah
untuk mendapat keuntungan ekonomi. Sementara itu, kontrol pemerintah pusat sangat
longggar seperti dikemukakan Cornelis Tapatab, seorang tokoh masyarakat mantan
Bupati Timor Tengah Selatan peride tahun 1973-1983.
“Masa kemerdekaan saya masih remaja, saya kira kita sudah merdeka kita
tidak bayar pajak, kakak saya tetap bayar pajak. Penguasaan cendana juga
tetap seperti masa sebelumnya, tidak ada perubahan mencolok yang saya
rasakan saat itu...”(wawancara dengan Cornelis Tapatab tanggal 11 Agustus
2011)
Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni pemerintah tetap ada
dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah daerah Nomor 4 Tahun 1953. Peraturan
tersebut tidak jauh berbeda dengan pola peraturan zaman Belanda dengan isi
133
peraturan sebagai berikut ; 1) Semua cendana berupa tanaman hidup atau pun telah
mati di dalam daerah Timor dikuasai oleh Pemerintah Daerah Timor. 2) Pembagian
hasil dan ketentuan bahwa rakyat yang memelihara, menebang, dan mengumpulkan
mendapat bagian 40 % per kilogram. 3) Bagi orang yang menebang, merusak,
memiliki, memperdagangkan, dan menyangkut kayu cendana tanpa izin diancam
hukuman kurungan selama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100, dan
semua kayunya disita.
5.1.1.5 Peraturan Masa Orde Baru
Seperti masa-masa sebelumnya, peraturan pemerintah tentang penguasaan
cendana masa pemerintahan Orde Baru masih bersifat menghegemoni. Beberapa
peraturan dibentuk sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1996. Seperti peraturan
masa-masa sebelumnya, semua peraturan pada kurun waktu tersebut pada intinya
bersifat menghegemoni masyarakat. Semua cendana dikuasai dan dimanfaatkan oleh
pemerintah untuk kepentingan pemerintah dan kesejakteraan bangsa. Bahkan
beberapa peraturan dianggap memonopoli dan merampas hak masyarakat. Beberapa
peraturan pemerintah pada era pemerintahan Orde Baru antara lain ;
1. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 11/PD/1966,
dengan butir-butir aturan berikut ; 1) Penguasaan, pembibitan, eksploitasi, dan
pemasaran cendana diatur oleh Dinas Kehutanan Kabupaten. 2) Denda Rp.10.000
atau hukuman penjara selama 6 (enam) bulan bagi orang yang memotong, menebang,
menjual kayu cendana tanpa izin Dinas Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 5.000
134
atau hukuman penjara 3 (tiga) bulan bagi yang merusak cendana hidup atau mati. 4)
Denda Rp. 500 bagi yang tidak punya surat pas kayu cendana dalam pengangkutan.
5) Semua kayu cendana hasil pelanggaran disita untuk pemerintah.
2. Peraturan Daerah Propinsi NTT Nomor 17 Tahun 1974, menyerupai
peraturan sebelumnya dengan beberapa penyesuaian berikut; 1) Penguasaan
penetapan harga penjualan cendana ditetapkan oleh gubernur. 2) Denda Rp.50.000
atau hukuman enam bulan penjara bagi pemotong, penebang, pengumpulan kayu
cendana tanpa izin Departemen Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 25.000 atau tiga
bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati. 4) Denda Rp 2.500
bagi yang tidak mengurus surat pas kayu cendana dalam pengangkutan. 6) Seluruh
kayu cendana hasil pelanggaran disitan untuk pemerintah.
3. Peraturan Pemerintan No.16/1986, merupakan pembaharuan dari peraturan
sebelumnya dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana yang ada di dalam
maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur
dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Timur. 2)
Pelaksanaan pengaturan kayu cendana meliputi penanaman, pemeliharaan,
perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian
diatur oleh Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur. 3) Pembinaan dan
pemeliharaan kayu cendana dilakukan oleh Departemen Kehutanan. 4) Produksi,
jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi ditetapkan oleh gubernur berdasarkan
inventarisasi Departemen Kehutanan. 5) Kayu cendana di lahan petani pembagiannya
adalah 15 % untuk petani 85 % untuk pemerintah. 6) Denda Rp 50.000 atau enam
135
tahun penjara bagi orang yang menebang, memotong, menyimpan kayu cendana
tanpa izin Departemen Kehutanan. 7) Denda Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi
yang merusak kayu cendana hidup atau mati.
4. Keputusan Gubernur NTT Nomor 2/1996, isi peraturan sama dengan
peraturan sebelumnya hanya ada beberapa penyesuaian terkait pembagian hasil antara
pemerintah dengan masyarakat dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana
yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi
Nusa Tenggara Timur dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2) Pelaksanaan pengaturan kayu cendana meliputi
penanaman,pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan,
penjualan, dan penelitian diatur oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3)
Pembinaan dan pemeliharaan kayu cendana dilakukan oleh Departemen Kehutanan.
4) Produksi, jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi ditetapkan oleh
Gubernur berdasarkan inventarisasi Departemen Kehutanan. 5) Kayu cendana di
lahan petani pembagiannya adalah 40 persen untuk petani 60 persen untuk
pemerintah. 6) Denda Rp 50.000 atau enam tahun penjara bagi orang yang menebang,
memotong, menyimpan kayu cendana tanpa izin Departemen Kehutanan. 7) Denda
Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati.
5. Instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur No.12 Tahun 1997, menetapkan
larangan penebangan pohon cendana. Instruksi ini ditetapkan karena populasi
cendana ditengarai telah merosot tajam. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah
(Gubernur Nusa Tenggara Timur) melarang aktivitas penebangan cendana. Peraturan
136
ini ditetapkan berlaku selama lima tahun, tetapi tidak dapat berjalan optimal karena
adanya penyerahan penguasaan cendana kepada pemerintah kabupaten.
5.1.1.6 Peraturan Masa Reformasi
Setelah masa pemerintahan Orde Baru berakhir digantikan masa reformasi,
beberapa peraturan penguasaan cendana juga disesuaikan dengan situasi politik saat
itu. Era reformasi yang membawa arus demokrasi serta rencana realisasi sistem
pemerintahan otonomi memberi keleluasaan daerah mengelola potensi daerahnya,
maka beberapa peraturan yang ditetapkan masa sebelumnya ditinjau kembali dan
diperbaharui sesuai kondisi masyarakat saat itu. Beberapa peraturan yang ditetapkan
pada masa reformasi cenderung bersifat sementara sebatas penyerahan urusan
pemerintahan propinsi kepada daerah kabupaten sebagai bentuk persiapan
menyongsong pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa peraturan pemerintah terkait
penguasaan cendana berikut terbit pada masa reformasi.
1) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998, berisi tentang penyerahan
sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada pemerintah kabupaten.
Termasuk penyerahan penguasaan dan pengelolaan cendana kepada pemerintah
kabupaten. Namun, pemberlakuan perda dan pelimpahan kewenangan kepada
pemerintah kabupaten belum terealisasi sepenuhnya dan pengelolaan penjualan kayu
cendana masih dipegang oleh pemerintah provinsi sampai tahun 2001
(http://www.goverment.co.id, 3 April 2008).
137
2) Peraturan Daerah Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 1999, dikeluarkan
tanggal 26 Maret 1999 yang isinya berupa legitimasi penyerahan penguasaan cendana
kepada pemerintah kabupaten. Peraturan dibuat untuk mempertegas peraturan
sebelumnya dan memberi wewenang kepada pemerintah kabupaten untuk mengatur
penguasaan cendana di wilayah pemerintahan masing-masing.
Peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana pada masa reformasi masih
menerapkan dalil-dalil Teori Hegemoni bahwa hegemoni masih bekerja pada
lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran. Di sela-sela tingkat moral atau
kesadaran aparat koersif tetap aktif bekerja, bahkan antara hegemoni dan koersi
(dominasi) berjalan secara berdampingan. Peraturan pemerintah yang berhubungan
dengan penguasaan cendana yang memberi hak penguasaan kepada masyaraka belum
terealisasi. Bahkan pemberlakuan peraturan masa ini masih mengacu pada peraturan
sebelumnya. Revisi peraturan pemerintah pada masa ini hanya berisi penyerahan
penguasaan dan pengelolaan cendana kepada pemerintah kabupaten. Pemberlakuan
perda dan pelimpahan kewenangan kepada pemerintah kabupaten pun belum
terealisasi sepenuhnya dan pengelolaan penjualan kayu cendana masih dipegang oleh
pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
5.1.1.7 Peraturan Masa Otonomi Daerah
Sistem pemerintahan otonomi daerah yang memberi kekuasaan penuh pada
pemerintah kabupaten dalam mengelola potensi daerahnya. Dengan demikian,
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan penguasaan cendana juga mengalami
138
perubahan. Perturan pemerintah yang semula ditetapkan oleh gubernur secara
berangsur-angsur dikembalikan kepada pemerintah kabupaten. Sejak berlakunya
pemerintahan otonomi daerah secara penuh, pemerintah Kabupaten Timor Tengah
Selatan mulai menata penguasaan cendana melalui beberapa peraturan antara lain;
1. Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001,
tentang pengaturan hak kepemilikan cendana dengan butir-butir berikut ; 1) Semua
cendana yang tumbuh di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor
Tengah Selatan menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2)
Cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah
bersangkutan dengan pembagian 90 persen untuk masyarakat pemilik cendana dan 10
persen sebagai retribusi kepada pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2. Keputusan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 8 Tahun 2002, tentang
penetapan harga dasar penjualan kayu cendana. Berdasarkan keputusan tersebut
ditetapkan bahwa harga jual kayu teras kelas A (kelas bagus dan wangi) mimimal Rp
2.500 perkilogram. Sedangkan kayu gubal (kayu kelas rendah) minimal Rp 800
perkilogram. Penetapan harga jual tersebut merupakan harga dasar minimal yang
dijadikan acuan bagi pemerintah kabupaten untuk memungut iuran hasil cendana.
3. Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 12 Tahun 2005, tentang
mekanisme dan sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat.
Peraturan ini merupakan lanjutan atau penyempurnaan peraturan sebelumnya
khususnya Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001
tentang pengaturan hak kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat. Inti
139
peraturan tersebut menetapkan butir-butir aturan sebagai berikut: 1) Setiap orang atau
badan usaha yang akan melakukan pemungutan hasil hutan cendana pada lahan
miliknya harus memiliki izin dari Dinas Kehutanan. 2) Pemelohan izin harus melalui
kepala desa tempat kayu cendana itu tumbuh untuk mendapat surat keterangan
kepemilikan kayu cendana yang sah. Berdasarkan surat keterangan tersebut dapat
mengajukan izin kepada Dinas kehutanan yang kemudian dilanjutkan kepada bupati.
Selanjutnya, bupati menunjuk instansi terkait untuk melakukan pemeriksaan lokasi
dan layak atau tidaknya cendana ditebang. 3) Setiap orang dan atau badan usaha yang
menyimpan, menimbun cendana wajib dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan
(SKSHH) dari Dinas Kehutanan.
Peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana di era reformasi telah
mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat. Meskipun demikian unsur-
unsur hegemoni pemerintah masih tampak dalam pengurusan izin kepemilikan
cendana di lahan milik masyarakat. Hegemoni di sini merupakan proses penciptaan,
pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalamproses penguasaan
cendana.Teori Hegemoni Gramsci tetap mengakui bahwa dalam kehidupan
masyarakat selalu ada pihak yang memerintah (pemerintah) dan pihak yang
diperintah (masyarakat), ada pihak dominan dan subordinan. Guna melindungi yang
memerintah dan yang diperintah serta menghormati hukum-hukum yang berlaku di
masyarakat, maka fungsi kedua kelompok tersebut hanya dapat dibatasi dan
dijalankan oleh kekuatan negara atau pemerintah. Sesuai Teori Hegemoni, negara
atau Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi pusat penyebaran proses
140
hegemoni melalui Peraturan Daerah Nomor 25 tahun 2001 tentang pengaturan hak
kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat. Terutama butir-butir ketentuan yang
mengatur pemelohan izin kepemilikan kayu cendana yang sah melalui birokrasi
pemerintah dan pelaksanaan penanaman cendana di wilayah milik ilakukan secara
swadaya oleh pemilik lahan bersangkutan. Pemerintah tidak memberi bantuan anakan
untuk penanaman di lahan milik masyarakat.
5.1.2 Registrasi Cendana
Pelaksanaan penguasaan cendana oleh pemerintah meliputi meliputi
pengaturan sejak proses penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil,
ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian produksi, jatah tebang, harga
penjualan, biaya eksploitasi. Semua proses tersebut diatur oleh gubernur melalui
Departemen Kehutanan. Sehubungan dengan pengaturan tersebut dilakukan registrasi
atau pencatatan untuk mengetahui jumlah cendana di seluruh Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Registrasi cendana dilakukan dengan aktif sejak ditetapkannya peraturan
pemerintah Nomor 16 Tahun 1986, terutama sejak dilibatkannya para pengusaha oleh
pemerintah untuk membeli hasil penebangan cendana. Sejalan dengan isi peraturan
tersebut dilakukan beberapa upaya untuk mengetahui jumlah tegakan dan usia
cendana yang layak tebang dengan melakukan registrasi. Registrasi pohon cendana
dilakukan di tanah negara maupun di lahan masyarakat. Berdasarkan hasil registrasi
pemerintah dapat menentukan waktu tebang cendana dan produksi penjualan cendana
ke depan. Pohon cendana yang sudah diregistrasi diberi tanda khusus yang tidak
141
dimengerti oleh masyarakat seperti dikemukakan Advent Tunu, seorang karyawan
perusahaan swasta.
“Tahun 1980-an semua cendana pemerintah catat, isi cap... cap sonda bisa
hapus..... itu cap arti apa kita sonda tahu. Di hutan, cendana juga
pemerintah catat, isi cap, isi tanda T itu arti cendana milik usaha Tommy,
juga isi tanda panah. Tanda panah kiri, tunjuk ke kiri tidak jauh dari sana
ada cendana lagi, panah kanan tunjuk di kanan ada cendana lagi...”
(wawancara dengan Advent Tunu tanggal 14 Agustus 2010)
Cendana yang sudah diregistrasi terus dipantau, tidak boleh dipotong,
ditebang, atau pun hilang. Pemantauan cendana di kawasan hutan negara dilakukan
polisi penjaga hutan dari Departemen Kehutanan. Jika cendana yang sudah
diregistrasi itu berada di ladang-ladang milik penduduk, tanggung jawab
pemeliharaan dan penjagaan keamanannya dibebankan kepada pemilik ladang. Jika
cendana itu hilang maka yang menanggung akibatnya adalah pemilik lahan tempat
cendana itu tumbuh. Resiko yang dihadapi pemilik lahan cukup besar, harus
berhadapan dengan peraturan hukum yang berlaku. Terutama jika cendana tersebut
mati atau pun hilang, pemilik lahan harus siap menerima resiko berupa denda atau
hukuman penjara seperti dikemukakan Daniel Neolaka
” ... cendana sudah pemerintah catat dan mati, kita punya ladang jadi
susah, kita bisa kena penjara, kita bisa kena denda....” (wawancara dengan
Daniel Neolaka tanggal 30 Juni 2008).
Hegemoni pemerintah terkait registrasi cendana sejalan dengan Teori
Hegemoni dan Teori Kekuasaan, bahwa penggunaan kepemimpinan hegemonik
secara kultural moral tidak berhasil, maka kepemimpinan dominasi atau koersif
digunakan untuk mencapai tujuan. Guna mencapai tujuan diterapkan dalil teori
142
kekuasaan dan pengetahuan, khususnya konsep panoptikon. Panoptikon sebagai
metafora kekuasaan memungkinkan aparatus pemerintah melakukan pendisiplinan
melalui observasi dan pengawasan secara menyeluruh melalui melalui legalitas aturan
hukum yang telah ditetapkan. Mengacu pada aturan-aturan hukum yang telah
ditetapkan pemerintah, masyarakat akan mulai mengawasi perilakunya sendiri dan
berperilaku disiplin untuk tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Dalam
kondisi seperti ini, penguasa atau pemerintah tetap mempertahankan otoritas
penguasaan cendana sekaligus melakukan kontrol terhadap masyarakat yang
menentang. Termasuk kekuasaan mengontrol, menangkap, dan menghukum anggota
masyarakat yang mengambil cendana tanpa izin pemerintah.
5.1.3 Polisi Hutan
Mengacu pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan pemerintah,
termasuk kekuasaan mengontrol dan menangkap, anggota masyarakat yang
mengambil cendana tanpa izin pemerintah dibutuhkan pelaksanaan pengawasan
cendana secara intensif. Sesuai peraturan pemerintah, pengawsan cendana di lahan
masyarakat dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan, sedangkan pengawasa di
kawasan tanah milik negara dilakukan oleh pemerintah. Pengawasan cendana yang
tumbuh di hutan atau di tanah milik negara dilakukan oleh penerintah khususnya
polisi hutan di bawah koordinasi Departemen Kehutanan.
Pengawasan cendana dikawasan hutan negara yang dilakukan satuan polisi
hutan belum berjalan secara optimal. Kurang optimalnya pengawasan hutan
143
disebabkan jumlah polisi hutan dengan luas areal hutan tidak seimbang, kawasan
hutan yang harus dijaga sangat luas, medan hutan sulit dan berbuki-bukit, sedangkan
jumlah satuan polisi hutan terbatas. Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki
luas hutan negara di wilayah utara dan selatan hanya memiliki puluhan petugas polisi
hutan. Puluhan jumlah penjaga hutan harus dibagi di beberapa kawasan hutan
lindung. Jumlah penjaga hutan yang kurang memadai memungkinkan rendahnya
kualitas pengawasan pemerintah yang dijalankan oleh penjaga hutan dari Dinas
Kehutanan. Pengawasan polisi hutan kurang intensif karena keterbatasan petugas
patroli seperti dikemukakan salah seorang pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Timor
Tengah Selatan.
“.......pencurian kayu sangat ramai karena harga tinggi. Di hutan
pencurian kayu banyak, karena hutan sangat luas tidak sebanding dengan
tenaga yang bertugas mengawasi wilayah itu. Penjaga sedikit, dikalahkan
pencuri yang berkelompok. Mereka curi kayu bersama-sama, pernah
petugas kehutanan mereka ikat, kayu mereka tebang......ya, petugas tidak
bisa berbuat apa-apa.” (wawancara dengan Honorius Gale, Kasubag
Program Dinas Kehutanan Kabuapeten Timor Tengah Selatan, tanggal 9
Agustus 2010)”
Meskipun petugas keamanan hutan tidak berjalan optimal, hegemoni
pemerintah terkait penguasaan cendana tetap ada melalui peran polisi hutan yang
bertugas mengawasi hutan dan mengontrol perilaku masyarakat. Menurut Althusser,
hegemoni adalah salah satu bentuk dominasi yang dapat digunakan sebagai rujukan
dalam beberapa kasus bersifat umum mendasar dan solusi teoritis yang luar biasa
dalam memberikan garis besar masalah penetrasi silang antara ekonomi dan politik.
Penekanannya terletak pada fungsi kekuasaan negara melalui penggunaan perangkat
144
negara represif melalui pengawasan yang melibatkan polisi hutan. Polisi hutan berhak
menangkap orang-orang yang melakukan penebangan tampa menunjukkkan bukti
surat izin dari pemerintah.
5.1.4 Operasi Sahabat
Operasi sahabat merupakan instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur
sehubungan dengan prediksi bahwa produksi cendana yang ada di masyarakat cukup
banyak dan tidak dilaporkan kepada pemerintah akibat penebangan liar oleh
masyarakat. Praktek penebangan liar memang kerap terjadi karena para penebang liar
yang tergolong masyarakat ekonomi lemah tergiur dengan harga jual kayu cendana di
pasaran semakin tinggi. Di samping itu, ditengarai terjadi konspirasi antara
masyarakat, oknum aparat sipil, oknum aparat keamanan, dan oknum pengusaha.
Beberapa oknum masyarakat bekerjasama dengan oknum aparat melakukan
penebangan liar, hasil penebangan itu dijual kepada oknum penguasaha dengan harga
relatif murah. Kemudian pengusaha tersebut menyelundupkannya ke luar wilayah
Pulau Timor tanpa dokumen resmi.
Dalam operasi sahabat, pemerintah melakukan sweeping atau pemeriksaan
pada daerah-daerah yang diprediksi menjadi tempat penebangan liar. Semua cendana
yang ditebang dan disimpan oleh masyarakat harus diserahkan kepada pemerintah.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan kayu ilegal, maka pemerintah berhak menyita
kayu hasil penebangan liar atau kayu ilegal yang tidak dilaporkan. Tetapi dalam
praktek operasi sahabat terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil penyitaan kayu
145
ilegal tidak diketahui dengan jelas arahnya. Penerapan sangsi hukum etrhadap
pengusaha seringkali dianggap sebagai kesalahan prosedur, seperti dikemukakan
Bapak Cornelis Tapatab mantan Bupati Timor Tengah Selatan era tahun 1973-1983.
“Memang, tahun 80-an ada pencurian kayu cendana, ada masyarakat
simpan kayu cendana, tetapi tidak banyak. Gubernur instruksikan operasi
sahabat dan ada kayu temuan. Adanya kayu temuan, gubernur izinkan
pengusaha masuk beli kayu cendana, pengusaha boleh simpan kayu
cendana, ada sisa kayu tahun lalu yang belum diangkut....aparat ada yang
ikut, banyak penyimpangan saat itu” (wawancara dengan Cornelis
Tapatab, tanggal 11 Agustus 2010).
Pola-pola demikian menerapkan prinsip-prinsip hegemoni bahkan cenderung
dominan melalui peta politik dan aspek koersif (kekerasan). Hegemoni maupun
dominasi pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi mampu
menggerakkan dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang
sosial dengan jangkauan luas, di antaranya kemampuan untuk mengatur ruang gerak.
Di samping penggunaan otoritas secara paksaan maupun kerelaan, hegemoni menurut
Gramsci adalah kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas penguasa.
Operasi sahabat merupakan instruksi pemerintah sehubungan dengan prediksi adanya
kayu cendana ilegal dan penebangan liar menunjukkan bukti-bukti hegemoni
kekuasaan pemerintah.
5.2 Bentuk-Bentuk Kontra Hegemoni Masyarakat
Kontra hegemoni masyarakat merupakan proses berulang dari pola-pola
penguasaan cendana yang cenderung menghegemoni dan telah berlangsung sejak
masa lampau. Pada masa penjajahan Bangsa Portugis, Belanda, maupun Jepang pihak
146
penjajah selaku penguasa yang menghegemoni (bahkan memonopoli) cendana
memunculkan reaksi atau perlawanan masyarakat. Misalnya perlawanan masyarakat
Timor yang menyebabkan perdagangan cendana dengan Portugis terhenti sama sekali
pada tahun 1652-1655. Kemudian ada pula gerakan anti pajak terhadap Belanda pada
awal abad ke-20 sebagai bentuk kontra hegemoni masyarakat terhadap kolonial
Belanda karena dianggap ada penekanan dan hambatan terhadap kepentingan
masyarakat Timor (Fobia, 1995:32). Pada masa kemerdekaan, masa Orde Baru, masa
Reformasi, maupun masa otonomi daerah, kontra hegemoni tetap ada yang dilakukan
secara manifes maupun simbolik.
Kontra hegemoni atau perlawanan masyarakat secara manifes maupun
simbolik sesuai dengan teori interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa
perilaku manusia terbagi menjadi perilaku lahiriah dan perilaku tersembunyi. Perilaku
lahiriah adalah perilaku sebenarnya atau perilaku nyata yang dilakukan seseorang
aktor, sedangkan perilaku tersembunyi adalah proses berfikir yang melibatkan simbol
dan arti. Tindakan sosial itu sendiri adalah tindakan ketika individu bertindak dengan
orang lain dalam kerangka pikiran.
Ketika melakukan tindakan, seseorang pelaku atau aktor mencoba menaksir
pengaruhnya pada aktor lain yang terlibat. Proses reaksi dan interaksi sosial manusia
secara simbolik mengkomunikasikan arti terhadap orang lain, sedangkan orang lain
mengorientasikan tindakan balasan berdasarkan penafsiran mereka (lihat Ritzer dan
Goodman, 2004:293). Aksi, reaksi, dan interaksi sosial manusia tindakan meliputi
147
keseluruhan proses yang terlibat dalam aktivitas manusia.dan selalu berada pada
situasi saling mempengaruhi.
Sejalan dengan pandangan teori interaksionisme simbolik, hegemoni
pemerintah memunculkan beberapa bentuk perilaku kontra hegemoni di kalangan
masyarakat. Kontra hegemoni merupakan bentuk reaksi masyarakat atas adanya
stimulasi peraturan pemerintah yang bersihat menghegemoni. Peraturan tersebut
memunculkan berbagai bentuk response atau reaksi baik reaksi verbal maupun non
verbal di kalangan masyarakat yang dapat disebut tindakan kontra hegemoni. Bentuk-
bentuk reaksi dan perilaku masyarakat sejalan dengan ide-ide Mead bahwa perilaku
masyarakat didasari atas tindakan lahiriah maupun tersembunyi yang berperan
sebagai ekspresi tingkah laku manusia baik menggunakan simbol-simbol penting
maupun praktek langsung. Beberapa bentuk kontra hegemoni masyarakat yang
tersirat maupun tersurat dalam bentuk perilaku verbal (manifes) dan perilaku non
verbal (simbolik) dapat diidentifikasi sebagai berikut.
5.2.1 Keengganan Mengembangkan Cendana
Keengganan masyarakat mengembangkan cendana merupakan salah satu
bentuk kontra hegemoni terhadap hegemoni pemerintah. Keengganan tersebut
disebabkan peraturan yang menetapkan bahwa semua cendana yang tumbuh di atas
tanah negara maupun di ladang-ladang milik masyarakat di wilayah Nusa Tenggara
Timur termasuk di KabupatenTimor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah.
Peraturan tersebut memberi hak penguasaan secara total kepada pemerintah tanpa
148
memberi hak yang memadai kepada masyarakat. Peraturan pemerintah tersebut
dianggap tidak memihak kepentingan umum sehingga memicu keengganan
masyarakat mengembangkan cendana, seperti dikemukakan Bapak Abdullah warga
Muslim asal Timor Leste yang telah menetap Desa Supul sejak tahun 1980-an.
“Kita rugi tanam cendana, kita tanam, kita dipelihara baik-baik, su besar
pemerintah ambil, kita tidak dapat apa. Kita usaha atau tanam yang lain
saja, tanam jati, jagung, kacang, itu kita bisa makan. Di pabrik mereka
ada tanam cendana, tidak banyak“ (wawancara dengan Bapak Abdullah
tanggal 09 Agustus 2010).
Ungkapan salah satu anggota masyarakat tersebut, menunjukkan reaksi
represif masyarakat atas peraturan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak memberi
peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan cendana, karena secara legalitas
formal pemerintah dianggap tidak menciptakan iklim yang kondusif. Beberapa
peraturan pemerintah dianggap telah mengkebiri hak masyarakat. Terutama sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1986, yang menguasai semua
cendana di wilayah Pulau Timor termasuk di Kabupaten Timor Tengah Selatan secara
total dan hanya memberi kontribusi kepada masyarakat hanya 15 %.
Peraturan ini membuat cendana menjadi beban bagi masyarakat, sehingga
masyarakat enggan menanam dan merawat cendana. Saat panen cendana harus dibagi
banyak pejabat yang tidak terlibat dalam proses perawatannya (Arti, Edisi 032
Oktober 2010:103). Peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni tersebut
menjadi titik tolak keengganan masyarakat mengembangkan cendana. Peraturan
demikian dianggap tidak memihak dan tidak memberi kontribusi memadai kepada
149
masyarakat untuk mengembangkan cendana ke arah komersial untuk peningkatan
kesejahteraan ekonomi.
Di samping itu, legalitas hukum yang merugikan masyarakat memicu
keengganan masyarakat masyarakat mengembangkan cendana. Beberapa peraturan
yang ditetapkan pemerintah memberlakukan sangsi bagi orang-orang yang
melakukan pelanggaran. Orang yang terbukti menyebabkan pohon cendana mati,
menebang, merusak, memiliki, memperdagangkan, dan mengangkut kayu cendana
tanpa izin diancam dengan hukuman penjara dan denda sejumlah uang. Masyarakat
yang melanggar aturan-aturan tersebut dapat ditagkap, dituntut, didenda, dan
dijebloskan ke dalam penjara.
Sejak zaman reformasi pemerintah mulai memberi porsi memadai bagi
masyarakat untuk memanfaatkan cendana sebagai komoditas perekonomian.
Pemerintah merevisi peratutan penguasaan cendana untuk memotivasi masyarakat
mengembangkan cendana, namun tanggapan masyarakat terhadap isu kebebasan
tersebut masih relatif rendah. Masyarakat belum tergerak menanam cendana berbasis
komoditas untuk peningkatan ekonomi. Menanam cendana masih dinggap
menghambat budidaya tanaman pangan karena membutuhkan perhatian lebih dan
belum tentu mencapai hasil maksimal.
Keengganan masyarakat mengembangkan cendana akibat kurangnya
dukungan pemerintah, baik di bidang peraturan, perundang-undangan, maupun
pengembangan. Pemerintah semestinya menetapkan peraturan yang memotivasi
masyarakat, memberi bibit atau anakan cuma-cuma, serta memberi fasilitas lain
150
terkait pengembangan cendana. Sejalan dengan pandangan Teori Interaksionisme
simbolik, keengganan masyarakat mengembangkan cendana merupakan bentuk
response atau reaksi reaksi verbal atas adanya stimulasi peraturan pemerintah yang
bersifat menghegemoni.
5.2.2 Pemusnahan Anakan Cendana
Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh di lahan milik pribadi merupakan
gejala umum yang terjadi di kalangan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Perilaku demikian merupakan salah satu bentuk kontra hegemoni masyarakat atas
hegemoni pemerintah terkait sistem penguasaan cendana. Pemusnahan anakan
cendana bermula dari pola penguasaan yang sepenuhnya dikuasai pihak pemerintah
tanpa memberi porsi memadai kepada masyarakat. Di samping itu, tanggung jawab
dan konsekuensi hukum yang diterima masyarakat pemilik lahan sangat memberatkan
apabila cendana mati. Mereka dapat dijatuhi hukuman penjara atau denda apabila
terbukti menyebabkan cendana mati.
Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh liar di lahan-lahan milik
merupakan jalan pintas yang ditempuh masyarakat guna menghindari kerugian
material dan menghindari permasalahan hukum dikemudian hari. Jika di ladang-
ladang mereka diketahui tumbuh anakan cendana yang masih kecil, maka itu akan
segera diterabas dan dimusnakan karena dianggap merugikan dan mendatangkan
permasalahan di kemudian hari. Terutama cendana yang tumbuh di lahan-lahan milik
masyarakat strategis dan telah terdata oleh pemerintah. Resiko yang dihadapi pemilik
151
lahan cukup besar. Ia harus berhadapan dengan peraturan hukum yang berlaku.
Terutama jika cendana tersebut mati atau pun hilang, pemilik lahan harus siap
menerima resiko berupa denda atau hukuman penjara seperti dikemukakan Daniel
Neolaka berikut.
” Di kebun ada cendana tumbuh kita harus hati-hati, pelihara baik-baik,
itu cendana sonda boleh mati, kalo cendana sudah pemerintah catat dan
mati kita yang punya ladang jadi susah, kita bisa kena kena penjara kita
bisa kena denda. Sonda mau susah orang banyak tebas bibit cendana di
ladang” (wawancara dengan Daniel Neolaka tanggal 30 Juni 2008).
Hal serupa juga dikemukakan majalah Arti, Edisi 032 Oktober 2010:103-104) dengan
mengutip pernyataan Milanus, salah seorang anggota masyarakat kota So’e, bahwa
ada tetangganya masuk penjara gara-gara cendana yang tumbuh di ladang atau pun di
halaman rumahnya sendiri. Mereka masuk penjara karena memotong, mencabut, dan
menebang cendana sebelum waktunya.
Alasan-alasan pemusnahan anakan cendana khususnya adanya aspek hukum
yang melatarbelakangi, menunjukkan bahwa hegemoni pemerintah merupakan salah
satu instrumen kekuasaan dan pengetahuan yang dikemukakan Michael Foucault.
Menurut Foucault pendisiplinan adalah kemampuan aparatus negara untuk
mengawasi semua yang dikontrol dengan sebuah pengawasan tunggal yang merujuk
dari konsep panopticon yang mengacu pada sebuah konsep desain penjara dengan
menara di tengah-tengah untuk mengawasi semua bangunan sel penjara. Panoptikon
merupakan metafora kekuasaan dan pengawasan yang memungkinkan aparatus
negara melakukan observasi dan pengawasan secara menyeluruh dan konstan.
Dengan demikian, panoptikon merupakan teknologi kekuasaan disipliner yang
152
digunakan bukan hanya di penjara tetapi diberbagai bidang yang memerlukan
kedisiplinan. Di wilayah ini terjadi proses pembentukan disiplin manusia sebagai
individu-individu yang taat dan patuh pada aturan.
Pemberantasan anakan cendana di lahan-lahan milik masyarakat sebagai jalan
pintas menghindari dua permasalahan berikut.
1) Pemilik lahan merasa dirugikan karena tidak memperoleh kotribusi langsung baik
secara ekonomis maupun keamanan cendana yang tumbuh di lahan miliknya.
Pengambilalihan oleh pemerintah apabila anakan pohon cendana itu dibiarkan
tumbuh dan dipelihara sampai tua, setelah siap panen nanti hak kepemilikan dan
pengelolaan hasil panen akan diambil alih oleh pemerintah tanpa memberi
konpensasi bagi pemilik lahan.
2) Menghambat kesempatan penanaman bahan pangan dan tumbuhan produktif lain.
Pemeliharaan cendana dengan susah payah dalan jangka waktu panjang
mengurangi kesempatan menanam tanaman pangan atau tanaman produktif
lainnya seperti kayu jati, kemiri, nangka, jeruk, dan sebagainya.
3) Sangsi hukum dibebankan kepada pemilik lahan apabila cendana itu mati. Cendana
yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat dan didata oleh pemerintah maka
masyarakat yang memiliki lahan tempat cendana itu tumbuh harus memeliharanya
dengan baik. Jika cendana yang telah didata itu mati atau di potong maka pemilik
lahan akan kena denda sesuai peraturan yang berlaku.
153
5.2.3 Pencurian Cendana
Pemberlakuan aturan pemerintah yang menguasai cendana secara total
direspon dengan maraknya kasus pencurian kayu cendana baik di hutan negara
maupun di ladang-ladang masyarakat. Pencurian marak terjadi sehubungan dengan
pemahaman budaya lokal, bahwa mereka berhak memanfaatkan potensi alam sekitar
sesuai aturan adat yang berlaku. Sejak berlakunya peraturan pemerintah, masyarakat
menilai bahwa keuntungan penguasaan sumber daya alam khususnya cendana tidak
dapat dinikmati oleh masyarakat. Masyarakat selaku pemilik lahan tempat tumbuh
kembang cendana hanya mendapat konpensasi terbatas atau sekedar ongkos tebang
sebesar 15 %. Kondisi demikian dianggap sebagai ketidakadilan penguasaan sumber
daya alam cendana oleh pemerintah. Bahkan pihak pemerintah selaku penguasa
wilayah dianggap telah mengingkari aturan adat lokal disebut banu haumeni (lihat
bab VI) dengan menguasai cendana secara total tanpa memberi kontribusi memadai
kepada masyarakat.
Berdasarkan pemahaman demikian, kemudian muncul keinginan untuk ikut
menikmati potensi alam dengan melakukan penebangan secara sembunyi-sembunyi
atau pencurian kayu cendana. Mereka beranggapan bahwa mereka juga punya hak
menikmati hasil alam yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, pengambilan
cendana tanpa izin pemerintah seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Cendana yang menjadi sasaran pencurian bukan hanya kayu-kayu tua
dan muda di hutan-hutan negara tetapi juga cendana tua dan muda yang tumbuh di
154
halaman rumah pribadi. Sasaran pencurian cendana di kawasan hutan negara adalah
kayu tua di kawasan hutan terpencil dengan medan yang sulit dijangkau.
Didukung kondisi topografi Kabupaten Timor Tengah Selatan, kawasan cagar
alam Gunung Mutis merupakan sasaran empuk pencurian kayu cendana. Kondisi
hutan Gunung Mutis yang tepencil mempermudah akses pencurian, sedangkan
pengawasan pemerintah yang dijalankan oleh penjaga hutan dari Dinas Kehutanan
kurang intensif karena keterbatasan petugas patroli. Di samping pencurian di hutan-
hutan terpencil, kasus pencurian cendana di ladang-ladang dan di halaman rumah
penduduk juga seringkali terjadi. Seperti dikemukakan Hendrik Taneo, tukang ojek
yang sering mengantarkan penumpang menuju daerah daerah pedalaman.
“.....di ladang su tumbuh cendana ko muda, tua, sedang......, kalau tidak
dijaga itu kayu su hilang. Di jalan ada orang gotong kayu cendana, kita
sonda berani tanya, kita tanya bisa kelahi.... itu mereka curi cendana
(wawancara dengan Hendrik Taneo, tukang ojek, tanggal 02 Juni 2008).
Maraknya kasus pencurian cendana merupakan bentuk respon represif masyarakat
atas pemberlakuan peraturan pemerintah yang menguasai cendana secara total tanpa
memberi hak penguasaan memadai kepada masyarakat. Hal ini merupakan perpaduan
dalil Teori Kekuasaan dan Teori Interaksionisme Simbolik bahwa kekuasaan
membentuk lapisan kapiler yang terajut dalam serat-serat tatanan sosial represif dan
produktif. Kekuasaan memunculkan subjek-subjek yang berperan penting dalam
melahirkan kekuatan, hubungan pihak yang menguasai dengan pihak yang dikuasai,
menundukkanya, dan menghancurkannya. Sehingga kasus pencurian cendana
merupakan ekspresi tingkah laku manusia atas riak-riak ketidaksetujuan (kontra
155
hegemoni) terhadap penggunaan kekuasaan serta keputusan-keputusan yang telah
ditetapkan pihak penguasa dengan melakukan pencurian cendana.
Pencurian cendana terjadi hampir di seluruh wilayah Kabupaten Timor tengah
Selatan. Cendana yang tidak dijaga langsung oleh pemiliknya dipastikan akan hilang
meskipun usia cendana masih muda belum layak panen. Tidak terkecuali cendana
yang tumbuh di halaman rumah juga menjadi sasaran pencurian. Percobaan pencurian
cendana tua yang tumbuh di belakang rumah seorang warga di Desa Nule pernah
terjadi malam hari, tetapi ketahuan sehingga pencurian dapat dicegah. Usaha-usaha
mencegah aksi pencurian kayu tua di halaman rumah adalah membalut pangkal
batang cendana dengan seng. Jika ada orang berupaya mencuri maka harus membuka
seng pembungkus batang cendana tersebut. Pembukaan penutup seng ini
menyebabkan bunyi berisik menjadi “alarm” memanggil pemilik rumah (gambar 5.1).
Gambar 5.1
Cendana dibungkus lapisan seng untuk menghindari pencurian
(Dokementasi: I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)
156
Maraknya kasus pencurian cendana disebabkan beberapa masalah yang
dihadap masyarakat sebagai berikut.
1) Kondisi perekonomian masyarakat rendah.
Kondisi perekonomian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Nusa
Tenggara Timur dikategorikan sebagai daerah miskin yang didukung kondisi
geografis. Menurut Piet Alexander Tallo dalam Suara Nusa Tenggara Timur
(2007:215-219) stigma kemiskinan di Nusa Tenggara Timur seolah-olah
diciptakan untuk mendapatkan bantuan dana. Penciptaan stigma kemiskinan
mengharuskan pemerintah mengutamakan pengembangan produksi pangan
sebagai program yang mendesak. Pengutamaan pengembangan produksi pangan
dapat menghambat pengembangan cendana yang membutuhkan waktu panjang.
2) Harga jual cendana yang relatif tinggi. Harga jual kayu cendana dari waktu ke
waktu semakin meningkat karena cendana semakin langka dan jumlah pasokan
terbatas. Kelangkaan kayu cendana disebabkan karena proses eksploitasi atau
penebangan secara terus-menerus untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya,
sedangkan usaha-usaha pembudidayaan dan penanaman kembali anakan-anakan
baru sangat terbatas. Di samping itu, proses produksi cendana tergolong lamban
hanya bisa dipanen setelah kayu cukup tua berusia di atas 20 tahun.
3) Hegemoni pemerintah yang menguasai cendana secara total. Kerusakan dan
ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan penurunan populasi
cendana secara drastis. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah menetapkan
peraturan yang menguasai cendana secara total. Ternyata pemerintah belum
157
mampu meningkatkan populasi cendana, sehingga dipandang perlu membuat
aturan yang melarang masyarakat menjual dan menebang cendana.
4) Pengamanan yang lemah. Harga jual kayu cendana yang tinggi dan pengawasan
atau pengamanan yang lemah merupakan salah satu penyebab maraknya kasus
pencurian cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Terutama pengamanan
cendana di hutan-hutan milik negara, khususnya hutan-hutan yang jauh dari
pemukiman penduduk dan tidak mendapat pengawasan secara intensif.
5.2.4 Perdagangan Gelap
Perdagangan gelap juga merupakan bentuk kontra hegemoni masyarakat
terhadap hegemoni pemerintah yang mendominasi penguasaan cendana. Biasanya
aktivitas perdagangan gelap dilakukan setelah adanya pencurian kayu cendana. Hasil
pencurian kemudian dijual secara sembunyi-sembunyi atau ditawarkan kepada
penadah kayu. Jika kayu telah terkumpul dalam jumlah yang cukup, penadah
mengirim ke luar secara ilegal. Satu bukti bahwa praktek-praktek pencurian kayu
cendana dan perdagangan gelap masih berlangsung hingga kini, dilaporkan bahwa
pada tanggal 31 Juli 2008 Polda Nusa Tenggara Timur berhasil menggagalkan upaya
pengiriman 1 ton kayu cendana tanpa dokumen resmi ke Surabaya (Kompas, 1
Agustus 2008 hal 23). Kayu-kayu ilegal tanpa dokemen resmi kemudian di sita dan
dikumpulkan di Kantor Dinas Kehutanan sebagai barang bukti (lihat gambar 5.2).
158
Gambar 5.2
Beberapa kayu sitaan (termasuk kayu cendana) dikumpulkan di halaman
kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan di So’e
(Dokumentasi I Gusti Ayu Armini tahun 2010)
Perdagangan secara sembunyi-sembunyi pernah dialami penulis ketika
menginap di salah satu penginapan (Wisma Firdaus) di kota So’e sejak tanggal 28
Juni-03 Juli 2008. Penulis menanyakan kepada salah satu pegawai penginapan
tempat-tempat yang bisa didatangi untuk membeli kayu cendana. Pegawai tersebut
mengatakan tidak ada orang yang menjual cendana. Meskipun telah ditanya dengan
sedikit memaksa ia tidak mau menyebutkan tempat atau orang-orang yang memiliki
dan menjual cendana. Justru pegawai penginapan tersebut menawarkan cendana
dengan harga jual satu juta rupiah perkilogram. Ia menawarkan kepada saya, bahwa
jika memang berminat akan ada orang yang akan membawa ke penginapan, seperti
petikan hasil wawancara berikut.
“Wah... tidak ada orang jual cendana, cendana sekarang sudah habis,
orang tidak bisa lagi cari cendana..... Ibu perlu cendana berapa? Nanti
saya ambilkan di teman, harganya satu juta satu kilo.... itu cendana asli.
Kalo Ibu jadi beli, saya hubungi teman. Sebelum Ibu balik ke Denpasar
159
cendana su pasti ada” (wawancara dengan Martinus Sabuna, karyawan
Wisma Firdaus So’e, tanggal 30 Juni 2008)
Wawancara tersebut menunjukkkan bahwa perdagangan cendana Kabupaten Timor
tengah Selatan belum berjalan secara bebas dan terbuka. Transaksi cendana masih
dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena tidak memiliki izin kepemilikan
cendana dan menghindari pembayaran kontribusi kepada pemerintah 10 % kepada
pemerintah. Dengan demikian, perdagangan gelap merupakan bentuk reaksi represif
masyarakat atas pemberlakuan peraturan pemerintah yang menghegemoni
penguasaan cendana.
Perdagangan gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sejalan dengan
konsep dominasi legal rasional Weber dan teori kekuasaan pengetahuan Foucault
bahwa relasi kekuasaan yang membentuk jaringan meliputi seluruh kehidupan
manusia. Kekuasaan membentuk lapisan kapiler yang terajut dalam serat-serat
tatanan sosial represif dan produktif. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum,
berdasarkan kriteria tertentu pemimpin dipilih atas dasar hukum, dan pemimpin wajib
menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum. Perdagangan ilegal pun dilakukan
untuk menghindari sangsi hukum yang memberi ganjaran denda atau hukuman
penjara bagi orang yang melakukan pencurian dan penyelundupan cendana.
Perdagangan gelap atau perdagangan kayu cendana secara ilegal
dilatarbelakangi dua hal berikut.
1) Kerumitan izin penguasaan cendana. Bagi masyarakat awam yang jarang
berhadapan dengan birokrasi pemerintahan menganggap pengurusan izin
160
kepemilikan cendana terlalu rumit. Mengurus izin membutuhkan waktu panjang
melalui beberapa tahap pemrosesan dimulai dari tingkat pemerintahan terendah
sampai Bupati. Masyarakat awam jika berhadapan dengan birokrasi pemerintahan
sering kagok dan tidak mengerti syarat-syarat yang dibutuhkan. Ditambah lagi
dengan bangunan gedung pemerintah yang dianggap mewah, memasuki gedung
pemerintah seorang petani yang tidak berpendidikan harus melepas sandal dan
menghormat kepada petugas.
2) Menghindari sangsi hukum. Memiliki cendana tanpa izin resmi dari pemerintah
adalah perilaku melanggar hukum dan diancam denda atau hukuman penjara.
Satu-satu jalan pintas untuk menghindari sangsi hukum hanya dengan menjual
cendana secara sembunyi-sembunyi. Biasanya ada penadah yang membeli
cendana dari masyarakat umum. Setelah cendana terkumpul cukup banyak si
penadah menjual kepada perusahaan resmi. Perusahaan resmi ini yang mengurus
izin kepemilikan dari tingkat pemerintahan terbawah sampai memperoleh izin
tertulis dari bupati.
5.2.5 Apatis (Acuh Tak Acuh)
Sikap apatis atau acuh tak acuh terhadap cendana merupakan reaksi simbolik
atau ekspresi rasa ketidakpuasan masyarakat atas hegemoni pemerintah. Masyarakat
menganggap bahwa pemerintah telah memonopoli penguasaan kayu cendana melalui
peraturan yang ditetapkan. Peraturan tersebut dianggap semata-mata menguntungkan
pemerintah dan sangat merugikan masyarakat. Hal ini memicu sikap apatis (acuh tak
161
acuh) dengan munculnya beberapa perilaku simbolik seperti ; 1) masyarakat merasa
tidak ikut memiliki cendana, 2) masyarakat merasa tidak memperoleh manfaat dari
pohon cendana, 3) masyarakat tidak memiliki tanggung jawab menjaga cendana.
Sikap acuh tak acuh masyarakat tampak jelas dengan adanya sikap tidak
merasa ikut memiliki. Ketika menemukan cendana atau anakan cendana tumbuh liar
baik di ladang-ladang maupun di tanah-tanah negara maka muncul sikap acuh karena
mereka merasa tidak ikut memiliki cendana tersebut. Ketika penulis berjalan kaki
menengok ladang milik Yusuf Tefnay, seorang petani merangkap Kaur Pemerintahan
Desa Mnelalete, di pinggir jalan menuju ladangnya tumbuh liar dua batang cendana.
Cendana itu kurus kering, tidak subur, tidak terawat. Ketika penulis menanyakan
mengapa tidak dipelihara padahal lokasi tumbuhnya masih di tanah ulayat klennya, ia
menjawab sebagai berikut.
“Itu cendana dulu milik pemerintah, pemerintah yang urus. Sekarang
memang sudah milik kita. Tapi kita malas pelihara, hanya dua batang,
urus izin juga susah, hasil sedikit, lama baru bisa ambil. Sekarang kita
tanam sayur kita jual bisa cepat ada uang” (wawancara dengan Yusuf
Tefnay, tanggal 8 Agustus 2010).
Hasil wawancara tersebut menunjukkkan adanya sikap apatis atau sikap acuh
karena masyarakat merasa tidak memperoleh kontribusi memadai keberadaan
cendana. Masyarakat tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk ikut serta menjaga
dan memeliharanya, karena cendana itu telah dianggap bukan hak miliknya yang
perlu dijaga, tetapi cendana milik pemerintah, jika sudah besar dan layak tebang akan
diambil alih oleh pemerintah. Jadi, mereka berpandangan bahwa semua cendana
adalah milik pemerintah yang hasilnya hanya dinikmati oleh pemerintah. Maka yang
162
berkewajiban menjaga dan memelihara adalah pemerintah. Mereka menganggap
cendana itu milik pemerintah, dipelihara, dan dipanen pemerintah.
Sikap acuh tak acuh masyarakat tampak dari perilaku masyarakat terhadap
cendana yang kini hanya tumbuh dan sengaja ditanam di lahan-lahan negara seperti
hutan negara dan halaman kantor pemerintah. Pemeliharaan cendana di tempat-
tempat demikian semata-mata untuk program pelestarian cendana. Pemeliharaan
sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah mulai dari penanaman, pemeliharaan,
pengamanan, dan penebangan. Masyarakat hanya sebagai penonton tidak
berpartisipasi menjaga tanaman tersabut. Misalnya, dua batang pohon cendana yang
kurang mendapat perhatian tumbuh meranggas di halaman depan kampus lama
Universitas Nusa Cendana harus diberi pagar besi agar tidak diganggu tangan jahil.
Sikap acuh juga tampak dalam perilaku masyarakat terhadap cendana yang
ditanam pemerintah di kawasan hutan jati milik negara di Desa Nule. Penanaman
tersebut merupakan salah satu program pemerintah untuk melestarikan cendana.
Penanaman di kawasan ini telah dilakukan sejak tahun 2006, dan berhasil
menumbuhkan beberapa tanaman cendana. Sekarang, cendana tersebut telah mulai
tumbuh dan mencapai tinggi sekitar 1-2 meter. Cendana yang masih relatif masih
muda itu banyak yang terkelupas kulit batangnya karena diambil kulit batangnya
untuk obat atau teman makan sirih pinang (lihat gambar 5.3).
163
Gambar 5.3
Batang cendana terkelupas kulitnya
(Dokumentasi I Gusti Ayu Armini tahun 2010)
Sikap apatis masyarakat sejalan dengan pandangan Teori Interaksionisme
simbolik, khusunya behaviorisme sosial dipengaruhi oleh bihaviorisme psikologis
mengakui arti penting perilaku tersembunyi yang ada di balik perilaku yang dapat
diamati maupun simbolisasi tindakan dan interaksi manusia. Perilaku yang dapat
diamati berupa stimulus yang mendatangkan reaksi. Tetapi di balik stimulus dan
reaksi tersebut terdapat proses mental yang tersembunyi yang terjadi ketika stimuli
dipakai dan respon dipancarkan. Dengan demikian, perhatian, persepsi, imajinasi,
emosi, dan sikap acuh terhadap cendana adalah perilaku tersembunyi sebagai bagian
dari respon, tindakan, dan keseluruhan proses aktivitas manusia.
5.2.6 Pesimis (Tidak Mempunyai Harapan Baik)
Hegemoni pemerintah menguasai cendana memunculkan sikap pesimis
masyarakat. Sikap pesimis merupakan bentuk respon masyarakat terhadap hegemoni
pemerintah yang menguasai cendana tidak pernah memberi keleluasaan masyarakat
164
memiliki cendana termasuk pohon cendana tumbuh di lahan-lahan miliknya. Hal ini
memunculkan sikap pesimis dan terhadap cendana maupun pemerintah seperti
dikemukakan petani berikut :
. “Pemerintah ambil semua cendana, sekarang kata orang sudah boleh kita
ambil, tapi ya tetap semua harus izin pemerintah, harus bayar urus-urus
izin. Lagi pula cendana kita hanya tinggal satu dua batang, itu tumbuh
sendiri hanya untuk upacara. Kita tidak tanam dan pelihara cendana, kita
tanam jeruk, nangka, ......” (wawancara dengan Nama Benu Kepala Adat
Desa Boti Dalam tanggal, 30 Mei 2008).
Hasil wawancara tersebut menunjukkan perilaku pesimis masyarakat. Sikap pesimis
adalah simbol dan arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan dan interaksi sosial
manusia. Peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni terakumulasi dalam
persepsi masyarakat yang melibatkan citra mental akibat stimulasi penetapan aturan
tersebut. Peraturan tersebut memunculkan berbagai bentuk response non verbal yakni
sikap pesimis atau tidak mempunyai harapan baik.
Sikap pesimis atau tidak mempunyai harapan baik terhadap pemerintah
maupun cendana tampak jelas dalam dua keranga perilaku masyarakat yakni ; 1) citra
negatif terhadap pemerintah maupun cendana, 2) cendana tidak berkontribusi
terhadap peningkatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup.
Citra negatif terhadap pemerintah, muncul dari anggapan masyarakat bahwa
pemerintah telah menjalankan peraturan yang tidak adil. Ketidakadilan pemerintah
mengakibatkan pandangan sumir bahwa semua cendana adalah milik pemerintah
bukan milik masyarakat umum. Hegemoni penguasaan cendana meliputi penanaman,
pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan,
165
sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Peraturan pemerintah dianggap menguntungkan
pihak pemerintah dan merugikan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat merasa
tidak memperoleh manfaat positif atas semua cendana yang tumbuh di lahan-lahan
miliknya, kemudian diekspresikan dengan berbagai sikap pesimis.
Citra negatif terhadap pemerintah merembet kepada citra negatif cendana
sehingga cendana disebut hau meni (kayu setan), hau mamalasi (kayu bermasalah),
dan hau plenat (kayu milik pemerintah). Dengan demikian, memiliki pohon cendana
sama artinya dengan menyimpan masalah dan tidak akan berpengaruh terhadap
peningkatan kesejahteraan hidupnya. Memiliki cendana di ladang-ladang sendiri
maupun menyimpan cendana sama dengan memiliki atau menyimpan masalah. Di
samping itu, masyarakat menjadi pesimis dan tidak mempunya harapan baik terhadap
pemerintah maupun keberadaan pohon cendana karena tidak merasakan keuntungan
ekonomi langsung dari keberadaan pohon cendana tersebut. Mereka bersikap pesimis
terhadap cendana melalui ungkapan “sonda hau meni sonda mamalasi” (tidak ada
cendana tidak ada masalah). Tidak menanam cendana berarti salah satu cara
menjauhkan diri dari permasalahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
tidak memiliki harapan baik terhadap pemerintah maupun cendana.
Sejak tahun 2005, ada keinginan beberapa masyarakat untuk
membudidayakan cendana di lahan-lahan milik pribadi untuk meningkatkan
kontribusi ekonomi. Keinginan demikian terganjal sikap pesimis yang telah bercokol
selama berabad-abad. Menurut pandangan masyarakat menanam cendana suatu
aktivitas yang sulit, tidak cocok ditanam oleh manusia, butuh ketelatenan, dan
166
memerlukan waktu produksi yang panjang. Pandangan demikian memungkinkan
adanya anggapan bahwa penanaman cendana tidak memberi manfaat bagi
peningkatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup dalam waktu cepat.
Sikap pesimis dialihkan dengan membudidayakan tanaman produktif lain
disebut mamar. Mamar adalah tanaman keras jangka panjang seperti kelapa, pisang,
sirih, pinang, mangga, jeruk, alpukat, kemiri, dan lain-lain. Budidaya tanaman mamar
dilakukan pada tempat-tempat yang memungkinkan seperti pinggiran ladang,
pinggiran sungai, atau sekitar pekarangan rumah (lihat gambar 5.5).
Gambar 5.4
Mamar (kemiri, nangka, jeruk) dikembangkan di pekarangan rumah
(Dokumentasi: I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)