Pentingnya Resiliensi dan Emosi Diri
dalam Pembangunan Karakter
A. Pendahuluan
Membangun karakter atau yang lebih populer dengan istilah Character Building,
merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Istilah ini biasanya banyak dijual
di kursus-kursus kepribadian, bahkan diobral di seminar-seminar yang bertajuk
pengembangan diri, entah itu dalam bentuk implementatif maupun hanya sekedar teori.
Sebagaimana yang telah kita pahami bersama, pengertian ‘karakter’ adalah sifat-
sifat kejiwaan, seperti tabiat, watak, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian dari ‘membangun’ adalah proses
pengolahan dan pembentukan suatu unsur atau materi yang sudah ada menjadi sesuatu
yang baru dan berbeda. Dari kedua pengertian tersebut, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa ‘membangun karakter’ adalah suatu proses pembentukan watak atau
budi pekerti. Tentunya dalam pengertian yang positif, tujuan dari pembentukan watak
atau budi pekerti di sini adalah menjadi lebih baik dan terpuji dalam kapasitasnya sebagai
pribadi yang mempunyai akal budi dan jiwa.
Character building dapat kita korelasikan dengan harapan dan usaha kita untuk
meningkatkan kualitas diri. Lalu pertanyaannya sekarang : How? Dengan cara apa kita
bisa membangun karakter yang terpuji itu? Jawabannya adalah banyak cara untuk itu,
baik melalui pendidikan formal dan informal, maupun melalui aktualisasi diri.
Salah satu cara yang telah diupayakan berbagai instansi adalah melalui
pendidikan informal, yaitu training ESQ. Fenomena training ESQ beberapa waktu yang
lalu bisa kita ibaratkan sebagai oase di padang yang tandus. Meski efek positifnya hanya
terasa kurang-lebih seminggu, namun hal tersebut memberikan secercah harapan bahwa
sesungguhnya kita masih mempunyai hasrat untuk introspeksi diri demi menjadi pribadi
yang lebih baik, bertanggung jawab, baik kepada diri sendiri, negara, bangsa, dan
tentunya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Betapa meruginya kita, apabila penyesalan dan
linangan air mata yang tumpah-ruah pada saat itu, menjadi sia-sia hanya karena kita
mengulangi lagi perbuatan buruk yang telah kita sesali.
Adapun pendidikan formal sebagai salah satu instrumen dalam membangun
karakter adalah dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan
formal secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengembangan
karakter individu seseorang. Pola pikir seorang Doktor dan Master yang sudah terbiasa
menganalisa suatu obyek atau pokok permasalahan secara lebih mendalam dan
2
mendetail, semestinya akan berbeda dengan seorang Sarjana Strata Satu yang dididik
dengan teori-teori dan aplikasinya yang masih bersifat umum.
Upaya membangun karakter melalui aktualisasi diri, bisa kita lakukan dengan ikut
aktif dalam berbagai kegiatan, baik di lingkungan tempat kerja maupun masyarakat.
Aktulisasi diri di lingkungan masyarakat bisa dilakukan dengan aktif di kegiatan dengan
lingkup yang kecil seperti RT, RW, atau aktif di lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan,
seperti LSM, atau di lembaga-lembaga keagamaan, seperti forum pengajian atau
persekutuan gereja.
Akhirnya, selain instrumen-instrumen yang sudah dijabarkan di atas, ada satu hal
yang sangat prinsip dan merupakan kata kunci atau main point, yakni keinginan untuk
berubah menjadi lebih baik sesungguhnya berpulang pada moral choice (keputusan
moral) pada masing-masing individu itu sendiri. Pendidikan formal, training ESQ,
aktualisasi diri, atau kegiatan apapun yang sejenis, hanyalah media atau instrumen
belaka. Semuanya akan menjadi tidak berarti, apabila di dalam diri individu yang
bersangkutan tidak ada keinginan yang kuat (spirit) untuk berubah.
Character building dapat dilakukan dengan mengembangkan tiap-tiap bagiannya.
Bagian itu antara lain adalah self-esteem (harga diri), self-concept (konsep diri), self-
efficacy (efikasi diri), self-awareness, self-confidence, self-reseliance (daya lentur), self-
adversity (daya tahan), self-resistance, self-communication (komunikasi diri), dan self-
emosi (emosi diri).
Keseluruhan bagian tersebut saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk
pribadi yang ideal. Pada kesempatan ini, kami akan membahas resiliensi dan emosi diri
dalam pembangunan karakter.
B. Pembahasan
Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat,
seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk mampu
melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang
optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi
makin tinggi.
Selanjutnya, bagi manusia, emosi tidak hanya berfungsi untuk survival atau
sekedar untuk mempertahankan hidup, seperti pada hewan. Akan tetapi, emosi juga
berfungsi sebagai energizer atau pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam
kehidupan manusia.
Menyadari betapa menariknya dua konsep tersebut, mempelajari keduanya akan
menjadi sama menariknya. Seseorang konselor harus memahami konsep tersebut sebagai
3
salah satu cara membantu mengantarkan konseli-konselinya ke pengembangan diri yang
optimal.
Self-Resiliance (Resiliensi Diri)
Pengertian Resiliensi
Resiliency means being able to bounce back from life developments that may
feel totally overwhelming at first (Al Siebert) Secara umum, resiliensi bermakna
kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam
perkembangannya. Awalnya mungkin ada tekanan yang mengganggu. Namun
orang-orang dengan resiliensi yang tinggi akan mudah untuk kembali ke keadaan
normal.
Istilah resiliensi berasal dari kata Latin `resilire' yang artinya melambung
kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika.
Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke
bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan
sebagai istilah psikologi, resi1iensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih
dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (the Resiliency Center, 2005).
Sejumlah ahli yang berbicara tentang resiliensi mengemukakan berbagai definisi
resiliensi. Definisi-definisi ini dapat dikelompokan ke dalam tiga sudut pandang
utama, yaitu :
o Resiliensi sebagai Kemampuan Adaptasi
Joseph (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah
kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap
perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan.
Rhodes dan Brown (dalam Isaacson, 2002) juga menyatakan bahwa
anak-anak yang resilien adalah mereka yang mampu memanipulasi dan
membentuk lingkungannya, menghadapi tekanan hidup dengan baik, cepat
beradaptasi pada situasi baru, mempcrsepsikan apa yang sedang terjadi
dengan jelas, fleksibel dalam berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi
frustasi dan kecemasan, serta meminta bantuan saat mereka
membutuhkannya.
Sementara itu, Werner dan Smith (dalam Isaacson, 2002)
mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi
stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal
(misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga).
4
Demikian pula Hetherington dan Blechman (dalam Isaacson, 2002)
menyatakan bahwa orang yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi
yang lebih dari cukup ketika rnenghadapi kesulitan.
o Resiliensi sebagai Kemampuan Bangkit Kembali dari Tekanan
Sudut pandang kedua tentang resiliensi sejalan dengan arti akar
katanya yang menyatakan konsep resiliensi sebagai kemampuan melambung
kembali dari tekanan atau masalah. Dugall dan Coles (dalam Isaacson, 2002)
menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas seseorang untuk melambung
kembali atau pulih dari kekecewaan, hambatan, atau tantangan.
Rutter (dalam Isaacson, 2002) melihat individu yang resilicn sebagai
mereka yang berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan,
dan bangkit dari kekurangan. Resiliensi didefinisikan oleh Wolin dan Wolin
(1999) sebagai proses tetap berjuang saat berhadapan dengan kesulitan,
masalah, atau penderitaan.
Menurut Gallagher dan Ramey (dalam Isaacson, 2002), resiliensi
adalah kemampuan untuk pulih secara spontan dari hambatan dan
mengkompensasi kekurangan atau kelemahan yang ada pada dirinya.
o Resiliensi Terlihat dalam Suatu Keadaan Dimana Seseorang Memiliki
Resiko Besar untuk Gagal namun Ia Tidak (gagal).
Rhodes dan Brown (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa anak-
anak yang resilien adalah mereka yang beresiko memiliki disfungsi psikologis
di masa yang akan datang akibat peristiwa hidup yang menekan, tetapi
ternyata pada akhirnya mereka tidak memiliki disfungsi tersebut. Contohnya,
tidak semua anak yang putus sekolah gagal mendapat pekerjaan dan
penghidupan yang layak, tidak semua remaja nakal menjadi pelaku kriminal di
masa dewasanya, dan sebagainya.
Zimmerman dan Arunkumar (dalam Morisson dan Cosden, 1997)
menjelaskan resiliensi sebagai faktor dan proses yang mengubah hubungan
antara adanya resiko dengan masalah perilaku atau psikopatologi, menjadi
hasil yang adaptif.
Daya lentur (resilience) merupakan istilah yang relatif baru dalam
khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi
didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri,
psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa
5
sembuh dari kondisi stres, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka (Deswita,
2006: 228).
Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resilieni adalah kemampuan
seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah
dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang
itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang
yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal senada
diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999: 26), bahwa resiliensi adalah
kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi
kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup
sehari-hari.
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen,
1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum
yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat
dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Secara spesifik, ego-resilience adalah: “… a personality resource that allows
individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of
ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate
and long term environmental context. (Block, dalam Klohnen, 1996).
Dari definisi yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ego resiliensi
merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks
lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut
memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara
mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan.
Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam
hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen,
1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan.
Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang
mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara
baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.
Wolff (dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait.
Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk
melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan
kehidupan. Individu yang mempunyai intelegensi yang baik, mudah beradaptasi,
social temperament, dan berkepribadian yang menarik pada akhirnya
memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan diri sendiri,
6
kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu
yang resilien.
Lazarus (dalam Tugade & Fredrikson, 2004), menganalogikan resiliensi
dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung
karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi
tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai
dengan kebutuhan (resilien). Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk
membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan
pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif.
Banaag (2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses
interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini
berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara
positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan
“melunakkan” kesulitan hidup individu.
Liquanti (1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada
remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak
mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka
mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di
sekolah, dan dari gangguan mental.
Faktor-faktor Resiliansi
Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang
berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan
eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya
keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan),
kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a
capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial
(seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang
diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan
individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal
dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan
interpersonal digunakan istilah’I Can’.
o I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti
perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang.
Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri,
7
perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman,
dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah
mandiri dan bertanggung jawab. Berikut ini adalah bagian-bagian dari faktor I
Am.
Bangga pada diri sendiri; individu tahu bahwa mereka adalah seorang
yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang
mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang
lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai
masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka
untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
Perasaan dicintai dan sikap yang menarik; Individu pasti mempunyai
orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap
orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur
sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika
berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman,
dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain
dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar
maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai
kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat
mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang
mempunyai spiritual yang lebih tinggi.
Mencintai, empati, altruistic; yaitu ketika seseorang mencintai orang
lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu
peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan
melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu
untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan
kenyamanan.
Mandiri dan bertanggung jawab. Individu dapat melakukan berbagai
macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi
dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung
jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap
berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
o I Have
Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang
meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah memberi semangat agar
8
mandiri, dimana individu baik yang independen maupun masih tergantung
dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti
rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis.
Struktur dan aturan rumah, setiap keluarga mempunyai aturan-aturan
yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan
tersebut maka akan diberikan penjelasan atau hukuman. Sebaliknya jika
anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian.
Role Models juga merupakan sumber dari faktor I Have yaitu orang-
orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti
informasi terhadap sesuatu dan memberi semangat agar individu
mengikutinya.
Sumber yang terakhir adalah mempunyai hubungan. Orang-orang
terdekat dari individu seperti suami, anak, orang tua merupakan orang yang
mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga
membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkala dapat
memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.
o I Can
Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang.
Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan
rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali
berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah
laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang
lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk
memukul, ‘kabur’, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang
tidak menyenangkan.
Mencari hubungan yang dapat dipercaya dimana individu dapat
menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk
meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, gunamencari cara
terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan
interpersonal.
Sumber yang lain adalah keterampilan berkomunikasi dimana
individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan
kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta
merasakan perasaan orang lain.
Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu
memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang,
9
dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap
temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa
lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk
mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu
sukses dalam berbagai situasi.
Bagian yang terakhir adalah kemampuan memecahkan masalah.
Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang
mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang
mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai
masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian masalah yang paling
tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu
masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
Setiap faktor dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada
berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu
yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi
apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu
berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang
dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia
tidak termasuk orang yang beresiliensi.
Kapasitas Resiliensi
Ternyata resiliensi seseorang mengandung tujuh kapasitas yang berbeda.
Ketujuh kapasitas itu bukan bersifat genetik, seperti halnya tinggi badan,
melainkan bisa ditingkatkan tanpa batas. Daya resiliensi kita berada dalam
kendali kita sendiri, seperti halnya kita bisa menjadi pelari cepat dengan cara
berlatih walaupun kita tidak akan menjadi pelari olimpiade. Berbagai hal yang
perlu kita latih, antara lain :
o Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dalam keadaan
tertekan. Seorang yang memiliki daya lenting tinggi biasanya orang yang
terampil dalam mengendalikan emosi, atensi, dan perilaku. Regulasi emosi
sangat penting peranannya dalam menjalin relasi yang intim, sukses dalam
kerja, dan mempertahankan kesehatan.
o Kendali impuls
10
Dapat dipahami bahwa orang yang mampu mengendalikan emosi pasti
mampu mengendalikan impuls. Untuk bisa mengendalikan impuls, kita lebih
dulu harus mengenali siapa diri kita. Bila kita mampu mengendalikan impuls,
kita akan terhindar dari keterpakuan pada pola pikir tertentu sehingga dapat
menggiring kita untuk memiliki kemampuan mendeteksi efek negatif dari
keyakinan impulsif yang merugikan diri serta menggantikannya dengan yang
positif.
o Optimisme
Orang yang optimistis biasanya memiliki daya lenting yang kuat
karena mereka yakin dapat mengendalikan jalan hidup di masa depan.
o Kemampuan melakukan analisis-kausal
Dengan kemampuan ini, kita dapat menjelaskan hal buruk dan baik
yang menimpa diri sehingga kita tidak terjebak pada pikiran buruk dan dapat
meningkatkan daya lenting.
o Empati
Kemampuan memahami orang lain melalui empati akan membuat kita
mampu mendeteksi berbagai kemungkinan perilaku orang terhadap diri kita.
o Kecukupan diri yang optimal
Dengan keyakinan bahwa kita cukup efektif dalam menjalani hidup,
hal itu merupakan representasi keyakinan bahwa kita akan bisa mengatasi
kesulitan yang akan kita hadapi.
o Menggapai cita
Pada umumnya, orang merasakan ketidakmampuan secara berlebih
sehingga tidak pernah berpikir untuk melakukan sesuatu atau memiliki ambisi
yang sebenarnya bisa diraih. Dengan pemanfaatan optimisme dan mencoba
menghapus keyakinan negatif yang berpengaruh dalam diri, kita bisa meraih
sesuatu yang fantastik, yang bisa saja tidak kita perkirakan sebelumnya.
(Reivich, Karen, PhD dan Hazte, Andrew, PhD, 2002).
Karakteristik Individu yang Resilien
Menurut Wolin dan Wolin (1999), ada tujuh karakteristik utama yang
dimiliki oleh individu yang resilien. karakteristik-karakteristik inilah yang
membuat individu mampu beradaptasi dcngan baik saat mcnghadapi masalah,
mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya
secara maksimal. Masing-masing karakteristik ini memiliki bentuk yang berbeda-
beda dalam tiap tahap perkembangan (anak, rcmaja, dcwasa).
11
Pada masa anak-anak, karakteristik-karakteristik ini bclum nampak jclas
bcntuknya dan tcrbangun atas dasar intuisi. Pada masa rcmaja, karakteristik-
karakteristik ini nampak dalam perilaku yang dilakukan secara sadar dan
bertujuan. Sedangkan pada masa dewasa, karakteristik-karakteristik ini semakin
luas dan mendalam, menjadi bagian dari diri (self).
o Insight
kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-
orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam
komunikasi, individu yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan
yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka
untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan
diri dalam berbagai situasi.
o Kemandirian
kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik
dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan
kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri
dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan
dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki
orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan.
o Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role
model yang sehat. Karakteristik ini berkembang pada masa kanak-kanak
dalam perilaku kontak (contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil
dengan orang lain yang mau terlibat secara emosional.
Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri
(recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif
dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk
kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara
timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.
o Inisiatif
keinginan kuat untuk bertanggung jawab akan hidup. Individu yang
resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam
pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang
dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka menghadapi hal-hal
yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan
12
dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki
tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka
menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
o Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,
konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang
resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu
mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat
keputusan yang benar.
Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk
mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu
menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang resilien
mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan
masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk
kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari
imajinatif.
o Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan,
menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi
apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk
memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa
humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
o Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan
untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat
mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut
akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri
sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah
kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.
Potensi untuk menjadi individu yang resilien ada dalam diri setiap orang.
Namun, diperlukan dukungan dari keluarga, sekolah, dan komunitas, agar
individu dapat mewujudkan potensi resiliensinya (Benard, 2004).
Pentingnya Resiliensi
Resiliensi adalah faktor penting dalam kehidupan kita sekarang ini. Ketika
perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, maka
13
seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk
mampu melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan
hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien
sungguh menjadi makin tinggi.
o Orang-orang dengan resiliensi yang tinggi, akan mampu keluar dari masalah
dengan cepat dan tak terbenam dengan perasaan sebagai korban lingkungan
atau keadaan.Masih dari buku Al Siebert, ditegaskan bahwa di tengah dunia
yang berubah cepat ini,
o Perusahaan dengan karyawan yang resilient akan memilki keuntungan di
banding kompetitor mereka
o Saat banyak tekanan untuk melakukan efisiensi dan restrukturisasi, dengan
downsizing misalnya, maka pekerja resilien dengan ketrampilan yang
beragamlah yang akan dipertahankan. Multi-skilled employee- lah yang akan
dipertahankan di perusahaan
o Saat melamar pekerjaan, orang-orang dengan resiliensi yang tinggilah yang
lebih punya kesempatan
o Di tengah tekanan ekonomi yang ada, keluarga dengan individu yang resilien
didalamnyalah yang akan cepat keluar dari krisis
o Pribadi dengan resiliensi tinggilah yang cepat mengambil keputusan saat
berada dalam situasi sulit
o Mereka juga adalah pribadi yang tak mudah sakit saat banyak diterpa masalah
Jelas, bahwa resiliensi adalah ketrampilan yang penting untuk
dikembangkan di segala sektor kehidupan. Adapun beberapa ciri utama pribadi
dengan resiliensi tinggi itu berkisar pada kemampuan mereka mempertahankan
perasaan positif dan juga kesehatan serta energi mereka. Mereka juga memiliki
kemampuan memecahkan masalah yang baik. Yang tak kalah penting adalah
berkembangnya harga diri, konsep diri dan kepercayaan diri mereka secara
optimal.
Meningkatkan Resiliensi
Di dalam kehidupan pastinya kita menemukan bencana, kesulitan,
kemalangan yang membuat kita merasakan kesedihan, dan putus asa. Jika kita
tetap dengan keadaan sedih dan putus asa, hidup yang kita jalani tidak akan indah.
Biasanya orang yang pernah terkena bencana, mengalami kecelakaan, dan
menghadapi masalah yang cukup sulit pasti akan mengalami kesedihan bahkan
trauma, tetapi orang yang bisa kembali seperti semula setelah mengalami
14
berbagai masalah disebut dengan resiliensi yaitu kemampuan seseorang untuk
bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari element positif dari
lingkungannya, untuk membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala
keadaan dan mengembangan seluruh kemampuannya, walau berada dalam
kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal.
Orang yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih dari
cukup ketika rnenghadapi kesulitan. Resiliensi merupakan kemampuan individu
untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan
kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. Resiliensi sebagai kapasitas untuk
secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka
maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan
keluarga).
Setiap orang hendaknya mempertimbangkan perkembangan daya
lentingnya demi kenyamanan hidup. Namun, pada kenyataan, kebanyakan orang
justru secara emosional dan psikologi tidak siap mengatasi kemalangan. Mereka
malahan cenderung bersikap menyerah dan merasa tidak berdaya. Berikut adalah
langkah yang harus kita telusuri dalam meningkatkan resiliensi diri.
o Kenali diri sendiri, bagaimanakah kebiasaan kita dalam bersikap?
o Hindari terjebak dalam situasi tertentu, seperti menyalahkan diri sendiri.
o Keyakinan kuat apakah yang selama ini menghambat kemampuan kita untuk
bangkit? Tanpa disadari, sering kita dipengaruhi keyakinan kuat tentang hal
tertentu, misalnya keyakinan bahwa orang lain dan dunia bersikap dan
menginginkan sesuatu dari kita.
o Tantangan keyakinan, artinya komponen kunci dari daya lenting adalah
kemampuan mengatasi masalah. Sejauh mana kemampuan kita dalam
mengatasi masalah sehari-hari?
o Menjaga perspektif dalam hidup, seperti apakah kita sering tenggelam dalam
kondisi tertekan dan menghabiskan waktu untuk terus mencemaskan hal yang
belum tentu terjadi?
o Tenang dan tetap menjaga pusat perhatian, jangan sampai kita dikuasai stres
dan situasi emosional?
o Daya lenting dalam hal tenggang waktu, apakah kita selalu dikuasai pikiran
negatif yang muncul dalam benak kita sehingga sulit bagi kita menghadapi
kenyataan hidup?
Self-Emotion (Emosi Diri)
15
Pengertian Emosi
Salah satu aspek kepribadian yang selalu mewarnai suasana hati kita yaitu
emosi. Suasana hati yang ditandai dengan perasaan positif (senang) dan perasaan
negatif (tidak senang) dengan variasi perasaan yang beraneka macam ini,
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku manusia.
Dalam setiap tingkah laku kita, selalu diwarnai dan diikuti oleh suasana hati
tersebut.
Menurut Patton (1997), emosi merupakan suatu kekuatan yang bisa
berpengaruh positif maupun negatif. Kekuatan emosi mempunyai nilai positif
seperti dalam memberi semangat, motivasi, optimisme, bangga puas dan
sebagainya. Dengan kekuatan perasaan tersebut maka dapat berhasil dalam
menyelesaikan tugas. Sebaliknya emosi juga bias berpengaruh negatif, misalnya
karena tidak dapat mengendalikan rasa marah dan jengkel, maka dapat mengacau
suasana kerja, rasa putus asa mendorong orang untuk tidak menyelesaikan tugas.
Jiwa manusia merupakan satu kesatuan yang saling bersinergi satu sama
lain yang menciptakan suatu keadaan kepribadian yang seimbang. Jika kita
berbicara tentang kepribadian yang seimbang, pada diri setiap individu memiliki
hal yang mempengaruhi terhadap kepribadian yaitu kestabilan emosi.
Emosi pada diri individu berperan penting dalam penciptaan kepribadian
dan perjalanan kehidupan seorang manusia, sehingga jika dikaji dari sisi
psikologis manusia, maka akan muncul suatu keadaan dimana peran emosi ini
sangat berpengaruh dalam segala hal kehidupan manusia, karena manusia
merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, hati nurani dan kepekaan
terhadap peristiwa yang dialami secara emosional yang membedakan dengan
makhluk lainnya.
Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari
émouvoir, yang berarti 'kegembiraan' dan dari bahasa Latin emovere, dari e-
(varian eks-) berarti 'luar' dan movere yang berarti 'bergerak'. Emosi adalah
istilah yang digunakan untuk keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan
dengan beragam perasaan, pikiran, dan perilaku. Emosi adalah pengalaman yang
bersifat subjektif, atau dialami berdasarkan sudut pandang individu.
Emosi berhubungan dengan konsep psikologi lain seperti suasana hati,
temperamen, kepribadian, dan disposisi. menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) pengertian emosi adalah ; “luapan perasaan yang berkembang dan surut
pada waktu singkat”.
16
Secara psikologi, emosi diartikan sebagai warna afektif seseorang yang
disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik
yang berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Dalam buku Psikologi Belajar
karya DR.Nyany Khodijah (2006), definisi emosi dirumuskan secara bervariasi
dengan orientasi teoritis yang berbeda-beda, antara lain :
o William James (dalam DR. Nyayu Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai
keadaan budi rohani yang menampakkan dirinya dengan suatu perubahan
yang jelas pada tubuh.
o Goleman, 1999 (dalam DR. Nyayu Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai
suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak.
o Kleinginna & Kleinginna (dalam DR. Nyayu Khodijah) mencatat ada 92 definisi
yang berbeda tentang emosi., Namun disepakati bahwa keadaan emosional
adalah suatu reaksi kompleks yang melibatkan kegiatan dan perubahan yang
mendalam serta dibarengi dengan perasaan yang kuat.
Menurut Chaplin (1989) dalam Dictionary of psychology, emosi adalah
sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-
perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku.
Chaplin (1989) membedakan emosi dengan perasaan. Perasaan (feelings) adalah
pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh
bermacam-macam keadaan jasmaniah.
Menurut Crow & Crow (1958), an emotion, is an affective experience that
accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup
states in the individual, and that shows it self in his evert behaviour. Jadi emosi
adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.
Teori Emosi
Walgito, 1997 (dalam DR. Nyayu Khodijah), mengemukakan tiga teori
emosi, yaitu :
o Teori Sentral
Menurut teori ini, gejala kejasmanian merupakan akibat dari emosi
yang dialami oleh individu; jadi individu mengalami emosi terlebih dahulu
baru kemudian mengalami perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya.
Contohnya : orang menangis karena merasa sedih
o Teori Periferal
17
Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli berasal dari Amerika Serikat
bernama William James (1842-1910). Menurut teori ini justru sebaliknya,
gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari emosi yang
dialami oleh individu, tetapi malahan emosi yang dialami oleh individu
merupakan akibat dari gejala-gejala kejasmanian. Menurut teori ini, orang
tidak menangis karena susah, tetapi sebaliknya ia susah karena menangis.
o Teori Kepribadian
Menurut teori ini, emosi ini merupakan suatu aktifitas pribadi, dimana
pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan dalam jasmani dan psikis sebagai dua
substansi yang terpisah. Karena itu, maka emosi meliputi pula perubahan-
perubahan kejasmanian. Misalnya apa yang dikemukakan oleh J. Linchoten.
Fungsi Emosi
Bagi manusia, emosi tidak hanya berfungsi untuk survival atau sekedar
untuk mempertahankan hidup, seperti pada hewan. Akan tetapi, emosi juga
berfungsi sebagai energizer atau pembangkit energi yang memberikan kegairahan
dalam kehidupan manusia. Selain itu, emosi juga merupakan messenger atau
pembawa pesan (Martin dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006)
Survival, yaitu sebagai sarana untuk mempertahankan hidup. Emosi
memberikan kekuatan pada manusia untuk membeda dan mempertahankan diri
terhadap adanya gangguan atau rintangan. Adanya perasaan cinta, sayang,
cemburu, marah, atau benci, membuat manusia dapat menikmati hidup dalam
kebersamaan dengan manusia lain.
Energizer, yaitu sebagai pembangkit energi. Emosi dapat memberikan kita
semangat dalam bekerja bahkan juga semangat untuk hidup. Contohnya :
perasaan cinta dan sayang. Namun, emosi juga dapat memberikan dampak negatif
yang membuat kita merasakan hari-hari yang suram dan nyaris tidak ada
semangat untuk hidup. Contohnya : perasaan sedih dan benci.
Messenger, yaitu sebagai pembawa pesan. Emosi memberitahu kita
bagaimana keadaan orang-orang yang berada disekitar kita, terutama orang-
orang yang kita cintai dan sayangi, sehingga kita dapat memahami dan melakukan
sesuatu yang tepat dengan kondisi tersebut. Bayangkan jika tidak ada emosi, kita
tidak tahu bahwa disekitar kita ada orang yang sedih karena sesuatu hal yang
terjadi dalam keadaan seperti itu mungkin kita akan tertawa-tawa bahagia
sehingga membuat seseorang yang sedang bersedih merasa bahwa kita bersikap
empati terhadapnya.
18
Dari pemaparan tentang fungsi emosi itu sendiri, maka kita dapat tarik
suatu kejelasan bahwa emosi dalam kehidupan sangat berperan untuk menunjang
segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Penggunaan emosi yang tepat dalam
situasi yang tepat dapat memepengaruhi terhadap hasil dari aktivitas yang
dilakukan oleh manusia. Maka dari itu, patutlah kita menyadari tentang fungsi
emosi pada diri kita serta menempatkan emosi tersebut pada situasi yang tepat.
Dengan kita tepat dalam menggunakan emosi kita maka kitapun akan tepat dalam
menghadapi suatu hal.
Emosi tidaklah selalu harus diartikan sebagai hal yang buruk untuk
dilibatkan dalam sesuatu karena Emosi pada prinsipnya menggambarkan
perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi
merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya
tidak ada emosi baik atau emosi buruk.
Berbagai buku psikologi yang membahas masalah emosi seperti yang
dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni emosi
menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi di kantor
dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan
baik terhadap individu maupun orang lain yang berhubungan (Martin, 2003).
Maka dari itu sangat penting untuk disadari bahwa melibatkan emosi yang
tepat dalam segala hal aktifitas dapat mempengaruhi terhadap perilaku individu
kearah perilaku yang tepat pula khususnya dalam mengambil suatu keputusan.
Kematangan Emosi
Menurut Hurlock (1990), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu:
o Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang
emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat
diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental
yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.
o Pemahaman diri. Individu yang matang, belajar memahami seberapa banyak
kontrol yang dibutuhkannya untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai
dengan harapan masyarakat
o Menggunakan kemampuan kritis mental. Individu yang matang berusaha
menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya, kemudian memutuskan
bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut.
19
Kematangan emosi (Wolman dalam Puspitasari, 2002) dapat didefinisikan
sebagai kondisi yang ditandai oleh perkembangan emosi dan pemunculan
perilaku yang tepat sesuai dengan usia dewasa dari pada bertingkahlaku seperti
anak-anak. Semakin bertambah usia individu diharapkan dapat melihat segala
sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan perasaan dan kenyataan, serta
bertindak atas dasar fakta dari pada perasaan.
Menurut Kartono (1988) kematangan emosi sebagai kedewasaan dari segi
emosional dalam artian individu tidak lagi terombang-ambing oleh motif kekanak-
kanakan. Chaplin (2001) menambahkan emotional maturity adalah suatu keadaan
atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi dan karena
itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak
pantas.
Smith (1995) mendefinisikan kematangan emosi menghubungkan dengan
karakteristik orang yang berkepribadian matang. Orang yang demikian mampu
mengekspresikan rasa cinta dan takutnya secara cepat dan spontan. Sedangkan
pribadi yang tidak matang memiliki kebiasaan menghambat perasaan-
perasaannya. Sehingga dapat dikatakan pribadi yang matang dapat mengarahkan
energi emosi ke aktivitas-aktivitas yang sifatnya kreatif dan produktif.
Senada dengan pendapat di atas Covey (dalam Puspitasari, 2002)
mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan untuk
mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin dan berani,
diimbangi dengan pertimbangan-pertimbangan akan perasaan dan keyakinan
individu lain.
Menurut pandangan Skinner (1977) esensi kematangan emosi melibatkan
kontrol emosi yang berarti bahwa seseorang mampu memelihara perasaannya,
dapat meredam emosinya, meredam balas dendam dalam kegelisahannya, tidak
dapat mengubah moodnya, tidak mudah berubah pendirian. Kematangan emosi
juga dapat dikatakan sebagai proses belajar untuk mengembangkan cinta secara
sempurna dan luas dimana hal itu menjadikan reaksi pilihan individu sehingga
secara otomatis dapat mengubah emosi-emosi yang ada dalam diri manusia
(Hwarmstrong, 2005).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah
suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan
fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan
untuk meletus.
Kecerdasan Emosi
20
o Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun
1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional
yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer
mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan
oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan
pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman,
2000 :180).
Salovey (Goleman, 200:57), menurutnya kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan
untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to
manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan
keterampilan sosial.
Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi.
Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan
emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar
menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada
diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi rasa
yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan
21
pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan
orang lain.
Harmoko (2005), kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan
untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk
untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina
hubungan dengan orang lain.
Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi
adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara
tepat untuk menangani masalah.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan
emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan
diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat,
menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan
sehari-hari.
o Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Aspek - aspek kecerdasan emosi menurut Rakhmat, 1985 adalah
sebagai berikut :
a. Pengelolaan diri
Mengandung arti bagaimana seseorang mengelola diri dan
perasaan perasaan yang dilaminya.
b. Kemampuan untuk memotivasi diri
Kemampuan ini berguna untuk mencapai tujuan jangka panjang,
mengatasi setiap kesulitan yang dialami bahkan untuk melegakan
kegagalan yang terjadi.
c. Empati
Empati ini dibangun dari kesadaran diri dan dengan memposisikan
diri senada, serasa dengan emosi orang lain akan membantu anda
membaca dan memahami perasaan orang lain tersebut.
d. Ketrampilan sosial
Merupakan ketrampilan yang dapat dipelajari seseorang semenjak
kecil mengenai pola-pola berhubungan dengan orang lain.
o Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Walgito (1993) membagi faktor yang mempengruhi emosi menjadi dua faktor
yaitu:
a. Faktor Internal
22
memiliki dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi
jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu. Segi psikologis
mencakup pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi.
b. Faktor Eksternal.
Faktor eksternal adalah stimulus dan lingkungan dimana
kecerdasan emosi berlangsung. Faktor eksternal meliputi:
1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan
kecerdasan emosi tanpa distorsi dan
2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses
kecerdasan emosi.
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan kecerdasan
pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang
dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan
utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
b. Mengelola Emosi
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat
yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan
yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu,
yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang
positif,yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang
orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain.
e. Membina Hubungan
Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi
dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya
23
dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya
berkomunikasi (Goleman, 2002 :59).
Resiliensi dan Emosi Diri dalam Pembangunan Karakter
Secara umum, resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari
keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya. Awalnya mungkin ada tekanan
yang mengganggu. Namun orang-orang dengan resiliensi yang tinggi akan mudah
untuk kembali ke keadaan normal.
Resiliensi sendiri tidak bisa dipisahkan dari emosi diri. Orang dengan
resiliensi tinggi mampu mengelola emosi mereka secara sehat. Tentu mereka punya
hak dan berhak untuk merasa sedih, marah, merasa kehilangan, sakit hati dan
tertekan. Bedanya, mereka tak membiarkan perasaan macam itu menetap dalam
waktu lama.
Orang yang resilien lebih mudah dalam mengatur regulasi emosi. Mereka
cepat memutus perasaan yang tak sehat, yang kemudian justru membantunya
bertumbuh menjadi orang yang lebih kuat. Mereka menjadi contoh atas apa yang
pernah disampaikan oleh Wilhelm Nietzsche’s, That which does not kill me makes me
stronger, apa yang tidak membunuh saya, justru akan makin menguatkan saya.
Proses membentuk karakter dipengaruhi oleh tingkat resiliensi dan emosi
dalam tiap individu. Individu yang tidak resilien, dia akan mudah terpuruk dan putus
asa apabila ditimpa permasalahan. Keadaan tersebut juga berimbas pada apakah dia
cukup percaya diri dalam mengungkap solusi masalah dan apakah dia bisa
bertanggungjawab pada tugasnya atau tidak. Tentu hal tersebut akan menghambat
proses pembangunan karakter yang lebih baik kualitasnya.
Begitu juga dengan emosi. Seseorang yang tidak cerdas dalam mengendalikan
emosinya, cenderung membiarkan bentuk-bentuk negatif lah yang tampak. Emosi
yang negatif seperti marah, sedih, dan kesal akan berimbas pada banyak hal. Misalnya
saja apakah dia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda, apakah
dia mampu bertahan dalam situasi sulit, dan bagaimana cara dia menghargai dirinya
sendiri, termasuk apakah dia mampu menjadi pribadi yang resilien. Oleh karena itu,
emosi sangat penting dalam karakterisasi individu.
C. Penutup
Kesimpulan
Character building adalah harapan & usaha kita untuk meningkatkan kualitas diri.
Resiliensi adalah kemampuan melambung kembali dari tekanan atau masalah.
24
Faktor-faktor resiliensi yaitu, kekuatan individu dalam diri pribadi ‘I Am’,
dukungan eksternal dan sumber-sumbernya ‘I Have’, dan kemampuan
interpersonal digunakan ’I Can’.
Kapasitas resiliensi yaitu, regulasi emosi, kendali impuls, optimisme, kemampuan
melakukan analisis-kausal, empati, kecukupan diri yang optimal, &menggapai cita.
Karakteristik individu yang resilien meliputi, insight, kemandirian, hubungan,
inisiatif, kreativitas, humor, dan moralitas.
Emosi adalah keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan dengan beragam
perasaan, pikiran, dan perilaku.
Teori Emosi ada 3, yaitu teori sentral, teori peripheral, dan teori kepribadian.
Bagi manusia, emosi berfungsi sebagai survival, energizer, dan messenger.
Kematangan emosi adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang
ada dalam diri secara yakin dan berani.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan
mengekspresikan apa yang kita rasakan dengan tepat.
Aspek-aspek kecerdasan emosi adalah pengelolaan diri, kemampuan untuk
memotivasi diri, empati, dan ketrampilan sosial
Orang dengan emosi yang cerdas memiliki kemampuan mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan
membina hubungan.
Orang dengan resiliensi tinggi mampu mengelola emosi mereka secara sehat.
Saran
Hendaknya kita meningkatkan kualitas resiliensi dan emosi diri dalam mencapai
tujuan pembentukan/pembangunan karakter yang lebih baik.
D. Daftar Pustaka
Deswita. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the
Human Spirit. The Series Early Childhood Development : Practice and Reflections.
Number8. The Hague : Benard van Leer Voundation.
Grothberg, E. (1999). Tapping Your Inner Strength, Oakland, CA : New Harbinger
Publication, Inc.
http://www.belajarpsikolgionline.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi
25
http://www.bluefame.com/lofiversion/index.php/t173588.html
http://library.gunadarma.ac.id/index.php?
appid=penulisan&sub=detail&npm=10503144&jenis=s1fpsi
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2137
http://mariaherlina.multiply.com/journal/item/13/
Bukan_korban_tetapi_orang_yang_berhasil_selamat_Survivor
http://www.kompas.com/
http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/citu11bhtm
26