Download - BPH - Patofisiologi, GK, Diagnosis, DD
1. Patofisiologi BPH1
Patofisiologi dari BPH sangat kompleks. Hiperplasia dari prostat
meningkatkan resistensi uretra, menimbulkan perubahan sebagai
kompensasi untuk fungsi saluran kemih. Akan tetapi, peningkatan tekanan
detrusor yang diperlukan untuk mempertahankan aliran urin dengan
adanya peningkatan resistensi outflow mengganggu fungsi penyimpanan
kandung kemih yang normal. Perubahan yang ditimbulkan obstruksi pada
perubahan fungsi detrusor, ditambah perubahan yang berkaitan dengan
usia pada fungsi kandung kemih dan fungsi saraf, menimbulkan
peningkatan frekuensi berkemih, urgensi, dan nokturia yang merupakan
keluhan utama dari BPH. Dengan demikian, patofisiologi BPH berkaitan
erat dengan disfungsi kandung kemih yang diinduksi oleh obstruksi.
BPH pertama kali berkembang di zona transisi periuretra dari
prostat. Zona transisi terdiri dari dua kelenjar yang terpisah di luar spinkter
preprostatik. Saluran utama dari zona transisi muncul pada aspek lateral
dari dinding uretra pada angulasi uretra dekat verumontanum. Proksimal
dari asal saluran zona transisi adalah kelenjar dari zona periutretral yang
terbatas di dalam spinkter preprostatik dan paralel terhadap aksis dari
uretra. Semua nodul BPH berkembang dari zona transisi atau regio
periuretral. Walaupun awal nodul zona transisi dapat muncul mulai dari
dalam atau langsung berdampingan dengan spinkter preprostatik, setelah
penyakit berlanjut dan jumlah nodul kecil bertambah, nodul ini dapat
ditemui pada setiap bagian dari zona transisi maupun periuretra. Akan
tetapi, zona transisi juga membesar seiring usia, tidak berhubungan dengan
perkembangan nodul.
Salah satu sifat unik dari prostat manusia adalah adanya kapsul
prostat, di mana berperan penting pada munculnya LUTS. Kapsul ini
mengirimkan tekanan dari pelebaran jaringan ke uretra dan menimbulkan
resistensi uretra. Dengan demikian, gejala klinis dari BPH tidak hanya
berhubungan pada pembesaran ukuran prostat bergantung usia, namun
juga pada struktur anatomis dari kelenjar. Bukti kolinis dari pentingnya
kapsul dapat dijumpai pada beberapa kasus insisi kapsul prostat yang
menghasilkan perbaikan yang signifikan pada bstruksi outflow, meskipun
volume prostat tetap sama.
Ukuran dari prostat tidak berhubungan dengan derajat obstruksi.
Dengan demikian, faktor lain seperti resistensi uretra, kapsul prostat dan
pleomorfisme anatomis lebih berperan pada timbulnya gejala klinis
daripada ukuran dari prostat itu sendiri. Pada beberapa kasus,
pertumbuhan utama dari nodul periuretra pada leher saluran kemih
menimbulkan peninggian lobus tengah. Lobus tengah pasti berasal dari
periutretra karena tidak ada jaringan zona transisi pada daerah ini. Tidak
jelas apakah pertumbuhan lobus tengah timbul pada pasien BPH secara
acak atau ada pengaruh genetik pada pola pembesaran ini.
BPH merupakan proses hiperplasia, bukan hipertrofi, di mana
terjadi peningkatan jumlah sel, bukan ukuran sel. Menurut penelitian Mc.
Neal (1990), mayoritas nodul periuretra awal ada stroma. Nodul stroma ini
menyerupai mesenkim embrionik dengan berlimpahnya substansi pucat
dan kolagen yang minimal. Masih belum jelas apakah nodul stroma awal
hanya mengandung sel mirip fibroblas atau diferensiasi menuju tipe sel
otot polos juga terjadi. Kebalikannya, nodul zona transisi paling awal
menggambarkan proliferasi jaringan glandular yang mungkin berkaitan
dengan reduksi nyata dari sejumlah stroma. Stroma minimal awalnya
terlihat terutama mengandung otot polos matur, tidak seperti pada jaringan
zona transisi yang tidak terlibat. Nodul glandular ini ternyata berasal dari
cabang saluran kecil yang baru terbentuk dari saluran yang sudah ada,
menghasilkan sistem saluran baru di dalam nodul sehingga menimbulkan
hipertrofi pada sel-sel epitelial. Peningkatan volume zona transisi tidak
hanya berkaitan dengan jumlah nodul, tetapi juga ukuran keseluruhannya.
Tanpa memperhatikan proporsi tepat antara sel stroma dan sel
epitel pada prostat yang mengalami hiperplasia, otot polos prostat
menggambarkan volume signifikan dari kelenjar. Walaupun sel otot polos
prostat belum dikarakteristikkan secara luas, mungkin properti
kontraktilitasnya sama dengan organ otot polos lainnya. Pengaturan ruang
dari otot polos prostat tidak optimal untuk menghasilkan perkembangan,
namun sudah jelas bahwa gaya pasif dan aktif dari jaringan prostat
berperan penting dalam patofisiologi BPH. Stimulasi sistem saraf
adrenergik jelas menghasilkan peningkatan dinamis dari resistensi uretra
prostatika. Hambatan dari stimulasi ini oleh α- receptor blocker jelas
menghilangkan respon ini. Akan tetapi, hambatan dari α- receptor blocker
tidak mengurangi tekanan pasif pada prostat.
Bukti terakhir menunjukkan respon kandung kemih terhadap
obstruksi merupakan proses adaptasi. Akan tetapi, sudah jelas juga bahwa
sebagian besar LUTS pada pasien BPH atau pembesaran prostat
berhubungan dengan perubahan yang ditimbulkan obstruksi pada fungsi
kandung kemih daripada obstruksi outflow secara langsung. Kira-kira 1/3
pasien tetap mengalami disfungsi berkemih yang signifikan, dan gejala
penyimpanan setelah operasi pembebasan dari obstruksi. Perubahan pada
kandung kemih akibat obstruksi terdiri dari 2 tipe dasar. Pertama,
perubahan yang diakibatkan ketidakstabilan detrusor atau penurunan
compliance secara klinis berhubungan dengan frekuensi dan urgensi.
Kedua, perubahan yang berhubungan dengan penurunan daya
kontraktilitas detrusor berhubungan dengan perburukan lebih jauh
terhadap pancaran kemih, mengedan saat berkemih, intermiten,
peningkatan residu urin, dan sebagian kecil kegagalan detrusor. Retensi
urin akut merupakan akibat yang tidak dapat dihindari. Banyak pasien
dengan retensi urin akut datang dengan fungsi detrusor normal, dengan
pengendapan yang mengarah pada obstruksi.
2. Manifestasi Klinis
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977
dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif
disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk
berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi
terputus-putus. Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete
bladder emptying).2,3
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia
prostat masih tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala
obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar
dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun,
tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot
detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Pemeriksaan derajat
beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :4
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan.
Sisa urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan
dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan
dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada
orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total
sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari
100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan
uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika
125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow
rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai
average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15
mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat
dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan
urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi
maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara
teratur.3,5,6
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris
yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena
hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh., gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus.
Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih
bagian atas + sisa urin > 150 ml4
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk
menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu
sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering
dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih
dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut
nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama
tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi
biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar.
Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal
ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka
pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga
tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi
lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks
(over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya
refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem
pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke
ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan
tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus
selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat
menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya
hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka
dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu,
retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi
systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3
3. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai
pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia,
pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani
pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang
dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 th
International Consultation on BPH (IC-BPH)7 membagi kategori
pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi: pemeriksaan awal
(recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional),
sedangkan guidelines yang disusun oleh EAU7 membagi pemeriksaan itu
dalam: mandatory, recommended, optional, dan not recommended.
Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit
yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi8,9
Keluhan yang dirasakan dan seberapa
lama keluhan itu telah mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada
saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera, infeksi, atau pem-
bedahan)
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan
keluhan miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk
tindakan pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan
menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah
International Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah
mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah
distandarisasi.8,9,10 Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan
pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-
masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat
lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan
pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut10,11
Skor 0-7: bergejala ringan
Skor 8-19: bergejala sedang
Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS
terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life
atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.
Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik
pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-
buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.8 Mengukur volume
prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada pengukuran
dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa
ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada
pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker
prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam
menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.12 Perlu dinilai
keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi
neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan
pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat
menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.8
Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi,
di antara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada
pemeriksaan urinalisis menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu pada
kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli
perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.8,11 Pada pasien BPH yang
sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, peme-riksaan
urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria
maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.
Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat
BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal
menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering
dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas
menjadi enam kali lebih banyak9. Pasien LUTS yang diperiksa
ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar
kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar
kreatinin serum.13 Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas.
Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific.14 Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan
perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
a. pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
b. keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
c. lebih mudah terjadinya retensi urine akut15,16
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi
kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan
volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju
adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1
mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun19. Kadar
PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi
urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua17
Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa
serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya
perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.18
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:17
40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma
prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma
prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior
daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya
karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi
sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.19
Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara
merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal
pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhubungan dengan usia pasien
atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun
atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang
terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya9,11,19
Catatan harian miksi (voiding diaries)
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi
traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang
cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang
mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol.9,13. Dengan mencatat
kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan
berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien
menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-
vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya
pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang
baik13, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama
3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor.20
Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama
proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak
invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume
miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama
pancaran.9,19 Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai
untuk mengevaluasi gejalaobstruksi infravesika baik sebelum maupun
setelah mendapatkan terapi. Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan
penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang
lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor.
Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO.
Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi
antara nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut:
Qmax < 10 ml/detik 90% BOO
Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan.
Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan
disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah
pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya
disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik
setelah.8
Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil
Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut
Steele et al (2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan
Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya BOO24. Nilai Qmax
dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat
variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri
menjadi bermakna jika volume urine >150 mL dan diperiksa berulangkali
pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif
Qmax untuk menentukan BOO harus diukur beberapa kali. Reynard et al
(1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada
tidak-nya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali.21,22
Pemeriksaan residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa
urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual
urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53
mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine
kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak
lebih dari 12 mL.19 Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara
invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui
kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu
dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran
melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi
tidak meng-enakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra,
menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia.8,19
Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai
variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur
residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun
pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine
yang cukup bermakna.19 Variasi perbedaan volume residual urine ini
tampak nyata pada residual urine yang cukup banyak (>150 ml),
sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil
pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama.21
Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine
yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan
pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak
selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya
obstruksi.19 Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi
(2003), bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya
obstruksi saluran kemih.23 Namun, bagaimanapun adanya residu uirne
menunjukkan telah terjadi gangguan miksi.8 Watchful waiting biasanya
akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak24, demikian pula
pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi
pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa negara terutama di Eropa
merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan
awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena
variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan
lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG
transabdominal.7,8,9,13
Pencitraan traktus urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan
terhadap traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan
prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian
besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:
a. kelainan pada saluran kemih bagian atas,
b. divertikel atau selule pada buli-buli,
c. batu pada buli-buli,
d. perkiraan volume residual urine, dan
e. perkiraan besarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai
IVP atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya
kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan
kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan
berbeda dari yang lain.19 Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian
atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika
pada pemeriksaan awal diketemukan adanya:
a. hematuria,
b. infeksi saluran kemih,
c. insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG),
d. riwayat urolitiasis, dan
e. riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia7,8,9,13,19
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna
memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat
ini tidak direkomendasikan.13 Namun pemeriksaan itu masih berguna jika
dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat bertujuan
untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya
karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani
terapi:
a. inhibitor 5-α reduktase,
b. termoterapi,
c. pemasangan stent,
d. TUIP atau
e. prostatektomi terbuka.
Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan
melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal
(TRUS)5,10,13. Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG
melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan
adanya karsinoma prostat.
Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra
prostatika dan bulibuli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi
uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan
divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur
volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak
mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan,
infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin pada BPH5,7,8,9,19
Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan
pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau
prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan
hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat
membantu dalam mencari lesi pada bulibuli8,13,25
Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien
mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan
penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow study) dapat
membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi
leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot
detrusor.8,9,19 Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani
pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan
disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi
otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan
bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional
pada evaluasi pasien BPH bergejala8,9,13 Meskipun merupakan pemeriksaan
invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik
dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu
meramalkan keberhasilan suatu tindakan pem-bedahan. Menurut Javle et
al (1998),26 pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%,
dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan urodinamika
pada BPH adalah: berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun
dengan volume residual urine>300 mL, Qmax>10 ml/detik, setelah
menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan
terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.13
4. Diagnosis Banding2,5
1. Kelemahan detrusor kandung kemih
a. Kelainan medula spinalis
b. Neuropatia diabetes mellitus
c. Pasca bedah radikal di pelvis
d. Farmakologik
2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
a. Kelainan neurologik
b. Neuropati perifer
c. Diabetes mellitus
d. Alkoholisme
e. Farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan
parasimpatolitik)
3. Obstruksi fungsional :
a. Disinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara
kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter
b. ketidakstabilan detrusor
4. Kekakuan leher kandung kemih : fibrosis
5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
a. Hiperplasia prostat jinak atau ganas
b. Kelainan yang menyumbatkan uretra
c. Uretralitiasis
d. Uretritis akut atau kronik
e. Striktur uretra
f. Prostatitis akut atau kronis