1BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
2 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
SALAM REDAKSI
PENANGGUNG JAWAB:
Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc
DEWAN REDAKSI:
Dr. Acep Akbar
Junaidah, S.Hut, MSc
Adnan Ardhana, S.Sos
REDAKSI PELAKSANA:
Winingtyas W, S.Hut, MT, MSc
Fauziah, S. Hut
Agus Fitrianto, S. Hut
DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT:
Purwanto Budi S., S.Hut, MSc.
Sukma Alamsyah
Henda Ambo Basiang
ALAMAT REDAKSI:
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin
Banjarbaru - Kalimantan Selatan 70721
Phone. (0511) 4707872,
Fax. (0511) 4707872
E-mail : [email protected]
DIPA BPK Banjarbaru 2015
Pembaca Bekantan yang setia jumpa lagi di edisi Bekantan Desember 2015. Tahun ini kebakaran hutan dan lahan yang cukup hebat melanda negara kita. Musim kemarau ditambah dengan fenomena el nino menyebakan musim kemarau di Indonesia
menjadi lebih panjang. Kondisi seperti ini sangat rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Adanya pemicu api yang berasal dari berbagai macam aktivitas manusia mengakibatkan kebakaran yang semakin meluas. Khusus di Pulau Sumatera dan Kalimantan, kebakaran disertai dengan bencana asap yang mengakibatkan kerugian yang tidak terhitung. Jumlah penderita ISPA meningkat, bahkan ada korban yang meninggal karenanya. Perusahaan penerbangan rugi miliaran rupiah akibat dibatalkannya jadwal penerbangan karena asap. Negara tetangga kita protes karena asap dari Indonesia masuk ke wilayah udara mereka.
Sebagai sumbangsih ide untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan, Bekantan edisi kali ini membahas masalah kebakaran hutan dan lahan. Rubrik focus membahas kekhawatiran akan kebakaran hutan dan lahan menjadi bahaya laten, fenomena el nino dan hubungannya dengan kebakaran hutan dan lahan serta pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Rubrik artikel menyajikan permasalahan dalam pengelolaan hutan rawa gambut. Program kampung iklim dan jenis pohon yang relative bisa bertahan terhadap api/kebakaran disajikan dalam rubric landscape. Di rubrik tokoh, Bekantan mewawancari bapak Rapingun, petani dari kab. Pulang Pisau Kalimantan Tengah yang berhasil mengelola lahan gambut secara berkelanjutan. Rubrik-rubrik lain dikemas dengan menarik dan informative untuk para pembaca sekalian.
Untuk selanjutnya silakan menikmati Bekantan Edisi Desember.
3BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
DAFTAR ISI
FOKUS:UPAYA PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT AKAN BAHAYA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN ....... 17
FOKUS:KARHUTLA GAMBUT: FAKTA DAN PENGENDALIANNYA ................................ 23
FOKUS:PROGRAM KAMPUNG IKLIM (PROKLIM) UNTUK MENGATASI PERUBAHAN IKLIM ..................... 24
ARTIKEL: QUO VADIS PENGELOLAAN KAWASAN BERGAMBUT ................................................................ 27
ARTIKEL: EL-NINO DAN KEBAKARAN HUTAN ............................. 31
ARTIKEL: PEMANFAATAN TUMBUHAN BAWAH LAHAN GAMBUT UNTUK MENGURANGI RESIKO KEBAKARAN ................................................................. 37
LINTAS BERITA ............................................................ 39
LANSEKAP:MENGENAL JENIS-JENIS POHON TOLERAN TERHADAP API ............................................................... 4
LANSEKAP:KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN ............................................................. 6
PROFIL:RAPINGUN: KISAH SUKSES MEMPRODUKTIFKAN LAHAN GAMBUT ........................................................... 10
FOKUS:KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN: AKANKAH MENJADI BAHAYA LATEN? ......................... 12
3BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
4 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
LANSEKAP
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi akhir-akhir ini telah
menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Selain
bahaya asap yang mengganggu bagi kehidupan manusia, api
juga telah menghancurkan kehidupan fl ora dan fauna. Kebakaran
jelas menyebabkan kematian pada tumbuhan. Akan tetapi, ada beberapa
jenis tanaman hutan yang memiliki toleransi terhadap api. Tumbuhan
dapat diklasifi kasikan berdasarkan karakteristik vegetatifnya sesuai dengan
reaksinya terhadap kebakaran. Beberapa tumbuhan memiliki resistensi yang
melindunginya dari kerusakan diantaranya memiliki toleransi terhadap kejadian
kebakaran. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan jenis terhadap
panas yang ditimbulkan oleh kebakaran adalah kondisi morfologi terutama
tebal kulit pohon dan sifat fi siologis melalui kandungan air dan kemampuan
untuk bertunas setelah terbakar.
Ketahanan kulit kayu terhadap api adalah karakteristik yang paling umum
dijumpai. Pinus ponderosa, Pseudotsuga menziesii dan Larix occidentalis
melindungi diri dari api dengan ketebalan kulit kayu sehingga mereka tahan
terhadap api bawah dan api permukaan. Contoh jenis-jenis yang peka terhadap
api adalah Paraserianthes falcataria
dan Shorea spp. Ada beberapa
jenis yang relatif tahan api ketika
mencapai umur tertentu merupakan
jenis tanaman yang resisten terhadap
kebakaran seperti Puspa (Schima
walichii), sungkai (Peronema
canescens), Eucalyptus spp. dan Laban
(Vitex pubescens) menurut penelitian
Wibowo (2003) dalam Darwiati
dan Tuheteru (2010). Yafi d (2006)
menambahkan bahwa jenis pohon
tahan api lainnya adalah Tembesu
(Fagraea fragans), kemenyan (Styrax
benzoin), geronggang (Cratoxylum
spp.), belangeran (Shorea
balangeran) serta Toona spp. Lebih
MENGENAL MENGENAL JENIS-JENIS JENIS-JENIS
POHON TOLERAN POHON TOLERAN TERHADAP APITERHADAP API
Oleh : Tri Wira YuwatiOleh : Tri Wira Yuwati
Reny SW
4 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
5BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
lanjut, Rianawati (2007) menyatakan
bahwa berdasarkan tebal, kadar air
dan kecepatan terpicunya api pada
kulit batang, maka Gmelina arborea
mempunyai tingkat ketahanan yang
besar terhadap bahaya kebakaran.
Gmelina arborea memiliki kulit pohon
yang tebal yang dapat melindungi
kambium dari panas akibat kebakaran
sehingga kambium tidak mengalami
kerusakan. Beberapa jenis pohon
cukup toleran terhadap api disajikan
dalam Tabel 1.
REFERENSIDarwiati, W. dan Tuheteru, F.D. 2010.
Dampak kebakaran hutan terhadap pertumbuhan vegetasi. Tekno hutan tanaman Vol 3. No.1.
Kimmins, J.P. 1997. Forest Ecology a foundation for sustainable management. Prentice Hall. New jersey.
Rianawati, F. 2007. Analisa tebal dan kadar air kulit pohon serta kecepatan terpicunya api (Quick-Fire Start) jenis Gmelina, Sungkai dan Sengon. Jurnal hutan tropis Borneo Vol 08 No. 21.
Wibowo dan Akbar. 2006. Upaya pencegahan kebakaran melalui teknik penyiapan lahan tanpa bakar. Pusat penelitian pengembangan hutan tanaman, Badan penelitian dan pengembangan kehutanan, Departemen kehuta-nan. Bogor.
Wibowo, A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian kebakaran hutan di Indonesia. Review hasil litbang Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Yafi d. B. 2006. Beberapa jenis pohon tahan api dan penangkal alang-alang. Info hutan Vol. III No. 3 hal 181-185. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Tabel 1. Beberapa jenis tanaman hutan yang memiliki toleransi terhadap api.
NO NAMA LATIN NAMA LOKAL
1. Pinus ponderosa Pinus
2. Pseudotsuga menziesii Douglas fi r
3. Larix occidentalis Western larch
4. Paraserianthes falcataria Sengon
5. Shorea spp. Meranti
6. Schima walichii Puspa
7. Peronema canescens Sungkai
8. Eucalyptus spp. Eukaliptus
9. Vitex pubescens Laban
10. Fagraea fragrans Tembesu
11. Styrax benzoin Kemenyan
12. Cratoxylum spp. Geronggang
13. Shorea balangeran Belangeran
14. Toona spp. Suren
15. Gmelina arborea Gmelina
theh
ealth
yhav
enbl
og.c
om
Reny
SW
tree
s4tr
ees.
org
terr
agal
leria
.com
Reny
SW
Pinus panderosaGerunggang
EucalypthusSurenSengon
5BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
LANSEKAP
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan
lahan masih saja terus
berlangsung hampir
setiap tahun, teris-
timewa pada musim kemarau yang
diiringi oleh fenomena El Nino.
Kebakaran besar yang pernah ter-
jadi adalah pada tahun 1982/1983,
1987, 1991, 1994, 1997/1998, 2006,
2013, 2014, dan terakhir 2015. Keba-
karan yang terjadi pada umumnya
disebabkan oleh akumulasi bahan
bakar, lamanya musim kemarau dan
tingginya keterlibatan masyarakat
dalam penyalahgunaan api (Tampu-
bolon, 2002).
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 berdasarkan data dari Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per tanggal 24 November 2015
diperkirakan mencapai 2,6 juta hektar, dimana 1,74 juta hektar (67%) kejadian
kebakaran terjadi di tanah mineral dan 0,87 juta hektar (33%) di tanah gambut.
Dampak ekonomi kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 ini lebih besar
dibanding kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 padahal luas hutan yang
terbakar lebih kecil. Tahun 1997 luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai
9 juta hektar. Peristiwa kebakaran terakhir ini sifatnya agak khas yang ditandai
dengan musim kemarau yang lebih panjang dan kabut asap yang luar biasa.
Dampak yang dirasakan langsung akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015
adalah terhadap maskapai penerbangan dengan ditundanya keberangkatan
pesawat dari dan ke wilayah kabut asap.
Gejala El Nino yang terjadi pada musim kemarau di tahun 2015 ini juga
memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pusat prakiraan iklim Amerika
(climate prediction center) mencatat bahwa sejak tahun 1950 telah terjadi
setidaknya 22 kali fenomena El Nino, 6 kejadian diantaranya berlangsung
dengan intensitas kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983,
1987/1988 dan 1997/1998. Akhir-akhir ini fenomena El Nino terulang pada
tahun 2006, 2013, 2014, dan 2015. Intensitas el nino secara numerik ditentukan
berdasarkan besarnya penyimpangan suhu permukaan laut di samudra pasifi k
equator bagian tengah. Jika menghangat lebih dari 1,5o C, maka el nino
KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTANOleh : Wawan Halwany dan Acep Akbar
Pemadaman kebakaran hutan
BPK
Ban
jarb
aru
6 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
dikategorikan kuat (Supari, 2015). Fenomena El Nino 2015 dapat menjadi
salah satu El Nino yang terkuat sepanjang sejarah (CNN indonesia,02/09/2015).
Faktor-faktor apa saja yang mendukung kerawanan terjadinya kebakaran
hutan dan lahan akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Diharapkan
dengan memahami faktor pemicu kebakaran hutan dan lahan dapat
mengurangi bahkan menekan terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi berulang-ulang setiap tahun.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Kebakaran di Kalimantan
Kebakaran hanya akan terjadi jika terdapat panas, bahan bakar dan oksigen
atau sering disebut segitiga api (Saharja dan Syaufi na, 2015). Jika salah satu
ketiga unsur ini tidak terdapat maka tidak akan terjadi proses pembakaran.
Proses pembakaran (Combustion) dapat digambarkan sebagai berikut:
C6H12O6 + 6O2+sumber panas 6CO2 + 6 H2O + panas
Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan terjadinya kebakaran hutan
dan lahan gambut (wahyu catur, 2000):
kebakaran besar bersamaan dengan
peristiwa El Nino yang datang saat
musim kemarau. Dari parameter iklim
inilah para penggagas penentuan
kerawanan kebakaran hutan dan
lahan telah membuat indeks
kerawanan kebakaran seperti Indeks
kerawanan menurut Keech-Byram
yang disebut “ Keech-Byram Drought
Indeks” (KBDI), dan pendugaan
kerawanan kebakaran dua bulan
kedepan yang dikembangkan oleh
IRI (International Research Institute),
Universitas Columbia bekerjasama
dengan The Center for Climate Risk
and Opportunity Management in
Southeast Asia and the Pacifi c. KBDI
menentukan kerawanan kebakaran
hutan berdasarkan hubungan antara
kejadian kebakaran dengan rata-rata
curah hujan tahunan, suhu maksimum
saat pengukuran dan curah hujan
harian, sedangkan IRI memprediksi
kerawanan kebakaran hutan dan
lahan dengan cara menghubungkan
antara curah hujan bulanan dengan
jumlah hotspot bulanan selama 9
(sembilan) tahun terakhir khusus di
Kalimantan.
1. Kondisi iklim
Tingkat curah hujan, musim
kemarau (Juni-Oktober atau Mei-
Nopember), diperparah pada
gejala alam El Nino per 4 atau 5
tahun sekali. Kebakaran hutan dan
lahan terbesar yang pernah terjadi
Tahun 1982/1983 di Kalimantan
Timur membakar sekitar 3,6 juta
hektar hutan dan lahan. Kebakaran
besar berlanjut terjadi pada tahun
1987, 1991, 1994 dan 1997/1998
(Tampubolon, 2002). Kebakaran
sepuluh tahun terakhir juga
didukung adanya gejala alam El Nino
yaitu pada tahun 2006, 2013, 2014,
dan 2015. Hampir semua kejadian
Pembukaan lahanBP
K B
anja
rbar
u
7BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
8 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
2. Kondisi fi sik
Aktifi tas manusia dalam bentuk
illegal logging, konversi lahan dan
hutan gambut untuk pemukiman,
persawahan, perkebunan, pertam-
bangan, pembuatan kanal dan parit
untuk pengairan di lahan gambut,
dan penangkapan ikan di lahan
gambut. Sebenarnya jika hutan masih
dalam kondisi baik dimana dicirikan
dengan adanya beberapa lapisan
tajuk maka kondisi bahan bakar akan
lembab dan tidak ada gulma atau
pun rumput yang menjadi bahan
bakar api tersebut. Namun seiring
dengan pembukaan hutan dan
kegiatan pertanian di sekitar hutan
maka perlu diwaspadai penumpukan
bahan bakar yang berpotensi sebagai
pemicu terjadinya api.
3. Kondisi ekonomi, sosial dan
budaya
Penyebab kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia umumnya
(99,9%) disebabkan oleh manusia,
baik disengaja maupun akibat
kelalaiannya. Sedangkan sisanya
(0,1%) adalah karena alam (petir,
larva gunung berapi). Budaya tebas
bakar untuk pertanian tradisional di
luar Jawa telah berlangsung secara
turun-temurun termasuk di sekitar
lahan gambut (Lawrence, 2001).
Penyebab langsung kebakaran
hutan dan lahan menurut Saharja
dan Syaufi na, 2015:
- Api digunakan dalam pembu-
kaan lahan
Api digunakan oleh peladang
berpindah dalam rangka penyi-
apan lahan. Dengan membakar
lahan diharapkan lahan bersih,
mudah dikerjakan, bebas hama
dan penyakit serta mendapatkan
abu hasil pembakaran yang kaya
mineral
- Api digunakan sebagai senjata
dalam permasalahan konfl ik
tanah
Petani yang merasa dirugikan
melakukan perlawanan dengan
cara membakar tanaman pihak
korporasi sehingga mengalami
kerugian yang tidak sedikit
- Api menyebar secara tidak
sengaja
- Api yang berkaitan dengan
ekstraksi sumber daya alam
Misalkan dalam pemanenan
madu di pohon-pohon besar
dan pemanenan getah damar.
Penyebab tidak langsung
kebakaran hutan dan lahan (Suyanto,
2007):
- Penguasaan lahan
Pihak-pihak yang ingin mengu-
asai lahan biasanya membakar
lahan tersebut dan lahan
yang telah bersih kemudian
dikuasainya.
- Alokasi penggunaan lahan
- Insentif /dis-insentif ekonomi
Tidak adanya insentif ekonomi
membuat pelaku ekonomi
melakukan pembakaran karena
dianggap menghemat biaya
produksi dalam pelak-sanaan
kegiatan di lapangan, sehingga
pembakaran menjaddi suatu
BPK BanjarbaruLahan bekas terbakar
BPK BanjarbaruKebakaran hutan
8 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
9BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
pilihan
- Degradasi hutan dan lahan
Untuk memanfaatkan lahan bekas penebangan
maka selanjutnya adalah pemanfaatan lahan bekas
ditebang tersebut dengan pembakaran
- Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan
Meningkatnya jumlah penduduk akan menyebabkan
peningkatan kebutuhan akan lahan sehingga cara
yang paling murah untuk membuka lahan dengan
pembakaran lahan.
- Lemahnya kapasitas kelembagaan.
Berdasarkan penelitian (Latifah dan Pamungkas,
2013), faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan
terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan
di Kecamatan Liang Anggang kota Banjarbaru
yakni faktor iklim, kegiatan penduduk, kepadatan
bangunan, pengadaan alat-alat pemadaman,
ketersediaan pasokan air, vegetasi gambut dan kayu
serta jaringan jalan.
PENUTUP
Dari beberapa pembahasan di atas dapat ditarik
benang merah penyebab kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan diantaranya adalah faktor iklim dimana musim
kemarau yang panjang disertai fenomena El Nino yang
menyebabkan penumpukan bahan bakar menjadi kering
dan tingginya keterlibatan masyarakat baik individu
maupun perusahaan dalam penyalah gunaan api.
Diperlukan upaya pencegahan yang sinergis
oleh semua elemen masyarakat dan instansi dalam
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Untuk
masyarakat disekitar kawasan hutan dan lahan tidak hanya
cukup dengan cara melarang mereka membakar lahan
namun ada solusi untuk kelangsungan hidup mereka
dengan mendukung pembukaan lahan tanpa membakar.
Mencegah kebakaran dan menggali akar masalahnya
lebih penting dan mendesak untuk kedepannya. Kalau
sudah terjadi kebakaran hutan dan lahan dampak negatif
yang diakibatkanya akan jauh lebih besar baik terhadap
ekonomi, sosial dan budaya.
DAFTAR PUSTAKAAdinugroho, W.C., Suryadiputra, I.N.N, Saharjo, B.H. dan Siboro, L.
(2004). Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International –Indonesia Programme and wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Latifah, R. N. dan Pamungkas, A. 2013. Identifi kasi Faktor-faktor Kerentanan Terhadap Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru. Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No.2.
Lawrence, D. dan W.H. Schlesinger. 2001. Change in Soil Phosphorus During 200 Years ofShifting Cultivation in Indonesia. Ecology 82: 2769-80.
Kompas. 2015. El Nino Saat ini diprediksi Paling Buruk dalam Sejarah sejak 1950. Kompas jumat 14 agustus 2015.
Supari. 2015. Sejarah dampak el nino di indonesia. http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/lain_lain/artikel/ sejarah_Dampak_El_Nino_di_Indonesia.bmkg. diakses tanggal 1 desember 2015.
Saharjo, B.H. dan Syaufi na, L. 2015. Kebakaran hutan dan lahan gambut (presentasi power point).IPN Toolbox Tema C Subtema C3. www.cifor.org/ipn-toolbox.
Tampubolon, A.P. 2002. Status Iptek dan Sinergi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Prosiding Gelar Teknologi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indoensia Bagian Timur. Banjarbaru.
BPK Banjarbaru Pembukaan lahan
9BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
10 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
Rapingun yang dilahirkan
pada tahun 1952 di Pur-
wokerto, Jawa Tengah
mungkin tidak pernah
membayangkan akan tinggal dan
menetap di daerah yang sangat
jauh dari tanah kelahirannya sampai
dengan saat ini.. Karena orangtua
yang ditugaskan sebagai TNI di
Kalimantan Tengah,pada tahun
1960 beliau pun ikut meninggalkan
tanah kelahirannya. Hanya berbekal
RAPINGUN : KISAH SUKSES MEMPRODUKTIFKAN LAHAN GAMBUT
PROFIL
pendidikan tingkat dasar dan semangat untuk bertahan hidup, beliau membuka
lahan gambut untuk dijadikan lahan pertanian.. Perjuangan tanpa lelah, hanya
bermodal semangat dan keahlian bercocok tanam, berbagai jenis tanaman
beliau tanam di lahan gambut untuk menghidupi keluarganya. Saat ini lahan
beliau seluas 4 Ha terdiri dari tanaman padi, kebun salak bercampur durian,
kebun karet, jelutung dan Gaharu.
Ketika lahan gambut terbakar hebat beberapa bulan yang lalu, berbagai
pertemuan dilakukan untuk merumuskan, bagaimana pengelolaan lahan
gambut terbaik. Nah, tidak salah kiranya bila kita mengetahui cara sederhana
dan mengambil inspirasi darI seorang Rapingun yang sukses mengelola lahan
gambut dengan cara beliau. Berikut petikan wawancara tim redaksi majalah
Bekantan dengan beliau.
10 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
11BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
di lahan gambut seperti pantung /
jelutung dan juga Gaharu.
Kalau diminta saran untuk
pengelolaan lahan gambut, apa
yang bapak ingin sampaikan?
Pemerintah pusat maupun daerah
haru turun tangan sepenuhnya.
Jangan tanggung dalam membantu
masyarakat. Selama ini hanya diberi
bantuan, setelah itu tidak ada
pendampingan untuk keberlanjutan-
nya. Kalau saran saya di lahan gambut
kita bisa buat kolam yang dapat
menghasilkan ikan. Yang disekeliling-
nya dibangun kebun pantung atau
belangeran.
Pesan bapak untuk para pembaca
Bekantan?
Cintailah hutan, untuk anak cucu kita
di masa yang akan datang.
Bagaimana awal mula Bapak
memulai bertani di lahan gambut?
Pada tahun 1960 saya ikut orangtua
yang tugas sebagai TNI di Kalimantan
Tengah, tepatnya di Kab.Pulang
Pisau. Karena saya cuma lulusan
sekolah dasar, dan keahlian saya
cuma nyangkul, jadilah saya bertani.
Tanah gambut saya buka dan diberi
pupuk, kemudian saya tanam padi,
sayuran, buah pisang, pokoknya
yang dapat kami makanlah. Itu saya
lakukan selama 3 – 4 tahun. Ketika
tanah gambut semakin bagus untuk
ditanami, saya mulai menanam buak
salak, karet, dan tanaman pohon
seperti jelutung dan gaharu.
Tantangan atau kesulitannya apa
saja pak?
Yang namanya orang tani, punya
anak 4, saya harus memberi mereka
makan dan pendidikan. Kesulitan
yang saya hadapi adalah kondisi
lahan gambut yang harus perlu
ketelatenan dalam mengolahnya.
Dengan semangat karena saya
seorang kepala keluarga yang harus
menafkahi anak-anak dan istri saya
terus berjuang. Alhamdulillah bisa
seperti sekarang ini.
Yang memotivasi Bapak untuk
bertani di lahan gambut ?
Yang memotivasi saya tidak lain
adalah semangat untuk bisa melihat
anak-anak bisa berhasil. Dan Saya
yang cuma lulusan SD ini punya
keinginan besar untuk memberikan
warisan untuk anak cucu kelak hutan
yang dapat terus menghasilkan.
Tanggapan Masyarakat dengan
usaha yang bapak lakukan?
Masyarakat sekitar tanggapannya
baik. Alhamdulillah saya dipercaya
mereka menjadi ketua kelompok tani
Maju Bersama di desan Mentaren ini
yang beranggotakan 25 orang. Kami
bersama sama menanam tanaman
pohon yang bibitnya dibantu oleh
BPDAS Kahayan.
Motto Hidup Bapak?
Jangan pernah menyerah, terus
berusaha dengan tekun dan telaten.
Apa cita-cita bapak yang masih
bapak terus perjuangan, sampai
saat ini?
Saya ingin jadi penangkar bibit
tanaman pohon khusus nya tanaman
11BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
12 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
Kurang lebih 18 tahun tahun,
kebakaran hutan dan
lahan terjadi di Indonesia.
Namun kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi tahun ini
terhitung luar biasa. Berbagai
upaya konkrit yang dilakukan oleh
pemerintah untuk memadamkan api
yang terus membara di Sumatera dan
Kalimantan sampai dengan meminta
bantuan dari pesawat water bombing
untuk memadamkan api, ternyata
belum membuahkan hasil yang
signifi kan. Mengatasi kebakaran
yang terus meluas ini, pemerintah
memutuskan situasi negara dalam
kondisi darurat asap.
Meski sudah sejauh itu
penanganannya, apakah hal tersebut
mampu menghentikan dan membuat
jera pembakar lahan? Rasa-rasanya
tidak, bahkan nyaris semakin tidak
peduli dengan sejumlah alasan klasik
yaitu antara lain : 1) Untuk menanam
kembali mereka harus membakar
sisa sisa pohon dan akar yang ada. 2)
Untuk membuka kebun baru langkah
yang dilakukan setelah merapikan
lahan adalah membersihkannya
dengan pembakaran sisa-sisa pohon
dan ranting yang kering. 3) Hasil
perkebunan merupakan sumber
pemasukan ekonomi bagi warga
pemilik kebun tersebut.
Dilain pihak, secara legal
formal, tidak bisa juga menyalahkan
masyarakat jika tetap melakukan
aktivitas pembukaan lahan dengan
metode pembakaran. Selain sudah
menjadi kebiasaan secara turun-
temurun, aktivitas ini juga dilindungi
oleh Undang-Undang no 32 tahun
2009 tentang Lingkungan Hidup yang
tercantum dalam pasal 69 bahwa
melakukan pembukaan lahan dengan
cara dibakar adalah dilarang, namun
sepanjang masyarakat setempat
(lokal) melakukan pembakaran tidak
lebih dari dua hektar, dan pada saat
pembakaran dibuat sekat bakar
untuk menghalangi merembetnya
api, maka pembukaan lahan tersebut
benar dan dilindungi oleh undang-
undang.
Yang menjadi pertanyaan
apakah dengan alasan seperti itu
lantas bakar membakar lahan atau
hutan secara massive diperbolehkan?
sehingga kebakaran hutan dan
lahan ini akan menjadi bahaya laten
karena terus berulang dari tahun
ke tahun dengan luasan yang terus
bertambah.
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN:
AKANKAH MENJADI BAHAYA LATEN?
Oleh : Adnan Ardhana
FOKUS
12 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
13BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
Tidak bisa bayangkan, apa yang
akan terjadi jika hutan di Indonesia
digunduli habis, dan tentunya hal ini
lagi-lagi akan menimbulkan bencana
besar dikemudian hari. Banjir sudah
pasti akan mengintai Indonesia,
karena sepanjang kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi dalam
beberapa bulan terakhir ini telah
mengakibatkan ratusan ribu hektar
hutan habis tak bersisa. Padahal
diketahui, hutan adalah sebagai
sumber oksigen utama dan dapat
menyerap air, maka bisa dipastikan
bencana demi bencana akan terus
mengintai negeri ini, karena hutannya
dibabat habis demi kepentingan-
kepentingan tertentu.
Pembukaan lahan secara luas
dengan teknik membakar memang
diyakini banyak pihak adalah
teknologi yang paling murah dan
cepat. Selain itu, abu sisa kebakaran
juga mengandung mineral yang
banyak dicari untuk bahan baku
industri. Padahal jika dikaji lebih
dalam, hasil pembakaran tersebut
akan menyebabkan tertutupnya
tanah oleh material anorganik dan
membuat tanah tidak bisa menyerap
air serta melepas karbon ke angkasa.
Lebih dari itu, pembakaran lahan
seluas 1 hektar akan menimbulkan
dampak polusi lebih buruk dari
kurang lebih 6000 kendaraan di
jalan raya. Ini belum termasuk
kerugian secara ekonomi, misalnya
penutupan operasional bandara
di Pekanbaru dan Palangkaraya
selama beberapa waktu akibat
kabut asap mengakibatkan operator
penerbangan yang merugi sampai
Milyaran rupiah. Ditambah lagi
resiko kesehatan akibat menurunnya
kualitas udara. Jumlah pengunjung
sarana kesehatan meningkat
signifi kan selama kurun waktu
terjadinya kebakaran dengan keluhan
gangguan saluran pernafasan.
Bahkan, beberapa media nasional
pernah melansir berita meninggalnya
beberapa orang akibat gangguan
saluran pernafasan didaerah yang
terdampak kabu asap.
Kondisi ini tentu saja tidak
boleh terus berlangsung. 18 tahun
tentunya sudah cukup untuk belajar
mencegah ataupun mengatasi
kemungkinan terjadinya kebakaran
hutan dan lahan tersebut jika bangsa
ini tidak mau dicap sebagai bangsa
yang malas dan lalai. Disadur dari
artikel Asri Wijayanti di Kompasiana,
Cara Amerika Serikat (AS) mengatasi
kebakaran hutan dan lahan
sebenarnya bisa saja untuk dicontoh.
Sejak awal abad 19, Pemerintah
AS menyadari bahwa kebakaran
hutan dan lahan sangat penting
untuk dikelola. Tidak sedikit kejadian
13BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
14 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
disana yang pada waktu menelan
korban, baik harta maupun nyawa. Di
Amerika, kebakaran hutan tak selalu
dipandang negatif. Kebakaran yang
terjadi di saat dan di tempat yang
tepat, yang terkelola dengan baik
justru dipandang dapat memberikan
dampak yang baik bagi lingkungan.
Kebakaran yang terkontrol dapat
mengurangi rumput, semak-semak,
dan pepohonan yang berpotensi
menciptakan kebakaran yang lebih
besar. Kebakaran hutan dapat
menyeimbangkan habitat satwa
liar dan bahkan melestarikan
beberapa tanaman langka, yang
menyukai nutrisi dari hutan bekas
terbakar. Kebakaran hutan juga bisa
mengurangi penyebaran serangga
dan hama, memusnahkan spesies-
spesies yang tidak diinginkan, yang
bisa membahayakan kehidupan
ekosistem asli, dan menyumbangkan
tambahan nutrisi bagi tanah. Di sisi
lain,kebakaran hutan juga tetap
dipandang sebagai bahaya yang
dapat mengancam kehidupan,
pemukiman, masyarakat, serta
sumberdaya alam dan budaya. Dua
sudut pandang ini menentukan
langkah-langkah U.S. Forest Service
(USFS) atau Departemen Kehutanan
AS dalam mengelola kebakaran
hutan.
Di Amerika, kebakaran hutan
tak selalu dicegah. Beberapa justru
disulut dengan sengaja, tentunya
dengan perencanaan yang baik dan
pengawasan yang ketat. Pengelolaan
kebakaran hutan pun dilakukan
sepanjang tahun, sebelum, ketika,
dan setelah kebakaran terjadi yang
dijabarkan sebagai berikut :
Sebelum Terjadinya Kebakaran
Upaya kebakaran hutan tak
hanya dilakukan dengan memodifi -
kasi komposisi hutan, tapi juga
memberikan arahan kepada
masyarakat. Pepohonan, semak-
semak, dan rumput adalah “bahan
bakar” yang dapat menyulut,
memperbesar, dan menyebarkan api.
Untuk mengurangi risiko kebakaran,
maka “bahan bakar” ini pun perlu
dikurangi. Setiap tahun, USFS
menggarap 8.000 – 12.000 kilometer
persegi kawasan hutan. Mereka
membakar hutan untuk mencegah
kebakaran yang lebih besar. Semak-
semak, rumput, dan pepohonan
yang terlalu rapat dipangkas atau
dibakar di bawah pengawasan
ketat, sehingga saat musim kering
tiba, kebakaran pun tak mudah
tersulut, merambat, atau membesar.
Pembakaran lahan untuk pencegahan
kebakaran ini direncanakan dengan
mempertimbangkan suhu udara,
kelembaban, arah dan kekuatan
angin, kadar air dalam vegetasi yang
akan dipakar, dan kondisi-kondisi lain
yang menentukan penyebaran asap.
Selain dengan pembakaran
terencana. kepadatan tumbuhan
di hutan juga dikurangi dengan
pemangkasan. Pemangkasan yang
terencana dengan juga memberikan
keuntungan bagi masyarakat.
Mereka bisa memanfaatkan batang-
batang pohon hasil pangkasan
untuk bahan bakar atau untuk
membuat berbagai produk berbahan
kayu. Di beberapa wilayah yang
rawan kebakaran hutan, USFS juga
melebarkan jarak antar pepohonan
melalui “Fuel Reduction Program”
(Program Pengurangan Bahan Bakar).
Pohon-pohon di hutan tak semuanya
dibiarkan tumbuh rapat. Ada bagian
di mana jarak antara pohon satu
dan lainnya dijauhkan. Kawasan
dengan pepohonan yang jarang
bisa mengurangi laju dan intensitas
kebakaran, sehingga rambatannya
pun akan melambat dan api akan
lebih mudah untuk dipadamkan.
Masyarakat di sekitar wilayah
hutan juga mendapatkan pengarahan
tentang bagaimana ikut berpartisipasi
dalam pengurangan risiko kebakaran.
Selang-selang air dan tangki
berisi cadangan air dipasang di
pemukiman penduduk, siap dipakai
14 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
15BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
sewaktu-waktu untuk memadamkan
api. Mereka juga belajar tentang cara
melindungi dan menyelamatkan diri
dari bahaya kebakaran, termasuk
mengikuti anjuran untuk mengurangi
kerapatan pohon, menggunakan
material bangunan tahan api, dan
membersihkan lingkungan dari
benda-benda yang mudah terbakar
seperti daun-daun kering dan
tumpukan kayu.
Dalam 10 tahun terakhir,
sekitar 3.500 kebakaran di Amerika
disebabkan oleh ulah manusia.
Kebakaran akibat ulah manusia
ini menghanguskan sekitar 1.600
kilometer persegi hutan. Menyadari
hal ini, USFS juga mensosialisasikan
cara-cara pencegahan kebakaran
hutan. Berbeda dengan di Indonesia,
yang kebakaran hutannya akibat ulah
manusianya kebanyakan diakibatkan
oleh pembukaan lahan, di AS, api dari
kegiatan perkemahanlah yang sering
membakar hutan. Karena itulah USFS
meluncurkan website Smokey Bear,
yang menampilkan mascot beruang
gagah berwarna coklat bernama
Smokey. Smokey mengenalkan
berbagai aspek kebakaran hutan,
mulai dari penyebabnya, hingga
hal-hal yang bisa dilakukan
masyarakat untuk mencegahnya.
USFS mencatat, ada lebih dari 70.000
kelompok masyarakat yang tinggal
di sekitar hutan. Informasi tentang
cara melindungi rumah, tempat
usaha, dan bangunan-bangunan
dari kebakaran hutan untuk mereka
disediakan dalam website Fire
Adapted. 8.400 pemadam kebakaran
lahan temporer juga dipekerjakan
oleh USFS sepanjang tahun.
Ketika Kebakaran
USFS memiliki lebih dari 10.000
tenaga pemadam kebakaran, 900
mesin, dan ratusan pesawat untuk
memadamkan api. Pengelolaan
kebakaran di hutan nasional dan
tanah milik pemerintah federal
lainnya diatur dalam kebijakan
manajemen kebakaran hutan federal,
menjadikan urusan kebakaran di
lahan-lahan tersebut sebagai urusan
pemerintah nasional. Masyarakat
pun bisa memantau sebaran api.
Peta sebaran kebakaran hutan
Amerika Serikat tersedia di halaman
Active Fire Mapping Program dan US
Wildfi re Activity Public Information.
Setelah Kebakaran
Kebakaran dapat merusak tanah
dan mengancam kehidupan ikan,
satwa liar, dan manusia. Vegetasi
yang habis terbakar membuat
permukaan tanah “telanjang” dan
menjadi rawan erosi. Bila hujan
turun, aliran air dari dataran tinggi
pun bisa menjadi lebih deras dan
meningkatkan risiko banjir bandang.
Endapan tanah dan lumpur dari
tanah yang terkikis dapat merusak
rumah-rumah dan penampungan
air di sekitar daerah aliran sungai,
membahayakan pasokan air
warga dan spesies-spesies yang
terancam punah di sekitarnya.
USFS, bekerjasama dengan National
Interagency Fire Center (NIFC) –
pusat pemadam kebakaran antar
BPK
Ban
jarb
aru
15BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
16 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
lembaga – menjalankan program
Burned Area Emergency Response
(BAER) atau upaya tanggap darurat
untuk wilayah yang terbakar. BAER
adalah upaya “pertolongan pertama”
yang dilakukan untuk melindungi
kehidupan, properti masyarakat,
kualitas air, dan ekosistem yang rusak
setelah api berhasil dipadamkan.
Biasanya, rencana tanggap darurat
ini mempertimbangkan dampak
kebakaran terhadap ikan, satwa liar,
situs-situs arkeologi, dan spesies-
sepesies langka. Kegiatan BAER
meliputi kajian terhadap ada/tidaknya
kondisi kedaruratan pasca kebakaran,
upaya-upaya untuk menstabilkan
kondisi tanah, mengelola aliran
air, sedimen, dan pergerakannya,
pencegahan kerusakan lingkungan,
dan mitigasi bahaya kesehatan,
keselamatan, dan properti yang ada
di dataran yang lebih rendah.
Bantuan Asing
Pengelolaan kebakaran hutan
di Amerika Serikat dilakukan
dengan sangat sungguh-sungguh,
hingga USFS pun menjadi salah
satu pengelola kebakaran terbaik
di dunia. Meski demikian, ketika
kewalahan mengatasi kebakaran
besar di California, Idaho, Montana,
Oregon dan Washington bulan
Agustus lalu, Presiden Obama pun
menyatakan keadaan darurat dan
meminta Department of Homeland
Security (Departmen Keamanan
Negara) dan Federal Emergency
Management Agency (Badan
Manajemen Kedaruratan Federal)
untuk mengkoordinasikan upaya
penanggulangan bencana kebakaran
ini. Mereka lalu membuka pintu
bagi para pemadam kebakaran dari
Kanada, Selandia Baru dan Australia,
untuk membantu 29.000 petugas
pemadam kebakaran dan para
relawan dalam negeri yang tengah
berjibaku melawan api. Menyadari
bahwa kebakaran hutan adalah
bahaya tahunan, negara Adidaya ini
siap dan siaga. Bahaya kebakaran
hutan di Amerika Serikat terus ada
dan diperkirakan akan semakin
sering terjadi akibat peningkatan
suhu udara yang dibawa oleh
perubahan iklim. Kunci pengelolaan
kebakaran hutan mereka adalah
program-program pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan
yang dilakukan sepanjang tahun
melalui pengelolaan hutan dan
peningkatan kesadaran masyarakat,
sumberdaya yang memadai, dan
koordinasi yang kuat.
Di Indonesia, hal-hal tersebut
tentu saja bisa dilaksanakan, berbagai
upaya yang dilakukan pemerintah,
baik pusat maupun daerah sudah
mengarah pada sinergitas antar
pemangku kepentingan dalam
pengelolaan kebakaran hutan dan
lahan. Sinergitas para pihak baik
dari eksekutif, legislatif maupun
yudikatif mutlak dipertahankan
untuk bersama-sama membangun
skema yang efektif dalam upaya
pencegahan dan pengendalian
kebakaran yang terus terjadi.
16 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
17BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
F O K U S
Pendahuluan
Kebakaran hutan dan lahan adalah salah satu
penyebab degradasi hutan dan lahan, kejadian
kebakaran hutan dan lahan saat ini setiap
tahun dapat terjadi khususnya saat musim
kemarau yang panjang. Kebakaran hutan dan lahan
tidak hanya menimbulkan kerusakan pada kondisi hutan
dan lahan tapi menimbulkan dampak yang luas seperti
bencana kabut asap yang terjadinya tidak hanya pada
daerah sekitar lokasi kebakaran namun dapat menyebar
pada daerah lain. Menurut data peristiwa kebakaran hutan
di Indonesia dengan intensitas cukup besar terjadi pada
tahun 1982/83, 1987, 1991, 1994, 1997, 2003, 2006, 2014
dan 2015 dengan pusat lokasi yang terjadi di Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan sebagian
wilayah Jawa
UPAYA PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT AKAN BAHAYA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Oleh: Eko Priyanto
Dampak Kebakaran
Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak
kerusakan yang sangat luas, disamping kerugian berupa
material kayu, non kayu dan makhluk hidup lainnya,
dampak lain yang bisa menjadi isu global adalah adanya
kabut asap yang menyebar dalam skala luas, bahkan
melintasi batas negara. Setidaknya akibat kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan
pada tahun 2015 ini telah menyebabkan kabut asap
yang melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai
Darussalam, Malaysia dan Thailand.
Asap dari kebakaran hutan dan lahan berdampak
negatif pada kesehatan manusia terutama gangguan
saluran pernapasan, berdasarkan data sampai tanggal 5
Oktober 2015 jumlah pasien terkena ISPA di 6 propinsi
terdampak kabut asap berjumlah 297.003 orang
(Kemenkes,2015), dan setidaknya telah meninggal 5 orang
bayi dan 15 orang bayi lainnya masih dalam perawatan
intensif didaerah terdampak asap sampai dengan 5
Oktober 2015 (KPAI, 2015). Kabut asap juga mengganggu
17BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
18 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
transportasi khususnya tranportasi
udara disamping transportasi darat,
sungai, danau, dan laut. Dimana
akibat kabut asap ini banyak terjadi
jadual penerbangan yang ditunda
bahkan dibatalkan. Pada transportasi
darat, sungai, danau dan laut terjadi
beberapa kasus tabrakan atau
kecelakaan yang menyebabkan
hilangnya nyawa. Dari uraian diatas
tentunya mempertegas kebakaran
hutan dan lahan telah menimbulkan
kerugian yang sangat besar.
Bencana kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan sangat
berdampak bagi aktifi tas masyarakat
dan bersifat merugikan, masyarakat
jadi membatasi aktifi tasnya akibat
kabut asap yang pekat, sehingga
akan berpengaruh juga pada nilai
pendapatan yang berkurang,
sedangkan disisi lain akibat kabut
asap yang melewati ambang bahaya
membuat aktifi tas belajar mengajar
juga terganggu, banyak pemerintah
daerah dilokasi terdampak kabut
asap membuat kebijakan meliburkan
aktifi tas belajar mengajar disekolah
untuk mencegah siswa-siswa sakit
akibat kabut asap, kondisi ini tentu
akan sangat menggangu kalender
pendidikan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Kerusakan hutan akibat
kebakaran juga berdampak pada
rusaknya habitat satwa dan telah
mengancam keselamatan satwa itu
sendiri sebagai contoh terganggunya
habitat orang utan akibat kebakaran
hutan rawa gambut di Kalimantan
Tengah, serta kasus ditemukannya
primata bekantan yang mengalami
luka bakar saat kebakaran pada
kawasan hutan di Kab. Banjar
Kalimantan Selatan, dua contoh
tersebut baru fakta kecil dari dampak
kebakaran hutan yang mengancam
lahan tidur yang jadi sumber
kebakaran hutan dan lahan di daerah
Kalimantan.
Masyarakat sebenarnya telah
menyadari akan peranan hutan
dan lahan bagi kehidupan mereka,
terutama masyarakat yang mata
pencahariannya tergantung pada
kawasan hutan, namun demikian
seiring dengan tuntutan keperluan
hidup yang semakin tinggi dan
keterbatasan ekonomi telah
mengakibatkan perubahan pola
pikir (kearifan) terhadap sistem
pengelolaan sumber daya alam yang
akhirnya menimbulkan beragam
kerusakan lingkungan seperti
pembukaan lahan dengan cara
bakar. Untuk mengendalikan dan
membenahi kembali kerusakan-
kerusakan yang telah ditimbulkan
tersebut, maka perlu segera dilakukan
upaya penyadaran (awareness)
kepada berbagai komponen
masyarakat. Adapun bentuk upaya
penyadaran masyarakat dapat
dilaksanakan dalam berbagai
metode, antara lain:
1. Ceramah oleh pemuka-
pemuka agama.
Indonesia termasuk negara
yang penduduknya bersifat agamis,
dimana peranan tokoh-tokoh agama
masih sangat dipandang posisinya,
oleh sebab itu upaya penyadaran
masyarakat akan bahaya kebakaran
hutan dan lahan dapat ditempuh
melalui ceramah agama ataupun
kotbah yang dilakukan oleh pemuka
agama, pemerintah dalam hal ini
instansi terkait dapat berkoordinasi
dengan pemuka-pemuka agama
agar dalam penyampaian ceramah
ataupun kotbahnya mengambil
tema tentang perlunya menjaga
lingkungan khususnya bersama-
18 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
keberadaan satwa khususnya satwa
yang dilindungi dan terancam punah.
Kondisi hutan yang terbakar berat
mengalami kerusakan dan cukup
sulit dipulihkan khususnya pada
hutan rawa gambut, karena struktur
tanahnya mengalami kerusakan
dan hilangnya pohon induk sebagai
sumber benih sebagai proses suksesi
alami. Hilangnya tumbuh-tumbuhan
menyebabkan lahan menjadi terbuka,
sehingga mudah tererosi, dan tidak
dapat lagi menahan air dalam jumlah
besar yang dapat mengakibatkan
banjir. Karena itu setelah hutan
terbakar, sering muncul bencana
banjir pada musim hujan di berbagai
daerah yang hutannya terbakar.
Upaya peningkatan kesadaran
masyarakat
Kegiatan peningkatan kesadaran
masyarakat akan bahaya kebakaran
hutan dan lahan harus menjadi
prioritas kegiatan yang dilakukan
dalam rangka pencegahan kebakaran
hutan dan lahan, upaya peningkatan
kesadaran masyarakat ini dilakukan
tidak hanya pada saat musim
panas/kemarau datang saja namun
hendaknya dilakukan terus menerus
secara kontinyu dan intensitasnya
ditingkatkan saat memasuki musim
panas. Sasaran kegiatan ini tidak
hanya ditujukan bagi masyarakat
sekitar kawasan hutan saja, atau pun
masyarakat yang tinggal dikawasan
budidaya, namun juga ditujukan
juga bagi masyarakat yang tinggal di
daerah perkotaan yang secara jarak
jauh dari kawasan hutan dan lahan
rawan terbakar, hal ini disebabkan
seringkali kepemilikan lahan tidur
(belum digarap) dengan skala yang
cukup luas dimiliki oleh masyarakat
yang tinggal diperkotaan, kondisi ini
banyak ditemui pada kepemilikan
19BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
sama mencegah terjadinya kebakaran
hutan dan lahan.
2. Media elektronik
Ditengah jaman internet
mungkin peran media radio telah
terpinggirkan, namun hal ini tidak
sepenuhnya benar, karena sebagian
masyarakat masih menggunakan
media siaran radio untuk menemani
dalam menjalankan aktifi tas
kesehariannya. Oleh karena itu
upaya penyadaran masyarakat akan
bahaya kebakaran hutan dan lahan
dapat pula dilakukan melalui media
radio, dalam pelaksanaannya dapat
berbentuk talk show yang disertai
dengan tanya jawab via telepon dan
diselingi dengan musik sebagai ciri
khas siaran radio. Acara dikemas
dengan nuansa serius tapi santai dan
dapat menyasar segala kelas umur
baik muda maupun tua.
3. Pembuatan rambu-rambu
himbauan dan peringatan
bahaya kebakaran
Rambu-rambu himbauan ini
dapat berbentuk seperti papan
peringatan maupun spanduk,
rambu-rambu ini dapat berisikan
peringatan akan bahaya kebakaran
hutan dan lahan ataupun dikemas
dalam bentuk himbauan ataupun
larangan untuk melakukan kegiatan
pembukaan lahan dengan cara
pembakaran, pada rambu-rambu
ini dapat pula dilengkapi dengan
undang-undang yang mengatur
tentang larangan pembukaan
lahan dengan cara bakar atau pun
larangan melakukan pembakaran
Gb 1. Kondisi kabut asap di kota Banjarbaru
Gb 2. Terbatasnya jarak pandang akibat kabut asap
19BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
20 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
kawasan hutan yang dilengkapi
dengan ancaman tuntutan hukuman
bagi pelanggarnya. Rambu-rambu
peringatan ditempatkan pada lokasi
strategis yang dapat dibaca banyak
orang dan juga ditempatkan pada
lokasi rawan terjadinya kebakaran.
Dengan adanya rambu-rambu
peringatan ini diharapkan masyarakat
dapat mengerti undang-undang
ataupun aturan yang mengatur
kegiatan pembakaran hutan dan
lahan khususnya bila dilakukan saat
musim panas/kemarau.
4. Pembuatan berbagai jenis
media cetak tentang kebakaran
hutan dan lahan
Media cetak dapat dijadikan
sarana untuk meningkatan kesadaran
masyarakat akan bahaya kebakaran
hutan dan lahan, media cetak ini dapat
berbentuk brosur, leafl et, poster,
stiker ataupun majalah. Didalam
media cetak tersebut berisi tentang
dampak kebakaran hutan dan lahan
maupun upaya perlindungan yang
dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan
lahan. Selain itu didalamnya dapat
pula dilengkapi dengan aturan
perundang-undangan yang
mengatur tentang kebakaran hutan
dan lahan. Pada media ini untuk
menarik tampilan dapat memuat
gambar-gambar yang berhubungan
dengan kebakaran hutan dan lahan,
sasaran pembagian media cetak ini
tidak hanya terbatas bagi masyarakat
sekitar daerah rawan terjadinya
kebakaran hutan dan lahan saja
namun juga bagi masyarakat umum
lainnya. Selain menggunakan media
cetak untuk saat ini media elektronik
melalui internet juga dirasa sangat
efektif digunakan dalam rangka
peningkatan kesadaran masyarakat
akan bahaya kebakaran hutan dan
lahan, karena jumlah pengguna
internet di Indonesia sudah cukup
tinggi.
Gb 5. Contoh poster yang dibagikan bagi masyarakat oleh BLH Provinsi Kalteng
5. Pemutaran fi lm dokumenter
Pemutaran fi lm dokumenter
dapat menjadi salah satu metoda
yang digunakan pada saat melakukan
upaya peningkatan kesadaran
masyarakat, fi lm dokumenter ini
berisikan tentang ulasan bahaya
kebakaran dan dampak yang dapat
ditimbulkannya, dengan adanya
fi lm dokumenter diharapkan
penyampaian tujuan kegiatan untuk
peningkatan kesadaran masyarakat
tidak berjalan monoton dan terkesan
membosankan, karena dalam fi lm ini
masyarakat juga disuguhi cerita yang
dikemas secara menarik. Dengan
media fi lm masyarakat akan terbawa
dalam alur cerita sehingga dapat
menggugah nilai kepedulian didalam
Gb 3. Rambu himbauan cegah kebakaran
Gb 4. Spanduk larangan membakar lahan
21BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
dirinya untuk turut mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan
lahan.
6. Pembentukan tim pengendalian
kebakaran hutan dan lahan
bagi masyarakat
Upaya peningkatan kesadaran
masyarakat dalam kegiatan
pengendalian kebakaran hutan
dan lahan dapat pula ditempuh
dengan cara langsung yaitu
melibatkan masyarakat sebagai tim
pengendalian kebakaran hutan dan
lahan berbasis kelompok masyarakat.
Kelompok ini dibentuk berdasarkan
regu-regu, dalam satu regu terdiri
dari 11-12 orang yang diketuai oleh
satu orang sebagai koordinator
regu. Beberapa regu pemadaman
dapat dibentuk untuk satu desa
yang berada disekitar kawasan hutan
dan lahan yang rawan terjadinya
kebakaran. Regu-regu yang
telah dibentuk ini akan dilakukan
kegiatan pembinaan dengan tujuan
meningkatkan keterampilan regu
pemadam dalam pengendalian
kebakaran sekaligus meningkatan
kesadaran tiap anggota regu dalam
menggunakan api yang dapat
memicu kebakaran hutan dan lahan.
Adapun materi pembinaan bagi regu-
regu ini antara lain : teknik mereduksi
bahan bakar baik melalui tindakan
penyiangan, pembakaran terkendali
dan pemblokiran (pembuatan
sekat bakar pada daerah-daerah
yang rawan kebakaran), teknik dan
keterampilan tentang pemadaman
kebakaran hutan dan lahan sekaligus
diberikan cara pembuatan alat
tangan sederhana untuk kegiatan
pemadaman kebakaran hutan
dan lahan. Untuk meningkatkan
efektifi tas regu yang telah dibentuk
ini dapat diperlengkapi dengan alat
pemadaman sederhana seperti:
pompa punggung/spayer , cangkul,
garu, parang, pemukul api/kepyok
dan lain-lain. Selain aktif menjadi
anggota regu setiap anggota dalam
regu yang telah dibentuk ini dapat
juga lebih diberdayakan untuk
ditingkatkan perannya menjadi
penyuluh swadaya kebakaran
hutan dan lahan, dengan sasaran
penyuluhan masyarakat disekitar
tempat tinggalnya masing-masing.
7. Penegakan hukum bagi pelaku
penyebab kebakaran hutan
dan lahan
Penegakan hukum dengan
menindak tegas pelaku pembakaran
hutan dan lahan dinilai merupakan
salah satu langkah tegas guna
memberi efek jera dan dapat
menanamkan nilai pentingnya
menjaga kelestarian hutan dan lahan
dari bahaya kebakaran terutama
yang disebabkan karena faktor
kesengajaan manusia. Dengan
memberi hukuman maka pelaku
akan berpikir dua kali apabila ingin
melakukannya lagi, karena sudah
merasakan sanksi hukum yang
diterima serta otomatis sanksi sosial
Gb 6. Pembuatan alat pemadam sederhana
Gb 7. Beberapa peralatan pemadam sederhana
22 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
bagi dirinya. Seringkali ketidakjelasan
upaya penegakan hukum membuat
pelaku-pelaku pembakaran hutan
dan lahan bertindak sewenang-
wenang karena merasa dirinya aman-
aman saja walapun tahu ada undang-
undang yang mengatur tentang
pelaku pembakaran hutan dan lahan,
namun karena tidak ada tindakan
tegas sehingga dimata mereka
hukum hanya selogan semata, dan
seolah-olah membenarkan sendiri
tindakannya.
8. Membentuk forum masyarakat
sadar kebakaran hutan dan
lahan
Forum ini dibentuk langsung
dimasyarakat yang anggotanya
dipilih masyarakat sendiri dan
dapat dibina langsung oleh aparat
keamanan terkait seperti Polmas
(polisi masyarakat) maupun Babinsa
(Bintara pembina desa), kegiatan
forum ini lebih berbentuk upaya
pencegahan dengan memberikan
himbauan kepada masyarakat
sekitarnya akan bahaya kebakaran
hutan dan lahan, serta dapat
pula berperan aktif melaporkan
kepada aparat keamanan apabila
menemukan pelaku pembakaran
hutan dan lahan. Anggota forum ini
dapat pula dibentuk menjadi regu-
regu pemadam kebakaran hutan
dan lahan (Masyarakat Peduli Api),
sehingga bisa langsung berperan
aktif melakukan upaya pemadaman
dini kebakaran hutan dan lahan
disekitar tempat tinggalnya.
PENUTUP
Peran serta seluruh elemen
masyarakat dalam peningkatan
kesadaran masyarakat akan bahaya
kebakaran hutan dan lahan akan
sangat membantu pemerintah
mengurangi kejadian kebakaran
hutan dan lahan. Karena sebenarnya
masyarakat memahami dampak
kebakaran yang mereka sendiripun
alami seperti kabut asap yang
dapat terjadi berbulan-bulan seperti
yang terjadi saat ini dibeberapa
wilayah, disamping itu dengan
adanya bencana kebakaran dapat
mengancam keberadaan kebun-
kebun masyarakat, oleh karena itu
mereka terus menjaga kebunnya
agar terhindar dari kebakaran. Segala
upaya harus dilakukan agar tingkat
kesadaran masyarakat akan bahaya
kebakaran hutan dan lahan dapat
lebih baik lagi.
BAHAN BACAANAdinugroho W.C. et al. 2005. Panduan
Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan gambut. Wetlands Intertational. Bogor.
Akbar A. et al. 2011. Identifi kasi Strategi Kunci Pencegahan Kebakaran di HRG Kawasan MAWAS Pada Areal Tanaman Dyera lowii Hooks dan Shorea belangeran di Kalimantan Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Akbar A. et al.2013.Pengaruh penutupan mulsa organik terhadap perkembangan gulma bawah tegakan hutan tanaman jenis nyawai (Ficus fariegata). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Sagala APS. 1992. Mengendalikan Api Lahan. Publikasi Khusus. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarbaru.
Zaini M.,1998. Panduan Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran. Penerbit Abdi Tandur Jakarta.
23BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
F O K U S
23BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
24 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
PENDAHULUAN
Saat ini pemanasan global sudah menjadi masalah
dunia internasional. Banyak kejadian alam
yang membuktikan adanya pemanasan global
di bumi ini. Pemanasan global ini disebabkan
oleh aktivitas manusia sendiri. Aktivitas manusia seperti,
eksploitasi hutan secara besar-besaran, penambangan
yang tidak terkontrol, kebakaran hutan, pencemaran
limbah industri, membuang sampah sembarangan, dan
lain-lain. Semua perilaku manusia tersebut menghasilkan
gas CO2 yang biasa juga disebut dengan Gas Rumah Kaca
(GRK). Jika gas CO2 itu jumlahnya terlalu berlebihan di
atmosfer bersama gas rumah kaca lainnya, maka akan
menjadi penghalang bumi untuk memantulkan panas
keluar atmosfer. Kondisi bumi layaknya seperti dalam
rumah kaca, menerima panas dari matahari akan tetapi
panas yang diterima tidak bisa dipantulkan keluar karena
terhalang gas CO2, sehingga atmosfer bumi semakin
panas, dan mengakibatkan pemanasan global. Dampak
dari pemanasan global diantaranya adalah, terjadinya
perubahan iklim di bumi, mencairnya es di kutub utara
dan kutub selatan, kebanjiran, kekeringan, gelombang
panas, hasil panen menurun, dan lain-lain. Salah satu
upaya untuk meningkatkan adaptasi dan mitigasi GRK
oleh masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan membuat suatu program penghargaan
terhadap partisipasi aktif masyarakat yang melaksanakan
upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim
secara berkelanjutan dan terintegrasi.
Aktivitas Mitigasi GRK dalam Program Kampung Iklim
Untuk mengatasi terjadinya perubahan iklim kita
harus mengurangi jumlah GRK terutama CO2 yang beredar
di atmosfer. Target pemerintah Indonesia pada tahun 2020
indonesia menurunkan GRK sebesar 26%. Pertama kita
harus beradapatasi dengan dampak pemanasan global
saat ini. Kedua kita harus melakukan mitigasi pelepasan
karbon. Bentuk adaptasi kita, misalnya untuk mengatasi
kekeringan di musim kemarau kita harus membangun
bak penampungan air, memperbaiki sistem pengairan
PROGRAM KAMPUNG IKLIM (ProKlim) UNTUK MENGATASI PERUBAHAN IKLIM
Oleh : Syaifuddin
FOKUS
www.irwansyah-st.com
24 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
25BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
di sawah, membuat sumur resapan
pada musim penghujan, membuat
kontruksi bangunan pencegah abrasi
laut, dan hemat energi, seperti listrik,
BBM, dan gas. Sedangkan bentuk
mitigasi yang bisa kita lakukan
diantaranya adalah menanam pohon
di lahan yang gundul, membuat
kompos sendiri, membuat biogas
sendiri, dan membuat energi listrik
sendiri tanpa membakar benda fosil
seperti minyak bumi dan batubara
yaitu dengan pola micro-hydro.
Untuk meningkatkan kegiatan
adaptasi dan mitigasi GRK,
Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan membuat suatu
program penghargaan terhadap
partisipasi aktif masyarakat yang
melaksanakan upaya mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim
secara berkelanjutan dan terintegrasi.
Dengan program tersebut
diharapkan dapat menurunkan GRK
yang menjadi target nasional dan
meningkatkan ketahanan masyarakat
terhadap perubahan iklim. Program
tersebut adalah Program Kampung
Iklim (Proklim). Kampung iklim
merupakan program yang mulai
disusun Kementerian Lingkungan
Hidup pada tahun 2009-2010.
Pengumpulan data dilakukan mulai
tahun 2010-2011. Survey dilakukan
dibeberapa kota, yaitu Palembang,
Yogyakarta, Solo, Malang, Batu,
Bali, Cilacap, dan Semarang. Hasil
survey menunjukkan inisiatif lokal
telah dilakukan masyarakat namun
belum terintegrasi dan belum
dipahami sebagai upaya mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan
iklim. Padahal upaya tersebut
telah datang dari upaya individual
berdasarkan kearifan lokal, program
lokal berdasarkan inisiatif masyarakat
setempat, dan didukung oleh LSM
atau lembaga donor, program dari
Pemerintah daerah, dan program dari Corporate Social Responsibility (CSR) dari
perusahaan .
Tujuan Proklim adalah mendorong pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
setempat untuk memahami permasalahan perubahan iklim dan dampaknya,
serta melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara proaktif
yang berkontribusi kepada upaya pembangunan nasional. Manfaat Proklim
adalah memberikan kontribusi kepada target nasional penurunan GRK 26%
pada tahun 2020, meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi
variabilitas iklim dan dampak perubahan iklim, dan tersedianya data kegiatan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Potensi pengembangannya di tingkat
lokal yang dapat menjadi bahan masukan dalam perumusan kebijakan, strategi
dan program terkait perubahan iklim.
Strategi pelaksanaan proklim dimulai dari penguatan kembali kapasitas
para pemenang penghargaan Kalpataru sebagai tokoh penggerak Proklim,
mengembangkan dan menciptakan kapasitas individu atau kelompok
masyarakat, mengembangkan pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan
pendampingan oleh pemerintah daerah. Kegiatan lain di dalam pemerintahan
diantaranya memfasilitasi dan mengkoordinasikan potensi sumber anggaran,
mengembangkan keterlibatan aktif lembaga-lembaga nasional maupun
internasional untuk menyediakan informasi dan bantuan teknis serta pelatihan,
dan menjalin kemitraan dengan dunia usaha (KLH, 2012).
Untuk masuk dalam program kampung iklim, masyarakat atau semua pihak
dapat mengusulkan lokasi proklim kepada Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Yang bisa mengusulkan adalah lembaga formal masyarakat
yang punya landasan hukum, seperti kelompok tani, koperasi, karang taruna,
dan lain-lain. Selain itu, dunia usaha juga bisa mengusulkan melalui program
CSR-nya. Dalam usulan harus mengetahui kepala desa atau lurah dan lembar
pengusulan lokasi iklim.
Adapun kriteria penilaian Proklim adalah kegiatan mitigasi dan adaptasi
sebesar 60%, dan aspek kelompok masyarakat dan dukungan keberlanjutan
sebesar 40%. Kegiatan adaptasi dalam proklim diantaranya adalah pengendalian
kekeringan, banjir, dan longsor. Peningkatan Ketahanan pangan, penanganan/
antisipasi kenaikan muka laut, rob dan intrusi/abrasi air laut, gelombang
tinggi, dan pengendalian penyakit terkait perubahan iklim. Kegiatan Mitigasi
dalam Proklim diantaranya adalah Pengelolaan sampah dan limbah padat,
penc
erah
nusa
bera
u.bl
ogsp
ot.c
om
25BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
26 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
pengolahan dan pemanfaatan
limbah cair, penggunaan energi,
pengurangan emisi dari kegiatan
pertanian, konservasi hutan,
Penanganan atau antisipasi kejadian
kebakaran hutan dan lahan. Penilaian
aspek kelompok masyarakat
dan dukungan keberlanjutan
mencakup pengakuan kelompok
mayarakat, dukungan kebijakan,
dinamika kemasyarakatan, kapasitas
masyarakat, keterlibatan pemerintah,
keterlibatan swasta/LSM/perguruan
tinggi, Pengembangan kegiatan, dan
manfaat. Perkembangan Proklim di
berbagai provinsi disajikan dalam
Tabel 1.
Dilihat dari tabel 1, Proklim
sudah mulai berkembang dari tahun
ke tahun. Propinsi yang paling banyak
mendapatkan penghargaan Proklim
adalah propinsi Jawa Barat dengan
total 81 kampung atau dusun.
Propinsi Kalimantan Selatan hanya
ada 1 kampung atau dusun yang
mendapatkan penghargaan Proklim.
Untuk mensukseskan target nasional
dalam pengurangan GRK 26% di
tahun 2020, dan meningkatkan
ketahanan dari perubahan iklim
diperlukan kebersamaan sikap
semua pihak dalam meningkatkan
pengelolaan lingkungan dari mulai
kampung atau dusun kita untuk
masa depan yang lebih baik.
PENUTUPProgram kampung iklim (Proklim)
adalah program pemerintah melalui
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang tujuannya untuk
meningkatkan adaptasi dan mitigasi
GRK oleh masyarakat sekaligus
memberi penghargaan terhadap
partisipasi aktif masyarakat yang
melaksanakan upaya mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim
secara berkelanjutan dan terintegrasi.
Untuk masuk dalam program
kampung iklim, masyarakat atau
semua pihak dapat mengusulkan
lokasi proklim kepada Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Yang bisa mengusulkan adalah
Tabel 1. Perkembangan Proklim mulai dari tahun 2012-2014
di berbagai propinsi.
No PropinsiJumlah Kampung Iklim Tahun
2012 2013 2014
1 Sumatera Utara - 4 1
2 Sumatera Barat - 24 1
3 Riau 7 25 11
4 Jambi - 2 2
5 Sumatera Selatan - 11 5
6 Bengkulu - - 1
7 Bangka Belitung 3 - -
8 DKI Jakarta 2 - 5
9 Jawa Barat 15 28 38
10 Jawa Tengah 10 18 14
11 DI Yogyakarta 10 14 1
12 Jawa Timur 11 33 20
13 Banten 1 - -
14 Bali 2 6 25
15 Nusa Tenggara Barat 1 4 6
16 Nusa Tenggara Timur 1 7 3
17 Kalimantan Selatan - - 1
18 Kalimantan Timur - - 2
19 Sulawesi Utara - 1 7
20 Sulawesi Selatan 4 5 20
21 Sulawesi Barat 1 - -
22 Sulawesi Tenggara 2 - -
23 Maluku 1 - -
Sumber : KLH, 2014.
lembaga formal masyarakat yang
punya landasan hukum, seperti
kelompok tani, koperasi, karang
taruna, dan lain-lain. Selain itu, dunia
usaha juga bisa mengusulkan melalui
program CSR-nya.
26 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
27BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
Bulan April lalu Badan
Meteorologi dan Geofi sika
(BMKG) memperkirakan
bahwa pada tahun 2015
musim kemarau akan jatuh pada
bulan Juni hingga Oktober di Pulau
Sumatera dan sekitarnya serta
bulan Juli hingga Oktober di Pulau
Kalimantan. Selain itu juga, Direktorat
Pengendalian Kebakaran Hutan
Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan juga menginformasikan
bahwa telah terjadi penurunan
hotspot pada rentang waktu awal
tahun 2015 dibandingkan dengan
tahun 2014 yaitu dari 6.763 titik
menjadi 1.461 titik. Namun fakta
dilapangan menunjukkan hal lain.
Seiring mendekati puncak musim
kemarau, beberapa mass media
nasional mengabarkan telah terjadi
peningkatan hotpsot hingga bulan
Oktober di provinsi Jambi, Riau,
Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Selatan bahkan di
kawasan bergambut wilayah Papua.
Akibatnya, kebakaran hutan dan
lahan tersebut menyebabkan k abut
asap berkepanjangan yang melintasi
beberapa provinsi bahkan sampai
ke wilayah udara negara tetangga,
Malaysia dan Singapura.
Belajar dari pengalaman tahun-
tahun sebelumnya, kebakaran
hutan dan lahan pada kawasan
bergambut sebagian besar
merupakan akibat dari aktivitas
pembakaran yang tak terkendali
oleh beberapa segelintir masyarakat,
baik atas nama kelompok maupun
perusahaan dimana tempat mereka
bekerja. Oleh karena itu diperlukan
penanganan yang menyeluruh
dari semua aspek.Penanganan
api di kawasan bergambut sudah
seharusnya bertumpu pada aspek
penanggulangan kebakaran yang
diawali dengan pemantauan dan
pengendalian jumlah hotspot yang
dapat menjadi indikator termudah
Quo Vadis Pengelolaan Kawasan Bergambut
Oleh : Giri Suryanta, SSi, MSc.
A R T I K E L
27BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
28 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
untuk mengontrol secara makro segala aktivitas yang
bekerja pada kawasan bergambut.
Selama ini sudah terekam beberapa langkah yang
telah dan akan ditempuh oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) dalam penanganan
kebakaran lahan gambut tersebut yaitu antara lain deteksi
dini hotspot, call center pelayanan kebakaran hutan
dan lahan, serta instruksi dan pengawasan bagi pelaku
usaha di lahan gambut untuk memberikan perlakuan
perlindungan kawasan bergambut berfungsi lindung.
Provinsi Sumatera Selatan juga telah menginisiasi
pemetaan ketaatan perusahaan (kebun maupun IUPHHK-
HTI), pemetaan ketaatan kabupaten/kota, rekayasa
teknologi air tractor dan draft SOP pengendalian
kebakaran hutan menjadi Peraturan Gubernur. Begitu
juga dengan institusi Badan Penanggulangan Bencana
Nasional (BNPB) yang semenjak tanggal 4 Maret 2015
tidak perlu lagi menunggu status Darurat Bencana dalam
bertindak terhadap kebakaran lahan gambut. Dalam hal
ini BNPB akan mengawal implementasi pembuatan canal
blocking sebanyak 1.000 unit dan modifi kasi cuaca berupa
hujan buatan. Domain penanggulangan telah digulirkan
oleh KemenLHK bersinergi dengan BNPB melalui berbagai
kegiatan tersebut di atas sebagai langkah prioritas pada
level jangka waktu yang relatif pendek.
Bagaimana halnya dengan langkah-langkah
selanjutnya? seperti misalnya pencegahan kebakaran,
optimalisasi pemanfaatan kawasan bergambut dan
sebagainya yang seyogyanya menjadi rentetan langkah
membentuk mosaic sebuah roadmap jangka menengah
sampai dengan jangka panjang? Apa dasar platform-
nya untuk menyusun roadmap tersebut? Tentu saja
hal ini perlu dijawab oleh pemerintahan saat untuk
dijadikan grand design pengelolaan kawasan bergambut
yang holistik. Tools regulasi dan dokumen terkait
obyek kawasan bergambut telah banyak digulirkan
dan dikawal oleh beberapa Kementerian/Lembaga
misalnya, Master Plan Perlindungan Lahan Gambut
oleh KemenLH (dilebur menjadi KemenLHK), Rencana
Tehnik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS Pada Ekosistem
Mangrove, Sempadan Pantai dan Kawasan Bergambut
oleh Kemenhut (dilebur menjadi KemenLHK), Rencana
Pengelolaan Rawa oleh KemenPUPera, Rencana
Pengelolaan DAS Terpadu oleh Kemenhut (dilebur menjadi
KemenLHK) dan Low Land Management oleh BAPPENAS.
Masing-masing produk tersebut mempunyai focusing yang
berbeda-beda dikarenakan keterbatasan kewenangan,
target, pendanaan dan sumberdaya manusia.
Sebenarnya untuk mensinergikan beberapa
Kementerian/Lembaga yang concern dalam hal
29BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
pengelolaan kawasan bergambut
salah satunya telah difasilitasi oleh
Kelompok Kerja Nasional Pengelolaan
Rawa Berkelanjutan melalui Surat
Keputusan Kepala BAPPENAS Nomor
Kep. 40/M.PPN/HK/07/2009 dan
Surat Keputusan Sekretaris Umum
BAPPENAS Nomor Kep. 500/SES/
HK/07/2010. Kelompok kerja ini
bertugas untuk mengidentifi kasi
dan menginventarisir kegiatan yang
bersinggungan dengan pengelolaan
kawasan bergambut dan rawa
pada beberapa Direktorat dalam
Kementerian/Lembaga terkait
untuk kemudian ditawarkan solusi
seandainya ada hambatan pada
masing-masing sektor. Pada hasil
kesepakatan dan kesepahaman tahun
2012, telah digulirkan Alur Pikir Zonasi
Makro Dataran Rendah yang meliputi
kawasan bergambut hingga zona
pesisir. Rekomendasi penanganannya
meliputi pengelolaan konservasi,
pengelolaan adaptif, pengelolaan
pantai dan pengembangan.
Jika menelaah dari sekian
rentetan progres yang telah
ditempuh, baik oleh BAPPENAS
maupun K/L terkait, perlu kiranya
penajaman langkah guna menjawab
eksistensi grand design, road map dan
platform pada pengelolaan kawasan
bergambut di Indonesia. Berkaitan
dengan platform, platform kawasan
bergambut harus dipandang sebagai
ekosistem yang mempunyai sub-
sub sistem terbangun (given), baik
sebagai kesatuan fungsi hidrologis
maupun kesatuan fungsi ekologis
yang saling mempengaruhi satu
sama lain. Modal point of view
tersebut menjadi platform untuk
menemukenali karakter dan potensi
kawasan bergambut dengan segala
konsekuensi yang terjadi seandainya
dilakukan rekayasa lingkungan.
Karakter dan potensi kawasan
bergambut di Pulau Sumatera,
Pulau Kalimantan dan Papua pasti
akan memunculkan masing-masing
kekhasan tersendiri sehingga penting
untuk diketahui. Karakter dan potensi
kawasan bergambut ini dapat
dituangkan dalam data dan informasi
yang berupa : sebaran, luas, bentuk
lahan, kedalaman, kematangan,
tutupan lahan, kesatuan hidrologi,
keanekaragaman hayati dan tingkat
subsiden.
Selanjutnya roadmap, pengelo-
laan kawasan bergambut dapat
dijembatani terlebih dahulu
dengan pembangunan zonasi yang
mendasarkan pada tingkat urgenitas
karakter dan potensi kawasan
bergambut tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku, misalnya kawasan
lindung gambut tebal lebih dari 3
(tiga) meter, kubah gambut melebihi
30% dari kesatuan hidrologinya,
kawasan High Conservation Value
(HCV) dan kawasan lindung (Kawasan
Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam, Hutan Lindung). Hal tersebut
akan menghasilkan beberapa jenis
kawasan untuk nantinya menjadi
frame bermainnya roadmap yang
dijalankan oleh beberapa K/L, private
29BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
30 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
sector, NGO dan local communities.
Jenis kawasan yang dimaksud
Kawasan Pengelolaan Konservasi,
Kawasan Pengelolaan Adaptif,
Kawasan Pengelolaan Pantai/Pesisir
dan Kawasan Pengembangan; seperti
yang tertuang di dalam Kesepakatan
dan Kesepahaman Alur Pikir Zonasi
Makro Dataran Rendah.
Terkahir adalah grand design.
Pengelolaan kawasan bergambut
dapat dituangkan dalam bentuk
Strategi Nasional yang dikuatkan
melalui payung hukum berupa
Pera-turan Presiden. Peraturan ini
diharapakan dapat melingkupi
seluruh K/L berikut stakeholders terkait
untuk kemudian dikomprehensifkan
dengan Rencana Tata Ruang
Nasional, Master Plan Percepatan
Peningkatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca dan beberapa rencana
makro level nasional lainnya.
Pada tiap ranah platform,
roadmap dan grand design tersebut
untuk kemudian dilengkapi dan
diisi oleh masing-masing sektor
Agroforestri Jelutung Rawa
sehingga akan teridentifi kasi slot-
slot mana yang sekiranya masih
kosong (blankspot). Analisis
blankspot berguna untuk mencapai
sinergitas, efektivitas dan efi siensi
sehingga dapat dihindari duplikasi
dan tumpang tindih kegiatan yang
selama ini masih terjadi antar-
sektor. Hal tersebut juga tidak
menutup kemungkinan untuk dapat
menarik peran swasta (private sector)
berkiprah melalui berbagai skema.
Demikian halnya dengan peran NGO
yang dapat melengkapi, baik secara
langsung maupun tidak langsung,
sehingga eksistensinya senantiasa
dapat dipertanggungjawabkan.
Pada akhirnya, segala potensi
yang terkandung di dalam kawasan
bergambut diharapkan dapat dikelola
dengan baik (sustaine), diminimalisir
segala bentuk kerusakannya dan
dimanfaatkan secara optimal untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran
masyarakat luas dalam naungan
kepastian hukum yang dijamin oleh
Negara Republik Indonesia.
30 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
31BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
PENDAHULUAN
Gejala alam El-Nino
sering diidentikkan
dengan faktor penyebab
kebakaran besar
dimana-mana. Manakala El-Nino
datang di musim kemarau, maka
ancaman kebakaran semakin tinggi.
Apakah sebenarnya El-Nino itu
?Apakah El-Nino selalu berhubungan
dengan kejadian kebakaran ?
Terlepas dari besar kecilnya peran
El-Nino terhadap kejadian kebakaran
hutan dan lahan di Indonesia
yang terpenting bahwa kebakaran
hutan dan lahan harus dipandang
sebagai ancaman serius terhadap
keberlanjutan pembangunan karena
secara signifi kan menyebabkan
EL-NINO DAN KEBAKARAN HUTANDr. Acep AkbarBalai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
E-mail : [email protected]
Salah satu diantaranya adalah
yang paling umum yaitu segitiga api
(fi re triangle) yang dikemukan Brown
dan Davis (1973). Dari teori segitiga
ini, api tidak mungkin terjadi tanpa
adanya bahan bakar, oksigen di
udara, dan panas yang mencapai titik
bakar. Proses pemanasan inilah yang
dibantu oleh adanya kekeringan
bahan bakar salah satunya akibat
adanya El-Nino. El-Nino dapat
dikatakan sebagai faktor pendukung
utama menuju tercapainya
temperatur titik bakar. El-Nino
sebagai penghambat turunnya hujan
dalam waktu cukup lama. Jika El-Nino
datang berbarengan dengan musim
kemarau maka seluruh benda atau
bahan bakar mengalami penguapan
A R T I K E L
kerugian ekonomis, ekologis, sosial
budaya, kesehatan, dan politik
regional.
Peristiwa kebakaran lahan
dan hutan yang terjadi hampir
setiap tahun hingga tahun 2015
ini sesungguhnya diakibatkan oleh
multifaktor yang sangat kompleks
dan saling terkait yaitu mencakup
aspek fi sik dalam arti bahan bakar
dan iklim, sosial ekonomi dan
budaya anthropologis masyarakat,
organisasi, kebijakan, kelembagaan
serta intensitas pengelolaan hutan
dan lahan. Berbagai teori segitiga
bermunculan untuk membuka tabir
permasalahan yang mengakibatkan
kebakaran terus berlanjut di
Indonesia.
tata
ruan
gper
tana
han.
com
31BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
32 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
positif juga menurun. Sedangkan
negara Australia, Papua Nugini, dan
Indonesia berada dalam lingkungan
Barat Pasifi k. Berkurangnya evaporasi
menyebabkan atmosfer di kawasan
tersebut miskin uap air. Karena miskin
uap air, curah hujan di kawasan
tersebut juga menurun sehingga
terjadilah kekeringan.
Dalam kondisi iklim normal, suhu
permukaan laut di sekitar Indonesia
yang termasuk daerah pasifi k equator
bagian barat umumnya hangat
sehingga proses penguapan mudah
terjadi dan awan-awan hujan mudah
terbentuk. Tetapi ketika fenomena El
Nino terjadi, saat suhu permukaan
laut di pasifi k equator bagian tengah
dan timur menghangat, justeru
perairan sekitar Indonesia umumnya
mengalami penurunan suhu
atau menyimpang dari biasanya.
Akibatnya, terjadi perubahan
dalam peredaran masa udara yang
berdampak pada berkurangnya
pembentukan awan-awan hujan
di Indonesia. Fenomena El Nino
diamati dengan menganalisis data-
data atmosfer dan kelautan yang
terekam melalui weather buoy yaitu
suatu alat perekam data atmosfer
dan lautan yang bekerja otomatis
dan ditempatkan di samudera
(Anonimous, 2014). Di samudera
pasifi k, saat ini terpasang setidaknya
lebih dari 50 buah Weather buoy yang
dipasang oleh lembaga penelitian
atmosfer dan kelautan Amerika yaitu
National Oceanic and Atmospheric
Administration-NOAA sejak tahun
1980-an. Dengan alat-alat inilah kita
mendapatkan data suhu permukaan
laut sehingga bisa melakukan
pemantauan terhadap kemunculan
fenomena El Nino.
Fenomena El Nino bukanlah
kejadian yang terjadi secara tiba-tiba.
Proses perubahan suhu permukaan
yang lebih besar dari biasanya. El-
Nino tidak dapat dicegah melainkan
harus diantisipasi dan dihindari
dampak dan bahayanya.
APA SIH EL NINO ?
Fenomena El Nino adalah suatu
gejala penyimpangan kondisi laut
yang ditandai dengan meningkatnya
suhu permukaan laut (sea surface
temperature-SST) di Samudera Pasifi k
sekitar equator (equatorial pacifi c)
khususnya di bagian Tengah dan
Timur sekitar pantai Peru-Ekuador.
Karena lautan dan atmosfer adalah
dua sistem yang saling terhubung,
maka penyimpangan kondisi
laut ini menyebabkan terjadinya
penyimpangan pada kondisi atmosfer
yang pada akhirnya berakibat pada
terjadinya penyimpangan iklim.
El Nino adalah sebutan dalam
bahasa Spanyol yang artinya
Si Buyung Kecil (The Little Boy)
atau anak Kristus (Christ Child). El
Nino adalah nama yang diberikan
oleh para nelayan lepas pantai
Amerika Selatan pada tahun 1600-
an untuk menyebut fenomena
menghangatnya air laut di Samudera
Pasifi k yang tidak lazim pada sekitar
bulan Desember atau perayaan
Natal. Belakangan ini diketahui
bahwa fenomena tersebut terjadi
sebagai akibat melemahnya angin
pasat yang biasanya bersirkulasi
di Samudera Pasifi k. Kondisi ini
menyebabkan air hangat di bagian
Barat Pasifi k tertarik ke Timur. Akibat
berkurangnya air hangat di Barat
Pasifi k maka penguapan (evaporasi)
yang dapat membentuk awan
blog
.act
.idsu
raba
yane
ws.
com
32 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
Hotspot di Indonesia
Kekeringan di Indonesia
33BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
laut yang biasanya dingin kemudian
menghangat bisa memakan waktu
dalam hitungan minggu hingga
bulan. Karena itu pengamatan suhu
permukaan laut juga bisa bermanfaat
dalam pembuatan prediksi atau
prakiraan akan terjadinya El Nino,
karena BMKG bisa menganalisis
perubahan suhu muka laut dari waktu
ke waktu. Pemantauan terhadap
fenomena El Nino juga dilakukan
dengan memanfaatkan data dari
buoy-buoy tersebut. Pemantauan
ini dilakukan dengan membuat
peta perkembangan suhu lautan
baik sebaran spasial (lintang bujur)
maupun irisan vertikal yaitu peta
suhu laut untuk beberapa tingkat
kedalaman.
DAMPAK EL-NINO
Pusat prakiraan iklim Amerika
(Climate Prediction Center) mencatat
bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi
setidaknya 22 kali fenomena El Nino,
6 kejadian di antaranya berlangsung
dengan intensitas kuat yaitu tahun
1957/1958, 1965/1966, 1972/1973,
1982/1983, 1987/1988 dan
1997/1998. Intensitas El Nino secara
numerik ditentukan berdasarkan
besarnya penyimpangan suhu
permukaan laut di samudera
pasifi k equator bagian tengah. Jika
menghangat lebih dari 1,50 C, maka
El Nino dikatagorikan kuat.
Sebagian besar kejadian-
kejadian El Nino itu mulai
berlangsung pada akhir musim
hujan atau awal hingga pertengahan
musim kemarau yaitu bulan Mei, Juni,
dan Juli. El nino tahun 1982/1983
dan tahun 1997/1988 adalah dua
kejadian El Nino terhebat yang
pernah terjadi di era modern dengan
dampak yang dirasakan secara
global. Disebut berdampak global
karena pengaruhnya melanda banyak
kawasan di dunia. Sebagai contoh
bahwa ketika Amerika dan Eropah
mengalami peningkatan curah hujan
sehingga memicu bencana banjir
besar, maka sebaliknya Indonesia,
India, Australia, Afrika mengalami
pengurangan curah hujan yang
menyebabkan kemarau panjang dan
kebakaran..
Di Indonesia, masih jelas dalam
ingatan kita, bahwa pada tahun
1997 terjadi bencana kekeringan
yang luas. Pada tahun itu, kasus
kebakaran hutan di Indonesia
menjadi perhatian internasional
karena asapnya menyebar ke negara-
negara tetangga. Kebakaran hutan
yang melanda banyak kawasan di
pulau Sumatera dan Kalimantan
saat itu memang bukan disebabkan
oleh fenomena El Nino secara
langsung. Namun kondisi cuaca
kering dan sedikitnya curah hujan
telah membuat api menjadi mudah
berkobar dan merambat sangat cepat
dan sulit dikendalikan. Di sisi lain,
kekeringan dan kemarau panjang
juga menyebabkan banyak wilayah
sentra pertanian mengalami gagal
panen karena distribusi curah hujan
yang tidak memenuhi kebutuhan
tanaman.
Dampak lengsung El Nino
adalah anjloknya produksi pertanian
dan perkebunan, krisis air bersih,
kebakaran, dan berhentinya PLTA
(Pembangkit Listrik Tenaga Air).
Berkurangnya produksi pertanian
dapat memicu melambungnya
tribunnews.com
33BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
34 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
harga-harga bahan makanan diantaranya beras, sayur-
mayur, dan buah-buahan. Selain bisa menurunkan tingkat
kesehatan akibat kurangnya asupan gizi, kelangkaan
bahan makanan pokok pada tingkatan ekstrim dapat
menimbulkan bencana kelaparan. Ketika sungai, situ,
dan sumur dangkal mengering banyak masyarakat
yang kesulitan mendapatkan air bersih. Kondisi ini telah
mendorong timbulnya wabah penyakit menular karena
masyarakat terpaksa mengkonsumsi air yang tidak
higienis. Berita pada bulan Agustus 2015 menayangkan
bahwa PLTA Cirata (Jawa Barat) terpaksa mengistirahatkan
80% turbinnya akibat debit bendungan Cirata menurun
tajam. Jika seluruh turbin PLTA Cirata tersebut berhenti
dapat dipastikan pasokan listrik Jawa-Bali akan berkurang.
Kondisi ini akan berdampak pada banyak sektor khusunya
dunia industri.
HUBUNGAN EL-NINO DENGAN KEBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN
Selama ini El-Nino memang telah menjadi salah satu
penyebab utama kekeringan pada musim kemarau di
Indonesia. Pada kondisi cuaca kering, semua bahan bakar
potensial akan cepat mengering dan mudah tersulut api.
Para pengguna api di lahan biasanya mengambil banyak
kesempatan untuk membakar segera lahan-lahan mereka
dengan harapan jika telah tiba musim penghujan maka
lahan telah bersih dari vegetasi sehingga dapat digunakan
untuk berbagai keperluan. Tujuan pembukaan lahan
dengan cara dibakar cukup bervariasi mulai dari untuk
tujuan pertanian, perkebunan, peternakan, membangun
perumahan, hingga untuk mencegah lahan menjadi hutan
dan menunjukkan kepemilikan saat lahan mau dijual. Jika
saat pembakaran masih banyak vegetasi yang masih hijau,
maka asap tebal hasil proses pembakaran yang tidak
sempurna sering menutupi lingkungan udara sekitar kita.
Antara El-nino dan peristiwa kebakaran hutan dan
lahan sesungguhnya tidak selalu memiliki hubungan
korelasi yang erat. Banyak orang beranggapan bahwa
ketika datang El-Nino, kebakaran akan terjadi secara besar-
besaran, padahal apabila gejala alam ini datang pada saat
musim penghujan dalam kondisi normal, maka gejala
alam ini tidak terlalu nampak artinya tidak menyebabkan
kemarau panjang. Sebaliknya jika El-Nino datang dimusim
kemarau, maka dia dapat memperpanjang musim
kering hingga meningkatkan kerawanan kebakaran baik
kebakaran hutan dan lahan maupun kebakaran bangunan
di kota-kota. Berlangsungnya musim kemarau dan hujan
di Indonesia selalu berbarengan dengan terjadinya gejala
alam El-Nino tetapi kedua phenomena alam ini berjalan
masing-masing.
Walaupun telah menjadi pakta bahwa penyebab rutin
dari kebakaran hutan adalah sebagai efek samping dari
Gambar 1. Daerah Terdampak Jika Terjadi El Nino lemah-sedang yang Dinyatakan Dalam Persentasi Hujan Terhadap Normalnya.Sumber : GPCC, 2014.
35BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
kegiatan manusia pengguna api,
tetapi faktor iklim dan cuaca harian
sangat mendukung mempercepat
proses terjadinya penyebaran api.
Peristiwa kebakaran dalam skala
besar pada tahun 1982/1983 yang
melanda kawasan hutan seluas 2,4-
3,6 juta hektar di Kalimantan Timur
adalah tidak terlepas dari terjadinya
musim kemarau panjang akibat
adanya gejala alam El-Nino yang
menyebabkan kekeringan di seluruh
Asia Tenggara. Demikian pula pada
kejadian kebakaran berikutnya
yaitu pada tahun 1987, 1991,
1994, 1997/1998. Semua peristiwa
kebakaran hutan dan lahan tidak
terlepas dari terjadinya faktor gejala
alam El-Nino yang menyebabkan
cuaca harian sangat kering selama
berbulan-bulan. Cuaca yang kering
telah menyebabkan menurunnya
kadar air tumbuhan bawah dan
pohon hutan menjadi mengering
akibat proses evapotransfi rasi yang
tinggi. Begitu penyulut api datang
maka dengan sangat cepat api
melalap habis semua bahan bakar
yang ada di sekitar api permulaan.
DAMPAK TIDAK LANGSUNG EL-
NINO
Mengingat lahan-lahan
pertanian menjadi kering dapat
berakibat berhentinya usaha
pertanian. Keadaan ini dapat
menyebabkan tingginya tingkat
pengangguran di pedesaan.
Pengangguran yang tinggi jika
ditambah dengan kondisi tingginya
harga-harga kebutuhan pokok,
berpotensi menimbulkan masalah
sosial tersendiri yaitu urbanisasi akan
meningkat, pengemis bertambah,
dan angka kriminalitas meningkat
pula.
Beberapa publikasi ilmiah
menunjukkan bahwa dampak El Nino
terhadap iklim di Indonesia akan
terasa kuat jika terjadi bersamaan
dengan musim kemarau, dan akan
berkurang atau bahkan tidak terasa
jika terjadi bersamaan dengan
musim penghujan. Dampak El Nino
juga ternyata berbeda-beda antara
satu tempat dengan tempat lainnya,
bergantung pada karakteristik
iklim lokal. Oleh karena itu menjadi
menarik bagi para analis iklim untuk
memperhatikan sebaran dampak El
Nino dari bulan ke bulan khususnya
dimusim kemarau dari satu lokasi
ke lokasi lain berdasarkan catatan
kejadian El Nino di masa lalu.
Analisis ini bisa dijadikan acuan
dalam menyusun kebijakan terkait
dampak El Nino, misalnya saja dalam
kebijakan tentang ketahanan pangan.
Analisis terhadap kejadian-
kejadian El Nino masa lalu dengan
menggunakan data hujan global
yang dihasilkan dari Global
Precipitation Climatology Center –
GPCC menunjukkan bahwa dampak
El Nino juga dipengaruhi oleh
intensitas (kuat-lemah) dan durasi
berlangsungnya El Nino. Semakin
kuat dan lamanya El Nino terjadi, maka
Gambar 2. Daerah Terdampak Jika Terjadi El Nino Kuat yang Dinyatakan dalam Persentasi Hujan Terhadap Normalnya. Sumber : GPCC, 2014.
36 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
semakin kuat dampaknya terhadap
iklim di Indonesia khususnya curah
hujan. Pada kasus El Nino dengan
intensitas lemah-sedang di bulan
Juli-Agustus, El Nino berdampak
pada pengurangan curah hujan
dengan kisaran 40-80% dibanding
normalnya, terutama dirasakan
di sebagian Sumatera, Jatim-Bali-
NTB-NTT. Sebagian lagi terasa di
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
sebagian Papua. Sementara bulan
September sampai Oktober, dampak
El Nino terjadi semakin parah ditandai
dengan semakin luasnya area yang
mengalami pengurangan curah
hujan, meliputi seluruh Sumatera
kecuali Aceh, seluruh Jawa, Bali-NTB-
NTT, sebagian besar Kalimantan,
seluruh Sulawesi, Maluku dan
sebagian besar Papua. Pada daerah
NTB, NTT dan Sulawesi Tenggara
bahkan curah hujan bisa berkurang
hingga 20-40% dari normalnya
(Gambar 1).
Disebut daerah terdampak jika
mengalami kondisi hujan di bawah
normal saat El Nino terjadi. Kasus El
Nino yang diperhitungkan adalah
kejadian El Nino sejak tahun 1950.
Sementara pada kejadian El Nino
kuat, kejadian curah hujan di bawah
normal melanda wilayah yang lebih
luas. Wilayah-wilayah yang tidak
terdampak oleh El Nino lemah-sedang
seperti Sumatera Barat, Bengkulu,
dan Kalimantan Barat telah terkena
pengaruh El Nino kuat. Di beberapa
wilayah seperti Sumatera Selatan,
Bangka Belitung (Babel), Lampung,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali-NTB-
NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan
sebagian Papua bahkan curah hujan
hanya turun dalam kisaran 10-30 %
dibanding normalnya, terutama pada
bulan September dan Oktober 2014
(Gambar 2).
PENUTUP
Fenomena El Nino berpengaruh
kuat terhadap iklim di Indonesia.
Berkurangnya curah hujan dan
terjadinya kemarau panjang adalah
dampak langsung El Nino yang bisa
memicu masalah lain terutama pada
sektor kehutanan dan pertanian
seperti kebakaran hutan dan lahan,
gagal panen, dan menurunnya
ketahanan pangan.
Ramalan BMKG tahun 2015
menyatakan bahwa fenomena El
Nino 2015 di Indonesia akan terus
berlangsung hingga awal tahun
2016. Oleh karena itu perlu dibuat
peta daerah rawan dampak El Nino
hingga level kabupaten sehingga
dapat disusun kebijakan-kebijakan
yang tepat dalam mengantisipasi
fenomena El Nino,termasuk upaya
penanggulangan kebakaharan hutan
dan lahan.
PUSTAKAAkbar, A. 2012. Pencegahan Kebakaran
Hutan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat. Disertasi Fakultas Kehutanan. UGM. Yogyakarta.
Brown, A.A., dan K.P. Davis, 1973. Forest Fire Control and Use. Mc. Graw-Hill Books Company. New York.
Chandler, G. P.. Cheney, P. Thomas, L. Trabaud, dan D. Williams. 1983. Fire in Forestry. Forest Fire Management and Organisation. A Wiley-Intersciense Publicatgion. John Wiley & Sons. New York.
http://jakarta-45. Wordpress.com/2009/07/31/bahaya-el-nino-ancam-indonesia
h t t p : / / w w w . e - d u k a s i - n e t /p e n g p o p / p p . f u l l .php2ppd=294&fname=latihan-html
h t t p : / / w w w e - d u k a s i . n e t /p e n g p o p / p p _ f u l l .phbeppid=307&fname=dampak.html.
posk
otan
ews.
com
36 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
37BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
A R T I K E L
PEMANFAATAN TUMBUHAN BAWAH LAHAN GAMBUT
UNTUK MENGURANGI RESIKO KEBAKARANReni Setyo Wahyuningtyas
Peneliti Muda pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Ketersediaan tumbuhan bawah yang melimpah
di lahan gambut yang terdegrasi, saat ini masih belum
diimbangi dengan pemanfaatannya yang optimal.
Umumnya tumbuhan bawah hanya ditebas dan dibakar
serta dianggap sebagai tanaman penganggu padahal
sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan kompos,
energi alternatif,dan memiliki potensi yang baik sebagai
sumber serat.Pemanfaatan tumbuhan bawah untuk
kompos telah dilakukan petani di Desa Kalampangan dan
Kereng Bangkirai, Kota Palangkaraya serta petani di Desa
Mantaren, Kab. Pulang Pisau. Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya masyarakat telah memiliki pengetahuan untuk
memanfaatkan tumbuhan bawah agar lebih bermanfaat
daripada sekedar dibakar. Akan tetapi informasi
pemanfaatan tumbuhan bawah tersebut untuk kegunaan
lain mungkin diperlukan. Pemanfaatan tumbuhan bawah
sebagai bahan baku kompos, energi alternatif dan serat
akan dijelaskan pada uraian berikut ini.
A. Kompos dari tumbuhan bawah
Kompos merupakanhasil penguraian parsial/tidak
lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat
dipercepat secara artifi sial oleh populasi berbagai macam
mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab,
baik kondisi aerobik atau anaerobik.Hasil uji coba terhadap
18 jenis tumbuhan bawah lahan gambut untuk bahan baku
kompos, 6 jenis diantara menghasilkan kompos dengan
kandungan hara yang baik serta memenuhi syarat kualitas
kompos menurut SNI 19-7030-2004. Jenis tumbuhan
bawah tersebut adalah :Kelakai (Stenochlaena palustris),
Eupaturium (Chromolaena odorata), rumput gajah
(Pennisetum purpureum), Xyris indica, Calopogonium
mucunoides, dan karamunting kodok (Melastoma
malabathricum). Hasil uji coba juga menunjukkan bahwa
kompos dari jenis legum yaitu C.muconoides memiliki
kandungan unsur N, P, Ca dan Mg terbaik dibandingkan
lainnya.Jenis ini pun memiliki potensi biomassa cukup
besar yaitu sekitar 35 ton/ha tanaman segar di lapangan
(Wahyuningtyas et al., 2010).
B. Energi alternatif
Energi alternatif terbarukan adalah energi yang
didapat dari bahan-bahan yang siklus peremajaannya
tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Lebih dari
15 tahun yang lalu tumbuhan bawah seperti switchgrass
(Panicum virgatum), rumput gajah dan reed canarygrass
(Phalaris arundinacea) diketahui memiliki prospek yang
baik sebagai bahan bakar alternatif terbarukan.Beberapa
jenis rumput-rumputan juga dapat dipress menjadi
peletdan briket biomassa sebagai pengganti bahan bakar
fosil.Hampir setiap biomassa dapat dipertimbangkan
untuk pirolisis. Produk pirolisis biomassa kemudian
digunakan sebagai sumber energi atau untuk bakan baku
produksi bahan kimia(Parparita et al., 2014).
37BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
38 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
Tumbuhan bawah di lahan gambut merupakan salah
satu bahan baku briket biomassa yang sangat potensial.
Beberapa jenis tumbuhan bawah yang umum mendominasi
di lahan gambut terdegradasi adalah: rumput kumpai
(Leersia hexandra), pakis-pakisan (Neprolepis exaltata dan
Stenochlaena palustris), rumput babi (Leptaspis urceolata),
alang-alang (Imperata cylindrica), karamunting (M.
malabatricum) dan rumput teki (Cyperus rotundus)(Akbar
dan Priyanto, 2008). Tumbuhan bawah tersebut mampu
tumbuh secara cepat dalam skala luasdan seringkali dapat
berpotensi sebagai gulma. Ketika musim kemarau panjang
mudah sekali terbakar dan akan tumbuh kembali dengan
cepat saat air kembali tersedia.Hasil ujicoba pembuatan
briket biomassa dari tumbuhan bawah lahan gambut
menunjukkan bahwa kualitas briket yang dihasilkan cukup
baikdan dapat bersaing dengan bio-charcoal dan briket
serbuk kelapa (Susanti et al., 2015). Briket dari purun tikus
(Eleocharis ochrostachys Steud.) menghasilkan kualitas
briket paling baik jika dilihat dari nilai kalor, kadar karbon,
kadar air, abu dan sulfur.Pemanfaatan tumbuhan bawah
lahan gambut sebagai briket biomassa dapat dijadikan
salah satu alternatif untuk mengurangi resiko kebakaran
pada musim kemarau sekaligus sebagai sumber energi
alternatif terbarukan.
C. Bahan Serat
Sekitar 95% sampai 97% bahan baku untuk industri
kertas dipenuhi dari kayu keras dan kayu lunak. Akan
tetapi,karena sumber daya kayu semakin terbatasmaka
eskplorasi jenis tumbuhan untukbahan baku serat
selulosamulai dilakukan. Jenis-jenis yang dipilih umumnya
adalah bukan penghasil pangan dan memiliki daur hidup
pendek seperti; kenaf, jerami sorgum, abaka (Jimenez
et al., 2005), fl ax (Linum usitatissimum), kapas, murbei,
bambu sertabatang tanaman serealia (Rodriguez et al.,
2008).Beberapa jenis tanaman semusim atau limbah
pertanian juga memiliki potensi yang baik sebagai bahan
serat selulosa seperti : jerami padi, Helianthus tuberosus
L.,Miscanthus sinensis, Cynara cardunculus L., batang
semu pisang, Ipomea carnea, Cannabis sativa, batang
oak, bambu, Amaranthus caudatus L., Atriplex hortensis
L., Arundo donax L., pelepah kurma dan batang anggur.
Jenis-jenis tumbuhan bawah di lahan gambutyang
cukupberagam, beberapa diantaranya didugamemiliki
potensi yang baik sebagai sumber serat selulosa.
Pemanfaatan tumbuhan bawah untuk bahan kompos,
sumber energi alternatif (bio briket) dan sumber serat
selulosa dalam prakteknya dapat saling melengkapi.
Artinya jika tumbuhan bawah sebagai bahan baku bio
briket membutuhkan materi yang mengandung banyak
lignin yang dicirikan dengan berdaun tebal dan kaku dan
batangnya berkayu. Sebaliknya untuk kompos bahan ideal
yang diperlukan adalah mengandung hijauan, batang
lunak,berdaging dan banyak mengandung air.Sedangkan
jika tumbuhan bawah tersebut banyak mengandung serat
maka cocok digunakan sebagai sumber selulosa.
Gambar di atas adalah sebuah ilustrasi bahwa jika
dimanfaatkan dengan baik tumbuhan bawah di lahan
gambut akan menjadi materi yang bermanfaat. Produk
yang dihasilkan pun cukup beragam dan dapat menjadi
solusi permasalahan di sekitar lahan gambut seperti
kesuburan lahan gambut yang rendah, krisis energi, serta
rendahnya tingkat ekonomi masyarakat karena hanya
mengandalkan mata pencarian yang bersifat eksploitasi
dari alam sekitarnya.Permasalahan kebakaran lahan
setiap musim kemarau dan hilangnya mata pencaharian
masyarakat akibat kerusakan lingkungan mungkin dapat
diatasi dengan memulai memanfaatkan tumbuhan bawah
lahan gambut tanpa kegiatan pembakaran.
Daftar BacaanJimenez, L., Ramos, E., Rodriguez, a., De La Torre, M.J., & Ferrer,
J.L. (2005).Optimization of pulping condition of abaca.An alternative raw material for producing cellulose pulp.Bioresource Technology, 96(9), 77-983. http;//doi.org/10.1016/j.biortech.2004.09.016
Parparita, E., Brebu, M., Azhar Uddin, M., Yanik, J., & Vasile, C. (2014). Pyrolysis behaviour of various biomasses. Polymer Degradation and Stability, 100 (1), 1-9. http://doi.org/10.1016/j.polymdegradstab.1014.01.005
Rodriguez, A., Moral, A., Serrano, L., Labidi, J., & Jimenez, L. (2008). Rice straw pulp obtained by using various methods. Bioresource Technology, 99 (8), 2881-2886. http://doi.org/10.1016/j.biortech.2007.06.003
Susanti, P.D., Wahyuningtyas, R.S. & Ardhana, A. (2015). Pemanfaatan gulma lahan gambut sebagai bahan baku bio-briket. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33 (1), 35-46.
38 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
Wahyuningtyas , R.S., Panjaitan, S. &Susanti, P.D. (2010) Pemanfaatan Gulma Lahan Gambut sebagai pupuk Kompos.Laporan hasil penelitian yang dibiayai Kemenristek th 2010, BPK Banjarbaru. (tidak dipublikasikan).
39BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
LINTAS BERITA
BPK Banjarbaru mengikuti pameran hasil riset dalam Pekan Wisata Ilmiah (PWI) digelar sejak Senin, 19 Oktober 2015 hingga Kamis, 22 Oktober 2015, bertempat di Kampus Badan Litbang dan Inovasi, Gunung Batu Bogor. Rangkaian acara Pekan Wisata Ilmiah meliputi: 1) grand opening secara resmi dibuka oleh Walikota Bogor, 2). Tour fasilitas Badan Litbang dan Inovasi, 3). Pameran hasil riset, 4) Gelar Teknologi, 5). Bedah Buku Iptek, 6). Lomba kreativitas barang bekas, 7). Lomba karya tulis lingkungan hidup dan kehutanan, dan 8). Panggung musik, bazar dan kuliner.
Di tahun 2015 ini BPK Banjarbaru mengadakan Alih Teknologi dengan tema “Teknik Budidaya Gaharu”. Kegiatan ini merupakan sarana diseminasi dan komunikasi BPK Banjarbaru kepada para petani gaharu lingkup Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Alih teknologi ini diselenggarakan selama 3 hari di Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) pada tanggal 27-29 Oktober 2015. Peserta yang hadir 30 orang meliputi Penyuluh kehutanan 5 orang, Staf Dinas Kehutanan 3 orang, Kelompok Tani 22 orang. Materi yang disampaikan meliputi Pengenalan Jenis tanaman penghasil gaharu, Persemaian dan pola tanam, Hama dan penyakit gaharu, Teknik dan proses Inokulasi gaharu, Analisis usaha gaharu, serta Teknik pengolahan pasca panen gaharu. Selain materi, peserta juga melakukan praktek di persemaian dan penyuntikan gaharu.
Inilah moment Bapak Presiden Jokowi beserta istri menanam pohon yang sempat diabadikan pada acara Hari Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI), Bulan Menanam Nasional (BMN) serta hari cinta puspa danSatwa Nasional (HCPSN) di Tahura Sultan Adam. Pada kesempatan tersebut presiden berkesempatan menanam pohon jenis gaharu (Gyrinops versteegii). Turut serta mendampingi beliau ibu Menteri Lingkungan hidup dan kehutanan, ibu Siti Nurbaya yang menanam pohon jenis Durian (Durio zibethinus).
Di akhir tahun 2015, kembali dilaksanakan kegiatan advis teknis di KHDTK Rantau. Tema yang diangkat tentang Teknik pembuatan arang kayu dan budidaya lebah madu. Kegiatan ini dilaksanakan di pendopo desa Beramban yang dihadiri oleh 30 peserta dari masyarakat desa Beramban. Langsung sebagai pemateri terkait arang kayu disampaikan oleh Prof (Ris) Gustan Pari dari Puslithutan Bogor.
39BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015
40 BEKANTAN Vol. 3/No. 2/2015