Download - Candi Prambanan Cuy.. Doc
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda,
kemudian pada tahun 1855 Jan Willem Ijzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu
dan tanah dari bilik candi. beberapa saat kemudian Isaac groneman melakukan pembongkaran besar-
besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang sungai opak Pada
tahun 1902-1903, Theodor Van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918 -1926,
dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang
lebih metodis dan sistematis, sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan
pembongkaran beribu-ribu batu tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.Pada tahun 1926
dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R.
van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada
putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993.
Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak
yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal
75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya
tampak fondasinya saja.
Sekarang, candi ini adalah sebuah situs yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1991.
Antara lain hal ini berarti bahwa kompleks ini terlindung dan memiliki status istimewa, misalkan juga
dalam situasi peperangan.
Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia Tenggara, tinggi bangunan utama adalah
47m. Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil atau candi utama dan lebih daripada 250 candi kecil. Tiga
candi utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara Siwa (Siva) sang
Penghancur, Batara Wisnu (Visnu) sang Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.
Candi Siwa di tengah-tengah, memuat empat ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin.
Sementara yang pertama memuat sebuah arca Batara Siwa setinggi tiga meter, tiga lainnya
mengandung arca-arca yang ukuran lebih kecil, yaitu arca Durga, sakti atau istri Batara Siwa, Agastya,
gurunya, dan Ganesa, putranya.
Arca Durga juga disebut sebagai Rara atau Lara/Loro Jongrang (dara langsing) oleh penduduk
setempat. Untuk lengkapnya bisa melihat di artikel Loro Jonggrang.
Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Batara Wisnu, yang menghadap ke arah utara dan
satunya dipersembahkan kepada Batara Brahma, yang menghadap ke arah selatan. Selain itu ada
beberapa candi kecil lainnya yang dipersembahkan kepada sang lembu Nandini, wahana Batara Siwa,
sang Angsa, wahana Batara Brahma, dan sang Garuda, wahana Batara Wisnu.
Lalu relief di sekeliling dua puluh tepi candi menggambarkan wiracarita Ramayana. Versi yang
digambarkan di sini berbeda dengan Kakawin Ramayana Jawa Kuna, tetapi mirip dengan cerita
Ramayana yang diturunkan melalui tradisi lisan. Selain itu kompleks candi ini dikelilingi oleh lebih
dari 250 candi yang ukurannya berbeda-beda dan disebut perwara. Di dalam kompleks candi
Prambanan terdapat juga museum yang menyimpan benda sejarah, termasuk batu Lingga batara Siwa,
sebagai lambang kesuburan.
Orang bijak mengatakan, "Sejarah adalah masa lalu, masa kini adalah waktu yang harus dijalani
dan masa depan adalah misteri". Namun sejatinya kalau kita mau lebih arif lagi, ketiga masa tersebut
adalah sebuah satu kesatuan yang saling terhubung dan mempengaruhi satu sama lain. Peninggalan-
peninggalan purbakala yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara memberikan gambaran yang nyata
betapa kayanya warisan budaya Bangsa Indonesia yang harus digali dan dijaga.
Candi Panataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian
yang terluas di kawasan Jawa Timur. Berdasarkan laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor
2045 dan catatan Verbeek nomor 563, merupakan bangunan kekunaan yang terdiri atas beberapa
gugusan sehingga disebut Komplek Percandian. Lokasi bangunan candi ini terletak di lereng barat-daya
Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dpl (di atas permukaan air laut), di desa yang juga
bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari Kota Blitar
atau kurang lebih setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Dengan jalan yang relatif mulus
dan cukup lebar hingga di depan komplek candi.
Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi
sampai tahun 1850 belum banyak dikenal.
Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles
(1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah
kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia.
Raffles bersama-sama dengan Dr.Horsfield seorang
ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi
Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam
buku yang berjudul "History of Java" yang terbit
dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari
diikuti oleh para peneliti lain yaitu : J.Crawfurd
seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya
Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884),
Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di
komplek percandian Panataran.
Memasuki areal Candi, di pintu utama kita akan disambut dua buah arca penjaga pintu atau
disebut dengan Dwaraphala yang dikalangan masyarakat Blitar terkenal dengan sebutan "Mba Bodo".
Yang menarik dari arca penjaga ini bukan karena arcanya yang besar, namun karena wajahnya yang
menakutkan (Daemonis). Pahatan angka yang tertera pada lapik arca tertulis dalam huruf Jawa Kuno :
tahun 1242 Saka atau kalau dijadikan Masehi (ditambah 78 tahun) menjadi tahun 1320 Masehi.
Berdasarkan pahatan angka yang terdapat pada kedua lapik arca, bahwa bangunan suci palah (nama
[navigasi.net] Budaya - Candi PenataranBatu Prasasti
lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) baru pada jaman Raja
Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
Di sebelah timur Arca terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari bahan batu bata merah.
Bangunan penting lainnya yang terdapat disekitar gerbang adalah bangunan yang berbentuk persegi
panjang yang disebut dengan Bale Agung. Kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya
tinggal tatanan umpak-umpak saja. Sebuah bangunan persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari
Bale Agung adalah Pendopo Teras atau batur pendopo yang berupa candi kecil berangka tahun yang
disebut Candi Angka Tahun, dimana bangunan-bangunan tersebut terbuat dari bahan batu andesit.
Di sebelah selatan bangunan candi masih
berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu bertulis.
Prasasti ini menggunakan huruf Jawa Kuno
bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang
dikeluarkan oleh Raja Srengga dari Kerajaan Kediri.
Isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian
sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka
Batara Palah (Candi Panataran). Jadi proses
pembangunan komplek Candi Panataran memakan
waktu sekurang-kurangnya 250 tahun, dimana mulai
dibangun tahun 1197 pada jaman Kerajaan Kediri
sampai tahun 1454 pada jaman Kerajaan Majapahit.
Candi berikutnya adalah Candi Naga yang
terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter.
Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan fitur-fitur atau tokoh-tokoh seperti
raja sebanyak sembilan buah. Diantara bangunan candi yang paling besar adalah candi induk, yang
terletak dibagian yang paling belakang yaitu bagian yang dianggap suci. Bangunan candi induk terdiri
dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter. Pada masing-masing sisi kedua tangga
naik ke teras pertama terdapat arca Dwaraphala, pada alas arca terdapat angka tahun 1269 Saka atau
1347 Masehi.
Pada bagian paling belakang candi terdapat kolam suci, yang konon ceritanya adalah kolam
yang dipergunakan sebagai tempat ibadah ritual. Sisa-sisa kemewahan masa lampau memang masih
terlihat dari bangunan kolam mini ini. Kolam yang berukuran sekitar 2 x 5 meter ini terlihat bersih dan
[navigasi.net] Budaya - Candi PenataranPintu kasuk candi yang diapit sepasang Arca Dwarapala
tertata bagus. Membutuhkan waktu sekitar kurang lebih 1 jam untuk menelusuri keseluruhan areal
Candi Panataran. Karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Kota Blitar sekaligus masih satu jalur
dengan tempat wisata ziarah Makam Bung Karno, maka jika kebetulan anda berkunjung ke Blitar tak
ada salahnya untuk menyempatkan waktu berkunjung ke Candi Panataran sebagai salah satu wujud
penghargaan terhadap sejarah. (By AMGD)
RIWAYAT PENEMUAN
Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya agama
Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha begitu saja di tinggalkan
oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu di
lupakan orang-orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya
bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun
longsoran tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di sana sini.
Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi lebih parah lagi. Batu -
batu candinya di bingkar orang dari susunannya untuk keperluaan alas bangunan rumah atau pengeras
jalan, sedangkan batu bata yang di tumbuk untuk dijadikan semen merah. Sejumlah batu-batu berhias
dan juga arca-arca di ambil oleh sinder - sinder perkebunan. Keadaan yang menyedihkan ini
berlangsung cukup lama, sampai datangnya para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Dengan
keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan rekonstruksi dan pemugaran.
Demikian juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu. Candi Penataran di
temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal. Penemunya adalah Sir
Thomas Stamford Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur jendral kolonial Inggris yang berkuasa di
negara kita pada waktu itu.
Raffles bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi
Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya yang cukup terkenal “History of Java” yang
terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini kemudian di ikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang
asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan
Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan inventarisasi di komplek
percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la Porte bersama dengan J. Knebel seorang asisten
residen mengadakan penelitian atas Candi Panataran dan hasil penelitian di bukukan dalam bukunya
yang terbit 1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama Oudheidkundige
Dienst (biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka penanganan atas candi Penataran
menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama dengan peninggalan kuno yang lain yang berada di Jawa
Timur, Pemeliharaan, Perlindungan, Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.
PENDAHULUAN
Nama Candi Penataran kiranya tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita terutama bagi
masyarakat Jawa Timur. Nama tersebut sudah begitu lekat dan akrab sehingga tidak jarang digunakan
orang sebagai mana jalan, toko, depot, dan nama badan - badan usaha lainnya. Orang mempergunakan
nama “ Candi Penataran” (yang kadang tanpa kata “candi” di depannya) barangkali di dorong oleh rasa
kagum akan masa gemilang yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita di masa lalu, sisa-sisa bekas
kegemilangan itu masih dapat kita saksikan peninggalannya sampai sekarang. Dengan menggunakan
nama ini diharapkan dapat membawa sukses besar pada pemakainya disamping untuk melestarikan
nama yang mempunya nilai historis itu. Penggunaan nama Candi Penataran itu memang tidak salah
pilih walaupun bagi Shakespeare tidak pernah ambil peduli apakah arti sebuah nama.
Candi Penataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian
terluas di kawasan Jawa Timur, hampir sepanjang hari tidak pernah sepi pengunjung. Menurut catatan
jumlah pengunjung umum rata-rata dalam satu bulan sekitar 20.000 sampai 25.000 orang, suatu jumlah
yang tidak dapat dikatakan kecil sementara jumlah pengunjung candi-candi yang lain rata-rata dalam
satu bulan sekitar 5.000 orang saja. Wisatawan - wisatawan asing yang datang di Jawa Timur dalam
kunjungannya ke Blitartidak lupa menyempatkan diri berkunjung ke Candi Penataran. Kekunaan ini
paling banyak di tulis orang, sumber inspirasi bagi para seniman, lahan yang lumayan bagi para penjaja
makanan dan barang - barang cindera mata.
Sebagai suaka budaya yang dilundungi undang-undang, Candi Penataran tergolong dalam
monumen mati (dead monument) artinya tidak ada kaitannya lagi dengan agama atau kepercayaan yang
hidup dewasa ini. Bangunan percandian tidak lagi berfungsi sebagaimana sewaktu dibangun semula.
Kontak yang terjadi antara pengunjung dan kekunaan adalah dalam rangka penikmatan seni dan budaya
serta ilmu pengetahuan. Candi tidak lagi sebagai tempat untuk ibadah dan bukan tempat semedi atau
meditasi. Pemugaran-pemugaran candi yang telah memdapat perhatian pemerintah sejak Pelita II
adalah dalam Rangka menyelamatkan bangunan dari kerusakan yang lebih fatal bukan untuk
menghidupkan kembali tradisi lama.
Apabila karena sesuatu hal sebuah candi atau monument runtuh berarti kita telah kehilangan
bukti sejarah yang autentik, kehilangan tersebut tidak akan dapat diganti oleh yang lain untuk selama-
lamanya. Kini 500 tahun lebih telah berlalu, komplek percandian Penataran masih tegak berdiri di
tempat semula.
LOKASI
Candi Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914 - 1915 nomor 2045 dan
catatan Verbeek nomor 563. Bangunan kekunaan terdiri atas beberapa gugusan sehingga lebih tepat
kalau disebut komplek percandian. Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada
ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Panataran,
kecamatan Nglegok, Blitar. Untuk sampai di lokasi percandian dapat di tempuh dari pusat kota Blitar
ke arah utara yaitu kejurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari kota sampai lokasi
diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan.
Apabila di tempuh dari kota Blitar, setelah perjalanan mencapai 10 km, sampailah kita di pasar
Nglegok, kemudian di teruskan sampai pasar desa Panataran. Disini jalan bercabang dua, yaitu belok
ke kanan menuju desa Modangan sedangkan yang belok kekiri menuju yakni jalan menuju ke barat
adalah langsung menuju ke percandian. Dari pertigaan pasar Panataran sampai ke lokasi hanya tinggal
300 m.
Bagi pengunjung yang datang dari malang tidak perlu masuk sampai kota, sebab dapat
ditempuh dari pertigaan desa Garum belok kanan sejauh ± 5 km sudah sampai lokasi. Hanya fasilitas
jalannya tidak terlalu lebar.
SUSUNAN UMUM KOMPLEK PERCANDIAN
Dalam garis besarnya susunan umum komplek percandian Penataran dapat diuraikan sebagai di
bawah ini.
Menurut catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar dari
barat laut ke timur kemudian berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman komplek percandian
kecuali halaman yang berada di bagian tenggara di bagi-bagi (disekat) oleh dua jalur dinding yang
melintang dari arah utara ke selatan sehingga membagi halaman komplek percandian menjadi tiga
bagian yang untuk mudahnya yang berturut-turut akan di sebut sebagai: halaman A untuk halaman I,
halaman B untuk halaman II, dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek
percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek moyang kita. Sebagian
dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi lagi oleh dinding yang membujur arah timur -
barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh
tembok keliling belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya pondasi - pondasinya saja.
Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh, yang nampak sekarang
adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling kekunaan. Tembok
keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah, sehingga karena perjalanan waktu yang
cukup lama menyebabkan keruntuhannya.
Susunan komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu
dengan yang lain berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya agak
membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan bangunan pura yang ada di Bali. Dalam
susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak paling belakang adalah yang paling suci karena di
sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada
di bagian candi yang paling belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur
perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan makin
ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman komplek percandian yang
sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat. Dengan menuruni tangga
masuk yang berupa undak-undakan sampailah kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan
diri sebelum masuk halaman komplek percandian. disini terdapat dua buah arca penjaga pintu
(Dwaraphala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Bodo” yang menarik
dari kedua arca penjaga ini bukan karena ukurannya yang besar dan wajahnya yang menakutkan
(daemonis) tetapi pahatan angka tahun tertulis dalam huruf Jawa Kuno: tahun 1242 Saka atau kalau di
jadikan mesehi (ditambah 78 Tahun) menjadi 1320 Masehi.
Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para
sarjana berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran) di resmikan menjadi
kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegaradari Majapahit yang memerintah pada tahun
1309 - 1328 AD. Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat
sisa-sisa pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut Jonathan
Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang
ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A. Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas
bangunan yang hanya tinggal pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah. Melihat
banyaknya umpak - umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa dahulu terdapat bangunan -
bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat kita jumpai di Bali. Berapa banyak
bangunan yang menggunakan tiang - tiang kayu belum dapat diketahui dengan pasti.
bangunan -bangunan penting yang terletak di halaman A adalah sebuah bangunan yang berbentuk
persegi panjang yang disebut dengan nama “Bale Agung”, kemudian bangunan bekas tempat pendeta
yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja, sebuah bangunan berbentuk persegi empat dalam
ukuran yang lebih kecil dari bangunan bale agung yang di sebut dengan nama “pendopo teras” atau
“batur pendopo” dan bangunan yang berupa candi kecil berangka tahun yang di sebut candi Angka
tahun. Bangunan - bangunan tersebut seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Menurut halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang bagian depannya di jaga
oleh dua buah arca dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua arca dwarapala ini pada lapik arca
nya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Saka atau 1319 Masehi. Peristiwa apa yang
dikaitkan dengan angkat tahun ini belum diketahui. Di Halaman B masih dapat di saksikan sekitar 7
buah bekas bangunan, ada bangunan yang terbuat dari bahan bata merah dan ada juga bangunan yang
terbuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut enam buah diantaranya
sudah tidak dapat dikenali lagi bentuknya. Satu satunya bangunan yang cukup di kenal adalah Candi
Naga, di sebut demikian karena sekeliling tubuh bangunan tersebut di lilit ular Naga. Bangunan Candi
Naga seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Halaman terakhir adalah halaman C, di situ juga terdapat bekas pintu gerbang yang bagian
depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan, dua buah yang
sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk, tujuh bangunan yang lain sementara ini belum
terungkapkan.
Disebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu bertulis.
Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini para ahli menduga batu tersebut masih berada di tempat
aslinya. Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi di keluarkan
oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian
sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana berpendapat bahwa
yang dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah
adalah Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran memakan
waktu sekurang-kurangnya 250 tahun. di bangun dari 1197 Masehi pada jaman kerajaan Kediri sampai
tahun 1454 pada jaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan
sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang
lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama runtuh.
Masih ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya masih ada
hubungannya dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa
sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di sebelah tenggara dan
sebuah kolam lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut
komplek percandian.
CERITA - CERITA SINGKAT RELIEF - RELIEF
Sejumlah bangunan purbakala di Jawa Timur dindingnya berpahatkan relief-relief cerita dalam
kombinasi berbagai ragam hias yang indah dan menarik. Relief-relief tersebut dipahatkan pada
bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras dan juga dipahatkan pada bangunan-bangunan
yang di buat dari bahan bata merah walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Pada umumnya relief-relief gaya Jawa Timur berbentuk agak pipih (gepeng) seperti wayang, berbeda
dengan relief-relief gaya Jawa Tengah yang berbentuk naturalis atau realistik dalam arti mendekati
bentuk model yang sebenarnya. Dengan melalui visualisasi relief-relief ininenek moyang kita atau
seniman ingin menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan tersebut
dapat berupa cerita yang didalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan,
tentang cinta kasih dan sebagainya. Juga berupa tutur yakni dongengan yang bersifat mendidik. Dan
tidak mustahil bila di antara sekian banyak relief ada yang menggambarkan semacam protes sosial
yang terjadi pada zamannya. Studi tentang relief memang menarik sebab dari sinilah kita dapat melihat
gambaran sebagian dari kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu, tentang kehidupan masyarakat
sehari-hari, tentang model-model bangunan, tentang berbagai pola ragam hias, tentang filsafat dan
kepercayaan nenek moyang pada waktu itu. Untuk pembacaan suatu adegan dalam relief dapat
mengikuti arah jarum jam yang juga di sebut pradaksina dan juga dapat kebalikannnya yakni
berlawanan dengan arah jarum jam yang di sebut prasawnya. Jadi ada yang berurutan dari kiri ke kanan
atau sebaliknya. Di komplek percandian penataran relief-relief yang terdapat di dinding-dinding
pendopo teras pada bidang atau panil-panil tertentu di bagian atasnya terdapat tulisan singkat dalam
huruf jawa kuno yang diduga merupakan petunjuk bagi para pemahat cerita apa yang harus
digambarkan. Beberapa tulisan singkat yang telah berhasil dibaca memang sesuai dengan adegan yang
dilukiskan dalam relief tersebut. Tulisan-tulisan singkat seperti ini juga terdapat di candi Borobudur.
Adapun relief-relief di komplek percandian Penataran yang telah diketahui jalan ceritanya
seperti di bawah ini.
Sang Setyawan
Sri Tanjung
Bubuksah - Gagang Aking
Ramayana (Hanoman Duto)
Kresnayana
Pemburu yang tertipu
Kura-kura yang sombong
Lembu dan Buaya
Relief: Sang Setyawan
Lokasi: dinding sisi timur bangunan pendopo teras
Urutan adegan: Prasawya, dari kiri ke kanan dimulai dari sudut tenggara terdiri dari sekitar 18 panil
Cerita singkat:
Adalah seorang penduduk khayangan bernama Sang Setyawan seseorang yang dikisahkan
mempunyai sifat-sifat patuh dan setia sehingga bersedia mengerjakan segala pekerjaan sampai
pekerjaan yang dipandang hina sekalipun. Pada suatu ketika Sang Setyawan menghadap di kerajaan
Pus - pa Tan Alum, rajanya bernama Jayati dari negeri Kertanirmala. Sang raja terpikat oleh sifat-sifat
Sang Setyawan sehingga dengan senang hati ia menjodohkan dengan putrinya yang bernama Suwistri.
Tibalah saatnya Sang Setyawan meninggalkan istrinya untuk pergi bertapa. Suwistri bersama abdinya
yang bernama Sucita mencarinya ke hutan. Begitu melihat istrinya datang dari kejauhan, Sang
Setyawan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ular dan harimau untuk membuat Suwistri takut.Ternyata
Suwistri tenang-tenang saja. Begitu juga sewaktu digoda oleh pertapa-pertapa yang sedang
mengerjakan sawah mereka jatuh cinta pada Suwistri dan saling berkelahi. Sang Setyawan kemudian
menciptakan sebuah pertapaan yang indah dan kemudian mengganti namanya dengan Cilimurti.
Suwistri kemudian dijadikan pertapa dan diberi pelajaran hal ihwal yang menyangkut kebiaraan.
Setelah selesai menuntut pelajaran tersebut kemudian ia menjadi satu dengan Cilimurti yang ternyata
adalah Sang Hyang Wenang. Tersebutlah kemudian orang tua Suwistri bersama istrinya yang bernama
Dewayani kemudian pergi untuk mencari anaknya. Akhirnya diketahui bahwa anaknya telah bersatu
dengan Sang Hyang Wenang. Raja Jayanti bersama istrinya kemudian mengikuti jejak anaknya untuk
menjadi pertapa. Atas perintah Sang Hyang Wenang mereka diperintahkan untuk menuju ke gunung
Meru, raja Jayanti di bagian Timur sedangkan Dewayanti di bagian barat.
Relief: Sri Tanjung
Lokasi: dinding sisi barat kemudian terus berlanjut pada dinding sisi selatan pada bangunan pendopo
teras.
Urutan Adegan: prasawya, dimulai dari dinding sebelah kanan tangga masuk sebelah selatan.
Cerita Singkat: Dikisahkan, adalah Pangeran Sidapaksa salah seorang turunan Pandawa yang mengabdi
pada prabu Sulakarma di negeri Sindurejo. Pada suatu ketika Sidopaksa diutus sang prabu untuk
mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama Tambapetra di desa Prangalas.Obat pesanan
sang prabu memang tidak diperoleh malah Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang
bernama Sri Tanjung. Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang memang cantik rupawan.
Kecantikan Sri Tanjung terdengar pula oleh sang prabu dan berminat untuk berbuat yang tidak
senonoh. Dicarinya akal untuk memperdaya Sidapaksa dengan diutus kekhayangan dengan maksud
supaya dibunuh para dewa sesuai dengan bunyi surat yang dibawakannya. Memang dikhayangan
Sidapaksa sempat dihajar oleh para dewa dan hampir saja dibunuhnya. Pada saat-saat kritis Sidapaksa
menyebut-nyebut nama Pandawa, akibatnya ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya ia adalah keluarga
sendiri. Sidapaksa kembali dari khayangan dengan selamat. Sementara Sidapaksa berangkat ke
khayangan, prabu Sulakrama berusaha menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil.
Merasa malu kemudian sang prabu menempuh jalan lain dengan memfitnah Sidapaksa. Dikatakannya
bahwa selama ia pergi kekhayangan istrinya telah berbuat serong. Fitnah ternyata berhasil membuat
Sidapaksa kalap dan sebagai puncak kemarahannya istrinya kemudian dibunuh.
Diceritakan dalam perjalanan ke alam roh Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain diceritakan naik
buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas. Di sana ia bertemu dengan Betari Durga,
karena belum waktunya meninggal maka sang betari ia dihidupkan kembali. Sri Tanjung kemudian
kembali ke Desa Prangalas.
Tersebutlah Sidapaksa yang mengetahui bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah sebagaimana
diucapkan sesaat sebelum merenggang nyawa, menjadi sakit saraf dan hampir-hampir saja bunuh diri.
Kemudian datanglah Betari Durga yang menyuruh Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri
Tanjung. Terjadi kesepakatan, Sri Tanjung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala
Prabu Sulakrama. Permintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan kepala sang prabu dijadikan alas kaki
(keset = bahasa Jawa) Sri Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia.
Relief: Ramayana (Hanoman Duto)
Lokasi: Dinding teras pertama candi induk, mengelilingi dinding teras.
Urutan Adegan: Prasawnya, dimulai dari dinding sisi utara yang menghadap ke barat terus melingkar
kembali ke dinding utara yang menghadap ke utara jumlahnya sekitar 91 panil.
Cerita Singkat: Hanoman salah satu pimpinan kera kepercayaan sugriwa pada suatu ketika diutus ke
alengka tempat istana Rahwana untuk mencari sinta. Dengan jalan mendaki gunung kemudian
menyebrangi lautan sampailah ia di istana Rahwana. Sementara Hanoman bersembunyi di atas pohon,
kemudian setelah keadaan memungkinkan ia menyelinap kedalam istana untuk menyerahkan cincin
titipan Rama. Sewaktu keluar istana Hanoman kepergok penjaga istana hingga terjadilah perkelahian.
Hanoman mengamuk merusak taman, kejadian ini dilaporkan kepada Rahwana. Bala bantuan di kirim,
pertempuran sengit terjadi. Banyak korban berjatuhan bahkan Aksa anak rahwana sampai patah tulang
tangannnya. Pasukan berikutnya di pimpin oleh Indrajid yang mempergunakan panah ular (panah
berantai). Dengan panah ini hanoman berhasil di belenggu, ekornya di bungkus kain kemudian
dilumuri minyak terus dibakar. Tentu saja membuat Hanoman meronta-ronta, dengan bergulung-gulung
belenggu dapat dilepaskan. Dalam keadaan terbakar ekornya ia melompat kian kemari, melompat ke
atas hubungan rumah sehingga seluruh istana terbakar. Suasana istana menjadi gempar, sebelum
meninggalkan tempat, Hanoman sempat pamitan kepada Sinta. Hanoman kemudian lapor kepada Rama
dan Laksmana. Sugriwa diperintah untuk mengerahkan pasukan kera. Dengan menembok samudra
pasukan kera berhasil membangun jembatan yang menuju ke alengka. Setelah persiapan selesai bala
tentara kera dipimpin oleh sugriwa, Laksmana dan Rama menyerang alengka.
Korban banyak berjatuhan diantara dua pihak. Dalam pertempuran ini Laksmana berhasil memanah
Kumbokarno hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk menumpas sisa-sisa
pasukan.
Relief: Kresnayana (Noroyono Maling)
Lokasi: Dinding teras kedua candi induk
Urutan Adegan: Pradaksina, dari kanan terus ke kiri
Cerita Singkat: Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah dipertunangkan
dengan Suniti raja dari negeri Cedi. Pertunangan ini tidak disetujui oleh ibu Rukmini yang
menginginkan putrinya dapat dijodohkan dengan Kresna. Ibu Rukmini berusaha untuk menggagalkan
perkawinan ini. Sewaktu perkawinan akan berlangsung ibu Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini
keluar istana menuju pintu gerbang Sri Manganti, kemudian disambut oleh Kresna utnuk dibawa lari.
Suasana istana gempar, terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini
Rukma adik Rukmini terkena panah Kresna kemudian terjungkal jatuh. Rukmini minta kepada Kresna
supaya adiknya tidak dibunuh. Kresna dan Rukmini kemudian pergi ke Dwarawati, mereka hidup
bahagia.
Candi Panataran adalah sebuah Candi berlatar belakang Hindhu (Siwaitis) yang terletak di Jawa
Timur, tepatnya di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar. Kompleks candi ini
merupakan yang terbesar di Jawa Timur. Candi ini mulai dibangun dari kerajaan Kadiri dan
dipergunakan sampai dengan kerajaan Majapahit. Candi Penataran ini melambangkan penataan
pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur.
Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas
permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan Nglegok, Blitar. Bangunan-
bangunan Candi Penataran itu berada dianggap tanah yang suci karena mengandung kekuatan-kekuatan
gaib. Tetapi yang dianggap paling suci ialah titik pusat tanah atau halaman Candi Penataran dimana
segala macam tenaga gaib bersatu dan perpusat. Pusat ini dianggap sebegitu keramatnya sehingga
bangunan Candi induk pun tidak diperkenankan menutupinya.
Riwayat Penemuan
Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya agama
Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha begitu saja di tinggalkan
oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu di
lupakan orang orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya
bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun
longsoran tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di sana sini.
Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi lebih parah lagi. Batu - batu
candinya di bingkar orang dari susunannya untuk keperluaan alas bangunan rumah atau pengeras jalan,
sedangkan batu bata yang di tumbuk untuk dijadikan semen merah.
Candi Penataran
Sejumlah batu-batu berhias dan juga arca-arca di ambil oleh sinder - sinder perkebunan.
Keadaan yang menyedihkan ini berlangsung cukup lama, sampai datangnya para peneliti pada sekitar
permulaan abad XIX. Dengan keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan
rekonstruksi dan pemugaran. Demikian juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu.
Candi Penataran di temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal.
Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur jendral kolonial Inggris
yang berkuasa di negara kita pada waktu itu. Raffles bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu
Alam mengadakan kunjungan ke Candi Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya
yang cukup terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini kemudian di ikuti
oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van meeteren
Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866
mengadakan inventarisasi di komplek percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la Porte
bersama dengan J. Knebel seorang asisten residen mengadakan penelitian atas Candi Panataran dan
hasil penelitian di bukukan dalam bukunya yang terbit 1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama Oudheidkundige
Dienst (biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka penanganan atas candi Penataran
menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama dengan peninggalan kuno yang lainyang berada di Jawa
Timur, Pemeliharaan, Perlindungan, Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.
Susunan Umum Komplek Percandian
Candi Panataran merupakan satu kompleks yang terdiri dari pelbagai unsur yaitu pagar,
halaman, pemandian, candi-candi, lantai-lantai/batur bangunan, arca-arca, relief dan lain-lain.
Kompleks candi yang luasnya hampir 1,5 ha itu terdiri atas tiga halaman. Seperti halnya Candi Sukuh
di Jawa Tengah dan pura di Bali tiga halaman itu dalam formasi berbaris, yang satu di belakang yang
lain. Bagian yang paling penting atau paling suci terletak pada baris paling belakang.
Arca Dwarapala
Sebelum memasuki halaman I pengunjung melewati gerbang masuk yang dihias sepasang arca
dan raksasa penjaga pintu (Dwarapala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan
“Mbah Bodo” dengan sikap mengancam dan berpahatkan angkat tahun 1242 Saka (1330 M). Di
halaman I terdapat dua batur bangunan sejenis pendopo yang dindingnya berhias dan sebuah batur
bangunan kecil. Bagian atas ketiganya itu sudah tiada lagi. Adanya umpak-umpak batu memberi
petunjuk bahwa bangunan di atasnya dahulu bertiang kayu dan beratap dengan bahan mudah lapuk.
Disamping itu terdapat candi yang relatif masih utuh, bentuknya khas gaya candi-candi Jawa Timur
dengan atapnya yang berundak menjulang tinggi. Angka tahun 1291 Saka (1269 M), yang terpahat
nyata di atas pintu menyebabkan candi ini disebut Candi Angka Tahun. Di halaman I ini juga terdapat
sepasang candi kecil.
Pada halaman II kita jumpai lagi sepasang dwarapala yang berukuran lebih kecil. Pada halaman
II ini ada dua batur bangunan berbentuk empat persegi panjang dan satu candi yang disebut Candi
Naga. Candi ini telah dipugar tahun 1917-1918 dalam keadaan tidak beratap lagi, rupanya juga terbuat
dari bahan yang mudah lapuk. Yang istimewa ialah hiasan naga yang melingkari tubuh candi disangga
oleh sembilan tokoh Dewata. Naga ini sangat mungkin perwujudan Sang Hyang Basuki yang mengikat
gunung Mandara (giri) mangaduk lautan susu dalam usaha para Dewa untuk mencari tirta amarta (air
kehidupan abadi) dalam mitos Samudra-manthana. Karena menonjolnya tokoh naga itulah mengapa
candi itu disebut Candi Naga.
Di halaman III terdapat candi induk atau candi utama diantara semua candi yang terdapat di
kompleks itu. Keadaan sekarang tinggal bagian kaki saja, namun masih cukup rapi dan anggun berkat
pemugaran tahun 1917-1918. Badannya yang masih menanti unsur-unsur kelengkapannya kini
tertimbun di bawah dalam bentuk susunan percobaan. Kaki candi ini menyerupai punden berundak
teridir atas tiga teras yang dihubungkan oleh tangga. Pada alas arca penjaga terdapat angka tahun 1239
Saka (1317 M). Candi induk ini kaya sekali akan hiasan berupa arca, relief, miniatur candi, lengkung-
lengkung tepian tangga, hiasan sudut dan lain-lain. Reliefnya sendiri bermacam-macam, ada yang
rangkaian cerita, panil-panil atau ragam penghias bidang. Ragam hias yang penting di sana adalah
tumpal, binatang, sulur-sulur, medalion, garuda dan lain-lain. Relief manusia dan hewan umumnya
tampak samping seperti wayang kulit, gaya seperti itu juga ciri khas periode Jawa Timur. Bagian ini
memang asyik untuk dilihat, diresapi dan dihayati sebab semua hiasan ini ternyata kecuali indah juga
mengandung makna simbolis-filosofis yang menunjang suasana dan makna candi ini seutuhnya sebagai
suatu bangunan suci. Dari halaman III melalui jalan setapak kita dapat turun ke kolam dengan airnya
yang jernih, yang pada dindingnya dipahatkan relief.
Relef Candi Penataran
Relief, apalagi yang berbentuk cerita, sungguh mengasyikkan sebab menyimpan ajaran moral
seperti kepahlawanan, keikhlasan berkorban dan keagamaan. Salah satu batur bangunan di halaman I
penuh hiasan relief mengelilingi seluruh dindingnya. Yang sudah dapat diidentifikasi oleh pakar
kepurbakalaan ada tiga cerita, yaitu: Bubuksah dan Gagangaking, Sang Setyawan dan Seri Tanjung.
Pada dinding candi induk antara lain terdapat relief epos Ramayana (episode Hanuman Obong hingga
gugurnya Kumbakarna) pada teras pertama dan cerita Kresnayana pada teras kedua yakni tentang
kisah-kisah Sri Kresna dan Rukmini sebagai penjelmaan Batara Wisnu dan Dewi Sri. Menonjolnya
tokoh Rama Kresna yang keduanya penjelmaan Wisnu dan juga tokoh Garuda sebagai wahananya
khusus (mungkin yang utama) pada candi ini. Pada dinding kolam dipahatkan ceritera binatang (fabel)
dengan tokoh kura-kura, buaya, kerbau dan lain-lain.
Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan
lama nenek moyang kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi lagi oleh
dinding yang membujur arah timur - barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah
halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang
tinggal hanya pondasi - pondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak
lama runtuh, yang nampak sekarang adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas
pagar keliling kekunaan. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah,
sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya. Susunan komplek
percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lain berhadap-
hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya agak membingungkan. Susunan bangunan mirip
dengan susunan bangunan pura yang ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang
terletak paling belakang adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau
bangunan induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang paling belakang
yakni bagian yang paling dekat dengan gunung.
Di Jawa Timur perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras
dengan susunan makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman
komplek percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat..
Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para
sarjana berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran) di resmikan menjadi
kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada
tahun 1309 - 1328 Masehi. Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi
terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut
Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu
gerbang ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A. Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah
bekas bangunan yang hanya tinggal pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah.
Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi di keluarkan oleh
Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah
perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana berpendapat bahwa yang
dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah
Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran memakan waktu
sekurang-kurangnya 250 tahun. di bangun dari 1197 Masehi pada jaman kerajaan Kediri sampai tahun
1454 pada jaman kerajaan Majapahit.
Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan
raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama
runtuh. Masih ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya masih ada
hubungannya dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa
sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di sebelah tenggara dan
sebuah kolam lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut
komplek percandian.
Candi penataran dibangun berhubung dengan adanya Gunung kelud yang selalu mengancam
ketentraman kehidupan kerajaan. Karena itu Candi Penataran bersifat Candi Gunung, ialah Candi yang
diperuntukkan bagi pemujaan Gunung atau untuk menghindarkan segala malapetaka yang dapat di
sebabkan oleh gunung. Nama Penataran kemungkinan besar bukan nama Candinya tetapi nama
Statusnya sebagai Candi di Pusat Kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan
Penataran, misalnya Pura Panataransasih, Pura Panataran Besakih. Kata "natar" berarti pusat sehingga
Penataran berarti Candi Pusat. Nama yang sebenarnya belum diketahui.
Pada halaman tengah hadir Candi Naga sebagai bangunan yang paling dominan. Ada ular besar
yang di pahat diatas tubuh candi ini. Kemudian hadir candi induk yang berarsitektur tiga tingkat. Pada
tingkat pertama terdapat relief Ramayana dengan adegan Anoman mengamuk di Langka. Pada tingkat
ke dua di ukir cerita Krishnayana, mengisahkan legenda Krisna dan Istrinya Rukmini. Di tingkat tiga
hadir pahatan naga dan singa bersayap yang amat indah. Ada dua pemandian dengan angka 1337 Syaka
(1415 M) di bagian halaman Timur dan Barat.Dibanding dengan candi-candi lainnya di Jawa Timur,
Candi Panataran termasuk lengkap unsur-unsurnya dan meliputi kurun waktu yang cukup lama. Di
samping itu, memang banyak hal yang menarik pada candi ini sehingga banyak dipelajari dan
dikunjungi oleh orang.
Lintasan Sejarah
Prasasti yang ditemukan di halaman candi ini berangka tahun 1119 Saka (1197 M),
memberitakan bahwa raja Kertajaya (Raja Kediri/Daha terakhir) setiap hari melakukan pemujaan
kepada Batara di Palah. Nama Palah juga kita jumpai di halaman kita Nagarakartagama dari Majapahit
yang menyebutkan bahwa raja Hayam Wuruk pada tahun 1283 Saka (1361 M) melakukan kunjungan
ke Candi Palah dalam rangka perjalanan keliling di Jawa Timur. Jadi nama candi itu adalah Candi
Palah. Setelah nama palah dilupakan orang, timbul nama Candi Panataran, sesuai dengan nama
desanya.
Pada beberapa bagian candi ini terdapat angka tahun, seperti 1239 Saka/1317 M pada candi
induk 1224 Saka/1330 M. Pada Candi Angka Tahun dan 1291 Saka/1369 M pada Dwarapala di
gerbang pertama. Ini menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya antara akhir abad ke-12 hingga
pertengahan abad 14 (1197-1369 M). Candi ini terus menerus berfungsi. Meskipun data bangunan
maupun data sejarah candi ini masih diupayakan terus kelengkapannya, namun dibandingkan dengan
candi-candi lain Candi Panataran sudah termasuk lebih lengkap.
Makna dan guna
Di Panataran tampak jelas bahwa secara geometris setiap bangunannya mirip dengan komplek
candi Prambanan. Tiga bangunan candi ditengah dipisahkan satu sama lain dengan tembok batu dan
terletak berdampingan. Sejauh yang bisa diperkirakan dari sisa sisa pondasi yang tertinggal, pada
bagian pertama ada 2 bangunan dari kayu yang saat ini sudah tidak ada lagi. Dinding luar dari satu sisi
teras seluruhnya diliputi oleh relief yang menceritakan mengenai kidung. Dibangian ini juga ada candi
kecil yang bertahun Saka 1291 atau sama dengan 1369 M.
Kecuali penting karena letaknya yang strategis ini, Blitar juga penting artinya bagi agama di
zaman kuno. Tidak kurang dari sepuluh bangunan suci tersebar di daerah Blitar. Diantara bangunan
bangunan suci ini, maka bangunan suci di Penataranlah yang tersebar dan terpenting, karena candi
Penataran itu merupakan candi di Negara (status tample) atau candi pusat kerjaan. Adanya Candi
Penataran di mulai ketika Raja Kertajaya yang juga disebut Crengga mempersembahkan sima untuk
pemujaan "sira paduka bhatara Palah". Prasasti ini dibubuhi angka tahun Caka 1119 (1197 M).
Ditanah sima itu baru kemudian didirikan candi-candi seperti yang kita kenal sekarang.
Memang, tempat di mana sesuatu bangunan suci itu akan didirikan sebenarnya mempunyai fungsi yang
lebih penting daripada bangunan sucinya sendiri. Tempat itu harus mengandung kekuatan-kekuatan
magis religius yang bersifat menyelamatkan. Dr. Soekmono dalam disertasinya "Candi, fungsi dan
pengertiannya" menyatakan seperti berikut :
" Sesuatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri. Maka sesungguhnya, yang primer adalah
tanahnya, sedangkan kuilnya hanya menduduki tempat nomer dua". Jelaslah disini bahwa tanah atau
tempat dimana bangunan-bangunan Candi Penataran itu berada dianggap tanah yang suci karena
mengandung kekuatan-kekuatan gaib. Tetapi yang dianggap paling suci ialah titik pusat tanah atau
halaman Candi Penataran dimana segala macam tenaga gaib bersatu dan perpusat. Pusat ini dianggap
sebegitu keramatnya sehingga bangunan candi induk pun tidak dipernankan menutupinya..
Akhirnya dapat ditambahkan disini bahwa daerah Blitar itu memegang peranan yang unik
dalam sejarah, ialah tempat yang baik untuk mengundurkan diri (terugval-basis) bagi mereka yang
ingin menyusun kembali kekuatanya. Letaknya sangat strategis. Dari Blitar baik dataran tinggi sebelah
Timur maupun Barat gunung Kawi dapat diancam. Ken Arok mungkin tahu akan hal ini dan ia menjadi
raja.
Candi sebagai bentuk kebudayaan, ternyata tak hanya menandai puncak-puncak kejayaan dan
kekuasaan seorang raja di bumi Nusantara ini. Jika dicermati dan dikaitkan dengan perjalanan sejarah
bangsa ini hingga sekarang, ternyata bisa menjadi cermin bagi alih kekuasaan di negeri ini.