Download - Case Report KDRT Elektif
DAMPAK PSIKIS KORBAN YANG MENGALAMI KEGUGURAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
DISUSUN OLEH
GWENDRY RAMADHANY
1102010115
BLOK ELEKTIF
DOMESTIC VIOLENCE KELOMPOK 4
TUTOR : dr. Ulfahimayati
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2013-2014
DAMPAK PSIKIS KORBAN YANG MENGALAMI KEGUGURAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
ABSTRAK
Pendahuluan: Di seluruh dunia, satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya, hal ini dapat mengakibatkan keguguran, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Laporan Kasus: Ny. MM, 41 tahun (pelapor) dengan disertai surat kuasa dari Ny. LS, 38 tahun (korban) karyawan swasta melaporkan adik iparnya Tn. AP, 40 tahun (terlapor) wiraswasta telah melakukan tindakan kekerasan terhadap korban sehingga korban mengalami keguguran dan cedera di bagian wajah, dada, dan perut. Diskusi: Umumnya depresi dan kegelisahan adalah gangguan psikis yang terjadi setelah mengalami keguguran. Wanita tersebut akan mengalami naik turunnya emosi seperti mati rasa, ketidakpercayaan, marah, bersalah, kesedihan, depresi, dan susah berkonsentrasi, beberapa diantaranya mengalami gejala-gejala psikis seperti kelelahan, kesulitan tidur, kurang nafsu makan, dan sering menangis, hal ini dikarenakan perubahan hormonal yang terjadi setelah keguguran. Kesimpulan: Keguguran mengakibatkan luka emosional dan rasa bersalah yang mendalam pada wanita yang menginginkan kehamilan. Keguguran yang diakibatkan oleh trauma pada kandungan berdampak buruk bagi psikis korban, apalagi hal ini terjadi akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Keyword : women, domestic violence, miscarriage, psychological
PENDAHULUAN
Menurut pasal 1 UU RI Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, dan atau perampsan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (UU RI No. 23, 2004).
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat menjadi peristiwa traumatik yang dapat
mengakibatkan gangguan trauma psikologis. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post
traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Di
seluruh dunia, satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh
pasangannya, hal ini dapat mengakibatkan keguguran, persalinan imatur dan bayi meninggal
dalam rahim (Monemi, 2003).
Maka dari itu tujuan dari case report ini adalah untuk memahami kondisi psikis korban yang
mengalami keguguran pasca kekerasan dalam rumah tangga, guna pencegahan agar tidak
menimbulkan trauma psikis yang lebih dalam.
2
LAPORAN KASUS
Ny. MM, 41 tahun (pelapor) dengan disertai surat kuasa dari Ny. LS, 38 tahun (korban)
karyawan swasta melaporkan adik iparnya Tn. AP, 40 tahun (terlapor) wiraswasta telah
melakukan tindakan kekerasan terhadap korban sehingga korban mengalami keguguran dan
cedera di bagian wajah, dada, dan perut.
Peristiwa terjadi pada hari Selasa 14 Mei 2013 sekitar pukul 4 sore ditempat kerja terlapor
Cipulir, Kebayoran Lama. Peristiwa bermula ketika terlapor menuduh korban yang hamil 23
minggu berselingkuh dan tidak mempercayai bahwa janin dalam kandungan korban merupakan
anak kandungnya, dan korban balik menuduh terlapor melakukan perselingkuhan sehingga
terjadi pertengkaran antara terlapor dengan korban yang berujung pada tindakan kekerasan
pemukulan pada muka serta penginjakan pada dada dan perut korban, yang menyebabkan pipis
korban berdarah.
Korban mengaku sempat membawa motor bersama terlapor untuk pulang kampung ke
Purbalingga, tapi dikarenakan keduanya tidak tahu jalan, keduanya berputar-putar disekitaran
Pondok Indah, Tanah Kusir, Jalan panjang, dan sesampainya di Kedoya, korban mengaku tidak
kuat lagi terhadap sakit perutnya sehingga korban dirawat di Rumah Sakit Graha Kedoya dan
terlapor langsung pulang meninggalkan korban. Setelah mendapat perawatan medis, akhirnya
dilakukan tindakan penghentian kehamilan atas indikasi janin dalam tubuh korban sudah tidak
bernyawa lagi.
Atas kejadian tersebut pada hari Rabu 15 Mei 2013 pelapor melaporkan adik iparnya yaitu Tn.
AP (terlapor) ke Polres Metro Jakarta Selatan atas tuduhan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan informasi, tindak kekerasan ini sering terjadi sebelumnya yang mengakibatkan
korban sering menginap dirumah kakaknya Ny. MM tapi tidak pernah dilaporkan kepada pihak
yang berwenang.
3
DISKUSI
Keguguran merupakan kehilangan terberat yang terjadi pada lebih dari 25.000 keluarga tiap
tahunnya. Faktanya lebih dari setengah kejadian keguguran yang terjadi berasal dari kehamilan
tanpa resiko (Anonymous A, 2013). Umumnya depresi dan kegelisahan adalah gangguan psikis
yang terjadi setelah mengalami keguguran. Wanita tersebut akan mengalami naik turunnya emosi
seperti mati rasa, ketidakpercayaan, marah, bersalah, kesedihan, depresi, dan susah
berkonsentrasi, beberapa diantaranya mengalami gejala-gejala psikis seperti kelelahan, kesulitan
tidur, kurang nafsu makan, dan sering menangis, hal ini dikarenakan perubahan hormonal yang
terjadi setelah keguguran (Broen, Torbjörn, 2004).
Gejala-gejala tersebut tergantung pada tingkat stress pada saat kejadian, seberapa kuat hubungan
suami-istri, dorongan dari luar, penting atau tidaknya sebuah keluarga bagi wanita tersebut, dan
tingkat bersedih (Anonymous B, 2013). Seseorang yang mengalami keguguran tidak hanya
mengalami kesedihan tapi juga trauma, sehingga keluarga dibutuhkan untuk meyakinkan wanita
tersebut bahwa hal ini bukan kesalahannya dan diluar kuasanya. Faktanya, kurangnya waktu
bersedih dapat meningkatkan resiko depresi dikemudian hari (Anonymous C, 2013).
Menurut Sarah Murphy dalam Miscarriage : What You Have to Know, terdapat tiga dampak
emosional yang diakibatkan dari peristiwa keguguran adalah :
1. Berduka
Bagi yang merasa keguguran sebagai suatu kehilangan seperti pada kasus Ny. LS, tentu
akan berduka. Tidak ada reaksi yang benar atau salah dalam kedukaan itu, yang ada
hanyalah reaksi alami. Pada saat tertentu, seorang wanita bisa mengatasinya tetapi ada
kalanya tidak. Proses berduka akan berlanjut dalam waktu yang lama. Seberapapun
manusia mencoba untuk tabah, untuk menekan perasaan, cepat atau lambat duka itu akan
muncul dan manusia harus bisa menghadapinya agar bisa pulih dan melanjutkan
kehidupan berbekal pengalaman.
Kita semua adalah individu dan reaksi kita mencerminkan diri kita. Merupakan asumsi
yang keliru bila kedukaan, karena mempunyai awal yang jelas, tentu akan mempunyai
akhir yang jelas pula. Kita menganggap pasti akan ada waktu dimana kita bisa berkata,
“Saya telah mengalaminya dan sekarang sudah usai.” Padahal sesungguhnya kita tahu
4
bahwa kedukaan tidak mempunyai akhir. Kita bisa belajar untuk menata dan
menyesuaikan kehidupan tetapi tampaknya kedukaan, meskipun telah kita singkirkan,
tetap menjadi bagian dari diri kita. Seperti yang sering dikemukakan semua wanita yang
pernah mengalami keguguran, pengalaman keguguran bukanlah suatu hambatan untuk
diatasi, melainkan merupakan bagian integral dari diri dan bagaimana cara mengatasi diri
sendiri.
2. Mati Rasa dan Syok
Sebagaian besar orang yang secara tiba-tiba mengalami keguguran akan terlalu sibuk
mengatasi trauma fisik. Sementara pengaruh emosional dibiarkan hilang dengan seiring
berjalannya waktu. Menyangkut mati rasa, syok terasa membantu karena dapat bertindak
sebagai anestesi. Pada saat syok itu menghilang, barulah rasa sakit hati itu dimulai.
Seorang wanita mungkin akan mendapatkan obat penenang. Namun obat ini hanya
menunda rasa sakit bukan menghilangkannya. Wanita yang merasa bahwa
memperpanjang masa mati rasa itu bisa membantu harus ingat bahwa bahwa cepat atau
lambat realita kematian bayinya harus dihadapi dan membiarkan kedukaan itu mulai.
Respon terhadap syok dan kedukaan yang sesungguhnya cenderung berbeda-beda.
Sebagian mungkin merasa sangat ingin ditemani, merasakan kenyamanan dan dukungan
fisik orang lain di sekitar kita. Namun sebagian mungkin ingin menyendiri untuk
sementara waktu. Emosi yang tidak rasional merupakan salah satu konsekuensi
keguguran. Bila keguguran terjadi, sebagian wanita mengalami masa singkat dimana
berbaur perasaan lega dan gembira bahwa keguguran itu akhirnya usai dan mereka
selamat. Namun perasaan ini seringkali diikuti oleh masa depresi berat karena kehilangan
itu menjadi nyata. Kehilangan bayi melibatkan kehilangan segala kegiatan yang
berhubungan dengan kelahiran.
Kekosongan umum dirasakan setelah keguguran baik secara fisik karena bayi tidak lagi
berada di dalam tubuh, maupun secara emosional, yaitu perasaan mati rasa dan syok yang
hanya bisa dirasakan oleh wanita itu sendiri. Bagi sebagian wanita, kekosongan ini bisa
berlangsung lama. Wanita yang keguguran seolah sudah mengesampingkan sebagian
dirinya yang telah disiapkan untuk menerima semua pengalaman dan kenangan yang
ingin dibagi dengan anak-anak mulai dari bayi, kanak-kanak, remaja hingga dewasa.
5
Sehingga bila bayi lahir terlalu awal dan tidak selamat, bagian diri wanita tersebut akan
tetap kosong dan tidak bisa terisi kembali.
3. Rasa Tidak Percaya
Untuk sementara waktu, wanita yang mengalami keguguran tidak dapat menerima apa
yang telah terjadi. Keinginan kembali ke waktu dimana keadaan baik-baik saja dapat
teras sangat kuat. Ketika hal itu tidak terpenuhi, wanita tersebut akan merasa marah dan
tidak berdaya. Wanita yang mengalami keguguran harus menghadapi realita tambahan
yang sebenarnya. Sebagian dari kesulitan mengatasi rasa tidak percaya ini adalah bahwa
naluri alami seorang ibu tidak mati saat bayinya mati.
Banyak yang merasakan kerinduan besar untuk menimang bayi yang sudah tiada
(terutama bila ASI mengalir) disertai ingin melindungi bayi dari petaka. Hasrat untuk
melindungi ini wajar. Naluri keibuan itu pula yang membuat wanita yang mengalami
keguguran berat meninggalkan rumah sakit atau rumah bersalin. Wanita tersebut merasa
seolah-olah ia mengkianati dan menelantarkan bayinya. Sekalipun ia tahu bahwa bayinya
telah meninggal. Bila wanita menyangkal dorongan ini, hal tersebut biasanya akan
muncul dalam bentuk mimpi. Itulah sebabnya mengapa sering terjadi mimpi buruk
setelah keguguran.
Menurut Monei Kajsa Asling dalam Violence Againts Women Increases The Risk Of Infant and
Child Mortality, terdapat tiga cara mengatasi dampak emosional akibat keguguran adalah
1. Mengatasi masalah dari dalam diri
Sebagian besar wanita yang mengalami keguguran tentu akan merasa depresi. Depresi
adalah kemarahan yang dipendam. Kemarahan ini cepat muncul dan hilang. Untuk
mengurangi resiko depresi, mungkin sebaiknya kemarahan ini dilampiaskan dari pada
disangkal atau dipendam. Banyak wanita melakukannya tanpa disadari dengan
mengarahkan perasaaan mereka yang sesungguhnya pada dokter, petugas rumah sakit,
wanita hamil, nasib ataupun Tuhan.
6
Bahkan wajar untuk marah pada bayi yang seolah menolak ibunya dengan lahir terlalu
awal dan pergi begitu saja tetapi dalam hal ini, wanita cenderung merasa bersalah dan
menyangkal amarah tersebut.Sementara wanita merasa malu dan bersalah karena marah,
emosi ini bersifat positif karena membantu wanita tersebut mengatasi perasaan menjadi
korban dan ketidakberdayaan.
2. Dorongan dari keluarga dan kerabat
Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan seseorang yang keluarga atau kerabatnya
baru saja mengalami keguguran. Seringkali keluarga dan kerabat bersedia membantu,
namun sama sekali tidak tahu harus bagaimana.
Perilaku yang dapat dilakukan dalam membantu pemulihan wanita yang mengalami
keguguran :
a. Dengarkan, wanita tersebut membutuhkan seseorang untuk bercerita tentang apa
yang dirasakannya secara berulang-ulang. Tunjukkan perhatian melalui ucapan,
gerak tubuh, dan kontak mata.
b. Bersiaplah dalam membicarakan bayi tersebut, hal ini mampu membantu
pemulihan wanita tersebut.
c. Ketahuilah bahwa yang dibutuhkan hanya teman untuk mendengarkan.
d. Bersiaplah pada reaksi fisik dan psikis yang terjadi pada wanita tersebut, reaksi
fisik yaitu : tidak nafsu makan, kurang tidur, kelelahan, dan lain-lain. Reaksi
psikis yaitu : panik, ketakutan yang persisten, kegelisahan, dan mimpi buruk.
Perilaku yang sebaiknya tidak dilakukan dalam menghadapi wanita yang mengalami
keguguran :
a. Memberikan nasihat
b. Mengkritik hal-hal yang didengar dari yang diceritakan oleh wanita tersebut
c. Mengeluarkan pendapat “Tidak apa-apa, baru hamil 3 bulan saja”
d. Menggunakan kata-kata penyemangat “Ini kehendak Allah SWT” atau
“Bersyukurlah, masih mempunyai satu anak yang sehat, tidak usah terlalu
dipikirkan.”
e. Kembali menrceritakan tentang kehilangan yang pernah dialami
7
f. Tidak membolehkan wanita tersebut mengekspresikan emosinya seperti merasa
bersalah, malu, dan marah.
Saat keguguran terjadi, kebiasaan masyarakat untuk tidak membicarakan hal tersebut, justru
membuat hal bertambah buruk dan mempersulit wanita tersebut untuk pulih.
3. Peran tenaga medis dalam pemulihan emosi wanita yang mengalami keguguran
Salah satu realita menyakitkan yang harus diketahui oleh setiap wanita yang mengalami
keguguran adalah bahwa seringkali bila terancam keguguran, sangat sedikit hal yang bisa
dilakukan tenaga medis lainnya untuk mencegahnya. Ini merupakan situasi yang sulit
karena wanita yang bersangkutan cenderung merasa bahwa dokternya telah
mengecewakan mereka dengan tidak melakukan apa-apa. Dokter yang bersangkutan
cenderung merasa bahwa wanita itu tidak realistis karena mengharapkan sesuatu yang
tidak dapat terwujud.
Dokter, bidan, perawat, atau tenaga medis lainnya dilatih untuk aktif melakukan sesutau
dan keguguran seringkali menghadapkan mereka pada situasi dimana tidak ada lagi yang
bisa dilakukan. Keadaan ini dapat membuat frustasi dan menghancurkan hati. Jika ada
tindakan yang bisa menyelamatkan kehamilan, tenaga medis tentu dengan senang hati
UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004 Tentang PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGAUNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004 Tentang PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGAUNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004 Tentang
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGAmegambil tindakan. Keguguran tidak
hanya membuat stress wanita yang bersangkutan tetapi juga dokter, bidan dan petugas
kesehatan lainnya.
Dapat dipahami bahwa sebagian dokter merasa perlu membuat jarak, tidak hanya untuk
mempertahankan efisiensi, tetapi juga sebagai pelindung diri melawan keterlibatan sakit
hati dan stress. Namun seperti halnya orang yang telah mengalami keguguran, mereka
perlu menyeimbangkan kepedulian dan perhatian. Sebagian besar dokter peduli tetapi
yang dibutuhkan adalah agar pasien melihat bahwa mereka peduli.
8
Pandangan Islam Mengenai Orangtua yang Membunuh Anak Kandungnya
Islam menetapkan hak untuk anak dan orang tua, masing-masing sesuai dengan kedudukannya. Islam juga mengharamkan beberapa hal kepada mereka masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak tersebut. Anak mempunyai hak hidup. Ayah dan ibu tidak boleh merenggut hak tersebut, baik dengan membunuh ataupun dengan menanam hidup-hidup, sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang Arab di zaman jahiliah. Ketentuan ini berlaku untuk anak laki-laki maupun wanita. (Faqih, 2013).
Firman Allah:
"Jangan kamu membunuh anak-anakmu lantaran takut kelaparan, Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka maupun kepadamu; sesungguhnya membunuh mereka suatu dosa besar." (al-Isra': 31)
{ التكوير * �لت� ق ت �ب� ذن ي� �أ ب �لت� ئ س �مو�ء ودة ال �ذا وإ
"Dan apabila diperiksa anak perempuan yang ditanam hidup-hidup. Sebab dosa apakah dia dibunuh?" (at-Takwir: 8-9)
: "اه م� �ي وإ م� ق ك ز ر� ن ح�ن ن ق� �م�ال إ م�ن� م� دك و�ال أ وا ل ق�ت ت وال سبحانه وكقوله
األنعام}
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka” (QS. Al An’am: 151).
* م�ن ى وار ت ي ظ�يم5 ك وه و ود8ا م س� ه ه وج� ظل" ى �ث ن �األ� ب حد ه م� أ ر ش� ب �ذا وإاب� Dر الت ف�ي ه Dس د ي م� أ ه ون� على ه ك م�س� ي
أ �ه� ب ر ش� ب ما وء� س م�ن� � �قو�م الالنحل } م ون ح�ك ي ما اء س ال أ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari
9
orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (QS. An Nahl: 58-59).
Rasulullah s.a.w. pernah juga membai'at orang-orang perempuan sebagaimana halnya ia membai'at orang laki-laki; yaitu dengan melarangnya perbuatan jahat tersebut dan supaya dihentikan.
Bai'at tersebut berbunyi demikian:
"Hendaknya mereka (perempuan) tidak menyekutukan Allah sedikitpun dan tidak mencuri dan tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak mereka." (al-Mumtahinah: 12)
Dan di antara hak anak yang harus ditunaikan oleh ayahnya, ialah memberikan nama yang baik. Seorang ayah tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama yang dapat mengganggu perasaan anak apabila dia sudah cukup dewasa. Dan diharamkan memberi nama anaknya dengan Hamba Lain Allah misalnya: Abdun Nabi, (hamba Nabi), Abdul Masih (hamba Isa al-Masih) dan sebagainya. Di samping itu anak juga mempunyai hak perlindungan, pendidikan dan nafkah yang samasekali tidak boleh diabaikan.
Sabda Nabi:
"Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan tiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang yang dipimpinnya itu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
"Cukup berdosa seseorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i dan Hakim)
"Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin terhadap yang dipimpinnya, apakah dia itu memperhatikan, ataukah mengabaikan, sampai pun Ia akan minta pertanggungjawaban kepada seorang laki-laki tentang keluarga rumahnya." (Riwayat Ibnu Hibban)
Pandangan Islam Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Fiqih Anti Kekerasan Dalam Rumah TanggaMenjawab masalah kekerasan dalam rumah tangga melalui kacamata agama Islam adalah dengan implementasi hukum-hukum Islam ("fiqih"), khususnya yang terkait dengan aturan dan ketentuan berumah tangga secara proporsional, benar dan kontekstual. Fenomena salah kaprah dalam memahami dan mengimplementasikan hukum-hukum agama yang terjadi di masyarakat perlu diluruskan, diproporsionalkan dan disosialisasikan sehingga kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan sebagian orang dengan dalih agama dapat dikurangi. Disamping itu, nilai-nilai
10
mulia keagamaan yang anti kekerasan juga perlu terus didakwahkan. Dengan begitu, masyarakat kita yang cenderung fikih-minded juga mengamalkan fikih anti kekerasan dalam rumah tangga ini sebagai bagian dari keberagamaan mereka. Berikut ini beberapa contoh hukum Islam yang sering salah dipahami dan digunakan sebagai dalih dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga. (Sutaman, 2010).
1. Hukum memukul isteriDalam surah An-Nisa' ayat: 34
Jى ع�ضه م� عل "ه ب �ما فض"ل الل اء� ب �س جال قو"ام ون على الن الر��ه�م� م�وال
�فق وا م�ن� أ ن �ما أ ع�ض� وب ات5ب �ت �حات قان فالص"ال "ه �ما حف�ظ الل �ب� ب �غي �ل ه ن"حاف�ظات5 ل وز ش خاف ون ن �ي ت ت والال"
وه ن" �مضاج�ع� واض�ر�ب وه ن" ف�ي ال �ن�فع�ظ وه ن" واه�ج ر فإ Yيال� ب �ه�ن" س ي �غ وا عل ب م� فال ت ك طع�ن اأ Yير� ب 8ا ك �ي ان عل "ه ك �ن" الل إ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa bagi suami yang menghadapi isteri yang nusyuz (membangkang) diperbolehkan memukulnya, setelah nasehat dan boikot ranjang tidak berhasil. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini, ada yang mengatakan boleh asal tidak membekas dan tidak memukul muka. Namun beberapa ulama besar termasuk imam syafii mengatakan bagaimanapun memukul isteri itu hukumnya makruh dan sangat tercela. Dalam tataran praktik, banyak kalangan masyarakat yang memilih pendapat pertama sehingga banyak sekali kasus-kasus pemukulan isteri yang melampau batas-batas yang telah digariskan. Kasus-kasus ini tidak sedikit yang mengatasnamakan ‘kebolehan’ dari Islam.
Pandangan ini harus dirubah dan diganti dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa pemukulan terhadap istri, apapun bentuknya, adalah pelanggaran terhadap ajaran kasih sayang dan anjuran keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, yang ditegaskan Al-Qur’an. Pandangan ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama”. (Ibn ‘Arabi, juz I,
11
hal. 420). Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. mengatakan “Mereka suami yang suka memukul isteri bukanlah orang-orang yang terbaik”. (Riwayat Abu Dawud). Imam Ali bin Abi Thalib ra juag mengatakan: “Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya orang-orang hina yang menistakan perempuan”.
2. Hukum menikah paksaAda silang pendapat dalam kalangan ulama fiqih tentang hukum kawin paksa. Sebagian berpendapat boleh karena kekuasaan menikahkan bagi seorang gadis adalah terletak pada walinya atau orang tuanya. Celakanya pendapat ini dijadikan landasan bagi kasus-kasus kawin paksa. Pandangan itu harus kita kikis dan kita ganti dengan pendapat yang benar bahwa ajaran Islam sama sekali menentang tindakan kawin paksa dan wajib hukumnya mempertimbangkan pendapat mempelai dalam pernikahan.
Pendapat ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi SAW. menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: Jamaluddin Abdullah bin Yusuf az-Zayla’i, Nashb ar-Rayah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, 2002: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, juz III, hal. 232).
3. Hukum Hubungan Seksual Suami IsteriDalam sebuah hadis, dari Sahabat Abu Hurairah ra, dikatakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Jika suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tetapi sang isteri menolak, sehingga suami marah sampai pagi, maka sang isteri akan dilaknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Bukhari).
Banyak yang salah memahami hadis tersebut bahwa wajib bagi isteri untuk melayani suami dalam kondisi apapun. Isteri ibarat pelayan seksual suami sehingga ia wajib melayani suami kapanpun dan ia selalu dituntut untuk memberikan kepuasan terhadap suami, kapan dan di manapun. Sementara dirinya tidak diberi kesempatan untuk memperoleh kepuasan. Apabila isteri menolak maka sering terjadi kekerasanlah yang justru menimpa isteri.
Perilaku dan pandangan umum seperti itu perlu diluruskan dan ditegaskan bahwa itu menyalahi ajaran dasar Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa suami adalah baju bagi isteri, dan sebaliknya isteri adalah baju bagi suami (Hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187). Ayat ini lahir dalam konteks hubungan intim antara suami dan isteri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seksual menurut al-Qur’an, adalah persoalan yang bersifat timbal balik. Jika ingin dipuaskan pasangannya, tentu pada saat yang sama ia harus bisa
12
memuaskan. Suami juga harus mengerti ketika sang isteri menolak hubungan intim karena persoalan kelelahan, kesehatan atau alasan lainnya.
Teks hadis mengenai laknat di atas tidak seharusnya dipahami secara literal. Para ulama fiqh sendiri, telah menyatakan bahwa pelaknatan ini ditujukan kepada perempuan yang menolak dengan tanpa alasan apapun. Bahkan menurut Hamim Ilyas, bahwa teks hadis di atas lahir pada konteks di mana banyak perempuan yang melakukan “pantang bilah” terhadap suaminya, yaitu tradisi para perempuan untuk tidak melayani suaminya selama menyusui, setelah melahirkan. Tradisi ini yang mendasari lahirnya pernyataan Nabi SAW. tentang laknat tersebut. Tentu saja tradisi ini sangat memberatkan suami untuk tidak berhubungan intim, Apalagi kalau masa menyusui sampai mencapai dua tahun. Karena itu, Nabi SAW. menganjurkan para istri untuk tidak menolak ajakan suami pada masa pantang bilah tersebut. (Lusi Margiyani (ed.), 1999: hal. 173).
13
KESIMPULAN
Keguguran mengakibatkan luka emosional dan rasa bersalah yang mendalam pada wanita yang
menginginkan kehamilan. Keguguran yang diakibatkan oleh trauma pada kandungan berdampak
buruk bagi psikis korban, apalagi hal ini terjadi akibat kekerasan dalam rumah tangga yang
dilakukan oleh suaminya sendiri. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa keguguran
adalah masalah yang tidak pantas untuk dibicarakan, hal ini dapat memperlambat proses
penerimaan dan pemulihan dari korban, sehingga dibutuhkan bantuan dan dorongan dari pihak
keluarga, kerabat, dan tenaga medis lainnya dalam memulihkan kesehatan emosional korban
yang mengalami keguguran.
SARAN
Peran keluarga dan kerabat terdekat sangat berperan dalam hal pemulihan kondisi psikis korban,
dengan memberikan waktu untuk korban menceritakan perasaannya tanpa menginterupsi,
memberikan nasihat dan mempercepat proses pemulihan dikarenakan pada saat-saat seperti ini
korban hanya ingin didengar. Korban mendekatkan diri kepada Allah SWT guna ditabahkan dan
diringankan bebannya. Peran tenaga medis juga berpengaruh untuk stabilitas kesehatan korban
untuk mencegah penyakit sekunder yang diakibatkan oleh kondisi korban paska keguguran.
14
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada bagian ini, penulis ingin berterima kasih kepada Polres Metro Jakarta Selatan khususnya
kepada Ibu Nunu Suparmi dan Bapak Junaedi yang telah memberikan kesempatan untuk
berkunjung dan mengumpulkan data untuk laporan ini. Terima kasih kepada dr. Ulfahimayati
yang telah memberikan bimbingan dan waktunya untuk menyelesaikan laporan kasus ini. Terima
kasih kepada dr. Ferryal Basbeth, SpF DFM sebagai dosen pengampu dan kepada semua anggota
kelompok Domestic Violence IV terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous A. (2013). After a Miscarriage : Supporting Friends and Family Through Loss. http://americanpregnancy.org/pregnancyloss/mcsupportingothers.html. (13 November 2013)
Anonymous B. (2013). Stillbirth : Surviving Emotionally.http://americanpregnancy.org/pregnancyloss/sbsurvivingemotionally.html. (13 November 2013)
Anonymous C. (2013). After Miscarriage : Surviving Emotionally. http://americanpregnancy.org/pregnancyloss/mcsurvivingemotionally.html. (13 November 2013)
Broen, Anne N. Moum, Torbjörn, dkk. (2004). Psychological Impact on Women of Miscarriage Versus Induced Abortion : A 2-Year Follow-up Study. Psychomatic Medicine, vol. 66 no. 2, hal 265-271.
Faqih, S.A.A. (2013). Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Hak-Hak Anak. http://muslimah.or.id/pendidikan-anak/ayat-ayat-qurani-tentang-hak-hak-anak.html.(14 November 2013).
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk Of Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The International Journal of Public Health.
Murphy, Sarah. (2000). Keguguran : Apa yang Perlu Diketahui. Jakarta : Ardan.
Sutaman, M.N, Sutaman Kamilia. (2010). Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga.http://kamilia-milestones.com/2010/01/pandangan-islam-terhadap-kekerasan.html. (14 November 2013)
UU RI No. 23 Tahun 2004. (2004). Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta : UNFPA.
16