Statement
Milen KidaneChief Child Protection
UNICEF INDONESIA
dalamSusunan AcaraWorkshop Gerakan “Jo Kawin Bocah”
Jawa Tengah
20 Maret 2021
Selamat pagi!
Saya ingin memulai dengan bercerita tentang satu kisah
nyata. Tentang seorang gadis muda – yang secara usia
masih anak-anak, baru 16 tahun, kita sebut bernama
Fatma (bukan nama sebenarnya).
Suatu hari, Fatma pulang dari sekolah. Masih dalam
seragam biru putih. Senyum tersungging di bibir
membayangkan hal-hal yang biasa dilakukan selepas
sekolah, seperti hari-hari biasanya. Menyelesaikan PR
lalu nonton sinetron televisi, sambil sesekali mainan
Facebook melihat foto atau status teman-teman
onlinenya. Hidup yang menyenangkan bagi Fatma.
.
Tetapi bayangannya tiba-tiba buyar saat membuka pintu rumah.
“Kamu mau dinikahkan,” kata adik perempuannya, Irmawati, menyambut.
Berusaha memahami situasi, Fatma menjadi bingung. Dan tiba tiba ia merasa sangatsedih.
Ibunya berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Fatma hanya bisa menimpali denganisak tangis sedih, marah, dan terluka. Fatma tak tahu harus bagaimana.
Ibunya menjelaskan bahwa saat tadi Fatma masih di sekolah, seorang pemuda ditemanirombongan keluarganya datang melamar.
Pemuda itu, berusia 34 tahun, adalah kerabat dekat keluarga Fatma. Tetapi Fatma tidakpernah bertemu sebelumnya.
“Aku tidak mau menikah,” sambil menangis Fatma berkata kepada ibunya, “belum mau, apalagi dengan orang yang aku tidak tahu dan belum pernah ketemu. Aku ingin sekolahdulu, ingin tamat sekolah.”
Hari-hari berikutnya, Fatma berjuang meyakinkan orangtuanya untuk menolak lamaranitu. Fatma ingin kembali ke sekolah.
Fatma termasuk anak yang pandai berbicara. Mampu
mengemukakan pendapatnya.
Tetapi banyak sekali anak-anak perempuan lainnya, yang berada
dalam situasi yang sama dengan Fatma, tidak bisa berkata-kata, tidak
mampu mengungkap perasaan dan keinginan mereka. Tak sedikitpun
terlintas dalam fikiran mereka untuk tidak patuh atau melawan
keinginan orangtua.
Fatma berbeda. Dia berani menentang praktik tradisi yang memaksa
anak menikah. Dia berani membela diri. Dan hal seperti ini jarang
terjadi. Kebanyakan anak perempuan dibesarkan untuk tidak banyak
bicara, menurut, dan diam - hal yang diterjemahkan oleh orangtua
sebagai ‘ya,’ dan ‘setuju.’
Begitulah cerita tentang seorang Fatma …
Saya sangat senang bisa bersama Anda dalam jaringan yang terdiri
dari orang-orang yang kuat dan bersemangat ini dari semua lapisan
masyarakat, yang tidak takut berbicara menentang kekerasan,
ketidakadilan, dan diskriminasi - karena paling tidak hanya inilah yang
dapat kita lakukan. Namun, terlalu banyak dari kita - anak-anak atau
perempuan dewasa - tidak selalu memiliki keberanian untuk
berbicara, dan tetap diam ketika kita ingin protes, dan sikap diam kita
diartikan sebagai 'ya'.
Terima kasih telah mengundang saya pagi ini untukmenambahkan suara untuk melindungi dan mempromosikanhak-hak anak, dan meningkatkan partisipasi mereka dalamkehidupan dan pengambilan keputusan.
Kita tahu bahwa berinvestasi pada partisipasi anak dan remaja, terutama anak perempuan, memberikan hasiltidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untukpembangunan daerah dan nasional, dan juga untukbisnis. Inilah yang memotivasi saya dan memberi sayaharapan setiap hari.
Berinvestasi pada anak-anak dapat menjadikekuatan paling kuat untuk mencapai TujuanPembangunan Berkelanjutan. PemerintahIndonesia telah sepenuhnya merangkul pentingnyaanak - menempatkan anak di garis depan baik di RPJMN nasional maupun RPJMD provinsi, termasuk di Jawa Tengah.
Setahun lalu, Pemerintah Indonesia – melalui BAPPENAS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak –meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, dilengkapihasil analisis data sepuluh tahun perkawinan anak di Indonesia, dengandukungan UNICEF.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat penurunan angka perkawinan anak di wilayah pedesaan – inidata yang kita tunggu. Prevalensi pernikahan anak perempuan pada tahun 2018 adalah 11.2% - dan pada 2019, angkanya menjadi 10.82% (SUSENAS).
Ketika kita mendengar data seperti ini, kita semua dapat dengan mudahmerasa kecil hati.
Tapi ada juga harapan. Persisnya pada seperti Fatma dan kesempatannyauntuk melanjutkan pendidikan untuk mencegah perkawinan anak.
Jadi itu kabar baiknya.
Kabar buruknya, meskipun kita telah melihat peningkatan di daerah
pedesaan, hanya ada sedikit kemajuan di daerah perkotaan. Dan
meskipun data untuk tahun 2020 belum dikeluarkan, kita tahu bahwa
tahun lalu sangat sulit karena Covid-19, tidak hanya untuk anak
perempuan, tetapi untuk semua anak dan keluarga, di Indonesia dan
di seluruh dunia.
Laporan Pengadilan Agama terkait dispensasi menunjukkan
peningkatan jumlah dispensasi dari 2019 hingga 2020, termasuk
untuk anak perempuan di bawah 18 tahun. Saat ini perlu dilakukan
analisis lebih lanjut untuk memahami dampak pandemi Covid-19
terhadap perkawinan anak. Kami tahu bahwa Covid-19 telah
memengaruhi perempuan anak-anak, orang tua, dan penyandang
disabilitas, tetapi kami masih membutuhkan waktu untuk
mengumpulkan dan menganalisis data untuk memahami sejauh
mana krisis ekonomi telah memaksa keluarga dan perempuan muda
untuk mengadopsi mekanisme penanganan seperti perkawinananak. .
• Berdasarkan angka absolut (kejadian perkawinan anak), Jawa Barat, Jawa Timur, dan JawaTengah merupakan 3 provinsi dengan absolut tertinggi.
• Jika kita ingin melihat data spesifik untuk Jawa Tengah, prevalensi kawin anak di kalanganperempuan adalah 11,04 persen atau diperkirakan 145.700 anak perempuan usia 20-24 tahunmenikah sebelum usia 18 tahun pada tahun 2018. Sayangnya angka prevalensi ini berada di atas angka nasional.
• Dapat pula dikatakan bahwa pencegahan dan penanganan perkawinan anak di Provinsi JawaTengah dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian nasional, sejalandengan target pemerintah dalam RPJMN dan pencapaian tujuan SDGs.
• Ada juga data menarik, menurut Susenas tahun 2018, bahwa anak Jawa Tengah yang menikahsebelum usia 18 tahun (baik perempuan maupun laki-laki) cenderung putus sekolah pada usiaSMP dan tidak melanjutkan pendidikan karena harus menanggung beban menjadi ibu rumahtangga atau kepala keluarga, terutama pada saat mereka hamil dan memiliki anak.
• Seperti banyak masalah sosial lainnya, ada tantangan, tetapi kita juga memiliki peluang. Hari iniadalah salah satu peluang itu.
Kita semua ada di sini sebagai laki-laki dan perempuan, baik ayah maupun ibu, pengasuh, saudara laki-laki, saudara perempuan, putra, putri, teman! Kita semua ingin melakukan apa saja untuk melindungianak yang kita cintai, teman yang kita sayangi.
Berjejaring, mengakses informasi, menyebarkan suara kita, belajar daripengalaman sukses, adalah sesuatu yang bisa kita lakukan. Dan jika kitaberada dalam posisi yang berwenang, mengandalkan data yang dapatdiandalkan, selalu memperhatikan dampak keputusan dan tindakan kitaterhadap anak-anak dan perempuan yang paling membutuhkandukungan dan perlindungan kita, memastikan mereka memiliki ruanguntuk mengungkapkan pendapat mereka dan didengarkan.
Kita perlu mendukung desa untuk menerbitkan pedomanpenggunaan dana desa untuk program-program yang bermanfaat bagi anak-anak, mendapatkan inspirasi dari desalain dan pengalaman lain yang terbukti berhasil.
Kita membutuhkan keterlibatan tokoh agama, tokohmasyarakat, orang tua, media, sebagai sekutu bagi masyarakatuntuk mempromosikan norma sosial yang melindungi anak. Termasuk dari menikah saat masih terlalu muda.
Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak
memberikan kepada kita beberapa pedoman
khusus untuk dilaksanakan mulai dari tingkat
provinsi, kota, kabupaten, hingga desa
Pertama, kita perlu memastikan bahwa anak-anak
dan remaja memiliki kapasitas untuk mengambil
keputusan yang baik untuk kehidupan mereka
sendiri, dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
komunitas mereka, termasuk dalam proses yang
mengarah pada pengambilan keputusan kebijakan
lokal.
Untuk ini kita perlu menawarkan mereka pendidikan
kecakapan hidup. Untuk mencegah perkawinan anak,
memberikan peran yang lebih kuat kepada kelompok
sebaya adalah kuncinya.
Kedua, kita perlu memastikan semua orang memahami pentingnya
mencegah perkawinan anak. Artinya, setiap orang dalam
komunitas menyadari apa konsekuensi dari perkawinan anak,
mengubah sikap, membuat komunitas kondusif untuk menjaga anak
perempuan tetap bersekolah dan memberi mereka kesempatan
penuh untuk berkembang menjadi perempuan yang bahagia, sehat,
terpenuhi, dan produktif.
Ketiga, kita perlu memperluas ketersediaan layanan perlindungan
anak yang terjangkau. Ini termasuk:
o layanan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif;
o sistem rujukan layanan komprehensif untuk anak-anak yang
mengalami kehamilan yang tidak diinginkan;
o bantuan bagi anak-anak korban perkawinan anak untuk
memastikan bahwa mereka masih mendapatkan semua haknya -
pendidikan, kesehatan, layanan hukum, dll.
Ini juga berarti mematuhi siklus wajib belajar 12 tahun, dan
menjangkau anak-anak yang rentan terhadap perkawinan anak dan
mungkin putus sekolah;
Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan, perbaikan pencatatan nikah, pengetatan dispensasinikah, dan penegakan regulasi untuk mencegahperkawinan anak.
Kelima, memberikan koordinasi yang jelas antar semua pihak, termasuk dalam penggunaan data untuk penyempurnaankebijakan, dan membangun sistem data dan informasi sebagaidasar pelaksanaan layanan rujukan, bagi korban kehamilan tidakdiinginkan dan kawin anak.
Saya beri tahu Anda bahwa di Bone, Sulawesi Selatan, program dukunganUNICEF dengan pemerintah telah mempraktikkan lima strategi di atas. Dalam satu tahun intervensi, kejadian kawin anak di 6 desa intervensiberkurang dari 113 pada 2019 menjadi 24 pada 2020.
Desa Lamuru
Desa Cumpiga
DesaAbumpungeng
Desa LilinaAjangale
DesaMalimongeng
Desa Welado
Juga cerita dari Lombok Utara. Jika sebuah desa berkomitmen 150-200 juta rupiah dengan menggunakan dana desa untuk kegiatan terkait partisipasi anak dan pendidikankecakapan hidup untuk mencegah perkawinan anak, juga dapat menunjukkan partisipasiaktif masyarakat desa dan mencegah perkawinan anak lebih dari 50 kasus. Saya yakinmasih banyak lagi!
Sebagai UNICEF, kami selalu senang untuk berkonsultasi, belajar, dan berbagi denganmitra seperti Anda.
Di Jawa Tengah kami bekerja sama membentuk Pelayanan KesejahteraanSosial Anak Integratif, menyelenggarakan Pendidikan Kecakapan Hidup, dan memperkuat Forum Anak sebagai cara anak berpartisipasi dalampengambilan keputusan, dan tahun ini UNICEF akan terus berkarya di provinsi dan kota / kabupaten untuk melaksanakan program Safe and Friendly Environment for Children (SAFE4C), yang mendukung orang tua, pengasuh dan anak dalam mencegah dan menangani risiko perlindungananak, serta mendukung kampanye pencegahan perkawinan anak “Jo Kawin Bocah”.
Saya merasa terhormat bisa berada di tengah-tengah kita semua hari ini. Inimerupakan upaya yang bisa kita lakukanmasing-masing, yang akan dapatmembawa perubahan dan perbaikanbagi anak-anak.
Saya ingin mengakhiri sambutan inidengan sebuah kutipan yang sayapinjam dari Fatma, gadis yang menyuarakan pendapatnya, yang tegasdengan apa yang diinginkannya: