-
CITRA PEREMPUAN MINAHASA
KAJIAN KRITIS TEORI TEOLOGI FEMINIS TERHADAP
PENGGAMBARAN DIRI PEREMPUAN PENDETA GMIM
DI WILAYAH MINAWEROT
Oleh:
Gabriel James Angkouw
712014003
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi,
Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains
Teologi
( S. Si. Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
-
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala pujian bagi Allah yang selalu hadir sebagai Ibu maupun Bapa yang
oleh hikmatNya telah membawa dan menutun penulis dalam proses penulisan
tugas akhir ini sehingga boleh terselesaikan dengan segala baik. Proses penulisan
tugas akhir ini turut menjadi perjalanan iman penulis yang oleh kasihNya telah
menghadirkan lingkungan yang mendukung serta orang-orang terkasih yang turut
dalam terselesaikannya tugas akhir ini, untuk itu ijinkan penulis untuk
berterimakasih kepada:
1. Mama, Papa, kakak Gladys, adik Gregorio dan Giannuel yang selalu
menyemangati dan selalu mendoakan penulis.
2. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang telah
menerima dan mengijinkan penulis untuk dapat berproses dalam
kampus hijau ini.
3. Fakultas Teologi yang didalamnya para pimpinan, dosen, staf, serta
petugas kebersihan yang telah memberikan banyak ilmu dan
pengalaman serta menciptakan lingkungan yang mendukug bagi
penulis selama proses perkuliahan.
4. Pdt. Yusak B. Setyawan, S.Si., MATS., Ph.D., sebagai Pembimbing I,
serta Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu, M.Si. sebagai Pembimbing II,
yang dengan setia selalu mengarahkan dan membimbing penulis serta
memperlengkapi penulis dengan berbagai ilmu demi rampungnya
tugas akhir ini.
5. Kak Feri Hagni yang telah meuntun penulis untuk masuk dalam dunia
teologi Feminis melalui ilmu serta buku-buku yang dipinjamkan.
6. Wali studi bersama rekan-rekan anak wali perwalian Kak Mariska
Lauterboom dan Pak Ebenhaizer Nuban Timo.
7. Perempuan Pendeta yang merupakan Ketua Badan Pekerja Majelis
Jemaat (BPMJ) GMIM se-wilayah Minawerot yang telah bersedia
menjadi informan dalam penulisan tugas akhir ini.
-
vii
8. GMIM Jemaat „Eden‟ Talikuran wilayah Kakas I yang telah
mengijinkan penulis untuk mengambil data selama PPL X
berlangsung.
9. GMIM Jemaat „Anugerah‟ Touliang, GMIM Jemaat „Trifena‟ Kaasar,
Gereja Kristen Jawa (GKJ) jemaat „Tlogosari‟ Semarang, Gereja
Kristen Indonesia (GKI) jemaat „Soka‟ Salatiga, GKI jemaat
„Tegalrejo‟ Salatiga, GPIB jemaat „Tamansari‟ Salatiga, serta Panti
Wredha Mandiri Salatiga, yang telah memberikan kesempatan
melayani serta memperlengkapi penulis dengan pengalaman-
pengalaman yang sangat mendukung bagi proses pembelajaran
penulis.
10. Rekan-rekan Teologi angkatan 2014 Bisa, Maju, Berprestasi!, beserta
pengurus angkatan periode 2017-selesai, yang telah menjadi saudara
seperjuangan dan sepelayanan.
11. Rekan-rekan Lembaga Kemahasiswaan Fakultas-Fakultas Teologi
(LKF-F.Teol) periode 2016-2017 terkhususnya Senat Mahasiswa
Fakultas-Fakultas Teologi (SMF-F.Teol) yang telah menjadi saudara
seperjuangan dalam berorganisasi dan melayani.
12. Rekan-rekan selama PPL 1-5, serta GMIM Squad, yang telah menjadi
rekan sepelayanan selama PPL.
13. Teman sepelayanan dan sepermainan, Reza Duduong dan Fillia Mais.
14. Sahabat-sahabat terkasih, Martires Holistira Kaisuku, Andre Brian
Sarese, Rani Natalia Br. Sitorus, Martin Denise Silaban, Shanty Putri
Solo Willa, serta rekan-rekan terkasih, Nicolaus Kohelet, Jacobus
Nahumury, Claudia Losu bersama Dania Kamuntuan (yang telah
membantu penulis memperbanyak proposal penulis sehingga penulis
dapat mendaftar untuk ujian proposal dengan tepat waktu), juga bagi
Edwin dan terkhususnya Danang Widiatmoko.
15. Bagi seluruh perempuan yang telah menjadi inspirasi bagi penulis.
“This Too Shall Pass”
-
viii
DAFTAR ISI
Halaman judul i
Lembar Pengesahan ii
Pernyataan Tidak Plagiat iii
Pernyataan Persetujuan Akses iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi v
Ucapan Terimakasih vi
Daftar isi viii
Abstrak 1
1. Pendahuluan 1 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 6
1.3. Tujuan Penelitian 6
1.4. Manfaat Penelitian 7
1.5. Metode Penelitian 7
1.6. Sistematika Penulisan 8
2. Citra Diri Perempuan dalam Bingkai Teologi Feminis Asia 8 2.1. Citra Diri Perempuan Asia 9
2.1.1. Identitas Perempuan Asia 10
2.1.2. Posisi Perempuan Asia 13
2.1.3. Peran Perempuan Asia 16
2.2. Kesimpulan 18
3. Analisa Deskriptif Hasil Penelitian Mengenai Penggambaran Diri Perempuan Pendeta GMIM di Wilayah Minawerot 19
3.1. Citra Diri Perempuan Pendeta GMIM 19
3.1.1. Identitas Perempuan Pendeta GMIM 19
3.1.2. Posisi Perempuan Pendeta GMIM 22
3.1.3. Peran Perempuan Pendeta GMIM 24
3.2. Kesimpulan 27
4. Kajian Kritis Teologi Feminis Asia terhadap Citra Diri Perempuan Pendeta GMIM 28
4.1. In-between Identity Perempuan Pendeta GMIM 28
4.2. Posisi Startegis Perempuan Pendeta GMIM 30
4.3. Peran Perempuan Pendeta GMIM dalam
Kepemimpinan Gereja 31
4.4. Kesimpulan 33
5. Kesimpulan dan Saran 34 5.1. Kesimpulan 34
5.2. Saran 35
5.2.1. Bagi Gereja 35
5.2.2. Bagi Fakultas 35
6. Daftar Pustaka 36
-
1
Abstrak
Studi ini akan mengkaji citra diri perempuan pendeta di Gereja Masehi Injili di
Minahasa dengan kajian Teologi Feminis Asia terhadap identitas, peran, serta
posisinya. Hal ini didasari dengan pengertian bahwa Alkitab sebagai dasar
pengajaran Kekristenan menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan
sebagai manusia yang setara. Dengan dasar ini maka setiap penindasan baik antara
perempuan terhadap laki-laki maupun laki-laki terhadap perempuan beserta segala
bentuk tindakan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan menjadi perlawanan
terhadap nilai-nilai kekristenan. Dalam realitas Dunia Ketiga terkhususnya yang
dialami oleh warga Asia, eksistensi perempuan sering disangkal keberadaanya dan
hal ini turut didukung oleh kebudayaan lokal maupun nilai-nilai kekristenan yang
telah dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkhal. Maka dari itu penyangkalan terhadap
diri perempuan menjadi suatu pergumulan bagi kaum perempuan Asia untuk
diperdengarkan melalui Teologi Feminis Asia yang menjadi perjuangan kaum
perempuan beserta pengalamannya akan ketertindasan dan ketidakadilan yang
selama ini dibungkam dan tidak diperhitungkan oleh para patriakhi. Dalam
perjuangan tersebut perempuan didorong bukan saja untuk mengubah pola pikir
patriakhal dari laki-laki dan yang telah tertanam dalam masyarakat melainkan
pertama-tama mengubah pola pikirnya serta melihat kembali citra dirinya sebagai
menusia yang utuh dan setara dengan berani menentukan identitas diri yang
otentik, serta menyadari posisi keberadaannya yang akan mendorongnya untuk
dapat berperan dalam segala bidang kehidupan untuk menunjukkan eksistentinya
beserta potensi yang dimilikinya.
Kata kunci: Teologi Feminis Asia, Citra Diri, Perempuan Pendeta
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Perbincangan mengenai kesetaraan perempuan dan laki-laki masih
menjadi topik yang hingga kini terus dibahas termasuk didalamnya oleh para
teolog Kristen yang melihat perjuangan akan kesetaraan tersebut sebagai bagian
-
2
dari perjuangan kemanusiaan. Realitas ketertindasan dan penyangkalan terhadap
eksistensi diri baik didalam masyarakat maupun gereja yang masih terus dialami
perempuan, dijadikan dasar untuk membangun bahkan mengembangkan teologi
berdasarkan pengalaman kaum perempuan yang selama ini diabaikan. Jika
melihat secara sekilas, bagi sebagian orang kesetaraan tersebut telah terlaksana,
perempuan telah diberi ruang dalam berbagai aspek dan posisi. Namun apakah hal
tersebut cukup untuk menunjukkan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan telah tercapai?. Nyatanya hingga saat ini kaum perempuan masih
mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Banyak yang beranggapan bahwa
faktor kebudayaan dalam masyarakat Indonesia merupakan salah satu yang
mengekang kebebasan perempuan sehingga terjadi ketidakadilan gender. Namun
nampaknya pernyataan tersebut harus didalami lagi mengingat tidak semua
kebudayaan yang ada di Indonesia bersifat mengekang bahkan menomorduakan
perempuan. Budaya Minahasa menjadi salah satu kebudayaan yang bersifat
egaliter dimana perempuan dianggap setara dengan laki-laki.
Adapun kesetaraan yang dihidupi oleh orang Minahasa berkaitan dengan
kesetaraan gender sangat dipengaruhi oleh kosmologi orang Minahasa yang
memandang kehidupan dunia dalam keutuhan dan keseimbangan baik antara
Tuhan (Opo Empung), manusia (Tou), dan alam semesta (Kayobaan)1. Dalam
kehidupan bermasyarakat, perempuan sebagai bagian dari tou (manusia) yang
turut dalam keseimbangan kosmis, diberikan ruang dan kesempatan yang sama
dengan laki-laki. Perempuan terlibat sebagai rekan kerja laki-laki didalam
berbagai bidang kehidupan seperti mengelolah lahan pertanian, membangun
rumah, hingga dalam kesenian. Bahkan perempuan didaulat untuk menjadi
Walian ( Pemimpin agama) yang menjadi penghubung antara Opo Empung
dengan orang Minahasa. Dapat dikatakan tidak ada pengingkaran akan kehadiran
perempuan dalam kehidupan masyarakat Minahasa termasuk dalam penyebutan
sang Ilahi, Opo Empung, Realitas Tertinggi yang di imani oleh orang Minahasa.
Sebutan Opo Empung sendiri menggambarkan kehadiran dan penyertaan seorang
ibu dan bapa secara bersamaan.
1 Ruth Ketsia Wangkai, “Menemukan Visi Baru Spirituallitas Orang Minahasa” dalam
buku Perempuan Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks ed. Asnath N. Natar(Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004), 77.
-
3
Penghormatan akan sosok perempuan telah menjadi suatu kebudayaan
yang terus dipegang. Hal ini didukung oleh cerita rakyat yang berkembang di
tanah Minahasa mengenai asal-mula manusia pertama di tanah Minahasa. Cerita
tersebut dikenal dengan cerita “Toar-Lumimuut”, dua tokoh yang diyakini sebagai
nenek moyang atau manusia pertama bangsa Minahasa. Dari pemaparan diatas
dapat dilihat bahwa dalam kebudayaan Minahasa keberadaan perempuan adalah
setara, semartabat, sederajat, sama nilainya dengan kaum laki-laki dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat Minahasa2. Nilai-nilai kesetaraan ini harus terus
dihayati dan dihidupi oleh masyarakat Minahasa bahkan harus terus diajarkan
sehingga kesetaraan yang telah menjadi nilai kebudayaan tidak dilupakan.
Berdasarkan nilai-nilai kesetaraan tersebut perempuan Minahasa memiliki
banyak peluang dan kesempatan untuk berekspresi. Sejak dulu nilai kesetaraan
tersebut telah banyak mendorong perempuan Minahasa untuk berperan ditengah
masyarakat termasuk didalamnya mengecap pendidikan yang tinggi (Bahkan jauh
sebelum munculnya R.A Kartini, perempuan Minahasa telah terlebih dahulu
mengecap pendikan dengan hadirnya sekolah perempuan pertama di Minahasa
tahun 18813). Sebut saja Marie Thomas yang menjadi dokter pertama Indonesia
yang lulus dari STOVIA (School Tot Opleiding van Inlande Artsen) di Jakarta,
Annie Manopo sarjana hukum pertama yang lulus di Jakarta4, dan lainnya. Kiprah
perempuan Minahasa tidak diragukan lagi termasuk didalamnya dalam dunia
teologi. Marianne Katoppo merupakan sosok yang dikenal dalam dunia teologi
Asia yang fokus pada isu-isu perempuan. Perempuan Minahasa ini telah menjadi
teolog perempuan pertama Indonesia yang mampu membangun suatu teologi
feminis Asia. Katoppo menjadikan konteks Asia khususnya Indonesia sebagai
dasar bangun dari teologinya.
Katoppo merupakan sosok perempuan Minahasa yang dibesarkan
ditengah-tengah lingkungan keluarga yang sangat kental dengan budaya Minahasa
2 Augustien Kapahang Kaunang, “Perempuan dalam Budaya Minahasa” dalam buku
Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi ed.Deetje Tiwa-Rotinsulu dan Augustien Kapahang-Kaunang (Jakarta: Meridian, 2005), 9.
3 Marianne Katoppo, Compassionate and Free: An Asian Woman’s Theology (Geneva:
World Council of Churches, 1979),5. 4 Augustien Kapahang Kaunang, Perempuan, 12.
-
4
terkhususnya budaya kesetaraan yang dipegang oleh kedua orangtuanya5. Nilai-
nilai kesetaraan yang telah erat dengan kehidupannya menjadi suatu dorongan
dalam menyuarakan perjuangan perempuan untuk menggapai kesetaraan gender
terlebih dalam konteks Asia. Apa yang menjadi perjuangannya tidak hanya
menjadi perjuangan bagi kaum perempuan saja melainkan menjadi perjuangan
bagi nilai-nilai kemanusiaan karena pada dasarnya perjuangan perempuan ialah
perjuangan kemanusiaan yang menyeluruh. Esensi perjuangan perempuan
bukanlah untuk menggantikan posisi laki-laki. Perjuangan perempuan bukan
untuk menghilangkan perbedaan tersebut melainkan untuk menghilangkan
ketidakadilan yang terjadi akibat perbedaan tersebut6. Sehingga dapat dikatakan
bahwa perjuangan perempuan juga turut dalam arak-arakan perjuangan
kemanusiaan.
Perjuangan terhadap kemanusiaan juga turut dalam tugas dan panggilan
gereja. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) sebagai salah satu organisasi
Kristen yang ada di tanah Minahasa yang juga menjunjung kebudayaan Minahasa
tentu terpanggil untuk berperan dalam perjuangan akan nilai-nilai kesetaraan
terlebih kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Menarik untuk dilihat
seberapa jauh perempuan pendeta GMIM turut ambil bagian dalam pelayanan
baik di aras sinodal maupun aras wilayah dan jemaat. Pada aras sinodal sendiri
selama 16 kali pergantian ketua sinode tidak ada satu pun perempuan pendeta
yang pernah memimpin sinode GMIM7. Pada tahun 2014, dari 110 wilayah
pelayanan GMIM, perempuan pendeta secara kuantitas lebih banyak dengan
jumlah 1.250 pendeta dibanding dengan jumlah laki-laki pendeta yakni 587 laki-
laki pendeta8. Hingga tahun 2016 dari 115 wilayah pelayanan GMIM, perempuan
pendeta secara kuantitas masih lebih banyak dengan jumlah 1.548 pendeta,
sementara laki-laki pendeta berjumlah 565 pendeta. Wilayah Minawerot yang
berada di Kabupaten Minahasa Utara merupakan salah satu wilayah dimana
5 Marianne Katoppo, Compassionate and Free, 4-5.
6J. B. Banawiratma, “Kata Pengantar” dalam buku Perempuan Indonesia Berteologi
Feminis dalam Konteks ed. Asnath N. Natar(Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004), xiv-xv.
7 Sejarah Singkat GMIM, diakses 12 September 2017, https://www.gmim.or.id/sejarah-
singkat-gmim/ 8 Peta Pelayanan GMIM, diakses 12 September 2017,
http://sinodegmim.org/index.php/component/content/article/8-sejarah/19-peta-pelayanan.html
https://www.gmim.or.id/sejarah-singkat-gmim/https://www.gmim.or.id/sejarah-singkat-gmim/http://sinodegmim.org/index.php/component/content/article/8-sejarah/19-peta-pelayanan.html
-
5
perempuan pendeta sebagian besar menjabat sebagai ketua jemaat. Dari 13 jemaat
yang ada, 9 diantaranya ialah jemaat yang dipimpin oleh perempuan pendeta.
Belum lagi perempuan pendeta yang menjadi pendeta pelayanan dalam masing-
masing jemaat.
Melihat data tersebut tentu menunjukan bahwa perempuan pendeta
memiliki peluang yang lebih besar untuk menduduki jabatan pegambil keputusan
dalam hal ini pada aras sinodal. Tidak hanya itu, dengan jumlah kurang lebih 2
kali lipat dari laki-laki pendeta tentu perempuan pendeta GMIM telah mampu
bersama-sama membangun teologi dengan dasar semangat egaliter yakni
kesetaraan dan keadilan. Dalam aras jemaat secara langsung perempuan pendeta
lebih banyak menduduki jabatan sebagai ketua jemaat hingga wilayah dalam
pelayanan GMIM. Hal ini tentu dapat menjadi modal bagi perempuan pendeta
untuk dipilih menjabat di aras sinodal. Namun dalam struktur Badan Pekerja
Majelis Sinode GMIM periode 2014-2018 dibawah ketua Henny W. B. Sumakul,
tidak terlihat perempuan pendeta yang menjabat9.
Peran perempuan Minahasa dalam hal kepemimpinan perempuan pendeta
di GMIM khusnya pada aras sinodal tentu menjadi suatu persoalan. Dengan
begitu banyaknya perempuan pendeta yang ada di GMIM dalam iklim
kebudayaan Minahasa yang egaliter tentu akan sangat memungkinkan untuk
menduduki posisi startegis dalam hal pengambil keputusan. Namun
kepemimpinan perempuan pendeta yang berlangsung dengan sistim pemilihan
rupanya masih kurang didukung oleh kaumnya. Menjadi suatu hal yang perlu
untuk dipertanyakan karena secara kemampuan perempuan pendeta GMIM dapat
dikatakan telah mumpuni untuk menduduki jabatan tersebut. Namun rupanya
dalam hal kesadaran akan kebersamaan dan kepedulian berbasis pergumulan
kaum perempuan masih perlu untuk dihayati dan dihidupi kembali. Hal ini dapat
dikaitkan dengan bagaimana perempuan pendeta GMIM menyadari kehadirannya
ditengah-tengah iklim kesetaraan yang telah menjadi budaya. Menjadi menarik
9Adapun perempuan yang hadir dalam struktur sinode berjumlah 3 orang yang menjabat
sebagai Wakil Bendahara, Ketua Komisi Pelayanan Wanita/Kaum Ibu, serta Ketua Komisi Pelayanan Anak. data Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM Periode 2014-2018, diakses 12 September 2017, https://www.gmim.or.id/bpms/
https://www.gmim.or.id/bpms/
-
6
untuk melihat kembali bagaimana perempuan pendeta GMIM mencitrakan
dirinya.
1.2. Rumusan Masalah
Kebudayaan Minahasa yang dipenuhi dengan nilai kesetaraan telah
memberikan kesempatan bagi perempuan Minahasa khususnya perempuan
pendeta GMIM dalam mengekspresikan dirinya secara utuh. Belum adanya
perempuan pendeta yang menduduki posisi pengambil keputusan pada aras
sinodal menjadi salah satu kenyataan yang memperlihatkan kurangnya pelibatan
perempuan pendeta dalam posisi-posisi strategis. Padahal begitu banyak
permasalahan yang berkaitan dengan isu-isu perempuan yang terjadi di tanah
Minahasa yang pada dasarnya merupakan daerah pelayanan GMIM. Dalam
kenyataannya realitas penderitaan perempuan nampaknya belum menjadi
kesadaaran bersama bagi kaum perempuan sendiri. Citra diri perempuan yang
belum tuntas dan selalu berada dibawah kendali laki-laki menjadi persoalan. Hal
ini nampaknya berkaitan erat dengan citra diri perempuan pendeta di GMIM
dalam melihat dirinya sendiri ditengah kebebasan dan kesetaraannya didalam
masyarakat sehingga belum mau mengekspresikan dirinya secara utuh.
Berdasarkan hal tersebut yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah, pertama, apa gambaran diri dari perempuan pendeta GMIM di wilayah
Minawerot; kedua, bagaimana kajian teologi feminis terhadap gambaran diri
perempuan pendeta GMIM sebagaimana yang disebutkan diatas.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini ialah yang pertama,
penulis hendak mendeskripsikan penggambaran diri perempuan pendeta GMIM di
wilayah Minawerot, dan yang kedua, penulis akan melakukan kajian kritis teologi
Feminis terhadap penggambaran diri perempuan pendeta GMIM sebagaimana
yang disebutkan diatas.
-
7
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini ialah yang pertama, untuk mendorong
perempuan pendeta GMIM melihat dirinya secara utuh sebagai yang setara
dengan kaum laki-laki dan mengaplikasikan dirinya ditengah masyarakat serta
membangun suatu kebersamaan berlandaskan isu-isu pergumulan perempuan di
tanah Minahasa. Kedua, untuk mendorong gereja dalam hal ini GMIM untuk
menggali kembali nilai-nilai kesetaraan yang ada dalam kebudayaan Minahasa
serta memberdayakan perempuan khusunya dalam menghadapi permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dengan kemanusiaan.
1.5. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan penulis ialah penelitian kualitatif yang pada
dasarnya hendak menggali makna yang berada dibalik tindakan sosial masyarakat
dan hendak memahami objeknya. Metode ini bertujuan untuk menjelaskan
kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik objek yang diteliti yang
merupakan bentuk dari keterhubungan nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan10
.
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penulis ialah wawancara yang
bersifat terbuka dan menggunakan jenis pertanyaan terencana dengan memilih
sampel dengan teknik Purposive Sampling yakni salah satu wilayah pelayanan
GMIM di wilayah Minawerot dimana 9 dari 13 jemaat dipimpin oleh perempuan
pendeta. Belum lagi dengan perempuan pendeta yang bertugas sebagai pendeta
pelayanan yang berjumlah 17 orang. Dalam penelitian kali ini penulis hanya
memfokuskan pada 9 perempuan pendeta yang menjabat sebagai ketua jemaat di
wilayah Minawerot yakni, Pdt. Yenny Tangkuman M.Th (Ketua Jemaat GMIM
Eben Haezar Treman), Pdt. Meidy Suoth S.Th (Ketua Jemaat GMIM Naomi
Watudambo I), Pdt. Nova S.Th (Ketua Jemaat GMIM Baitani Watudambo II),
Pdt. Lentji R. Peleh S.Th (Ketua Jemaat GMIM Trifena Kaasar), Pdt. Nova
Sondak S.Th (Ketua Jemaat GMIM Baitani Paslaten), Pdt. Yuliana Kakambong
M.Th (Ketua Jemaat GMIM Walinouw Tumalungtung), Pdt. Merry
Kalengkongan S.Th (Ketua Jemaat GMIM Bukit Sion Agape Tumalungtung),
10
David Samiyono, “Penelitian Kualitatif” (Pelatihan Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, Fakultas Teologi UKSW, 30 Januari 2017).
-
8
Pdt. Nita Agou S.Th (Ketua Jemaat GMIM Trifena Karegesan), dan Pdt. Feebe
Palandi M.Th (Ketua Jemaat GMIM Sion Tumalungtung).
1.6. Sistematika Penulisan
Ada pun sistematika penulisan tugas akhir ini terdiri dari 5 bagian yaitu
bagian pertama berupa pendahuluan, bagian kedua akan berisi landasan teori
berkaitan dengan teologi Feminis dengan menggunakan perspektif Teologi
Feminis Asia, bagian ketiga akan berisi analisa deskriptif terhadap hasil
wawancara penelitian, bagian keempat berisi kajian kritis teori teologi feminis
terhadap hasil analisa wawancara, dan bagian kelima akan berisi penutup berupa
kesimpulan dan saran.
2. Citra Diri Perempuan dalam Bingkai Teologi Feminis Asia
Citra diri perempuan turut menjadi fokus perbincangan dalam
perkembangan teologi feminis khsusunya di Asia yang adalah bagian dari Dunia
Ketiga11
. Beberapa tokoh diantarnya ialah Chung Hyun Kyung dan Kwok Pui-
Lan yang melihat citra diri perempuan sebagai bagian penting dalam perjuangan
kaum perempuan khususnya perempuan Asia. Chung merupakan seorang teolog
feminis Korea Selatan yang juga membahas hubungan kekristenan dengan agama-
agama di Asia serta kajian oikumene, sementara Kwok merupakan teolog feminis
Hongkong yang juga tertarik dengan hubungan agama-agama, dan kajian kritis
neokolonialisme dalam mengembangkan teologinya. Teologi yang dibangun
keduanya tetap memanfaatkan dan mengangkat realitas Asia. Realitas yang sarat
dengan penderitaan, kemiskinan, keberagaman tradisi religius, serta ketidakadilan
gender yang dialami oleh perempuan12
. Pandangan Chung dan Kwok berkaitan
dengan citra diri perempuan yang dibangun berdasarkan konteks kebudayaannya
dalam lingkup Asia Timur akan penulis paparkan dalam bagian ini tanpa
meninggalkan konteks Asia Tenggara terkhususnya Indonesia sendiri. Adapun
11
Dunia Ketiga mencakup Afrika, Asia, Amerika Latin serta kelompok-kelompok kecil yang ada di Amerika, Afrika Selatan, Palestina dan Pasifik. Setelah sejak tahun 1960 Teologi Feminis telah berkembang di bagian Dunia Pertama dan Kedua yakni Amerika Utara dan Eropa. Ursula King, Feminist Theology from the Third World (New York: Orbis Book, 1994), 1
12 Jan S. Aritonang et.al., Teologi –teologi Kotemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2018), 411-413
-
9
aspek-aspek citra diri yang penulis akan paparkan mencakup identitas diri
perempuan Asia, posisi perempuan Asia, dan peran perempuan Asia baik dalam
konteks masyarakat dan dalam kekristenan atau gereja.
2.1. Citra Diri Perempuan Asia
Menurut Chaplin citra diri merupakan jati diri yang digambarkan atau
dibayangkan13
. Sementara Maxwell mendefinisikan citra diri sebagai konsepsi
pribadi terhadap apa dan siapakah diri sendiri yang dipengaruhi oleh
pengalaman14
. Bagi Suryabrata citra diri merupakan bagaimana orang mengamati
dirinya sendiri, bagaimana orang berpikir tentang dirinya sendiri, bagaimana
orang menilai dirinya sendiri, serta bagaimana orang berusaha dengan berbagai
cara untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri15
. Dengan demikian citra
diri pada dasarnya merupakan penilaian subyektif yang mengacu pada
bagaiamana seseorang medefinisikan dirinya berkaitan dengan gambaran
mengenai apa dan siapakah diri sendiri yang tidak terlepas dari pengalaman-
pengalaman personal. Salah satu bagian dari pengalaman personal ialah penilaian
orang lain yang juga dipandang masih sagat berperan dan berpengaruh terhadap
terbentuknya citra diri terlebih ditengah masyarakat yang menganut budaya
ketimuran.
Citra diri perempuan Asia tidak terlepas dari realitas penindasan yang
dialami oleh sebagian besar kaum perempuan di Asia. Bagi Chung Hyun Kyung
ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan Asia justru
menyebabkan perempuan tidak memiliki citra diri yang otentik. Hal ini justru
berakibat pada tindakan melanggengkan ketertindasan yang dialami oleh
perempuan bahkan menimbulkan krisis kepercayaan diri yang mendorong
perempuan tidak bergairah lagi dalam mendukung kepemimpinan sesama
perempuan16
. Menjadi hal yang penting bagi Chung bahwa jika ingin mencapai
kesetaraan maka perjuangan itu harus dimulai secara individu yakni dengan berani
13 James Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini-Kartono (Jakarta: Grafindo
Persada, 2001), 396 14
Maxwell Mlatz, Kekuatan Ajaib Psikologi Citra Diri, Terj. Anton Adiwiyoto, (Jakarta: Mitra Utama, 1991), 3
15 Sumandi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Rajawali, 1983), 298-300
16 Chung Hyun Kyung, Struggle To Be the Sun Again: Introducing Asian Woman’s
Theology (New York: Orbis Book, 1990),20-21
-
10
mendefinisikan siapa dan apa peran dirinya sebagai perempuan ditengah-tengah
kehidupan terlepas dari nilai patriakhal yang mengekangnya17
. Di sisi lain Kwok
Pui-Lan melihat keterkaitan citra diri perempuan Asia dengan kolonialisme yang
menawarkan citra perempuan Barat sebagai citra ideal bagi perempuan Asia18
.
Citra diri perempuan Asia pun sarat dengan budaya Barat yang mengaburkan citra
diri sesungguhnya sebagai perempuan Asia. Dapat dikatakan bahwa citra diri
yang dimiliki oleh perempuan Asia merupakan bagian dari konstruksi budaya
penindas yang membatasi dan membungkan kebebasan perempuan Asia untuk
menentukan dirinya sendiri sebagai manusia merdeka. Adapun tiga aspek Citra
diri perempuan Asia yakni menyangkut identitas perempuan, posisi perempuan,
serta peran perempuan yang ketiganya saling memiliki keterkaitan.
2.1.1. Identitas Perempuan Asia
Berkaitan dengan identitas diri perempuan Asia, pada bagian ini penulis
akan menyajikan pandangan Kwok Pui-Lan yang melihat identitas perempuan
Asia baik dari segi keberagaman budaya dan agama maupun dalam pengaruhnya
oleh kolonialisme dan neokolonialisme. Identitas perempuan Asia menurut Kwok
didasari oleh pandangannya bahwa perempuan Asia memiliki identitas bersama
dan beragam yang diakibatkan oleh ketertindasan berlapis19
. Identitas perempuan
Asia yang beragam memiliki hubungannya dengan realitas Asia yang multibudaya
dan multi agama yang juga menimbulkan beragam bentuk ketertindasan yang
dialami oleh perempuan Asia. Seperti halnya dalam konteks Indonesia dimana
dalam keberagaman baik dari segi budaya maupuan agama juga memunculkan
berbagai ketertindasan yang dialami perempuan. Sementara identitas bersama
yang dimiliki oleh perempuan Asia menurut Kwok merujuk pada upaya
pembebasan diri dari ketertindasan yang menjadi perjuangan bersama kaum
perempuan Asia. Kwok mengakui bahwa perempuan Asia hidup dibawah
seksisme, rasisme, hingga diskriminasi kelas sosial dimana nilai dan martabat
17
Chung Hyun Kyung, Struggle, 38 18
Kwok Pui-Lan, Introducing Asian Feminist Theology (Inggris:Shefifield Academic, 2000), 16
19 Kwok Pui-Lan “ The Future of Feminist Theology: An Asian Perspective” dalam buku
Feminist Theology from the Third World, ed. Ursula King (New York:Orbis, 1994),66
-
11
manusia khususnya perempuan tidak dihargai20
. Hal ini berhubungan dengan
dampak kolonialisme dan neokolonialisme yang menjadi bagian dari sejarah Asia
dan turut juga membentuk identitas perempuan Asia.
Kolonilaisme sebagai bagian dari bentuk penindasan bangsa Barat di
sebagian negara-negara Asia turut menanamkan nilai-nilai penindasan dan
penaklukan terhadap sesama yang merugikan baik bagi perempuan maupun laki-
laki di Asia. Tidak dapat dipungkiri bahwa alasan yang berkaitan dengan agama
menjadi salah satu landasan bagi bangsa Barat untuk menduduki dan menaklukan
bangsa jajahan, dan hal ini terlihat dengan hadirnya para misionaris. Dengan kata
lain misi untuk memberitakan Injil dijadikan salah satu motif dalam penaklukan
bangsa-bangsa di Asia. Memang harus diakui bahwa meskipun kekristenan lahir
di Asia namun justru lebih berkembang di Eropa sehingga bersamaan dengan
penaklukan beberapa negara-negara di Asia, para misionaris Barat lah yang
memperkenalkan kekristenan yang tentu sesuai dengan kekristenan yang berciri
Barat. Kekristenan yang diperkenalkan pun dirasa asing oleh masyarakat Asia
karena tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks masyarakat Asia. Seperti halnya
yang dialami oleh orang kristen di Indonesia dimana menurut Setyawan, Alkitab
yang merupakan dasar pengajaran kekristenan menjadi suatu buku yang asing
terlebih ketika penerjemahannya tidak melihat konteks Indonesia secara serius21
.
Termasuk didalamnya berkaitan dengan penyebutan sang Ilahi yang justru
melanggengkan bahasa patriarkhi yang tidak bisa dipungkiri turut menyangkal
realitas dan tentunya membentuk identitas perempuan22
. Hal ini bagi Setyawan
terus berlanjut dengan hadirnya literatur teologis yang tanpa disadari tetap
dipengaruhi oleh konsep pemikiran dan metode bangsa Barat.
Tidak hanya sampai disitu, Hal tersebut diperburuk dengan hadirnya
bentuk penindasan dan penaklukan baru yang dikenal sebagai neokolonialisme.
Bagi Kwok baik kolonialisme maupun neokolonialisme membentuk in-between
20
Kwok Pui-Lan, The Future, 65-68 21
Yusak B. Setyawan “ Encountering State Ideology: Reading The Bible from an Indonesian Postcolonial Perspective” dalam buku Colonial Contexts and Postcolonial Theologies Storyweaving in The Asia-Pasific, ed. Mark Brett & Jione Havea (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 99
22 Yusak B. Setyawan, “Questioning Patriarchal Models of God in Christianity; Toward
Cultural Transformation from Patriarchal Culture to Egalitarian Relationship between Women and Men” Asia Journal of Theology vol. 30, no.1 (April, 2016), 59-60
-
12
identity dalam diri perempuan Asia dimana perempuan tidak memiliki identitas
sebagai sepenuhnya perempuan Asia dan tidak memiliki identitas sebagai
sepenuhnya perempuan Barat. Hal ini disebabkan oleh karena perempuan Asia
digiring untuk mengikuti gaya hidup perempuan Barat baik sejak masa
kolonialisme maupun seiring dengan globalisasi yang turut menguasai media
masa global sebagai bentuk dari neokolonialisme sehingga identitas perempuan
Asia dibentuk sesuai dengan keinginan perempuan Barat yang justru
megobjektivikasi perempuan Asia23
.
Maka dari itu Kwok dan Chung beranggapan bahwa dalam upaya
mendefinisikan identitas dan takdirnya sendiri, perempuan Asia perlu untuk
menantang definisi identitas diri yang telah dibentuk dan diberikan oleh pihak lain
baik oleh laki-laki Asia maupun perempuan Barat24
. Selain itu perempuan Asia
perlu untuk mengantisipasi masa depan mereka dari gambaran-gambaran
mengenai perempuan seperti yang telah digambarkan oleh media masa global25
.
Pada akhirnya ditengah identitas diri perempuan Asia yang beragam dan tertindas,
Kwok berpandangan bahwa perempuan Asia harus kembali menggali nilai-nilai
kebudayaan Asia yang luhur dan otentik untuk lebih memahami identitas dirinya
sebagai perempuan Asia26
. Kwok berpandangan bahwa ketika Alkitab
menyatakan kisah kehidupan orang-orang Ibrani dan umat Kristen mula-mula
yang terbentuk dalam memori kolektif mereka, serta ketika bangsa Barat
menginterpretasikan Alkitab sesuai dengan situasi mereka, maka demikian pula
yang harus dilakukan oleh bangsa-bangsa lain terkhususnya di Asia yang juga
memiliki cara pandanganya masing-masing sesuai dengan situasi dan konteks
masyarkatnya27
. Upaya ini harus dimulai dengan melihat kembali produk-produk
kebudayaan Asia yang kaya seperti halnya sistem nilai serta keyakinan yang
dipegang masyarakat sebelum adanya kontak dengan bangsa Barat. Penggalian
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kebudayaan lokal telah dilakukan oleh
beberapa teolog feminis Asia. Seperti halnya yang dilakukan oleh Aruna
Gnanadson yang melihat kembali nilai luhur dalam kebudayaan bahkan
23
Kwok Pui-Lan, Introducing, 17 24
Chung Hyun Kyung, Struggle, 22-25 25
Kwok Pui-Lan, Introducing, 19 26
Kwok Pui-Lan , The Future, 68-69 27
Kwok Pui-Lan , Mothers and Daughters, 30
-
13
kepercayaan masyarkat India dalam melihat realitas Ilahi. Dalam budaya India
Allah dilihat dalam rupa laki-laki maupun perempuan yang berwujud dewa dan
dewi dengna unsur Shakti yang tak lain merupakan energi, kekuatan, yang
terkandung dalam dunia dimana manusia memperjuangkan kehidupan dirinya
maupun sesamanya28
.
2.1.2. Posisi Perempuan Asia
Berkaitan dengan posisi perempuan Asia, pada bagian ini penulis akan
menyajikan pandangan Chung Hyun Kyung dan Kwok Pui-Lan yang pada
dasarnya memiliki pandangan yang sejalan dimana bagi keduanya posisi
perempuan Asia juga turut dipengaruhi oleh hadirnya Kekristenan di Asia.
Berbicara tentang posisi perempuan Asia, maka tidak terlepas dari realitas bahwa
perempuan Asia kerap kali dipandang sebagai manusia kelas dua, sebagai
pelengkap laki-laki, sebagai pendamping dan pendidik anak29
. Dengan kata lain
perempuan Asia mengalami subordinasi dengan berbagai anggapan pengondisian
yang muncul dalam masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak setara dengan laki-laki30
. Bahkan perempuan telah mengalami penolakan
sejak ia berada dalam kandungan karena perempuan dipandang sebagai bukan
manusia yang utuh31
. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem hierarki yang
mengelompokkan masyarakat dalam status dan kedudukannya juga turut
mempengaruhi posisi perempuan ditengah masyarakat Asia yang membawa
perempuan pada posisi yang kurang bernilai32
. Dalam hal ini Chung
berpandangan bahwa pengkondisian posisi perempuan tersebut mengakibatkan
perempuan Asia mengalami private hell dimana perempuan Asia mau tidak mau
harus turut dalam pengkondisian tersebut dan diam dengan sikap membenci diri,
28
Aruna Gnanadason, “Women and Spirituality ini Asia” dalam buku Feminist Theology from the Third World, ed. Ursula King (New York:Orbis, 1994), 351
29 Marie C. Barth-Frommel, “Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu” (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011), 3-5
30Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), 15 31
Kwok Pui-Lan “ Mothers and Daughters; Writers and Fighters” dalam buku Inheriting Our Mothers’ Gardens: Feminist Theology in Third World Perspective ( Kentucky: Westmister Press, 1988), 21-22
32 Indian Theological Association, “Theologizing in India- A Feminine Perspective” dalam
buku Feminist Theology from the Third World, ed. Ursula King (New York:Orbis, 1994), 60-62
-
14
bergejolak dengan diri sendiri serta tetap menerima situasi dan kondisi
ketertindasannya demi berlangsungnya kehidupannya, anaknya, keluarganya,
tanpa harus melawan struktur dan sistem patriarkhal yang begitu kuat menguasai
perempuan Asia33
.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan ajaran-ajaran agama yang juga
hendak direkonstruksi dalam teologi Feminis Asia34
. Chung dan Kwok mengakui
bahwa gereja sebagai institusi agama juga turut dalam mensubordinasi
perempuan. Dalam hal ini Chung menyatakan bahwa perempuan Asia mengalami
penolakan oleh gereja dalam berbagai hal. Perempuan selain dipandang inferior
oleh laki-laki, juga dituntut untuk menurut dan tunduk kepada laki-laki bahkan
dibeberapa gereja perempuan tidak diberikan kesempatan untuk bersuara,
menyampaikan pengalamannya terhadap Tuhan dengan ditolaknya perempuan
menjadi pemimpin gereja35
. Di Indonesia sendiri kepemimpinan perempuan
dalam gereja terkhususnya yang beraliran protestan juga sempat mengalami
penolakkan36
. Chung melihat hal ini memiliki hubungannya dengan Alkitab
sebagai dasar pengajaran iman Kristen yang juga mengandung pesan-pesan yang
menindas perempuan sehingga bagi Chung perempuan Asia harus menerima
Alkitab dengan kecurigaan, dalam arti, perempuan Asia perlu menkritisi dan
memaknai teks secara baru mengingat Alkitab yang menjadi teks dasar pengajaran
iman Kristen merupakan produk laki-laki yang bersifat androsentris37
. Sementara
itu bagi Kwok keberadaan gereja yang juga sarat dengan nilai patriakhal sangat
berhubungan dengan budaya penaklukan yang dibawa oleh misionaris Barat
dimana penaklukan bukan saja dilakukan terhadap nilai-nilai luhur dalam
kebudayaan lokal melainkan juga terhadap keberagaman agama yang ada di Asia.
Hal tersebut juga berdampak dalam kekristenan di Asia yang bersifat eksklusif
33
Chung Hyun Kyung, Struggle, 87 34
Jan S. Aritonang et.al., Teologi –teologi Kotemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 302-304
35 Chung Hyun Kyung, Struggle, 11-12
36Ririn Rini, “Agama dan Perempuan; Kajian Fungsionalisme Terhadap Pemikiran
Marianne Katoppo” (M.Si diss., Universitas Kristen Satya Wacana, 2008), Lampiran Hasil wawancara
37 Marie C. Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011), 25-26
-
15
dan cenderung menentang keberadaan yang lain38
. Bahkan dalam konteks
Indonesia sendiri sifat tersebut masih kental dalam masyarkat sehingga tak jarang
menimbulkan konflik.
Maka dari itu, perempuan Asia pun didorong untuk merekonstruksi
pengajaran-pengajaran Kristen seperti mendalami dan menggali teks-teks yang
menjunjung nilai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang terkandung
dalam Alkitab39
. Perempuan perlu menyadari bahwa dasar pengajaran Kristen
menempatkan posisi perempuan dan laki-laki sebagai ciptaan yang setara. Dalam
kisah penciptaan, manusia perempuan dan manusia laki-laki diciptakan Tuhan
sebagai makhluk yang setara yang berarti bahwa tidak ada yang lebih tinggi dan
lebih penting diantara satu dengan yang lain.
Chung menambahkan bahwa Allah bagi perempuan Asia harus dilihat
sebagai Allah yang inklusif. Allah yang dalam menciptakan manusia menurut
gambar dan rupaNya, Imago Dei, turut membangun hubungan dengan
ciptaanNya sebagai suatu komunitas40
. Dengan gambaran Allah yang inklusif,
perempuan dan laki-laki tidak hanya dilihat sebagai mitra bagi sesama melainkan
sebagai suatu komunitas dimana Allah turut berada didalamnya. Setiap manusia
baik laki-laki maupun perempuan justru menjadi pelayan bagi sesama dalam suatu
hubungan yang saling tergantung, harmoni dan bertumbuh bersama. Masing-
masing menjadi subjek yang bebas dan merdeka. Dengan demikian konsep Allah
pun perlu untuk direkonstruksi dimulai dengan mengkritisi kembali bahasa yang
digunakan untuk menyebut realitas Ilahi yang melibatkan realitas baik perempuan
maupun laki-laki41
. Dengan pandangan seperti ini keberadaan perempuan dan
laki-laki saling mengutuhkan dalam komunitas dengan perannya masing-masing
tanpa saling merendahkan. Baik laki-laki dan perempuan secara bebas dapat
menentukan siapa dirinya, berkarya, serta berekspresi dalam keutuhannya sebagai
manusia. Pemahaman seperti ini sangat penting dalam perjuangan melawan
38
Kwok Pui-Lan, The Future, 68 39
Chung Hyun kyung, “To Be Human is To Be Created in God’s Image” dalam buku Feminist Theology from the Third World, ed. Ursula King (New York:Orbis, 1994), 251-252
40 Chung Hyun-Kyung, To Be Human, 253-254
41 Yusak B. Setyawan, Questioning Patriarchal Models, 61-63
-
16
ketidakadilan, penindasan, dan penyangkalan eksistensi sesama ciptaan yang
diciptakan setara42
.
2.1.3. Peran Perempuan Asia
Peran perempuan Asia tida luput dari pengondisian yang bukan hanya
membatasi perempuan melainkan juga membungkam potensi yang dimiliki
perempuan. Dalam realitas Asia, perempuan memiliki peranan yang besar yakni
bukan hanya peran reproduksi melainkan juga peran produksi43
. Peran perempuan
untuk mengandung dan menghasilkan keturunan, membesarkan keturunannya
bahkan mengurus keluarganya menjadi peran yang penting dalam masyarakat.
Meskipun begitu peran reproduksi perempuan harus juga dilihat dalam peran
produksinya dimana kelangsungan keturunan dan keluarganya bergantung. Hal
yang sangat kental dalam kebudayaan Indonesia dimana perempuan menjadi
mayoritas penduduk Indonesia. Perempuan tidak hanya memiliki peran tunggal
yakni untuk mengandung melainkan juga peran untuk mengusahakan terpenuhnya
kebutuhan keluarga. Peran dimana perempuan dapat mengoptimalkan
kemampuannya. Seperti halnya yang dialami oleh Kwok ketika melihat peran
ibunya dalam upaya memenuhi kehidupan keluarganya dengan mengusahakan
ladang perkebunan serta memastikan ketersediaan air bagi keperluan keluarga44
.
Bahkan dalam keberadaannya pun perempuan memiliki peran untuk mengolah
alam dan lingkungannya yang sangat identik dengan identitasnya sebagai
pemelihara keidupan45
. Karena pada dasarnya perempuanlah yang berperan baik
dalam melahirkan kehidupan, memelihara kehidupan, serta mendidik kehidupan.
Namun sayangnya perlahan-lahan perempuan mulai dibatasi dalam peran
publiknya. Perempuan digeser dari ranah publik ke ranah domestik.
Meskipun saat ini perempuan telah banyak berkarya dan berperan dalam
masyarakat diberbagai bidang namun keberadaan bahkan perannya sering
42 Esther Kuntjara, Gender, Bahasa, dan Kekuasaan, (Jakarta: Penerbit Linbri, 2012), 50-
55 43
Marianne Katoppo, Tersentuh dan Bebas: Teologi Perempuan Asia, terj. Pericles Katoppo (Jakarta: Aksara Karunia, 2007),47-49
44 Kwok Pui-Lan, Mothers and Daughters, 22
45Aruna Gnanadson, “Woman and Spirituality in Asia” dalam buku Feminist Theology
from the Third World, ed. Ursula King (New York:Orbis, 1994), 353
-
17
diabaikan. Hingga dalam bidang kepemimpinan pun perempuan masih sering
mengalami penolakan akibat sterotype masyarakat yang telah menganggap kodrat
perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lembut sehingga tidak layak untuk
memimpin. Hal yang menjadi realitas juga ditengah konteks Indonesia dimana
dalam bidang politik meskipun perempuan telah memiliki hak untuk memilih
namun berkaitan dengan hak untuk dipilih keterwakilan perempuan di lembaga
legislatif hanya diberikan porsi 30%.
Telah sekian lama perempuan dibatasi dengan peran sebagai pengurus
rumah tangga dan keluarga atau dikondisikan dalam peran domestiknya. Tidak
ada yang salah dengan peran tersebut namun peran domestik ini sering dipandang
remeh oleh laki-laki seperti halnya kemanusiaan perempuan46
. Bahkan peran
domestik ini dipandang sebagai kodrat terlahirnya perempuan yakni untuk
mengurus anak, memasak, dan membersihkan rumah. Dalam hal ini perempuan
akan semakin tertindas ketika ia tidak dapat menjalankan peran reproduksinya,
tidak dapat menghasilkan keturunan. Maka kemanusiaan perempuan akan
semakin direndahkan. Chung bahkan mengumpamakan peran perempuan yang
disepelekan layaknya bulan yang keberadaanya dipandang tidak memiliki
cahayanya sendiri melainkan bergantung kepada matahari sebagai perlambang
laki-laki. Chung dan Kwok berpandangan bahwa peran perempuan dibisukan
bahkan dihilangkan bukan hanya dalam perannya di dalam masyarakat melainkan
juga dalam sejarah. Keduanya melihat sejarah perjuangan bangsa-bangsa di Asia
dalam perjuangan meraih kemerdekaan nasional dimana perempuan juga turut
berperan dalam perjuangan tersebut namun peran dan kontribusi perempuan
dihilangkan dalam sejarah seiring dengan berkuasanya laki-laki47
.
Begitu banyak peran perempuan dalam sejarah namun coba dibungkam
bahkan dihapuskan oleh para patriarkhi. Begitu juga dalam kalangan teolog
perempuan Asia dimana Chung menyatakan bahwa peran bahkan pengalaman
teolog perempuan sering tidak diperhitungkan hingga pada akhirnya melalui
konfrensi-konfrensi yang dilakukan sebagai bagian dari perjuangan perempuan
46
Magdalena Tangkudung, “Perempuan di Seputar Meja?” dalam buku Perempuan Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks ed. Asnath N. Natar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017),50-51
47 Kwok Pui-Lan, Mothers and Daughters, 27
-
18
Asia seperti dalam Christian Conference of Asia (CCA), Ecumenical Association
of Third World Theologians (EATWOT) serta dengan kehadiran jurnal In God’s
Image yang tidak lain merupakan suara pengalaman serta menjadi peran
perempuan Asia dalam konteksnya48
. Melalui upaya-upaya tersebut terciptalah
wadah bagi perempuan untuk dapat bersuara melalui karyanya baik melalui karya
tulis, puisi, serta lainnya yang pada dasarnya menunjukkan pengalaman
perempuan yang datang dari berbagai konteks.
2.2. Kesimpulan
Teologi Feminis Asia pada dasarnya merupakan suara pengalaman
perempuan dalam ketertindasannya. Apa yang menjadi tujuan teologi feminis
Asia ialah bukan untuk menolak perbedaan yang ada antara perempuan dan laki-
laki melainkan untuk menolak segala bentuk penindasan dan ketidakadilan yang
muncul akibat perbedaan tersebut. Pada dasarnya perjuangan Teologi Feminis
Asia merupakan perjuangan kemanusiaan. Perjuangan perempuan untuk menjadi
manusia seutuhnya dan untuk memanusiakan manusia lain. Perjuangan tersebut
dimulai dari diri perempuan itu sendiri dengan melihat citra dirinya. Kwok Pui-
Lan dan Chung Hyun Kyung didalam teologinya turut melihat citra diri
perempuan sebagai bagian utama dalam perjuangan perempuan Asia.
Citra diri perempuan Asia dapat terlihat dari identitas diri perempuan
dimana perempuan Asia tidak memiliki identitasnya yang otentik melainkan
identitas yang merupakan dampak dari kolonialisme dan neokoloniaisme. Begitu
juga dengan posisi perempuan Asia yang dipandang tidak setara dengan laki-laki
dan hal ini diperkuat oleh pengajaran gereja sendiri yang kental dengan nilai-nilai
patriakhal. Demikian juga dengan peran perempuan Asia yang awalnya dilibatkan
sebagai mitra namun perlahan-lahan digeser sehingga perempuan hanya berperan
dalam ranah domestik saja. Bahkan kepemimpinan perempuan turut ditolak. Hal-
hal seperti inilah yang hendak direkonstruksi didalam bingkai Teologi Feminis
Asia. Upaya tersebut dilakukan dengan mengkaji kembali pengajaran-pengajaran
gereja serta mendalami kembali nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan
yang ada. Hal ini dilakukan dalam pemahaman bahwa tidak semua pengajaran-
48
Chung Hyun Kyung, Struggle, 12-21
-
19
pengajaran agama bahkan nilai-nilai budaya bersifat menindas perempuan maka
nilai-nilai tersebutlah yang harus diangkat demi kesetaraan dan keadilan manusia
baik perempuan dan laki-laki sebagai ciptaan yang segambar dan serupa dengan
Allah49
.
3. Analisa Deskriptif Hasil Penelitian Mengenai Penggambaran Diri
Perempuan
Pendeta GMIM di Wilayah Minawerot
Wialayah Minawerot merupakan salah satu wilayah pelayanan Gereja
Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang berada di kabupaten Minahasa Utara.
Sebagian besar dari ketua jemaat merupakan perempuan pendeta. Penulis
melakukan wawancara selama tiga hari yakni pada tanggal 19 – 21 Februari 2018.
Hari pertama bersama enam informan, hari kedua bersama dua informan dan hari
ketiga bersama satu informan di kediamannya masing-masing. Pada bagian ini
penulis hendak menyajikan analisa deskriptif terhadap hasil penelitian yang telah
penulis lakukan untuk melihat citra diri dari perempuan pendeta GMIM.
3.1. Citra Diri Perempuan Pendeta GMIM
Dari pertanyaan-pertanyaan yang telah penulis ajukan kepada ke-9
informan, penulis menemukan tiga temuan penting berkaitan dengan citra diri
perempuan pendeta GMIM di wilayah Minawerot yang terlihat dari identitas diri,
posisi, hingga peran perempuan pendeta GMIM yang akan penulis jabarkan pada
bagian ini.
3.1.1. Identitas Perempuan Pendeta GMIM
Identitas perempuan pendeta GMIM tidak terlepas dari nilai-nilai budaya
maupun dari nilai-nilai kekristenan. Dalam pengaruhnya oleh nilai-nilai budaya
terdapat beberapa pandangan dari informan, yaitu: Pertama, pengaruh kisah
mitologi manusia pertama Minahasa yaitu Lumimuut dan Toar50
serta kehadiran
49
Jan S. Aritonang et.al., Teologi –teologi Kotemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 308
50 Terdapat berbagai versi yang menceritakan tentang Lumimuut dan Toar. Dalam bagian
ini penulis akan menyajikan kisah Lumimuut dan Toar dari versi salah satu sub-etnis Minahasa yakni Tombulu. Cerita asal mula orang Minahasa ini dimulai dengan mendaratnya sekelompok
-
20
para pahlawan perempuan Minahasa seperti Maria Walanda Maramis yang
dianggap informan menunjukkan identitas perempuan Minahasa yang pemberani
dan percaya diri serta mandiri. Kedua, berkaitan dengan keterlibatan perempuan
yang kini tidak lagi dibatasi dalam jenis pekerjaanya melihat realitas yang ada
dimana perempuan juga telah mampu melakukan pekerjaan yang dulunya
dianggap hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki. Infroman tidak hanya meihatnya
dari diri mereka sendiri namun juga melihatya dari kehadiran perempuan-
perempuan yang secara mandiri dan dengan percaya diri mampu beradaptasi
diberbagai bidang dalam masayarakat. Hal ini bagi informan menunjukkan
besar pelaut di tanah Malesung. Adapun pemimpin keluarga ini ialah seorang perempuan bernama Sumilang yang juga bersama-sama dengan imam perempuan bernama Karema yang mempunyai anak perempuan bernama Lumimuut. Mereka awalnya tinggal didataran tinggi diantara gunung Lokon, Kasehe, dan Tatawiran dan akhirnya berpindah untuk mencari tanah yang lebih subur. Tibalah mereka di dekat gunung Mahawu namun atas doa Karema sang Imam dan dengan bantuan suara burung Manguni yang menunjukkan tidak direstuinya keinginan tersebut oleh Opo Empung Wailan Wangko, sang ilahi, mereka pun memilih untuk meniggalkan daerah tersebut. Sayangnya ratu Sumilang tetap bersikeras untuk menetap di daerah yang tidak direstui Tuhan tersebut. Karema dan Lumimuut pun berpisah dengan rombongan ratu tersebut dan kembali ke dataran tinggi Lokon. Beberapa waktu kemudian terjadilah letusan gunung Lokon dan Mahawu yang mengakibatkan banjir besar. Ratu Sumilang beserta pengikutnya meninggal dan tinggalah Karema dan Lumimuut yang mendiami tanah Malesung. Keduanya melakukan perjalanan dan tibalah mereka disuatu bukit yang berdekatan dengan mata air. Disitu Lumimuut melepaskan kainnya dan mandi, namun ternyata seorang raja bernama raja Sumendap menyuruh pengikutnya untuk mengambil kain Lumimuut. Selesai mandi Lumimuut kaget karena kainnya hilang, ia pun berusaha mencarinya namun tidak menemukannya. Lumimuut pun menangis dan bersedih, melihat hal tersebut raja Sumendap merasa iba dan menyuruh pengikutnya untuk mengembalikan kain, serta membawakan perhiasan dan pakaian kepada Lumimuut.
Sejak saat itu Lumimmut diperisteri oleh raja Sumendap. Suatu ketika raja Sumendap
berjalan pulang ke arah selatan dan tidak pernah kembali lagi sementara Lumimuut dalam kondisi mengandung. Saat tiba anak tersbut untuk dilahirkan, Lumimuut menanyakan nama anak tersebut kepada Karema ibunya. Karema pun memilih nama Toureghes yang kemudian menjadi Toar berarti ‘orang angin’, mengingat ayahnya hanya seperti angin yang datang lalu pergi dan tidak kelihatan lagi. Toar pun bertumbuh dewasa dan tiba saatnya untuk Toar berkeluarga namun tidak ada perempuan lain untuk dipersiterinya selain Lumimuut ibunya. Melihat hal itu Karema kembali menanyakan kepada yang Maha Kuasa dan dilakukanlah undi dengan menyuruh Toar berjalan sambil membawa tumbuhan gelagah hutan (tu’is) yang masih punya pangkal ke arah kiri dan Lumimuut dengan gelagah yang tidak berpangkal ke kanan mengelilingi tanah sebelah utara. Jika mereka bertemu dengan batang gelagah yang tidak sama lagi maka mereka dapat berkeluarga. Dalam perjalanan tersebut keduanya akhirnya bertemu dan membandingkan kedua batang tumbuhan yang mereka bawa. Ternyata kedua batang tersebut tidak lagi sama panjang dan hal itu menegaskan bahwa mereka dapat membangun rumah tangga. Maka menetaplah mereka disuatu tempat dan menghassilkan keturuan yang tidak lain merupakan orang-orang Minahasa. Augustien Kapahang Kaunang, “Perempuan dalam Budaya Minahasa” dalam buku Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi ed.Deetje Tiwa-Rotinsulu dan Augustien Kapahang-Kaunang (Jakarta: Meridian, 2005), 4-7
-
21
identitas perempuan Minahasa yang mampu berpengaruh dan memiliki keinginan
untuk mencoba berbagai hal dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh
perempuan. Ketiga, ialah berkaitan dengan kebudayaan diantaranya dalam bentuk
tarian Maengket51
serta semangat Mapalus52
dimana dalam kebudayaan tersebut
perempuan memiliki identitas sebagai makhluk yang setara dan mampu
bekerjasama. Keempat, bagi seorang informan, identitas perempuan Minahasa
justru mengalami pergeseran dari identitas yang mandiri kini perempuan
Minahasa justru cenderung bergantung kepada laki-laki dan menonjolkan laki-laki
dibanding perempuan53
. Sayangnya seorang informan justru mengaku lupa
dengan nilai-nilai kebudayaan Minahasa.
Dengan demikian dalam pengaruhnya oleh kebudayaan, perempuan
Minahasa memiliki identiitas sebagai perempuan yang mandiri, berwibawa, dan
dihormati sebagai manusia yang juga memiliki kemampuan yang sama dengan
laki-laki meskipun identitas tersebut mulai luntur dengan mulai bergantungnya
perempuan kepada laki-laki yang justru menonjolkan laki-laki dibanding
perempuan.
Berkaitan dengan pengaruhnya oleh nilai-nilai kekristenan, informan
memperoleh identitas dirinya melalui Alkitab namun meskipun demikian terdapat
dua pandangan informan yakni; Pertama, identitas perempuan sebagai manusia
yang diciptakan setara diperoleh lewat pesan Alkitab dalam kitab-kitab diantarnya
dalam kitab Kejadian melalui kisah penciptaan yang menunjukkan Adam dan
Hawa diciptakan segambar dan serupa dengan Allah54
. Kedua, identitas
51
Tarian yang menggambarkan kehidupan masyarakat Minahasa mulai dari menanam padi, membangun rumah, serta membangun relasi. Tarian ini ditarikan oleh perempuan dan laki-laki secara berpasang-pasangan dimana ynag menjadi pemimpin tarian atau Kapel harus meepuakan seorang perempuan.
52 Gotong royong yang dilakukan bersama untuk membuka lahan baru yang akan
dijadikan lahan pertanian. Pada masa kini Mapalus juga terwujud dalam tindakan saling membantu dalam rupa uang dan jasa.
53Hasil wawancara dengan Pdt. Feebe Palandi : “ memang dalam budaya kita, laki-laki
itu lebih ditonjolkan, tapi tetap ada kesetaraan... walaupun memang dalam kehidupan masyarakat Minahasa lebih condong kepada laki-laki, dalam hal apa saja yang didahulukan pasti laki-laki.”
54Hasil wawancara dengan Pdt. Yuliana Kakambong: “hmmm...soal kepemimpinan...ya
soal melayani, soal eksistensi perempuan itu sama dengan kaum laki-laki dalam soal memimpin dalam soal melayani banyak hal “
Pdt. Meidy Suoth: “ ada nilai kesetaraan, ada dalam kitab Kejadian, dan di Korintus juga ada”
-
22
perempuan yang kuat dan mandiri diperoleh informan melalui hadirnya tokoh-
tokoh perempuan di dalam Alkitab yang mampu memimpin bahkan berani untuk
mengambil resiko55
. Dimana dalam kepemimpinannya dan pelayanannya
perempuan menujukkan eksistensinya sebagai seorang manusia yang memiliki
potensi yang sama dengan laki-laki. Melalui dua pandangan tersebut dengan
demikian informan memiliki identitas diri sebagai Imago Dei dimana baik
perempuan maupun laki-laki memiliki identitas dirinya yang otentik dan berharga
serta mampu dipercaya dalam hal kepemimpinan maupun pelayanannya.
Pandangan ini oleh para informan diyakini juga sebagai bagian dari identitas
setiap manusia.
Dalam pengaruhnya oleh budaya dan nilai-nilai Kekristenan, pada
dasarnya identitas diri perempuan yang disampaikan oleh informan
berkesinambungan dimana baik dalam kebudayaan Minahasa maupun dalam
Kekristenan perempuan memiliki identitas diri sebagai manusia yang setara
dengan kualitas-kualitasnya tersendiri seperti mandiri, berani, serta dapat
dipercaya. Hal ini tentu harus dipahami bahwa sebagai manusia yang diciptakkan
sebagai Imago Dei, baik laki-laki maupun perempuan memiliki keunggulannya
masing-masing dan kesadaran ini bagi informan harus dipandang dalam bingkai
saling menghormati dan saling menghargai.
3.1.2. Posisi Perempuan Pendeta GMIM
Berkaitan dengan posisi perempuan pendeta GMIM, Informan mengakui
bahwa dengan nilai-nilai egaliter yang terkandung dalam kebudayaan Minahasa
Pdt. Lentji Rundingan: “ Ada dalam kitab Kejadian “ 55
Hasil wawancara dengan Pdt. Yeni Tangkuman: “seperti Debora ya kan? debora kan seorang ...ee... dikenal bagaimana dia sebagai seorang perempuan yang mampu untuk menjadi sebagai seorang pemimpin, ya kan Debora, Rut, Maria”
Pdt. Merry Kalengkongan: “kalo mau lihat itu dalam Perjanjian Baru sudah mulai ada, Perjanjian lama juga sudah ada karena ada juga tokoh-tokoh perempuan kan dalam perjanjian Lama.”
Pdt. Feebe Palandi: “contoh Ester kan? Bagaimana dia mau memperjuangkan bangsanya dia tampil dia tidak pernah takut karena dia percaya bahwa Allah yang ia sembah Allah yang ...eee.. senantiasa akan memihak kepada orang yang mlakukan yang terbaik kan? Ester, Rut juga jadi itu kesetaraan-kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sudah sejak lama ada di Alkitab”
-
23
serta nilai kesetaraan dalam Alkitab, perempuan terpanggil untuk
mengekspresikan diri, mau tampil dan berperan dalam berbagai bidang kehidupan
baik dalam gereja maupun dalam masyarakat56
. Harus diakui bahwa perempuan
telah mampu menduduki berbagai posisi seperti halnya sebagai seorang pemimpin
jemaat. Jika melihat kembali pada sejarah, akan sangat sulit bagi perempuan
untuk dapat menduduki posisi sebagai pendeta mengingat yang diberikan
kesempatan untuk membina jemaat ialah laki-laki57
. Menjadi suatu hal yang patut
dipertahankan jika kesempatan dan peluang bagi perempuan untuk menduduki
posisi sebagai pemimpin jemaat tetap terbuka.
Posisi perempuan yang setara tidak terlepas juga dari pemahaman
informan terhadap posisi perempuan dan laki-laki yang setara dalam bingkai
karya penciptaan Allah. tidak heran jika dalam gereja, perempuan pendeta GMIM
dipercaya sebagai pengambil keputusan diaras jemaat yang tentu sangat berperan
dalam posisinya sebagai pemimpin. Bagi informan hal ini didukung juga oleh
nilai pengajaran yang terkandung dalam Alkitab dimana posisi perempuan
menjadi hal yang penting seperti halnya dalam kisah kebangkitan Yesus dimana
Yesus justru pertama kali menampakkan diriNya kepada perempuan58
. Hal ini
56
Hasil wawancara dengan Pdt. Nova Sondak: “ seorang perempuan di Minahasa ... ya sebagai mitra kerja laki-laki maupun sebagai pasangan hidup ... di Minahasa seorang perempuan itu sangat dihargai dan dihormati ya mungkin beda di tempat-tempat yang lain di luar Minahasa sebab kalo penempatan seorang perempuan itu apalagi seorang pendeta, pendeta perempuan menurut ibu yaa sangat-sangat bernilai ya, sangat-sangat luar biasa”
Pdt. Yuliana Kakambong: “ ... pengalaman soal memimpin melayani di jemaat disini malah justru kaum laki-laki tidak dibilang tiunduk tapi mengakui kepemimpinan kaum perempuan secara khusus kepemimpinannya ibu di sini di budaya Minawerot ini Tonsea makanya dalam kegiatan pelayanan program-program juga melibatkan kegiatan-kegiatan budaya misalnya dalam liturgi-liturgi jemaat bentuk ke 5 itu ada liturgi alterantif itu diisi dengan kegiatan-kegiatan ibadah liturgis, dalam budaya dari ambil bagian itu bahkan juga ada kegiatan-kegiatan desa, kegiatan kabupaten, selalu melibatkan kaum perempuan
Pdt. Nita Agou: “ ... dalam lingkungan saya lihat ya bisa diterima artinya dalam posisi sebagai pendeta perempuan dapat diterima dalam kehidupan pelayanan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat”
Pdt. Meidy Suoth: “ kita siap tampil ya seperti itu, atau pun kepribadian kita, apa yang kita lakoni” 57
Augustien Kapahang Kaunang, “Perempuan dan Pendidikan Teologi” dalam buku Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi ed.Deetje Tiwa-Rotinsulu dan Augustien Kapahang-Kaunang (Jakarta: Meridian, 2005), 58-69
58Hasil wawancara dengan Pdt. Nita Agou: “nilai kesetaran itu ada, justru Tuhan Yesus
yang mengangkat itu ketika peristiwa kebangkitan, justru perempuan lebih dulu diperkenankan Tuhan.”
-
24
menunjukan bahwa perempuan juga turut diperhatikan dan memiliki posisi yang
penting didalam kisah Paskah.
Sementara itu ditengah masyarakat, disamping keberadaan pendeta
sebagai pemimpin jemaat, sosok pendeta juga memiliki pengaruhnya dalam
kepemimpinan masyarakat atau dalam pemerintahan59
. Maka dari itu posisi
perempuan pendeta menjadi posisi yang strategis bukan hanya turut dalam
mentrasformasi jemaat melainkan juga mentrasformasi masyarakat.
3.1.3. Peran Perempuan Pendeta GMIM
Berkaitan dengan perannya, perempuan pendeta telah mampu berperan
dalam berbagai bidang seperti halnya: Pertama, dalam perannya ditengah
keluarga, informan mengakui bahwa posisinya tidak hanya sebagai ketua jemaat
melainkan juga sebagai orang tua yang tentu harus memikirkan juga kelangsungan
anak-anak dan kebutuhan keluarganya60
. Perempuan pendeta menjadi mitra
suaminya dalam menjalankan peran formalnya seperti memenuhi kebutuhan
keluarga serta peran informalnya dalam mendampingi suami juga anak-anaknya
ditengah kesibukan tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin jemaat.
Kedua, dalam perannya ditengah masyarkat dalam hal ini kebudayaan,
perempuan pendeta turut diikutsertakan dan berperan dalam acara dan kegiatan
adat mengingat posisi sebagai pendeta dipandang sebagai sosok yang penting
dalam masyarakat61
. Maka peran pendeta akan selalu dilibatkan dalam setiap
59
Augustien Kapahang Kaunang, “Perempuan dan Pendidikan Teologi” dalam buku Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi ed.Deetje Tiwa-Rotinsulu dan Augustien Kapahang-Kaunang (Jakarta: Meridian, 2005), 75-76
60Hail wawancara dengan Pdt. Nita Agou: “saya pernah dianggap remeh karena ada
pikiran ah kalian perempuan hanya bantu-bantu saja, jadi saya pun sempat bilang ia Tuhan ciptakan kita laki-laki dengan perempuan, kita perempuan jadi penolong, penolong itu berarti lebih kuat dari yang ditolong ... yaa ini hanya bercanda tetapi memang betul kan, penolong justru lebih kuat dari yang ditolong jadi jangan pandang rendah kami perempuan... perempuan justru menjadi rekan laki-laki termasuk dalam pengambl keputusan keluarga juga ”
Pdt. Yuliana Kakambong: “... sejarah masa lalu masih terus menjadi benang merah hingga sekarang bahwa ketika dipimpin oleh seorang laki-laki apa pun itu lebih kuat padahal... padahal dalam kenyataanya dengan munculnya gender ini dunia emansipasi kaum perempuan, tidak seperti itu tapi yang masih diingat sekarang karena sejarah itu kaum perempuan dari dulu hanya sebatas melahirkan hanya sebatas didapur hanya sebatas pekerjaan dirumah tidak bisa melebihi kaum laki-laki, dalam sejarah itu pemahaman tradisional itu masih ada sampe sekarang tetapi pemahaman gender tidak hanya dilihat ketika dia jadi orang nomor satu karena dibalik seorang laki-laki sebenranya ada perempuan yang kuat, perempuan yang dahsyat”
61 Hasil wawancara dengan Pdt. Nova Sondakh: " yaa kalo ibu melihat diri ibu sebagai
-
25
kegiatan maupun acara adat meskipun hanya untuk memimpin doa ataupun ibadah
singkat dalam kegiatan tersebut.
Ketiga, berkaitan dengan peran perempuan pendeta GMIM dalam hal
kepemimpinan gereja, semua informan mengakui adanya kesempatan dan peluang
yang sama baik bagi perempuan maupuan laki-laki pendeta. Perempuan pendeta
dapat menduduki posisi pemimpin serta telah mampu menentukan keputusan di
aras jemaat dan wilayah62
. Namun dalam melihat realita bahwa perempuan
pendeta belum pernah menduduki jabatan penggambil keputusan di aras sinodal,
terdapat beberapa pandangan dari informan dalam menyikapi hal tersebut.
Pertama, belum adanya kekompakan atau kesatuan diantaran perempuan pendeta
untuk memilih sesama perempuan63
. Dengan kata lain solidaritas antar sesama
perempuan pendeta masih belum erat. Keinginan untuk mengangkat perempuan
pendeta menduduki jabatan pengambil keputusan di aras sionodal selalu
digemakan setiap pemilihian namun akibat kurangnya kesatuan dan kebersamaan
dari perempuan pendeta yang ada, maka selama 16 kali pemilihan perempuan
pendeta tidak pernah terpilih.
Kedua, pandangan yang mengedepankan latar belakang64
. Latar belakang
yang dimaksud menunjuk pada kemampuan, pendidikan, prestasi, sikap dan
pendeta dalam kehidupan setiap hari yaa dalam panggilan pelayanan ibu merasa bahwa ibu sudah bukan tampil cuman sebagai pendeta tetapi ibu sudah tampil di segala bidang kehidupan... ya karena memang namanya kita berada di daerah Tonsea ini jadi pendeta itu sangat di butuhkan bukan cuma di gereja di jemaat tetapi juga di butuhkan dalam masyarakat di pemerintah.”
62 Hasil wawancara dengan Pdt. Merry Kalengkongan : “Perempuan skarang ini
pengambil keputusan karena ketua jemaat juga kan” 63
Hasil wawancara dengan Pdt. Feebe Palandi: “ya itu lagi, karna memang ini perempuan-perempuan
Pendeta, pendeta perempuan kadang tidak kompak, padahal kalo mau dihitung benar apa yang dikatakan tadi bahwa perempuan lebih banyak, tetapi memang belum pernah dalam sejarah GMIM ada pendeta perempuan, tidak tau kalo ini (pemilihan), yaaa ini aja mungkin ... sebagai perempuan sebenarnya musti ada kekompakan, kebersamaan, supaya muncul ini perempuan juga, jadi memang belum ada sampe skarang ini, karena belum ada kekompakan itu.”
Pdt. Nita Agou: “sudah sekian lama belum ada pendeta perempuan menjadi ketua sinode mungkin
juga perlu ada kesatuan antara perempuan..pendeta-pendeta perempuan untuk menunjukkan kekuatan, bukan berarti dalam persaingan, tetapi menunjukkan bahwa kita juga perempuan ini mampu untuk menjadi seorang pemimpin besar, jadi perlu adanya ikatan kesatuan untuk memperkenalkan ato apa istilahnya supaya laki-laki pun tahu kita mampu, kita bisa, sebenarnya sudah ada tetapi kurang untuk apa ya istilahnya.”
64Hasil wawancara dengan Pdt. Nova Sondak: “kebanyakan ya melihat dari pendidikan
yaa, karena kebanyakan para pemilih dan untuk memilih pimpinan ya khususnya sinode paling mereka memilih yang memiliki pendidikan yang baik starta 2 starta 3 sementara untuk
-
26
karakter perempuan pendeta. Banyak perempuan pendeta yang berprestasi dan
dinilai mampu namun belum menonjol dan belum percaya diri selayaknya laki-
laki pendeta yang dinilai tegas, dan selalu menonjolkan diri. Selain itu perempuan
pendeta yang berpendidikan tinggi justru lebih banyak yang terjun sebagai
pengajar yakni dosen. Dengan kata lain perempuan pendeta belum semenonjol
laki-laki pendeta.
Ketiga, padangan bahwa justru dibalik kepemimpinan laki-laki pendeta
terdapat peran besar dari perempuan pendeta65
. Terpilihnya laki-laki pendeta
justru karena dukungan perempuan pendeta yang memilihnya dimana jika dilihat
secara kuantitas, perempuan pendeta lebih banyak dibanding dengan laki-laki
pendeta, dan perempuan pendeta juga menduduki jabatan sebagai pengambil
keputusan di aras jemaat yang memiliki suara untuk memilih pemimpin di aras
sinodal. Disamping itu keberadaan laki-laki pendeta yang menjadi pemimpin tidak
terlepas dari keberadaan perempuan yang ada di dalam kehidupannya yakni ibu
maupun istri. Keempat, informan berpandangan bahwa semuanya menjadi
perempuan, ya perempuan pendeta kebanyakan yang strata 3 malah menjadi dosen skarang. Kalo dijemaat kan justru pendeta laki-laki ada yang dijemaat yang doktor tapi baru vikaris, jadi saya kira bukan laki-laki lebih unggul yaa sama saja, Cuma untuk posisi di jabatan-jabatan itu yaa memang keliataannya laki-laki lebih berpeluang, bukan berarti perempuan tidak berpeluang, sebenarnya berpeluang sih tapi cuman yaa proses pemilihan yaa belum waktunya.”
Pdt. Merry Kalengkongan: “ ... barangkali ada beberapa alasan. Perempuan masih belum tegas
untuk mengambil keputusan, kalo menurut saya, kalo mau lihat kan laki-laki lebih yang lebih tegas sehingga untuk kepercayaan menjadi seorang pemimpin apalagi berbicara sinode lebih condong ke laki-laki , sekalipun secara umum saya mau lihat bahwa perempuan paling banyak, perempuan paling banyak, di wilayah saja sini hitung berapa, perempuan yang paling banya, 4 atau 5 laki-laki disini, yang paling banyak perempuan, tapi mau melihat seorang pemimpin lebih pada ketegasannya.”
Pdt. Yeni Tangkuman: “karena mereka laki-laki lebih kuat mereka lebih bersuara kuat kalau mungkin perempuan karena dari dulu dianggap perempuan lemah anggap lemah dan tak berdaya terlahir kan begitu tetapi jangan lupa dari faktor dilahirkan, ... tercipta sebagai perasaan yang halus bukan berarti laki-laki tidak memiliki perasaan halus, itu mungkin jadi penyebab mengapa perempuan itu dan kadang seperti terlalu kurang berani untuk tapil kurang berani tetapi setelah dipelajari sebenarny itu datang dari diri sendiri, percaya diri harus ada ...”
65Hasil wawancara dengan Pdt. Yuliana Kakambong : “... memang dari satu sisi kaum
perempuan itu keunikannya tidak harus menjadi orang nomor satu tapi perannya dengan penampilan seorang pria sebenarnya secara implisit besar peran perempuan. Ketua sinodenya laki-laki tetapi dia menjadi seorang ketua sinode karena peran isterinya, peran ibunya, peran perempuan-perempuan yang memilih dia. Bukan berarti kuantitas perempuan itu dengan dia menjadi orang nomor satu, tidak, isi dari gender itu justru tidak hanya hal-hal kelihatan hal secara impisit yang tersembunyi bahkan tidak diketahui oleh banyak orang perannya sangat luar biasa dari seorang perempuan dan disitu tersembunyi makna paling besar dari istilah gender
-
27
keputusan sidang pemilihan66
. Proses pemilihan memang menjadi penentu jika
pada akhirnya perempuan pendeta tidak dipilih bahkan tidak masuk dalam
nominasi yang akan dipilih.
3.2. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa dalam pengaruhnya dengan
pengajaran dan kebijakan gereja, perempuan pendeta memiliki citra diri yang
setara seperti yang diyakini dalam pengajaran Alkitab. Citra diri itulah yang
membuat perempuan pendeta berjuang agar dapat memiliki kesempatan untuk
menduduki jabatan pengambil keputusan diaras sinodal meskipun perjuangan
tersebut harus sejalan dengan eratnya solidaritas antar perempuan pendeta dalam
menyadari, mengangkat dan memperjuangan isu-isu kemanusiaan berkaitan
dengan keberadaan kaum perempuan. Kesempatan dan peluang bagi perempuan
pendeta memang telah terbuka. Jawaban informan memperlihatkan bahwa
berbicara tentang masalah kepemimpinan dalam gereja menjadi pembicaraan yang
kompleks. Keberadaan perempuan pendeta yang lebih banyak secara jumlah
dibanding dengan laki-laki pendeta disatu sisi seharusnya memungkinkan
perempuan untuk mampu menduduki jabatan pengambilan keputusan di aras
sinodal namun disisi lain juga harus diakui bahwa tidak selalu siapa yang
terbanyak yang harus menjadi pemimpin. Meskipun demikian perempuan pendeta
juga sangat berperan dalam masyarakat dan keluarganya. Sementara dalam
pengaruhnya dengan kebudayaan Minahasa, perempuan pendeta memiliki citra
diri yang bebas sebagai manusia dalam tugas dan perannya dalam gereja maupun
masyarakat. Meskipun kebudayaan Minahasa dirasa sudah mulai bergeser namun
keterlibatan perempuan ditengah masyarakat harus terus dipacu dalam
menujukkan kiprah dan kemampuannya dengan tampil menunjukkan
eksistensinya dalam karya.
66
Hasil Wawancara dengan Pdt. Lentji Peleh: “terserah sidang, yang mencalonkan ada, yang terpilih tidak”
-
28
4. Kajian Kritis Teologi Feminis Asia terhadap Citra Diri Perempuan
Pendeta GMIM
Pada bagian ini penulis akan melakukan kajian kritis terhadap citra diri
perempuan pendeta GMIM yang tergambarkan lewat identitas, posisi, hingga
peran perempuan pendeta GMIM yang telah penulis paparkan pada bagian 3
sebagai hasil dari penelitian dengan kajian teori teologi Feminis Asia yang telah
penulis paparkan pada bagian 2.
4.1. In-between Identity Perempuan Pendeta GMIM
Kajian terhadap identitas perempuan pendeta GMIM tidak dapat
dipisahkan dari sejarah kekristenan di Minahasa khususnya sejarah kehadiran
GMIM. Sebagai hasil dari penginjilan misionaris Barat bersamaan dengan
pendudukan bangsa kolonial di Indonesia khsusunya di Sulawesi Utara, corak
kekristenan yang ada juga bercorak penaklukan Barat dimana segala sesuatu yang
dianggap bertentangan dengan kekristenan akan dipandang sebagai kekafiran dan
dimusnahkan. Tidak heran jika nilai-nilai luhur seperti nilai kebudayaan Minahasa
yang menjaga keseimbangan kosmis dengan melihat perempuan dan laki-laki
memiliki identitas sebagai manusia yang utuh perlahan-lahan mulai luntur67
.
Seperti yang diungkapkan oleh Chung Hyun Kyung dan Kwok Pui-Lan dimana
dalam realitas Asia, penghilangan dan penolakan nilai-nilai luhur dalam
kebudayaan lokal terjadi sejalan dengan penginjilan dan kolonialisasi Barat.
Budaya Barat telah begitu terinternalisasi dalam kehidupan orang
Minahasa dan dalam kehidupan gereja tentunya. Membentuk orang Minahasa
dengan identitas yang kebarat-baratan. Setidaknya hal ini dapat terlihat dari
beberapa hal seperti halnya dari penggunaan nama-nama orang Minahasa yang
menjadi bagian dari identitas diri dimana sebagian besar orang Minahasa sejak
masuknya Injil kurang berminat lagi untuk menggunakan nama dalam bahasa
lokal selain marga yang tetap dipertahankan untuk menunjukkan identitas
keluarganya. Seperti halnya pemikiran Kwok yang menyikapi realitas tersebut
dengan anggapan bahwa orang Asia mulai terlepas dari budaya lokalnya,
67
Ruth Ketsia Wangkai, “Menemukan Visi Baru Spirituallitas Orang Minahasa” dalam buku Perempuan Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks ed. Asnath N. Natar (Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004), 77.
-
29
terkhususnya perempuan Asia yang mengalami in-between identity yang
membawa perempuan berada ditengah identitas yang tidak lagi sepenuhnya Asia
dan tidak sepenuhnya Barat68
, dalam hal ini dapat dikatakan juga bahwa
perempuan Minahasa pun mengalaminya dimana identitasnya berada diantara
tidak sepenuhnya Minahasa dan tidak sepenuhnya Barat. Tidak heran pula jika
informan mengaku bahwa identitas sebagai seorang perempuan yang mandiri,
berwibawa, serta berani yang menjadi ciri khas perempuan Minahasa justru mulai
luntur dengan semakin menonjolnya laki-laki.
Harus diakui bahwa lunturnya nilai-nilai budaya Minahasa bukan hanya
disebabkan oleh karena sejarah pendudukan bangsa Barat melainkan juga
merupakan sebab dari globalisasi sebagai bagian dari nekolonialisme yang
semakin membuat orang Minahasa melupakan bahkan terlepas dari
kebudayaannya. Sama halnya dengan warga Asia lainnya yang bagi Kwok
mengalami pergeseran identitas diri69
. Hal ini salahsatunya dapat terlihat lewat
penggunaan bahasa daerah yang semakin langkah baik dalam berkhotbah maupun
dalam kehidupan sehari-hari terkhususnya di daerah Minahasa Utara. Bahasa yang
juga merupakan bagian dari identitas pun turut mulai luntur. Begitu juga dengan
globalisasi yang menawarkan budaya-budaya baru bahkan lewat perkembangan
teknologi dan arus media masa global yang turut membentuk identitas orang
Minahasa khususnya perempuan Minahasa dengan identitas yang baru, justru
perlahan-lahan mengaburkan bahkan menghilangkan identitasnya yang otentik.
Tidak heran juga jika informan mengaku lupa dan sulit untuk menyebutkan
budayanya yang menjadi identitasnya.
Identitas perempuan Minahasa yang berada „di antara‟, terlihat dari
jawaban informan yang pada dasarnya disatu sisi menunjukkan bahwa informan
sebagai perempuan pendeta GMIM memahami dirinya dengan identitas sebagai
manusia yang utuh dan setara dengan laki-laki dalam bingkai Imago Dei maupun
dalam bingkai kebudayaan Minahasa, namun hal tersebut justru berbanding jika
68
Kwok Pui-Lan, Introducing Asian Feminist Theology (Inggris:Shefifield Academic, 2000), 19
69Kwok Pui-Lan , “ The Future of Feminist Theology: An Asian Perspective” dalam buku
Feminist Theology from the Third World, ed. Ursula King (New York:Orbis, 1994),68-69
-
30
diperhadapkan dengan peran perempuan pendeta terkhususnya dalam bidang
kepemimpinan gereja yang nantinya akan penulis bahas pada bagian peran.
4.2. Posisi Startegis Perempuan Pendeta GMIM
Berdasarakan jawaban informan dapat dikatakan bahwa perempuan
pendeta GMIM telah menyadari dirinya sebagai makhluk yang setara sebagai
ciptaan Allah dalam bingkai Imago Dei. Dalam kebudayaan sendiri informan
mengakui bahwa perempuan pendeta memiliki posisi yang dihormati. Perempuan
mampu untuk memimpin, bahkan dalam keberadaannya sebagai pemimpin umat,
perempuan pendeta pun memiliki pengaruh sebagai pemimpin masyarakat.
Sementara dalam pemahamannya terhadap posisi perempuan yang terkandung
dalam Alkitab, informan juga turut mengakui kesetaraan antara perempuan dan
laki-laki yang disaksikan oleh kisah-kisah Alkitab. Hal ini menunjukkan bahwa
pada dasarnya jawaban informan telah menunjukkan semangat yang terkandung
dalam teologi Feminis Asia yakni dengan menyadari identitas dirinya sebagai
manusia yang utuh dan juga sebagai ciptaan yang setara yang diperoleh dari
kandungan pesan dalam Alkitab maupun dari kehadiran tokoh-tokoh perempuan
dalam Alkitab. Meskipun demikian harus diakui bahwa kehadiran tokoh-tokoh
perempuan dalam Alkitab harus dilihat dengan kecurigaan seperti yang
dimaksudkan Chung yakni mengkritisi serta memaknainya secara baru. Terdapat
kemungkinan bahawa justru kehadiran tokoh-tokoh perempuan tersebut memuat
nilai-niali patriakhal yang membawa perempuan dalam hubungan antara pihak
yang berkuasa dengan pihak yang tertindas. Maka dengan hanya melihat hadirnya
perempuan dalam Alkitab tanpa mendalami peran dan alasan kehadirannya serta
tanpa menkritisinya tidak dapat secara langsung menyimpulkan bahwa kehadiran
tokoh perempuan dalam Alkitab sudah selalu menunjukkan kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki.
Pentingnya untuk mengkritisi pengajaran bahkan teks-teks Alkitab
menjadi hal yang perlu untuk disadari oleh perempuan pendeta GMIM mengingat
seperti yang telah penulis sampaikan diatas bahwa kekristenan yang diterima oleh
orang Minahasa sangat kental dengan budaya patriarkhal yang tidak hanya
menggeser posisi dan kedudukan serta identitas perempuan dalam kebudayaan
-
31
Minahasa tetapi juga menggeser posisi dan kedudukan perempuan sebagai
pemimpin terlebih dalam kepemimpinan gereja. Maka dari itu perlu bagi
perempuan pendeta GMIM untuk menggali nilai-nilai luhur beserta spiritulaitas
yang terkandung dalam kebudayaan Minahasa untuk membentuk dan mendukung
keberadaan perempuan pendeta GMIM ditengah karya pelayanannya baik dalam
gereja maupun masyarakat. Mengingat kebudayaan Minahasa yang tidak
mengenal sistim kasta seperti dalam sebagai budaya yang ada di Indonesia maka
posisi perempuan pendeta GMIM merupakan modal besar bagi transformasi baik
dalam gereja dan masyarakat terkhsusunya berkaitan dengan isu-isu perempuan.
Posisi perempuan pendeta GMIM menjadi posisi yang strategis dalam perjuangan
kaum perempuan untuk terlepas dari permasalahan kekerasan, penindasan, bahkan
untuk dapat memberdayakan sesama perempuan.
4.3. Peran Perempuan Pendeta GMIM dalam Kepemimpinan Gereja
Dalam bagian ini penulis hendak berfokus pada peran perempuan pendeta
GMIM dalam kepemimpinan gereja melihat bahwa dalam peran ini justru terdapat
hal yang perlu untuk didalami. Dari jawaban informan disatu sisi infroman telah
menyadari posisi dirinya yang setara dengan laki-laki namun dalam kesadaran
tersebut justru melalui perannya terlihat bahwa keberadaannya sebagai
perempuan pendeta belum sepenuhnya dilibatkan terlebih dalam hal
kepemimpinan gereja. Menjadi suatu realitas bahwa perempuan pendeta GMIM
hanya dapat menduduki posisi pengambil keputusan diaras jemaat dan wilayah
sementara ada keinginan dari kaum perempuan pendeta sendiri untuk dapat duduk
pada posisi pengambil keputusan di aras sinodal. Dari pernyataan informan
setidaknya terdapat empat pandangan mengapa perempuan pendeta GMIM belum
dapat menduduki posisi pengambil keputusan yang dalam b