Download - Critical Appraisal ICU
PENGARUH PEMBERIAN OKSIGEN MASKER 8 LPM DENGAN OKSIGEN NASAL KATETER 2 LPM TERHADAP PERUBAHAN DERAJAT
KESADARAN DAN KORELASI ANTARA KADAR OXYGEN DELIVERY DENGAN LENGTH OF STAY PADA
PASIEN CEDERA OTAK SEDANG DI ICU
CRITICAL APPRAISAL
Disusun oleh :
Nama Mahasiswa
NIM : 123456789
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES xxxxxxxxxxxxx
TAHUN 2012/2013
LOGO
Kampus
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan industrialisasi serta peningkatan sarana transportasi dan
mobilisasi manusia, barang dan jasa dari suatu tempat ketempat lain yang
tidak diimbangi pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang cukup
memadai serta kepatuhan dari pengguna jalan untuk mematuhi rambu jalan
lintas berakibat terjadi peningkatan cedera kepala yang setiap tahiin
cenderung meningkat. Hal ini diperparah dengan kurangnya factor
ketrampilan dan pemahaman mengenai penanganan cedera kepala secara
cepat dan tepat dari tenaga medis/paramedik yang akan berakibat peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas.
Cedera otak primer terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma,
sedangkan cedera sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer. Apabila cedera sekunder tidak
diatasi atau tidak ada upaya menghentikan proses tersebut maka cedera akan
terus berkembang dan berakhir dengan kematian jaringan,yang cukup luas
(nekrosis/apoptosis). Cedera sekunder pada tingkat organ dapat berakhir
dengan kegagalan/kematian organ.
Cedera otak sekunder yaitu keadaan yang merupakan beban metabolik
tambahan pada jaringan yang sudah mengalami cedera. Beban ekstra ini
meliputi kejadian sistemik maupun intrakranial yang merupakan penyebab
dari penyampaian oksigen yang menurun ke otak yang sudah cedera antara
lain perfusi otak menurun, hipotensi, kandungan oksigen menurun oleh
karena hipoksemia dan anemia. Otak yang sudah cedera lebih rentan terhadap
hipoksia. Bila tidak ada suplai oksigen, metabolisme glukosa berhenti pada
piruvat. Piruvat yang seharusnya dioksidasi dalam siklus Krebs direduksi
menjadi laktat. Produksi laktat melewati glikolisis sitoplasmik menghasilkan
asidosis dan kerusakan sel saraf (Combs, et. all, 1990).
Untuk mencegah terjadi cedera otak sekunder maka harus segera
dipertahankan perfusi otak, kandungan oksigen ke otak cukup dengan jalan
penanganan dan pengelolaan cedera otak dengan adekuat mulai dari Airway
(saluran nafas) bebas, Breathing (pernafasan) normal, Circulation (peredaran
darah) lancar serta jumlah oksigen cukup agar tidak terjadi hipoksia Yang
akan menimbulkan terjadinya metabolisme anaerob.
Kurangnya faktor ketrampilan dan pemahaman mengenai penanganan
cedera kepala secara cepat dan tepat dari tenaga medis/paramedik yang akan
berakibat peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Pemberian oksigen masker 8 lpm pada pasien cedera otak sedang belum
dilakukan di ICU, karena tergantung tingkat GCS tiap pasien.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis melakukan critical appraisal
jurnal pada latar belakang jurnal tersebut.
B. Tujuan
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari
Research Based Practice yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penyebab pemberian oksigen masker 8 lpm
2. Untuk mengetahui penyebab pemberian oksigen nasal kateter 2 lpm
3. Untuk mengetahui perubahan derajat kesadaran pada pasien cedera otak
sedang
4. Untuk mengetahui pemberian oksigen masker 8 lpm dengan oksigen nasal
kateter 2 lpm terhadap perubahan derajat kesadaran pada pasien cedera
otak sedang
5. Untuk mengetahui korelasi antara kadar oxygen delivery (DO2) dengan
length of stay (lama perawatan) pada pasien cedera kepala sedang
C. Manfaat
Manfaat dari Research Based Practice yaitu sebagai berikut :
1. Bagi perawat
Menambah pengetahuan perawat terutama mengenai pemberian oksigen
masker 8 lpm dengan oksigen nasal kateter 2 lpm terhadap perubahan
derajat kesadaran pada pasien cedera otak sedang dan korelasi antara
kadar oxygen delivery (DO2) dengan length of stay (lama perawatan).
2. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
pemberian oksigen masker 8 lpm dengan oksigen nasal kateter 2 lpm
terhadap perubahan derajat kesadaran pada pasien cedera otak sedang
dan korealsi antara kadar oxygen delivery (DO2) dengan length of stay
(lama perawatan) sehingga dapat dilakukan evaluasi dalam
pelaksanaannya. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pelayanan dan mutu kinerja di ICU Rumah Sakit.
3. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan
dalam mengaplikasikan teori dalam melakukan penelitian sederhana.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Oksigen
Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsure vital
dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup
seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini iperoleh dengan cara menghirup
udara ruangan dalam setiap kali bernafas.
Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi system
respirasi, kardiovaskuler dan keadaan hematologis.
Adanya kekurangan O2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam
proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat
mengancam kehidupan. Klien dalam situasi demikian mengharapkan
kompetensi perawat dalaam mengenal keadaan hipoksemia dengan segera
untuk mengatasi masalah.
Pemberian terapi O2 dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar
pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya O2 dari
atmosfir hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses
respirasi. Berdasarkan hal tersebut maka perawat harus memahami indikasi
pemberian O2, metode pemberian O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.
B. Terapi Oksigen
Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam
mempertahankan okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan
utama pemberian O2 adalah (1) untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai
dengan hasil Analisa Gas Darah, (2) untuk menurunkan kerja nafas dan
meurunkan kerja miokard.
Syarat-syarat pemberian O2 meliputi : (1) Konsentrasi O2 udara
inspirasi dapat terkontrol, (2) Tidak terjadi penumpukan CO2, (3) mempunyai
tahanan jalan nafas yang rendah, (4) efisien dan ekonomis, (5) nyaman untuk
pasien. Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”. Hal
ini penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah
mengalami humidfikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2
(Tabung) merupakan udara kering yang belum terhumidifikasi, humidifikasi
yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada pernafasan.
C. Indikasi Pemberian O2
Berdasarkan tujuan terapi pemberian O2 yang telah disebutkan, maka
adapun indikasi utama pemberian O2 ini adalah sebagai berikut : (1) Klien
dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah, (2) Klien dengan
peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan
hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernafasan serta adanya
kerja otot-otot tambahan pernafasan, (3) Klien dengan peningkatan kerja
miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2 melalui
peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemberian O2
dindikasikan kepada klien dengan gejal : (1) sianosis, (2) hipovolemi, (3)
perdarahan, (4) anemia berat, (5) keracunan CO, (6) asidosis, (7) selama dan
sesudah pembedahan, (8) klien dengan keadaan tidak sadar.
D. Metode Pemberian O2
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik, yaitu :
1. Sistem aliran rendah
Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara
ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada
tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem
aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih
mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan
Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit.
Contoh system aliran rendah ini adal;ah : (1) kataeter naal, (2) kanula
nasal, (3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup muka dengan kantong
rebreathing, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system :
a. Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara
kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
- Keuntungan
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara,
murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, tehnik
memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi
distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran
dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan
mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat.
b. Kanula nasal Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan
O2 kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama
dengan kateter nasal.
- Keuntungan
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur,
mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan,
bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2
berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena
kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
c. Sungkup muka sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt
dengan konsentrasi O2 40 – 60%.
- Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula
nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan
sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi
aerosol.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.
d. Sungkup muka dengan kantong rebreathing :
Suatu tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt
- Keuntungan
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir
- Kerugian
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih
rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa
terlipat.
e. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai
99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak
bercampur dengan udara ekspirasi
- Keuntungan :
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak
mengeringkan selaput lendir.
- Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.
2. Sistem aliran tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi
oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan
konsentrasi O2 yang lebihtepat dan teratur.
Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan
ventury.
Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung
akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur
suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat
diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada
alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
- Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan
tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban
gas dapat dikontrl serta tidak terjadi penumpukan CO2
- Kerugian
Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup muka yang
lain pada aliran rendah.
E. Bahaya-Bahaya Pemberian Oksigen
Pemberian O2 bukan hanya memberiakan efek terapi tetapi juga dapat
menimbulkan efek merugikan, antara lain :
1. Kebakaran
O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya kebakaran,
oleh karena itu klein dengan terapi pemberian O2 harus menghindari :
Merokok, membukan alat listrik dalam area sumber O2, menghindari
penggunaan listrik tanpa “Ground”.
2. Depresi Ventilasi
Pemberian O2 yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang
tepat pada klien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi
3. Keracunan O2
Dapat terjadi bila terapi O2 yang diberikan dengan konsentrasi tinggi dalam
waktu relatif lama. Keadaan ini dapat merusak struktur jaringan paru
seperti atelektasi dan kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di paru
akan terganggu
F. Oxygen delivery (DO2)
Oxygen delivery (DO2) adalah jumlah total oksigen yang dialirkan
darah ke jaringan setiap menit. Kadar oxygen delivery tergantung dari cardiac
output (CO) dan oxygen content of the arterial blood (CaO2). Komponen dari
CaO2 adalah oksigen yang berikatan dalam serum (2-3%) yang dapat
ditelusuri dengan kadar PaO2 dan oksigen yang berikatan dengan hemoglobin
(97-98%) yang dapat ditelusuri dengan SaO2 (saturasi oksigen pada
pembuluh darah arteri). Dari definisi ini dapat dijabarkan sebuah rumus :
DO2 = CO X (Hb X 1,34 X SaO2) + (PaO2 X 0,0031)
Nilai normal oxygen delivery (DO2) adalah 1000 ml O2/menit. Dari rumus
diatas dapat dilihat bahwa hemoglobin (Hb) dan saturasi oksigen (SaO2)
adalah penentu utama pada pengaliran oksigen dalam darah ke seluruh
jaringan tubuh termasuk otak.8,9,10,12
Kadar oxygen delivery (DO2) sangat ditentukan dari fungsi jantung,
hemoglobin dan saturasi oksigen dalam pembuluh darah arteri. PaO2
berpengaruh sedikit sekali bahkan dalam beberapa literatur diabaikan. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kadar oxygen delivery (DO2) perlu
penanganan secara optimal pada penderita cedera kepala, terutama
pengelolaan prehospital. Tujuan terpenting pengelolaan prehospital (awal
kejadian cedera, tranportasi ke RS ataupun rujukan ke pelayanan bedah saraf)
adalah mempertahan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat serta menjaga
tekanan darah yang dapat mempertahankan tekanan perfusi otak.12,13
G. Length of stay
Length of stay adalah lama perawatan yang diberikan kepada pasien
oleh suatu tempat pelayanan kesehatan. Lamanya perawatan tentunya
dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah penanganan penderita
sejak awal secara baik dan tepat akan menentukan outcome. Penelitian
mengenai outcome dari Traumatic Coma Data Bank menunjukkan bahwa
hipoksia yang menyertai cedera kepala akan meningkatkan angka morbiditas
dan mortalitas sebanyak 33%.9,10
H. Cedera Kepala
Cedera kepala masih merupakan salah satu penyebab kecacatan dan
kematian karena trauma di negara Indonesia (Bajamal A'H, 1990). Cedera
otak primer terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, sedangkan
cedera sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer. Apabila cedera sekunder tidak diatasi atau
tidak ada upaya menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus
berkembang dan berakhir dengan kematian jaringan,yang cukup luas
(nekrosis / apoptosis). Cedera sekunder pada tingkat organ dapat berakhir
dengan kegagalan/kematian organ. Cedera otak sekunder yaitu keadaan yang
merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan yang sudah mengalami
cedera. Beban ekstra ini meliputi kejadian sistemik maupun intrakranial yang
merupakan penyebab dari penyampaian oksigen yang menurun ke otak yung
sudah cedera antara lain perfusi otak menurun, hipotensi, kandungan oksigen
menurun oleh karena hipoksemia dan anemia. Otak yang sudah cedera lebih
rentan terhadap hipoksia. Bila tidak ada suplai oksigen metabolisme glukosa
berhenti pada piruvat. Piruvat yang sehanrsnya dioksidasi dalam siklus Krebs
direduksi menjadi laktat. Produksi laktat melewati glikolisis sitoplasmik
menghasilkan asidosis dan kerusakan sel saraf (Combs, et. all, 1990).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan langkah – langkah yang akan dilakukan
dalam penelitian yang ditulis dalam bentuk kerangka atau alur penelitian.
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah seperti berikut :
B. Jenis dan desain penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi komparatif dua
sampel dengan uji dua fihak. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
"The Randomized Pretest-Postest Control Group Design” yaitu rancangan
yang menggunakan kelompok pembanding (Kontrol), dan dilakukan
observasi pertama (Pretest) yang memungkinkan peneliti dapat menguji
Oksigen Masker 8 Lpm
Oksigen nasalKaieter 2 lpm
Derajat kesadaran padaPasien cedera otak sedai\g
kadar oxygen delivery (DO2)
length of stay (lama perawatan)
perubahan – perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (program)
kemudian diobservasi lagi setelah intervensi.
Pretes Perlakuan Post Tes01 X 02
Gambar 3.2 Desain Penelitian: (Notoadmojo, 2005)
Keterangan : 01 : pengukuran sebelum dilakukan perlakuan
X : perlakuan atau intervensi
02 : pengukuran setelah dilakukan perlakuan
C. Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien cedera kepala yang
mendapatkan perawatan di IRD RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan besar
sampel berdasarkan perhitungan 15 orang pasien.
D. Variabel penelitian dan definisi operasional
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1). Oxymetri,2).
Jam tangan, 3). Formulir observasi dan alat tulis, 4). Masker oksigen, 5).
Nasal kateter, 6). Oksigen. Setelah data terkumpul kemudian diskoring dan
ditabulasi sesuai dengan variabel yang diukur. Kemudian dilakukan uji
statistic menggunakan uji t-Test dengan α ≤ 0,05.
E. Analisa Data
Analisis data untuk mengetahui pemberian oksigen masker 8 lpm
dengan oksigen nasal kateter 2 lpm terhadap perubahan derajat kesadaran
pada pasien cedera otak sedang. Sebelum dilakukan uji statistik, data di uji
normalitas dengan menggunakan Shapiro Wilk karena responden < 50 orang.
Uji normalitas untuk menentukan data berdistribusi normal atau tidak normal.
Hasil uji normalitas menggunakan Shapiro Wilk didapatkan data
berdistribusi normal sehingga menggunakan uji t-Test dengan α ≤ 0,05.
F. Etika Penelitian
Masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang
sangat penting dalam penelitian mengingat penelitian keperawatan akan
berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus
diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian
(Alimul, 2007).
Masalah etika penelitian meliputi:
1. Informed Consent (persetujuan)
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent).
Informed consent diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuanya
adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui
dampaknya. Jika subyek bersedia maka mereka harus menandatangani
lembar persetujuan dan jika tidak bersedia maka peneliti harus
menghormati hak pasien.
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama
responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode, yakni dengan
mencantumkan angka sesuai dengan banyaknya responden.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi
maupun masalah lainya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan pada hasil riset (Alimul, 2007). Dengan cara peneliti tidak
mencantumkan informasi maupun masalah lain yang berhubungan dengan
responden kedalam laporan hasil riset.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Perubahan saturasi antara kelompok kontrol dengan O2 nasal 2 lpm dan
kelompok perlakuan dengan O2 masker 8 lpm
Perubahan saturasi antara kelompok kontrol dengan O2 nasal 2 lpm
dan kelompok perlakuan dengan O2 masker 8 lpm.
Tabel l: Perubahan saturasi antara kelompok kontrol dengan O2 nasal 2
lpm dan kelompok perlakuan dengan O2 masker 8 lpm.
Saturasi O2 nasal 2 lpm (%)
O2 masker 8 lpm (%)
Waktu Mean MeanSpO2 95,00 96,13
10 menit 95,80 97,6720 menit 96,00 97,8730 menit 96,07 98,2040 menit 96,00 98,3350 menit 96,13 98,5360 menit 96,27 98,53
x 95,89 97,75
Dari tabel diatas tingkat rata-rata perubahan saturasi O2 kontrol yang
diberikan O2 nasal 2 lpm sebanyak 95,89% dan diberikan O2 masker 8 lpm
sebanyak 97,75%
2. Perubahan GCS pada kelompok kontrol dengan O2 nasal 2 lpm dan
kelompok perlakuan dengan O2 masker 8 lpm
Tabel 2: Perubahan GCS setelah diberikan O2 nasal 2 lpm dan O2 masker
8 lpm antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Perubahan GCS O2 nasal 2 lpm O2 masker 8 lpmMean Mean
10 menit 10 1120 menit 10 1130 menit 10 1240 menit 10 1250 menit 10 1260 menit 10 12
Dari tabel 2 dapat dilihat terjadi tingkat perubahan GCS pada pemberian
O2 masker 8 lpm
6. Hasil analisis perbedaan SpO2 pada subyek kontrol yang diberikan O2
nasal 2 lpm dan kelompook perlakuan yang diberikan O2 masker 8 lpm
Berdasarkan hasil analisis “Independent t-test terhadap SpO2 didapatkan
dari menit ke-10 sampai menit ke-60 terjadi peningkatan p value = 0,000.
7. Hasil analisis perbedaan GCS pada subyek kontrol yang diberikan O2 nasal
2 lpm dan kelompok perlakuan yang diberikan O2 masker 8 lpm
Berdasarkan hasil uji analisis “Independent t-Test terhadap GCS
didapatkan dari menit ke-10 sampai menit ke-60 terjadi peningkatan p
value =0,000.
Pemberian O2 masker 8 lpm lebih efektif daripada pemberian O2 nasal 2
lpm, binding acceleration tercepat peningkatan saturasi O2 terjadi pada
menit ke-10 sampai menit ke-60 pemberian dan pada menit ke-60
menunjukkan tidak ada peningkatan saturasi O2. Berdasarkan hasil tersebut
pemberian O2 masker 8 lpm sangat membantu dalam upaya mempercepat
peningkatan saturasi O2 pada klien dengan cedera kepala. Peningkatan
saturasi akan meningkatkan DO2 maupun VO2 sehingga pada akhirnya
akan mampu memenuhi kebutuhan O2 pada jaringan tubuh klien
8. Analisis hubungan tingkat SpO2 dengan tingkat GCS
Tabel 3 : Perbandingan antara SpO2 dengan tingkat GCS
Waktu GCSKontrol Perlakuan
10 menit P = 0,844 P = 0,88520 menit P = 0,352 P = 0,66730 menit P = 0,662 P = 0,67340 menit P = 1,000 P = 0,50650 menit P = 0,297 P = 0,42560 menit P = 0,382 P = 0,725
Dari tabel di atas tampak ada hubungan bermakna pada kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan pada menit ke-10 setelah pemberian. Pada
kontrol hubungan saturasi dengan GCS terlihat fluktuatif dan cenderung
tidak stabil. Pada kelompok perlakuan yang diberikan O2 masker 8 lpm
terlihat hubungan saturasi dengan GCS lebih konstan dan stabil.
9. Korelasi antara Kadar Oxygen Delivery (DO2) dengan Length of Stay
pada Pasien Cedera Kepala Sedang
Korelasi antara kadar oxygen delivery (DO2) dengan length of stay pada
pasien cedera kepala sedang dapat dilihat dari gambar dibawah ini :
Gambar 1
Korelasi antara Kadar Oxygen Delivery (DO2) dengan Length of Stay pada
Pasien Cedera Kepala Sedang
Tabel 4Korelasi antara Kadar Oxygen Delivery (DO2) dengan Length of Stay pada
Pasien Cedera Kepala Sedang
Correlations
oxygen delivery length of stayoxygen delivery Pearson
Correlation1 -.745**
Sig. (2-tailed) .000N 38 38
length of stay Pearson Correlation
-.745** 1
Sig. (2-tailed) .000N 38 38
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari tabel diatas, diperoleh hasil p = 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan
bahwa korelasi antara kadar oxygen delivery dengan length of stay pada
pasien cedera kepala sedang adalah bermakna. Nilai korelasi Pearson
sebesar -0,745 menunjukkan korelasi negative dengan kekuatan korelasi
kuat. Korelasi negative menunjukkan bahwa semakin besar kadar oxygen
delivery (DO2) maka semakin kecil length of stay pasien. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila penderita cedera kepala sedang yang datang ke
instalasi gawat darurat bedah dengan oksigenisasi yang adekuat selama
transportasi ke rumah sakit akan memberikan dampak yang positif bagi
pemulihan cedera kepala pasien dengan makin cepatnya perawatan di rumah
sakit.
B. Pembahasan
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa dengan pemberian O2
masker 8 lpm lebih efektif daripada pemberian O2 nasal 2 lpm, binding
acceleration tercepat peningkatan saturasi O2 terjadi pada menit ke-10 sampai
menit ke-60 pemberian dan pada menit ke-60 menunjukkan tidak ada
peningkatan saturasi O2. Berdasarkan hasil tersebut pemberian O2 masker 8
lpm sangat membantu dalam upaya mempercepat peningkatan saturasi O2
pada klien dengan cedera kepala. Peningkatan saturasi akan meningkatkan
DO2 maupun VO2 sehingga pada akhirnya akan mampu memenuhi kebutuhan
O2 pada jaringan tubuh klien.
Dari hasil penelitian juga ditemukan tingkat kecepatan pemulihan
kesadaran pada klien yang diberikan O2 nasal 2 lpm GCS : l0 dan pada klien
yang mendapatkan O2 masker 8 lpm didapatkan GCS : I l. Dari hasil analisis
statistik didapatkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap perubahan
GCS antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mulai dari menit ke-
10 sampai ke menit ke-60. Keadaan ini sesuai dengan algoritma dimana
peningkatan tingkat perbaikan GCS sangat dipengaruhi oleh pemenuhan O2
dalam otak. Kadar O2 dalam darah yang optimal akan memperbaiki kadar
Oxygen Delivery (D O2) maupun Oxygen Uptake (VO) bagi pemenuhan
kebutuhan jaringan otak. Nilai D O2 yang optimal akan mempertinggi
kemampuan uptake O2, disamping itu Sp O2 yang tinggi secara langsung akan
meningkatkan oksigen uptake (V O2). Adanya peningkatan D O2 dan V O2
akan dapat memenuhi kebutuhan O2 pada jaringan otak serta mencegah
terjadinya hipoksia, dilatasi pembuluh darah otak yang memicu perubahan
metabolisme otak dan peningkatan tekanan intra kranial.
Kadar oxygen delivery (DO2) sangat ditentukan dari fungsi jantung,
hemoglobin dan saturasi oksigen dalam pembuluh darah arteri. PaO2
berpengaruh sedikit sekali bahkan dalam beberapa literatur diabaikan. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kadar oxygen delivery (DO2) perlu
penanganan secara optimal pada penderita cedera kepala, terutama
pengelolaan prehospital. Tujuan terpenting pengelolaan prehospital (awal
kejadian cedera, tranportasi ke RS ataupun rujukan ke pelayanan bedah saraf)
adalah mempertahan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat serta menjaga
tekanan darah yang dapat mempertahankan tekanan perfusi otak.
Dari penelitan yang dilakukan terhadap penderita cedera kepala sedang
yang datang ke ICU yang dilakukan pemeriksaan analisa gas darah segera
setelah pasien datang menunjukkan kadar oxygen delivery (DO2) rata-rata
840,26 ml O2/menit. Angka ini dibawah angka normal yaitu 1000 ml
O2/menit.
Terdapat korelasi yang bermakna antara kadar oxygen delivery dengan
length of stay pada pasien cedera kepala sedang. Nilai korelasi Pearson
sebesar -0,745 menunjukkan korelasi negative dengan kekuatan korelasi kuat.
Korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin besar kadar oxygen delivery
(DO2) maka semakin pendek length of stay pasien. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila penderita cedera kepala sedang yang datang ke ICU dengan
oksigenisasi yang adekuat selama transportasi ke rumah sakit akan
memberikan dampak yang positif bagi pemulihan cedera kepala pasien
dengan makin cepatnya perawatan di rumah sakit.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pemberian O2 masker 8 lpm lebih cepat meningkatkan saturasi O2 pada
menit ke-10 sampai menit ke-60.
2. Pemberian O2 masker 8 lpm mempercepat peningkatan derajat kesadaran
pada menit ke-10 dengan GCS=11.
3. Pemberian O2 masker 8 lpm lebih efektif dibandingkan dengan pemberian
O2 nasal 2 lpm.
4. Saturasi O2 memiliki korelasi postif kuat terhadap perubahan tingkat
kesadaran (GCS).
5. Terdapat korelasi yang kuat antara kadar oxygen delivery (DO2) dengan
length of stay pada pasien cedera kepala sedang dengan hubungan semakin
besar kadar oxygen delivery (DO2) maka semakin pendek length of stay
pasien di rumah sakit
B. Saran
1. Pemberian O2 masker 8 lpm dapat mempercepat peningkatan saturasi O2
dan GCS pada penderita cedera kepala ringan, sehingga sangat cocok
diterapkan dalam memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan O2.
2. Pemberian O2 masker 8 lpm dapat direkomendasikan sebagai salah satu
altemative tindakan dalam upaya mencegah timbulnya kerusakan otak
yang lebih berat (peningkatan TIK).
3. Kadar oxygen delivery (DO2) terindikasi semakin besar, maka cenderung
semakin pendek length of stay pasien di rumah sakit, sehingga pihak
rumah sakit agar melakukan evaluasi length of stay pasien di rumah sakit
secara baik dan tepat
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid, M.Sajid D, Umar K, (1999), Strategi Dasar Penanganan Cedera Otak, Warta IKABI Cabang Surabaya.
Alex B. Valadka, Bian T.Andrews, Neurotrauma, Thieme Medical Publisher, 2005
American College of Surgeon, (1995), Advanced of Trauma Life Support Course for Physicians, ACS Chicago.
Andrew Beaumont, Anthony Marmarou, Response of The Brain to Physical Injury, Neurosurgery The Scientific Basis of Clinical Practice Third Edition Volume 1,Blacwell Science, London 2000
B.K Siesjo, Mechanism of secondary brain injury, www.emedicine.com, downloaded May 20th, 2008
Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cedera Otak karena Trauma. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
Bambang Wahyu P, (1990), Terapi Oksigen, Lab. Anestesiologi FK- Unair Surabaya.
Becker DP & Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury, In : Wilkins RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill Company.
Bouma GJ, et. all, (1991), Cerebral Circulation and Metabolism After Severe Traumatic Brain Injury : The Elusive role of Ischemi, J. Neurosurgery.
Comb DJ, et. all, (1990), Reaction between plasma glucose brain lactate and intra celluler pH during cerebral ischemia in gerbils stroke.
Gennerelli TA & Menary DF, (1996), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins RH and Renfgachery SS (eds) Neurosurgery NewYork.
Ishige N., Pitts LH, et. all, (1987), Increased Vulnerability of the traumatized brain to early ischemia in Baethment A, go CK and Unterberg A (eds) Mechanism of secondary brain damage, PC workshop,ItalY.
Klauber MF, Marshall LF et.all, (1999), Determinants of Heart Iniury Mortality, Importance of the Row Risk Patient.
L.M. Liau, M. Bergsneider, D.P. Becker, Pathology and Pathophysiology of Head Injury, Youmans Neurological Surgery Fourth Edition Volume III, E Book’s Edition
Lynelle N.B, Mechanical Ventilation and Intensive Respiratory Care, WB Saunders Company, 1995
M. Baehr, M. Frotscher; Duus’ Topical Diagnosis in Neurology, 4th completely revised edition ; Thieme, Stuttgart – New York 2005
M.Sopiyudin Dahlan, Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan, PT Arkans, 2004
Mark S. Greenberg; Handbook of Neurosurgery sixth edition, Thieme Medical Publisher, New York, 2006
Narayan RK (1989), Emergency room management of the head injury patient.In: Becker DP, Guderman SK, eds Text book of head injury Philadelphia : WB Saunders.
Odorico J, Fishman SJ, (1993), Erythrccyte physiologt, ln Savage EB, Fishman SJ, Miller LD, eds. Essential of Basic science in Surgery Philadelphia : JB Lippincott.
Pittman J, Cottrell JE. Cerebral protection and Resucitation in Handbook of Neuroanesthesia, 3rd ed, Lipincott Williams and Wilkins, 1999
R. Zander, F. MerEluff, (1990), The oxygen status of arterial blood, Saarstrabe Germany.
Raj K Narayan, Suzanne K, Closed Head Injury in Principles of Neurosurgery second edition, Elsevier Mossby, Edinburgh 2005
Rob Law, H.Bukwirwa, Physiology of Oxygen Delivery www.emedicine.com, downloaded May 20th, 2008
Schubert A. Brain protection ni Clinical Neuroanesthesia, Boston, Butterworth-Heinemann, 1997
Simon M, Andrew B, Mark CB. Intensive Care, 2nd ed, Elsevier Churchill Livingstone, 2006
Sumamo Makam et. all, (1999), Cedera Kepala, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta.
Umar Kasan, (1998), Peran llmu Bedah Saraf Dalam Penerapan Cedera Kepala, Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Universitas Press.
Umar Kasan, (2000), Penanganan Cedera Kepala Simposium IKABI, Tretes'
Vincent J. C, (1996), Pharmacolog of Oxygen and Efect of Hypoxia, Germany.
Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya