Download - Crohn's Disease
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Crohn Disease
Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel
Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang
mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun,
lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal.
Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial
hingga profundal (CCFA, 2013).
B. Anatomi Histologi normal Ileum
Sistem digestorium terbentang dari mulut hingga anus. Ileum
adalah bagian dari intestinum tenue (usus halus), setelah duodenum dan
jejunum. Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi untuk pencernaan
makanan, absorpsi zat makanan, cairan dan elektrolit (Snell, 2004).
1
Gambar 1. Anatomi dan Histologi Ileum
Secara histologis dinding ileum terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika
mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika
mukosa ileum melipat ke lumen dan membentuk struktur vili yang tinggi
dan banyak mengandung sel goblet. Di antara vili-vili terbentuk Kripte
Lieberkuhn, yang di dasarnya terdapat kelenjar intestinal atau Sel Paneth
Gambar 2. Histologi Ileum
C. Anatomi Histologi Ileum pada Crohn Disease (Patologi)
Gambar 3. Makroskopis Crohn’s Disease
Gambaran makroskopis Crohn’s disease di atas menunjukkan
bagian tengah dengan penebalan dinding dan mukosa kehilangan lipatan-
2
lipatan mukosanya. Permukaan serosa tampak jaringan lemak kemerahan
dan mengeras. Tampak gambaran Cobblestone Appearance.
Salah satu komplikasi Crohn’s disease adalah pembentukan fistula.
Tampak fisura meluas dari mukosa menuju submukosa sampai muskularis.
Fistula dapat terbentuk antara usus dengan usus, kandung kemih dan kulit.
Bila mengenai usus besar dapat terjadi fistula peri-rektal.
Gambar 4. Mikroskopis Crohn’s Disease
D. Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga
banyak faktor risiko yang dapat menyebakan Crohn’s disease seperti
genetik, mikroba, imunologis, lingkungan, diet, vaskular dan faktor
psikososial seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral dan penggunaan
Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) (Thoreson, 2007).
Pada bidang genetika telah ditemukan pada kromosom 16 (IBD
gen) yang diidentifikasi sebagai gen penyebab Crohn’s disease, yaitu
NOD2 gene (CARD15). Gen ini terlibat dalam system imunitas tubuh
manusia. Penelitian di Jerman dan Norwegia mengemukakan bahwa orang
3
yang memiliki gen alel CARD15 lebih berisiko terkena penyakit pada
ileum dan colon (Hampe et al, 2002).
E. Patogenesis dan Patofisiologi
(Ghazi et al, 2013)
4
Sitokin pro inflamasi (IL12 & TNF α)
Asam arachidonat, protease, platelet activating factor, radikal bebas
Intestinal Injury
mikroba rokok dietNSAID
antigen
APC
TH 1
Genetik
Integritas barrier epitel abnormal
Defisiensi reseptor imun innate
Maslah diferensiasi limfosit
Inflamasi kripteGranuloma non
kaseosa
Ulserasi mukosa superficial profunda
inflamasi transmural
Fistula (enteroenteral, enterovesica, enterovagina,
enterocutan
Ulkus + agregasi limfoid red spot + mukosa
depresi
Cobblestone Appearance
Edema dinding usus menebal , lumen
menyempit
Ileus obstruksi
Inflamasi kronik yang disebabkan oleh aktivasi Sel T merupakan
pathogenesis dari Crohn’s disease. Zat yang menyebabkan inflamasi
seperti mikroba, virus, rokok dan dari diet akan dianggap sebagai antigen
dan dibawa oleh Antigen Presenting Cell (APC) menuju ke sel T helper 1.
Sel T helper akan mengeluarkan sitokin –sitokin pro inflamasi seperti (IL1
& TNF α) yang akan merangsang pengeluaran asam arachidonat, protease
dan radikal bebas secara local di bagian ileum terminal (Ghazi et al, 2013)
Pada beberapa orang yang secara genetik sudah diturunkan gen
CARD 15, bagian ileum dan colon lebih rentan terjadi ‘injury’, selanjutnya
akan terjadi inflamasi pada bagian kripte yang berupa inflamasi
granulomatosa. Inflamasi dengan infiltrasi sel limfoid akan meluas ke
seluruh dinding intestinal, mesentrium dan limfa nodi regional, inflamasi
ini disebut inflamasi transmural (Ghazi et al, 2013)
Inflamasi kronik akan menyebabkan terjadinya ulserasi di mukosa
superficial dan berlanjut ke profunda sehingga terbentuk ulkus, fisura dan
meluas sampai lapisan submukosa, muskularis bahkan sampai menembus
dinding luar intestinal sebagai fistula (Ghazi et al, 2013)
Pada kasus lanjut mukosa mempunyai penampilan “coblestone
appearance”. Hal ini terjadi akibat ulkus superficial mukosa bergabung
dengan agregasi sel-sel limfoid sehingga menimbulkan titik merah dan
lapisan yang bergelombang pada dinding intestinal (Ghazi et al, 2013)
5
F. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis Crohn Disease ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang
didapat berikut ini :
1. Anamnesis
Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare
berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang
sering timbul adalah (Wilkins, 2011) :
a. Demam
b. Malaise
c. Mual muntah
d. Berat badan turun
e. Depresi dan cemas
f. Konstipasi dan obstipasi
2. Pemeriksaan Fisik
a) Tanda vital : normal, kadang takikardi dan demam
b) Gastrointestinal : nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan rektal
dapat ditemukan fistula, ulkus, abses, tonus sphincter abnormal,
mukosa rektal abnormal, hematochezia
c) Genitourinary : ditemukan fistula, abses dan ulkus pada region
perianal
d) Dermatologi : ulkus mukokutan, eritema nodosum, pioderma
6
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
Darah lengkap : anemia, leukositosis
Elektrolit : hipoalbumin, penurunan serum Fe,
Inflammatory marker : CRP meningkat
Serologi : Antibodi sacromyces , antibody eschericia coli
b) Radiologi
1) Foto polos abdomen
Foto polos abdomen merupakan tes yang tidak spesifik
untuk melihat inflamasi pada saluran cerna. Namun,
pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada penderita ‘Crohn
Disease’ dengan eksaserbasi akut. Dapat ditemukan obstruksi,
perforasi ataupun distensi colon (Panes et al, 2011).
2) Barium Kontras
Barium enema adalah tindakan non invasif yang biasanya
digunakan untuk mengevaluasi adanya pseudodivertikel,
fistula, dan panjang striktur pada colon. Namun, tindakan ini
kontraindikasi jika diketahui terdapat perforasi. Walaupun pada
masa lalu barium kontras adalah pemeriksaan penunjang
pilihan untuk ‘Crohn Disease’ , kini sudah mulai ditinggalkan
(Panes et al, 2011).
Pada pemeriksaan radiografi ditemukan edema dan ulserasi
pada mukosa intestinal yang ditunjukkan dengan penebalan dan
distorsi dari intestinal. ‘Cobblestone appearance’ terlihat
7
sebagai ulkus dalam yang berbentuk transversal maupun
longitudinal (Panes et al, 2011).
Gambar 5. Cobblestone Appearance
Gambar 6. Ulsearasi, inflamasi dan penyempitan pada
colon ascendens pada Crohn’s Disease
8
Gambar 7. Fistula Enterocolon
3) CT enterografi
Pada pemeriksaan CT enterografi dapat dinilai
penebalan dinding intestinal, obstruksi, edema mesentrium,
abses dan adanya fistula. CT enterografi lebih sensitif
ketimbang pemeriksaan barium kontras (Kidd et al, 2000).
Gambar 8. Inflamasi intestinal pada Crohn’s Disease
4) Colonoskopi dan Endoskopi
Colonoskopi dinilai lebih sensitif dan spesifik sebagai
alat untuk diagnosis dan manajemen yang dicurigai mengalami
inflamasi saluran cerna bagian bawah. Prosedur ini dapat
diambil biopsi jaringan, untuk menilai lesi dan dibandingkan
dengan yang lain (Wilkins et al, 2011).
Endoskopi dengan biopsi dapat membantu diagnosis
Crohn’s Disease yang disebabkan oleh NSAID, bakteri
Helicobacter pylori atau dari jamur dan virus lain (Leighton et
al, 2006).9
5) Biopsi jaringan
Hasil patologi anatomi dari biopsi jaringan menunjukkan
inflamasi transmural dimana infiltrasi oleh sel limfoid ke
seluruh dinding intestinal yang menimbulkan granuloma non
kaseosa. Definisi dari granuloma dalah kumpulan sel monosit
atau makrofag dan sel inflamasi lain, dengan atau tanpa ‘Giant
Cell’ (Ghazi et al, 2013).
Gambar 9. Mikroskopis Crohn’s Disease
G. TERAPI
Tujuan umum dari pengobatan Crohn’s Disease yang pertama
adalah mendapatkan hasil perbaikan klinis, laboratorium dan histologis
yang terbaik untuk mengontrol inflamasi dengan efek samping yang
minimal. Kedua, membuat pasien dapat beraktivitas senormal mungkin
dan yang ketiga adalah agar anak-anak dapat tumbuh dan mendapatkan
10
nutrisi yang adekuat. Berikut beberapa terapi pilihan untuk Crohn’s
Disease (Ghazi et al, 2013).
1. Farmakoterapi
a. Antidiare : loperamid, difenoksilate.
Pada pasien dengan Crohn’s disease terjadi inflamasi
dinding usus yang menyebabkan tidak dapat mengabsorbsi cairan
secara normal. Antidiare seperti difenoksilat dan loperamid bekerja
dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan
mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus (Robinson,
1997).
Dosis pemberian loperamide 2-4mg diberikan sampai 4x
sehari, difenoksilat 40-60 mg / hari. Obat dapat diberikan sampai
diare berhenti (Ghazi et al, 2013).
b. Derivate agen asam 5-aminosalisilat (5-ASA) : sulfasalazine,
mesalamine, balsalazide)
Pengobatan dengan menggunakan 5-ASA adalah pilihan
pertama untuk pasien Crohn’s Disease. 5-ASA bekerja sebagai
agen anti inflamasi. Obat ini dapat terus digunakan setelah
tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya inflamasi ulang
(Lim, 2010).
Dosis pemberian mesalamin 800 mg, diberikan 3x sehari.
Penggunaan derivate 5-ASA ini pada prinsipnya dalah pengobatan
11
jangka panjang untuk mencegah kambuhnya peradangan (Lim,
2010).
c. Kortikosteroid : prednisone, metilprednisolon, budesonide
Crohn’s disease dengan gejala sistemik sedang sampai
berat seperti timbul demam, mual-muntah, dan berat badan turun,
dapat menggunakan kortikosteroid. Prednisone biasa digunakan
pada inflamasi akut tanpa tanda-tanda infeksi. Dosis pemberian
prednisone adalah 40-60 mg/ hari Budenoside menginduksi
perbaikan sel-sel pada daerah inflamasi. Kombinasi antara
kortikosteroid dan antibiotik seperti ciprofloxaxin atau
metronidazole lebih menguntungkan dibanding penggunaan
tunggal (Ford et al, 2011)
Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk
pasien dengan gejala sedang sampai berat. Kortikosteroid tidak
diindikasikan untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi
pasien membaik, kortikosteroid dihentikan (Ford et al, 2011).
d. Agen imunosupresan: mercaptopurin, methotrexat (6-MP)
Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan
perbaikan, dapat digunakan agen imunosupresan. Azathioprine
dengan bahan aktif metabolit 6-MP dapat digunakan dengan
catatan dalam pengawasan 3-6 bulan. 6-MP bekerja dengan cara
12
menekan pembentukan sel-sel imun yang dalam jangka waktu
lama dapat mensupresi sumsum tulang (Turner, 2007).
Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan
diberikan selama 4 bulan kemudian dievaluasi kembali (Mcdonald,
2012).
2. Pengobatan biologis
Pengobatan secara biologis pada Crohn’s Disease yaitu dengan
cara memberikan antibodi monoklonal (anti-TNFα-antibodi) seperti ;
Infliximab, Adalimumab, Natalizumab .
a. Infliximab
Infliximab adalah antibodi monoclonal yang merupakan antagonis
TNFα. Bekerja pada permukaan sel makrofag dan sel T,
menghambat pembentukan TNFα (Lichteinstein, 2006).
Dosis pemberian 3-10 mg/kg/ hari, dapat diberikan sampai 6 tahun
lamanya dan dilihat perbaikan klinis pasien (D’Haens, 2011).
b. Adalimumab
Adalimumab adalah antibodi monoclonal immunoglobulin
rekombinan (igG1) yang cara kerjanya mengikat dengan afinitas
yang kuat dengan TNFα (Peyrin, 2007).
Dosis pemberian 160 mg/hari, ditrunkan menjadi 80mg/hari pada
minggu ke 2, diturunkan lagi menjadi 40 mg/hari pada minggu
selanjutnya (D’Haens, 2011).
c. Natalizumab
13
Natalizumab adalah antibodi monoclonal yang bekerja melawan
alpha4 integrin yang menghambat adhesi dan migrasi leukosit ke
area inflamasi (Sandborn et al, 2005).
Dosis pemberian natalizumab adalah 300mg setiap 4 minggu sekali
selama 1 tahun, kemudian di evaluasi kembali (Sandborn et al,
2005).
3. Tindakan pembedahan
Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohn’s Disease tidak
dapat menyembuhkan, namun berikut adalah keadaan-keadaan yang
direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan pada Crohn’s Disease
(ASCRS, 2007) :
a. Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis
b. Komplikasi : abses, fistula
c. Obstruksi : striktur colon
d. Inflamasi : kolitis, peritonitis
e. Hemoragik : perdarahan intra abdomen
f. Perforasi
g. Neoplasia
h. Hambatan tumbuh kembang
Intervensi pembedahan pada ileum terminal, ileocolon, dan colon
dapat dilakukan (ASCRS, 2007) :
a. Reseksi bagian intestinal yang terkena inflamasi
14
Tindakan pembedahan untuk membuang bagian intestinal yang
terkena inflamasi. Sebelumnya didahului dengan pemeriksaan
biopsi jaringan, untuk mengetahui daerah yang inflamasi.
Gambar 10. Reseksi Ileum, Ileocolon dan Colon
b. Ileostomi
Ileostomi berasal dari kata ‘Ileum’ dan ‘Stoma yang artinya adalah
tindakan operasi membuat mulut buatan di bagian ileum , untuk
membuang zat sisa tubuh, dikarenakan bagian distal ileum tidak
dapat bekerja normal (Cima, 2010).
15
Gambar 11.c. Strikturplasti
Strikturplasti adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk
mengatasi jaringan parut yang terbentuk pada dinding intestinal
akibat kondisi inflamasi kronik pada Crohn’s Disease. Jaringan
parut menyebabkan striktur (penyempitan lumen intestinal).
Striktur dapat menyebabkan isi lumen masuk ke dalam ulkus dan
fisura yang dapat memperburuk peradangan pada Crohn’s Disease.
Tindakan strikturplasti yaitu membuat pasase intestinal lancar
tanpa membuang segmen menyempit (reseksi usus). Segmen usus
yang menyempit diinsisi kemudian dilebarkan dengan membuat
potongan memanjang sepanjang satu sisi usus, kemudian dijahit
(Jobanputra, 2007).
16
Gambar 12. Strikturplasti
d. Dilatasi Balon Endoskopi
Dilatasi Balon Endoskopi adalah pilihan terapi non bedah
untuk penanganan striktur pada Crohn’s Disease. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah risiko perforasi dan striktur rekurens.
Striktur didefinisikan sebagai penyempitan yang menghalangi
pasase usus sebesar 14 mm atau kurang. Teknik ini dilakukan
melalui colonoskopi, mencari bagian yang striktur kemudian
dilakukan dilatasi melalui balon-endoskopi. Antibiotic diberikan
selama pengerjaan dan 7 hari setelah tindakan (Ajlouni, 2007).
17
Gambar 13. Dilatasi Balon Endoskopi
e. Manajemen Fistula
Komplikasi dari Crohn’s Disease adalah terjadinya fistula.
Fistula dapat terjadi antara intestinal (ileoileal, ileocecal,
ileosigmoid, enterovesica, enterocutaneus, cologastric,
coloduodenal) (Strong, 2007).
Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencegah dan
mengatasi infeksi dengan menggunakan antibiotik seperti
metronidazole atau ciprofloxaxin. Kemudian memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengusahakan perbaikan gizi
serta merawat kulit di sekitar fistel (Sjamsuhidajat, 2003).
Keputusan diambilnya tindakan bedah ditunggu sekurang-
kurangnya 3-4 minggu. Fistula dapat terjadi penutupan spontan
biasanya sekitar minggu keempat. Bila setelah itu fistula masih
tetap ada, penanganan sepsis sudah dilakukan cukup baik, maka
tindakan bedah harus segera dilakukan (Sjamsuhidajat, 2003).
H. PROGNOSIS
Prognosis Crohn’s Disease dikarakteristikkan dalam periode
perbaikan dan kekambuhan. Pada tahun pertama setelah diagnosis, angka
kekambuhan mencapai 50% dengan 10% masuk kategori kronik. 5 tahun
setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 49%. 10 tahun
setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 62%. 15 tahun
18
setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah mencapai 70%
(Munkohlm, 2003).
BAB III
KESIMPULAN
1. Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases
(IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai
traktus gastrointestinal.
2. Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan
yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang sering timbul adalah
demam, malaise, mual muntah, berat badan turun, konstipasi dan obstipasi
3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan fistula, ulkus, abses pada abdomen
disertai nyeri tekan abdomen.
4. Pemeriksaan penunjang dapat digunakan foto polos abdomen, barium
kontras, CT enterografi, colonoskopi, endoskopi dan biopsi jaringan,
5. Penatalaksanaan dibagia menjadi tiga, yaitu farmakoterapi, agen biologis
dan intervensi pembedahan.
6. Farmakoterapi dapat menggunakan antidiare, antibiotic, anti inflamasi,
kortikosteroid dan imunosupresan
19
7. Antibodi monoclonal menggunakan infliximab, adalimumab, dan
natalizumab
8. Berbagai intervensi bedah yang dapat digunakan yaitu, reseksi intestinal,
ileostomi, strikturplasti, dilatasi balon endoskopi dan manajemen fistula.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ajlouni, Y. Iser, J.H and Gibson, P.R. Endoscopic balloon dilatation of intestinal strictures in Crohn’s Disease : safe alternative to surgery. J Gastroenterol Hepatol. Melbourne, Australia. 2007 Apr;22(4):486-90
ASCRS (The American Society of Colon and Rectal Surgeons) ; Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD, for the Standards Practice Task Force Practice parameters for the surgical management of Crohn’s disease. Dis Colon Rectum. 2007;50(11):1735-46.
CCFA (Crohn’s and Colitis Foundation of America). What Is Crohn’s Disease?. Available at URL : http://www.ccfa.org/what-are-crohns-and-colitis/what-is-crohns-disease/ .accessed : 30 May 2013.
Cima RR, Pemberton JH. Ileostomy, colostomy, and pouches. In: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH, eds. Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2010:chap 113.
D’Haens G, Panaccione R, Higgins P, et al. The London Position Statement of the World Congress of Gastroenterology on Biological Therapy for IBD with the European Crohn’s and Colitis Organization: When to start, when to stop, which drug to choose, and how to predict response? Am J Gastroenterol. 2011;106:199-212.
Duerr RH. Update on the genetics of inflammatory bowel disease. J Clin Gastroenterol. Nov-Dec 2003;37(5):358-67.
Economou M, Zambeli E, Michopoulos S. Incidence and prevalence of Crohn's disease and its etiological influences. Ann Gastroenterol. 2009;22(3):158-67. Available at http://www.annalsgastro.gr/index.php/annalsgastro /article/view/743. Accessed December 11, 2012
Farmer RG, Hawk WA, Turnbull RB Jr. Clinical patterns in Crohn's disease: a statistical study of 615 cases. Gastroenterology. Apr 1975;68(4 Pt 1):627-35.
Ford AC, Bernstein CN, Khan KJ, Abreu MT, Marshall JK, Talley NJ, et al. Glucocorticosteroid therapy in inflammatory bowel disease: systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol. Apr 2011;106(4):590-9.
Ghazi, L.J. Katz, J. Anand,B.S Balasundaram, P. Coash, M.L. Nachimutu, S. Qureshi, W.A. Rangasamy, P. Raynor, K.M. Talavera F. George, Y.W. 2013. Crohn Disease. Medscape Reference. 25 March 2013
21
Hampe J, Grebe J, Nikolaus S, Solberg C, Croucher PJ, Mascheretti S, et al. Association of NOD2 (CARD 15) genotype with clinical course of Crohn's disease: a cohort study. Lancet. May 11 2002;359(9318):1661-5.
Jobanputra, S. and Weiss, E.G. Strictureplasty. Clin Colon Rectal Surg. New York, USA. 2007. 20:294-302
Kidd R, Mezwa DG, Ralls PW, Balfe DM, Bree RL, DiSantis DJ, et al. Imaging recommendations for patients with newly suspected Crohn's disease, and in patients with known Crohn's disease and acute exacerbation or suspected complications. American College of Radiology. ACR Appropriateness Criteria. Radiology. Jun 2000;215 Suppl:181-92.
Leighton JA, Shen B, Baron TH, Adler DG, Davila R, Egan JV, et al. ASGE guideline: endoscopy in the diagnosis and treatment of inflammatory bowel disease. Gastrointest Endosc. Apr 2006;63(4):558-65.
Lichtenstein GR, Abreu MT, Cohen R, Tremaine W. American Gastroenterological Association Institute medical position statement on corticosteroids, immunomodulators, and infliximab in inflammatory bowel disease. Gastroenterology. Mar 2006;130(3):935-9.
Lim WC, Hanauer S. Aminosalicylates for induction of remission or response in Crohn's disease. Cochrane Database Syst Rev. Dec 8 2010;CD008870.
Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Crohn's disease in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gastroenterology. Jun 1998;114(6):1161-8.
Loftus EV Jr. Clinical epidemiology of inflammatory bowel disease: Incidence, prevalence, and environmental influences. Gastroenterology. May 2004;126(6):1504-17.
Lovasz BD, Golovics PA, Vegh Z, Lakatos PL. New trends in inflammatory bowel disease epidemiology and disease course in Eastern Europe. Dig Liver Dis. Sep 22 2012.
Mcdonald, JWD, Tsoulis DJ, Macdonald JK and Feagan BG. Methotrexate for Induction of Remission Refractory Crohn’s Disease. Cochrane Database of Systematic Reviews. Published by JohnWiley & Sons, Ltd. 27 June 2012
Munkholm P, Langholz E, Davidsen M, Binder V. Intestinal cancer risk and mortality in patients with Crohn's disease. Gastroenterology. Dec 2003;105(6):1716-23.
Panés J, Bouzas R, Chaparro M, García-Sánchez V, Gisbert JP, Martínez de Guereñu B, et al. Systematic review: the use of ultrasonography, computed tomography and magnetic resonance imaging for the diagnosis, assessment
22
of activity and abdominal complications of Crohn's disease. Aliment Pharmacol Ther. Jul 2011;34(2):125-45.
Peyrin-Biroulet L, Laclotte C, Bigard MA. Adalimumab maintenance therapy for Crohn's disease with intolerance or lost response to infliximab: an open-label study. Aliment Pharmacol Ther. Mar 15 2007;25(6):675-80.
Robinson M. Optimizing therapy for inflammatory bowel disease. Am J Gastroenterol. Dec 1997;92(12 suppl):12S-17S.
Sandborn WJ, Colombel JF, Enns R, Feagan BG, Hanauer SB, Lawrance IC, et al. Natalizumab induction and maintenance therapy for Crohn's disease. N Engl J Med. Nov 3 2005;353(18):1912-25.
Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta : EGC
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD. Practice parameters for the surgical management of Crohn's disease. Dis Colon Rectum. Nov 2007;50(11):1735-46.
Thoreson R, Cullen JJ. Pathophysiology of inflammatory bowel disease: an overview. Surg Clin North Am. Jun 2007;87(3):575-85.
Turner D, Grossman AB, Rosh J, et al. Methotrexate following unsuccessful thiopurine therapy in pediatric Crohn's disease. Am J Gastroenterol. Dec 2007;102(12):2804-12 quiz 2803, 2813.
Wilkins T, Jarvis K, Patel J. Diagnosis and management of Crohn's disease. Am Fam Physician. Dec 15 2011;84(12):1365-75
23