WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1PB WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Menelisik Kinerja Industri dan Perdagangan Mamin dan
TPT
Daftar IsiDari Redaksi
Berita Pendek Perdagangan
Serba - Serbi
Statistik Perdagangan Pusdatin
Halaman 27
Halaman 31
Halaman 34
Hal. 2
Hal. 15
Hal. 7
Peluang Ekspor Pisang Cavendish dan Peran
Kebijakan Pengamanan Perdagangan
Perizinan Impor Telepon Seluler, Handheld
dan Komputer Tablet: Kompleksitas dan Usulan
PerbaikanSalah satu kebijakan yang sempat
menimbulkan kontroversi terkait dengan iklim usaha di Indonesia adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 82/M-DAG/PER/12/2012 mengenai Impor Telepon Seluler, Handheld dan Komputer Tablet. Regulasi ini diterbitkan dengan tujuan untuk mengendalikan penjualan produk ilegal ponsel dan untuk melindungi industri lokal. Sayangnya penerapan peraturan tersebut telah menimbulkan hambatan yang signifikan bagi importir ponsel dan tablet karena persyaratan peraturan dan beberapa perizinan yang tumpang tindih.
Hal. 20Potensi Perdagangan
Kawasan Maghribi
Meskipun volume perdagangan Arab Maghreb Union (AMU) ke dunia belum mencapai 1% dari total perdagangan dunia, Indonesia tetap melihat AMU sebagai mitra dagang yang prospektif di masa depan. Produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke AMU antara lain CPO dan produk turunannya, kopi, kulkas, produk kayu, dan mobil.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yang mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi industri pengolahan non migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menunjukkan fluktuasi. Pada tahun 2015, industri non migas yang mampu memberikan kontribusi cukup singinifikan terhadap PDB adalah Industri Makanan dan Minuman (Mamin) dengan kontribusi sebesar 5,61% dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sebesar 1,21%.
Di tengah arus deras integrasi ekonomi (globalisasi) yang demikian menyihir, tiba-tiba United Kingdom (UK) melakukan referendum dengan hasil UK keluar dari EU atau lebih dikenal dengan British Exit (Brexit). Berbagai dampak Brexit terutama yang berkaitan dengan perdagangan, investasi, finansial, dan yang paling dikhawatirkan adalah ketidakpastian yang berkepanjangan, akan berdampak negatif pada ekonomi dunia. Lalu, bagaimana dengan Indonesia dan apa pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini?
Hal. 11
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan berbagai kekayaan alam dan kekayaan hayati, maka Indonesia memiliki banyak sekali komoditas atau produk yang potensial untuk dilindungi melalui Indikasi Geografis. Sayangnya, Indikasi Geografis masih belum dipahami sebagai sebuah nilai ekonomis yang dapat dijadikan nilai lebih dalam dunia perdagangan internasional.
Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis
Untuk Pengembangan Potensi Daerah di Indonesia
Salah satu jenis pisang unggulan hasil produksi usaha tani Indonesia adalah Pisang Cavendish, yang banyak diminati dan dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas importasi Pisang Cavendish dari Filipina yang telah berlaku sejak tahun 2006 juga turut membuka peluang ekspor Pisang Indonesia. Ekspor Pisang Indonesia pada tahun 2014 tercatat sebesar USD 16 juta, mengalami peningkatan yang signifikan atau mengalami pertumbuhan sebesar 444% dibandingkan tahun sebelumnya.
Belajar dari BrexitHal. 24
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Hasni
Potensi Perdagangan Kawasan
Negara-negara Maghribi adalah negara-negara yang berada di
sebagian besar wilayah barat Afrika Utara atau barat Laut Afrika.
Awalnya, wilayah negara Maghribi merupakan Pegunungan Atlas
dan dataran pesisir yang terdiri dari negara Maroko, Aljazair,
Tunisia, Mauritania dan Libya. Kemudian pada 17 Februari 1989
dibentuk Arab Maghreb Union (AMU) melalui Perjanjian Marrakech
dengan tujuan mempererat hubungan persaudaraan sesama
negara anggota, merealisasikan kemajuan komunitas, dan
melindungi hak mereka, pencapaian kemajuan dari pergerakan
bebas orang, jasa, barang dan modal antar negara anggota, dan
mengadopsi kebijakan umum di semua bidang. Pada bidang
ekonomi, kebijakan umum AMU bertujuan untuk menjamin industri,
pertanian, perdagangan, dan pembangunan masyarakat negara
anggota AMU berjalan dengan lancar (Worldbank, 2010).
Pada tahun 2012, negara-negara Maghribi (AMU) menghadapi
permasalahan terkait dengan krisis ekonomi yang melanda benua
Eropa, karena negara-negara yang berada di kawasan Eropa
merupakan mitra dagang utama Maghribi. Sebagai dampak krisis
ekonomi Eropa, perdagangan antara negara Maghribi dengan
Eropa turun 6,6% di tahun 2013. Setelah 27 tahun perjanjian AMU
ditandatangani, pangsa perdagangan kelima negara anggota
AMU tidak lebih dari 1% terhadap total perdagangan dunia. Pada
tahun 2015 perdagangan AMU memiliki pangsa sebesar 0,60%
dari total perdagangan dunia, lebih rendah dari tahun sebelumnya
yang mencapai 0,74%. Nilai perdagangan negara Maghribi yang
rendah ini tidak merefleksikan komplementaritas ekonomi sumber
daya alam yang dimiliki. Bank Dunia mencatat bila penurunan
perdagangan negara Maghribi di dunia berlanjut terus, kawasan
itu akan kehilangan 200 ribu tenaga kerja setiap tahun. Saat ini
di Aljazair, Libya, Tunisia, Maroko dan Mauritania masing-masing
terjadi tingkat pengangguran 15,4%; 17,7%; 15,4%; 10,6% dan
21,1% per tahun (Tradingeconomics, 2014).
Di antara lima negara anggota AMU, Aljazair merupakan
negara dengan pendapatan per kapita tertinggi yakni mencapai
Libia
Tunisia
Algeria
Morocco
Mauritania
Gambar 1. Peta Negara Anggota AMU.Sumber: MoroccoWorldNews (2014)
USD 5.523 per tahun, sementara pendapatan per kapita Libya,
Tunisia, Maroko dan Mauritania masing-masing sebesar USD 4.885,
USD 4.373, USD 3.107 dan USD 1.254 per tahun. Selain itu, Aljazair
juga memiliki populasi penduduk terbanyak yakni mencapai sekitar
37,9 juta jiwa. Hal ini menjadi indikasi bahwa Aljazair merupakan
negara yang paling baik kondisi ekonominya dibandingkan
empat negara Maghribi lainnya, di mana Maroko, Tunisia,
Libya dan Mauritania masing-masing memiliki penduduk
sebesar 32,9 juta jiwa, 10,9 juta jiwa, 6,1 juta jiwa dan 3,7 juta
jiwa. Demikian juga dengan nilai perdagangan, Aljazair mempunyai
nilai total perdagangan yang paling besar di kawasan AMU yaitu
sebesar 45% dari total perdagangan AMU. Namun demikian,
ISU PERDAGANGAN
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Aljazair masih belum resmi menjadi negara anggota WTO dan
masih berstatus sebagai negara observer di WTO hingga akhir
2015 (Statistik WTO, 2014).
Meskipun perjanjian AMU sudah ditandatangani 27 tahun
yang lalu, pangsa total volume perdagangan AMU ke dunia belum
pernah lebih dari 1%. Hal ini mengindikasikan AMU sebagai
salah satu kerjasama regional yang kurang berkembang sebagai
kawasan perdagangan. Terbentuknya AMU selama lebih dari dua
dekade lalu belum mampu meningkatkan perdagangan mereka
dengan negara di kawasan lain dan sebagian besar perdagangan
negara-negara Maghribi masih dilakukan dengan Uni Eropa.
Pada tahun 2007, total perdagangan antar negara Maghribi
(intra trade) kurang dari 2% Produk Domestik Bruto (PDB) AMU
dan kurang dari 3% dari total perdagangan AMU dengan dunia.
Beberapa alasan rendahnya kinerja perdagangan ini diantaranya
adalah adanya hambatan perdagangan yang tinggi, kemacetan
logistik, kurangnya produksi, dan permasalahan politik. Fokus
pada liberalisasi perdagangan dengan Uni Eropa (UE) memberikan
kesempatan bagi negara-negara Maghribi untuk membuat
kebijakan yang akhirnya akan membantu mereka menyelaraskan
kebijakan dalam wilayah AMU sendiri (World Bank, 2010).
Kinerja Perdagangan Negara Maghribi dengan DuniaPada tahun 2014 nilai total ekspor dari AMU ke dunia
mencapai lebih dari USD 125 juta dengan pertumbuhan rata-rata
per tahun selama periode 2010-2014 meningkat sebesar 0,67%.
Dari sepuluh negara tujuan utama ekspor AMU, enam negara
di antaranya adalah negara yang berada di kawasan Uni Eropa
dengan pangsa ekspor AMU ke keenam negara tersebut mencapai
60%. Hal ini mengindikasikan ketergantungan AMU masih besar
terhadap negara-negara Eropa (Tabel 1).
Tabel 1. Negara-Negara Tujuan Ekspor Maghribi (USD Juta)
Sumber: Trade Map (2015), diolah
Sementara itu, nilai ekspor AMU ke Indonesia pada tahun
2014 mencapai USD 620 juta dengan pangsa mencapai 0,49%
dan rata-rata pertumbuhan per tahun pada periode 2010-2014
sebesar 18,42%. Angka pertumbuhan ekspor rata-rata AMU ke
Indonesia jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan ekspor
AMU ke dunia. Ini merupakan indikasi bahwa AMU sedang
bergiat mengembangkan potensi ekspornya ke Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia juga harus memanfaatkan kondisi ini untuk
terus meningkatkan ekspor ke AMU, baik dari sisi nilai maupun
keragaman produk ekspor.
Nilai impor AMU dari dunia juga terus mengalami peningkatan
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,64% per tahun. Tidak
berbeda dengan ekspor, dari sepuluh negara asal utama impor
AMU, empat negara di antaranya berada di kawasan Uni Eropa
dengan pangsa impor AMU dari keempat negara tersebut
mencapai 37%. Dari sepuluh negara asal impor utama Maghribi,
Aljazair merupakan negara dengan peningkatan pertumbuhan
impor Maghribi terbesar, yaitu mencapai 19,05% per tahun pada
periode 2010-2014 (Tabel 2).
Tren Pangsa No Negara Importir 2010 2014 2010-2014 2014 (%) (%)
Dunia 128.408 125.667 0,67 100,00
1 Perancis 18.161 19.816 2,17 15,77
2 Italia 28.261 18.417 -7,01 14,66
3 Spanyol 13.025 16.633 8,35 13,24
4 Belanda 6.254 7.714 6,64 6,14
5 Inggris 3.021 7.290 29,29 5,80
6 Amerika Serikat 15.802 6.455 -21,35 5,14
7 Jerman 3.261 5.600 16,00 4,46
8 Brazil 3.399 3.949 2,71 3,14
9 RRT 5.011 3.827 -4,46 3,05
10 Turki 3.454 3.660 2,46 2,91
26 Indonesia 324 620 18,42 0,49
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
URAIAN Nilai : USD Juta Jan-Apr Jan-Apr Perub.(%) Tren (%)
2011 2012 2013 2014 2015 2015 2016 2016/15 2011-2014
Tabel 2. Negara-Negara Asal Impor Maghribi (USD Juta)
Sumber: Trade Map (2015), diolah
Sementara itu, pangsa impor AMU dari Indonesia pada tahun
2014 mencapai 0,33% dengan rata-rata pertumbuhan per tahun
pada periode 2010-2014 sebesar 5,09% (Tabel 2). Pertumbuhan
positif ini merupakan suatu peluang yang sangat baik bagi
Indonesia untuk menjadikan AMU sebagai pasar ekspor potensial,
dan peluang tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh dunia industri
di Indonesia yang bisa dimulai melalui berbagai pameran dan
promosi produk ekspor Indonesia ke AMU.
Kinerja Perdagangan Indonesia dengan Negara MaghribiMeskipun volume perdagangan AMU ke dunia belum mencapai
1% dari total perdagangan dunia, Indonesia tetap melihat AMU
sebagai mitra dagang yang prospektif di masa depan. Indonesia
sudah menjalin kerjasama dengan negara-negara anggota AMU
sejak lama, bahkan Indonesia adalah negara pertama yang
mengakui kemerdekaan salah satu negara AMU, Maroko. Kinerja
perdagangan antara Indonesia dengan AMU dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Neraca Perdagangan Indonesia – AMU (USD Juta)
Sumber: BPS (2015), diolah
Total perdagangan antara Indonesia dan
AMU menunjukkan rata-rata pertumbuhan
yang positif, di mana selama periode
2011–2014 mengalami tren positif sebesar
6,8% per tahun. Dari sisi neraca non migas,
perdagangan Indonesia–AMU pada periode
yang sama selalu surplus dengan tren
positif sebesar 7,6% pertahun. Meskipun
demikian, kinerja neraca migas masih terus
mengalami defisit akibat kebutuhan produk
migas Indonesia banyak yang diimpor dari
negara-negara anggota AMU (Tabel 3).
Tabel 4. Realisasi Ekspor Indonesia ke AMU Menurut Sektor (USD Juta)
Sumber: BPS (2015), diolah
Jika dilihat dari realisasi ekspor menurut
sektor, terdapat dua sektor yang menjadi
unggulan ekspor Indonesia ke AMU, yaitu
industri dan pertanian. Pangsa ekspor
sektor industri mencapai 93,8% dari total
ekspor Indonesia ke kawasan AMU periode
Januari-April 2016. Hal ini mengindikasikan
bahwa produk-produk hasil industri dalam
negeri juga sangat diterima di negara-
negara AMU. Adapun produk industri
yang saat ini menjadi primadona ekspor
Indonesia ke AMU antara lain produk kayu,
produk otomotif dan produk elektronik.
Tren Pangsa No Negara Importir 2010 2014 2010-2014 2014 (%) (%)
Dunia 117.995 147.214 6,64 100,00
1 Perancis 16.957 17.725 0,66 12,04
2 RRT 10.759 15.367 11,53 10,44
3 Italia 11.810 14.641 7,38 9,95
4 Spanyol 7.737 13.328 14,91 9,05
5 Jerman 6.955 8.767 6,77 5,95
6 Amerika Serikat 6.520 8.329 5,92 5,66
7 Turki 4.812 6.827 13,04 4,64
8 Arab Saudi 2.741 3.161 2,78 2,15
9 Korea Selatan 4.463 3.124 -5,74 2,12
10 Aljazair 1.485 2.947 19,05 2,00
42 Indonesia 391 481 5,09 0,33
Total Perdagangan 787,8 1564,8 1443,2 1007,3 837,3 269,3 319,6 18,68 6,79 Migas 328,1 816,5 753,1 356,7 281,6 24,3 169,0 596,84 1,72 Non Migas 459,7 748,3 690,2 650,6 555,7 245,0 150,6 -38,55 10,09 Ekspor 365,9 531,4 543,3 486,3 404,6 160,8 122,2 -23,97 9,15 Migas - - - - - - - - - Non Migas 365,9 531,4 543,3 486,3 404,6 160,8 122,2 -23,97 9,15 Impor 421,8 1033,4 900,0 521,0 432,7 108,5 197,3 81,89 5,07 Migas 328,1 816,5 753,1 356,7 281,6 24,3 169,0 596,84 1,72 Non Migas 93,8 216,9 146,9 164,3 151,0 84,2 28,3 -66,37 13,79 Neraca Perdagangan (55,9) (502,1) (356,7) (34,7) (28,0) 5,3 (75,1) -243,59 - Migas (-328,1) (816,5) (753,1) (356,7) (281,6) (24,3) (169,0) 596,84 - Non Migas 272,1 314,4 396,4 322,0 253,6 76,5 93,9 22,68 7,65
URAIAN Nilai : USD Juta Perub. Tren Pangsa (%) Jan-Apr Jan-Apr (%) (%) thd Total 2011 2012 2013 2014 2015 2015 2016 2016/15 2011-2014 2016
TOTAL EKSPOR 365,9 531,4 543,3 486,3 404,6 160,8 122,2 -23,97 9,15 100,00
MIGAS - - - - - - - - - -
Minyak Mentah - - - - - - - - - -
Hasil Minyak - - - - - - - - - -
Gas - - - - - - - - - -
NON MIGAS 365,9 531,4 543,3 486,3 404,6 160,8 122,2 -23,97 9,15 100,00
Pertanian 38,4 55,4 74,1 47,0 56,7 19,4 7,6 -60,93 9,36 6,19
Industri 327,5 475,9 469,2 439,3 347,9 141,4 114,7 -18,92 9,06 93,81
Pertambangan - - - - - - - - - -
Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4819,69 -2,50 0,01
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Tabel 5. Realisasi Impor Indonesia dari AMU Menurut Kelompok Barang (USD Juta)
Sumber: BPS (2015), diolah
Sementara itu, jika dilihat dari sisi realisasi impor menurut
kelompok barang (Broad Economic Categories/BEC), jenis barang
yang paling banyak diimpor Indonesia dari AMU adalah bahan baku/
penolong dengan pangsa pada periode Januari-April 2016 mencapai
94,2%. Tren impor bahan baku/penolong dari AMU mengalami
peningkatan dengan rata-rata 4,61% per tahun selama periode 2011-
2014, sedangkan impor barang konsumsi dari AMU pada periode
yang sama mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 20,97% dan
impor barang modal naik 8,45% per tahun (Tabel 5).
Tabel 6. Produk Impor Utama AMU dari Indonesia (USD)
Sumber: Trade Map (2015), diolah
URAIAN Nilai : USD Juta Perub. Tren Pangsa (%) Jan-Apr Jan-Apr (%) (%) thd Total 2011 2012 2013 2014 2015 2015 2016 2016/15 2011-2014 2016
TOTAL IMPOR 421,8 1033,4 900,0 521,0 432,7 108,5 197,3 81,89 5,07 100,00 Barang Konsumsi 17,9 24,7 32,1 30,9 28,2 12,9 11,3 -12,39 20,97 5,72 Bahan Baku/Penolong 403,8 982,7 867,5 489,3 404,0 95,5 186,0 94,68 4,61 94,23 Barang Modal 0,1 26,0 0,3 0,8 0,4 0,1 0,1 0,41 8,45 0,04
No Kode Uraian Barang 2011 2012 2013 2014 2015 Tren Pangsa Produk 2011-2015 (%) 2015 (%)
1 1511 Minyak kelapa sawit dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak,
tetapi tidak dimodifikasi secara kimia. 96.100 144.025 156.110 114.519 151.893 7,10 33,54
2 0901 Kopi, digongseng, dihilangkan kafeinnya maupun tidak;
sekam dan kulit kopi; pengganti kopi me ngandung kopi dalam
perbandingan berapa saja. 60.379 49.287 75.185 53.410 55.506 -0,88 12,26
3 1517 Margarin; campuran atau olahan yang dapat dimakan dari
lemak atau minyak hewani atau nabati atau fraksi dari lemak
atau minyak yang berbeda dalam bab ini, selain lemak atau
minyak atau 8 - 487 1.497 28.618 - 6,32
4 7308 Struktur (tidak termasuk bangunan prefabrikasi dari
pos No.94.06) dan bagian dari struktur (misalnya, jembatan
dan bagian jembatan, pintu berkunci, menara, tiang kisi-kisi,
atap, rang ka atap, 25.668 35.410 10 3.110 23.464 -22,99 5,18
5 1513 Minyak kelapa (kopra), biji kelapa sawit atau babassu dan
fraksinya, dimurnikan maupun tidak, tetapi tidak dimodifikasi
secara kimia. 12.391 15.968 8.134 11.795 15.230 1,10 3,36
6 1604 Ikan diolah atau diawetkan; kaviar dan pengganti kaviar yang
diolah dari telur ikan. 3.037 5.697 11.061 8.204 12.630 37,92 2,79
7 3401 Sabun; produk aktif-permukaan organik dan preparat untuk
digunakan sebagai sabun, dalam bentuk batangan, bentuk cake,
bentuk potongan atau bentukan yang dicetak mengandung
sabun maupun tidak; 6.643 8.605 14.251 8.706 11.967 12,62 2,64
8 5510 Benang (selain benang jahit) dari serat stapel tiruan, tidak
disiapkan untuk pen jualan eceran. 2.831 3.374 7.525 10.671 11.396 48,24 2,52
9 5509 Benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik, tidak
disiapkan untuk penjualan eceran. 3.551 4.566 4.978 9.385 8.924 29,22 1,97
10 4011 Ban luar bertekanan baru, dari karet. 7461 17894 14819 11467 8402 -2,05 1,86
Potensi Ekspor Indonesia ke Negara MaghribiKinerja ekspor Indonesia ke Negara Maghribi (AMU) cukup
baik, dengan peningkatan ekspor rata-rata per tahun sebesar
13%. Berdasarkan analisis daya saing dengan menggunakan
pendekatan harga yang diproksi dari nilai impor dibagi volume
impor, menunjukkan bahwa produk Indonesia di kawasan AMU
memiliki daya saing yang cukup baik. Data sepuluh produk impor
utama negara-negara Maghribi (AMU) dari Indonesia disajikan
pada Tabel 6. Produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke
AMU antara lain CPO dan produk turunannya, kopi, ikan, sabun,
benang dan ban mobil (Tabel 6).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Untuk melihat daya saing produk Indonesia di AMU, dipilih tiga
produk yang termasuk dalam sepuluh besar produk impor AMU
dari Indonesia yaitu minyak sawit dan fraksinya, kopi dan minyak
kelapa (kopra). Harga dari ketiga produk tersebut dibandingkan
dengan harga produk yang sama dari lima negara pesaing di pasar
AMU dan dengan asumsi kualitas produk yang dihasilkan setiap
negara sama. Dari hasil analisis tersebut diperoleh hasil bahwa
daya saing minyak sawit dan fraksinya (HS 1511) dari Indonesia
cukup kompetitif, dan berada di urutan kedua, namun nilai ekspor
minyak sawit dan fraksinya dari Indonesia merupakan yang
terbesar diantara negara pemasok lainnya. Di antara lima negara
pemasok produk minyak sawit dan fraksinya terbesar di AMU,
Singapura memiliki daya saing tinggi yang diindikasikan dengan
harga yang paling rendah. Namun pangsa impor produk CPO AMU
dari Singapura cukup kecil, hal ini disebabkan variasi produk CPO
Singapura yang masih sedikit (Tabel 7).
Daya saing ekspor produk kopi (HS 0901) Indonesia yang
dilihat dari nilai satuan kelima negara pemasok kopi terbesar di
AMU ternyata paling tinggi, namun dari pangsa ekspor Indonesia
masih berada di urutan ketiga setelah Vietnam dan Pantai Gading.
Indonesia memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan ekspor
kopi ke AMU karena kopi Indonesia memiliki cita rasa kopi yang khas
dari berbagai daerah di Indonesia, namun harus disesuaikan dengan
selera pasar di kawasan AMU. Pesaing yang paling berat untuk
produk kopi di AMU adalah Vietnam karena dengan harga yang
sedikit lebih tinggi dibanding Indonesia, Vietnam berhasil menjadi
pemasok produk kopi terbesar di AMU (Tabel 8).
Produk minyak kelapa (kopra) dengan kode HS 1513 dari
Indonesia berhasil menembus pasar negara Maghribi dan berada
di urutan kedua dari sisi daya saing. Jika dilihat dari nilai ekspor,
produk minyak kelapa (kopra) Indonesia juga menempati posisi
terbesar kedua setelah Malaysia (Tabel 9). Malaysia memiliki daya
saing yang paling baik dan pangsa ekspornya ke AMU juga paling
tinggi. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia,
hampir di seluruh wilayah Indonesia kelapa dapat tumbuh. Oleh
karena itu, seharusnya Indonesia dapat mengekspor produk minyak
kelapa lebih banyak dibanding negara lain yang hanya memiliki lahan
perkebunan kelapa yang lebih sedikit.
Saat ini negara-negara AMU telah berupaya meningkatkan
integrasi perdagangan mereka ke dalam ekonomi dunia. Namun,
pertumbuhan ekonomi perdagangan di AMU masih tertinggal jika
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain di Timur
Tengah, Asia, dan Amerika Latin. Namun dari sisi perdagangan,
posisi negara-negara yang berada di utara benua Afrika ini memiliki
potensi sebagai hub yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kinerja ekspor non migas Indonesia ke negara-negara di sekitar
AMU. Indonesia harus bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan
maksimal, diantaranya melalui peningkatan peran perwakilan
dagang di negara-negara AMU. Selain itu, pemerintah juga
Tabel 7. Nilai, Harga dan Pangsa Impor Minyak Sawit AMU Tahun 2013
Keterangan: HS 1511 (Minyak sawit dan fraksinya)
Sumber: WITS (2014), diolah
Tabel 8. Nilai, Harga dan Pangsa Impor Kopi Maghribi (AMU) Tahun 2013
Keterangan: HS 0901 (Kopi)
Sumber: WITS (2014), diolah
Keterangan: HS 4412 (Kayu lapis, panel veneer dan kayu dilaminasi semacam itu)
Sumber: WITS(2015), diolah
Tabel 9. Nilai, Harga dan Pangsa Impor Produk Kayu Maghribi (AMU) Tahun 2013
perlu mengidentifikasi kebijakan dan peraturan di negara wilayah
AMU, meningkatkan kegiatan promosi ekspor dan diplomasi
demi meningkatkan perdagangan Indonesia dengan AMU, serta
melakukan market intelligent di AMU dengan cermat.
No. Negara Pemasok Nilai ekspor Harga Pangsa
(USD juta) (USD ribu/ton) (%)
No. Negara Pemasok Nilai ekspor Harga Pangsa
(USD juta) (USD ribu/ton) (%)
No. Negara Pemasok Nilai ekspor Harga Pangsa
(USD juta) (USD ribu/ton) (%)
1 Indonesia 44.655 0,80 68,55
2 Malaysia 16.414 0,82 25.20
3 Singapura 2.280 0,34 3,50
4 Italia 1.188 0,85 1,82
5 Swedia 191 1,56 0,29
1 Vietnam 134.004 2,34 43,60
2 Cote d’Ivoire 119.437 2,32 38,86
3 Indonesia 30.682 2,19 9,98
4 Brazil 14.493 3,52 4,72
5 Italia 2.046 11,05 0,67
1 Malaysia 2,170 0.74 71.15
2 Indonesia 877 1.52 28.76
3 Swedia 2 3.12 0.08
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Deky Paryadi
Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis Untuk Pengembangan Potensi
Daerah di IndonesiaKekayaan Intelektual Indikasi Geografis
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah padanan kata yang
biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak
yang timbul karena hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk
atau proses yang berguna untuk manusia. Pengajuan HKI atas
suatu barang tertentu mengakibatkan timbulnya hak bagi subjek
hukum yang mengajukan, hak tersebut adalah hak ekonomis dan
hak moral. Hak ekonomis timbul berupa keuntungan jika pihak
lain menggunakan HKI yang telah didaftarkan dan hak moral yang
merupakan hak yang melekat kepada inventor terhadap invensi
yang telah ditemukan.
Seseorang bebas untuk mengajukan atau tidak mengajukan
permohonan atau mendaftarkan karya intelektual yang
dihasilkannya. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada
individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain, dan
sebagainya) tidak lain dimaksudkan sebagai penghargaan
atas hasil karya (kreativitas) dan agar orang lain terpacu untuk
mengembangkan lebih lanjut sehingga dengan sistem HKI
tersebut kepentingan masyarakat akan ditentukan melalui
mekanisme pasar.
Secara garis besar menurut Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, HKI
terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Hak Cipta (copyright);
2) Paten (patent),
3) Merek (trademark),
4) Desain industri (industrial Design),
5) Desain tata letak sirkuit terpadu (Layout Design of Integrated
Circuit),
6) Rahasia dagang (Trade Secret)
7) Indikasi Geografis (Geographical Indication)
Dari sekian banyak jenis HKI yang disebutkan, yang menjadi
fokus dalam artikel ini adalah Indikasi Geografis (IG). Apa yang
dimaksud dengan Indikasi Geografis? Pasal 56 UU No. 15 Tahun
2001 tentang Merek menyatakan bahwa “Indikasi Geografis
dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang, yang karena faktor lingkungan geografisnya termasuk faktor
alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,
memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia
dikaruniai berbagai kekayaan alam dan kekayaan hayati, sehingga
dapat dipastikan memiliki banyak komoditas atau produk yang
potensial untuk dilindungi melalui indikasi geografis. Permasalahan
muncul ketika di hampir semua wilayah Indonesia, komoditas
atau produk yang potensial yang bisa dilindungi sebagai Indikasi
Geografis, belum mendapatkan perhatian yang memadai dari
pemerintah, khususnya pemerintah daerah sebagaimana yang
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang
Merek (UU 15/2001) dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun
2007 tentang Indikasi Geografis (PP 51/2007).
Berbeda dengan rezim HKI pada umumnya yang merupakan
hak privat, hak Indikasi Geografis memberikan hak eksklusif berupa
hak komunal (bersama) dan manfaat ekonomi bagi pemegangnya.
Perlindungan hukum hak Indikasi Geografis, merupakan salah satu
kekhususan yang merupakan bagian dari tanggung jawab daerah
dalam rangka otonomi daerah, dimana pemerintah daerah memegang
peran penting dalam pertumbuhan suatu daerah. Pemerintah
perlu menentukan kebijakan dalam rangka memberikan jaminan
perlindungan akan hak indikasi geografis yang ada di daerahnya,
sebagai bentuk kepedulian terhadap kekayaan daerah tersebut.
Potensi daerah yang dapat dikembangkan sehingga dapat
memberikan ciri daerah yang bersangkutan adalah potensi
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Pada saat dimulai penelitian perbaikan mutu, perbaikan sistem
pemasaran, dan aplikasi Indikasi Geografis pada tahun 2001 harga
biji kopi Arabika di Kintamani sangat rendah (Rp 5000), bahkan
lebih rendah dari harga kopi Robusta di Pupuan Tabanan Bali (Rp
5.500). Pada tahun 2007, harga kopi Arabika di Kintamani telah
beranjak naik menjadi sekitar Rp 26.000 per kg. Kenaikan harga
ini selain karena faktor harga internasional juga dipengaruhi oleh
adanya perbaikan mutu dan sistem pemasaran yang lebih efisien.
Perbaikan harga ini semakin baik setelah kopi Arabika Kintamani
Bali terdaftar sebagi produk Indikasi Geografis.
Harga kopi Arabika Kintamani Bali jenis OSE WP sekitar Rp
51.000 per kg bahkan pernah ada yang mencapai harga sekitar Rp
53.000 per kg (Republika, 6 Januari 2015). Adanya perbaikan harga
tersebut sedikit banyak karena dipengaruhi oleh adanya perbaikan
kualitas dari Kopi Arabika Kintamani yang telah didaftarkan sebagai
Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis. Dengan pendaftaran
Indikasi Geografis kopi Arabika Kintamani Bali makin dikenal
masyarakat luas, sehingga saat ini makin terbuka pasarnya.
Sebagian besar kopi Arabika Kintamani Bali diekspor ke luar negeri
(Jepang, Australia, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Korea), dan
sebagian dipasarkan di dalam negeri (khususnya untuk memenuhi
kebutuhan kedai-kedai kopi spesialti di kota-kota besar).
Jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh Indonesia,
jumlah pendaftaran indikasi geografis Indonesia yang terdaftar
masih tergolong minim, sehingga hal ini menimbulkan beberapa
pertanyaan, pertama apakah pemahaman masyarakat daerah
mengenai indikasi geografis masih rendah? Ataukah perangkat
hukum yang ada masih belum dapat mengakomodir potensi-
potensi indikasi geografis di beberapa daerah di Indonesia?
produk-produk unggulan spesifik lokasi yang sangat lekat dengan
pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. Kekhasan tersebut
muncul akibat adanya interaksi antara komoditas tersebut dengan
lingkungan, sosial budaya, dan teknologi setempat. Kekhasan
tersebut tidak akan dapat diperoleh di lokasi lain, meskipun bila
komoditas atau bahan bakunya sama. Dalam kenyataannya saat
ini, kekhasan tersebut kadang tidak sempat dimanfaatkan oleh
masyarakat wilayah penghasil produk, tetapi dimanfaatkan oleh
pelaku usaha atau masyarakat wilayah lain. Dari segi sumber daya
alam, banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan telah
mendapatkan pengakuan di pasar internasional sehingga memiliki
nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh: Kopi Gayo, Kopi Toraja,
Kopi Kintamani, Mebel Ukir Jepara dan sebagainya.
Tidak hanya di Indonesia, negara-negara lain pun saat ini tengah
berlomba-lomba untuk meningkatkan kekhasan daerah masing
masing melalui indikasi geografis yang telah mereka daftarkan.
Beberapa potensi indikasi geografis di negara Asia antara lain:
Malaysia: Bario Rice; Vietnam: Pomelo Nam Roi; Kamboja: Rice
Battabang, Cardamom, Pranoc (Fish sauce), PepperKampot;
Cina: Alcohol Cereals, Mootai (Gui Zhou), Longjing Tea Huangzhou
(Zhetiang), Xuanwei Ham (Yunnan), Mengshan tea (Sinchuan);
Thailand: Durian Chanthaburi, Rayong, Mangosteem Rayong,
Pineapple Phuket, Salted eggs Chai Ya (Surattnani), Oysters
Surattnani,Wine Loei, Pak Chong, Khao Yai, Gold Sukhotai
(Septiono, 2009).
Melihat fenomena tersebut, perlindungan atas Indikasi
Geografis (IG) sebagai bagian dari HKI sangat diperlukan.
Indikasi Geografis suatu produk memegang peranan vital dalam
memberikan kesan kepada konsumen tentang adanya nilai lebih
pada produk yang ditawarkan, baik mengenai kualitas maupun
sifat-sifat yang dapat meningkatkan daya saing yang akhir-akhir ini
banyak dikembangkan di berbagai negara.
Indikasi Geografis Terdaftar di IndonesiaIndikasi Geografis (IG) dalam negeri yang pertama kali terdaftar
adalah Kopi Arabika Kintamani Bali yang dimohonkan oleh
Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika
Kintamani Bali pada tahun 2008. Penelitian dan pengembangan
aplikasi Indikasi Geografis di Indonesia dipelopori oleh Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) bekerjasama
dengan Center Internationale de Reserche Agronomique et pour
la Development (CIRAD), sebuah Lembaga Penelitian Pertanian
Tropika Internasional di Perancis, pada komoditas kopi Arabika
di dataran tinggi Kintamani Bali pada akhir tahun 2001. Penelitian
dan pengembangan aplikasi Indikasi Geografis tersebut dilakukan
secara simultan dengan perbaikan mutu dan sistem pemasaran,
serta studi ilmiah tentang faktor geografis (alam, manusia dan
interaksi antara keduanya) dalam rangka persiapan pendaftaran
Indikasi Geografis.
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Gambar 1. Indikasi Geografis Terdaftar Pertahun.Sumber: Ditjen Kekayaan Intelektual, Kemenkumham (2016), diolah
Dari Gambar 1 terlihat peningkatan jumlah Indikasi Geografis
terdaftar setiap tahunnya dari tahun 2007 sampai dengan tahun
2015. Hingga tahun 2009, total Indikasi Geografis terdaftar di
Indonesia rata-rata hanya satu, angka ini meningkat minimal
menjadi empat sejak tahun 2010 dan hingga akhir tahun 2015 total
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Tabel 1. Indikasi Geografis Indonesia Terdaftar No Produk Pemohon
1 KopiArabikaKintamaniBali MPIG(MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis)KopiBali 2 Champagne Comite Interprofessional du Vin de Champagne (CIVC) Kuasa : Gunawan Suryomurcito 3 MebelUkirJepara JeparaIndikasiGeografis,ProdukMebel–Mebel 4 Lada Putih Munthok Badan Pengelola Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kep Bangka Belitung 5 Kopi Arabika Gayo MPKG (Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo) 6 Pisco INDECOPI Perwakilan Diplomatik : Ambassador Juan Alvarez Vita, Embassy of Peru in Indonesia 7 Tembakau Hitam Sumedang Pemerintah Kabupaten Sumedang 8 Tembakau Mole Sumedang Pemerintah Kabupaten Sumedang 9 Parmigiano Reggiano Consarzio Del Formaggio “Parmigiano - Reggiano” Kuasa : Andromeda, BA., SH 10 Susu Kuda Sumbawa Asosiasi PengembanganSusu Kuda Sumbawa. 11 Kangkung Lombok Asosiasi Komoditas Kangkung Lombok. 12 Madu Sumbawa Jaringan Madu HutanSumbawa 13 Beras Adan Krayan Asosiasi Masyarakat Adat Perlindungan Beras Adan Krayan 14 KopiArabikaFloresBajawa MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis 15 PurwacengDieng MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)PurwacengDieng 16 CaricaDieng MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)CaricaDieng 17 Vanili Kep. Alor Asosiasi Petani Vanili Kepulauan Alor (APVKA) 18 Kopi Arabika Kalosi Enrekang Masyarakat Perlindungan Kopi Enrekang 19 Ubi Cilembu Sumedang Asosiasi Agrobisnis Ubi Cilembu (ASAGUCI) 20 SalakPondohSlemanJogja PerlindunganIndikasiGeografisSalakPondohSleman 21 Minyak Nilam Aceh Forum Masyarakat Perlindungan Nilam Aceh (FMPNA 22 Kopi Arabika Java Preanger MPIG Kopi Arabika Java Preanger-Jabar 23 KopiArabikaJavaIjenRaung PerhimpunanMasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(PMPIG) 24 Bandeng Asap Sidoarjo Forum Komunikasi Masyarakat Tambak (FKMT) Sidoarjo 25 Kopi Arabika Toraja MPIG Kopi Arabika Toraja 26 KopiRobustaLampung MasyarakatIndikasiGeografisKopiRobustaLampung(MIG-KRL) 27 TembakauSrinthilTemanggung MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)TembakauSrinthilTemanggung 28 MeteKubuBali MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)MeteKubuBali 29 GulaKelapaKulonprogoJogya MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)GulaKelapaKulonprogoJogja 30 KopiArabikaJavaSindoroSumbing MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)KopiArabikaJavaSindoro-Sumbing 31 Kopi Arabika Sumatera Simalungun Himpunan Masyarakat Kopi Arabika Sumatera Simalungun (HMKSS) 32 KopiLiberikaTungkalJambi MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)KopiLiberikaTungkalJambi 33 Cengkeh Minahasa Masyarakat Perlindungan Cengkeh Minahasa (MPCM) 34 Beras Pandanwangi Cianjur Masyarakat Pelestari Padi Pandanwangi Cianjur (MP3C) 35 KopiRobustaSemendo MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)KopiSemendeApikJurai 36 PalaSiau LembagaPerlindunganIndikasiGeografis(LPIG)PalaSiau 37 TehJavaPreanger MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)TehJavaPreanger 38 GaramAmedBali MasyarakatPerlindunganIndikasiGeografis(MPIG)GaramAmedBali
Sumber: Ditjen Kekayaan Intelektual, Kemenkumham (2016)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Indikasi Geografis terdaftar telah berjumlah 38 termasuk pemohon
Indikasi Geografis dari luar negeri.
Regulasi Indikasi Geografis di IndonesiaSebagai anggota WTO Indonesia telah meratifikasi Trade-
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), pada tanggal
15 April 1994. Hal ini menjadi penting karena akan terlihat bagaimana
kapasitas dan keseriusan Indonesia dalam melindungi HKI, termasuk
diantaranya Indikasi Geografis di dunia internasional dalam setiap
perundingan. Pemerintah Indonesia melihat HKI sebagai potensi
negara yang harus dilindungi. Namun permasalahan saat ini, Indikasi
geografis yang merupakan bagian dari HKI belum mendapatkan
perhatian yang memadai dari pemerintah.
Dalam Pasal 5 PP No. 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi
Geografis, yang berhak untuk mengajukan pendaftaran Indikasi
Geografis ada beberapa pihak diantaranya adalah:
(1) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang
memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas:
(a) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil
alam atau kekayaan alam;
(b) Produsen barang hasil pertanian;
(c) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil
industri; atau
(d) Pedagang yang menjual barang tersebut.
(2) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
(3) Kelompok konsumen barang tersebut.
Pendaftaran Indikasi Geografis tidak memerlukan biaya yang
besar, berdasarkan PP No. 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan
Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia biaya pendaftaran
sekitar Rp 500.000. Dalam Pasal 5 PP Nomor 51 tahun 2007 telah
diatur dengan jelas syarat-syarat pendaftaran Indikasi Geografis
antara lain sebagai berikut:
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
oleh Pemohon atau melalui Kuasanya dengan mengisi formulir
dalam rangkap 3 (tiga) kepada Direktorat Jenderal.
(2) Bentuk dan isi formulir Permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktorat Jenderal.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang
memproduksi barang yang bersangkutan, terdiri atas:
1. pihak yang mengusahakan barang hasil alam atau
kekayaan alam;
2. produsen barang hasil pertanian;
3. pembuat barang hasil kerajinan tangan atau barang
hasil industri; atau
4. pedagang yang menjual barang tersebut;
b. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
c. Kelompok konsumen barang tersebut.
Pada tahun 2009, pemohon Indikasi Geografis dari luar
negeri mulai mendaftarkan di Indonesia. Syarat Indikasi Geografis
luar negeri dapat terdaftar di Indonesia adalah (Ditjen Kekayaan
Intelektual, 2016):
a) Telah memperoleh pengakuan dan/atau terdaftar sebagai
Indikasi Geografis sesuai ketentuan yang berlaku di negara
asalnya;
b) Mengajukan permohonan pendaftaran kepada Pemerintah
Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Kekayaan
Intelektual Kemenkumham tahun 2016, pendaftaran Indikasi
Geografis terdaftar dari luar negeri yang pertama adalah minuman
beralkohol (anggur) sprakling wine “Champagne” dari Perancis
pada tahun 2009, selanjutnya minuman beralkohol (keras) brandy
(spirit/eux-de-vie) Pisco dari Peru pada tahun 2010, dan keju
Parmigiano Reggiano dari Italia pada tahun 2011.
Adanya anggapan tidak semua Indikasi Geografis yang
didaftarkan dapat bernilai ekonomis, kerap menjadi alasan oleh
para pihak yang berkepentingan untuk tidak mendaftarkan
produknya sebagai Indikasi Geografis. Nilai ekonomis yang akan
didapat mungkin bukan merupakan direct benefit yang langsung
dapat diperoleh pemegang Hak Indikasi Geografis, namun harus
dilihat indirect benefit yang akan didapat. Indirect benefit yang
diperoleh antara lain, seperti daerah tersebut akan lebih dikenal
yang akhirnya akan memberikan dampak lain seperti di sektor
wisata dan bukan tidak mungkin akan menarik investor luar yang
akan memberikan dampak positif bagi kemajuan daerah setempat.
Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas, tidak ada
alasan bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap Indikasi
Geografis untuk tidak mendaftarkan potensi daerahnya sebagai
produk Indikasi Geografis. Karena tanpa disadari, adanya Indikasi
Geografis dapat menjadi suatu simbol kedaulatan dan kebanggaan
sebuah daerah yang nantinya akan membawa nama Indonesia
ke kancah Internasional, sehingga tidak ada lagi peristiwa suatu
produk atau ciri khas suatu daerah/negara tertentu diakui sebagai
produk oleh negara lain. Indikasi Geografis masih belum dipahami
sebagai sebuah nilai ekonomis yang dapat dijadikan nilai lebih
dalam dunia perdagangan internasional, sehingga banyak potensi
daerah yang seharusnya dijadikan Indikasi Geografis wilayah
Indonesia malah diakui sebagai Indikasi Geografis oleh negara lain.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Peluang Ekspor Pisang Cavendish
dan Peran Kebijakan Pengamanan PerdaganganMaria Stefani Endang dan Reni K. Arianti
Buah merupakan salah satu produk strategis perdagangan
Indonesia yang merupakan negara agraris dan tropis. Salah satu
buah andalan ekspor Indonesia adalah pisang. Ada beberapa jenis
pisang di Indonesia, antara lain Pisang Ambon, Pisang Raja, Pisang
Berangan, Pisang Cavendish dan beberapa pisang lainnya. Dari
beberapa jenis pisang tersebut, Pisang Cavendish merupakan
salah satu jenis pisang yang paling banyak diminati dan dikonsumsi
oleh masyarakat dunia.
Produsen Pisang Di DuniaBerdasarkan data dari Food Agricultural Organisation (FAO)
tahun 2016, negara-negara di Asia merupakan produsen utama
pisang di dunia. Pangsa produksi pisang di Asia mencapai 51%
dari total produksi dunia, disusul Amerika dengan pangsa 33%,
Afrika 14% dan sisanya 2% berasal dari Oceania dan Eropa. Lima
negara penghasil utama pisang di dunia pada tahun 2013 antara
lain India (27 juta ton atau sekitar 26% dari total produksi dunia),
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (11%), Filipina (8%), Brazil (6%),
dan Ekuador (5,6%). Indonesia tercatat menempati urutan ke enam
dengan produksi sebesar 5% dari total produksi dunia.
Tabel 1 memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan
produksi pisang di dunia selama periode 2010-2013, dimana
per tahun rata-rata mengalami penurunan produksi sebesar
0,10%. Penurunan ini juga dialami oleh Indonesia sebesar 2,03%.
Penurunan produksi di beberapa negara disebabkan karena faktor
cuaca dan serangan hama pada tanaman pisang. Untuk Indonesia,
menurut laporan Direktur Jenderal Hortikultura kegagalan panen
pada tahun 2013 akibat serangan penyakit layu fusarium/bakteri,
penyakit bercak daun dan serangan hama ulat penggulung.
Namun, di saat negara-negara di dunia cenderung mengalami
penurunan, ketiga negara yaitu RRT, Guatemala dan Angola justru
mengalami peningkatan produksi yang signifikan pada periode
tersebut, masing-masing meningkat sebesar 8,39% untuk RRT,
7,33% untuk Guatemala, dan 14,59% untuk Angola.
Meskipun produksi pisang di Indonesia cukup besar, namun
peranan perdagangan pisang Indonesia dalam perdagangan
dunia masih relatif kecil. Tercatat impor pisang dunia pada tahun
2014 mencapai USD 174 juta, sedangkan peranan ekspor pisang
Tabel 1. Produksi Utama Pisang Dunia
Sumber: FAO (2016)
No Negara Produksi : Ton Tren (%)
2010 2011 2012 2013
Dunia 105.828.621 106.327.935 104.885.752 105.956.705 -0,10
1 India 29.780.000 28.455.100 26.509.000 27.575.000 -2,97
2 Republik Rakyat Tiongkok 9.561.000 10.400.000 11.558.000 12.075.238 8,39
3 Filipina 9.101.341 9.165.043 9.225.998 8.645.749 -1,46
4 Brazil 6.969.306 7.329.471 6.902.184 6.892.622 -0,93
5 Ecuador 7.931.060 7.427.776 7.012.244 5.995.527 -8,58
6 Indonesia 5.755.073 6.132.695 6.189.052 5.359.115 -2,03
7 Guatemala 2.637.115 2.679.934 3.078.547 3.188.050 7,33
8 Angola 2.047.955 2.646.073 2.991.454 3.095.013 14,59
9 Tanzania 3.155.710 3.143.835 2.524.740 2.678.680 -6,86
10 Burundi 1.912.661 1.848.727 1.184.075 2.235.697 0,23
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Filipina86,07%
Côte d'Ivoire10,58%
Mozambik3,14%
Negara Lainnya0,21%
Indonesia menurut data Trade Map masih dibawah 1%. Negara
di kawasan Timur Tengah dan Afrika merupakan pasar utama
ekspor pisang Indonesia antara lain Uni Emirat Arab (32%), Saudi
Arabia (23%), Iran (11%), Palestina (7%), dan Maroko (7%). Negara
pemasok utama pisang di dunia adalah Filipina (86%), Cote d’Ivoire
(10,5%), dan Mozambik (3%). Indonesia berada pada urutan ke-
24. Pesaing Indonesia dalam perdagangan pisang tidak hanya
berasal dari negara-negara Amerika Latin tetapi juga datang dari
negara-negara Asia (Gambar 1).
Produksi pisang Indonesia saat ini masih didominasi oleh
berbagai jenis pisang lokal yang sebagian besar dimanfaatkan
untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan untuk pasar dunia
pisang jenis Cavendish lebih diminati. Dari hasil wawancara dengan
produsen pisang Pisang di Lampung, diperoleh keterangan bahwa
untuk pasar ekspor buah-buahan yang lebih dipentingkan adalah
kualitas produk sebab pembeli di negara tujuan cenderung memilih
buah dengan ukuran yang besar dan penampilan menarik. Selain
itu juga diharapkan produk buah-buahan bebas dari lalat buah dan
telur lalat buah.
Usaha tani Pisang Cavendish di Indonesia hanya dilakukan
oleh perusahaan besar, karena Budi daya Pisang Cavendish
memerlukan penanganan yang rumit terutama dalam hal
pengendalian hama penyakit daun (Fusarium), yang memerlukan
peralatan yang otomatis dalam penyemprotan terhadap daun.
Kondisi ini menyebabkan usaha budidaya Pisang Cavendish
agak sulit dilakukan oleh petani. Hingga saat ini tercatat dua
pemain utama usaha tani pisang Cavendish di Indonesia yakni PT.
Nusantara Tropical Farm (NTF), Lampung dengan brand “Sunpride”
dan PTPN VIII Jawa Barat yang sudah masuk ke pasaran lokal
dengan brand “Nusantara 8”.
Importir Utama Pisang Dunia
Eksportir Utama Pisang Dunia
Gambar 1. Negara Eksportir dan Importir Pisang Dunia.Sumber: Trade Map (2016)
Tabel 2. Negara Tujuan Utama Ekspor Pisang Indonesia, 2013-2015 (Jan-Nov)
Sumber: BPS (2016), diolah Puska Daglu BPPP Kemendag
Kinerja Ekspor Pisang IndonesiaMenurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Pisang Indonesia
selama periode 2011-2015 menunjukkan pertumbuhan yang
cukup signifikan sebesar 121%. Pada tahun 2015, nilai ekspor
pisang tercatat sebesar USD 12 juta atau mengalami penurunan
sebesar 24% jika dibandingkan dengan periode tahun 2014 yang
mencapai nilai sebesar USD 16 juta, atau mengalami penurunan
sebesar 24%. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan
permintaan terhadap pisang yang sejalan dengan melambatnya
perekonomian dunia.
Uni Emirat Arab32%
Saudi Arabia23%
Iran11%
Palestina7%
Maroko7%
Negara Lainnya
20%
Nilai : Ribu USD No Negara Januari-Mei Perub (%) Tren (%) 2013 2014 2015 2015 2016 2016/15 2011-15
Total Ekspor Pisang 2.846 16.003 12.082 8.204 2.715 -66,91 121,89 1 Republik Rakyat Tiongkok 1.595 11.026 4.878 4.357 557 -87,21 330,74 2 Saudi Arabia 677 1.380 2.157 1.295 223 -82,81 - 3 Jepang 0 - 1.778 444 1.116 151,24 - 4 Uni Emirat Arab 20 1.290 1.712 817 523 -35,95 124,34 5 Kuwait 482 1.992 1.477 1.220 103 -91,58 162,54 6 Malaysia 64 236 80 69 95 37,03 - 7 Maldives - - 1 1 - -100,00 - 8 Singapura 7 65 0 0 0 -34,86 - 9 Brasil - - - - - - - 10 Hongkong 2 14 - - - - - Negara lainnya 0 - - - 98 - -
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Kuwait, dan Saudi Arabia
adalah pasar utama ekspor pisang Indonesia pada tahun 2014 yang
masing-masing dengan pangsa sebesar 68,27%, 12,31%, dan
9,13% disusul oleh Uni Emirat Arab dan Malaysia dengan peranan
7,97% dan 1,66%. Pada periode Jan-Nov 2015 dibandingkan
dengan periode yang sama pada tahun 2014, ekspor pisang ke
RRT, Singapura, Hong Kong, dan Italia menurun signifikan rata-rata
sebesar 76%, sebaliknya ekspor ke Jepang, Australia, Malaysia,
Saudi Arabia, Uni Emirat Arab dan Kuwait mengalami peningkatan
rata-rata sebesar lebih dari 248%.
Peningkatan ekspor yang naik tajam adalah ke Jepang, ekspor
ke Jepang pada periode 2014 hanya menempati urutan ke 11 dan
pada periode Jan-Nov 2015 Jepang ada di urutan ke 3 terbesar
atau memiliki kontribusi sebesar 13,3%. Pasokan pisang ke
Jepang dari Filipina berkurang karena Filipina sering mengalami
bencana alam angin topan dan banjir, sehingga berpengaruh
besar terhadap produksi buahnya, kondisi tersebut membawa
keuntungan bagi Pisang Indonesia. Hal ini juga menunjukkan produk
pisang dari Indonesia mampu bersaing secara kualitas dengan
produk pisang dari Filipina yang selama ini merajai pasar dunia.
Keberhasilan menembus pasar ekspor Jepang dapat dikatakan
satu prestasi dan catatan penting bagi Indonesia mengingat
Jepang menerapkan standar mutu dan kesehatan yang sangat
tinggi untuk impor produk pertanian. Selain itu Indonesia mampu
menggenjot ekspor Pisang juga karena Indonesia mengenakan
Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas importasi barang Pisang
Cavendish asal Filipina yang terbukti melakukan dumping yang
menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri.
Peran Pemerintah dalam Pengamanan Perdagangan Pisang Dalam perdagangan internasional, praktik dumping merupakan
praktik perdagangan yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor
kegiatan tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap industri
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Untuk itu
pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dapat dilakukan
jika harga ekspor suatu barang yang diimpor bernilai lebih rendah
dari harga normalnya dan menyebabkan kerugian bagi industri
dalam negeri. BMAD dapat dikenakan paling tinggi sebesar marjin
dumping. Tujuan pengenaan BMAD adalah untuk memulihkan
kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang
dapat diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut
sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang impor terhadap barang
sejenis atau barang yang secara langsung bersaing. Pengenaan
BMAD dapat mendorong industri dalam negeri yang mengalami
kerugian serius maupun ancaman kerugian serius untuk melakukan
penyesuaian yang diperlukan.
Salah satu kebijakan pengenaan BMAD yang telah ditetapkan
oleh pemerintah Indonesia adalah pengenaan BMAD atas importasi
barang Pisang Cavendish yang berasal dari Filipina. Pengenaan
BMAD atas importasi barang Pisang Cavendish dari Filipina telah
berlaku sejak tahun 2006, melalui Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 81/PMK.010/2006 tanggal 28 September 2006, pos
tarif 0803.00.00.00 sesuai dengan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia
(BTBMI) tahun 2004, dengan besaran BMAD 49,35% dan jangka
waktu pengenaan selama 5 tahun. Pengenaan BMAD telah
diperpanjang melalui PMK Nomor 175/PMK.011/2011, tanggal 17
November 2011, pos tarif 0803.00.90.00 sesuai dengan BTBMI
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
2007, dengan besaran BMAD 35% dan jangka waktu pengenaan
selama 5 tahun. Masa berlaku PMK Nomor 175/PMK.011/2011
akan berakhir tanggal 17 November 2016.
Berdasarkan data BPS, importasi pisang (HS 080300)
selama periode 2010-2014 terus mengalami penurunan yang
signifikan dengan rata-rata penurunan sebesar 37,79%, dan
tahun 2015 tercatat tidak ada lagi impornya. Hal ini menunjukkan
bahwa dampak pengenaan BMAD melalui PMK Nomor 175/
PMK.011/2011 sangat efektif. Hal tersebut juga diakui oleh
produsen pisang di dalam negeri, bahwa dengan diterapkannya
PMK tersebut serangan produk dari luar berkurang, sehingga
secara otomatis industri dalam negeri dapat berkembang.
Bahkan, industri dalam negeri mampu mengembangkan usaha
budi daya pertanian Cavendish dengan membuka lahan tanaman
hortikultura antara lain di Aceh untuk memenuhi permintaan pasar
Timur Tengah; Berau, Kalimantan Timur untuk ke Jepang dan RRT;
sedangkan untuk Lampung dan Blitar untuk memenuhi kebutuhan
pasar domestik. Buah pisang cocok untuk ditanam di daerah
manapun di Indonesia. Pengembangan usaha budi daya pertanian
di luar pulau jawa ini juga sejalan dengan program Nawa Cita dari
pemerintah saat ini.
Peluang Ekspor Pisang CavendishMenurut data Trade Map, permintaan pisang dunia selama
periode 2011-2014 menunjukkan adanya kecenderungan menurun
sebesar 73%, namun sebaliknya di beberapa negara Timur Tengah
dan Asia Timur permintaan akan pisang menunjukkan tren yang
positif rata-rata naik lebih dari 67%. Peluang ini dapat dimanfaatkan
Indonesia untuk memenuhi permintaan tersebut.
Situasi usaha tani pisang saat ini merupakan peluang bagi
Indonesia untuk dapat mengembangkan dan memproduksi Pisang
Cavendish untuk memasok kebutuhan di pasar dalam negeri dan
pasar internasional. Hal senada juga dikemukakan oleh Atase
Perdagangan RI di Jepang, bahwa bisnis impor produk Pisang
Cavendish sangat menjanjikan di pasar Jepang. Saat ini, total
konsumsi buah di Jepang tercatat mencapai 5,4 juta ton per tahun,
dan 1,8 juta ton di antaranya merupakan buah impor. Dari total
volume buah impor tersebut, impor buah pisang mendominasi
dengan volume impor sebesar 1 juta ton per tahun dan nanas
sebanyak 200.000 ton per tahun. Dua buah tersebut berkontribusi
terhadap 66,67% total impor buah di Jepang (Bisnis.com, 2015).
Indonesia memiliki potensi alam yang sangat mendukung
untuk pengembangan buah-buahan tropis menjadi komoditas
unggulan karena Indonesia mempunyai iklim dan lahan yang
memungkinkan pada musim panen yang berbeda antar daerah.
Peluang ekspor buah-buahan terutama Pisang Cavendish dapat
dicapai dengan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas
dalam upaya memenuhi pangsa pasar. Perlunya menyesuaikan
selera pasar dunia dengan mengurangi penggunaan zat berbahaya
dan penerapan praktik pertanian yang baik, serta pengemasan
produk yang menarik penting diperhatikan oleh para pengusaha
buah sehingga buah lokal layak untuk di ekspor dan tidak ditolak
pasar dunia.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Menelisik Kinerja Industri dan Perdagangan Mamin dan TPT
Nurozy dan Umar Fakhrudin
Sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yang
mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi
industri pengolahan non migas terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) nasional juga berfluktuasi. Berdasarkan data Kementerian
Peridustrian, kontribusi sektor industri pengolahan non migas pada
tahun 2011 mencapai 18,13%. Angka ini menurun menjadi 17,99%
pada tahun 2012 dan 17,72% pada tahun 2013. Kemudian pada
dua tahun berikutnya kembali meningkat menjadi masing-masing
sebesar 17,89% dan 18,18%. Pada tahun 2015, di antara industri
pengolahan non migas tersebut yang mampu memberikan
kontribusi cukup singinifikan terhadap PDB adalah Industri
Makanan dan Minuman (Mamin) dengan kontribusi sebesar 5,61%,
diikuti oleh Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) 1,21%, Industri
Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional, Industri Barang Logam,
Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik 1,96%,
serta Industri Alat Angkutan 1,91%.
Kinerja Industri Mamin dan TekstilSelama periode 2011-2015, telah terjadi penurunan laju
pertumbuhan industri pengolahan non migas yang menimbulkan
isu telah terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Penurunan laju
pertumbuhan tersebut terjadi secara berturut-turut, menurun
6,98% (2012) menjadi 5,45% (2013), 5,61% (2014) dan 5,04%
(2015). Penurunan laju pertumbuhan tersebut disebabkan,
salah satunya, karena rendahnya konsumsi masyarakat karena
menurunnya daya beli.
Penurunan laju pertumbuhan industri pada tahun 2015 juga
disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan pada sebagian
besar lapangan usaha. Beberapa diantaranya bahkan mengalami
laju pertumbuhan yang negatif, yaitu Industri Tekstil dan Pakaian
Jadi (-4,79%); Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus, dan
Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya (-1,84%);
serta Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan
Reproduksi Media Rekaman (-0,11%).
Penurunan laju pertumbuhan pada setiap industri sebagai
akibat dari turunnya jumlah unit usaha pada masing-masing
lapangan usaha. Berdasarkan data BPS untuk industri makanan
dari 5.795 unit usaha (2013) turun menjadi 5.793 unit usaha
(2014). Menurunnya kinerja beberapa industri juga tercermin
dari menurunnya utilitas kapasitas produksi. Utilisasi kapasitas
produksi tekstil domestik semakin menyusut. Pada awal tahun
2015 utilisasi sekitar 88%-89%, tetapi pada pertengahan tahun
tinggal 70% (Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia/API). Untuk
industri makanan dan minuman saat ini tingkat utilisasi produksinya
diperkirakan mencapai 50%-60% (Ekon.go.id, 2015).
Kementerian Perindustrian menyebutkan pula bahwa
penurunan kinerja sektor industri nasional disebabkan juga oleh
beberapa faktor yaitu struktur industri yang tergantung impor;
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
ketertinggalan teknologi; kelemahan infrastruktur, listrik, energi dan
kepastian ketersediaan lahan; ketidakterhubungan antara kegiatan
industri dan bahan baku; inefisiensi biaya logistik dan biaya
administrasi; kapasitas, produktivitas dan hubungan industrial
ketenagakerjaan; beban regulasi, birokrasi dan penegakan hukum
yang menjadi penghambat pengembangan investasi, efisiensi
produksi, kelancaran distribusi dan kepastian bahan baku; masalah
akses dan beban pembiayaan; serta gangguan impor (Ekon.go.id,
2015).
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
(GAPMMI) mencatat, omset industri makanan dan minuman di
Indonesia tahun 2015 baru mencapai Rp 326 triliun atau 21,7%
dari pangsa pasar makanan dan minuman domestik sebesar Rp
1.500 triliun. Sementara itu pangsa pasar tekstil dan produk tekstil
menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pada tahun 2015
mencapai kisaran 30%. Relatif rendahnya pangsa pasar produk
lokal tersebut sebagai akibat membanjirnya produk tekstil dan
produk tekstil (TPT) impor ilegal yang telah menggerus pangsa
pasar produk lokal (Setkab.go.id, 2016).
Dalam rangka mendorong daya saing produk lokal, pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
132/0.10/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Berdasarkan
PMK besarnya tarif bea masuk beberapa produk adalah sebagai
berikut: Kopi instan (20% dari sebelumnya 5% ); Teh (20% dari 5%);
Berbagai produk daging olahan (30% dari 5%). Selanjutnya produk
yang mengalami kenaikan tarif adalah antara lain Ikan diolah/
diawetkan (15%); Krustasea, moluska dan invertebrata air olahan/
diawetkan (15%); Permen karet (20%); Coklat (15%); Pasta/mie
(20%); Makanan sereal (10%); Roti/kue kering (20%); Sayuran,
buah, kacang (20%); Ekstrak kopi/teh (20%); Saus dan olahannya
(15%); Es krim (15%); Olahan makanan lain (Tempe) (15%);
Minuman Ringan– Air mineral/soda (10%); Minuman pop non soda
(20%); Wine anggur (90%); Vermouth dan minuman fermentasi
anggur lainnya (90%); Minuman sari buah (90%); Minuman etil
alkohol dengan kadar alkohol kurang dari 80% (Brandy, wiski, rum
dan lain-lain (150%). Kenaikan bea masuk produk makanan dan
minuman jadi diharapkan akan mendukung produk dalam negeri
untuk bersaing di pasar domestik.
Tarif bea masuk produk makanan dan minuman relatif sama
dengan tarif bea masuk bahan bakunya. Misalnya, tarif bea masuk
bubuk coklat sama dengan tarif bea masuk kembang gula dari
coklat. Kondisi tersebut berdampak kurang baik bagi industri
pengolahan makanan dan minuman mengingat sekitar 65%
industri nasional masih memiliki ketergantungan terhadap bahan
baku impor (Kementerian Perindustrian, 2015). Untuk industri
makanan, secara umum bahan bakunya telah banyak dipasok oleh
industri domestik dengan perbandingan 93% dari bahan baku lokal
dan hanya 7% dari bahan baku impor sebagaimana terlihat pada
Gambar 1. Proporsi Pemakaian Bahan Baku Pada Industri Makanan dan Tekstil Tahun 2012.Sumber: BPS (2015), diolah
Gambar 1.
Untuk Industri Tekstil, ketergantungan terhadap bahan baku
impor mencapai 33,12% dan bahan baku pasokan lokal mencapai
66,88%. Tingginya ketergantungan bahan baku impor industri
tekstil terutama berasal dari kontribusi impor bahan baku berupa
benang dan kain. Secara detil dapat dijabarkan beberapa industri
yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap pasokan bahan
baku impor (di atas 40%) adalah Industri Persiapan Serat Tekstil
(41,20%); Industri Pemintalan Benang (48,59%); Industri Barang
Jadi untuk Keperluan Rumah Tangga (43,29%); Industri Barang
Jadi Tekstil Lainnya (53,96%); Industri Barang dari Tali (63,12%);
serta Industri Tekstil Lainya (55,77%).
Kinerja Perdagangan Mamin dan TekstilSelama periode dua tahun terakhir (2014-2015) neraca
perdagangan makanan olahan mengalami surplus setelah pada
periode sebelumnya mengalami defisit. Selama periode 2011-2015
tren pertumbuhan ekspor meningkat sebesar 6,71%, sebaliknya
tren pertumbuhan impor menurun 6,37%. Pada tahun 2015 nilai
ekspor makanan olahan mencapai USD 5,3 miliar atau sedikit
mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang nilainya mencapai USD 5,5 miliar. Di sisi lain impornya menurun
dari USD 5,2 miliar pada tahun 2014 menjadi USD 4,5 miliar. Dampak
menurunnya impor dan meningkatnya ekspor ini menyebabkan
Input Impor7%
Input Impor33%
Industri Makanan
Input Lokal93%
Input Lokal67%
Industri Tekstil
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
terjadi surplus sebesar USD 784,3 juta atau meningkat dari tahun
sebelumnya surplus sebesar USD 382,7 juta (Gambar 2).
Negara tujuan ekspor makanan olahan yang utama adalah
Amerika Serikat dengan nilai pada tahun 2015 mencapai USD 682,6 juta
atau mencapai 13% dari total ekspor makanan olahan Indonesia,
diikuti oleh Malaysia USD 547,4 juta (10%), Filipina USD 505,1 juta
(10%), Republik Rakyat Tiongkok (RRT) USD 403,6 juta (8%), serta
Singapura USD 290,9 juta (5%). Ekspor makanan olahan Indonesia ke
negara tujuan utama tersebut selama periode 2011-2015 cenderung
meningkat yaitu Amerika Serikat naik 11,82% per tahun, Malaysia
5,98%, Filipina 7,27%, dan RRT 22,34%.
Gambar 2. Neraca Perdagangan Makanan Olahan Indonesia Periode, 2011-2015.Sumber: BPS (2015), diolah
Gambar 3. Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Makanan Olahan Indonesia Tahun 2015.Sumber: BPS (2015), diolah
Pada tahun 2015 impor makanan olahan Indonesia yang
terbesar berasal dari Thailand dengan nilai dan pangsa mencapai
USD 872,9 juta (19%), diikuti Australia USD 703,0 juta (16%), RRT
USD 623,4 juta (14%), Amerika Serikat USD 332,2 juta (7%) dan
Malaysia USD 319,4 juta (7%).
Untuk produk tekstil, nilai neraca perdagangan TPT selama
periode 2011-2015 cenderung menurun dengan laju penurunan
sebesar 2,16% per tahun. Penurunan tersebut disebabkan
menurunnya nilai ekspor maupun impor masing-masing sebesar
1,30% dan 0,84% per tahun. Nilai ekspor TPT pada tahun 2015
mencapai USD 12,3 miliar, sedangkan nilai impor pada tahun yang
sama mencapai USD 7,9 miliar (Gambar 4).
Gambar 4. Neraca Perdagangan TPT Indonesia, 2011-2015.Sumber: BPS (2015), diolah
Negara tujuan ekspor TPT Indonesia didominasi oleh Amerika
dan ASEAN. Ekspor TPT mayoritas ditujukan ke pasar Amerika
Serikat. Hal ini wajar terjadi karena selama ini Indonesia merupakan
negara yang lebih terkait dengan rantai nilai perusahaan yang
berasal dari Amerika Serikat. Selanjutnya apabila dilihat dari
pangsanya, ekspor Indonesia terbesar lainnya adalah ke Malaysia
dan Filipina dengan pangsa 10%, RRT (8%), serta Singapura (5%)
(Gambar 5).
Indonesia juga mengimpor TPT dari dunia, terutama RRT
dengan nilai mencapai USD 2.618,8 juta pada tahun 2015. Selama
periode 2011-2015, impor dari Amerika Serikat dan Hong Kong
masing-masing turun sebesar 5,20% dan 0,89%. Sementara itu,
impor dari Taiwan dan Korea Selatan masing–masing naik sebesar
1,79% dan 1,65%. Demikian juga dengan impor dari RRT yang
menunjukkan peningkatan paling besar yaitu 3,40% per tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa daya saing produk TPT RRT cukup kuat.
RRT
RRT
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Gambar 5. Negara Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor TPT Indonesia Tahun 2015.Sumber: BPS (2015), diolah
Tabel 1. Negara Pemasok Utama Makanan Olahan ke Pasar Global, 2010-2014
Sumber: WITS-UNComtrade (2016), diolah
Dalam pasar makanan olahan global, Indonesia menempati
peringkat ke 25 sebagai pemasok dengan pangsa terhadap total
impor tahun 2014 mencapai 1,09%. Nilainya selama periode
2010-2014 juga cenderung meningkat karena ekspor ke pasar
dunia juga cenderung meningkat dengan pertumbuhan sebesar
9,85% per tahun (Tabel 1). Dari sisi daya saing makanan olahan
di pasar global, nilai indeks Normalized Revealed Comparative
Advantage (NRCA) menunjukkan produk dari negara-negara Uni
Eropa, Perancis, Belanda, Italia, Belgia, Spanyol serta Inggris
masih mendominasi. Sementara itu posisi daya saing Indonesia
di pasar makanan olahan global masih berada di peringkat 212
(COMTRADE, 2016).
Berdasarkan data COMTRADE (2016), pemasok utama TPT
dunia yang memiliki peran sangat signifikan adalah RRT dengan
peranan sebesar 32,96% pada tahun 2014, sedangkan negara
pemasok lainnya seperti India, Italia, Bangladesh, Turki, Vietnam,
Jerman dan Amerika Serikat, pangsa pasarnya hanya satu digit
(Tabel 2). Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir pangsa
pasar maupun daya saing produk tekstil RRT mulai menunjukkan
adanya penurunan. Sementara itu, produk TPT dari Bangladesh
dan Vietnam mengalami peningkatan. Menurut Staritz (Peneliti
Austrian Research Foundation for International Development)
dalam tulisannya yang diterbitkan tahun 2012, menyebutkan
bahwa salah satu alasan kenapa Indonesia berada di bawah RRT
maupun India adalah karena industri TPT Indonesia masih bersifat
Original Equipment Manufacture (OEM), dimana segala kebijakan
mengenai disain dan bahan baku termasuk sasaran pemasaran
ditentukan oleh perusahaan besar pemegang merek. Sementara
RRT dan India, berada dalam tingkatan industri yang bersifat
Original Design Manufacture (ODM), dimana industri mereka
dapat turut serta dalam kebijakan desain, pemilihan bahan baku,
termasuk dimana memperoleh bahan material tersebut.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Tabel 2. Negara Pemasok Utama TPT ke Pasar Global, 2010-2014
Sumber: UNCOMTRADE (2016), diolah
Indonesia sebenarnya memiliki peranan yang cukup signifikan
untuk produk TPT dalam pasar global, yaitu sebagai pemasok ke 9
dengan pangsa pasar sebesar 2,24%. Namun demikian, Indonesia
tentu harus mengejar ketertinggalan dari negara-negara pesaing
seperti Kamboja, Vietnam, Pakistan, Bangladesh, terutama RRT
dan India, jika ingin tetap menjadi negara pemasok utama produk
TPT di pasar global.
Tren (%)
2010 2011 2012 2013 2014 2010 - 2014 2010 2011 2012 2013 2014 Dunia 579,94 676,42 618,94 649,02 670,79 2,53 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
1 RRT 199,58 225,30 209,79 216,93 221,11 1,68 34,41 33,31 33,90 33,42 32,96 2 India 28,64 34,11 29,22 31,40 33,43 2,29 4,94 5,04 4,72 4,84 4,98 3 Italia 27,44 31,59 28,13 29,76 30,92 1,81 4,73 4,67 4,54 4,59 4,61 4 Bangladesh 18,40 24,39 24,34 27,92 30,53 12,17 3,17 3,61 3,93 4,30 4,55 5 Turki 22,60 26,40 25,61 27,39 28,38 5,05 3,90 3,90 4,14 4,22 4,23 6 Vietnam 14,06 17,99 19,09 22,85 26,63 16,37 2,42 2,66 3,08 3,52 3,97 7 Jerman 22,66 26,60 21,66 23,36 24,83 0,53 3,91 3,93 3,50 3,60 3,70 8 Amerika Serikat 20,54 26,08 23,24 23,06 21,80 -0,05 3,54 3,86 3,75 3,55 3,25 9 Indonesia 12,25 14,84 14,03 14,64 15,05 4,07 2,11 2,19 2,27 2,26 2,24 10 Pakistan 11,73 14,53 12,67 13,18 13,98 2,58 2,02 2,15 2,05 2,03 2,08
377,89 441,83 407,78 430,49 446,67 3,13 65,16 65,32 65,88 66,33 66,59 202,05 234,59 211,16 218,54 224,12 1,37 34,84 34,68 34,12 33,67 33,41
Pangsa (%)
Subtotal Negara Lainnya
No Negara Asal Impor Nilai (USD Miliar)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Perizinan Impor Telepon Seluler, Handheld dan Komputer Tablet:
Ernawati Munadi1
Tidak jarang kita mendengar kritik masyarakat terkait kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu yang sering terlontar
adalah ketidakkonsistenan antara pernyataan pemerintah terkait
program prioritas nasional dan kebijakan yang dibuat sebagai
pelaksanaan dari program prioritas tersebut. Sebagai contoh, dalam
pernyataannya pemerintah ingin mendorong pertumbuhan industri
hilir atau memperbaiki iklim usaha di Indonesia, namun masih
terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
tidak sejalan dengan program-program prioritas tersebut.
Kebijakan yang dikeluarkan terkadang dirasakan menyulitkan
pelaku usaha. Tidak mengherankan jika World Bank dalam survei-
nya menempatkan ranking Indonesia pada urutan ke 109 dari 189
negara yang di survei pada laporan kemudahan berusaha tahun
2016. Tulisan ini mencoba untuk memberikan beberapa gambaran
terkait dengan ketidakkonsistenan pemerintah, khususnya
memperbaiki iklim usaha di Indonesia dengan fokus pada impor
Telepon Seluler, Handheld dan Komputer Tablet.
Beberapa dari Anda mungkin pernah membaca bahwa
salah satu kebijakan yang sempat menimbulkan kontroversi
terkait dengan iklim usaha di Indonesia adalah Peraturan Menteri
Perdagangan No.82/M-DAG/PER/12/2012 mengenai Impor
Telepon Seluler, Handheld dan Komputer Tablet. Tidak bisa
dipungkiri bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk yang
mencapai lebih dari 250 juta jiwa merupakan pasar yang sangat
besar dan menguntungkan bagi perusahaan telepon seluler di luar
negeri, mengingat industri telepon seluler dalam negeri juga belum
cukup berkembang. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan akan
telepon seluler tersebut, Indonesia harus melakukan impor yang
jumlahnya tidak sedikit. Kondisi ini akan sangat menguntungkan
bagi importir telepon seluler.
Berdasarkan data, persentase jumlah pelanggan telepon
seluler di Indonesia terhadap jumlah penduduk pada tahun 2014
mencapai 115% dan dari sisi persentase berada pada urutan
ke-empat terbesar setelah Rusia (165%), Vietnam (144%), dan
Brazil (137%). Angka ini dihitung berdasarkan jumlah SIM card
yang digunakan, bukan jumlah orang yang menggunakan SIM
card. Data tersebut mengindikasikan bahwa satu orang mungkin
memiliki beberapa SIM card, juga beberapa perangkat akses data
(ponsel, modem, dll) (MobiThinking, 2014). Mengingat besarnya
potensi pasar telepon seluler di Indonesia, tidak mengherankan
jika pemerintah ingin mengembangkan industri ponsel di dalam
negeri, termasuk menarik sebanyak-banyaknya investasi asing.
Apalagi, peningkatan nilai impor ponsel telah menjadi salah satu
penyumbang defisit neraca perdagangan Indonesia pada April
2014 yang tercatat mengalami defisit sebesar 1,97 miliar dolar AS
(Tanjung, 2014).
Permendag No. 82/2012 diterbitkan dengan tujuan untuk
mengendalikan penjualan produk ilegal ponsel dan untuk melindungi
industri lokal. Penerapan peraturan tersebut telah menimbulkan
hambatan bagi importir ponsel dan tablet karena persyaratan
peraturan dan beberapa perizinan yang tumpang tindih. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh importir ponsel dan tablet
ditunjukkan dalam Kotak 1. Dalam rantai pasokan yang kompleks
saat ini, tidak mungkin untuk memberikan rencana impor satu
tahun ke depan, berikut dengan nomor seri untuk produk yang
belum diproduksi. Singkatnya, persyaratan ini lebih memberatkan
daripada meringankan importir Indonesia. Hal ini juga menciptakan
biaya tambahan dalam menjalankan usaha. Persyaratan tersebut
dapat menghambat usaha, terutama Usaha Kecil Menengah
(UKM) yang bergerak dibidang layanan purna-jual produk ponsel.
Importir atau dunia usaha mungkin dapat membebankan biaya
tambahan kepada konsumen Indonesia, namun konsumen harus
menghadapi harga yang lebih tinggi.
1 Penulis adalah Dosen Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Semua isi yang terkandung dalam artikel ini adalah pendapat pribadi dari penulis dan tidak mewakili pendapat dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Kompleksitas dan Usulan Perbaikan
TINJAUAN PERDAGANGAN
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Kotak 1. Beberapa Poin Penting dalam Permendag No. 82/M-DAG/PER/12/2012
Berdasarkan peraturan tersebut, impor telepon seluler, handheld dan komputer tablet hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan penetapan sebagai IT- impor telepon seluler, handheld dan komputer tablet. Importir harus menyerahkan dokumen-dokumen berikut untuk memperoleh izin IT (berlaku selama dua tahun) untuk mengimpor telepon seluler, perangkat handheld dan komputer tablet: • Surat Izin Usaha (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);• Angka Pengenal Importir (API), Nomor Induk Kepabeanan (NIK), Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK);• Bukti perjanjian kerja sama dengan setidaknya tiga distributor yang ditunjukkan melalui kontrak dengan setidaknya tiga distributor lokal yang akan
mengedarkan perangkat impor di pasar dalam negeri dan distributor tersebut harus memiliki setidaknya tiga tahun pengalaman tercatat melakukan impor ke pasar Indonesia;
• Bukti pengalaman sebagai importir telepon selular, perangkat handheld dan komputer tablet; dan • Bukti pengalaman sebagai distributor telepon selular, perangkat handheld dan komputer tablet selama paling kurang tiga tahun.
IT- impor telepon seluler, handheld dan komputer tablet yang akan melakukan impor harus mendapatkan persetujuan impor (PI) dari menteri. Untuk memperoleh izin PI untuk telepon selular, perangkat handheld dan komputer tablet, importir harus: • Menjadi Importir Terdaftar untuk telepon seluler, handheld dan komputer tablet (IT);• Memperoleh sertifikat Tanda Pendaftaran Produk (TPP) Impor dari Direktur Jenderal Industri Utama Berbasis Teknologi Terdepan (IUBTT)
Kementerian Perindustrian (Kemenperin);• MemperolehSertifikatPerangkatdanPeralatanTelekomunikasidariKementerianKomunikasidanInformatika(Menkominfo);• MemperolehSertifikatPemberianlabeldalamBahasaIndonesia(SKPLBI)dariDitjenSPK,Kemendag;• Mendapatkan surat penunjukan dari pimpinan di perusahaan luar negeri yang disahkan oleh notaris lokal dan atase perdagangan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di negara asal;• Mengembangkan rencana impor untuk satu tahun, termasuk nomor seri dari setiap barang; dan• Memperoleh surat keterangan dari pimpinan perusahaan untuk memvalidasi rencana impor satu tahun.
Untuk mendapatkan Tanda Pendaftaran Produk (TPP) Impor yang dikeluarkan oleh Kemendag berlaku untuk satu tahun-pemohon harus mendaftar secara online melalui www.kemenperin.go.id/tpp dan harus memberikan informasi berikut ini:• Surat permohonan;• Surat Kuasa (jika yang mengajukan bukan pemohon);• Izin Importir Terdaftar (IT) untuk ponsel dan/atau komputer genggam (handheld) dan/atau komputer tablet;• SertifikasiPeralatanTelekomunikasiyangditerbitkanolehKemenkominfo;• Nomor induk untuk setiap ponsel dan/atau komputer genggam (handheld) dan/atau produk komputer tablet (berupa International Mobile Equipment
ldentity [IMEI], Mobile Equipment ldentifier [MEID], Electronic Serial Number [ESN), dan MAC Address).
Selain persyaratan tersebut, importir telepon seluler, perangkat handheld dan komputer tablet juga diharuskan untuk:• Aktivitasimpormerekadisetujuimelaluiverifikasiteknisolehsurveyoryangdisetujui(SucofindoatauSurveyorIndonesia)danmemberikanLaporan
Surveyor(LS)kepadaKemendag.Peninjauakanmemverifikasisetiappengirimanteleponselular,komputertabletdangenggamdinegaraasal;• Mengirimkan laporan kegiatan bulanan kepada Kemendag (untuk Importir Terdaftar); • Mematuhi beberapa persyaratan teknis yang bersangkutan dengan pelabelan, buku petunjuk, dan kartu garansi dalam Bahasa Indonesia
(persyaratan ini harus diperoleh dari Ditjen PKTN, Kemendag)• Hanya melakukan impor melalui lima pelabuhan dan bandara yang ditunjuk, yaitu:
a. Pelabuhan: Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya dan Soekarno Hatta di Makassar.
b. Bandara: Polonia di Medan, Soekarno Hatta di Tangerang, Achmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya dan Hasanuddin di Makassar.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Peraturan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan,
diantaranya Permendag No. 38/M-DAG/PER/8/2013, Permendag
No. 48/M-DAG/PER/8/2014, dan terakhir diubah lagi menjadi
Permendag No. 41/M-DAG/PER/5/2016. Terdapat dua perubahan
yang cukup signifikan dari Permendag Np. 82/2012 ke Permendag
No. 38/2013. Kedua perubahan tersebut adalah:
(1) Pertambahan persyaratan untuk permohonan PI Telepon
Seluler, Komputer Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet
bagi IT Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld) dan
Komputer Tablet yang mengimpor dari distributor di luar negeri
harus: (a). Berpengalaman menjadi importir Telepon Seluler,
Komputer Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet paling
sedikit 3 (tiga) tahun; (b). Memiliki jaringan pusat pelayanan
purna jual (service center) paling sedikit 25 (dua puluh lima) di
seluruh wilayah Republik Indonesia.
(2) Sejalan dengan cita-cita pemerintah untuk mengembangkan
industri telepon seluler di dalam negeri, pemerintah juga
menambahkan persyaratan bagi IT Telepon Selular, Komputer
Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet yang mendapat
Persetujuan Impor berdasarkan penunjukan dari pabrik di
luar negeri yang diwajibkan untuk mendirikan industri Telepon
Seluler, Komputer Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet
di Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung
sejak tanggal diterbitkannya penetapan sebagai IT. Kewajiban
untuk mendirikan industri Telepon Seluler, Komputer Genggam
(Handheld) dan Komputer Tablet kemudian juga menjadi salah
satu indikator kinerja bagi importir dimana importir yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut akan dicabut ijin impornya.
Persyaratan ini tentu saja semakin menambah kompleksitas
perijinan di bidang Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld)
dan Komputer Tablet. Pemerintah kemudian merevisi kembali
melalui Permendag No. 48/2014. Dalam Permendag yang terbaru
ini, tidak terjadi perubahan yang cukup signifikan mengingat
perubahan yang ke-dua dari Permendag No. 82/2012 ini lebih
menitikberatkan pada proses impor untuk kebutuhan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas serta perubahan dalam
pelabuhan tujuan impor. Menjelang pertengahan tahun 2016,
pemerintah kembali merevisi Permendag No. 82/2012 dengan
diterbitkannya Permendag No. 41/2016 yang berlaku efektif per
1 Juli 2016. Beberapa perubahan yang terlihat dalam Permendag
yang baru ini adalah sebagai berikut:
(1) Penekanan proses perijinan baik untuk mendapatkan
Importir Terdaftar (IT) maupun persetujuan impor melalui
proses elektronik. Suatu perkembangan yang cukup
menggembirakan.
(2) Persyaratan bagi IT yang diwajibkan untuk mendirikan
industri Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld)
dan Komputer Tablet dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak tanggal diterbitkannya penetapan sebagai
IT hanya dipersyaratkan bagi perangkat yang berada dalam
jaringan 4G LTE saja yang ditunjukkan dengan rekomendasi
investasi industri dari Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin,
Alat Transportasi dan Elektronika, Kementerian Perindustrian,
dimana rekomendasi tersebut memuat keterangan mengenai
(a) bukti pembangunan industri Telepon Seluler, Komputer
Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet di dalam negeri;
atau (b) bukti kerjasama dengan industri Telepon Seluler,
Komputer Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet di
dalam negeri, untuk perusahaan yang melakukan kegiatan
usaha berupa manufaktur, design house, dan/atau riset dan
pengembangan, di bidang industri telepon seluler, komputer
genggam (Handheld), dan komputer tablet. Bukti tersebut
tidak dipersyaratkan untuk perangkat yang berada dalam
jaringan 3G dan jaringan di bawahnya.
(3) Kewajiban untuk mendirikan industri Telepon Seluler, Komputer
Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet dalam Permendag
No. 38/2013 dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja bagi
importir. Sehinggaimportir yang tidak memenuhi persyaratan
kewajiban mendirikan industri Telepon Seluler, Komputer
Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet akan dicabut
ijin impornya. Dalam permendag yang terbaru ini, kewajiban
untuk mendirikan industri Telepon Seluler, Komputer Genggam
(Handheld) dan Komputer Tablet tidak lagi dimasukkan sebagai
kriteria untuk mencabut ijin impor seorang importir.
Dalam perkembangannya Permendag No. 82/2012 telah
mengalami beberapa kali perubahan dan perubahan terakhir
menunjukkan beberapa perkembangan yang positif. Namun
melihat semua persyaratan-persyaratan tersebut, sebaiknya
pembuat kebijakan melihat dampak dari kebijakan tersebut
terhadap semua pemangku kepentingan. Perusahaan A misalnya,
yang bergerak dalam bidang pelayanan purna jual untuk produk
ponsel yang bukan pemangku kepentingan utama dalam industri
ponsel dan bukan menjadi target utama dari Permendag tersebut.
Bisnis Perusahaan A menyediakan layanan purna jualdengan
basis Business to Business (B2B) dengan beberapa merek ponsel
terkenal seperti, Nokia, Samsung, RIM-Blackberry, dll. Mereka
mengimpor sejumlah besar produk suku cadang asli (OEM). Dalam
rangka menyediakan layanan purna jual kepada klien mereka (yang
tidak dapat ditangani oleh distributor atau agen/reseller yang telah
disetujui), layanan purna jual mereka alih dayakan kepada spesialis
layanan purna jual. Perusahaan ini terkena dampak dari Peraturan
No.82/2012 tentang telepon seluler, perangkat genggam dan
komputer tablet karena peraturan tersebut mencoba untuk
mengontrol distribusi telepon seluler, perangkat genggam dan
komputer tablet di Indonesia (unit lengkap).
Hal tersebut menimbulkan pemahaman bahwa Peraturan
No.82/2012 mungkin belum sepenuhnya mempertimbangkan
semua kemungkinan dampak terhadap berbagai derivasi usaha
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
di dalam perdagangan telepon selular, perangkat genggam dan
komputer tablet. Peraturan ini tidak membedakan antara distributor
yang mengimpor untuk menjual produk kepada pengguna akhir
(paket produk yang dijual termasuk kotak, charger, dan ponsel)
dan perusahaan jasa perbaikan yang mengimpor suku cadang
untuk memberikan layanan purna jual kepada usaha-usaha terkait
dengan telepon seluler, perangkat genggam dan komputer tablet.
Hal lain yang juga sering menjadi permasalahan terkait dengan
peraturan ini dan secara umum peraturan di Indonesia adalah
masalah implementasi. Hal itu karena implementasi dari peraturan
No. 82/2012 misalnya akan melibatkan beberapa pihak lain
(diantaranya adalah, Kementerian Perindustrian, Sucofindo, dan
Bea Cukai) terkadang menimbulkan permasalahan di lapangan
akibat tidak adanya kesamaan persepsi. Kurangnya koordinasi
lintas instansi dan konsistensi penerapan Peraturan Pemerintah
seringkali terjadi dalam implementasi kebijakan.
Pelaksanaan Peraturan No.82/2012, terutama dalam hal izin PI
dan TPP, sering terjadi perbedaan interpretasi peraturan di antara
Kemendag, Kemenperin dan Ditjen Bea Cukai. Menurut peraturan
Kemendag, Persetujuan Impor (PI) berlaku untuk periode yang
sama dengan izin TPP dari Kemenperin. Namun, pengalaman
Perusahaan A menunjukkan bahwa hal ini tidak berlaku.1 Adanya
kendala yang mensyaratkan nomor IMEI untuk setiap suku
cadang (perusahaan tidak dapat meramalkannomor IMEI yang
akan diproduksi dalam waktu satu tahun dan yang akan diimpor
oleh perusahaan), menyebabkan izin PI harus ada pada saat pra-
pengapalan.
Persyaratan untuk memberikan informasi IMEI pada setiap
produk impor (termasuk semua suku cadang) menimbulkan
kesulitan bagi perusahaan karena perusahaan dituntut untuk
memasukkan 15 digit nomor IMEI secara manual. Biasanya untuk
memasukkan satu nomor IMEI memakan waktu sekitar 5-10 menit,
dan tidak hanya nomor IMEI tetapi juga tambahan informasi lain
termasuk negara asal. Waktu tunggu untuk mendapatkan TPP dari
Kemenperin dan PI dari Kemendag memakan waktu satu sampai
dua bulan, sementara untuk mendapatkan LS baik dari Sucofindo
atau Surveyor Indonesia membutuhkan waktu satu minggu.
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas, pelanggan dari
Perusahaan A mengalami keterlambatan untuk mengakses
layanan perbaikan untuk ponsel dan tablet mereka. Sejak
penerapan Peraturan No. 82/2012, Perusahaan A menghadapi
kesulitan dalam memberikan pelayanan tepat waktu kepada
pelanggan (pengguna akhir) mereka. Efek izin impor yang tertunda
juga berdampak pada produktivitas tenaga kerja Perusahaan
A dan hal ini dapat membuat perusahaan mengurangi jumlah
karyawannya.
Berdasarkan situasi tersebut di atas, berikut adalah beberapa
saran untuk diterapkan sebagai upaya perbaikan:
• Memperjelas kebijakan dan proses yang ada, diantaranya (i)
mengartikulasikan subjek yang dituju oleh peraturan ini secara
jelas, dan (ii) memahami persyaratan praktis untuk mematuhi
peraturan;
• Meningkatkan pemahaman mengenai kebijakan dan
proses di dalam pelaksanaan peraturan di seluruh instansi
pemerintah yang ikut serta untuk menjamin kualitas pelayanan
pelanggan yang akan memfasilitasi pengembangan usaha,
dan bukan menghadirkan kendala-kendala yang berpotensi
menjauhkan bisnis (dan investasi) dari Indonesia. Hal ini
kemudian harus secara efektif dikomunikasikan kepada semua
pemangku kepentingan yang relevan.
• Perlunya perbaikan iklim usaha secara menyeluruh. Hal ini
mengingat perkembangan industri ponsel dalam negeri hingga
saat ini juga belum berkembang, meskipun telah dirintis sejak
tahun 2011. Hambatan yang dirasakan oleh beberapa industri
ponsel lokal adalah belum berkembangnya supply komponen
di dalam negeri, sehingga komponen tersebut masih harus
di impor (Puska Daglu, 2012), akibatnya industri ponsel lokal
tidak mampu bersaing bahkan di pasar dalam negeri. Alasan
lainnya terkait dengan kurang berkembangnya industri ponsel
dalam negeri adalah lingkungan bisnis terkait belum tercipta,
seperti sektor industri komponen, sistem perpajakan dan lain-
lain (Tempo, 2013).
2 Dalam Permendag No. 41/M-DAG/PER/5/2016 Masa berlaku PI Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a disesuaikan dengan masa berlaku TPP Impor persyaratan ini telah dihapuskan.
BIODATA PENULIS
Nama : Ernawati Munadi
Organisasi : Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya
Email : [email protected]
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Wayan R. Susila
Belajar dari
Brexit Melawan Arus Integrasi EkonomiNegara-negara Eropa yang berjumlah 28 negara atau dikenal
dengan EU-28 telah mencapai tingkatan kerjasama tertinggi atau
paling komprehensif dalam bentuk Economic Union (EU). Tingkat
kerjasama ekonomi ini mempunyai tingkatan kerjasama diatas
model kerjasama ekonomi lainnya seperti Common Market (CM),
Custom Union (CU), Free Trade Area (FTA), atau Preferential Trade
Agreement (PTA). Melalui bentuk kerjasama seperti itu, maka arus
barang, jasa, finansial, faktor produksi bergerak bebas antar negara
anggota, bahkan kebijakan pendidikan, kesehatan, termasuk mata
uang sudah menjadi satu, kecuali Inggris Raya/United Kingdom (UK).
Atas keberhasilan Eropa melakukan integrasi ekonomi tertinggi,
banyak kelompok negara yang tergoda untuk meniru EU-28.
ASEAN kini tengah bekerja keras atau setengah memaksakan diri
meniru EU-28 dan telah membentuk ASEAN Economic Community
(AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Negara-negara
di kawasan Pasifik juga telah membentuk kerjasama ekonomi
yang sangat komprehensif yang dikenal sebagai Trans Pacific
Partnership (TPP) yang melibatkan negara-negara besar seperti
Amerika dan Jepang, termasuk negara anggota ASAEN seperti
Singapura dan Vietnam.
Di tengah arus deras integrasi ekonomi (globalisasi) yang
demikian menyihir, tiba-tiba UK melakukan referendum dengan
hasil UK keluar dari EU atau lebih dikenal dengan British Exit (Brexit).
Hasil referendum yang dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016
akhirnya memenangkan kelompok yang mendukung Brexit dengan
jumlah suara mencapai 51,8%. Hal ini berarti mayoritas rakyat
UK mendukung UK keluar dari Masyarakat EU-28. Kekecewaan
sebagian masyarakat pedesaan, kelompok tenaga kerja yang relatif
tua dan kurang kompetitif, masalah imigrasi, serta kenangan masa
lalu sebagai negara makmur dan berdaulat penuh, telah membuat
mereka memilih untuk keluar dari EU-28 (Boom, 2016).
Sebagian besar kalangan, termasuk kebanyakan pemimpin
negara di dunia dikagetkan oleh hasil referendum tersebut.
Mereka seakan tidak percaya bahwa masyarakat Inggris seperti
meruntuhkan hasil kerja keras mereka selama ini yang diraih dengan
penuh perjuangan dan pengorbanan. Mereka juga kaget karena
selama ini Inggris adalah salah satu negara yang berpengaruh
besar dan motor penggerak dari EU-28, selain Jerman dan
Perancis. Inggris juga memperoleh manfaat besar dari EU seperti
pasar barang dan jasa, sumber Foreign Direct Investment (FDI),
penerima terbesar dana-dana untuk riset industri, dan juga yang
terpenting adalah sebagai pusat jasa pelayanan keuangan EU-28
dan dunia (Irwin, 2015).
Berbagai analisis menyebutkan bahwa paling tidak ada 10
alasan kenapa mayoritas masyarakat Inggris menginginkan Brexit.
Dari 10 alasan tersebut, tiga yang utama adalah Inggris ingin
kembali memperoleh kedaulatannya secara politik dan ekonomi
secara penuh, mengatur secara mandiri masalah imigrasi, dan
mendorong pertumbuhan ekonomi (Sun, 22 Juni 2016). Inilah
slogan yang dipasarkan oleh para politisi yang menghendaki UK
keluar dari EU 28.
Intinya, mayoritas rakyat Inggris saat ini sedang menantang
pemikiran integrasi ekonomi, khususnya integrasi yang sangat
dalam seperti economic union/community. Inggris mungkin akan
mencoba mengarungi globalisasi dan liberalisasi dengan tingkatan
yang lebih dangkal seperti dalam bentuk CU atau FTA. Apapun
hasilnya, acungan jempol patut diberikan kepada UK yang telah
mau menjadi kelinci percobaan melawan mazhab integrasi
ekonomi yang dasyat.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Dampak Brexit: Lose-Lose Solution Jika UK benar-benar memproses hasil referendum tersebut
dan keluar dari EU-28, maka dampaknya diperkirakan akan cukup
luas, baik menyangkut aspek ekonomi, sosial, bahkan politik. Irwin
(2015) dalam studinya berjudul Brexit: the Impact on the UK and
EU, memberi analisis yang cukup komprehensif mengenai berbagai
dampak kalau UK keluar dari EU-28 sehingga EU menjadi EU-27.
Dari 10 dampak yang dibahas dalam studi ini, ada 8 dampak yang
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan aspek ekonomi
termasuk perdagangan.
Besarnya dampak Brexit, kalau memang terwujud, akan
sangat bergantung pada bentuk kerjasama baru antara UK dengan
EU-27. Secara teoritis, kerjasama baru tersebut dapat berbentuk
mendekati model EU-28 seperti model European Economic Area
(EEA) Norwergia atau sedikit di bawahnya yaitu CU model Turki.
Namun kedua model ini dinilai kecil peluangnya karena esensi dari
Brexit yang ingin agar Inggris relatif independen dari kebijakan EU-
27, tidak bisa terwujud. Dampak ekstrim lainnya adalah UK hampir
secara total lepas dengan EU dan hanya terikat dalam bentuk
Most Favored Nation (MFN). Model ini juga dinilai tidak konsisten
dengan tujuan UK untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan
yang lebih luas. Model yang dinilai peluangnya besar adalah antara
pendekatan Free Trade Area (FTA) atau model Swiss Style Bilateral
Accord dimana kedua pendekatan tersebut berada di antara dua
ekstrim yaitu EEA & CU dengan MFN.
Dengan asumsi bentuk bentuk kerjasama tersebut, banyak
pengamat menilai Brexit adalah sebuah keputusan emosional
dengan hasil berupa lose-lose solution. Boom (2016) dalam
presentasinya berjudul FTA and Regionalism in South East
Asia-Including the Impacts of the Brexit, menyebutkan bahwa
banyak dampak negatif dari Brexit baik terhadap EU maupun UK.
Sebaliknya, Boom (2016) belum bisa menemukan dampak positif
dari Brexit tersebut. Kesimpulan ini memperkuat analisis yang
dilakukan oleh Irwin pada tahun 2015.
Sebagai contoh, Brexit akan kembali meningkatkan
hambatan perdagangan antara UK dengan EU-27 sehingga akan
menurunkan volume perdagangan kedua belah pihak. Padahal,
UK diperkirakan mampu meningkatkan volume perdagangannya
sebesar 55% sampai dengan tahun 2013 ke wilayah EU justru
karena memanfaatkan bentuk kerjasama yang selama ini dinikmati
oleh UK. Sebaliknya, UK juga merupakan sumber permintaan
negara-negara EU dan besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) UK
adalah sekitar 13% dari PDB EU secara keseluruhan. Keluarnya
UK tentu merupakan tekanan untuk negara-negara anggota EU-
27. UK juga kehilangan kesempatan untuk meningkatkan GPD-
nya sekitar 7% jika liberalisasi secara penuh sektor jasa di EU
diwujudkan (Irwin, 2015).
EU merupakan penyumbang FDI terbesar ke UK dan pada tahun
2013 mencapai sekitar 46% dari FDI ke UK. Dengan Brexit, UK
berpotensi kehilangan sebagian sumber FDI dari negara anggota
EU dan sebaliknya. Di sisi lain, London merupakan kota dengan
jasa pelayanan keuangan yang paling efisien sekaligus pusat pasar
jasa keungan terbesar di Eropa. Brexit akan membuat biaya jasa
keuangan di negara-negara anggota EU akan meningkat sehingga
akan menambah biaya produksi di di negara-negara tersebut. Hal
ini dapat menurunkan daya saing dan konsumen harus membayar
lebih mahal atas barang dan jasa yang mereka konsumsi.
Di luar dampak ekonomi yang kasat mata, banyak analisis
justru sangat mengkhawatirkan dua dampak Brexit lainnya, yaitu:
(i) Ketidakpastian yang berkepanjangan, dan (ii) Efek penularan
(contagion effect). Sumber ketidakpastian yang pertama adalah
apakah UK benar-benar akan memproses hasil referendum ke EU.
Kalaupun diproses, kapan akan diproses juga masih belum bisa
dipastikan. Menurut Boom (2016) ada tendensi bahwa sebagian
masyarakat yang waktu referendum mendukung Brexit, kini
menyesali pilihan mereka (“Bregreters”). Di samping itu, Irlandia
Utara yang merupakan bagian dari UK ada tanda-tanda untuk
mengikuti jejak UK dengan melakukan referendum untuk keluar
dari UK. Kalau ini terjadi, tentu akan sangat mengkhawatirkan
pemerintah Inggris. Kompleksitas ini diduga akan membuat
pemerintah Inggris akan ragu-ragu dalam memproses hasil
referendum. Ini jelas akan menimbulkan ketidakpastian secara
politk dan ekonomi.
Kedua, kalau nanti pemerintah UK memproses hasil referendum
tersebut, maka berdasarkan exit clause pasal 50 dari EU Treaty,
UK dan EU punya waktu dua tahun untuk menyelesaikan proses
“penceraian” tersebut. Selanjutnya, EU dan UK dapat memulai
kembali merumuskan dan menyepakati bentuk hubungan
kerjasama yang baru. Selanjutnya, jika selama dua tahun tersebut
tidak tercapai kesepakatan, maka Inggris tidak lagi terikat dengan
ketentuan di EU-27, sementara EU-27 tidak lagi memiliki kewajiban
lagi seperti sebelumnya. Proses ini diperkirakan baru akan berakhir
sekitar tahun 2025 sehingga menimbulkan ketidakpastian yang
berkepanjangan (Irwin, 2015).
Selama proses panjang tersebut, para pemimpin EU
dikhawatirkan akan fokus pada masalah ini dan dapat mengabaikan
program pembangunan yang seharusnya menjadi prioritas.
Sekedar ilustrasi, akibat ketidakpastian ini, pertumbuhan ekonomi
UK diperkirakan akan berkurang sekitar 0,4% poin pada tahun
2016 dan 0,5%-0,7% poin pada tahun 2017. Sementara itu, IMF
menurunkan proyeksi pertumbuhan UK sebesar 0,9% poin untuk
tahun 2017 menjadi hanya 1,3% (Beritasatu.com, 2016).
Kekhawatiran kedua adalah adanya efek penularan secara
politis ke beberapa negara anggota EU (political contagion effect).
Sudah ada sebagian anggota kelompok di beberapa negara EU
seperti di Belanda yang sudah mulai mengangkat isu ini dan akan
semakin menguat jika pilihan Inggris itu ternyata terbukti benar.
Jika ini sampai terjadi, maka goyahlah menara EU yang sudah
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
sering dijadikan referensi integrasi ekonomi oleh banyak kelompok
negara, termasuk ASEAN.
Pelajaran yang Bisa DipetikBerbagai dampak Brexit terutama yang berkaitan dengan
perdagangan, investasi, finansial, dan yang paling dikhawatirkan
adalah ketidakpastian yang berkepanjangan, akan berdampak
negatif pada ekonomi dunia. Sebagai negara yang perekonomiannya
cukup terbuka, Indonesia tentu akan kena imbasnya, walaupun
tidak separah negara-negara yang sangat terbuka seperti
Singapura. Akibat Brexit, IMF (2016) telah memangkas proyeksi
pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,1% poin baik untuk tahun
2006 dan tahun 2007. Dengan revisi tersebut, IMF memperkirakan
ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 3,1% pada tahun 2016 dan
3,4% pada tahun 2017.
Pelajaran pertama yang perlu dicermati adalah dampak dari
Brexit terhadap kinerja eskpor dan ekonomi Indonesia. Kalau dilihat
dari koreksi proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi dunia yang
hanya sebesar 0,1% poin untuk tahun 2017, dampak terhadap
perekonomian Indonesia secara umum mestinya tidak terlalu
besar. Dampak yang akan lebih signifikan tentunya bersumber
dari kawasan EU termasuk UK. Seperti diketahui, pangsa
perdagangan EU dan UK terhadap perdagangan dunia masing-
masing adalah sekitar 15,4% dan 4,3%. Dengan perkiraan pangsa
ekspor Indonesia ke EU adalah bervariasi pada kisaran 18%, maka
penurunan kinerja ekonomi di EU tentu akan berpengaruh pada
eskpor Indonesia ke negara tersebut. Tentu masih terlalu dini
untuk memproyeksikan secara kuantitatif.
Dampak tersebut belum memperhitungkan dampak tidak
langsung dari pengaruh penurunan ekonomi EU terhadap negara
besar khususnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Amerika serikat
dan India. Kalau nantinya ketiga negara tersebut terkena dampak
cukup signifikan akibat Brexit, maka ekspor dan ekonomi Indonesia
akan terkena dampak yang lebih besar. Hal ini tentu sangat berat
karena ekspor Indonesia masih terus mengalami laju pertumbuhan
yang menurun sebagai akibat belum pulihnya kelesuan ekonomi di
EU serta melambatnya pertumbuhan ekonomi di RRT dan India.
Intinya, Brexit akan menambah beban berat upaya peningkatan
ekspor Indonesia yang sebenarnya kini masih tertekan.
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari Brexit, seperti
disebutkan oleh Boom (2016) adalah hati-hati terhadap
ketidakadilan distribusi manfaat dari suatu kerjasama atau integrasi
ekonomi. Bagi masyarakat perkotaan seperti di London atau
tenaga kerja muda di perkotaan yang memiliki ketrampilan yang
memadai, integrasi ekonomi tentu sangat menguntungkan mereka.
Sebaliknya, masyarakat di pedesaan dan kalangan tenaga kerja
yang relatif tua dengan ketrampilan yang tidak mampu bersaing,
integrasi ekonomi membuat kesejahteraan mereka semakin
tertekan. Mereka banyak yang hanya menjadi penonton sehingga
mereka terbawa pada kenangan manis masa lalu, ketika mereka
belum bergabung dengan EU.
Kelompok inilah yang kecewa dan dimanfaatkan oleh para
politisi untuk keluar dari EU. Mereka mengatakan 10 harapan
yang pada prinsipnya adalah mengembalikan kedaulatan politik,
mengendalikan sendiri imigrasi, serta mendorong pertumbuhan
ekonomi (“leaving EU will save our sovereignty, rein in immigration,
and boost our economy”). Semboyan ini cukup ampuh bagi
sebagian masyarakat pedesaan ataupun yang terpinggirkan
oleh integrasi dalam kerangka EU. Kelompok ini ternyata cukup
dominan sehingga ketika referendum dilaksanakan, kelompok
yang mendukung keluar dari EU (Brexit) menggungguli kelompok
yang ingin tetap bergabung dengan EU.
Pelajaran yang dapat dipetik dalam hal ini adalah, ketika
Indonesia melakukan kerjasama atau integrasi ekonomi seperti
dalam MEA, pemerintah harus dengan cermat menyiapkan
instrumen kebijakan yang dapat menjamin bahwa distribusi
manfaat dari integrasi ekonomi tersebut dapat dinikmati oleh
seluruh atau paling tidak sebagian besar masyarakat, termasuk
mereka yang tinggal di pedesaan, tenaga kerja yang kurang
terdidik/kurang terampil, pengusaha kecil yang lemah dari sisi
permodalan, termasuk kelompok masyarakat yang relatif tua.
Artinya, pemerintah harus menyiapkan instrumen distribusi
pendapatan/manfaat dan penguatan untuk kelompok-kelompok
ini.
Pelajaran ketiga yang dapat dipetik adalah agar lebih berhati-
hati, khususnya bagi negara atau kawasan lain yang tengah
berupaya keras untuk memperbanyak dan meningkatkan integrasi
ekonomi seperti Indonesia. Brexit telah memberi pembelajaran
bahwa integrasi ekonomi yang sangat dalam dan komprehensif
seperti dalam bentuk economic union/economic community,
agak berdampak positif secara total tetapi dapat menurunkan
kesejahteraan mayoritas masyarakat. Untuk ASEAN dan Indonesia
khususnya, semangat membara untuk membawa ASEAN ke
model economic union/economic community perlu dicerna ulang.
Sejalan dengan hal ini, keinginan Indonesia untuk ikut di Trans
Pacific Partnership (TPP) dengan tingkat liberalisasi yang demikian
dalam (komprehensif), mungkin perlu diendapkan untuk sementara,
sambil terus melakukan kajian-kajian yang lebih matang.
BIODATA PENULISNama : Wayan R. SusilaJabatan : Senior Trade Economist, Center for Agriculture and People Suport (CAPS)Email : [email protected]
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Mengenal Industri Olahan Lidah Buaya Pontianak
Pontianak adalah ibu kota Propinsi Kalimantan Barat
(Kalbar). Kota yang terkenal dengan sebutan kota khatulistiwa ini
menyimpan beragam komoditi potensial. Kita mungkin mengenal
Jeruk Pontianak, namun ternyata tidak hanya jeruk yang menjadi
komoditi potensial di Pontianak. Pontianak masih banyak
menyimpan komoditi potensial, salah satunya adalah lidah buaya
(Aloe Vera). Lidah buaya di Pontianak dapat tumbuh dengan
sempurna sehingga memiliki ukuran yang besar dan mudah untuk
dikonsumsi. Posisi Pontianak yang dilewati garis khatulistiwa
membuat intensitas penyinaran matahari sangat sesuai untuk
pertumbuhan lidah buaya. Di areal perkebunannya, lidah buaya
Pontianak dapat mencapai berat rata-rata 1,2 kg per helai daunnya
dalam umur 8 bulan sampai 1 tahun (Hasil Wawancara dengan
Aloe Vera Center, 2016).
Pengetahuan masyarakat yang beredar selama ini tentang
lidah buaya baru sebatas pada manfaatnya sebagai penyubur
rambut dan bahan baku kosmetik saja. Padahal manfaat yang
terkandung di dalam pelepah lidah buaya tidak hanya itu saja.
Lidah buaya mengandung banyak nutrisi seperti vitamin, mineral,
enzim, dan asam amino yang baik untuk tubuh apabila dikonsumsi
langsung. Manfaat lain bagi kesehatan antara lain sebagai anti
mikroba untuk melawan bakteri pathogen, pembersih tubuh,
penstabil kadar kolesterol darah, dan pelindung tubuh karena
memiliki kandungan antibiotik, memperlambat penuaan dini, dan
dapat berfungsi sebagai anti luka bakar. Biasanya masyarakat
cenderung tidak berminat bila mengkonsumsi lidah buaya secara
langsung. Oleh karena itu, masyarakat Pontianak melirik lidah
buaya sebagai peluang usaha dengan mengolahnya menjadi
makanan dan minuman agar memiliki banyak cita rasa dan tetap
tidak menghilangkan kandungan manfaatnya (Hasil Wawancara
dengan Aloe Vera Center, 2016).
Luas tanam lidah buaya di Pontianak pada tahun 2013
seluas 84 Ha dengan total produksi sebanyak 7.879 ton dan
produktivitas sekitar 93,8 ton per Ha. Dari sisi industri, tercatat 16
industri pengolahan lidah buaya yang tersebar di berbagai wilayah
di Pontianak dengan total produksi mencapai 114 ton per bulan
(Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, 2014).
Berdasarkan hasil wawancara Tim Survei Warta BPPP (2016)
dengan Sunani, pemilik industri pengolahan lidah buaya Sunvera
yang pernah memenangi lomba Usaha Kecil Menengah (UKM)
inovatif tingkat nasional, saat ini jalur distribusi dan pasar produk
olahan lidah buaya sebagian besar masih terbatas di sekitar
Kalimantan, dan baru sebagian kecil ke Pulau Jawa. Produk yang
dihasilkan oleh Sunvera antara lain, permen, dodol, teh, kerupuk,
kue nastar, minuman kemasan, selai, sirup, manisan, dan amplang.
Untuk minuman kemasan, Sunvera telah mampu mengekspor ke
Malaysia dan Brunei Darussalam dengan volume berkisar antara
100-200 dus per bulan.
Saat ini industri pengolahan lidah buaya mayoritas masih
berbentuk UKM atau industri rumahan. Beberapa kendala yang
dihadapi oleh UKM atau industri rumahan tersebut diantaranya
adalah jalur distribusi yang masih terbatas (Pulau Kalimantan
dan Pulau Jawa), kurangnya dukungan promosi, dan teknologi
produksi yang masih manual. Para pelaku usaha lidah buaya
tentu saja mengharapkan dukungan pemerintah dalam mengatasi
berbagai kendala tersebut.
Beberapa bentuk dukungan Pemerintah Daerah Kota
Pontianak yang sudah dirasakan oleh pelaku usaha saat ini
antara lain bantuan dari Dinas Koperasi dan UKM berupa dana
untuk membangun tempat produksi dan membuka jalur distribusi,
bantuan dari Dinas Pertanian dalam bentuk pupuk, dan bantuan
dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan dalam bentuk promosi
melalui pameran di dalam maupun luar negeri. (Dwi Yulianto)
Gambar 1. Beragam Produk Hasil Olahan Lidah Buaya.Sumber: Sunvera (2016)
BERITA PENDEK PERDAGANGAN
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Menanti Revitalisasi Pasar Johar SemarangKota Semarang merupakan ibu kota Propinsi Jawa Tengah
dengan luas 373,7 km2 dan dihuni sekitar 1,5 juta jiwa (BPS Kota
Semarang, 2016). Kota ini memiliki beberapa pasar tradisional atau
pasar rakyat. Salah satu pasar rakyat terbesar yang juga menjadi
cagar budaya Kota Semarang adalah Pasar Johar. Pasar Johar
yang namanya diambil dari Pohon Johar ini memiliki luas sekitar
16 ribu m2, terletak bersebelahan dengan Pasar Yaik dan Shoping
Center Johar, dan terbagi menjadi tiga blok yaitu Blok Pasar Johar
Utara, Blok Pasar Johar Tengah dan Blok Pasar Johar Selatan
(Cholidah, 2014). Pasar Johar yang dibangun oleh Arsitek Belanda
Thomas Karsten pada tahun 1933 ini menjadi cagar budaya karena
nilai sejarah lokasi dan bentuk bangunannya yang merupakan
hasil kajian mendalam berdasarkan iklim dan perilaku masyarakat
setempat saat itu (Kompas, 2015).
Pada bulan Mei 2015 Pasar Johar mengalami kebakaran
yang mengakibatkan kerusakan parah dan menghentikan seluruh
aktivitas perdagangan bagi sekitar 7 ribu pedagang yang menjual
beragam kebutuhan sehari-hari, sandang dan juga pernak-pernik.
Pemerintah pada saat itu menjanjikan relokasi pedagang dan
revitalisasi pasar agar Pasar Johar kembali menjadi pasar rakyat
terbesar di Jawa Tengah sekaligus menjadi cagar budaya dan
tujuan wisata belanja (jatengprov.go.id, 2015).
Setahun setelah kebakaran tersebut, Tim Survei Warta BPPP
pada bulan Juni 2016 mengunjungi lokasi relokasi Pasar Johar
yang berlokasi di kawasan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT)
Semarang. Pasar yang dikelola oleh Dinas Pasar Kota Semarang
ini ternyata masih menjadi magnet bagi penduduk lokal dan
wisatawan yang berkunjung ke Kota Semarang. Hal ini terlihat dari
banyaknya jumlah pengunjung yang sengaja datang untuk mencari
pernak-pernik dan souvenir yang memang menjadi ciri khas dari
Pasar Johar. Beberapa pernak-pernik yang dijual antara lain gelas,
kipas, boneka kecil, pemotong kuku, dompet, gantungan kunci,
pembuka botol, aneka tas batik, serta berbagai pernak-pernik
lainnya. Selain pernak-pernik, Pasar Johar juga menjadi sentra
bagi pedagang perlengkapan pernikahan, termasuk menyediakan
jasa pengemasan mahar atau mas kawin. Harga yang relatif murah
dan terjangkau juga menjadi alasan bagi para pembeli untuk tetap
berbelanja di lokasi sementara Pasar Johar ini.
Upaya proses revitalisasi Pasar Johar yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah bersama Kementerian Perdagangan merupakan
langkah tepat yang ditunggu oleh penjual dan konsumen Pasar
Johar. Menurut Data Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri Kementerian Perdagangan (2016), proses revitalisasi Pasar
Johar tidak hanya akan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
dan daerah, namun juga melibatkan pihak swasta. Saat ini proses
revitalisasi masih pada tahap pembahasan konsep pembangunan
Pasar Johar oleh Balai Konservasi Nasional, Tim Cagar Budaya
Kota Semarang, pemerintah, akademisi, dan pakar. Biaya
pembangunan Pasar Johar diperkirakan mencapai Rp 700 miliar
dan baru akan dimulai pada awal tahun 2017 mendatang (Tribun
Jateng, 2016). (Suler Malau & Primakrisna T.)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Percepatan Proses Penerbitan TDP di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di Batam, Bintan, Karimun dan Sabang
dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk,
pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah,
dan cukai. Pelaksanaan penerbitan TDP ini dilakukan dengan
mempertimbangkan kepentingan nasional dan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan
pendaftaran perusahaan.
Setiap TDP yang diterbitkan oleh BP Kawasan BBKS
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kepala BP Kawasan BBKS.
Kementerian Perdagangan hanya akan diberikan tembusan melalui
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri. Untuk memastikan
bahwa pelaksanaan penerbitan TDP oleh KPBPB-BBK Sini
efektif, maka diperlukan pembinaan dan pengawasan oleh
Menteri Perdagangan bersama Ketua Dewan Kawasan BBKS.
BP Kawasan BBKS secara berkala wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penerbitan TDP secara manual maupun
elektronik kepada Menteri setiap semester atau paling lambat
pada tanggal 15 bulan berikutnya.
Seiring dengan penerbitan Permendag ini, BP Kawasan
BBKS diharapkan segera menyiapkan sarana dan prasarana
pendukung pelaksanaan pendelegasian kewenangan penerbitan
TDP mengingat telah dilakukan perubahan waktu implementasi
sesuai Permendag Nomor 49/M-DAG/PER/7/2016 yang
menyebutkan kebijakan ini berlaku efektif per 1 Agustus 2016.
Untuk memudahkan dan menjamin akuntabilitas pelaksanaan
pembuatan TDP tersebut, Kementerian Perdagangan mengizinkan
BP Kawasan BBKS menggunakan Sistem Informasi Perusahaan
Online (SIPO) yang dikelola Kementerian Perdagangan.
Proses kemudahan TDP ini merupakan upaya lanjutan
dalam peningkatan pelayanan publik. Sebelumnya Kementerian
Perdagangan telah meningkatkan kualitas pelayanan publik
dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan, seperti penerbitan
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Resi Gudang, Perizinan
Retail Modern, Mini Market, dan lain-lain. Jika persyaratan
lengkap dan benar maka izin akan selesai paling lama tiga hari,
sebagaimana telah terlaksana di Batam sejak tahun 2011. Hal ini
tentu diharapkan akan membangkitkan dunia usaha. Kini tidak
ada lagi alasan penyelesaian prosedur birokrasi perizinan yang
lambat dan lama yang selama ini sering menjadi alasan klasik
dan menyebabkan tidak bergairahnya investasi. Sudah waktunya
pemerintah merubah birokrasi perizinan menjadi proses yang lebih
sederhana dan cepat. (Suler Malau)
Pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan
publik dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan untuk memulai
usaha yang lebih cepat, tepat, mudah dan transparan. Sejumlah
terobosan telah dilakukan melalui Kementerian Perdagangan untuk
menggairahkan iklim investasi dan perdagangan dalam negeri.
Salah satunya adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) Republik Indonesia Nomor 48/M-DAG/
PER/6/2016 tentang Pendelegasian Kewenangan Penerbitan
Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Kepada Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Badan Pengusahaan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan,
Badan Pengusahaan Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Karimun, dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Sabang (KPBPB-BBKS). Ada empat
kawasan yang mendapatkan pendelegasian wewenang ini, yaitu
Batam, Bintan, Karimun dan Sabang (BBKS). Selama ini penerbitan
TDP di keempat kawasan tersebut diterbitkan oleh Kementerian
Perdagangan. Namun dengan terbitnya Permendag No. 48
tahun 2016 para pengusaha di KPBPB-BBKS dapat memohon
penerbitan TDP kepada Badan Pengusahaan (BP) Kawasan BBKS
(BP Kawasan BBKS).
Pendelegasian kewenangan penerbitan TDP kepada BP
Kawasan BBKS dimaksudkan untuk mempercepat proses
pemberian TDP bagi pelaku usaha yang berada di kawasan
KPBPB-BBKS. Menurut Permendag No. 48 Tahun 2016 pasal
1 ayat 3 KPBPB-BBKS adalah suatu kawasan yang berada di
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Potret Kinerja Ekspor-Impor Vaksin di Indonesia
Di tengah ramainya kisruh kasus vaksin palsu yang mencuat
pada Juni 2016 lalu, kinerja ekspor dan impor vaksin di Indonesia
ternyata juga menarik untuk dicermati lebih jauh karena nilai
ekspornya pada tahun lalu mencapai hampir lima kali dari nilai
impornya. Di satu sisi, kondisi ini menunjukkan bahwa vaksin
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu produk
ekspor unggulan. Di sisi lain, hal ini juga bisa menjadi salah satu
indikator bagi pemerintah bahwa Indonesia sebenarnya memiliki
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan vaksin di dalam negeri
dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, seharusnya
tidak perlu terjadi kelangkaan stok vaksin akibat berkurangnya
impor vaksin yang diduga memicu pemalsuan vaksin impor seperti
yang diungkapkan oleh Menteri Kesehatan (Tempo.co, 2016).
Berdasarkan data Trade Map (2016), nilai impor vaksin
Indonesia (HS 30220) pada periode 2013-2015 terus menurun,
yaitu USD 54,9 juta (2013), USD 46,7 juta (2014), dan USD 45,4 juta
(2015). Tiga negara importir utama vaksin untuk Indonesia adalah
Italia, Belgia dan Amerika Serikat. Berbanding terbalik dengan nilai
impornya, ekspor vaksin Indonesia justru memiliki kecenderungan
meningkat sejak tahun 2012. Data Trade Map (2016) mencatat nilai
ekspor vaksin Indonesia ke seluruh dunia pada periode 2012-2015
berturut-turut adalah USD 76,3 juta (2012), USD 107,0 juta (2013),
USD 114,8 (2014), dan USD 121,4 juta (2015). Pasar utama ekspor
vaksin Indonesia adalah India, Thailand dan beberapa negara di
Afrika seperti Nigeria, Ethiopia, Afrika Selatan, Angola dan Mali.
Pada tahun 2015, Nilai ekspor vaksin Indonesia baru mencapai
sekitar 0,5% dari total impor vaksin di dunia yang mencapai lebih
dari USD 25 miliar sehingga ekspor vaksin Indonesia masih memiliki
peluang sangat besar untuk terus tumbuh.
Hingga saat ini PT. Bio Farma masih tercatat sebagai satu-
satunya perusahaan farmasi dari Indonesia, negara muslim terbesar
di Asia, yang bisa memproduksi vaksin halal sesuai kualifikasi World
Health Organization (WHO) dan berada pada urutan ke-4 sebagai
pabrik vaksin yang diakui oleh dunia. Produksi vaksin Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) ini mencapai 3,2 miliar dosis vaksin per tahun
dengan komposisi 60% untuk kebutuhan ekspor dan 40% untuk
kebutuhan di dalam negeri (CNN Indonesia, 2016).
Tingginya kebutuhan vaksin di dalam dan luar negeri seharusnya
bisa menjadi peluang bagi industri farmasi di dalam negeri untuk
meningkatkan kualitas produksinya sehingga pasar vaksin tidak
hanya dikuasai oleh produsen tertentu. Pemerintah perlu jeli untuk
melihat kasus pemalsuan vaksin ini tidak hanya sebagai kasus
kriminal biasa, namun juga melihat lebih jauh dampaknya pada
upaya pengembangan industri farmasi di Indonesia. Kasus ini
juga bisa menjadi titik awal bagi pemerintah dalam membangun
kepercayaan konsumen untuk menggunakan produk vaksin lokal,
yang tentunya akan meningkatkan nilai perdagangan vaksin buatan
Indonesia. (Primakrisna T.)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
SERBA SERBI
Policy Dialogue Series di YogyakartaKepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP) Tjahya Widayanti membuka dan menyampaikan sambutan
pada kegiatan Policy Dialogue Series Tahun 2016 yang berlangsung
pada hari Rabu, 20 April 2016 di Grand Aston Yogyakarta Hotel &
Convention Center. Dalam kegiatan ini tema yang diangkat adalah
Peran Jasa Perantara Dalam Meningkatkan Ekspor Produk Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM). Menurut Kepala BPPP, institusi
jasa perantara berperan sebagai penghubung antara UMKM
dengan pembeli di negara tujuan ekspor. Kepala BPPP juga
berharap kegiatan Policy Dialogue Series ini mampu menghasilkan
berbagai usulan kebijakan yang konkrit dan implementatif terutama
dalam peningkatan ekspor UMKM, melalui kemitraan dengan jasa
perantara.
Kegiatan ini diisi dengan Panel Presentasi oleh tiga pembicara,
yaitu Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan
dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kementerian
Perekonomian, Muhammad Rudy Salahuddin dengan materi
Konsep Pengembangan UMKM dalam Meningkatkan Ekspor
Melalui Pemanfaatan Konsolidator/Aggregator Untuk mendorong
Ekspor Produk UMKM; Managing Director Fakih Group Dubai Uni
Emirat Arab Fakih N.P. dengan materi Model Bisnis Kelembagaan
Dalam Pembinaan UMKM di Beberapa Negara; dan Direktur
Scano Exotic Indonesia, Anto Suroto dengan materi Model
Bisnis Kelembagaan Dalam Mendorong Ekspor Produk UMKM
Indonesia.
BPPP Selenggarakan Diseminasi Hasil Kajian di PadangBadan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP)
menyelenggarakan acara Diseminasi Hasil-hasil Pengkajian
dan Pengembangan Perdagangan dengan tema Pemanfaatan
Perjanjian Perdagangan Dalam Meningkatkan Eskpor Indonesia di
Hotel Rocky Plaza Padang, pada hari Selasa, 3 Mei 2016. Acara
yang dibuka secara resmi oleh Kepala BPPP, Tjahya Widayanti
ini dihadiri oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Sumatera Barat, H. Mudrika dan 100 peserta lainnya yang
terdiri dari pelaku usaha, perwakilan Usaha Kecil dan Menengah,
Asosiasi, Akademisi dan perwakilan dari Dinas terkait.
Acara Diseminasi menghadirkan dua pembicara pada Sesi I,
yaitu Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Perdagangan Jasa
selaku Ketua Tim Deregulasi, Arlinda serta Konsultan ASEAN
Economic Community Center (AEC Center), Kris Sandhi Soekartawi.
Sementara pada Sesi II, tiga peneliti BPPP menjadi pembicara
yaitu Adrian Darmawan Lubis dengan materi Potensi Pelaksanaan
Kebijakan Sensitive Product untuk Mendirikan Kemandirian
Pangan, Nur Rakhman S. dengan materi Pemanfaatan Liberalisasi
Pasar RRT dan Pasar Korea dalam rangka Peningkatan Ekspor,
serta Muhammad Fawaiq dengan materi Liberalisasi Sektor jasa
Pariwisata dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Harmonisasi Tugas Pokok dan Fungsi di Lingkungan BPPP
Pada tanggal 13-14 Mei 2016, seluruh pegawai di lingkungan
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP)
mengikuti kegiatan Harmonisasi Tugas Pokok dan Fungsi
di Lingkungan BPPP dengan tema Happy at Work yang
diselenggarakan di Kampung Legok Lembang Jawa Barat.
Bedah Naskah Bunga Rampai Info Komoditi Garam di Semarang
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP) Tjahya Widayanti membuka acara Bedah Naskah Info
Komoditi Garam di Hotel Grand Edge Semarang pada hari Jumat,
10 Juni 2016. Peserta kegiatan ini adalah perwakilan dari instansi
dan lembaga terkait, pelaku usaha, petambak garam, peneliti
serta akademisi dari Universitas Diponegoro, Universitas Dian
Nuswantoro dan Universitas Islam Sultan Agung. Acara Bedah
Naskah Bunga Rampai Info Komoditi Garam merupakan forum
diskusi untuk memperkaya dan mempertajam data dan analisis
sehingga buku Bunga Rampai Info Komoditi Garam yang akan
dipublikasikan dapat bermanfaat bagi stakeholder terkait.
Kegiatan ini bertujuan untuk menyelaraskan tugas pokok dan
fungsi di setiap unit kerja yang ada di lingkungan BPPP sehingga
dapat mewujudkan sinergi positif untuk mendukung visi dan misi
Kementerian Perdagangan. Dalam kegiatan ini para pegawai
mendapatkan bimbingan motivasi kerja dan mengikuti kegiatan
lapangan di Hutan Pinus Cikole Lembang.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Bedah Naskah Bunga Rampai Info Komoditi Timah di Jakarta
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
(BPPP) menyelenggarakan acara Bedah Naskah Info Komoditi
Timah di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, pada hari Kamis, 23 Juni
2016. Acara Bedah Naskah dibuka oleh Kepala BPPP, Tjahya
Widayanti dan menghadirkan narasumber dari Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan
IDH Tin Working Group dengan moderator Ketua Dewan Redaksi
Bunga Rampai Info Komoditi. Sebagai peserta kegiatan hadir
Knowledge Sharing Forum hasil Tailor-Made Training
tentang Review and Feasibility Studies of FTA
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP)
bekerja sama dengan Vrije University Amsterdam-Belanda
menyelenggarakan Knowledge Sharing Forum hasil Tailor-Made
Training tentang Review and Feasibility Study for Free Trade
Agreement (FTA) Engagement in Indonesia Trade Policy sebagai
tindak lanjut atas pelatihan yang diberikan kepada 18 pegawai di
Kementerian Perdagangan bulan Februari 2016 lalu. Pada acara
yang dilaksanakan pada hari Selasa, 19 Juli 2016 di Ruang Anggrek
Kementerian Perdagangan, Staf Ahli Menteri Perdagangan bidang
Hubungan Internasional, Kasan membuka sekaligus menjadi
moderator. Kegiatan diskusi ini mengangkat tiga topik utama,
yaitu FTAs and regionalism in South East Asia-Can Indonesia draw
lessons from the Brexit?, Training Experience regarding FTA Review
and Feasibility Study, serta Ideal Standard Operation Procedure for
FTA Review and Feasibility Study.
pula perwakilan dari instansi dan lembaga terkait, pelaku usaha,
peneliti serta akademisi dari Universitas Indonesia (UI) dan School
of Government and Public Policy (SGPP). Acara Bedah Naskah
Bunga Rampai Info Komoditi Timah merupakan salah satu upaya
BPPP untuk meningkatkan kualitas publikasi. Melalui acara ini
diharapkan akan muncul berbagai ide, gagasan, masukan dan juga
kritik yang akan memperkaya dan mempertajam data dan analisis
Bunga Rampai tentang topik Timah.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
Catatan: Per Februari Tahun 2013, Satuan Minyak Goreng Kemasan dan Minyak Goreng Curah Berubah Menjadi 1 Liter.Sumber: Dinas Perindag, diolah Ditjen PDN
PERKEMBANGAN HARGA BARANG KEBUTUHAN POKOK
DAN BARANG JENIS LAINNYA SECARA NASIONAL
SELAMA BULAN JANUARI SAMPAI DENGAN JULI 2016
NO KOMODITI SATUAN 2016 Agustus Prbhn
Minggu Jul: Jun 16
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Beras Medium Kg 10.804 10.895 10.889 10.704 10.599 10.578 10.543 10.552 -0,33
2 Gula Pasir Kg 13.106 13.129 13.054 13.188 14.835 15.866 16.266 16.206 2,52
3 Minyak Goreng Kemasan Ltr 15.065 14.949 14.857 14.891 14.964 15.023 14.902 14.894 -0,80
4 Minyak Goreng Curah Ltr 10.365 10.458 10.631 11.092 11.425 11.528 11.304 11.173 -1,95
5 Daging Sapi Kg 111.040 112.698 112.868 112.482 112.909 115.070 115.344 114.340 0,24
6 Daging Ayam Broiler Kg 34.087 31.729 29.813 29.140 30.513 32.300 33.326 32.577 3,18
7 Daging Ayam Kampung Kg 61.933 61.197 60.919 60.206 60.306 62.507 64.652 64.161 3,43
8 Telur Ayam Ras Kg 25.538 24.585 22.787 22.153 22.664 24.021 23.698 24.187 -1,34
9 Telur Ayam Kampung Kg 42.514 42.370 41.925 41.795 41.667 42.075 41.613 41.722 -1,10
10 Susu Kental Manis 397g 10.269 10.208 10.236 10.248 10.288 10.323 10.321 10.340 -0,02
11 Tepung Terigu Kg 9.079 9.080 9.096 9.036 8.989 9.021 9.027 9.055 0,07
12 Kedelai Impor Kg 11.038 10.998 10.998 10.908 10.903 10.778 10.774 10.727 -0,04
13 Kedelai lokal Kg 11.032 11.036 11.079 11.030 11.073 11.176 11.151 11.135 -0,22
14 Mie Instant Bngks 2.207 2.255 2.293 2.302 2.311 2.318 2.322 2.327 0,17
15 Cabe Merah Keriting Kg 32.430 32.653 44.333 32.210 31.045 30.819 32.438 32.817 5,25
16 Cabe Merah Besar Kg 32.567 36.758 45.801 32.498 31.302 31.438 31.833 31.743 1,26
17 Cabe Rawit Merah Kg 40.629 33.778 49.276 35.698 34.657 34.833 40.253 44.155 15,56
18 Bawang Merah Kg 35.483 30.958 38.741 43.529 42.646 38.057 43.176 44.309 13,45
19 Bawang Putih Kg 29.542 30.827 34.564 37.337 37.400 37.293 37.754 37.417 1,24
20 Ikan Teri Asin Kg 68.536 69.430 70.679 71.210 71.337 72.096 72.894 73.699 1,11
21 Kacang Hijau Kg 21.067 20.878 20.913 20.947 21.057 21.213 21.265 21.510 0,24
22 Kacang Tanah Kg 25.368 24.862 24.894 25.114 25.179 26.268 26.744 26.717 1,81
23 Ketela Pohon Kg 5.422 5.501 5.506 5.524 5.601 5.774 5.831 5.829 0,98
24 Jagung Pipilan Kg 6.759 7.241 7.232 7.218 7.153 7.129 7.207 7.247 1,08
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Mg I
DATA STATISTIK PERDAGANGAN
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE JANUARI 2016 - JUNI 2016*
No. URAIAN Nilai (USD Juta), 2016 JAN - DES Perubahan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun* 2015 2016* 16-15(%)
I Ekspor 10.480,6 11.312,0 11.810,0 11.475,9 11.514,3 12.917,1 78.425,1 69.509,9 -11,37
- Migas 1.108,0 1.113,3 1.239,3 891,7 957,9 1.187,1 9.992,1 6.497,4 -34,97
- Non Migas 9.372,6 10.198,7 10.570,7 10.584.1 10.556,4 11.730,0 68.433,0 63.012,5 -7,92
II Impor 10.467,0 10.175,6 11.301,7 10.813,6 11.140,7 12.016,9 73.949,4 65.915,6 -10,86
- Migas 1.221,5 1.122,9 1.552,4 1.362,1 1.668,5 1.685,5 13.096,9 8.612,9 -34,24
- Non Migas 9.245,5 9.052,7 9.749,3 9.451,5 9.472,2 10.331,4 60.852,5 57.302,7 -5,83
III Total Perdagangan 20.947,6 21.487,7 23.111,7 22.289,5 22.655,0 24.934,0 152.374,5 135.425,5 -11,12
- Migas 2.329,6 2.236,2 2.791,7 2.253,9 2.626,4 2.872,6 23.089,0 15.110,3 -34,56
- Non Migas 18.618,0 19.251,5 20.320,0 20.035,6 20.028,6 22.061,4 129.285,5 120.315,2 -6,94
IV Neraca 13,6 1.136,4 508,3 662,2 373,6 900,2 4.475,7 3.594,3 -19,69
- Migas -113,5 -9,6 -313,1 -470,4 -710,6 -498,4 -3.104,8 -2.115,5 -31,86
- Non Migas 127,1 1.146,0 821,4 1.132,6 1.084,2 1.398,6 7.580,5 5.709,8 -24,68
Sumber : BPS (diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan) Catatan : *) Angka Sementara
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE 2011-2015 (JANUARI-MEI)
No. URAIAN Nilai : Juta USD JAN - MEI Perub Tren
2011 2012 2013 2014 2015 2015 2016 16/15 (%) 11-15(%)
I. Ekspor 203.496,6 190.020,3 182.551,8 175.980,0 150.366,3 64.911,0 56.592,8 -12,81 -6,59
- Migas 41.477,0 36.977,3 32.633,0 30.018,8 18.574,4 8.552,2 5.310,3 -37,91 -16,60
- Non Migas 162.019,6 153.043,0 149.918,8 145.961,2 131.791,9 56.358,8 51.282,5 -9,01 -4,50
II. Impor 177.435,6 191.689,5 186.628,7 178.178,8 142.694,8 60.971,3 53.898,7 -11,60 -4,96
- Migas 40.701,5 42.564,2 45.266,4 43.459,9 24.613,2 10.519,4 6.927,4 -34,15 -9,38
- Non Migas 136.734,0 149.125,3 141.362,3 134.718,9 118.081,6 50.451,9 46.971,3 -6,90 -3,87
III. Total Perdagangan 380.932,2 381.709,7 369.180,5 354.158,8 293.061,1 125.882,3 110.491,5 -12,23 -5,82
- Migas 82.178,6 79.541,4 77.899,4 73.478,7 43.187,5 19.071,5 12.237,7 -35,83 -12,77
- Non Migas 298.753,6 302.168,3 291.281,1 280.680,1 249.873,5 106.810,8 98.253,8 -8,01 -4,22
IV. Neraca 26.061,1 -1.669,2 -4.076,9 -2.198,8 7.671,5 3.939,7 2.694,2 -31,61 -
- Migas 775,5 -5.586,9 -12.633,3 -13.441,1 -6.038,8 -1.967,2 -1.617,1 17,80 -
- Non Migas 25.285,5 3.917,7 8.556,4 11.242,3 13.710,3 5.906,9 4.311,2 -27,01 -1,69
Sumber : BPS (diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016 PB36 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016
EKSPOR - IMPOR INDONESIA,
2O11 - 2O15 (JANUARI-DESEMBER)(Nilai : Juta USD)
225.000.00
200.000.00
175.000.00
150.000.00
125.000.00
100.000.00
75.000.00
50.000.00
25.000.00
0.0 2011 2012 2013 2014 2015 2015 (Jan-Mei) 2016 (Jan-Mei)
Ekspor 203.496,6 190.020,3 182.551,8 175.980,0 150.366,3 64.911,0 56.592,8
Impor 177.435,6 191.689,5 186.628,7 178.178,8 142.694,8 60.971,3 53.898,7
(Nilai : Juta USD)
30.000,0
25.000,0
20.000,0
15.000,0
10.000,0
5.000,0
0.0
-5.000,0
-10.000,0
-15.000,0
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA,
2O11 - 2O15 (JANUARI-DESEMBER)
Sumber : BPS (2015), diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan
Sumber : BPS (2015), diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan
2011 2012 2013 2014 2014 2015 (Jan-Mei) 2016 (Jan-Mei)
Migas 775,5 -5.586,9 -12.633,3 -13.441,1 -6.038,8 -1.967,2 -1.617,1
Non Migas 25.285,5 3.917,7 8.556,4 11.242,3 13.710,3 5.906,9 4.311,2
36 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume II. No. 11, Tahun 2016