i
Awalnya saya kira ini adalah novel politik.Menceritakan karir politik seseorang dari awal sampaiakhir. Membosankan, dalam hati saya. Ternyata sayasalah kira. Saya larut dalam cerita yang disuguhkan.Renyah. Haru. Seru. Kocak. Sesekali membuat darahmenderas tiba-tiba. Saya menikmatinya. Merasaseperti bertemu langsung dengan tokoh-tokoh didalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelini gurih. Membacanya akan sangat menghibur dantentu saja bertemu dengan nilai yang sangatberharga.
– Faisal Riza, Aktivis Sosial -
ii
Ini merupakan cerita fiksi. Rekaan.Khayalan. Imajinasi.
Yang inspirasi ceritanya berdasarkandari kisah hidup Muda Mahendrawan
iii
Kado sederhana ini dipersembahkanbertepatan dengan ulang tahun Muda
Mahendrawan ke-45(17 Agustus 1970 - 17 Agustus 2015)
iv
v
Merawat Pesan
Novel Inspiratiftentang kisah hidup Muda Mahendrawan
karya Pay Jarot Sujarwo
vi
Merawat Pesan
Cetakan Pertama:Agustus 2015
Penulis:Pay Jarot Sujarwo
Editor:Amrin Zuraidi Rawansyah
Desain Cover:Irawan Kusuma
Tata Letak:Mas Awo
diterbitkan oleh:Pijar PublishingJalan Uray Bawadi, No. 43, Pontianake-mail: [email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
Sujarwo, Pay JarotMerawat Pesan. Cet, 1Pontianak,
ISBN: 978 – 602 - 72799 - 1 - 9
vii
Daftar Isi
Satu: Ayah Ingin ke Makam ~ 1Dua: Senandung Lelo Ledung ~ 6
Tiga: Pamit ~ 15Empat: Tampan Seperti Dewata ~ 19
Lima: Masjid Syuhada ~ 26Enam: Di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara ~37
Tujuh: Dongeng Tentang Kakek ~ 49Delapan: Kelahiran ~ 56
Sembilan: Pertemuan ~ 68Sepuluh: Catatan Harian Wati ~ 83
Sebelas: Percakapan Dua Orang Akil ~ 89Dua belas: Mengutarakan Niat ~ 97
Tiga belas: Surat Pertama ~ 109Empat belas: Surat Kedua ~ 120
Lima belas: Arungi Bahtera ~ 129Enam belas: Rujak di Malam Kemerdekaan ~ 136
Tujuh belas: Sewaktu Kecil, Dia Dipanggil Hendy ~ 147Delapan Belas: Sekolah Islamiyah ~ 155
Sembilan belas: Silat, Karate, dan Salman ~ 161Dua puluh: Ada Kakek di Dalam Bioskop ~ 171
Dua puluh satu: Insiden Perkenalan ~ 184Dua puluh dua: Disidang Ayah ~ 191
Dua puluh tiga: Rosalina ~ 199
viii
Dua Puluh Empat: Kamar Pak Rektor ~ 208Dua Puluh Lima: Berpisah Setelah Menikah ~ 216
Dua puluh enam: Titik Balik ~ 223Dua Puluh Tujuh: Mahasiswa Notariat ~ 230
Dua puluh delapan: Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohon ~ 237Dua Puluh Sembilan : Fana ~ 245
Tiga Puluh: Totalitas Bersama Orang-Orang Muda ~ 254Tiga puluh satu: Doa Istri Sholihah ~ 260
Buah dari perjuangan yang takkan pernah berakhir ~ 269Tentang Penulis: 271
1
Riuh.
Orang-orang seperti tumpah. Memenuhi
ruangan tempat bagasi diambil. Ban karet berjalan
mulai bergerak. Lambat. Selambat gerak tari bedhoyo
di Keraton Jogjakarta.
Empat remaja asik memotret diri sambil
memiringkan kepala. Dua di antaranya memonyong-kan
mulut. Mata terkatup sebelah. Jari telunjuk menempel
di pipi yang menggelembung. Dua yang lain
memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya
nyengir seperti kuda di pinggiran Jalan Malioboro.
Rambut dikuncir juga seperti ekor kuda yang mengibas
saat membuang kotoran. Toh, bagasi yang mereka
tunggu masih lama muncul dari balik pintu kecil itu.
Satu
Ayah Ingin ke Makam
2
Seorang anak kecil menjerit histeris memanggil
mama. Tangis bocah meledak. Yang dicari ternyata
sibuk dengan smartphone sambil sesekali lehernya
ditarik keluar di sela kepala orang-orang. Tak sabar
menunggu bagasi muncul ke permukaan.
Juru panggul bergosip. Tante-tante bergosip.
Satu keluarga bergosip. Pelancong bergosip. Satu per
satu mereka pergi setelah menemukan bagasi miliknya.
Menuju pintu keluar. Melewati beberapa petugas
maskapai yang sesekali juga bergosip.
Seorang lelaki berdiri agak menjauh dari
kerumunan. Ia biarkan istri dan ketiga anaknya menanti
bagasi yang tak kunjung tiba. Matanya memang
melihat-lihat ke sekeliling. Tapi kepalanya penuh dengan
kenangan.
Lelaki itu, berperawakan sedikit tambun.
Tingginya sekitar 165 cm. Berkulit cokelat dengan
sebagian rambut berwarna putih. Wajahnya terlihat
lebih tua dari usia. Kelopak matanya agak besar. Sudah
pasti sedikit tidur. Tapi matanya tajam. Bibirnya
merekam jejak nikotin dan tar. Rautnya serius. Walau
bisa jadi jika melucu membuat orang tergelak. Lelaki
3
itu, sesekali melirik jam tangan. Sesekali agak menoleh
ke kerumunan orang-orang di sekitar ban berjalan.
Sesekali pula, menyipitkan mata ke arah pintu keluar.
Dalam interval waktu yang acak, dia menghela nafas
panjang.
Dia masih melamun saat istri dan ketiga
anaknya muncul. Mereka membawa beberapa tas
koper. Istrinya cantik sekali. Berparas Melayu. Berkulit
putih mulus. Mengenakan kerudung. Anggun. Tubuhnya
langsing tak setambun suaminya. “Ayo, ayah. semua
sudah lengkap,” saat dia menyapa suami dan
mengajaknya keluar ke luar, suaranya teduh. Menyihir
siapapun yang mendengar.
Pasangan suami istri ini membawa tiga orang
anak. Dua remaja perempuan kembar. Satu laki-laki
yang masih kanak. Berlima mereka keluar dari bandara.
Menuju pemberhentian taksi. Siap bergabung dengan
lalu lintas Jogjakarta, menuju hotel yang sudah dipesan
beberapa hari sebelumnya.
Taksi merambat pelan, meski tak sepelan tari
bedhoyo dari keraton, bergabung dengan keriuhan baru.
Keriuhan Jogjakarta di masa libur akhir tahun. Tapi isi
4
kepala lelaki ini masih mengangkut kenangan.
Di Jogja, dulu dia pernah mengunjungi nenek.
Di Jogja, dulu dia pernah ikut menghadiri pernikahan
bulik. Di Jogja, dulu dia pernah kuliah. Di Jogja, dulu
dia sering naik kereta. Di Jogja, dia pernah dihormati
teman-teman kampus yang berasal dari Bali. Di Jogja,
dia pernah hanya berlibur. Di Jogja, dia pernah
berziarah. Sekarang, dia dan keluarga datang berlibur
di penghujung tahun. Di sela liburan, dia mencari waktu
untuk bisa berziarah sendirian.
Jogjakarta telah berubah oleh waktu. Mobil
beraneka warna berseliweran. Klakson beraneka suara
bersahutan. Sepeda motor merajalela. Sepeda ontel
mulai jarang tampak di jalan raya. Macet? Jangan
ditanya. Jogja bukan ibukota negara. Tetapi macet, tak
jarang membuat orang Jogja bertabiat emosi seperti
perilaku manusia ibukota. Lelaki itu tak berhenti melirik
kota Jogjakarta dari balik kaca jendela mobil. Sayangnya
di dalam mobil ada alat pendingin. Lelaki itu tak bisa
turut dan larut merasakan cuaca Jogja yang panasnya
semakin menggila. Beberapa mahasiswa gila, yang tak
kunjung lulus dari kampusnya, berkata bahwa matahari
5
Jogja semakin gila.
Dari bandara, taksi lurus saja hingga
persimpangan jalan Gejayan. Di sini, macet tak
tertahankan. Ini wilayah kampus. Tempat mudah
menemukan indekos. Tempat orang asing biasanya
belajar Bahasa Indonesia. Di wilayah ini, kuliner juga
berderet di pinggir jalan. Di dekat persimpangan, pasar
tradisional ramai dikunjungi. Sepertinya orang-orang
pasar tak hirau dengan cuaca.
“Ayah, nanti kita jalan-jalan ke Pantai, ya,”
celetuk si bungsu Joe.
“Tapi aku ingin liat-liat Keraton,” sambar Maura.
“Kita harus ke Kaliurang juga,” sambung Mauri
tak mau kalah.
Ocha, ibu mereka cuma geleng-geleng kepala.
Lelaki menoleh. Tersenyum lebar. Mengangguk. Serta
merta si kembar Maura dan Mauri, serta si bungsu Joe
bersorak.
Di dalam hatinya, lelaki itu ingin ke makam.
6
Liburan sekolah, liburan hari raya, juga liburan
akhir tahun adalah waktu di mana kota Jogjakarta penuh
dengan pelancong. Mahalnya tiket pesawat tak
menyurutkan semangat orang-orang untuk berkunjung
kota ini. Hotel-hotel panen. Rumah makan panen. Toko
suvenir panen. Moda transportasi publik panen. Jasa
tour and travel panen.
Di jalan raya, macet sudah lumrah. Di tempat
wisata ribuan manusia berkerumun. Kota tempat mitos
Roro Kidul bersemayam. Kota tempat Sultan jadi
panutan. Kebudayaan. Seni tradisi. Gunung merapi.
Candi. Malioboro. Angkringan. Gamelan. Andong.
Bakpia. Gudeg. Sejarah. Kota tua. Banyak lagi.
Dua
Senandung Lelo Ledung
7
Domestik. Mancanegara. Hari libur. Jogja penuh.
Termasuk dua remaja perempuan kembar dan
adik laki-lakinya. Libur akhir tahun sekaligus libur
sekolah. Melancong. Berbahagia sebab diajak kedua
orang tua mengunjungi Jogjakarta. Si bungsu, Joe, ingin
ke pantai. Maura ingin belanja di Malioboro. Mauri ingin
menikmati suasana dingin di Kaliurang. Ibu mereka
hanya geleng-geleng kepala menyaksikan ketiga
anaknya merengek-rengek kepada ayahnya.
Ayah, lelaki itu, masih menata rentetan
kenangan. Kepala penuh dengan bayangan masa lalu.
Ia berimajinasi seperti apa kota ini puluhan tahun silam.
Imajinasi itu berputar-putar, meliuk kelok, menelusuri
jalan raya dan gang-gang kecil, terus berjalan mundur
melampaui dekade demi dekade. Mengarah ke satu
titik. Satu cerita. Tentang romantisme.
***
Sumpah pemuda yang diikrarkan pada 1928
menggugah semangat seorang pemuda dari sebuah
kampung di Bali untuk ikut berperan dalam
8
mewujudkan kemerdekaan. Ia begitu lelah dengan
cerita-cerita penderitaan tentang leluhurnya.
Peperangan demi peperangan. Kelaparan. Kekejaman.
Kolonialisme. Merantau kemudian jadi pilihan. Toh, para
pemuda sudah sepakat untuk menjunjung tinggi
bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Pemuda itu yakin
tak akan ada kesulitan dalam berkomunikasi jika ia
menggunakan bahasa Indonesia, meski dengan dialek
yang berbeda.
Entah apa alasannya, dari Bali, pemuda itu
berangkat menuju Jogjakarta. Di kota ini, pemuda yang
akrab dengan panggilan Nyoman Oka, merasa jatuh
cinta. Perbedaan budaya antara Bali dan Jawa,
keramahan masyarakatnya, lengkung senyum orang-
orang yang dijumpainya meski di dalam batin penuh
dengan derita karena penjajahan. Cinta punya peran
besar untuk tetap menyulut semangatnya mewujudkan
kemerdekaan.
Pertemuan dengan seorang gadis ayu di
Jogjakarta adalah kisah yang lain. Ia memperkirakan
usia gadis itu masih belasan tahun. Kulitnya sawo
matang. Rambutnya panjang. Lekuk tubuhnya kencang.
9
Perangainya riang. Senyumnya menantang. Perkenalan
keduanya terjadi tanpa basa-basi. Sulit untuk
membayangkan romantisme seperti apa yang mereka
bangun saat pertempuran bisa saja pecah secara tiba-
tiba. Tapi pemuda itu terlalu cinta. Cinta kepada bangsa
ini sehingga ia merasa wajib untuk mengusir penjajah.
Cinta terhadap gadis Jogja sehingga ia merasa perlu
untuk menikah. Nama gadis itu Sugiharti.
Awal tahun 1942 upacara sakral itu terjadi.
Kedua mempelai bersanding. Sementara di bagian
dunia yang lain, Jepang takluk dengan sekutu. Memang,
menikah di masa perang bukan pilihan terbaik. Terlalu
banyak risiko. Kapan saja peluru bisa menembus dada.
Tapi cinta, siapa yang dapat mengalahkan cinta
sepasang manusia? Bayonet, peluru, granat, roket,
bahkan bom atom sekalipun, kekuatannya tak ada yang
sebanding dengan kekuatan cinta.
Pada masa itu, sepasang manusia ini merasa
menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang paling bahagia.
“Bli, aku hamil,” ujar Sugiharti. Suaranya
bergetar. Matanya membinar. Dia mengaku sudah
terlambat datang bulan lebih dari dua minggu. Nyoman
10
Oka memeluknya begitu erat.
Berita bahagia kehamilan ini diiringi dengan
berita bahagia yang lain. Jepang telah mendaratkan
pasukannya di Teluk Banten, Eretan Wetan, dan
Kranggan. Berita ini disambut sukacita tidak hanya oleh
pasangan Nyoman Oka dan Sugiharti, tetapi oleh
masyarakat Jawa secara keseluruhan. Ramalan
Joyoboyo yang begitu dipercaya oleh orang-orang Jawa
semasa penjajahan Belanda akhirnya terbukti.
Penguasa Jawa yang berkulit putih pada akhirnya akan
menyerah kepada pasukan yang datang dari kepulauan
Tembini. Orang-orangnya berkulit kuning. Kakinya
pendek. Dan akan menduduki Jawa tapi rentang
waktunya hanya seumur jagung.
“Dik, apa yang diramalkan Joyoboyo terjadi.
Para menir dan nyonya berkulit putih itu akan pergi
meninggalkan tanah ini. Kita akan merdeka. Anak kita
akan lahir secara merdeka!”
Benar. Tak lama, di beberapa titik di pulau Jawa,
Belanda menyerah tanpa syarat. Gerakan tiga A
menyebar kemana-mana. Jepang Cahaya Asia. Jepang
11
Pelindung Asia. Jepang saudara Asia. Orang-orang
pribumi diangkat dalam struktur pemerintahan.
Menetapkan wilayah-wilayah voorstenlanden sebagai
Kochi (daerah istimewa), maksudnya agar pangkalan
militer yang dibangun dapat diterima oleh masyarakat.
Siasat ini berbuah manis. Orang-orang Jawa menerima
dengan sukacita.
Waktu berselang, ramalan Joyoboyo tak
seluruhnya benar. Belanda memang telah menyerah.
Namun penderitaan belum berakhir. Setelah beberapa
pangkalan militer berdiri, penderitaan baru terjadi.
Romusha. Ribuan manusia meregang nyawa karena
kerja paksa. Membangun jalan baru. Menambah jalur
kereta baru. Membangun terowongan persembunyian.
Gua-gua. Benteng pertahanan. Dan pribumi, lagi-lagi
menjadi korban.
Pasangan Nyoman Oka dan Sugiharti telah
memiliki seorang putri. Diberi nama Sri Puspitawati.
Rasa cinta pasangan Jawa-Bali ini semakin menjadi.
Janji sehidup semati, meski dengan risiko hidupnya
akan berakhir di jeruji atau bahkan mati. Wati belum
12
genap berusia tiga tahun, bayi mungil ini mendapatkan
seorang adik. Sari.
Jika kelahiran Wati ditandai dengan rasa
bahagia karena telah datang Saudara Asia, kelahiran
Sari adalah pertanda kebahagiaan yang lain. Indonesia
Merdeka. Saudara Asia yang ternyata lebih kejam dari
Menir berkaki panjang dan berkulit putih itu harus pergi.
Kerja paksa harus berakhir.
Kemerdekaan Indonesia yang telah
diproklamirkan di Jakarta membuat Nyoman Oka
diangkat menjadi anggota Polisi Negara.
Waktu itu, sore begitu rekah. Matahari hampir
saja jatuh di wilayah Kulonprogo. Jingga. Indah
menggoda. Di utara, Merapi kokoh. Senantiasa kokoh.
Mengesankan keagungan tanpa umpama. Di puncak
gunung aktif ini, kabut putih tertular warna senja.
Nyoman Oka pulang ke rumahnya di wilayah
Mangkukusuman. Di rumah, istri tercinta sedang
menyusui bayinya yang baru lahir. Sementara Wati, anak
sulung, tertidur pulas.
Nyoman Oka sengaja tak langsung masuk ke
kamar. Ia memilih mengintip sejenak.
13
“Tak lelo lelo lelo ledung. Cup menenga aja pijer
nangis. Anakku sing ayu rupane. Nek nangis ndak ilang
ayune.Tak gadang bisa urip mulyo. Dadiyo wanito
utomo. Ngluhurke asmane wong tua. Dadiyo
pendekaring bangsa.” (Tak lelo, lelo lelo ledung.
Sudahlah jangan menangis anakku. Anakku yang cantik
parasnya. Kalau menangis nanti hilang cantiknya. Kelak
bisa hidup mulia. Jadilah wanita utama.
Mengharumkan nama orang tua. Jadilah pendekar
bangsa).
Merdu. Suara Sugiharti mengalun. Tembang
Jawa yang entah siapa pengarangnya itu membuat Wati
begitu pulas dan Sari begitu khusuk menghisap air susu
dari putingnya. Darah di dalam dada Nyoman Oka
berdesir. Bulu di kuduk berdiri. Ada kebanggaan sebagai
seorang ayah. Ada kecemasan yang terus
menghantuinya sebagai seorang pejuang. Kakinya agak
menjinjit saat masuk kamar dan mendekati istrinya.
Setelah memastikan langkahnya tak mengusik Sari yang
khusuk menyusu, ia membungkuk. Dengan takzim ia
daratkan kecupan panjang di kening istrinya.
“Dik, aku sudah diangkat menjadi Polisi
14
Negara,” bisik Nyoman Oka.
Sugiharti terus menembang. Tapi lirikan mata
kepada sang suami, senyuman yang begitu khas,
adalah jawaban kebanggaan dan kebahagiaan.
Sepasang suami istri berbahagia. Usia mereka masih
begitu muda. Di luar rumah, di berbagai sudut negeri,
para pemuda yang lain merapatkan barisan. Sepakat
mengusir Jepang.
***
”Ayah, ayo kita jalan-jalan.”
Imajinasi lelaki buyar. Maura, Mauri, Joe, juga
ibunya sudah bersiap menikmati pakansi di Jogjakarta.
Lelaki bangkit dari tempat duduknya.
”Tujuan pertama kita adalah Masjid Syuhada
di Kotabaru. Lokasinya berada di Jalan I Dewa Nyoman
Oka.”
15
“Bli, jangan tidak pulang. Ada tiga perempuan
menunggumu di rumah.”
Sugiharti tak mau melepaskan pelukan.
“Aku akan pulang.”
“Janji?”
Diam sejenak, cukup lama. Sugiharti mulai
berdebar. Masih memeluk suaminya, dia menoleh ke
kasur tempat Wati dan Sari tertidur.
“Bli harus janji kalau akan pulang.”
Nyoman Oka mengangguk. Tapi istrinya tak
melihat, sebab sejak tadi kepalanya rapat bersandar
di dada suami.
“Katakan padaku bahwa kau mencintaiku, Bli.”
Sugiharti mulai terisak.
Tiga
Pamit
16
“Aku mencintaimu. Mencintai Wati. Mencintai
Sari. Mencintai kalian seperti aku mencintai negara
ini.”
Sugiharti menangis. Pelukan semakin erat.
Nyoman Oka meraih wajah istrinya.
Mengisyaratkan agar berhenti menangis. Di luar,
terdengar percakapan dari tetangga sekitar rumah.
Para pemuda. Para suami. Mereka sudah bersiap
berangkat ke Kotabaru. Nyoman Oka mengusap
pelupuk mata istri. Melepas pelukan. Menghampiri dua
bayi yang pulas.
Benak Sugiharti tergetar oleh firasat. Ia tak tega
melihat suaminya mengusap lembut ubun-ubun dua
buah hati mereka. Sari baru berusia dua bulan. Dua
tahun lebih muda dari kakaknya. Sugiharti menangis
lagi. Memeluk suami lagi.
“Percayalah, Dik. Kita akan menang. Kidobutai
alias tentara Jepang itu akan menyerah. Kalaupun nanti
aku tidak pulang…”
“Jangan lanjutkan, Bli. Kau harus pulang.
Kalahkan Nipon, lalu kau harus pulang!” isak yang
terasa begitu panjang.
17
Waktu seperti berhenti. Kisah cinta yang mereka
bangun telah menjelma banyak peristiwa. Sugiharti tak
akan pernah melupakan bagaimana ia menyiapkan
seragam suami sebelum berangkat kerja. Bagaimana
Nyoman Oka memuliakannya di dalam rumah. Juga
tentang gelak tawa lelaki Bali itu jika bercanda. Nyoman
Oka tak pernah bisa melepaskan logat Balinya. Sugiharti
tak segan mencandainya jika mendengar kata-kata
yang terdengar lucu. Lalu mulut Nyoman Oka tertawa
lebar.
Saat sarapan, kerap sepasang suami istri ini
bercakap-cakap tentang masa depan. Nanti, Wati dan
Sari akan pergi ke sekolah pemerintah Republik
Indonesia. Mereka juga berencana membawa kedua
anak kesayangannya berlibur ke Bali jika ada waktu.
Sesekali pula, di meja makan, membayangkan suasana
Jogjakarta tanpa penjajah.
“Kelak, kalau Jepang pergi, kita akan jalan-jalan
ke pematang dengan riang,” kata Nyoman.
“Memangnya mau ngapain di pematang, Bli?”
“Ya, tidak tau. Yang penting tidak ada Jepang.”
Keduanya tertawa lepas.
18
Tiga tahun keberadaan Jepang telah menjadi
ketakutan tersendiri bagi pribumi. Wajar, ketika
proklamasi berkumandang, para pemuda bersemangat
melucuti Jepang.
Sugiharti masih ingin berlama-lama
bercengkrama dengan kenangan. Tapi Nyoman Oka
benar-benar harus pergi. Ia harus menggantikan
temannya yang piket. Sekaligus bergabung dengan
pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), para pemuda
dan pejuang lainnya menuju Kotabaru. Polisi Negara
itu pamit setelah benar-benar yakin air mata istrinya
tak lagi mengalir.
19
Lagi pula tak ada cinta yang munculmendadak, karena dia adalah anak kebudayaan,
bukan batu dari langit
(Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia)
Sebelumnya Sugiharti tak pernah memilih siapa
yang akan menjadi pendamping hidupnya. Gadis Jawa
ini terlalu belia untuk mengerti arti cinta. Yang dia
pahami, jika seorang lelaki meminangnya, maka dia
akan berbakti kepada lelaki itu, suami. Apa yang ada
dalam kepala Sugiharti nyaris sama seperti perempuan
Jawa kebanyakan. Tidak perlu harus menerjemahkan
cinta yang berbelit-belit, terlebih pada masa itu perang
sedang berkecamuk. Negara belum merdeka. Siapa
Empat
Tampan Seperti Dewata
20
yang berani melamar, dia yang akan menjadi ayah dari
anak-anaknya kelak.
Lelaki pemberani itu, Nyoman Oka. Pertemuan
keluarga yang tidak memakan proses panjang. Pinang
meminang dilakukan. Sugiharti resmi menjadi istri
Nyoman Oka. Witing tresno jalaran seko kulino. Cinta
tumbuh karena terbiasa bersama. Proses hidup
bersama lah yang kemudian menumbuhkan cinta di
antara mereka.
Pelan-pelan Sugiharti semakin mengenal siapa
suaminya. Tak hanya pemberani dalam urusan
peperangan, Nyoman Oka juga lelaki yang begitu
mencintai keindahan. Seni. Adiluhung. Wajar, darah
Bali bersemayam di tubuhnya.
Di luar, Nyoman Oka bisa saja berteriak garang,
memendam kebencian mendalam terhadap penjajah.
Di rumah, dia begitu lembut seperti lumut. Seperti kabut
yang bergelayut di lereng Merapi saat pagi belum
sempurna. Sugiharti merasa beruntung telah memiliki
suami seperti Nyoman Oka.
Hal serupa juga dialami Nyoman Oka.
Beruntung. Anugrah. Usia Sugiharti masih belasan saat
21
Nyoman Oka meminang. Muda memang. Tapi usia wajar
bagi gadis yang hidup sebelum kemerdekaan. Menikah
muda. Punya banyak anak. Dilimpahi banyak rejeki. Bagi
Nyoman Oka, Sugiharti adalah Dewi yang sengaja turun
dari kayangan. Bahkan kecantikannya melebihi
kecantikan yang dimiliki oleh bidadari yang
selendangnya diambil oleh Jaka Tarub. Sugiharti tak
hanya cantik fisik. Tapi juga batin.
Jarang menggunakan selendang, tapi ketika
perempuan itu berkebaya, Nyoman Oka langsung mabuk
kepayang. Wajahnya sederhana. Bentuk tubuhnya juga
sederhana. Jawa. Titik. Kesederhanaan perempuan
Jawa tak ada bandingannya. Memikat sekaligus
menyihir. Menggoda sekaligus berbahaya.
Di masa kolonial, pribumi adalah makhluk kelas
rendah. Oleh orang-orang Belanda, derajat mereka
nyaris disamakan dengan binatang. Kasar. Tidak
berpendidikan. Primitif. Layak dihina dina. Tapi orang-
orang Eropa berkulit bintik-bintik berkaki panjang itu
tetap aneh. Meski menganggap pribumi lebih rendah,
tetap saja sebagian dari mereka tidur dengan para
perempuan pribumi. Meski sebagian besar diperlakukan
22
dengan bejat, tak jarang pula yang dipelihara dengan
baik selayaknya bangsa Eropa. Banyak sebutannya.
Gundik. Selir .Nyai. Dan macam-macam lagi. Lalu
lahirlah Indo, manusia setengah Eropa setengah
pribumi.
Kenyataannya, perempuan bukan makhluk
lemah yang hanya bisa jadi korban dominasi laki-laki.
Di Jawa memang banyak sekali istilah untuk
perempuan, yang tentu saja dibikin oleh laki-laki.
Macak, masak, manak (Berdandan, memasak,
melahirkan). Sumur, dapur, kasur. Kanca wingking
(teman dalam mengelola urusan belakang/dapur).
Tapi sejatinya, perempuan adalah sutradara di
dalam rumah. Bahkan dominasi kekuasaan laki-laki
pada dasarnya tak sanggup untuk mengalahkan
perempuan. Laki-laki bisa saja sesumbar karena
berhasil menjadi dominan. Tapi perempuan adalah
penakluk dominasi itu.
Urusan dominan tidak dominan. Tinggi rendah.
Martabat tidak bermartabat. Tidak berlaku bagi
pasangan Nyoman Oka dan Sugiharti. Pengkastaan yang
masih melekat di budaya Bali, tak dibawanya ke dalam
23
rumah di Mangkukusuman. Sugiharti adalah orang yang
begitu istimewa bagi Nyoman Oka. Karena
pengistimewaan itu, pengabdian yang diberikan
Sugiharti kepada suaminya, adalah pengabdian yang
benar-benar tulus. Bukan paksaan. Istilah dominasi tak
berlaku di keluarga ini.
Terlebih setelah kelahiran Wati. Cinta benar-
benar tumbuh di keluarga ini. Tak terbantahkan.
Kebiasaan-kebiasaan hidup bersama. Proses. Anak dari
kebudayaan. Indah. Tak tergambarkan. Sebelum Wati
berumur 3 tahun, dia memiliki seorang adik, Sari.
Kebahagian tak berperi. Hingga akhirnya kejadian itu
tiba. Nyoman Oka harus pergi dari rumah.
***
Kabar kemenangan BKR dan pemuda Jogjakarta
dalam merebut tangsi Jepang di Kotabaru tersiar
kemana-mana. Pukul 10 pagi, bendera merah putih
berkibar di markas yang selama ini digunakan sebagai
gudang senjata dan pangkalan militer Kidobutai.
Di rumah, Sugiharti mulai gundah. Matahari
24
sudah melewati atas kepala. Mungkin Bli Oka masih
bergabung dengan para pemuda merayakan
kemenangan. Perempuan itu mencoba menenangkan
diri. Gagal. Wati tiba-tiba menangis. Meraung-raung.
Barangkali lapar. Tidak. Wati tak mau makan. Tangis
yang tidak biasanya.
Waktu merambat. Tik-tok jam dinding terasa
begitu lama. Sugiharti kehilangan akal. Suaminya belum
juga pulang. Padahal matahari sudah ke barat. Dia
pergi ke tetangga. Mencoba mencari tahu kabar
suaminya. Tak ada jawaban. Dia menemui saudara laki-
lakinya yang kemudian disuruhnya pergi ke markas.
Wati masih menangis. Sari ikut menangis. Air susu dari
putingnya tak mengalir.
Malam hari. Sugiharti berteriak begitu keras.
Seorang anggota BKR datang ke rumahnya.
Mengabarkan berita kematian. Nyoman Oka telah gugur
sebagai pejuang. Ditembak Jepang.
“Kami semua kaget dengan keberanian suami
ibu,” anggota BKR itu bercerita, “dia datang dan
bergabung tanpa senjata api. Tapi ketika penyerbuan
dia maju di barisan paling depan. Teman saya, seorang
25
anggota BKR merasa perlu memberikan senjata
miliknya kepada Nyoman Oka.Setelah memegang
senjata, kami tak dapat lagi menemukan suami ibu.
Dia menyelinap, masuk ke wilayah lebih dalam.
Merunduk, menembak, hingga akhirnya berada begitu
dekat dengan Kidobutai.”
Anggota BKR terbata-bata ketika bercerita.
Hatinya bercabang dua. Bahagia karena berhasil
merebut tangsi Kotabaru. Berduka menyaksikan teman-
teman pejuang yang gugur. 21 orang tewas. Nyoman
Oka tewas. Duka di hati pemuda BKR semakin menjadi
saat menyaksikan kondisi Sugiharti. Masih begitu muda
dan harus menanggung beban, membesarkan dua
anaknya yang masih bayi seorang diri. Perang memang
biadab. Tak ada yang bisa dibanggakan dari perang.
Apapun alasannya.
Sugiharti tak sadarkan diri. Dalam pingsannya,
dia melihat suaminya tersenyum. Menyapa ramah
kepadanya. Lengkap berpakaian Bali. Tampan seperti
Dewata.
26
“Ayah, ayo berangkat. Anak-anak sudah siap,”
kata Ocha menyadarkan suaminya dari lamunan.
Bukan, bukan lamunan. Tapi bayangan, kenang,
imajinasi yang jauh mengembara tentang kakek-
neneknya. Lelaki itu tak ingin berpisah dengan
kenangan. Tetapi dia juga tak boleh larut. Buat apa
melekat pada kenangan? Kenangan adalah racun. Ada
hari ini. Ada hari depan.
Mereka berlima berangkat setelah meminta
tolong resepsionis hotel memanggil taksi.
“Ke wilayah Kotabaru, Pak. Masjid Syuhada,”
katanya kepada sopir taksi.
Dari jalan Gejayan, hotel tempat mereka
Lima
Masjid Syuhada
27
menginap, taksi meluncur menuju selatan. Tidak terlalu
kencang, sebab ini lokasi padat. Maura mengarahkan
pandang ke luar jendela. Kampus. Dia tertarik melihat
bangunan kampus. Dalam hatinya dia ingin bisa kuliah
di Jogjakarta, kota tempat berkumpulnya kaum
terpelajar. Ratusan kampus, mulai dari D1 hingga D3,
S1 dan pascasarjana ada di sini.
Ocha, ibunya, bisa membaca apa yang ada
dalam pikiran Maura, remaja yang baru saja duduk
Sekolah Menengah Atas.
“Pak, nanti dari pertigaan, kita belok ke kanan,”
kata Ibu kepada sopir taksi “masuk jalan Colombo, terus
lewat bundaran Bulaksumur, ya.”
Sopir taksi mengangguk. Tapi lelaki di samping
pak sopir menoleh ke belakang.
“Lho, kenapa harus belok kanan, Bu?”
Dia merasa yang lebih hafal Jogja. Dulu dia
pernah bersekolah di kota ini. Kalau lurus saja, masuk
ke jalan Urip Sumoharjo, lurus ke jalan Jenderal
Sudirman, terus menuju Kotabaru akan lebih
menghemat waktu.
“Tidak apa-apa, Ayah. Jalan-jalan sedikit,
28
melewati lokasi kampus, siapa tau nanti Maura, Mauri,
Joe, bisa kuliah di sana,” jelas Ibu dengan lembut. Sopir
taksi manut. Maura tersenyum tipis. Setipis kabut.
Sedangkan lelaki yang dipanggil “Ayah” mengangguk-
angguk, tapi jidatnya berkerut.
Setelah menunggu lampu merah berubah warna
di pertigaan, taksi berbelok ke kanan. Ibu bertindak
seperti pemandu wisata pendidikan, mengabarkan
kepada ketiga anaknya bahwa di sebelah kanan
terdapat sebuah kampus negeri yang cukup ternama.
Kampus UNY. Ketiga anaknya memalingkan wajah ke
kanan. Maura paling antusias.
UNY lewat, taksi memasuki kawasan
Bulaksumur.
“Agak diperlambat sedikit jalannya, Pak,” kata
Ibu kepada sopir taksi.
“Nah, kalau di sebelah kanan sana, kampus
UGM,” kata Ayah cepat dan bersemangat. Ayah berhasil
menyalib penjelasan Ibu. Tapi Ibu justru tersenyum dan
mengangguk.
“Dulu, Ayah kuliah di sana.”
“Udah tau!” sambar si bungsu yang baru kelas
29
6 SD, “Ayah sudah sering cerita.” Maura dan Mauri
saling pandang dan terkikik.
“Aki Oson juga kuliah di sana,” kata Ayah
melanjutkan. Ketiga anaknya saling pandang. Setelah
itu mereka kompak menatap Ayah dengan mata
menyipit dan jidat berkerenyit.
“Ya, Aki kalian kuliah di sana. Di Fakultas
Hukum.”
Aki adalah sebutan mereka untuk kakek, ayah
lelaki itu.
“Kalau Uti kuliah di mana?” tanya Maura .
“Uti kalian tidak kuliah. Dulu dia bersekolah di
Sekolah Guru Kepandaian Putri, SGKP, sekarang disebut
SMK. Kalau tidak salah, sebelum Uti selesai sekolah
sudah bertemu Aki, setamat sekolah kemudian dilamar.”
“Wah, Aki pasti ganteng banget. Jadi idola gadis
remaja,” celetuk Joe. Seisi mobil tertawa, kecuali sopir
taksi. Dia hanya mengulum senyum.
“Gimana, ingin keliling UGM dulu?” tanya sopir
taksi.
“Tidak usah, Pak. Langsung ke Masjid Syuhada
saja, nanti ketinggalan waktu sholat,” kata Ibu.
30
Maura merengut.
“Tenang,” kata Ibu sambil mengusap punggung
Maura, “nanti kita sediakan waktu khusus ke UGM.”
Maura sumringah.
Tak selang berapa lama, taksi sampai ke tujuan.
Sama seperti masjid lain di Indonesia, Masjid
Syuhada memiliki kubah utama berbentuk bawang.
Perpaduan arsitektur gaya Persia dan India. Kubah
utama ini dikeliling kubah berukuran lebih kecil di empat
penjuru. Warna hijau mendominasi seluruh bangunan.
Sejuk. Di bagian depan, anak-anak tangga kokoh
berwarna coklat. Bisu. Dua gerbang perdu di bawah
anak tangga menyempurnakan keteduhan. Seperti
berucap selamat datang bagi siapapun yang ingin lebih
dekat dengan Sang Khalik.
Halaman masjid lumayan luas. Anak-anak kecil
bermain riang. Sebagian belajar Al-Qur’an di dalam.
Seorang satpam sesekali sibuk membenarkan posisi
motor yang terparkir di halaman seraya bercanda
dengan para bocah. Dari arah parkiran, ayah, Ibu, dan
ketiga anaknya memasuki pelataran masjid. Mereka
berwudhu dan kemudian berangkat sholat.
31
Selesai berkomunikasi dengan Sang Pencipta,
mereka kembali ke pelataran. Ibu memesan ronde. Ayah
bercakap-cakap dengan petugas keamanan. Maura,
Mauri, Joe, langsung akrab dengan keteduhan halaman.
Mereka mengambil gambar dengan kamera telepon
seluler. Bergaya bergantian. Memperhatikan aktivitas
bocah sekitar masjid. Mengernyitkan kening ketika
mendengar mereka bercakap-cakap dengan logat bukan
Melayu.
Ibu memanggil ketiga anaknya. Ronde siap
disantap. Mereka berlima berkumpul.
“Kalian tahu sejarah Masjid ini?” tanya Ayah
membuka cerita.
Si kembar dan si bungsu menggeleng.
“Sebelum Ayah cerita sejarahnya, coba
perhatikan bangunan fisik Rumah Allah itu.”
Sambil menikmati pemandangan hijau teduh,
Ayah mulai bercerita.
“Arsitektur Masjid ini menyimpan sengkalan.”
“Sengkalan? Apa itu, Yah?” tanya Joe.
“Sengkalan adalah pengingat suatu peristiwa
dalam tradisi Jawa. Berupa angka-angka yang
32
disimbolkan dalam bentuk gambar, kata-kata, atau
benda. Coba perhatikan dengan saksama, lalu hitung
jumlah anak tangga di depan itu. Jumlah tiang
gapuranya. Jumlah kubahnya.”
Kening anak-anaknya masih mengernyit. Tapi
mata mereka antusias. Sebab ini pengetahuan. Sejak
kecil mereka telah diajari untuk memiliki antusiasme
yang tinggi terhadap pengetahuan.
“Bagian-bagian penting dalam bangunan
Masjid ini adalah simbol dari peringatan hari
proklamasi. Anak tangga berjumlah 17, tiang gapura
berjumlah delapan, empat kupel bawah dan lima kupel
atas. 17-8-45. Tidak hanya itu, keseluruhan bangunan
yang terdiri dari tiga lantai ini dihiasi 20 jendela
sebagai perlambang dari 20 sifat Allah SWT.”
“17 Agustus kan hari kelahiran Ayah?” tanya
Joe. Ayah tersenyum.
“Ya, hari kelahiran bangsa ini juga,” sambung
Mauri.
“Ada yang lebih penting dari simbol-simbol
angka yang ada dalam Masjid ini, yaitu sejarahnya,”
ujar Ayah melanjutkan penjelasan.
33
Masjid ini dibangun untuk memperingati jasa
para pahlawan yang syahid, gugur di medan perang.
Makanya kemudian diberi nama Syuhada. Dulu, di masa
penjajahan Belanda, orang-orang yang tinggal di
wilayah Kotabaru adalah orang-orang berkulit putih,
juga ada orang-orang Indonesia kelas atas. Mereka
orang kaya, berpendidikan tinggi. Pendidikan yang
dibentuk Belanda tentunya. Sampai sekarang di wilayah
ini masih banyak bangunan peninggalan Belanda.
Kotabaru dikenal sebagai wilayah yang bersih, modern
dan sehat. Tapi pada waktu itu tidak ada satupun tempat
beribadah orang Islam.
Tahun 1942 Jepang datang ke Indonesia.
Penjajahan yang singkat namun kejam. Orang-orang
Belanda diusir dari wilayah Kotabaru. Rumah-rumah
kosong kemudian ditempati orang Jepang. Ada juga
pribumi. Sebagian besar pribumi ini memeluk agama
Islam. Ketika itulah muncul sebuah kebutuhan tempat
beribadah. Tapi upaya pembangunan Masjid belum
terwujud. Orang-orang beribadah di rumah masing-
masing, langgar atau mushola, juga tak jarang
menggunakan gereja.
34
Empat tahun setelah kemerdekaan, semakin
banyak orang-orang Indonesia yang beragama Islam
bermukim di wilayah ini. Waktu itu pusat pemerintahan
republik berada di Jogjakarta. Akhir tahun 1949 di
Belanda terjadi perundingan antara pihak Indonesia
dan Belanda, tepatnya di kota Gravenhage. Dalam
perundingan itu, ada gagasan untuk kembali
memindahkan ibu kota negara ke Batavia, yang sudah
berganti nama Jakarta. Sebuah kota metropolis. Tempat
segala macam ada. Kota yang tak pernah tidur.
Keputusan memindahkan kembali ibukota ke
Jakarta inilah yang kemudian memunculkan ide
mendirikan sebuah peninggalan. Sebuah tanda mata.
Sebuah peringatan untuk Jogjakarta, ibukota
perjuangan. Kota penting yang tak boleh dilupakan.
Perlu ada sebuah bangunan untuk memperingati
kesucian perjuangan bangsa, bukan berupa patung,
tugu, atau benda mati lainnya. Maka diputuskan
membangun sebuah Masjid Jami’. Diberinama Masjid
Syuhada. Didirikan di atas sebuah tanah wakaf milik
Keraton Ngayogyakarta. Sultan Hamengkubuono IX
adalah orang yang melakukan peletakan batu pertama.
35
Waktu itu dia menjabat sebagai menteri Pertahanan
Republik Indonesia sekaligus Kepala Daerah Istimewa
Jogjakarta.
“17 Agustus 1950, garis kiblat Masjid ini
ditetapkan oleh KH. Badawi.”
“Wah, hari kelahiran ayah keren. Hari lahir
negara. Hari penetapan kiblat masjid pula,” potong Joe
dengan mimik riang.
“Joe, peringatan hari lahir penting,” kata Ibu
sambil menepuk pelan pundak Joe, “tapi lebih penting
lagi bagaimana kita bisa memaknai peristiwa yang
terjadi pada masa itu. Hari lahir misalnya, jika kita bisa
memaknainya, introspeksi akan terjadi. Momen-momen
penting tak hanya kita lewati dengan hura-hura saja.
Saat itulah kualitas manusia akan terus diuji. Dan
pengetahuan, Joe, pengetahuan penting untuk
mengantarkan kita menjadi manusia berkualitas itu.”
“Siap Ibunda tercinta, Joe siap menjadi manusia
berkualitas. Seperti Soekarno, seperti Hatta, seperti
Power Renjes,” sahut Joe seraya mengambil posisi
bersiap. Tangannya menghormat. Sedetik kemudian Joe
mengambil sikap seperti tokoh hero yang pernah
36
dilihatnya di televisi. Semua anggota keluarga tertawa.
“Ada satu lagi yang ingin Ayah ceritakan.
Tentang kakek Ayah, buyut kalian. Pejuang pengusir
Jepang. Meninggal dalam pertempuran. Pahlawan
Negara. Namanya I Dewa Nyoman Oka.”
“Siapa, Ayah?” tanya Mauri terkesiap.
“I Dewa Nyoman Oka.”
Mauri tiba-tiba berlari menuju plang Masjid
Syuhada. Tertera di situ nama jalan. Persis nama yang
diucapkan ayahnya.
37
Selepas membayar tarif taksi, lelaki itu tak
langsung memasuki area pemakaman. Matanya
menatap sekeliling. Rerimbun pepohonan di sekitar
tembok makam sedikit membantunya berlindung dari
cahaya matahari. Suasana sekitar sepi. Ini memang
bukan hari pahlawan atau pun peringatan hari-hari
tertentu, yang biasanya banyak para peziarah datang,
baik dari pihak keluarga maupun veteran perang. Taman
Makan Pahlawan Kusumanegara Jogjakarta. Ada
sebuah makam yang harus dikunjunginya. Di sekitar
makam, lelaki itu melihat beberapa orang penjual
kembang. Ia menghampiri seorang perempuan tua yang
duduk bersimpuh di belakang keranjang bunga.
Enam
Di Taman Makam PahlawanKusumanegara
38
“Tidak terlalu ramai ya, Mbok?” katanya
menyapa.
“Inggih, Pak. Sekarang kan belum waktune
ziarah,” jawab perempuan itu dengan logat khas Jogja,
“Bapak dari mana?”
“Saya dari Pontianak, Kalimantan.”
“Kalimantan? Jauh temen.”
“Iya, Mbok. Mau ke makam Mbah saya.”
Lelaki itu sambil memilih-milih kembang.
Setelah memberikan uang dan berucap terima kasih
dengan bahasa Jawa yang janggal, lelaki itu pamit untuk
masuk ke makam. Di area parkiran hanya ada beberapa
motor yang terparkir. Dia berpapasan dengan
seseorang.
“Pak, makamnya buka?”
“Oh buka, Pak. Monggo masuk ke dalam. Jangan
lupa isi buku tamunya dulu.”
Di pintu makam, lelaki itu disambut oleh
seorang anak muda. Mereka bersalaman. Bercakap-
cakap sejenak. Pemuda itu lalu mempersilahkan lelaki
mengisi buku tamu. Di ruangan tersebut, beberapa kursi
tunggu terlihat kosong. Lagi-lagi dia memutuskan tidak
39
langsung masuk ke dalam. Duduk sebentar, menata
debar di dadanya.
Memang ini bukan kunjungan pertama. Bahkan
dia lupa sudah berapa kali datang ke kompleks
pekuburan ini. Baik hanya sekadar singgah karena
kebetulan berada di Jogjakarta, atau sengaja datang
jauh-jauh dari Pontianak untuk berziarah. Namun setiap
kali datang, selalu degup yang sama dia rasakan. Sama
seperti waktu-waktu yang dulu. Seketika, dongeng
Mbah Oka menyergap kepalanya. Saat dia kanak-kanak,
simbah selalu bersemangat bila bercerita tentang
suaminya. Kakek si lelaki. Kini jasadnya terbaring di
salah satu sudut pemakaman.
Rindu menghantuinya. Rindu Mbah Oka. Rindu
kasih sayangnya. Rindu suara lirihnya. Rindu usapan
tangannya. Rindu dongeng tentang kakek yang tak
pernah sedetikpun ia lihat wajahnya. Dia gugur
mempertahankan kemerdekaan di usia yang begitu
muda.
Lelaki itu melangkah pelan masuk ke pelataran.
Matanya menabrak barisan nama yang terukir pada
satu bidang tembok. Dibacanya satu persatu nama
40
yang tertera. Tak sampai semenit, sepasang mata hitam
pekatnya berhenti pada sebuah nama. Cukup lama dia
menatap. Nama itulah yang menjadi alasan utama lelaki
ini merasa teramat rindu dan membuatnya berziarah
lagi. Nama itu, I Dewa Nyoman Oka.
Setelah memandang lamat-lamat nama
tersebut, dia memutar balik badannya dan masuk ke
dalam komplek pemakaman. Ratusan nisan berjejer rapi
seolah menjadi pelengkap sunyi. Beberapa pohon
cemara berjajar di sepanjang tembok makam. Juga ada
pohon palem dan tanaman bonsai dengan warna
dominan hijau. Ditapakinya marmer berwarna selang
seling hitam dan coklat. Di situlah biasanya digelar
upacara peringatan Hari Pahlawan setiap tanggal 10
November. Di bagian tengah pekuburan, ada beberapa
makam yang teduh karena ditutupi atap sirap. Tempat
Jenderal Sudirman bersemayam. Dia melihat beberapa
lelaki perawat makam beristirahat setelah bekerja.
Bersembunyi dari panas matahari. Ada yang asik
berbaring di lantai sambil mengepulkan asap rokoknya.
Si lelaki menyapa mereka. Sapaan yang lembut. Dibalas
senyuman lembut pula, khas Jogjakarta.
41
Lelaki itu akhirnya sampai di bagian terdepan.
Menuju nisan yang telah dihapalnya. Di nisan itu tertulis
Dewa Njoman Oka. Berurutan ke bawah, Angg Pol.
Negara. Gugur 7 – 11 – 45. A-119. Di atas huruf-huruf
berwarna merah tersebut terukir lambang kepolisian.
Nyaris air matanya menetes saat membungkukan
badan, menempelkan tangan kiri ke batu nisan.
***
I Dewa Nyoman Oka adalah satu dari 21
pejuang yang gugur dalam Penyerbuan Kotabaru,
Jogjakarta pada 7 Oktober 1945. Setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus, di beberapa wilayah Republik
Indonesia tentara Jepang masih bercokol, termasuk di
Jogjakarta. Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan
beberapa orang pemuda kemudian melakukan
perundingan agar tentara Jepang menyerahkan senjata
dan meninggalkan kota itu.
Sebelum perundingan dilakukan, para pemuda
sudah merancang penyerbuan ke kawasan Kotabaru.
Kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk,
42
Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan akan bertemu pada
5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sederet
rencana menguasai markas pasukan Jepang.
Sebetulnya, taktik yang telah disepakati adalah
berunding dan melucuti senjata dengan damai. Namun
jika cara itu buntu, mereka terpaksa membidas markas
Kidobutai. Proklamasi 17 Agustus yang telah
dikumandangkan oleh Soekarno menjadi penyemangat
mereka. Negeri ini sudah merdeka. Penjajah seharusnya
hengkang.
Para pemuda berbagi tugas. Ada yang
menyiapkan senjata, meski seadanya. Pemimpin dipilih
dari masing-masing kelompok. Mereka merancang
strategi mencegat perjalanan kereta api dari dan ke
Jogjakarta. Demi antisipasi bila bala bantuan Kidobutai
didatangkan dari luar kota. Aliran listrik di wilayah
Kotabaru diputus. Para perempuan dan anak-anak di
wilayah sekitar dilarang berkeliaran di luar rumah.
Tujuan sudah bulat. Jepang harus minggat.
Rencana penyerbuan ini disebarluaskan ke
wilayah luar kota Jogjakarta. Menyulut semangat para
pemuda dari luar kota untuk bergabung. Pemuda-
43
pemuda dari Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, segera
berangkat ke kota untuk merapat. Selain itu, tidak
sedikit pemuda dari Desa Sidokarto dan Godean di
Kabupaten Sleman mengikutkan diri.
Markas Osha Butai di Kotabaru harus direbut.
Menyusul aneksasi di beberapa lokasi lain pada waktu-
waktu sebelumnya. Sebut saja, misalnya, beberapa
kantor dan jawatan telah dikuasai oleh pemuda dan
rakyat Jogjakarta. Pada tanggal 5 Oktober, gedung
Cokan Kantai berhasil dirampas dan dijadikan kantor
Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan
Kantai, kini dikenal sebagai Gedung Agung, letaknya
tepat di ujung selatan Jalan Ahmad Yani yang dahulu
dikenal sebagai Jalan Malioboro, atau persis di
perempatan Nol Kilometer.
6 Oktober 1945. Saat senja mengambang di
Jogjakarta, perundingan dilakukan. Para pemuda yang
tidak ikut berunding harap-harap cemas. Mereka
berkumpul di sekitar markas yang masih dikuasi
Kidobutai. Perundingan berlangsung alot. Para wakil
pemuda atas nama BKR diwakili oleh Mohammad Saleh,
R.P. Sudarsono dan Bardosono. Sedangkan dari pihak
44
Jepang diwakili oleh Butaico Mayor Otsuka Kenpetai
Sasaki, Kapten Ito dan Kiambuco. Ketika itu, sore di
Kotabaru adalah sore yang paling mendebarkan.
***
Nun di bagian yang lain, di sebuah rumah
sederhana, seorang perempuan muda tak berhenti
memikirkan suaminya. Ayu perawakan Jawa yang
terukir di wajahnya tak bisa menyembunyikan raut
kecemasan. Berulang kali perempuan itu mengikat
rambutnya yang panjang, mengurainya, mengikatnya
kembali. Dia menerima risiko memiliki suami seorang
pejuang di masa kemerdekaan. Perempuan itu
mendesah. Mencoba tersenyum. Meski gundah, tapi
senyum itu manis sekali. Lengkung senyum di bibir
inilah yang telah membuat seorang pemuda Bali
terpikat dan menikahinya.
Dia bukan suami biasa. Tapi seorang pemuda
yang mendapat mandat untuk menggunakan seragam
polisi karena telah ikut berjuang merebut kemerdekaan.
Malam sebelumnya, sang suami seharusnya berada di
45
rumah. Memang dia pulang, tapi kembali berpamitan.
Katanya, teman yang semestinya mendapat jadwal
piket sedang sakit. Di sinilah kecemasan perempuan
Jawa itu menjadi-jadi. Dia sudah mendengar peristiwa
pendudukan oleh pemuda di beberapa wilayah pada
hari-hari sebelumnya. Kemungkinan kontak senjata
terjadi. Erat dipeluknya si suami.
“Bli pasti pulang kan?” dalam pelukan, sang istri
memohon. Yang dipeluk tidak menjawab. Pertanyaan
yang memang tak seharusnya dijawab pada saat
peperangan. Suami memilih untuk mencium kening
istri.Matanya terpejam. Membiarkan bibir suami
mendarat cukup lama di keningnya. Ciuman yang begitu
lembut. Tak pernah ia merasakan ciuman selembut itu
sebelumnya. Hingga akhirnya sang istri sadar, itulah
pelukan dan ciuman lembut terakhir yang ia rasakan
dari suami tercinta. I Dewa Nyoman Oka berangkat.
Dia tak memiliki senjata api. Tapi keberaniannya tak
tertandingi.
***
Perundingan menemui jalan buntu. Pukul tiga
46
dini hari, sebuah granat yang meledak sekaligus
menjadi pertanda penyerbuan. 7 Oktober, pertempuran
pun pecah. Pemuda, BKR, Polisi Negara, masyarakat
Jogja dan sekitarnya yang sebelumnya telah mengambil
kata sepakat, berbahu-bahu saling membantu merebut
markas Kotabaru. Suara senjata berdesing. Granat
meledak. Orang-orang mengendap. Parang, tombak,
parang terhunus. Beberapa orang gugur. Begitu juga
dari pihak lawan. Seorang polisi negara yang semalam
baru saja mencium lembut kening istrinya maju
dibarisan terdepan. Tak ada rasa gentar. Berjuang
sampai titik darah penghabisan.
Apa yang diharapkan terjadi. Pukul 10 pagi
Jepang menyerah. Ratusan Kidobutai ditahan. Senjata
militer Jepang berhasil dikuasai. Bendera matahari
terbit diturunkan, sang Merah Putih dikibarkan.
Pengorbanan yang tak sia-sia meski kenyataan harus
diterima: ada 21 satu pejuang Indonesia gugur di medan
pertempuran. Salah satunya bernama I Dewa Nyoman
Oka.
***
47
Lelaki itu masih membungkuk di depan nisan I
Dewa Nyoman Oka. Dia satu-satunya anggota polisi
Negara yang gugur dalam pertempuran Kotabaru. Dia
meraih segenggam kembang. Ditaburnya di atas
makam. Kemudian dia bersimpuh. Berdoa kepada Yang
Maha Kuasa untuk ketenangan seorang pemberani
yang telah berjuang mengusir penjajah dari negeri ini.
Suasana sekitar makam begitu hening. Cuaca panas
tak dia hiraukan. Polisi negara yang hanya dia dengar
dari cerita neneknya, menjadi orang yang paling
menginspirasi dirinya. Tak ada yang bisa meragukan
betapa cinta lelaki itu pada I Dewa Nyoman Oka. Kelak,
kisah heroik Mbah Oka sang istri pejuang itu menjadi
hal yang paling berharga dalam dirinya ketika menjalani
kehidupan dewasa.
“Hendy, kakekmu sangat mencintai bangsa ini.
Mati pun akan ia hadapi. Dan ia benar-benar mati untuk
bangsa ini. Mbah berharap, kamu, juga saudara-
saudaramu, keturunan I Dewa Nyoman Oka, memiliki
keberanian dan kecintaan yang sama seperti kakekmu
mencintai negaranya.”
Terngiang pesan neneknya dulu. Kini, airmata
48
lelaki itu benar-benar jatuh dari pelupuknya, mengalir
melewati pipi dan jatuh di tanah pemakaman.
Selesai berdoa, Hendy, lelaki itu, beranjak.
Meninggalkan makam dengan kenangan masa lalu dan
semangat membara menghadapi masa depan.
49
Pontianak, 1976.
“Mbah Oka, ayo mendongeng lagi tentang
kakek,” kata Hendy merengek.
Bocah kecil itu menggoyangkan kedua kaki
neneknya. Mbah Oka, meskipun sudah tua, namun
gerakannya masih energik. Perempuan berdarah asli
Jawa tersebut bernama Sugiharti. Menikah dengan
seorang pahlawan dari Bali dan tetap bangga
menyandang nama belakang suaminya. Sugiharti Oka,
demikian dia memperkenalkan diri kepada orang-orang.
Ketika Sugiharti Oka memiliki cucu, dia lebih senang
dipanggil”Mbah Oka”.
Tujuh
Dongeng Tentang Kakek
50
“Biar keturunan keluarga ini terus menghargai
dan meniru jiwa patriot sang kakek,” katanya suatu hari.
Hendy masih sering melihat Mbah Oka menyapu
halaman, menyingkirkan daun-daun kering yang jatuh
dari pohon. Atau sekali dua Mbah Oka tak segan
membereskan mainan yang berantakan ulah Hendy
kakak beradik. Dalam keseharian, Mbah Oka tak banyak
bicara. Tapi kalau sudah bercerita tentang almarhum
suaminya, mulut keriput itu enggan berhenti. Ingatan
tentang pujaan hatinya begitu kuat. Tetap melekat. Tak
peduli dengan angka-angka almanak yang terus
bertanggalan. Lagipula merawat cerita tentang kakek
kepada cucu-cucunya adalah salah satu cara tetap
mencintai almarhum, sekaligus menyayangi
keturunannya. Sebab dalam darah mereka, juga
mengalir darah I Dewa Nyoman Oka. Dan Hendy adalah
cucu yang paling menyukai cara Mbah Oka berkisah.
Tak mau tidur kalau Mbah Oka belum bercerita. Tak
mau makan kalau Mbah Oka belum bercerita.
Hendy dilahirkan di Kota Pontianak, anak kelima
dari enam bersaudara. Dua saudara tertua lahir di
51
Jogjakarta sebab waktu itu kedua orang tuanya masih
tinggal di sana. Sedangkan anak ketiga, empat, lima,
dan enam lahir di Pontianak. Ketika orang tua Hendy
memutuskan pindah ke Pontianak, Mbah Oka ikut serta.
Ayah Hendy merupakan putra asli daerah di
mana garis khatulistiwa dan sungai terpanjang
membentang. Ibunya adalah perempuan campuran Bali-
Jawa yang lahir di Jogjakarta. Kakek sudah lama
meninggal. Dia gugur sebagai pahlawan karena
pertempuran melawan Jepang. Dari mulut Mbah Oka,
Hendy banyak mendengar cerita tentang kakek.
“Kakekmu itu bukan hanya pahlawan bangsa ini,
tapi karakter dan kepribadiannya adalah penyemangat
keluarga besar kita,” kata Mbah Oka meraih kepala
Hendy. Tangannya yang tak mulus lagi mengusap
rambut bocah itu. Yang diusap memejamkan mata
tetapi tidak tidur. Dia takzim mendengarkan cerita Mbah
Oka.
“Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober 1945
waktu kakek menjabat polisi negara,” Mbah Oka
memulai cerita. “Malam itu harusnya kakekmu pulang
52
ke rumah dan tidak keluar lagi sebab jam piketnya sudah
berakhir. Tapi temannya sakit. Kakekmu orang baik. Dia
mau berkorban. Akhirnya kakek kembali pergi keluar
menggantikan temannya,” Mbah Oka membetulkan
posisi duduk. Kepala Hendy disandarkan ke
pangkuannya. Pada momen-momen seperti inilah
Hendy selalu merasa tentram bersama Mbah Oka. Ada
semangat dalam setiap kata yang dituturkan. Kelak,
kisah-kisah inilah yang menjadi inspirasi hidup Hendy.
Mbah Oka selalu mengenang peristiwa
pertempuran itu. Orang-orang hari ini menyebutnya
Penyerbuan Kotabaru Jogjakarta. “Di antara banyak
pejuang, ada seorang lelaki. Dia pegawai polisi biasa
bernama I Dewa Nyoman Oka,” ujar nenek lirih.
Mendengar nama itu, Hendy lalu bangkit dari pangkuan
neneknya. Nama itu sudah akrab di telinga sejak lama.
Mbah Oka kerap menyebutnya setiap kali dia bercerita.
Nama I Dewa Nyoman Oka tak hanya didengar
Hendy dari Mbah Oka. Ibunya juga sering melisankan
nama yang sama. Ternyata dua perempuan kebanggaan
Hendy sampai hari kiamat itu, memiliki kecintaan yang
luar biasa besar pada kakeknya.
53
Sambil meraih cangkir berisi teh poci, Mbah Oka
berdiri. Gula batu yang terhidang di meja ia abaikan.
Tidak ikut ia celupkan ke dalam gelas.
“Hidup ini udah manis, ndak perlu kita minum
yang manis manis,” kata Mbah Oka tersenyum
menghibur diri. Padahal dokter memang tidak
membolehkan neneknya mengonsumsi makanan dan
minuman yang terlalu manis. Hendy yang masih kecil
juga ikut tersenyum. Mbah Oka memandang wajahnya,
kembali tersenyum. Sungguh, senyum yang manis.
Setelah berkelakar, Mbah Oka mengambil jarak
dari Hendy beberapa langkah. Dia membiarkan cucunya
melihat dengan takjub. Kali ini, dia seperti bermain
drama. Raut yang renta berusaha ia sembunyikan. Ada
perangai gagah di sana. Kemudian dia menirukan suara.
Suara laki-laki. Nenek bermonolog. Mengubah warna
suara dari tenggorokan, berganti menjadi dua karakter.
Keduanya lelaki. Laki-laki yang pada waktu itu
menghadapi masa-masa sulit di era awal kemerdekaan
dan pengusiran tentara Jepang.
“Sukarno, Hatta, Syahrir mewujudkan
kemerdekaan negara ini tidak hanya dalam satu malam.
54
Mereka bukan tokoh-tokoh dongeng seperti
Sangkuriang ataupun Jaka Tarub, melainkan manusia-
manusia yang punya kesungguhan luar biasa untuk
membebaskan bangsa kita dari belenggu kolonialisme.
Sekarang kemerdekaan itu sudah diproklamirkan.
Banyak nyawa melayang. Darah di mana-mana. Orang-
orang kelaparan. Sudah sepantasnya kita berjuang
dengan kesungguhan untuk mempertahankan
kemerdekaan,” ucap karakter pertama yang berperan
sebagai tentara. Suara nenek terdengar berat penuh
semangat.
“Tentara Jepang masih berada di wilayah kita.
Apapun yang terjadi, kita harus mengusir Jepang,” suara
kedua lebih ringan dari sebelumnya. Tapi tak kalah
tegas. Ini adalah karakter suara kakek yang ditirukan
Mbah Oka. Hendy yang menyaksikan pertunjukan
monolog itu menyunggingkan bibir. Bocah itu terhibur.
Diam-diam Hendy bertekad, kelak ketika dewasa,
semangat juang itu tak akan pernah ia biarkan lolos
dari darahnya.
“Dia kakekku. Pejuang bangsa ini. Namanya I
Dewa Nyoman Oka!” teriak Hendy ikut bermain drama.
55
Gantian sang nenek yang tersenyum. Kedua orang
tersebut berpelukan. Berbagi kasih sayang abadi.
56
Pergerakan tentu lahir Toh… diberi hak-hak atau
tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi
pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat,-
tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak
boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya
bangun, pasti akhirnya menggerakan tenaganya, kalau
ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri
teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi
manusia, jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu
begerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!
Seluruh riwayat dunia adalah riwayat golongan-
golongan manusia atau bangsa-bangsa yang bergerak
menghindarkan diri dari sesuatu keadaan yang celaka;
seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert
Spencer, adalah riwayat “reactief verzet van verdrukte
Delapan
Kelahiran
57
elementen”! Kita ingat pergerakan Yesus Kristus dan
agama Kristen yang menghindarkan rakyat-rakyat
Yahudi dan rakyat-rakyat Lautan Tengah dari bawah kaki
burung garuda Roma; kita ingat perjuangan rakyat
Belanda yang menghindarkan diri dari bawah tindasan
Spanyol; kita ingat pergerakan-pergerakan demokrasi
kewargaan (burgerlijke democratie) yang
menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada akhir abad ke-
18 dan awal abad ke-19 dari tindasan autokrasi dan
absolutisme, kita menjadi saksi atas hebatnya
pergerakan-pergerakan sosialisme yang mau
menggugurkan tahta kapitalisme; kita mengetahui
pergerakan Mesir di bawah pimpinan Arabia dan Zaglul
Pasha beserta pergerakan rakyat India di bawah
pimpinan Tilak atau Gandhi melawan ketamakan asing;
kita mengetahui perjuangan rakyat tiongkok
menjatuhkan absolutisme Mancu dan melawan
imperialisme Barat; kita telah bertahun-tahun melihat
seluruh dunia Asia bergelora sebagai lautan mendidih
menentang imperialisme asing, – tidaklah ini memang
sudah terbawa oleh hakekat keadaan, tidaklah ini
memang sudah terbawa oleh nafsu mempertahankan
dan melindungi diri atau nafsu zelfbehoud yang ada
pada tiap-tiap sesuatu yang bernyawa, tidaklah ini
memang sudah “reactief verzet van verdrukte
elemeten” itu? Rakyat Indonesia pun sekarang sejak
58
1908 sudah berbangkit; nafsu menyelamatkan diri
sekarang sejak 1908 sudah menitis juga
kepadanya!(Cuplikan naskah Pledoi Indonesia
Menggugat, Ir. Soekarno)
Koesno Sosrodihardjo nama seorang bayi yang
dilahirkan di Blitar pada6 Juni 1901. Sejak lahir bayi ini
sering sakit. Bapak dari bayi ini seorang Jawa, ibunya
berasal dari Buleleng, Bali. Sebagai orang Jawa,
mendapati kenyataan anaknya sering sakit-sakitan,
sang Bapak merasa perlu mengganti nama. Dipilihlah
nama seorang ksatria. Dengan harapan anak ini
menjadi pemberani dan tak lagi penyakitan. Ksatria
yang dipilih adalah Karna. Seorang panglima perang
dalam kisah pewayangan Barata Yudha. Nama Karna
ditambah awalan “soe” yang dalam bahasa Jawa kuno
berarti keindahan atau kebaikan. Maka ketika Koesno
berusia lima tahun resmilah namanya berganti menjadi
Soekarna, dalam penyebutan Jawa ditulis Soekarno.
Meskipun sudah berganti nama, Soekarno masih
sesekali sakit-sakitan. Tapi apa yang diharapkan kedua
orang tuanya tetap terjadi. Soekarno tumbuh menjadi
59
anak pemberani. Berani belajar banyak hal adalah
bukti.
Waktu itu Soekarno masih berusia 14 tahun.
Oemar Said Tjokriaminoto, kawan akrab bapaknya,
mengajak Soekarno ke Surabaya. Dia disekolahkan di
Hoogere Burger School (H.B.S.). Di Surabaya, Soekarno
banyak bertemu dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam,
organisasi yang dipimpin oleh Tjokroaminoto pada saat
itu. Pertemuan dengan orang-orang penting inilah yang
kemudian membuat Soekarno memutuskan bergabung
dengan organisasi pemuda Jawa. Jong Java.
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan
ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung,
dan tamat tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno
berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr.
Douwes Dekker, yang saat itu memimpin National
Indische Partij. Tahun 1926, Soekarno mendirikan
Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini
menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang didirikan pada 1927. Namun, kegiatan politik
Soekarno dianggap terlalu berbahaya. Dia mengusung
60
cita-cita kemerdekaan sehingga pemerintah Hindia
Belanda memutuskan menjebloskan anak muda ini ke
penjara. Pada 29 Desember 1929, Soekarno ditangkap
di Jogjakarta. Keesokan harinya dipindahkan ke
Bandung. Dia harus mendekam di penjara Banceuy.
Tahun 1930 Soekarno dioper lagi ke penjara Sukamiskin.
Di penjara inilah kemudian pemuda berbahaya tersebut
menulis naskah pledoi yang fenomenal berjudul
Indonesia Menggugat.
Pledoi Indonesia Menggugat menggemparkan
pengadilan saat itu. Soekarno berteriak lantang. Dia
menuntut kemerdekaan. Tak dipungkiri, kebebasan
memang mahal harganya. Ada darah yang harus
tumpah. Tapi perjuangan bersama sejumlah pemuda
membuahkan hasil. 17 Agustus 1945, Proklamasi
dibacakan. Pembaca naskah adalah Soekarno, seorang
pemuda dari Blitar. Didampingi pemuda cerdas dari
Bukittinggi, Mohammad Hatta.
Tak butuh waktu lama, nama Soekarno semakin
harum. Bayi penyakitan ini telah menjelma menjadi
Karna, dengan jabatan Presiden Republik Indonesia
61
pertama. Naskah-naskah yang ditulis Soekarno di masa
pra kemerdekaan tersebar. Pemikirannya diajarkan di
mana-mana. Soekarno, PNI, Marhaenisme, Pledoi
Indonesia Menggugat, pada waktu-waktu berikutnya
menjadi inspirasi dan dikagumi jutaan manusia di
seantero negeri.
Termasuk seorang putra bungsu dari enam
bersaudara yang memiliki darah pejuang. Dia berasal
dari Darit, sebuah daerah terpencil di pelosok Borneo
bagian barat. Anak ini mengagung-agungkan ajaran
Soekarno. Bahkan pledoi Indonesia Menggugat ikut
mengantarkannya menjadi seorang mahasiswa di
Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada (UGM)
Jogjakarta. Putra bungsu ini bernama Mahmud Akil.
Ayahnya bernama Kimas Akil.
Sungguh, sejak kecil Mahmud Akil ingin sekali
sekolah tinggi. Baginya membaca teks dan membaca
makna dalam tiap pertemuan dengan orang-orang baru
adalah pengetahuan yang tak dapat tergantikan dengan
materi. Ketika sebagian saudaranya hanya lulusan
sekolah dasar, bahkan ada yang tidak mengenyam
62
bangku sekolah formal, Mahmud Akil berkeras
melanjutkan sekolah menengah pertama yang pada
waktu itu hanya ada di Kota Pontianak.
Dia memutuskan hijrah ke Kota Pontianak. Di
kota ini sebetulnya ada kerabat yang mau menampung.
Tapi dia memutuskan indekos. Akil ingin belajar hidup
mandiri. Semakin banyak bahan bacaan yang ia temui
di Pontianak, ia semakin haus. Rasa penasaran dengan
Soekarno membuatnya bertekad kembali merantau.
Setamat SMP, Mahmud Akil menyeberang ke Pulau
Jawa. Kota Jogjakarta tujuannya, SMA BOPKRI nama
sekolahnya. Fakultas Hukum UGM ia pilih setelah tamat
SMA. Di kampus biru ini Mahmud Akil belajar ilmu
hukum. Mendalami lebih serius teks Indonesia
Menggugat, Marhaenisme, dan PNI.
Di Jogjakarta, Mahmud Akil bertemu dengan
seorang dara cantik keturunan Bali – Jogjakarta
bernama Tri Puspitawati. Romantisme hadir. Mereka
memutuskan menikah. Padahal Mahmud Akil belum
juga selesai kuliah. Ada banyak kesamaan ia temukan.
Soekarno adalah lelaki keturunan Jawa-Bali. Tri
Puspitawati adalah keturunan Jawa-Bali. Mahmud Akil
63
adalah keturunan pejuang Landak yang namanya
diabadikan menjadi nama jalan. Puspitawati adalah
keturunan pejuang kemerdekaan, yang namanya juga
menjadi nama jalan di wilayah Kotabaru, Jogjakarta.
Barangkali semua itu tidak ada kaitannya sama
sekali. Barangkali hanya kebetulan belaka. Tapi, darah
pejuang yang mengalir dalam dirinya dan sang istri,
membuat Mahmud Akil ingin hidup menjadi manusia
yang tak pernah berhenti berjuang. Hidup dengan
sesama, berarti memperjuangkan nasib sesama. Dan
cinta adalah jalan berharga untuk mewujudkan itu.
Kelak, pada suatu masa, seorang anak mereka akan
menangis haru ketika menemukan surat cinta kedua
orang tuanya.
Perjuangan dan cinta membuat Mahmud Akil
memutuskan kembali ke tanah kelahiran. Di Pontianak,
dia bergabung dengan berbagai macam organisasi.
Termasuk PNI Kalimantan Barat. Dalam waktu tidak
terlalu lama, Ia diangkat menjadi pemimpin daerah
partai politik yang didirikan oleh Soekarno tersebut.
****
64
Tanggal 17 Agustus 1970. Entah mengapa Akil
merasa ini adalah hari istimewa. Ia akan menjadi
pemimpin upacara kemerdekaan di kantor PNI
Kalimantan Barat. Istrinya sedang hamil tua.
Sesungguhnya, keluarganya sudah mengingatkan agar
dia tidak pergi ke kantor. Anak kelimanya diperkirakan
akan lahir. Tapi Mahmud Akil berkeras. Hari
Kemerdekaan harus diperingati. Inilah hari di mana
Soekarno membacakan naskah Proklamasi. Baru dua
bulan lalu Soekarno meninggal dunia. Dan ini adalah
17 Agustus pertama yang dilalui bangsa Indonesia
setelah sang proklamator dikebumikan. Mahmud Akil
memutuskan berangkat.
Sebelum bertolak, Akil memandangi wajah ayu
Puspita. Tangannya mengusap lembut perut
buntingnya.
“Nak, ayah berangkat dulu. Kau baik-baik di
dalam perut Ibu, ya. Ayah harus membacakan naskah
Proklamasi. Doakan nanti suara Ayah mirip Soekarno,
ya?”
Akil mencium perut Puspita. Lembut.
Puspitawati tersenyum. Mengusap kepala suaminya.
65
Dengan motor butut Mahmud Akil meluncur
menuju kantor PNI. Upacara berlangsung khidmat.
Tegas Mahmud Akil membacakan teks Proklamasi.
Ketegasan yang tidak berbanding dengan kegundahan
hati memikirkan istri tercinta di rumah. Benar. Tak lama
setelah memimpin upacara, dari kejauhan Mahmud Akil
melihat kakak kandungnya, Aliman, tergesa-gesa
mengayuh sepeda. Tak peduli dengan keringat yang
mengucur, Aliman berteriak: “Anakmu sudah lahir!”
Akil gembira bukan buatan. Sepeda ditinggal
saja di kantor PNI. Bersama Aliman, dia buru-buru
pulang. Tidak ke rumah, tapi Rumah Sakit.
“Di mana anak saya? Di mana anak saya?”
tanya Mahmud Akil tergopoh-gopoh.
“Tenang,” kata bidan, “anakmu lahir dengan
selamat. Tangisnya begitu keras. Sekarang dia sedang
bersama ibunya. Sana masuk.”
Bidan tak mendengar jawaban Akil. Dia sudah
menghilang, buru-buru masuk ke dalam.
Gemuruh di dada Mahmud Akil begitu kencang.
Puspitawati terkulai lemah. Setelah mencium lembut
kening istri, Akil mengusap ubun-ubun jabang bayi. Tak
66
seperti orang-orang Melayu kebanyakan yang memberi
nama anak mereka beberapa hari setelah kelahiran,
Mahmud Akil, hari itu juga, pada tanggal 17 Agustus
1970 tanpa ragu menyebutkan sebuah nama. Mahmud
Akil Marhaen Putra.
Puspitawati protes. Protes lembut seorang istri.
“Ayah, apa sebaiknya Marhaen diganti saja?”
“Bu, Anak kita ini lahir di hari Proklamasi.
Soekarno, Ibu. Soekarno. Anak kita ini akan mewarisi
sifat-sifat pemimpin bangsa itu.”
“Iya, ibu paham. Tapi kenapa harus Marhaen?”
tanya Puspitawati sambil mendesah pelan. Tubuhnya
masih lemas. “Bagaimana kalau kita gabungkan
dengan nuansa Bali juga. Sama seperti saudara-
saudaranya terdahulu. Ayah tidak boleh lupa, Ibu punya
keturunan Bali. Seperti Soekarno. Bukannya Ayah sendiri
yang sering bilang begitu?”
Kedua tangan suami istri tersebut saling
genggam. Akil luluh.
“Ibu punya ide?”
“Bagaimana kalau kata Marhaen kita ganti
menjadi Mahendra saja? Mirip. Seperti nama Bali juga,
67
kan?” usul Puspitawati sambil tersenyum.
Senyum Puspitawati adalah senyum
kemenangan. Senyum seorang perempuan. Senyum
seorang istri. Senyum seorang ibu. Akil setuju. Anak
itu pun lahir dengan nama Mud’A Mahendra Putra.
Mud’A adalah singkatan dari Mahmud Akil. Bayi
Proklamasi ini dikenal dengan nama Muda
Mahendrawan. Dia dipanggil Hendy.
68
Pagi belum sempurna. Kota tua Jogja masih
lengang. Di jalan, hanya ada satu dua mobil
berseliweran. Motor juga tak banyak. Sisanya orang-
orang bersepeda bergegas menuju tempat kerja.
Beberapa andong, juga becak, ikut serta menghiasi pagi
dengan aroma embun yang masih terasa. Matahari di
sebelah timur masih ragu muncul. Dingin masih
menyergap. Kokok ayam masih bersahut-sahutan.
Seperti biasanya, Puspitawati bersiap. Setelah
menyelesaikan pekerjaan rumah, menanak nasi,
memindahkan air di sumur ke bak mandi, menyapu dan
mengepel lantai. Untuk pekerjaan rumah ini,
Puspitawati berbagi tugas dengan Sari, adiknya. Jam
Sembilan
Pertemuan
69
empat subuh mereka sudah terjaga. Sholat, kemudian
melakukan rutinitas seperti biasanya.
Setamat SMP, Puspitawati melanjutkan
sekolahnya di Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP).
Ia yang minta kepada ibunya agar disekolahkan di sana.
Sejak kecil ia memang sudah tertarik dengan dunia
keputrian. Memasak, menjahit, juga kerajinan. Darah
Bali yang mengalir di tubuhnya ikut berpengaruh dalam
cara pandangnya memperlakukan sesuatu dengan
indah. Ia adalah anak pejuang yang juga menghargai
kesenian. Estetis. Dan SGKP adalah pilihan. Ia ingin bisa
menjahit juga bisa menciptakan berbagai kerajinan.
Kelak, jika nanti menikah, Puspitawati ingin memiliki
rumah dengan ornamen Bali. Ia sendiri yang akan
mendesain, merawat pernak-perniknya. Ia ingin bisa
selalu dekat dengan ayahnya, seorang Polisi Negara
yang tewas di medan pertempuran saat usianya baru
dua tahun.
Sebagai anak yang tumbuh besar tanpa seorang
ayah, jelas Puspitawati sering disergap rindu. Sejak
masih kecil ia hanya akrab dengan kasih sayang seorang
70
ibu. Ayahnya hanya ia kenal lewat cerita-cerita ibu,
paman, juga kerabat lainnya. Setiap harinya Puspitawati
benar-benar mendamba seorang ayah. Hingga
kemudian ketika ia remaja, mulai mengenal cinta, ia
mendamba dinikahi lelaki yang bisa mewakili karakter
ayahnya. Pecinta dan juga pejuang.Seorang lelaki yang
melankolis, juga seorang pekerja keras. Seorang
pendamping yang lembut di keluarga, juga tegas di
tempat tugas.
Pagi itu Puspitawati berjalan menerabas cuaca
dingin Kota Jogja. Dari rumahnya di daerah
Mangkukusuman, Puspitawati tak ingin terburu-buru
sampai ke SGKP di wilayah Lempuyangan. Santai ia
melenggang. Sesekali berhenti demi menikmati kupu-
kupu yang bercanda dengan ilalang. Juga membalas
sapaan simbok penjual gudeg di pinggir jalan.
Rambutnya dibiarkan tergerai panjang. Tak ada
make up di wajahnya. Tapi wajah itu begitu manis.
Gurat-gurat ayu wanita Jawa dari darah ibunya
mengabadi dalam paras Puspita. Beberapa kali, wajah
ayu itu sempat memaksa jejaka yang mengayuh sepeda
memutar balik lehernya 180 derajat, bahkan ada lelaki
71
yang menabrak pohon akasia di pinggir jalan. Dalam
momen-momen seperti ini, Puspitawati tak enggan
melepas senyum. Digoda beberapa lelaki, selama
dengan sopan, remaja cantik jelita ini pun berusaha
merespon dengan sopan pula.
Puspitawati sadar, ia bukan lagi anak kecil.
Hidungnya yang bangir, matanya yang teduh,
rambutnya yang panjang berwarna pekat, kulit langsat,
telah membuat banyak lelaki terpikat. Tapi ada satu
lelaki yang membuatnya selalu gagal menata degup
jantung. Sebagai remaja ia sudah sering digoda. Sebut
saja pemuda di lingkungan Kadipaten Pakualaman,
para lelaki teman sekolah, pegawai kereta api
Lempuyangan, lelaki bersepeda yang lewat di jalan
raya, semuanya bisa dihadapi dengan tenang. Sesekali
jika ia merasa terganggu dengan lelaki usil, juga bisa
ia hadapi. Tapi tidak dengan lelaki satu ini. Laki-laki
yang ia temui ketika langkah kakinya melewati jalan
dr. Sutomo, tepatnya di depan indekos putra. Jantungnya
berdegup aneh. Darahnya berdesir aneh. Lenggangnya
menuju sekolah juga tiba-tiba menjadi aneh. Seorang
lelaki telah memikat. Puspitawati telah terpikat.
72
Indekos putra? Padahal sepanjang jalan dari
Mangkukusuman menuju Lempuyangan, Puspitawati
banyak melewati rumah-rumah besar bergaya kolonial
juga rumah-rumah pribumi ningrat. Tak jarang pula,
beberapa lelaki dari rumah-rumah tersebut bersiul-siul
saat ia lewat. Jelas, di tahun 60-an, hanya lelaki kaya
yang berani memproklamirkan diri sebagai pengganggu
wanita. Sisanya, yang miskin, hanya bisa pasrah. Tapi
kenapa ia justru berdebar saat melewati rumah kos yang
isinya rata-rata mahasiswa dari daerah yang sering
kehabisan uang sebab kiriman dari kampung belum juga
datang?
Di situ, di indekos jalan dr. Sutomo, pagi itu,
mata Puspitawati menabrak mata seorang lelaki.
Usianya beberapa tahun lebih tua. Lelaki itu, berwajah
tirus. Matanya tajam menikam. Tapi mengisyaratkan
melankolia yang dalam. Kurus tinggi namun perlente.
Peristiwa mata bertemu mata hanya terjadi dalam
beberapa detik. Tapi debar di dada Puspitawati terus
berlanjut hingga ia sampai sekolah.
Hari itu, ia ingin semua pelajaran dipercepat.
Ia mau pulang melewati indekos itu lagi. Sungguh
73
menyiksa. Raga dalam ruangan. Tapi pikiran dan
perasaan melayang pada pesona sekian detik saat
bertatapan dengan seseorang. Ah, waktu. Detik, menit
dan jam serupa kura-kura mendaki gunung.
Begitu jam sekolah berakhir, Puspita bergegas
pulang. Ia tak mengindahkan goda rayu lelaki pegawai
kereta. Seluruh perhatiannya hanya tercurah pada
rencana yang tadi ia susun. Secepatnya ke jalan dr.
Sutomo. Lalu, saat melewati depan indekos, ia akan
berjalan dengan sebaik-baiknya cara berjalan. Ekor
matanya akan menyimak keadaan. Jika lelaki itu ada,
pada langkah yang tepat, ia akan menoleh sejenak.
Akan ia resapi lagi pesona sekaligus aniaya ajaib
tabrakan mata. Tadi pagi, tak terduga sama sekali. Kali
ini, Puspitawati bersiap diri.
Lewat di depan indekos putra, debar di dadanya
semakin menggila. Tapi ekor matanya gagal
menemukan mata tajam lelaki. Bahkan ketika ia
bersengaja menoleh, sosok lelaki yang menggetarkan
hati tak ia jumpai.
Puspitawati pulang ke rumah dan ingin segera
esok pagi segera tiba.
74
Esok paginya, Puspitawati berangkat sekolah
dengan semangat tunaikan rencana kemarin. Semangat
ingin bertemu mata yang telah menabrak matanya.
Mata seorang lelaki dari indekos putra. Tapi apa nyata?
Melewati jalan dr. Sutomo, lelaki tirus itu tak ada. Ia
sedikit kecewa. Tapi tetap merawat debar dada yang
berbeda. Di hari ketiga, lagi-lagi Puspitawati
menemukan pintu indekos tertutup. Tak ada siapa-siapa
di sana. Hari kempat begitu lagi. Besoknya begitu lagi.
Lagi dan lagi.
Puspitawati ingin melupakannya. Mungkin
semua ini hanya kebetulan saja. Bisa jadi pertemuan
pertama waktu itu tak bermakna apa-apa. Barangkali
ia terlampau berharap bahwa lelaki itu bisa seseorang
yang istimewa untuknya.
Bukankah ia telah sering bertemu dengan
banyak lelaki sebelum ini? Tapi gadis remaja itu tak
bisa lupa. Walaupun hanya beberapa detik, mata lelaki
yang dilihatnya seperti punya cerita tersendiri.
Cerita awal mula yang mengajak berlanjut
menuju episode berikutnya. Suatu subuh, selesai sholat
wajib, ia berdoa agar kali ini kembali dipertemukan
75
dengan lelaki berwajah tirus dengan mata tajam
menikam. Menikam dalam.
Sugiharti, ibunya, menangkap gelagat aneh
Puspitawati.
“Nduk, kamu tidak apa-apa?”
“Kenapa memangnya, Ibu?” jawab Puspitawati
sembari menghindari tatap selidik ibunda tercinta.
“Sehat kamu, Nduk?”
“Sehat, Ibu.”
“Tidak sedang jatuh cinta?” tanya ibunya sambil
mengedipkan mata. Puspitawati tergamam. Beberapa
detik terdiam. Sari, adiknya, menyambar.
“Inggih ibu, Mbak Wati jatuh cinta. Masak udah
beberapa hari ini Sari dengar di dalam kamar mandi
Mbak Wati nyanyi lagu Sepasang Mata Bola. Suaranya
merdu sekali. Seperti suara seorang yang jatuh cinta.
Pasti ibu, pasti mba Wati sedang jatuh cinta.”
“Hus, Sari. Ngomong apa kamu?” Puspitawati
mendelik ke arah adiknya. Protes. Tapi dalam hati,
mengiyakan tuduhan telak itu.
“Hayo ngaku sama ibu,” desak Sari.
Ibu tersenyum. Puspitawati gugup.
76
“Mboten, kok, Bu. Mboten.”
Peristiwa dini hari di rumahnya membuat
Puspitawati malu. Dua perempuan yang dia sayangi,
ibu dan adiknya, telah mendakwanya jatuh cinta. Tak
bisa disanggah memang. Tapi Puspitawati kesal, masak
dia jatuh cinta dengan lelaki yang hanya ditemuinya
dalam beberapa detik?
Dalam malu dan kesal, Puspitawati kembali
melenggang menuju sekolah. Dia tak mau larut
memikirkan lelaki tirus yang tinggal di indekos jalan dr.
Sutomo. Kesal. Tak bisa. Lagi-lagi ia gagal
menyingkirkan lelaki dalam pikiran. Ia melewati tangsi
militer, seorang tentara meliriknya. Ganteng. Gagah
perkasa. Tapi tetap saja pikirannya ke lelaki tirus.
Sebuah andong lewat, berpenumpang siswa SMA
negeri. Juga menatapnya. Ganteng. Pergi sekolah naik
andong, pasti anak orang kaya. Tapi juga gagal merebut
hati Puspita yang sedang gundah gulana.
Di lain cerita. Kali ini kisah si lelaki tirus.
Sudah beberapa hari ini dia menunggu di ruang
tamu indekosnya. Awal kejadian, beberapa hari lalu,
secara tidak sengaja dia melihat seorang gadis
77
berangkat sekolah lewat di depan indekos.
Waktu itu dia akan berangkat kuliah. Dia jatuh
hati. Gadis itu sangat njawani. Semenjak pertemuan
itu, setiap pagi, dia selalu menunggu di ruang tamu
indekos. Mengintip dari balik tirai. Guna menyaksikan
lenggang seorang perempuan cantik. Ini peristiwa yang
asik sekali. Setiap pagi, gadis itu selalu menoleh ke
arah pintu rumah. Lelaki itu bersembunyi dari balik
jendela. Tirai terbuka sedikit. Dari dalam rumah, dia
tersenyum. Dia menyimpulkan perempuan itu
penasaran. Betapa tidak, sudah hampir seminggu,
selalu kepala si gadis menoleh ke pintu rumah.
Di kampus, peristiwa mendebarkan ini
diceritakannya kepada teman-teman kuliah.
“Aku ketemu cewek cantik,” katanya suatu hari
di kantin Fakultas Hukum UGM. Sontak saja
kawan-kawannya mengerubungi.
“Anak mana? Anak mana?”
“Anak Hukum juga? Atau Ekonomi?”
“Aatau anak Ilmu Budaya?”
“Atau jangan-jangan Akil jatuh cinta dengan
anak Filsafat?”
78
“Wah, kalau jatuh cinta dengan anak Filsafat,
bisa gawat. Bisa gila dia. Kasihan, jauh-jauh sekolah
dari Kalimantan, hanya berujung di rumah sakit jiwa
gara-gara jatuh cinta dengan anak Filsafat,” ujar satu
temannya menggoda. Yang lain terbahak-bahak.
“Bukan, bukan anak kampus, tapi anak SMA.”
Jawabnya.
“Hah? Anak SMA?”
Semua temannya terperanjat.
“Benar, tak pernah aku temukan gadis secantik
dia. Kalau mau gila, tak perlu menunggu jatuh cinta
dengan anak Filsafat. Sekarang pun aku sudah gila.
Gadis itu begitu menggoda.”
Cerita semakin menarik. Beberapa mahasiswa
lain ikut mendekat. Dia, lelaki itu bernama Mahmud
Akil, memang sejak semester awal terkenal memiliki
banyak teman. Wajar, jika cerita cinta di kantin kampus
membuat orang-orang merapat. Ini jarang terjadi.
Biasanya Akil menggebu-gebu berdiskusi di kampus soal
Soekarno, kondisi sosial, sosialisme, kapitalisme,
hukum pidana, perdata ataupun beragam tema tentang
pergerakan dan politik. Tapi kali ini, tentang perempuan cantik.
79
Di kampus, Mahmud Akil memang terkenal
sebagai lelaki yang ganteng. Banyak mahasiswa yang
mencandainya, bahwa seharusnya dia tidak kuliah di
fakultas Hukum, sebab anak Hukum terkenal dengan
dunia gerakan. Seharusnya dia masuk Fakultas Ekonomi,
di sana para mahasiswi cantik dan seksi, para lelakinya
juga rapi dan wangi. Tapi di Fakultas Hukum? Siapa
laki-laki rapi dan wangi kalau bukan Mahmud seorang.
Jauh hari sebelum di kampus, sebenarnya
Mahmud sudah menjadi idola para wanita ketika masih
berada di SMA. Lelaki ini berasal dari Kalimantan Barat.
Sejak kecil dia memang suka merantau demi mencari
ilmu. Di Kecamatan Darit, tempat asalnya, waktu itu
belum ada SMP. Orang-orang, termasuk lima kakak dan
abangnya hanya sampai di Sekolah Dasar atau Sekolah
Rakyat, bahkan sebagian tidak bersekolah. Tapi
Mahmud berbeda. Tamat SD dia berkeras pergi ke
Ibukota Provinsi, Pontianak. T iga tahun SMP di
Pontianak, dia ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. SMA, kali ini kota Jogja yang dituju,
SMA BOPKRI yang dipilih.
Di SMA BOPKRI inilah Mahmud menjadi idola.
80
Tak hanya cerdas di dalam kelas, tapi dia juga tampan.
Wajahnya menciptakan pesona tersendiri. Banyak gadis
kepincut. Cinta monyet tentu saja terjadi di SMA.
Berlanjut hingga kemudian dia terdaftar menjadi
mahasiswa Hukum di UGM. Barangkali waktu itu,
Mahmud adalah laki-laki dengan poling paling ganteng
sefakultas.
Kali ini mahasiswi-mahasiswi kampus
sepertinya harus kecewa. Sebab Mahmud telah
terpesona dengan gadis SMA.
“Siapa nama gadis itu?” tanya seorang teman
yang masih saja penasaran.
“Aku tidak tahu.”
“Lho, kok?”
“Ya, aku hanya sekali bertatapan langsung
dengannya saat dia hendak berangkat sekolah.Di hari-
hari berikutnya, dia tidak pernah bertemu denganku
lagi, sebab setiap pagi aku hanya mengintip dari balik
jendela.”
Tentu saja pengakuan Mahmud kali ini
membuat semua temannya yang tergelak. Terbahak-
bahak. Mereka tidak percaya bahwa Mahmud tak berani
81
menggoda. Tapi Mahmud membela diri. Dia bukan tidak
berani, melainkan mencoba membaca situasi. Dia tidak
ingin sia-sia jika harus menyatakan cinta. Maka, jurus
mengintip dari balik jendela setiap pagi pun dia
jalankan.
“Sudah, hentikan tabiatmu itu. Keluarlah dari
rumah di pagi hari. Ajak dia berkenalan. Atau paling
tidak coba tersenyum padanya.”
“Jangan kebanyakan nasihat kau,” sahut
Mahmud, “lihat saja dirimu. Sudah semester berapa
sekarang? Masih saja kalau malam minggu nongkrong
di Bulaksumur. Sok-sok-an mau demo, padahal
menderita sebab tak ada cewek yang mau.”
Lagi-lagi para mahasiswa tertawa.
Begitulah dua orang ini pada akhirnya bertemu.
Puspitawati percaya bahwa doanya setiap usai sholat
subuh dikabulkan. Mahmud percaya, bahwa
keberaniannya muncul dari balik persembunyian bakal
bersambut. Sebab menyatakan cinta tak semudah
berorasi saat demonstrasi dengan tangan terkepal di
udara.
Usai pertemuan, ada perkenalan. Lanjut ke
82
kunjungan Mahmud ke Mangkukusuman. Bertemu
Sugiharti, ibu Puspita. Hingga akhirnya percakapan ibu
dan anak terjadi.
“Kalau sudah serius, tunggu apa lagi Nak
Mahmud?”
Mahmud serius dengan Puspita. Tahun depan
dia akan sarjana. Puspita sendiri belum menamatkan
sekolahnya. Tapi sudah mendapat restu dari ibunda
tercinta. Di ruang tengah, Sari menggoda dengan
menirukan lagu Sepasang Mata Bola.
Pernikahan Mahmud Akil dan Puspitawati
dianugrahi dua orang anak. Seorang laki-laki beranama
Mud’A Antartikawan. Seorang perempuan bernama
Nova Artika. Setelah dua anak ini lahir, Mahmud
memboyong istri dan anaknya pulang ke kampung
halaman. Di Pontianak, kemudian anak-anaknya yang
lain lahir. Mud’A Patriawan, Mud’A Armawan, Mud’A
Mahendrawan, Mud’A Mahastrawan. Agar terdengar
bagus di akte kelahiran, Mud’A yang merupakan
singkatan namanya, Mahmud Akil, ditulis sebagai
Muda.
83
Asmara. Siapa yang tidak dibikin mabuk
karenanya? Puspitawati kepayang. Gadis cantik asal
Mangkukusuman ini mabuk berat. Baginya Mahmud Akil
adalah segalanya. Dia tak mau kehilangan lelaki itu.
Tak dihiraukannya goda rayu teman lelaki di sekolah
ataupun para pegawai kereta api di Lempuyangan.
Setiap harinya, yang ada di kepala Puspitawati hanya
Mahmud, Mahmud, dan Mahmud. Sari, adiknya, sampai
geleng-geleng kepala dibuatnya.
Setelah mata beradu mata dalam beberapa
detik di depan indekos putra, Mahmud dan Wati
berkenalan. Bertanya daerah asal dan tempat tinggal.
Berjanji untuk bertemu kembali di pagi hari saat Wati
hendak berangkat sekolah. Juga di siang hari ketika Wati
Sepuluh
Catatan Harian Wati
84
pulang sekolah. Sejak kecil, Wati rajin menulis catatan
harian. Peristiwa debar dada tentang pertemuan dan
perkenalannya dengan Mahmud Akil juga tak luput
memenuhi halaman demi halaman di buku hariannya.
Dadaku selalu berdebar setiap pagi aku bertemu
dengannya. Apalagi kalau dia tersenyum. Duh, lengkung
bibirnya, kumis tipis di atas lengkung bibir itu, kerling
matanya, aku benar-benar terpesona. Jika dia bercakap,
aku selalu gagap. Di dalam kepala, ada banyak hal yang
ingin kuucap. Tapi kandas. Aku hanya bisa terdiam. Tak
tau harus kemana kusembunyikan semu merah di pipi.
Dia terlalu tampan.
Tapi aku tidak ingin debar di dalam dada ini
tanpa penghujung. Aku ingin mengenal dia lebih dalam.
Aku tidak ingin hanya berjumpa dengannya setiap
berangkat atau pulang sekolah. Kumohon, datanglah
ke rumah. Bukankah sudah kau tanyakan di mana
alamat rumahku? Tak usahlah kau khawatir akan
dimarahi ayahku saat berkunjung ke rumah. Ibu
memang sering cerita kalau ayah memang orang yang
tegas. Apalagi saat menjalankan tugas. Sebenarnya aku
sangat ingin memperkenalkanmu dengan ayah, tapi dia
85
telah tiada. Dia tewas di medan perang. Usiaku saat
itu masih dua tahun. Aku selalu bangga dengan ayah.
Sekarang ada seorang lelaki yang mengisi hari-
hariku. Sungguh, aku sangat ingin dia datang ke rumah.
Bertemu dengan ibu, meminta izin agar membawaku
jalan-jalan keluar di malam minggu.
Tapi Wati hanya berani menulis dalam buku
harian. Perempuan ayu ini tidak berani mengungkapkan
apa yang diinginkannya kepada si lelaki. Bukan karena
takut. Tapi lebih tepatnya gugup. Terlebih suatu hari,
ketika Mahmud tiba-tiba saja menggandeng tangannya
saat berjalan beriringan menuju sekolah Wati. Kecamuk
di dada Wati semakin menjadi-jadi. Hatinya riang
gembira. Akibatnya dia tak mampu berkata apa-apa.
Apakah mereka berpacaran? Wati sendiri
sebenarnya tidak mengetahui bagaimana teknisnya
sepasang remaja berpacaran. Di dalam dirinya hanya
ada rasa suka. Rasa bahagia. Susah tidur. Tersenyum
senang saat bangun tidur. Bernyanyi Sepasang Mata
Bola di kamar mandi. Diolok-olok Sari, adiknya. Di sisi
lain, Wati juga mengetahui bahwa Mahmud juga
menyukainya. Dengan jelas Wati dapat membaca raut
86
wajah Mahmud. Juga polah tingkahnya. Mahmud pernah
bercerita kepada Wati, bahwa di kampus dia aktif di
organisasi gerakan dan sering turun ke jalan,
berdemonstrasi bersama para aktivis yang lain.
Menurut Wati, seorang demonstran harusnya pandai
berbicara, pandai berargumen. Tapi ketika mereka
berdua bercakap-cakap soal asmara, Mahmud juga
sering gugup. Ya, kedua sepasang remaja ini gugup.
Wati menunggu Mahmud bilang cinta, atau setidaknya
menawarkan diri untuk datang ke rumahnya. Mahmud
menunggu waktu yang pas untuk bilang cinta dan pada
akhirnya memberanikan diri datang ke rumahnya.
Perkenalan kami sudah cukup lama. Kami juga
sudah cukup akrab. Bahkan dia berani mengantarku
pergi ke sekolah di pagi hari jika jadwal kuliahnya agak
siang. Tidak hanya itu, dia juga berani menggandeng
tanganku. Menatap mataku dalam waktu yang agak
lama. Dia juga sering bercanda dan membuatku begitu
bungah. Tapi kapan dia akan menyatakan cintanya?
Apakah cinta tak harus diungkapkan? Terus sampai
kapan?
Dia juga sudah tahu alamat rumahku. Sudah
87
berkali-kali aku mengatakan kepadanya. Tapi kenapa
dia tak juga kunjung datang. Sudah beberapa malam
minggu aku menunggu. Duduk di teras rumah. Masuk
ke dalam ruang tamu. Mengintip dari balik tirai jendela.
Apakah aku yang harus memohon agar dia datang ke
rumah kemudian menemui ibuku? Tidak. Aku tidak
boleh melakukan itu. Aku ini perempuan. Aku tidak boleh
terlalu agresif. Seperti yang sering diajarkan ibu,
sebagai seorang perempuan, aku harus menjaga
martabat. Tapi aku mencintainya. Duh. Aku harus
bagaimana?
Wati gundah gulana. Suatu hari dia pernah
bercerita kepada beberapa teman dekatnya di sekolah
bahwa dia sedang jatuh cinta. Tapi ternyata cerita
tersebut membuat dia merasa dihantui. Setiap hari
teman-temannya selalu bertanya tentang lelaki itu.
Selalu bertanya tentang pengalaman apel pertama. Juga
tentang pendapat ibunya. Dihunjam pertanyaan-
pertanyaan seperti itu membuat hati Wati semakin
kalut. Mahmud belum juga menunjukkan gelagat untuk
datang ke rumah.
Hari demi hari dilalui Puspitawati dengan
88
penantian. Sembari menanti, Wati menulis catatan
harian. Wati suka membaca. Buku-buku sastra
karangan NH. Dini, tuntas dibacanya. Rak bukunya diisi
karya-karya yang ditulis oleh Buya Hamka, Kartini, Asrul
Sani. Meskipun dia berasal dari keturunan Jawa-Bali,
tapi Wati tak menutup diri terhadap karya-karya sastra
dari Sumatra Barat yang memang pada zamannya
merupakan karya yang paling banyak diterbitkan oleh
Balai Pustaka.
Kisah cinta dalam roman-roman yang sering
dibacanya ikut berpengaruh dalam cepat lambatnya
debar dada Wati. Persoalan kawin paksa antara Siti
Nurbaya dan Datuk Maringgih, padahal gadis Minang
itu sangat mencintai Samsul Bahri. Puspitawati ikut
masyuk dalam cerita haru biru ini. Sempat terlintas
dalam benak bagaimana kalau Mahmud tak pernah
mengatakan cinta dan datang ke rumah? Lalu akhirnya
ia dipaksa kawin dengan lelaki tua renta?
Hari demi hari, Puspitawati khusuk dengan
catatan hariannya. Menanti. Berharap. Tentang
seorang lelaki yang tak hanya tampan, tapi juga punya
perilaku yang membuatnya selalu rindu akan ayahnya.
89
Seorang pemuda berlari sambil merunduk.
Butir-butir keringat jatuh dari raut wajahnya yang
cemas. Pakaiannya juga basah oleh keringat. Ia sudah
tidak peduli dengan alas kakinya yang tertinggal entah
di mana. Beberapa kali ia terjerembab sebab akar-akar
kayu yang melintang, menghadang langkahnya.
Matanya tajam menatap sekeliling. Wajahnya cemas.
Tapi juga gembira. Lelaki itu menemukan pohon besar.
Istirahat. Mengatur nafasnya. Mengambil reranting
untuk dijadikan alat bantu menebas semak ilalang. Ia
harus cepat sampai ke rumah. Mengabarkan sebuah
kabar gembira kepada adiknya. Tapi ia harus berhati-
hati, sebab jika dilihat Belanda, nyawa taruhannya.
Sebelas
Percakapan Dua Orang Akil
90
Karena itulah warna cemas dan bahagia tercampur
aduk di wajahnya.
Pemuda ini bernama Merseb Abdurrachman.
Orang-orang di wilayah Ngabang mengenalnya.
Pemuda ini pemberani. Pemuda ini punya daya
pengaruh yang kuat untuk memimpin orang-orang.
Ketika kabar kemerdekaan Indonesia terdengar ke
telinganya, sesegera mungkin ia ingin menyampaikan
kabar ini ke kampung halamannya. Darit. Di sana, adik
kandungnya, K imas Akil Abdurrachman, harus
mengetahui berita ini. Ia sendiri yang akan
menyampaikannya.
“Kau tahu? Indonesia sudah merdeka!” Merseb
masih terengah-engah ketika bertemu dengan Akil. Tapi
ia tidak peduli. Para pemuda harus segera bergerak.
“Dari mana kau mengetahui kabar ini?” Kimas
Akil tidak serta merta percaya.
“Beberapa pemuda dari Pontianak
mengabarkannya. Tidak hanya itu, di Sambas, mereka
mendapat gelombang radio dari Sarawak yang
menyiarkan berita Proklamasi dari Bung Karno.”
“Kau yakin dengan berita ini?”
91
“Sangat yakin.”
Kimas Akil berdiri dari tempat duduknya. Ia
begitu bersemangat.
“Hendak kemana kau?” Merseb bertanya.
“Kita harus mengabarkan berita ini ke seluruh
pemuda. Sudah lama kita menantikan kemerdekaan. Aku
akan memimpin pemuda-pemuda Darit untuk merebut
kekuasaan penjajah. Mereka harus pergi dari tanah kita
ini.”
“Kau harus berhati-hati. Aku paham maksudmu.
Aku juga akan memimpin pemuda-pemuda di Jantak,
kami akan merebut Ngabang. Begitu juga daerah-
daerah lain. Tapi kita harus melakukannya dengan hati-
hati. Para penjajah itu punya senjata yang lengkap.
Jangan sampai kita terbunuh.”
Kedua kakak beradik tersebut mulai memikirkan
strategi. Beberapa orang pemuda ikut bergabung.
Mereka juga sudah mendapatkan informasi bahwa
pemuda Alianyang dari Pontianak juga meluncur ke
daerah pantai utara atas perintah dr. M. Soedarso dan
R. Sukotjo Katim. Alianyang akan memimpin persiapan
perlawanan bersenjata di Kalimantan Barat.
92
Setelah pertemuan dengan adiknya, Merseb
kembali pulang ke Jantak. Bersiap memimpin para
pemuda untuk menaklukkan Landak. Sedangkan Kimas
Akil bergerak cepat berkoordinasi dengan para pemuda
di Darit. Kelak, dalam tahun-tahun berikutnya, disaat
Indonesia sudah sepenuhnya merdeka, nama Kimas
Akil pun mulai disebut-sebut sebagai salah satu orang
yang berpengaruh dalam mengusir penjajahan di Darit.
Dia menjadi orang yang begitu dihormati. Namun
demikian, tidak membuatnya untuk tinggi hati.
Hidup di masa kemerdekaan, K imas Akil
kemudian berkeluarga dan memiliki keturunan. Hingga
suatu hari, di sebuah sore yang tenang, salah seorang
anaknya mengusik ketenangannya.
“Ayah, kalau aku sudah selesai sekolah, terus
apa lagi yang harus kulakukan?”
“Apa maksudmu?” Kimas Akil terkejut dengan
pernyataan salah seorang anaknya.
“Tahun depan aku sudah tamat sekolah. Usiaku
sebentar lagi dua belas tahun. Terus, apa lagi yan harus
kulakukan?”
“Mahmud, sekolah itu tidak ada tamatnya,”
93
Kimas Akil membetulkan posisi duduknya. Meneguk
kopi, menaruh gelasnya kembali di atas meja, “Agama
kita sudah menerangkan dengan jelas, bahwa
menuntut ilmu itu harus dilakukan sejak kita masih
dalam buaian sampai akhirnya kita berada di liang lahat
kelak. Ilmu berada di mana-mana. Di halaman belakang
sekolah, di hutan belantara, di negeri-negeri yang jauh,
kita bisa menuntut ilmu. Jika tahun depan kau sudah
tamat sekolah, kau masih bisa menuntut ilmu di alam
terbuka. Alam ini begitu luas. Ilmu juga begitu luas.
Tak ada habisnya.”
“Begini Ayah,” Mahmud yang baru akan
memulai masa remajanya tersebut sudah bertindak
seperti orang dewasa, “Aku mendengar dari guruku,
bahwa setelah tamat Sekolah Dasar, kita masih bisa
melanjutkan sekolah di tingkat selanjutnya.”
“Itu benar. Tapi di Darit ini hanya ada Sekolah
Dasar. Setelah tamat, kau bisa ikut bergabung dengan
saudara-saudaramu yang lain untuk bekerja. Bukankah
kau masih bisa menuntut ilmu disaat bekerja? Lihat
saudara-saudaramu. Bahkan ada di antara mereka yang
tidak bersekolah, tapi pengetahuan mereka juga bagus.
94
Mengajinya bagus. Akhlaknya bagus. Pengetahuan
alamnya juga bagus.”
“Tapi aku ingin melanjutkan sekolah yang lebih
tinggi Ayah. Aku ingin menuntut ilmu di sekolah. Guruku
bilang, di sekolah kita tidak hanya belajar ilmu
pengetahuan. Tapi kita juga bisa bertemu dengan
banyak teman. Kita juga bisa berorganisasi. Sama
seperti yang dilakukan Sukarno, Hatta, Sjahrir.” Mahmud
berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Kimas Akil
bisa memahaminya.
“Terus kamu mau sekolah di mana? Di Darit sini
tidak ada sekolah lanjutan.”
“Aku bisa ke Pontianak.” Mahmud tegas.
Kimas Akil berpikir. Ia merasa khawatir akan
anaknya jika harus berangkat ke Pontianak. Mahmud
masih kecil. Tapi di sisi lain, ia juga tidak boleh
melarang keinginan anaknya untuk melanjutkan
sekolah. Cukup lama Kimas Akil terdiam.
“Bagaimana Ayah, boleh aku melanjutkan
sekolah di Pontianak?”
Tiba-tiba Kimas Akil teringat saudaranya yang
tinggal di Pontianak. Jika kelak Mahmud harus
95
bersekolah di Pontianak, dia akan meminta saudaranya
untuk bisa menerima Mahmud tinggal di sana. Tapi
Mahmud protes.
“Tidak Ayah. Guru sejarahku bilang, ketika
Sukarno sekolah di Jawa Timur, dia tinggal indekos di
rumah Tjokroaminoto. Di indekos tersebut, dia bertemu
dengan banyak orang. Tjokroaminoto sendiri adalah
bapak kos yang sekaligus menjadi guru. Bukankah Ayah
sendiri yang bilang, bahwa Sukarno itu juga manusia
biasa. Kenapa dia istimewa sehingga mampu menjadi
presiden Indonesia yang pertama, karena ia belajar. Ia
belajar di sekolah. Ia belajar di indekos. Ia belajar di
berbagai macam organisasi. Aku ingin seperti Sukarno.
Aku ingin sekolah lanjutan di Pontianak. Aku ingin
indekos.”
Keputusan Mahmud bulat. Kimas Akil, salah
satu tokoh pemuda di Darit yang punya peran besar
mengumpulkan para pemuda mengusir penjajah, tak
bisa berbuat banyak. Meski khawatir, di dalam dada
lelaki itu juga ada rasa bangga. Mahmud punya
keinginan yang kuat untuk belajar. Ia berharap, anaknya
ini tak hanya mampu membanggakan keluarganya, juga
96
daerah asalnya, bahkan bangsa dan negaranya.
Setamat Sekolah Dasar, Kimas Akil merestui Mahmud
melanjutkan sekolah di Pontianak. Anak remaja ini
memilih tinggal indekos. Di Pontianak, ia selalu bangga
memperkenalkan nama ayahnya di belakang namanya.
Nama seorang pemuda pejuang dari Darit. Akil.
Mahmud Akil.
97
“Nak, Mahmud. Kalau memang sudah siap,
jangan ditunda. Wong Jowo bilang, ora ilok.”
Ruang tamu. Kali ini suasananya berbeda.
Wati bersembunyi di dalam kamar. Sekali waktu,
dia berbaring. Sekali waktu yang lain, dia duduk
mematut diri depan cermin. Sekali waktu yang lain lagi,
dia memegang daun pintu dan siap keluar dari kamar,
tapi urung. Lalu berbaring lagi. Kemudian berdiri di
dekat jendela. Dadanya penuh debar.
Sedangkan Sari yang menemani ibunya, berkali-
kali meremas kedua telapak tangannya sendiri. Sang
ibu santai. Sebagai perempuan dewasa yang dididik
dengan tata krama budaya Jawa, Sugiharti sudah teruji
Dua belas
Mengutarakan Niat
98
dalam bersikap. Terlebih momen yang sedang
dihadapinya ini adalah titik pangkal kebahagiaan. Titik
mula penyatuan dua insan. Orang Jawa bilang,
nembung. Cuma persoalannya, lelaki perlente di
depannya hanya duduk diam saja. Lelaki tampan
dengan kumis tipis ini, hanya memegang gelas teh dan
tak kunjung meminumnya.
Sugiharti akhirnya berinisiatif angkat bicara.
Tentu saja dengan nada sedikit bercanda. Tapi
upayanya mencairkan suasana tak membuahkan hasil.
Jantung Mahmud malah berdetak semakin tak karuan,
saat ditodong langsung oleh - anggap saja niat ini
disetujui - calon mertua.
Ini urusan serius. Sambil memegang gelas teh,
Mahmud mengingat dilema di hatinya belakangan ini.
Di satu sisi, kuliahnya belum selesai. Tapi di sisi lain,
ada dorongan dalam dirinya yang sulit dilawan.
Dorongan untuk meminang Puspitawati sesegera
mungkin. Jalan tengahnya, pikir Mahmud, ia tidak akan
menyia-nyiakan waktu di kampus. Rampungkan kuliah,
lalu menikah. Nah, bukankah pernikahan tidak bisa
terjadi begitu saja? Ada proses. Harus ada obrolan
99
mata ketemu mata antara si bujang dengan orang tua
si dara. Kalau begitu, tentu tak ada masalah. Toh, dia
sudah sering berkunjung. Bertemu dan berbincang-
bincang dengan ibunya Wati di beranda. Bercanda
bersama Sari. Artinya tidak akan muncul kesulitan
ketika nanti berhadapan langsung dengan calon mertua
untuk ngomong persoalan pinang meminang.
Rencana ini disampaikan Mahmud kepada
kekasihnya. Tentu saja Wati riang gembira. Dia tidak
sabar menunggu peristiwa berharga tersebut.
“Bagaimana kalau ibu bilang tidak?” tanya Wati
dengan nada bergurau.
“Kalau Ibu bilang tidak, aku akan menculikmu.
Lalu kabur dan bersumbunyi di pedalaman
Kalimantan?”
“Bagaimana kalau Ibu mencariku?”
“Ibumu tidak akan menemukan kita. Kita akan
menyelinap di antara pohon-pohon besar. Hidup seperti
Tarzan dan Jane di rerimba Kalimantan. Kau tahu, hutan
Kalimantan itu adalah hutan terlebat di dunia. Hijau.
Teduh. Kita akan tinggal di sana bersama keramahan
orang-orang asli.”
100
“Mas Mahmud bisa saja. Aku tidak mau tinggal
di dalam hutan. Aku juga tidak mau melarikan diri dari
Ibu.”
“Kalau tidak mau melarikan diri dari Ibu, itu
artinya Ibu harus setuju anaknya aku pinang,” Mahmud
tertawa. Dia merasa menang. Wati semakin senang.
Waktu yang ditentukan tiba. Sore hari,
Puspitawati memberi tahu ibunya bahwa malam nanti
Mahmud akan datang. Kedatangan kali ini bukan apel
biasa. Tapi sekaligus mengutarakan niat untuk
meminang. Sari yang mendengar percakapan antara ibu
dan anak tersebut, tak mau ketinggalan berita. Kakaknya
yang mau kawin, tapi malah dirinya yang pecicilan.
“Ibu senang kalau Nak Mahmud mau serius.
Semoga kalian bisa menjadi pasangan yang bahagia
sepanjang hayat,” ucap Sugiharti kepada anaknya
sekaligus isyarat bahwa orang tua sudah membuka
pintu lebar-lebar.
Harusnya semua berjalan mudah. Ketika orang
tua sudah setuju, apa lagi yang dikhawatirkan. Tapi
teori tak selalu seiring sejalan dengan praktik di
lapangan. Seusai sholat isya, Puspitawati tidak mau
101
keluar dari kamarnya. T iba-tiba saja dadanya
bergemuruh. Aku akan menikah? Batinnya setengah
percaya setengah tidak. Bagaimana nanti kalau sudah
menikah rasa cinta Mahmud kemudian memudar?
Bagaimana kalau nanti ternyata Mahmud tidak
seromantis ketika sebelum menikah? Bagaimana kalau
ini? Bagaimana kalau itu? Puspitawati gelisah. Apakah
aku sudah siap dipinang?
Kegelisahan dalam hati Puspitawati setali tiga
uang dengan apa yang terjadi dengan Mahmud Akil.
Lelaki ini; demonstran, tukang debat, temannya begitu
banyak di kampus, bicaranya meyakinkan, cuek,
perlente. Siapa saja lawan bicaranya akan dibuat
kagum. Pandai berpidato. Pandai pula bercakap-cakap
secara pribadi. Tak hanya perkara serius, urusan olok-
olok pun, dia begitu jago. Tapi semua itu tak berlaku di
hadapan Sugiharti, ibu dari kekasihnya dan jika kelak
mereka menikah, akan menjadi ibunya juga.
Mahmud kagok tiba-tiba. Kali ini dia tak banyak
bicara. Pelajaran pertama, jangan sombong-sombong
mau menaklukan negara kalau belum bisa menaklukan
calon mertua.
102
Karena Mahmud tak juga angkat suara, akhirnya
Sugiharti hilang kesabaran. Toh dia sudah tahu maksud
dan tujuan.
***
Persetujuan ibunda Sri Puspitawati sudah
didapatkan. Sekarang, tinggal mendapatkan restu
keluarga di kampung halaman. Mahmud Akil tidak sabar.
Saat ada liburan semester, Mahmud tak menyia-nyiakan
waktu. Dari Jogjakarta, Mahmud Akil menuju pelabuhan
Semarang dan kemudian berangkat dengan kapal laut
ke Kalimantan.
Sesampainya di Pontianak, Mahmud Akil
langsung mencari kendaraan menuju ke Darit. Ia
menghabiskan masa liburan dengan bersilaturahmi.
Bercerita tentang ilmu yang sedang dituntutnya di
tanah Jawa, bersenda dengan teman-teman lama.
Mahmud Akil menikmati benar masa liburannya.
Terlebih disaat ia harus berbagi cerita tentang
perjuangan mahasiswa. Ini bagian yang paling
disukainya. Meskipun sudah bertahun-tahun di tanah
103
Jawa, ia tidak pernah sedikitpun melupakan tanah
kelahirannya. Menurutnya, tak ada yang membedakan
Jawa dengan daerah-daerah lainnya di nusantara selain
pemikiran para pemudanya. Artinya, jika Borneo,
Selebes, Sumatra, bahkan Papua ingin setara dengan
Jawa, harus melahirkan pemuda-pemuda yang memiliki
pemikiran jauh ke depan.
Memang, pusat pendidikan berada di Jawa.
Begitu juga dengan pusat pemerintahan. Tapi menurut
Mahmud, itu bukan menjadi kendala bagi pemuda-
pemuda lokal untuk juga memiliki pemikiran yang
setara. Sumatra Barat sudah membuktikan. Di masa-
masa awal kemerdekaan, betapa banyak peran
pemuda-pemuda dari tanah Minang yang ikut mewarnai
gejolak politik di tanah Jawa. Hingga akhirnya, salah
satu putra Minang layak untuk duduk mendampingi
Sukarno sebagai wakilnya di kursi kepresidenan.
Mahmud Akil sangat mengagumi Sukarno.
Namun itu bukan berarti ia harus mengenyampingkan
peran Mohammad Hatta. Mereka berdua adalah
intelektual yang seimbang. Sukarno yang berkobar
menyala diimbangi dengan Hatta yang sabar dan
104
tenang. Penyatu mereka adalah ilmu. Tujuan mereka
Indonesia merdeka. Sehingga, dari Jogjakarta, tak hanya
buku-buku tentang Marhaen yang dibawa Mahmud
sebagai hadiah untuk sanak kerabat di Kalimantan. Ia
juga memboyong buku-buku karangan Mohammad
Hatta.
Diam-diam Kimas Akil mengagumi pemikiran
anaknya. Sejarah perjuangan masa lalu akan terus
mengalir turun temurun di masa ini dan masa
mendatang.
Masa liburan hampir berakhir.
“Ayah, beberapa hari lagi aku akan kembali ke
pulau Jawa,” Mahmud membuka cerita. Ayahnya hanya
diam, sambil menyeruput kopi bubuk dan
memperhatikan raut wajah anaknya. Beberapa detik,
suasana ruang tamu hening. Rencana kembali ke Jawa
tak ditanggapi. Mahmud mengubah posisi duduk.
“Ada yang mau aku sampaikan,” lanjut Mahmud
sambil berusaha mengatur napas.
“Aku tahu,” jawab Kimas Akil sembari menatap
tajam mata anaknya.
Mahmud menarik napas panjang dan sedikit
105
memundurkan punggung. Tumben. Kali ini ayah hanya
menjawab dengan dua kata. Mahmud memberanikan diri.
“Aku bertemu seorang perempuan di Jogja,”
kata Mahmud dengan hati-hati.
Usai dengan ucapannya, ia mengalihkan
pandangannya. Ia khawatir ayah akan terkejut dan
marah. Ia khawatir ayah akan berpikir bahwa ia tidak
serius menuntut ilmu ketika sudah memikirkan
perempuan. Ia khawatir. Sangat khawatir.
“Terus?”
Tadi dua kata. Sekarang Kimas Akil hanya
mengeluarkan satu kata dari mulutnya. Pandangannya
tidak berubah. Fokus dan serius. Tentu saja, dalam
tahap ini Mahmud sudah kalah duluan. Ia memang jago
kalau bicara urusan perjuangan. Tak ada jawaban dari
Mahmud. Ayahnya iba. Kimas Akil mengubah raut
wajahnya. Bibirnya menyunggingkan senyum.
“Mahmud, kau tahu kalau aku mengagumimu?”
Mahmud kembali menoleh ke arah ayahnya.
“Dari kecil, niatmu menempuh pendidikan
sudah membuat aku bangga. Di usia belasan, kau sudah
mengarungi tanah Jawa. Hidup sendirian, belajar,
106
sampai akhirnya SMA berhasil kau selesaikan.
Kemudian, ujian masuk Fakultas Hukum universitas
ternama di negeri ini berhasil kau tempuh. Tahun demi
tahun, lewat surat-surat yang kau kabarkan, tidak hanya
aku, tapi seluruh keluarga di kampung ini bangga
padamu. Sekarang kau pulang. Bertemu teman-teman
pemuda di sini. Berkobar-kobar bercerita tentang apa
yang kau lakukan di Jawa. Kau bilang, seperti yang
ditulis Chairil Anwar dalam sajaknya, perjuangan belum
selesai. Belum bisa memperhitungkan arti empat – lima
ribu nyawa. Otakmu cerdas. Bacaanmu bernas. Orang
sepertimu yang dicari daerah ini. Putra daerah
Kalimantan Barat. Ya, tak hanya keluarga dan para
pemuda Darit yang bangga padamu, tapi Provinsi ini
juga bangga.”
Mahmud bingung. Kenapa ayahnya malah
membicarakan soal perjuangan? Malah menyinggung-
nyinggung sajak Chairil Anwar. Tapi ia kenal betul sosok
ayahnya. Tak ingin ia memotong perkataan orang asli
Darit yang pernah menjadi pemimpin pemuda di tanah
kelahirannya.
“Aku berharap, ilmu yang telah kau dapatkan
107
di tanah Jawa, bisa kau terapkan untuk membangun
daerah ini. Sekali lagi, aku kagum padamu. Tapi
sayang,” Kimas Akil berhenti. Meraih gelas kopi.
Senyumnya kembali hadir. Tapi kali ini agak sinis.
“Tapi sayang, untuk urusan perempuan, kau
masih harus banyak belajar!” Setelah itu Kimas Akil
tertawa. Ia merasa berhasil mempermainkan
ketegangan hati anaknya. Suasana menjadi cair.
“Ya, Ayah. Aku sudah bertemu perempuan di
Jogja. Dan aku ingin Ayah juga menemuinya,
membantuku melamarnya. Aku ingin menikahinya.”
Setelah mengucapkan itu, Mahmud merasa
dadanya lega. Percakapan berikutnya antara ayah dan
anak ini adalah perkara tentang Puspitawati dan
keluarganya. Siapa dia, anak siapa, bagaimana kondisi
keluarganya. Tadi lega, sekarang Mahmud ber-
semangat.
“Wati adalah anak seorang pejuang, Ayah.
Bapaknya tewas di tembak Jepang saat ia masih berusia
dua tahun. Dari cerita yang kudengar, Bapaknya adalah
salah satu pahlawan yang terkenal karena
kegigihannya. Bukan tentara. Hanya pegawai kepolisian
108
biasa. Yang harusnya saat itu tidak ikut bertempur. Tapi
bapaknya terus maju. Meski dia sekarang telah gugur,
tapi seluruh keluarganya bangga. Bapak Wati adalah
salah satu pahlawan pertama yang dimakamkan di
Taman Makam pahlawan Jogjakarta.”
Mendengar penuturan dari Mahmud, darah
Kimas Akil berdesir. Pejuang harus melahirkan generasi
pejuang. Begitu ia membatin.
“Jadi kapan kita melamar?”
109
Syahdan. Persetujuan kedua orang tua membuat
Mahmud dan Wati begitu bergembira. Meskipun pihak
keluarga Mahmud tidak bisa berangkat ke Jogja, tapi
sepucuk surat yang datang cukuplah melegakan.
Ngabang, tgl 26 Maret 1961
Dengan segala hormat.
Dengan perasaan gembira kami menulis surat
ini untuk keluarga di tanah Djawa sebagai ganti diri
kami datang berkabar. Keluarga kami di Darit, Ngabang,
Pontianak, selalu dalam lindungan Tuhan jang Maha
Esa dan semogalah keluarga di Djawa demikian pula
adanja.
Dalam pertemuan keluarga jang diadakan untuk
Tiga belas
Surat Pertama
110
perpisahan dengan ananda Mahmud, dikemukakan
setjara terus terang oleh Mahmud bahwa ia bermaksud
dan minta persetudjuan kami agar kami sekeluarga
dapat mengabulkan permintaannja untuk mengadakan
“ikatan jang kuat antar keluarga kita” jang mana
maksudnja: agar ia diperkenankan berikatan dengan
putri ibu Sugiharti jang bernama SRI PUSPITA WATI.
Akan maksud dan tudjuan tsb. di atas, kami
sekeluarga dengan penuh tulus ichlas dapat
mengabulkan permintaan anaknda Mahmud karena
kami menimbang dan penuh pertjaja bahwa pilihan
Mahmud adalah pula pilihan kami.
Kami sekeluarga memandang ia sebagai anak
jang telah dewasa jang berarti: pikirannja adalah
pikiran dewasa pula. Meskipun kami di Kalimantan
belum melihat dari dekat “siapa” jang dimaksud ananda
Mahmud, tapi kami pertjaja bahwa segala
pembitjaraan Mahmud tentang putri ibu Sugiharti
adalah sesuai dengan keinginan kami.
Kami menginginkan seseorang jang dapat
berkenan sepenuh hati pada kami. Dan kepertjajaan
111
kami pada keluarga di Djawa jang dapat memberi
pimpinan dan petundjuk jang baik dan benar pada
“putra” kita berdua.
Harapan kami dalam masa2 Mahmud
menuntut peladjarannja di tanah Djawa, sudilah pihak
keluarga di Djawa memberikan pengertian jang baik
padanja. Maklumlah karena ia masih muda dan kami
sepenuhnya mempertjajai dan dapat menerima apa
pun keputusan keluarga di sana.
Sebenarnja kami sangat ingin bisa berangkat ke
Djawa beserta Mahmud. Tetapi karena pekerdjaan yang
tidak bisa kami tinggalkan, maka maksud di atas
terpaksa kami tunda dan mudah2anlah dalam tahun
jang akan datang kami dapat datang ke Djawa.
Dan menurut pembitjaraan Mahmud, niat untuk
mengadakan silaturahmi antara kedua keluarga akan
dilakukan apabila ia telah lulus Udjian Candidat achir
tahun ini. Maksud tersebut pun dapat pula kami setujui.
Sebagai achirul kata – anggaplah surat kami
jang pertama ini sebagai pembitjaraan jang langsung
dari kami pada pihak keluarga Sri Puspita Wati dan
112
apabila ada berkenan di hati serta apabila ada
keluangan waktu, sudilah kiranya berkirim chabar pada
kami di Kalimantan.
Doa restu kami menjertai.
Sekian
Wassalam kami (sekeluarga)
Akil Abdurrachman
Sepucuk surat dari Kalimantan datang. Mahmud
sendiri yang menyerahkannya langsung ke Sugiharti.
Tak lama setelah menyerahkan surat, ia undur diri. Ia
tak mau berlama-lama berada dalam situasi dramatis.
Puspitawati berada di dalam kamar. Harap-harap
cemas.
Setelah Mahmud pamit pulang, Sari dan Wati
langsung menghambur ke luar. Sugiharti membacakan
isi surat tersebut dengan suara terbata-bata. Hatinya
haru. Ia tak menyangka, ketulusan Mahmud untuk
menikahi Wati juga disambut dengan tulus oleh orang
tuanya di Kalimantan.
“Piye, nduk? Keluarga Mahmud sudah
113
menyatakan keinginannya untuk meminangmu.
Sekarang semuanya ibu serahkan ke kamu. Kalau kamu
memang sudah siap menikah, ibu tidak bisa mencegah.
Ibu hanya bisa berpesan. Tolong jaga marwah keluarga
kita. Taatlah kepada suami seperti apa yang diajarkan
agama. Mahmud itu orang yang cerdas. Gagasan-
gagasannya cukup gemilang. Semangatnya tak
terbantahkan. Tapi ibu sangat yakin, Mahmud juga
punya sisi lemah sebagai manusia. Tugasmu lah
sebagai istri untuk selalu menguatkannya.
Mendampinginya selama kalian hidup. Agar tak hanya
bisa berbahagia di dunia ini, tapi juga di akhirat kelak.
Bapakmu pasti akan bangga.”
Sugiharti menunduk. Menyerahkan surat
istimewa tersebut kepada anak perempuannya.
“Kalau Ibu sudah restu, tak ada lagi yang dapat
menandingi kebahagiaanku,” suara Wati lirih. Air
matanya jatuh. Sari merangkul kakak dan ibunya.
***
Sehari pasca diterimanya surat dari keluarga
Kalimantan, Sugiharti tak bisa tidur. Tentu saja hatinya
114
berbahagia sebab anak gadisnya akan dilamar. Tapi
gundah juga menyertainya. Berbagai macam
pertanyaan menyerang kepalanya. Keluarganya di Jogja
merupakan keluarga sederhana. Meskipun jika nasab
diurutkan ke atas masih ada trah kerabat keraton,
begitupula dengan almarhum suaminya yang
merupakan seorang pejuang, tewas pada saat
peperangan dan termasuk generasi pertama yang
dimakamkan di taman makam pahlawan, tapi tak bisa
dipungkiri kehidupan Sugiharti begitu sederhana. Sifat
ini yang tidak banyak dimiliki orang. Tak jarang banyak
orang membangga-banggakan garis keturunan keluarga
namun bobrok di dalam. Hal itu tidak berlaku bagi
Sugiharti. Nama besar keluarganya merupakan beban
sekaligus penyemangat untuk menjaga kehormatan.
Menempuhnya dengan jalan kesederhanaan merupakan
suatu pilihan.
Kegundahan Sugiharti muncul dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat begitu saja di
kepala. Bagaimana jika keluarga Mahmud di
Kalimantan, tidak bisa menerima kondisi kesederhaan
keluarga di Jawa? Bagaimana kemudian tingkat
115
perbedaan harta menjadi masalah dalam membina
keluarga? Persoalan harta kerap menjadi ujian banyak
orang. Surat balasan urung dituliskan. Malam itu
Sugiharti memilih untuk larut bercengkrama dengan
gundah. Hingga akhirnya dia tersadar. Shalat sunnah.
Tak boleh berlama-lama dengan gundah. Iyyaka
Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in.
Sugiharti menyerahkan segalanya kepada Allah.
Berserah. Rapat keluarga dilakukan. Keluarga besar
berkumpul. Hari demi hari lewat. Hingga akhirnya surat
balasan dituliskan. Memberi kabar yang baik tentu saja
ditulis di permulaan surat. Selanjutnya, dalam suratnya,
Sugiharti mengucapkan terima kasih atas niatan tulus
dari keluarga Mahmud di Kalimantan. Dengan bahasa
sesopan mungkin, Sugiharti menyampaikan
kegembiraan keluarga di Jawa bahwa seandainya Allah
mengizinkan, anak gadisnya akan menikah dengan
Mahmud. Restu sudah diberikan oleh keluarga besar.
Namun di dalam surat, Sugiharti juga harus jujur
mengenai kondisi keluarganya di Jawa. Tentang
kehidupan yang sederhana. Tentang harta yang
seadanya. Janda pejuang ini tak ingin kelak persoalan
116
harta menjadi masalah di kemudian hari. Dan jika
keluarga Mahmud di Kalimantan tidak keberatan,
bolehlah kiranya ikatan keluarga ini dilanjutkan. Begitu
kira-kira isi surat balasan.
Sugiharti sendiri yang mengantarkan surat
tersebut. Jarak Mangkukusuman menuju kantor pos
sebenarnya tidak terlalu jauh. Dari wilayah kadipaten
Pakualaman cukup berjalan lurus ke arah barat,
melewati jembatan sayidan, perempatan gondomanan,
tinggal beberapa kayuh sepeda sampailah di kantor
pos. Tapi kali ini Sugiharti memilih memutar. Tujuan
pertamanya adalah kota baru. Ia ingin mengembara
dengan kenangan. Mencoba berkomunikasi dengan
suaminya yang telah gugur di pertempuran. Komunikasi
ini ia lanjutkan ke Yang Maha Kuasa. Dzat yang
sesungguhnya tempat setiap makhluk berserah diri,
mengadu, dan meminta. Di halaman Masjid Syuhada
Sugiharti memarkir sepedanya. Sholat. Berdoa.
Memohon agar suaminya tenang di alam kubur dan
dapat masuk ke dalam surga-Nya. Doa yang tak kalah
penting adalah tentang anak perempuannya. Tentang
surat balasan yang sebentar lagi akan ia kirim ke
117
Kalimantan. Dalam momen-momen bercakap-cakap
dengan Sang Pencipta ini, Sugiharti kerap menangis.
Dari kota baru, Sugiharti menuju jalan
Malioboro. Jalan yang tak terlalu panjang ini
menyimpan sejarah yang begitu panjang. Orang-orang
Jawa tradisional memercayai bahwa jalan ini
merupakan sumbu imajiner yang menghubungkan
wilayah utara-selatan Jogjakarta. Keraton adalah
sentralnya. Gunung merapi di sebelah utara dan parang
tritis, laut selatan, di sebelah selatan. Tiga titik ini
merupakan simbol supranatural. Sugiharti pribadi tidak
terlalu memercayai hal-hal demikian. Meskipun ia lahir
dan dibesarkan dalam tradisi Jawa yang kuat, tapi
syariatlah yang menjadi panduan. Hubungan horisontal
baginya merupakan interaksi sosial antar sesama
masyarakat. Hubungan vertikal tak boleh ditujukan ke
hal yang lain selain kepada sang Khalik. Tapi
bagaimanapun juga, Sugiharti senang melewati wilayah
Malioboro. Sebab, ada banyak kisah yang terjadi
tentang sejarah. Ya, tak boleh melupakan sejarah.
Ada berbagai cerita tentang jalan Malioboro.
Dalam bahasa sansekerta, kata ‘malioboro’ bermakna
118
karangan bunga. Sebagian orang mengait-ngaitkannya
tentang peristiwa masa lalu ketika keraton
menyelenggarakan hajatan besar, maka jalan tersebut
akan dipenuhi dengan karangan bunga. Tapi sebagian
orang yang lain memercayai bahwa di awal abad ke-
19, seorang kolonial berkebangsaan Inggris pernah
mendiami tempat tersebut. Kolonial ini bernama
Marlborough. Di era kolonial, tata kota yang dibangun
oleh keraton terganggu oleh Belanda dengan
dibangunnya sebuah benteng yang lokasinya tak jauh
dari keraton. Vredeburg. Inilah bangunan pertama yang
didirikan Belanda yang dibangun tak lama setelah
Keraton Jogjakarta berdiri. Konon pembangunan
benteng yang berlokasi tak jauh dari keraton tersebut
sengaja dilakukan dengan maksud agar gerak-gerik
keraton bisa diawasi dari dekat. Tepat di depan benteng
terdapat gedung keresidenan dengan kebun yang begitu
luas. Namun jangan pernah dikira bahwa pembangunan
gedung bergaya arsitektur Eropa ini dilakukan dengan
mudah. Perang Diponegoro sempat membuat
pembangunan gedung ini terhenti. Perlawanan rakyat
yang membara membuat Belanda harus hidup dalam
119
kecemasan dalam waktu yang lama. Tak hanya itu,
pasukan Diponegoro yang siap syahid bahkan membuat
pemerintah kolonial nyaris bangkrut.
Dua gedung awal ini kemudian merubah kondisi
wilayah tersebut. Warna Eropa mulai bermunculan.
Tradisi pelan-pelan mulai bercampur dengan budaya
modern. Belanda mendirikan Dutch Club dan Java Bank.
Dominasi mereka semakin kuat. Untuk melancarkan
hubungan ke Ratu Belanda di Eropa, mereka
membangun Post en telegraafkantoor. Bangunan ini
menghadap ke utara. Membelakangi keraton.
Berbentuk tapal kuda dan terdiri dari dua lantai. Inilah
gedung yang menjadi tujuan Sugiharti. Mengirimkan
suratnya, menyeberangi lautan dan kelak sampai ke
pulau bernama Kalimantan. Di muka amplop tertulis:
Kepada jth. Akil Abdurrachman.
120
Setelah menyelesaikan urusan di kantor pos,
Sugiharti mengayuh sepedanya ke arah timur. Masih ia
menjumpai sisa-sisa kejayaan kolonial. Ini merupakan
wilayah hunian orang-orang Belanda. Saat ini wilayah
tersebut sudah berubah fungsi menjadi tempat
penjualan buku-buku bekas maupun baru yang dikenal
dengan nama Shopping centre. Di tempat ini pula,
Mahmud sering menghabiskan waktu bersama teman-
teman mahasiswanya.
Gedung societet militair juga terletak di wilayah
ini. Tempat para militer kolonial bersosialita setelah
lelah menindas anak-anak bangsa. Mencari
penghiburan. Menonton pertunjukan teater. Berdansa.
Empat Belas
Surat Kedua
121
Tertawa bahkan mabuk hingga pagi hari. Tak hirau
dengan kondisi pribumi yang semakin menderita.
Kolonialisme apa pun dan di mana pun, telah
membawa kesengsaraan yang begitu panjang. Tak
terkecuali di Jogjakarta.
Sesampainya di rumah, Sugiharti disambut oleh
anak perempuannya.
“Ibu dari mana saja? Kenapa begitu lama?
Bukankah kantor pos dekat dari sini?” Wati cemas.
Mengira terjadi apa-apa pada ibunya. Kecemasan yang
wajar. Ia tak mau kehilangan satu-satunya orang tuanya
di saat menjelang pernikahannya.
“Tenang, nduk. Ibu baik-baik saja. Tadi ibu jalan-
jalan dulu ke Kota Baru. Ibu kangen sama Bapakmu.”
Sugiharti tidak langsung masuk. Melihat ibunya
beristirahat di beranda, Puspitawati bergegas ke dapur.
Ia membuat teh tubruk untuk ibunya.
“Sepertinya ada sesuatu yang ibu sembunyi-
kan,” ujar Puspitawati membaca raut wajah ibunya.
“Tidak ada apa-apa, nduk.”
“Jangan bohong. Ayo cerita.”
“Apa yang harus ibu ceritakan?”
122
“Apa saja.”
Puspitawati mendesak. Sugiharti menghela
nafas.
“Ibu takut kesepian kalau kelak kamu dibawa
Mahmud ke Kalimantan,” kata Sugiharti lirih. Matanya
kosong menatap cakrawala. Puspitawati tersenyum.
“Ibu tenang. Tak perlu khawatir. Aku dan Mas
Mahmud sudah sepakat, kalau setelah menikah kami
akan tinggal di sini. Aku ingin ibu menggendong cucu
dari rahimku kelak. Toh, kalau pun rencana berubah.
Misalnya aku harus pergi ke Kalimantan, ibu akan
kubawa serta.”
Puspitawati mendekap ibunya. Satu-satunya
orang tua yang begitu perkasa. Seperkasa sang suami
yang hanya ia ketahui dari cerita.
***
Dari kantor pos, tumpukan surat yang sudah
disortir, dibawa ke pelabuhan Semarang. Pada masa
kerajaan Mataram, lokasi ini merupakan tempat
berlabuhnya kapal-kapal dagang yang datang dari
123
berbagai wilayah. Kapal-kapal ini hanya bisa berlabuh
di lepas pantai. Untuk mencapai daratan, barang-
barang harus diangkut dengan perahu-perahu kecil
menuju kali Semarang. Kali Semarang pernah menjadi
satu-satunya urat nadi perdagangan yang
menghubungkan satu kota ke kota lainnya. Lagi-lagi
kolonial tak mau menyia-nyiakan situasi ini. Terlebih
Belanda sejak dulu memang terkenal sebagai pelaut
ulung. Menata wilayah-wilayah di tepi laut, orang-orang
berambut pirang ini tak perlu diragukan. 1874 menara
suar didirikan oleh Belanda di wilayah ini. Benar, pasca
itu kota semarang berkembang pesat. Gudang-gudang
di pinggir kali Semarang banyak dibangun. Kali
Semarang tidak mampu mempertahankan
kedalamannya akibat terjadinya endapan lumpur. 1886
Kolonial memutuskan untuk membuat perencanaan
pembangunan pelabuhan yang lebih besar. Hingga
akhirnya Pelabuhan Semarang pernah menduduki
peringkat ketiga dalam hal bongkar muat barang
setelah pelabuhan Tanjung Periok di Batavia dan
Tanjung Perak di Surabaya.
Keberadaan pelabuhan ini menjadikan Belanda
124
semakin rakus mengeruk hasil bumi dan menyengsara-
kan manusia nusantara. Jalur kereta api yang
menghubungan pelabuhan dan daerah lainnya di
bangun. Komoditi utama pada masa itu adalah minyak,
semen, dan pupuk. Dari luar, secara kasat mata Belanda
berhasil membangun Semarang sebagai daerah
industri. Hubungan dagangnya dengan orang-orang
Tiongkok juga semakin baik. Dari dalam, para pribumi
terus menjerit. Suaranya tak bisa keluar. Terpendam
begitu dalam hingga ke relung hati. Kalau bukan anak
bupati atau berdarah biru, siap-siap bekerja secara
paksa di tanah nenek moyangnya sendiri.
Begitulah dari Pelabuhan Semarang, kapal
bergerak mengarungi laut Jawa, ke arah utara. Selain
barang dagangan dan manusia, kapal-kapal ini juga
membawa tumpukan surat dengan tujuan berbeda.
Sumatra, Kalimantan, Selebes, bahkan hingga Papua.
Berlabuh di Kota Pontianak, sepucuk surat dari Sugiharti
berpindah tempat menuju daerah Ngabang. Berpindah
lagi masuk ke Darit. Hingga kemudian, setelah sekian
lama menunggu, Akil Abdurrachman dan juga keluarga
yang lain, mendapatkan surat balasan.
125
Keluarga di Darit tersenyum sumringah.
Lamaran jarak jauh mereka diterima oleh keluarga di
Pulau Jawa.
Akil Abdurrachman tak mau menunggu lama.
Segera ia mengambil mesin ketik, lalu jemarinya lincah
menulis surat kedua.
Ngabang, 24 Djuni 1961
Sebagai pendahuluan, kami sekeluarga
menghaturkan salam takzim kepada keluarga di Djawa.
Keluarga Ibu Sugiharti jth. Alhamdulillah, kami
sekeluarga mengutjapkan sjukur kepada Tuhan jg. Maha
Kuasa dan sangat bergembira atas kedatangan surat
yang bertanggal 23 Mei 1961. Meskipun tjukup lama
kami menanti-nantikan surat tsb. tapi kami sekeluarga
di kalimantan sangat berbahagia.
Alhamdulillah, dan kami sekeluarga sekali lagi
mengutjapkan sjukur kepada Tuhan dan mengutjapkan
terima kasih kepada pihak Ibu Sugiharti, bahwa apa jang
Ibu kemukakan dalam surat kakak itu tjukup mendjadi
bahan kepada kami sekeluarga, jang sebelumnja kami
tidak begitu djauh dalam mengadakan perintjian segala
sesuatunja. Sjukurlah Ibu dapat menggambarkan segala
126
sesuatunja itu.
Ibu jth. sungguh hati kami sangat terharu setelah
membatja tulisan jang membajangkan suatu keadaan
suatu keadaan perbedaan hidup jang menjebabkan
suatu perasaan ketjil diri dari ibu sekeluarga. Sebaliknja
kamipun merasa penuh ketjemasan bilamana hal itu
mendjadi pegangan pokok. Kepada kami sekeluarga
hanja ada kelapangan perasaan serta keichlasan hati
untuk mengikat sehubungan anak kita itu, sehingga
mendjadikan perhubungan kekeluargaan jang sedjati.
Dasar kelapangan perasaan dan keichlasan hati
itulah landasan jang kami pergunakan untuk kami
berpidjak dalam maksud kami memberanikan diri untuk
menempatkan anak kami ke dalam lingkungan keluarga
Ibu Sugiharti. Dalam hal ini semoga ibu sepaham
dengan kami.
Dengan lain kata, djika boleh kami
mengemukakan bahwa, “anak kami adalah anak Ibu
dan anak Ibu adalah anak kami.” Djika peribahasa ini
sesuai dengan isinja, maka hari depan anak kita itu
kiranja diharapkan tidak mengetjiwakan kepada kita,
lebih-lebih kepada mereka sendiri.
127
Ibu jth. kami sangat senang bahwa anaknda
Mahmud dan Anaknda Puspitawati adalah dua insan
yang seiman. Dengan demikian halnja tidaklah
mendjadi persoalan yang pelik. Sebagai kesimpulan dari
isi surat Ibu, bahwa keluarga di Djawa sudah
membukakan hati, jang dengan senang hati serta ichlas
menerima hazat kami sekeluarga dalam maksud
mengadakan ikatan jang erat. Maka kesediaan serta
kerelaan dari Ibu sekeluarga jang demikian besarnja
itu, kami sekeluarga mengaturkan terima kasih kami
jang se-besar-2nja pula kepada Ibu sekeluarga di Djawa.
Tentang maksud Ibu mengharap kami
berkundjung ke Djawa, kami mengutjapkan terima kasih
semoga dapat kami usahakan. Selandjutnya, saat atau
waktu untuk menentukan hari bahagia anak kita itu,
kami mengambil keputusan waktu achir tahun udjian
kandidat. Pada saat itu sekiranja kami belum dapat
berkundjung ke Djawa kami harap keluarga di Djawa
djangan ketjil hati dan jang mengurus persoalan itu
kami sekeluarga mengirim dua orang dari keluarga kami
sebagai utusan dalam mengurus maksud di atas.
Kepadanjalah kami mewakilkan segala sesuatu urusan.
128
Sebagai penjudahan pertjakapan kami
sekeluarga dalam surat ini kami sekeluarga meminta
maaf banjak-2 kapada kakak sekeluarga serta
memandjatkan dhoa se-banjak-2nja kepada Tuhan Jang
Maha Kuasa mudah-2an maksud baik kita bersama
dalam menjelesaikan perdjodohan anak kita itu penuh
berkah daripada-Nja. A m i n ! ! !
Kemudian kepada Ibu sekeluarga kami dhoakan
semoga selalu dalam keadaan sehat wal’afiat. A m i n !!!
Salam Takzim kami sekeluarga
Akil Abdurrachman
129
Sugiharti tidak harus bersedih karena kesepian
sebab apa yang dijanjikan oleh anaknya benar-benar
ditepati. Setelah menikah, Mahmud tidak serta merta
memboyong Puspitawati ke Kalimantan. Lagi pula,
Mahmud pribadi sudah sangat betah dengan
Jogjakarta.
“Ilmu pengetahuansangat mudah di temukan
di kota ini,” kata Mahmud suatu hari. Ia berharap, kelak
ketika harus pulang ke kampung halaman, sebanyak
mungkin ia harus membawa serta ilmu pengetahuan.
Ini penting untuk perubahan. Indonesia tak hanya Jawa.
Pendidikan harus merata. Alasan selain keluarga dan
ilmu pengetahuan, tentu saja teman-temannya. Meski
sudah menikah, agenda berkumpul dengan teman-
Lima Belas
Arungi Bahtera
130
teman tentu saja tidak bisa hilang begitu saja.
“Perjuangan seorang lelaki tidak harus berhenti
ketika sudah mendapatkan istri. Tapi lelaki sejati adalah
mereka yang mampu berbuat untuk negeri. Perjuangan
Sukarno dan teman-temannya harus kita kawal.” Kalau
sudah berkumpul dengan teman-teman seperjuangan
di kampus, Mahmud Akil adalah lelaki perlente yang
senantiasa berapi-api.
Di Jogja, pasangan bahagia Mahmud dan
Puspita melahirkan dua orang anak. Seorang lelaki dan
seorang perempuan. Mud’a Antartikawan dan Nova
Artika. Inilah dua orang anak yang lahir di saat usia
Indonesia begitu belia. Usia yang masih harus
menempuh banyak rintangan. Kemerdekaan tahun 1945
dan pengakuan kedaulatan tahun 1949 tidak serta merta
membuat negara ini tentram damai adil sentosa
sejahtera bahagia riang gembira.
Pemilu pertama memang berhasil diselenggara-
kan. Tetapi setahun setelahnya situasi politik semakin
buruk. Kekacauan terjadi di mana-mana. Daerah
bergejolak. Gejala separatisme terlihat. Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berdiri di
131
Sumatra. Di Sulawesi Utara dibentuk Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta). Para militer di daerah yang
bergabung dengan tokoh masyarakat membentuk
gerakan tersendiri. Menuntut terjadi pemerataan sebab
Indonesia tidak hanya Jawa. Ada Dewan Gajah, Dewan
Banteng, Dewan Manguni, Dewan Garuda, Dewan
Lambung Mangkurat dan lain sebagainya. Rakyat
semakin panas. Mereka tidak sabar. Menuntut
pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana dalam
mengatasi kemacetan sidang konstituante. Tapi tak ada
yang dapat diharapkan dari konstituante.
Indonesia dilanda kekalutan konstitusional.
Undang-undang dasar baru belum berhasil dibuat. Di
lain sisi, Undang-Undang Dasar Sementara 1950
dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal
dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan
masyarakat Indonesia. Keadaan semakin tidak
menentu. Sebagai presiden, Sukarno mengambil sikap.
Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya kabinet
berkaki empat (yang terdiri dari empat partai terbesar
seperti PNI, Masyumi NU, dan PKI) dan Dewan Nasional
yang terdiri dari golongan fungsional yang berfungsi
132
sebagai penasihat pemerintah. Ketua dewan dijabat
oleh presiden sendiri. Konsepsi yang diajukan oleh
Presiden Soekarno itu ternyata menimbulkan
perdebatan. Berbagai argumen antara pro dan kontra
muncul. Pihak yang menolak konsepsi itu menyatakan,
perubahan yang mendasar dalam sistem kenegaraan
hanya bisa dilaksakanakan oleh Konstituante.
Sebaliknya yang menerima konsepsi itu
beranggapan bahwa krisis politik hanya bisa diatasi
jika konsepsi itu dilaksanakan. Pada tanggal 22 April
1959, di depan sidang Konstituante Presiden Soekarno
menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai
undang-undang dasar negara Republik Indonesia.
Konstituante mengadakan sidang pemungutan suara.
Mayoritas anggota Konstituante menginginkan
berlakunya kembali UUD 1945 sebagai undang-undang
dasar Republik Indonesia.
Masalah belum juga selesai. Kehadiran anggota
yang tidak mencapai dua per tiga jadi permasalahan.
Terjadi pemungutan suara ulang. Bahkan hingga dua
kali. Lagi-lagi gagal. Konstituante kemudian memutus-
kan untuk reses. Larangan segala macam aktivitas
133
politik dilakukan. Negara benar-benar tidak stabil.
Beberapa tokoh politik mendekati Soekarno. Dekrit
untuk kembali memberlakukan UUD 1945 harus
dilakukan. Presiden harus punya sikap. Konstituante
dibubarkan. 5 Juli 1959 Dekrit Presiden dibacakan.
Situasi politik yang centang perenang ini
berdampak dengan semakin dewasanya pandangan
politik Mahmud Akil. Sebagai mahasiswa fakultas
hukum, Mahmud akil merasa perlu untuk ikut serta
mengawal perjuangan Sukarno. Jangan sampai
kemerdekaan yang didapatkan dirampas begitu saja
dengan berbagai propaganda dari luar. Dua tahun
setelah Dekrit Presiden, Mahmud Menikah.
“Istriku yang manis,” kata Mahmud suatu hari.
Merayu. Seperti yang dilakukan tokoh-tokoh novel
angkatan Balai Pustaka.
“Ada apa, Mas suamiku yang juga manis,” balas
Puspita dengan wajah ceria.
“Aku ingin, kelak, kita punya anak yang banyak.”
“Oh, kalau itu aku juga ingin.”
“Aku ingin di antara anak kita yang banyak itu, ada
yang melanjutkan trah keluarga kita. Menjadi pejuang.”
134
“Kalau itu tentu saja aku setuju,” Puspitawati
sumringah. Tidak sedikitpun menyesali pernikahannya.
Inilah suami, yang tak hanya akan menjaga martabat
keluarga, tapi juga negara. Perempuan Jawa ini
membatin. Bayangan ayahnya berkelebat. Matanya
berkaca.
Dua anak lahir di Jogja, setelah itu Mahmud
memutuskan untuk memboyong keluarganya ke
kampung halaman. Situasi politik di pusat kembali
bergejolak. Sukarno mendapat tekanan dari banyak
pihak. Tahun 60-an, negara ini punya cerita yang begitu
kelam. Bagi Mahmud Akil, membawa istri dan kedua
anaknya pulang ke Kalimantan Barat bukan berarti lari
dari perjuangan. Melainkan sebaliknya. Menurutnya,
harus ada yang melakukan sesuatu di tanah tempat ia
lahir. Generasi ke depan haruslah menjadi generasi yang
kritis. Orang-orang dari mana saja harus punya
kesempatan mengenyam bangku pendidikan setinggi-
tingginya.
Puspitawati taat saat diajak merantau ke
Kalimantan. Sari dan Sugiharti juga dibawa. Bahkan
beberapa tahun setelahnya, sepupu Wati dan Sari, Tuti
135
juga ikut menjejaki tanah rawa di khatulistiwa. Di
Pontianak, Mahmud menjadi orang yang begitu sibuk.
Pengalaman organisasi dengan keinginan kuat untuk
terus belajar membuat ia bergabung dalam partai
politik terbesar di negara ini. Partai Nasional Indonesia.
Tak lama berkiprah, menjabat sebagai ketua PNI
Kalimantan Barat. Ilmu yang didapatkan diaplikasikan-
nya dalam pekerjaan. Mahmud bekerja di Biro Hukum
Kalimantan Barat. Di pendidikan, Mahmud ikut andil.
Menjadi dosen, dekan, bahkan kesuksesannya ini
mengantarkannya di jabatan tertinggi di Universitas
Tanjungpura. Sempat pula menjadi calon gubernur
sebab dianggap sebagai pelopor terangkatnya derajat
putra daerah meskipun harus kalah dengan dominasi
militer yang menjadi alat utama orde baru. Tapi nama
Mahmud Akil, tentu saja tak bisa dilupakan begitu saja.
Dari rahim istrinya, empat orang anak menyusul
kelahiran dua kakaknya terdahulu. Dari ilmu
pengetahuan dan gagasan cemerlangnya, pemuda-
pemuda generasi penerus di Kalimantan Barat
bermunculan.
136
Saat mengandung anak kelimanya, Puspitawati
merasa perlu bantuan seseorang untuk tinggal
bersamanya di rumah. Terlebih Mahmud Akil pada
waktu itu begitu sibuk. Mendampingi seorang ketua
Partai Politik bukanlah perkara mudah bagi Puspitawati.
Tapi perempuan ini jarang mengeluh. Seperti apa
keperkasaan seorang suami di luar rumah tergantung
seperti apa kebijaksanaan seorang istri di dalam rumah.
Puspitawati tak hanya menjadi istri dari Mahmud Akil,
tapi dia juga berperan sebagai sekretaris pribadi sang
suami. Banyak konsep-konsep pemikiran Mahmud
dicatat oleh Puspitawati. Para tamu yang kemudian
menjadi akrab dengan keluarga besar ini pun, ikut
Enam belas
Rujak di Malam Kemerdekaan
137
takjub akan kesetiaan Puspitawati mendampingi.
Lalu apakah ketika sibuk berperan sebagai istri
dan mendampingi suami bekerja, Puspitawati
melupakan perannya sebagai ibu di dalam rumah?
Tidak. Anak-anaknya lahir dan besar dalam pendidikan
yang ia berikan. Semua anaknya segan. Hormat dan
patuh kepada ibu tak hanya sebatas kewajiban, tetapi
merasuk menjadi pengabdian yang begitu pasrah.
Karena kesibukannya, Mahmud jarang berbicara
dengan anak-anaknya. Di sinilah kejelian Puspitawati
sebagai Ibu. Kesibukan sang ayah tak sedikit pun
membuat anak-anaknya ini berjarak. Aan, Tika, Ndut,
Wawan, empat orang penerus generasi I Dewa Nyoman
Oka dan Kimas Akil Abdurrachman ini sejak kecil sudah
akrab dengan cerita-cerita masa lalu.
Tak hanya ibunya, sang nenek pun punya peran.
Sugiharti yang ikut ke Pontianak, menjadi orang yang
paling dihormati di rumah. Ia tetap memilih
menyandang nama suaminya. Mbah Oka ia dipanggil
oleh cucu-cucunya. Di tengah keluarga, Mbah Oka
menjadi orang yang tegas.
“Negara ini dibangun oleh orang-orang yang
138
tegas. Kakek kalian adalah orang yang tegas. Dan
keluarga ini pun sudah harus dibangun dengan tradisi
tegas. Tegas bukan berarti keras. Tegas menggunakan
akal pikiran. Tegas memerlukan tingkat kedisiplinan.
Tegas melahirkan kewibawaan. Seandainya kalian bisa
berjumpa dengan almarhum, kalian akan mengagumi
ketegasannya. Kewibawaannya. Dan tentu saja
kelembutannya.”
Wejangan Mbah Oka tak pernah disepelekan
oleh cucu-cucunya. Terlebih jika wejangan itu masuk
ke wilayah cerita tentang I Dewa Nyoman Oka. Mereka
selalu rindu mendengarkan cerita sang kakek. Salah
satu sifat Nyoman Oka yang menitis ke Puspitawati
adalah kecintaanya terhadap kesenian. Berpisah
semenjak usia dua tahun membuat Puspitawati selalu
ingin menghadirkan ayahnya ke dalam rumah. Ornamen
Bali seperti hal wajib yang harus ada di dalam rumah.
Barang-barang kesenian, pajangan, atau hiasan yang
hanya bersifat biasa saja, harus tertata rapi bahkan
tidak boleh berpindah dari tempatnya. Ke empat
anaknya sudah hapal dengan hal yang satu ini. Empat
anak yang masih kecil-kecil tersebut dipersilahkan
139
untuk berpolah nakal, karena memang itulah sifat anak-
anak, tapi jangan sampai merusak atau memindah
barang-barang kesenian yang menjadi koleksi ibu
mereka. Di hal yang lain, Puspitawati adalah ibu yang
begitu lembut. Tak pernah lelah menceritakan tentang
jerih payah ayahnya meniti kesuksesan.
“Agar kelak, kalian tidak lupa atau pongah,
keluarga ini dibangun dari ilmu pengetahuan, kerja
keras, kedisiplinan, juga keramahan. Ayah kalian,
adalah lelaki terbaik yang pernah ibu kenal,” nasihat
sang ibu.
Lengkap sudah keluarga ini. Kepala keluarga,
Mahmud Akil dengan karir gemilang menjadi teladan
bagi anak-anaknya. Tak banyak menghabiskan waktu
bersama anak-anak, tetapi tetap menjadi kebanggaan
keluarga. Puspitawati, lembut, anggun, indah,
mengajarkan anak-anaknya tentang etika. Mbah Oka.
Tak diragukan lagi perannya di dalam keluarga.
Perempuan ini tegas. Tapi tidak beringas
Tapi tiga orang ini dirasa kurang ketika
kehadiran anak kelima sudah mulai dirasakan. Perut
Puspitawati sudah membesar selama delapan bulan.
140
Tinggal sebulan lagi seorang anak akan lahir.
Puspitawati dan ibunya bercakap-cakap.
“Ibu, gimana kalau kita bawa dik Tuti ke
Pontianak?”
“Memangnya kenapa?” jawab Mbah Oka
“Sebentar lagi, bayi di perut ini kan akan lahir.
Kalau ada dik Tuti, mungkin dia bisa bantu-bantu di
sini. Mas Mahmud semakin sibuk. Dan ibu, kan tau
sendiri, Mas Mahmud itu tidak bisa apa-apa kalau tidak
ada aku,” ujar Puspitawati membanggakan dirinya.
Tentu saja dengan nada bergurau. Tapi untuk hal satu
ini, Mbah Oka setuju. Dan kalau Puspitawati bangga,
tentu saja dia juga bangga.
“Terus gimana caranya? Tuti itu kan masih
muda, tidak mungkin dia berani nyeberang pulau
sendirian.”
“Oalah, ibuuu... Tentu saja dik Wati tidak
sendirian. Mas Mahmud akan ada kongres PNI di
Semarang. Ketua PNI seluruh Indonesia diundang. Nah,
dari Semarang, Mas Mahmud bisa mampir ke Jogja dan
pulang ke Pontianak sini membawa dik Tuti. Aku besok
akan menulis surat ke keluarga di Jawa untuk minta
141
persetujuan.”
Begitulah Puspitawati, merencanakan segala
sesuatunya dengan matang.
***
Rumah kediaman Mahmud Akil bertambah satu
anggota keluarga. Tuti tak membutuhkan waktu lama
untuk beradaptasi. Di hari-hari pertama Tuti memang
sedikit canggung, terlebih rumah sepupunya ini tidak
pernah sepi. Selalu saja ada tamu. Tamu yang datang
bisa dari berbagai macam kalangan, meski sebagian
besar orang-orang PNI. Kelak, setelah tahun demi tahun
terlewati, Tuti semakin mafhum. Profesi apapun yang
disandang oleh Mahmud, selalu ia dikelilingi banyak
orang.
Hari itu kediaman Mahmud begitu ramai. Malam
peringatan hari kemerdekaan. Mahmud Akil
mengundang banyak orang dan memutar film layar
tancap. Tuti sibuk menyiapkan hidangan. Setelah film,
orang-orang tidak langsung pulang. Mereka berdiskusi.
Tuti sudah paham. Jangankan hari besar seperti
142
peringatan hari kemerdekaan, hari normal saja, orang-
orang biasanya berkumpul hingga larut. Tuti kagum.
Mahmud tak pernah memperlihatkan wajah lelah saat
bercakap-cakap dengan para kolega. Entah apakah
hanya bersenda gurau, maupun berbincang serius soal
negara. Tuti membatin, wajar jika kemudian Mahmud
disukai banyak orang. Jabatan sebagai ketua PNI
Kalimantan Barat pun layak ia sandang.
Hari telah larut, Tuti sedang berkemas. Masuk
dapur, bersiap-siap untuk mencuci piring dan gelas, dia
dikejutkan dengan sosok perempuan dengan perut yang
begitu besar. Puspitawati.
“Lho, Mba Wati ngapain malam-malam di
dapur? Mba Wati perlu apa? Kan tinggal panggil aku
saja. Ndak perlu ke dapur. Ini sudah larut lho, Mba?”
“Tuti, aku mules. Mules banget.” Puspitawati
mengelus perutnya.
“Ya, Mba. Kan memang sudah harinya.
Sebaiknya Mba Wati kembali ke kamar. Istirahat. Nanti
kalau melahirkan di dapur, gimana?”
“Aku mau dibikinkan rujak, Dik.”
“Hah, rujak?”
143
Terang saja pernyataan kakak sepupunya
membuat Tuti terkejut. Para keluarga sedang harap
cemas tentang kelahiran anak kelima, eeh, si ibu hamil
malah minta dibikinkan rujak.
“Mba Wati, apa aku gak salah dengar? Kan Mba
Wati mau melahirkan, kok malah minta rujak. Duh.”
“Iya, Dik. Aku mau makan rujak,” ujar
Puspitawati tidak main-main.
Tapi Tuti juga tidak mau main-main. Dia tahu
bahwa anak kelima sebentar lagi akan lahir. Lalu
bagaimana jika terjadi apa-apa. Bukankah ibu hamil
sebaiknya menghindari makan pedas? Bukankah Mba
Wati kalau makan rujak selalu pedas? Duh. Tuti tidak
segera memenuhi keinginan kakak sepupunya. Dia
berlari keluar dapur. Membiarkan Puspitawati seorang
diri ngidam rujak.
Tuti nekat. Masuk ke kamar Mbah Oka.
“Bude... Bude... Bangun.”
Tuti berani mengambil risiko. Puspitawati yang
hamil. Tapi Tuti yang panik. Mbah Oka memang bukan
singa, tapi membangunkannya yang sedang tertidur,
bisa berisiko besar.
144
“Budeee... Budeeee, mbok bangun tho. Mbak
Wati, Bude....”
Tuti terus mengoyang-goyang kaki mbah Oka.
Pasrah menerima amarah yang terjadi setelah ini.
Mbah Oka terbangun. Mendengar nada bicara
Tuti yang panik menyebut-nyebut nama Puspitawati,
Mbah Oka ikut-ikutan panik.
“Kenapa, Tut, Wati sudah melahirkan? Di mana
dia? Di mana dia?”
“Mba Wati di dapur, Bude.”
“Apa? Wati mau melahirkan di dapur? Kenapa
kamu biarkan. Cepat panggil Mahmud. Cari supir. Bawa
ke rumah sakit. Jangan biarkan anakku melahirkan di
dapur.”
Mbah Oka meloncat dari ranjang. Jumlah orang
panik bertambah satu orang.
“Bude... Bude.... Mba Wati belum mau
melahirkan.”
“Lha, terus? Ngapain dia ke dapur segala?
Ngapain kamu bangunin aku? Ngapain wajahmu panik
begitu?”
“Itu lho, Bude. Mba Wati minta dibikinkan
145
rujak,” kata Tuti terbata-bata.
“Oalah, Cuma minta bikinkan rujak, kamu harus
membangunkan aku. Kamu tidak tau caranya membikin
rujak? Harus suruh orang tua untuk bikin rujak?”
“Bu... bukan gitu, Bude.”
“Kalau bukan gitu, terus apa?”
“Kan Mba Wati hamil besar. Mungkin sebentar
lagi melahirkan. Mosok harus makan yang pedes-
pedes,” kata Tuti mencoba membela diri. Tapi hal ini
malah membuat Mbah Oka semakin marah.
“Heh, anak perawan. Kamu denger, ya. Anakku
itu sudah empat kali melahirkan. Dia itu perempuan
tangguh. Masak harus kalah sama rujak. Sana, kamu
bikinin. Tenang wae. Habis makan rujak, dia akan tidur
nyenyak, lalu besok, di hari kemerdekaan, dia akan
melahirkan. Kamu percaya saja sama aku.”
Tuti menurut, keluar kamar Mbah Oka. Di dalam
hatinya ia bertanya-tanya. Apa hubungannya hari
kemerdekaan dengan rujak?
Keesokan harinya. Saat Mahmud Akil
mempimpin upacara kemerdekaan bersama orang-
orang PNI, seorang bayi lahir. Bayi Proklamasi.
146
Wati mengelus dada. Bersyukur kepada Tuhan
yang telah menyelamatkan sang bayi yang diguyur
bumbu rujak dari tenggorokan sang ibu, semalam
sebelumnya.
Kelak, ketika bayi proklamasi ini bisa berjalan,
berlari, berbicara dan tumbuh menjadi anak yang nakal,
ia sangat akrab dengan Tuti.
147
Sewaktu kecil, dia dipanggil Hendy.
Nama lengkapnya Muda Mahendra Putra.
Keturunan dari percampuran Dayak-Melayu Darit dan
Bali-Jawa Jogjakarta. Bukan orang yang banyak bicara
ketika kecil. Berambut ikal gelap. Kulitnya coklat bersih.
Hendy tak pernah memilih untuk dilahirkan dari
orang tua yang begitu sibuk. Ayahnya punya karir yang
bagus. Konsekuensinya, hampir setiap hari rumahnya
dikunjungi tamu. Tujuan para tamu beragam dan Hendy
kecil tak peduli. Dia hanya tahu bahwa ayah dan tamu-
tamunya sering terlibat pembicaraan serius. Sesekali
dia mendengar percakapan mereka. Bukan disengaja.
Tapi karena kebetulan saja dia sedang bermain-main
Tujuh belas
Sewaktu Kecil,Dia Dipanggil Hendy
148
tak jauh dari ayahnya.
Ibu Hendy juga merupakan wanita yang sibuk.
Dia banyak terlibat dalam organisasi dan sering
mendampingi suaminya. Bahkan tak jarang, bertindak
sebagai sekretaris pribadi. Lebih dari satu kali Hendy
menyaksikan peristiwa ini: saat ayah bicara serius, ibu
dengan saksama mencatatnya. Ketika semakin besar,
Hendy mengetahui bahwa catatan ibunya adalah
himpunan buah pikiran cemerlang sang ayah.
Pemikiran-pemikiran yang memang harus diabadikan.
Ibu memang punya kemampuan dalam bidang menulis,
sebab sejak remaja sudah akrab dengan buku harian.
Hendy memiliki lima saudara. Empat orang
kakak dan seorang adik. Di antara kelima saudaranya,
hanya satu yang perempuan. Artika, kakak perempuan
Hendy, lebih akrab dengan ibu. Meski demikian, bukan
berarti bahwa Hendy dan saudara laki-lakinya dekat
terhadap ayah.
Proses mengenal ayah lebih banyak dialami dari
cerita-cerita ibu. Ya, ibu yang banyak bercerita tentang
ayah. Hendy juga tahu kalau ayahnya suka membaca.
Hendy juga tahu kalau ayahnya menyukai presiden
149
pertama republik ini. Tapi tak hanya dia seorang. Wakil
presiden pun, ayah suka. Hendy pernah menemukan
buku tebal di meja kerja ayahnya. Judulnya Mohammad
Hatta, sebuah autobiografi. Hendy penasaran dengan
buku itu. Nanti, setelah Hendy lulus SD, buku
Mohammad Hatta berhasil dibacanya.
Usia enam tahun Hendy masuk sekolah. SD
Islamiyah. Lokasinya dekat rumah. Pagi hari, sekolah
ini mengajarkan pelajaran umum. Sore hari, siswa
diwajibkan belajar pendidikan Islam. Sekolah Islamiyah
adalah sekolah tua yang memiliki tingkat kedisiplinan
tinggi. Kepala sekolah disegani orang tua murid,
dihormati para guru dan pegawai, ditakuti para murid.
Karena itu, sekolah ini menjadi terkenal di Kota
Pontianak. Banyak dosen yang menyekolahkan anak-
anaknya di sekolah ini. Bisa jadi, alasan yang paling
umum adalah karena dekat dengan rumah yang berada
di lingkungan kampus. Tapi bagi Mahmud Akil, perkara
dekat rumah hanya alasan terakhir. Alasan utama
menyekolahkan Hendy di sekolah ini, tak lain tak bukan,
mutu pendidikan umum dan pendidikan agama yang
diajarkan.
150
Selain bersama ayah, ibu, dan saudara-
saudaranya, Hendy juga tinggal bersama simbah dan
buliknya. Ayah adalah kepala keluarga. Tetapi di rumah
dan untuk kepentingan rumah, keputusan-keputusan
simbah sangat jarang tak disetujui oleh kepala keluarga.
Bagi ayah, simbah adalah mertua yang tegas,
berkarakter, dan bernas. Bagi ibu, simbah adalah ibu
kandung yang bijaksana, lemah lembut, dan penyabar.
Bagi Hendy dan saudara-saudaranya yang lain, simbah
adalah orang yang cerewet, keras, dan layak untuk
ditakuti. Tapi tak seorang pun yang tidak menyayangi
simbah di dalam rumah. Segalak apa pun simbah, dia
cukup memiliki pengaruh terhadap perkembangan
pendidikan cucu-cucunya. Mbah Oka, panggilannya.
Janda pejuang, demikian orang-orang mengenalnya.
Satu orang lagi yang tinggal di rumah, yakni
bulik. Dia bernama Tuti. Didatangkan dari Jogjakarta,
khusus untuk membantu keluarga di Pontianak jika kelak
Hendy lahir. Dan benar, setelah lahir, anak nomor lima
ini menjadi begitu akrab dengan bulik Tuti. Bulik Tutik
sangat berperan dalam masa kecil Hendy. Menjadi
pengasuh sekaligus teman bermain. Bulik Tutilah yang
151
memandikan Hendy, baik sebelum berangkat sekolah
maupun sebelum pergi tidur di malam hari. Saking
akrabnya, Hendy sering tertidur di kamar bulik Tutik.
Ketika malam larut dan tamu sudah pulang, barulah
ayah memindahkan Hendy yang sedang terlelap. Usia
Tuti ketika berangkat ke Pontianak masih remaja. Saat
mulai bisa mengucapkan sepatah dua patah kata,
Hendy lebih senang memanggil sepupu ibunya ini
dengan sebutan “mba”. Saudara-saudaranya yang lain
juga memanggilnya demikian.
Suatu ketika, tibalah masanya Tuti menikah dan
harus berpisah rumah. Memulai hidup baru, Tuti dan
suaminya tinggal tak jauh dari pasar Flamboyan
Pontianak. Meski demikian, Hendy tak mau jauh dari
Mba Tuti. Kerap saat pulang sekolah, dengan berjalan
kaki atau pun bersepeda, Hendy mampir dan berlama-
lama di rumah Mba Tuti. Di rumah Mba Tuti pulalah
Hendy kecil bertemu dengan Ocha. Anak tetangga
sebelah rumah. Nanti, ketika Hendy semakin besar,
semakin sering dia berkunjung ke rumah Mba Tuti.
Alasannya? Apalagi kalau bukan Ocha.
Mba Tuti dan Mbah Oka adalah keluarga Hendy
152
dari garis keturunan ibu. Dari keturunan Ayah, Hendy
punya nenek moyang yang berasal dari Darit.
Percampuran Dayak-Melayu, kakek Hendy masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan istana
Ngabang. Di zaman bangsa ini sedang terbakar
semangat kumandang kemerdekaan, Kakek Hendy dan
saudara-saudaranya yang lain, termasuk gigih agar
daerah perhuluan Borneo Barat terbebas dari
penjajahan. Kimas Akil. Fokus memimpin pemuda di
wilayah Darit saat kabar kemerdekaan RI tersiar.
Setelah Indonesia merdeka, Kimas Akil fokus
di dunia usaha. Mendidik anak-anaknya untuk bertarung
langsung dengan kehidupan yang sesungguhnya. Di
pasar, di hutan, di ladang dan di sekolah. Mahmud Akil
adalah satu-satunya keturunan dari Kimas Akil yang
berkeras membuktikan betapa pentingnya pendidikan.
Setamat SD merantau ke Pontianak. Lulus SMP
merantau ke Jogjakarta. Mahmud Akil berjuang meraih
pendidikan setinggi mungkin. Mahmud Akil membuat
Kimas Akil bangga. Hingga akhirnya, ketika Mahmud
sudah pulang ke Kalimantan Barat, mengisi
kemerdekaan dengan berbagai aktivitas, tak hanya
153
keluarganya yang bangga, orang-orang dari daerah ini
pun ikut bangga. Dari rahim istri Mahmud Akil, Hendy
lahir.
Mahmud sering membawa Hendy kakak beradik
berlibur ke Darit, juga ke Jogja. Agar tak lupa nenek
moyang. Agar selalu ingat dengan tanah kelahiran. Dari
percampuran banyak kebudayaan inilah Hendy
kemudian banyak belajar.
Kalau di Darit, hal yang sering dilakukannya
adalah menceburkan diri ke sungai. Bersenda gurau
bersama saudara. Menyatu dengan alir air. Menapak
dan menyimak nyanyi hutan. Darit punya jasa besar
bagi Hendy untuk belajar bagaimana akrab dengan
alam.
Berlibur ke Jogjakarta di masa kecil, adalah
pengalaman tersendiri bagi Hendy. Kota ini terlalu
banyak menyimpan cerita. Begitu tabah mengabadikan
peristiwa. Di sini, tradisi tetap terjaga lestari, meski
modernitas tak bisa dihindari. Di Jogjakarta begitu
banyak perantau. Begitu banyak orang menuntut ilmu.
Jogja menjadi inspirasi tersendiri bagi Hendy untuk
mengikuti jejak sang ayahnda. Menuntut Ilmu.
154
Hendy kecil, pelan-pelan tumbuh besar. Hendy
kecil banyak belajar. Hendy kecil menjadi nakal. Hendy
kecil punya cerita unik. Bisa menggelitik. Bisa juga
pelik.
155
1926
Para pemuda dari berbagai penjuru nusantara
berkumpul di Batavia. Para pemuda ini semakin sadar
dengan kebiadaban kolonialismedan bertekad
melawan. Persatuan diperlukan. Sebab hanya dengan
bersatu kolonialisme bisa diruntuhkan. Kondisi dunia
internasional menegang. Negara-negara, besar dan
kecil, bersiap-siap angkat senjata. Tanda-tanda akan
pecah perang besar yang kedua sudah terlihat. Orang-
orang yang punya kesempatan berpendidikan tinggi
menganalisis dan memprediksi. Perang Dunia I belum
tuntas hingga ke akar-akarnya. Masih tersisa benih
konflik dan kesumat yang sangat potensial meledak.
Delapan Belas
Sekolah Islamiyah
156
Negara-negara yang berseteru akan mengerahkan
kekuatan terbaik secara besar-besaran. Perang Dunia II.
Momen kacaunya kondisi internasional, serta
daya juang yang semakin tinggi untuk melenyapkan
kolonialisme di nusantara, menjadi sebab para pemuda
berkumpul. Congres Pemoeda diselenggarakan. Batavia
jadi tuan rumah. Dua tahun kemudian, para pemuda
ini kembali berkumpul dan bersumpah.
Di waktu hampir bersamaan dengan
berkumpulnya para pemuda untuk mewujudkan mimpi-
mimpi kemerdekaan, seorang petani di pulau
Kalimantan memiliki mimpi yang lain. Pendidikan. Ilmu.
Dalam hatinya, dengan ilmulah kemerdekaan yang
sesungguhnya mudah tercapai. Petani ini tinggal di
daerah Kampung Bangka, Pontianak.
H. Muhammad Arief bin H. Ismail. Lelaki ini
belajar Islam sejak kecil. Pemahamannya terhadap Al-
Qur’an sudah terjadi ketika ia masih remaja. Paham,
bukan sebatas mengerti bahasa Arab dan
terjemahannya belaka. Lebih dari itu. Paham dalam
pengertian mampu mengaplikasikan firman-firman
Allah yang terangkum dalam sebuah kitab suci
157
penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Otak
Muhammad Arief penuh dengan ilmu.
Sepulang berhaji, Muhammad mengajar ilmu
Islam kepada masyarakat di sekitar Kampung Bangka.
Tak hanya ilmu tentang berhubungan dengan Sang
Pencipta, tetapi juga ilmu bagaimana berinteraksi
sosial dengan sesama umat. Islam itu lengkap.
Sempurna. Bukan cuma soal sholat, puasa, haji dan lain-
lain seperti yang terangkum dalam Rukun Iman dan
Rukun Islam. Tetapi juga soal jual beli, menanam,
beternak dan lain-lain hingga soal bersilaturrahmi. Dari
perkara remeh-temeh hingga persoalan yang begitu
kompleks, ada aturannya. Siapa yang mengaturnya?
Allah. Di mana mempelajarinya? Qur’an. Hal inilah yang
membuat Muhammad bersemangat mengajar.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
Muhammad bertani. Aqidah lelaki ini tak diragukan.
Pertaniannya subur makmur. Berkah dari Allah. Di usia
yang masih muda, Muhammad digelari hartawan. Di
sinilah kualitas orang yang aqidahnya begitu kokoh.
Harta berlimpah yang dimiliki Muhammad,
dibelanjakan di jalan Allah. Ia tak hanya dikenal sebagai
158
hartawan, tetapi juga dermawan.
Di rumahnya, Muhammad mengajarkan anak-
anak dan orang dewasa. Ia dibantu seorang guru agama
bersuku Minang dari Painan. Semakin hari, semakin
ramai orang-orang yang berkunjung. Rumahnya tak
muat lagi menampung orang-orang yang haus ilmu.
Tempat belajar dialihkan ke rumah anaknya, M. Thahir,
sebab memiliki ruangan yang lebih besar.
Empat tahun sebelumnya, di Sambas, sudah
berdiri sebuah lembaga pendidikan resmi. Bernama
Madrasah As-Sultaniyah Sambas yang kemudian
berganti nama menjadi Tarbiyatul Islam. Lembaga
pendidikan ini menjadi inspirasi Muhammad untuk
melakukan hal serupa di Pontianak. Tak hanya
mengajarkan materi agama, tetapi juga mengajarkan
materi umum. Ia kemudian mewaqafkan tanahnya. Di
atas tanah waqaf, dibangun sebuah lembaga
pendidikan bernama Perguruan Islamiyah.
Materi yang diajarkan dibagi dua. Materi umum
dan materi agama. Karena regulasi pemerintahan
kolonial Belanda, perguruan ini harus dibuat
berdasarkan kelas-kelas tertentu. Pagi hari ada
159
tingkatan Volk School atau Sekolah Rakyat ditempuh
dalam waktu tiga tahun. Setelah tamat dari Volk School,
bisa melanjutkan ke Vorvogh School atau Sekolah Dasar
yang ditempuh selama lima tahun. Dari sini kemudian
para siswa bisa mendapatkan ijazah negeri.
Sore hari, sekolah agama tingkat Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, dan Aliyah. Sekolah ini semakin terkenal.
Tak hanya orang-orang dari Kampung Bangka yang
berhasrat belajar. Tetapi masyarakat dari seberang
sungai pun menyekolahkan anak-anak mereka di
Perguruan Islamiyah. Jumlah pelajar semakin
meningkat. Ruang belajar tidak memadai. Salah
seorang guru, Ustadz Abdul Manaf, mendesak H.
Muhammad untuk membangun gedung yang lebih
besar.
Tahun 1931, Perguruan Islamiyah memiliki
gedung sekolah yang dapat menampung ratusan
pelajar. Setahun setelahnya, seluruh siswa menempati
gedung baru yang namanya berganti menjadi Sekolah
Islamiyah. Ustadz Abdul menjadi pemimpin Sekolah
Islamiyah di periode-periode awal, dibantu Ustadz
Mahmud Syamsudin dan H. Husein Arief.
160
Begitulah amal jariyah H. Muhammad Arief.
Orang-orang berilmu lahir dari Sekolah Islamiyah.
Meskipun H. Muhammad telah wafat, tapi “anak-anak
intelektual”-nya yang sholeh, akan selalu
mendoakannya.
Setelah Indonesia merdeka, Sekolah Islamiyah
semakin maju. Tak jauh dari lokasi sekolah, sebuah
universitas berdiri. Di wilayah kampus dibangun
perumahan dosen. Permukiman menjadi semakin
padat. Ditambah lagi dengan kompleks militer yang
juga masih dalam satu wilayah. Sekolah Islamiyah
menjadi sekolah favorit. Dulu, para pelajarnya hanya
berasal dari masyarakat Kampung Bangka, pinggiran
dan seberang sungai kapuas sungai saja. Tetapi,
semenjak berdirinya universitas, anak-anak dosen dan
karyawan kampus pun disekolahkan di Perguruan
Islamiyah.
Di Perguruan Islamiyahlah Hendy menghabis-
kan masa enam tahun sekolahnya. Belajar tentang ilmu
pengetahuan. Belajar tentang kemanusiaan. Belajar
tentang ketuhanan. Berkenalan dengan banyak teman.
Bergurau. Berkelahi.
161
Tahun keempat Hendy berada di SD Islamiyah.
Sudah 11 tahun usianya. Di tahun keempat ini, pihak
sekolah punya kebijakan menyalurkan hobi dan bakat
siswa dengan kegiatan di luar jam pelajaran. Pilihannya
banyak. Kesenian, keagamaan dan olahraga, termasuk
beladiri. Hendy tertarik dengan bela diri. Pilihannya
Pencak Silat atau Karate.
“Kau pilih bidang apa?” tanya Hendy kepada
salah seorang teman.
“Sepak takraw. Ini permainan asli Melayu. Kalau
bertanding dan bisa menang terus, datukku di rumah
pernah bilang, ada kemungkinan bisa bertanding di
Brunei. Kalau sudah sampai di Brunei, ada kemungkinan
Sembilan belas
Silat, Karate, dan Salman
162
bisa sholat di masjidnya Sultan Brunei,” jawab
temannya sambil tersenyum menatap langit.
Hendy tersenyum dan kemudian mengangguk-
angguk.
“Kau sendiri pilih apa?” tanya si teman sambil
menoleh ke arah Hendy.
“Masih bingung. Ingin masuk beladiri, tapi aku
masih belum tahu, pencak silat atau karate.”
“Pencak silat saja. Pencak silat itu asli Melayu
juga. Kalau kau bertanding dan menang terus, kau bisa
bertanding di Brunei. Demikian kata datukku. Di Brunei
itu ada istana yang begitu indah. Datukku juga bilang
kalau nama Borneo yang dipakai orang Belanda,
berasal dari nama Brunei. Pokoknya, Brunei itu
mantap.”
“Datukmu pernah ke Brunei?” tanya Hendy.
“Nah, itu yang belum pernah diceritakan
datukku.”
Hendy tersenyum lagi. Mengambil sebatang
rumput. Menyelipkan ke telinga temannya.
“Nih, pakai rumput. Bentar lagi hujan panas,
biar tidak kesurupan syaiton. Kalau sampai kesurupan,
163
kau tidak bisa ke Brunei.”
Mereka saling pandang sesaat, kemudian sama-
sama tergelak.
Dalam kepala Hendy ada pencak silat. Tapi
ketika mendaftar, dia malah memilih karate. Tak
seorang pun tahu apa alasan dia memilih karate. Bisa
jadi karena Hendy tidak ingin ke Brunei.
Waktu berjalan. Tak pernah diduga sebelumnya,
para siswa yang baru naik kelas empat menghadapi
sebuah kenyataan. Bakat dan hobi ternyata menjadi
ajang persaingan gengsi. Diakui atau tidak, itulah tradisi
yang dilakukan oleh para senior. Tradisi ini menular ke
anggota baru. Sepakbola adu gengsi dengan sepak
takraw. Bola voli adu gengsi dengan bola pingpong.
Seni tari adu gengsi dengan seni suara. Pencak silat
adu gengsi dengan karate.
Hal ini dialami Hendy. Pulang sekolah, Hendy
diajak sepupunya, Harsa, menjenguk salah seorang
teman yang sakit. Rumah yang mereka tuju, masuk dari
Gang Busri, melewati jembatan kayu belian atau lazim
disebut gertak di pinggir sungai Kapuas. Sepulang
menjenguk, mereka berpapasan dengan beberapa
164
orang teman sekolah. Harsa tersenyum dan berniat
menyapa ramah. Tapi, demi melihat orang-orang
hendak disapa ternyata berperangai tidak bersahabat,
Harsa mengurungkan niat.
“Hey, Harsa. Kau dari mana?”
Seorang di antara mereka buka suara dengan
gaya petantang-petenteng. Badannya kurus. Nafasnya
sepotong-sepotong. Kulitnya legam. Matanya jalang.
Orang-orang se-Perguruan Islamiyah memanggilnya
dengan nama Ableh.
“Dari rumah Bahar. Dia sakit.”
“Kau jangan macam-macam. Eh, itu siapa
namanya? Ehmm. Si Muda. Betul? Muda. Dia ini anak
karate, kan?” tanya Ableh dengan telunjuk menuding
ke arah jidat Hendy.
Empat teman di belakang Ableh maju selangkah
dan membusungkan dada. Harsa menoleh sebentar ke
arah sepupunya. Jantungnya mulai tidak beraturan.
Hendy tidak berkata-kata. Hanya mengangguk-
angguk pelan.
“Ayo, kita berkelahi!” tantang Ableh berkacak
pinggang.
165
Detak jantung Harsa semakin tak karuan.
“Tenang,” lanjut Ableh sambil mondar-mandir,
“kami tidak akan main keroyok. Asal kalian tahu, anak
pencak silat pantang main keroyok.”
Mengetahui bahwa dirinya tidak akan dikeroyok,
Hendy semakin percaya diri. Tiba-tiba tangannya
mengepal. Harsa cemas bukan main. Dia tak tahu apa
yang harus diceritakan ke pamannya jika kelak Hendy
pulang dengan wajah babak belur. Harsa menyesal.
Kenapa mereka harus bertemu dengan Ableh dan
rombongan.
Ableh berhenti mondar-mandir dan berdiri
sekitar tiga langkah di depan Hendy. Sepasang petarung
sekarang berhadap-hadapan. Ableh menarik napas dan
melebarkan jarak kaki. Kuda-kuda terpasang. Hendy
bersiap-siap. Kuda-kuda juga terpasang. Perkelahian
antara anak pencak silat dan anak karate tak bisa
dihindarkan. Siapa yang menang, pasti mengukir nama
esok hari dan jadi cerita membanggakan di sekolah.
Beberapa detik sebelum adu jotos, Harsa berteriak:
“Woi! Jangan berkelahi! Kalau berkelahi, nanti kalian
tidak bisa berangkat ke Brunei!”
166
***
Meskipun antara anak Pencak Silat dan Karate
jelas-jelas terlibat persaingan adu gengsi, tapi
sesungguhnya mereka jarang melakukan kontak fisik.
Biasa. Sering terjadi di kalangan anak-anak. Ada dua
pihak yang bersitegang. Paling-paling hanya akan saling
tolak dada, sikut bahu atau kacak pinggang. Kedua
belah pihak tidak berani memukul duluan, hingga
akhirnya ada pihak ketiga yang melerai.
Nah, terjadi kondisi yang bertolak belakang jika
mereka berada di lapangan sepakbola. Kalau bermain
bola, anak-anak beladiri ini malah bergabung. Bahu-
membahu dan saling membantu dalam satu tim. Hendy
sendiri punya teman-teman akrab. Mereka sering
bersama-sama. Si kembar Amir Budiman dan Riza
Darmawan adalah teman sepermainan Hendy. Di
sekolah, mereka sering terlihat bersama. Teman-teman
yang lain adalah Firmansyah, Fachrurrazi, Muhammad
Azmi, M. Riyadh, dan tentu saja si sepupu, Harsa Eka
Putra. Di lapangan sepakbola, Ableh dan rombongan
167
sering menjadi teman mereka. Akrab. Seru. Gembira.
Setidaknya itu yang mereka pikirkan mereka. Tapi tentu
saja anak-anak sekolah lainnya boleh berbeda
pendapat. Misalnya gelar jahil, bingal dan nakal.
Di dalam kelas, ada seorang anak yang kerap
menjadi korban. Namanya Salman. Salman agak berbeda
dibanding siswa kebanyakan. Daya nalarnya agak
lambat. Di dalam kelas suka sibuk sendiri. Daun
telinganya agak besar. Jika diolok-olok teman-teman,
tak pernah melawan. Di dalam kelas, Salman yang
paling tua. Masih SD, usianya sudah 17 tahun.
Mentalnya agak terbelakang. Walaupun selalu jadi
bahan candaan, seisi kelas menyayanginya.
Meski sering menjadi korban, Salman tak pernah
memperlihatkan dirinya tidak setia menjadi suporter
sepakbola. Halaman sekolah menjadi saksi betapa
semangatnya Salman menyoraki teman-temannya.
Siapapun yang menang, Salman selalu senang. Siapa
pun yang bersedih, Salman selalu berusaha menghibur.
Hari itu cuaca agak mendung. Pelajaran olah
raga. Ustadz Qodir tidak masuk. Seperti biasanya, jika
tak ada ustadz, anak-anak bebas bermain apa saja.
168
Beberapa anak perempuan bermain lompat tali. Salman
sebenarnya hendak ikut bermain bersama anak-anak
perempuan, tetapi tangannya keburu ditarik oleh Ableh.
“Ayo ikut main bola!”
Salman menurut.
Sebagian anak laki-laki bermain pingpong,
sembilan anak yang lain menuju lapangan sepak takraw.
Tiga lawan tiga. Sedangkan tiga orang menunggu
giliran bermain jika salah satu tim kalah. Sisanya yang
lain, menuju lapangan rumput. Bermain sepak bola.
Saat Hendy dan teman-teman karib sudah siap
bermain bola, barulah Ableh dan Salman datang.
Kemudian datang lagi beberapa teman lain. Jumlahnya
jadi banyak. Para pemain dibagi menjadi dua klub.
Dihitung-hitung, tak cukup sebelah lawan sebelas. Tak
masalah. Salman bertugas berdiri dipinggir lapangan.
Menyemangati kedua tim yang jual beli serangan. Bola
terus bergerak. Kaki-kaki terus berkejaran. Sesekali
bertabrakan. Sesekali terjatuh. Napas ngos-ngosan.
Peluh bercucuran. Meski demikian, anak-anak
tersenyum gembira, menikmati permainan.
Tapi.
169
“Praaang!!!”
Seketika mereka terdiam. Musnahlah semua
kegembiraan. Seseorang telah menendang bola.
Melambung cantik di udara. Melesat menuju kaca
jendela. Menerabas masuk ke dalam ruangan tata
usaha. Anak-anak ini tahu apa yang akan terjadi
kemudian. Lutut mereka gemetar. Tertunduk. Berdegup.
Tak menunggu waktu lama, Ustadz Kepala Sekolah pun
datang. Kumisnya tipis. Tapi di mata anak-anak, kumis
itu melintang. Beliau memakai kaca mata. Tapi bagi
anak-anak, itu adalah bola mata yang melotot keluar.
“Siapa pelakunya?!”
Semua kepala tertunduk. Jagoan karate dan
pencak silat langsung ciut. Badan mereka meringkuk.
“Bapak ulangi. Untuk kedua kalinya bapak
bertanya, siapa pelakunya?!”
Masih tidak ada jawaban. Semua siswa tahu,
jika sampai tiga kali beliau bertanya dan tidak ada
jawaban, itu berarti pembangkangan. Itu artinya
neraka. Hukumannya tak hanya membersihkan wc. Tapi
bisa ditambah dengan menghafal tiga juz Al Qur’an dan
membaca kitab kuning dengan tulisan arab gundul. Itu
170
saja? Tidak. Masih. Mereka masih punya kewajiban
menyajikan apa yang telah dihafal dan dibaca di depan
semua siswa. Kalau salah, harus diulangi sambil kaki
diangkat satu. Sampai betul. Kalau masih salah, harus
diulangi sambil kaki diangkat satu dan ditambah dengan
tangan menjewer telinga sendiri. Berbahaya. Ini
berbahaya. Tapi, meskipun sadar dengan risiko besar,
tetap saja para jagoan bungkam.
Ustadz kepala menarik napas sebelum
mengajukan pertanyaan untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba
dari tempat terpisah, seseorang mengangkat
tangannya. Mukanya lugu. Tak ada dosa. Mulutnya
sedikit nyengir.
“Saya pelakunya, Ustadz.”
Para jagoan pencak silat dan karate terkejut.
Kepala mereka masih tertunduk. Perasaan mereka
bercampur aduk.
Salman telah menjadi pahlawan.
171
Era 80-an dan 90-an, industri perfilman di
Indonesia mengalami keterpurukan. Orang-orang yang
bergerak dalam dunia film, mulai dari sutradara, penulis
naskah, pemain, crew, sampai mereka yang mengurusi
peralatan, tak bisa berbuat banyak ketika film-film dari
dunia barat menyerbu Indonesia. Film kolosal Indonesia
yang memfiksikan sejarah, seperti Saur Sepuh atau pun
Tutur Tinular, lambat laun tak lagi diproduksi. Film laga,
film horor, film komedi, bahkan film panas,
bertumbangan. Lesu. Lelah. Kalah pamor dengan
Rambo dan Terminator.
Dua puluh
Ada Kakek di Dalam Bioskop
172
Tidak bergairahnya industri film Indonesia,
berbanding terbalik dengan bidang usaha bioskop.
Sebab merajalelanya film impor membuat masyarakat
semakin butuh bioskop. Sayang, orde penguasa pada
waktu itu adalah orde monopoli. Pengusaha-pengusaha
bioskop lokal pun gulung tikar. Angka 21 menjadi angka
sial bagi para pengusaha bioskop lokal.
Padahal dulu, di Pontianak, hampir di tiap
wilayah terdapat bioskop. Di tengah kota ada kapitol,
yang namanya kemudian berubah menjadi bioskop
Menara. Orang-orang Belanda pada masa kolonial
sering menonton di Bioskop ini. Kata ‘bioskop’ sendiri
merupakan kata serapan dari bahasa Belanda,
‘bioscoop’. Ketika itu, wilayah ini merupakan tempat
bersantai, berkumpulnya para tentara setelah lelah
bekerja. Orang-orang Cina dan Arab banyak membuka
lapak-lapak dagang. Para pelaut dari seluruh nusantara
yang merapat di pelabuhan Seng Hie dan harus
menginap di Pontianak, pun mengidolakan bioskop ini.
Tak jauh dari Bioskop Menara, ada Bioskop Abadi yang
lokasinya terletak di persimpangan jalan Diponegoro
173
dan Tanjungpura. Seiring perkembangan zaman, hadir
pula Kapuas Theater, Khatulistiwa Theater dan
Pontianak Theater. Bioskop adalah tempat favorit orang-
orang mencari hiburan. Beberapa orang yang tidak bisa
menonton karena terkendala biaya, cukup
mendengarkan dari luar. Suara dari dalam bisa
menembus dinding papan yang bolong-bolong.
Pengeras suara ber-merk TOA cukup berjaya pada
masanya.
Meskipun industri perfilm-an Indonesia pada era
itu lemah lesu, bukan berarti tanpa produksi. Republik
ini masih punya agenda menyuntikkan doktrin
nasionalisme ke dalam tiap batok kepala rakyatnya.
Usia republik masih teramat muda dan peluang
perpecahan cukup besar. Agenda-agenda
penyeragaman persepsi, pemicu semangat
kebangsaan, kesadaran kesatuan, harus ditumbuhkan.
Bahkan kalau perlu lewat jalur pemaksaan atau
pemutarbalikkan sejarah. Yang penting masyarakat
bangga menjadi warga negeri Indonesia yang mampu
mengusir penjajah Belanda hanya dengan bambu
174
runcing. Maka tak heran jika kemudian Muhammad
Yamin mengarang sandiwara radio berjudul
Gajahmada. Diperdengarkan ke seantero nusantara.
Mengetengahkan gagasan tentang penyatuan
nusantara lewat sumpah palapa. Hingga sampai
bertahun-tahun, dalam kepala warga terbenam
kepercayaan bahwa Majapahit adalah kerajaan besar
dengan wilayah luas. Membentang dari Sabang sampai
Merauke, naik ke wilayah Malaka dan Singaparna.
Mahapatih Gajahmada menjadi populer di kalangan
anak-anak sekolah. Wajahnya digambarkan gempal
dengan mata menatap tajam. Tegas. Garang. Mirip rupa
Muhammad Yamin.
Masih dalam agenda membangkitkan semangat
nasionalisme, negara memproduksi film-film
perjuangan. Peristiwa-peristiwa bersejarah dimasa lalu
diabadikan dalam bentuk visual. Aktor-aktor berbakat
dicari dan dilibatkan. Temanya tak jauh dari masalah
perang melawan Belanda atau pun Jepang. Sutradara
dibayar mahal. Arifin C. Noer adalah orang yang paling
sering dihubungi negara untuk menghasilkan karya
175
berkualitas. Setelah diproduksi, film diedarkan ke
seluruh bioskop di seluruh Indonesia. Melalui
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, surat edaran
masuk ke sekolah-sekolah. Isinya perintah! Anak-anak
harus menonton. Demi nasionalisme.
1982
Siang. Para siswa di Perguruan Islamiyah sudah
bersiap-siap pulang. Surah Al-‘Asr siap dibacakan. Tapi
tertunda. Ustadz Kepala Sekolah masuk ke dalam kelas.
Memberikan pengumuman.
“Anak-anak, besok kita akan pergi ke Bioskop
Abadi. Menonton film. Jadi, tolong kasi tau orang
tuanya. Jangan sampai ada yang bolos, ya. Ini film
penting.”
“InsyaAllah, Ustadz,” para siswa menjawab
serempak. Kepala mereka menunduk. Bias antara patuh
dan takut.
Hendy bersemangat. Ia suka menonton film.
Menonton film baginya adalah kesempatan
menggunakan otak untuk berimajinasi. Potongan-
potongan adegan, akting para aktor, jalan cerita yang
176
disuguhkan, juga teknik pengambilan gambar, menjadi
fantasi tersendiri bagi Hendy.
Malam hari Hendy tak bisa tidur. Mba Tuti
menemani.
“Sudah malam. Belum tidur?”
“Tidak bisa tidur, Mba. Besok aku diajak nonton
film di bioskop Abadi.”
“Lho, kalau besok mau nonton film, harusnya
malam ini tidur, dong. Biar seger besok hari.”
“Tidak bisa, Mba. Aku masih membayangkan
betapa hebatnya film yang akan kami tonton besok.
Pasti seru. Kalau tidak seru, tidak mungkin ustadz kepala
sekolah mengajak kami semua untuk pergi. Tadi sore
aku tanya Mas Aan. Ternyata dia juga akan menonton
bersama teman-teman sekolahnya. Tetapi di hari yang
lain. Katanya gantian. Nanti bioskopnya ambruk kalau
di serbu anak sekolah se-Pontianak.” Hendy nyengir.
Mba Tuti juga.
“Memangnya besok Mas Hendy mau nonton
film apa?”
177
Hendy berhenti nyengir. Diam. Jidatnya berkerut.
Matanya terpejam sejenak. Sesaat kemudian ia
menggeleng lemah.
“Lupa, ya? Nah, coba tidur dulu. Siapa tau besok
pagi jadi ingat.”
Hendy menurut. Bocah dua belas tahun itu
berangkat tidur.
***
Pagi-pagi. Sebuah mobil hijau tua dengan motif
loreng sudah bercokol di depan Perguruan Islamiyah.
Anak-anak bersemangat. Seperti biasa Hendy
berkumpul bersama teman-teman akrabnya, yakni Amir,
Riza, Firman, Fachrur, Azmi, Riyadh dan Harsa. Mereka
sudah sepakat akan duduk berdekatan, baik di dalam
truk tentara maupun di dalam bioskop. Jangan sampai
ada yang terpisah.
Sebelum berangkat, terjadi ribut-ribut. Salman
dijadikan bulan-bulanan semua teman. Dia tidak
memakai sepatu. Katanya, sepatunya sudah diberikan
ke mamang pedagang rambut nyonya. Hanya dengan
menukar sepatu, bisa mendapatkan rambut nyonya dua
178
genggam dan sesobek kertas. Kalau kertas putih itu
dimasukan ke dalam air, siapa tahu muncul angka. Nah,
kalau beruntung bisa dapat hadiah gelembus. Rambut
nyonya, gelembus. Salman senang sekali. Ternyata dia
beruntung. Sepatu diberikan ke mamang pedagang
rambut nyonya. Dia pamerkan hadiah gelembus. Tentu
saja teman-temannya terpingkal-pingkal. Ustadz kepala
datang. Keadaan seketika senyap. Seorang anak
melaporkan kronologis kejadian. Ustadz kepala geleng-
geleng kepala. Mendatangi Mamang rambut nyonya.
Membujuk agar sepatu Salman dikembalikan. Tentu
saja diganti dengan uang sebesar 15 rupiah.
Mata Salman berbinar. Benar-benar hari
keberuntungan. Bisa makan rambut nyonya, dapat
bonus gelembus dan mendapatkan sepatunya kembali.
Tak lama, ustadz kepala memerintahkan anak-
anak untuk masuk ke dalam truk tentara. Semuanya
bersemangat. Mereka berdesakan. Berebut tempat
duduk. Meski kenyataannya, di dalam truk mereka
berdiri. Tapi tak mengapa. Yang penting Hendy bisa
berkumpul dengan teman-temannya. Yang penting
179
Salman bisa nonton bioskop tanpa harus kehilangan
sepatu. Mobil berjalan. Belum terlalu jauh, seorang
anak kecil berteriak begitu nyaring. Berlari begitu
kencang. Memanggil-manggil. Ableh ketinggalan. Air
matanya hampir saja berceceran. Untung saja truk
tentara berhenti. Ableh berterima kasih. Dia bilang
tentara baik hati. Lebih baik dibandingkan ustradz
Kepala Sekolah.
Semua siswa sudah berada di dalam bioskop.
Ada empat orang ustadz sebagai pendamping. Ruangan
penuh. Suara para siswa seperti suara anak ayam. Riuh.
Ada yang bergurau. Ada yang lempar kertas. Ada yang
berteriak. Ada yang terpingkal. Ustadz pendamping
hanya geleng kepala dan tak bisa berbuat banyak.
Mereka tahu, sebentar lagi para siswa akan diam.
Hendy dan gerombolannya mengambil bangku di tengah
bagian kanan. Para pendekar karate berjejer di
belakangnya. Sisi sebelah kiri, ada Ableh dan pendekar
pencak silat. Awalnya mereka saling tatap. Sampai
kemudian ruangan gelap. Salman duduk paling depan.
Lehernya mendongak ke atas. Tangannya meraba saku
180
baju, masih ada segenggam rambut nyonya yang ia
simpan sebagai teman menonton film.
Saat ruangan menjadi gelap, para siswa
mendadak senyap. Dari speaker bermerk TOA suara
cempreng menggema. Musik yang begitu khas.
Seberkas cahaya menabrak dinding depan. Cahaya
tersebut menampilkan gambar dan tulisan. Sebuah logo
negara muncul. Bundar. Ada burung garuda di sisi kiri
atas bundaran. PPFN. PusatProduksiFilmNegara.
DepartemenPeneranganR.I. mempersembahkan:
Suara musik lenyap. Anak-anak setia untuk
senyap. Tiba-tiba layar bioskop berganti backgroud
merah. Sewarna bendera negara. Dua detik kemudian,
TOA mengeluarkan suara kokok ayam jantan. Mata para
siswa kini fokus. Judul Film keluar. SERANGAN FAJAR.
Teks Serangan Fajar bergerak ke atas, disusul sinopsis
awal film.
Film ini bukan rekonstruksi sejarah, tapi sebuah
kisah manusia berlatar belakang peristiwa2 bersejarah
antara 1945-1950 di jogjakarta, saat2 Revolusi
Indonesia sedang berkobar di mana2.
181
Begitu banyak tokoh dan nama dalam peristiwa
bersejarah sehingga tidak mungkin semuanya
tertampung dalam film ini.
Runningtext hilang. Gambar berganti Gunung
Merapi berlatar langit cerah. Serta merta terdengar
suara Sukarno membacakan Proklamasi. Bulu kuduk
Hendy merinding. Teringat Ayah yang juga
membacakan proklamasi saat dirinya merayakan ulang
tahun.
Kemudian, adegan demi adegan dalam film
membuat para siswa hanyut. Membuat mereka bangga
menjadi warga negara Indonesia. Ada adegan sebuah
keluarga naik delman. Terjadi adegan anak kecil
menangis. Terjadi adegan tembak-menembak antara
barisan pemuda dan tentara Jepang. Ada suara
gamelan. Anak-anak berkobar semangatnya. Ada yang
terharu. Ada yang marah dengan penjajah. Adegan
penyerbuan markas militer Jepang di daerah Kota Baru
Jogjakarta, sangat mendebarkan.
182
Latar waktu subuh hari. Para aktor yang
berperan sebagai pejuang, tiarap. Mengendap. Sigap.
Di balik benteng, seorang Jepang siaga dengan
senapan mesin. Pintu benteng berhasil dibuka paksa.
Pribumi masuk. Tertembak senjata mesin Jepang.
Gugur. Hening. Beberapa detik berikutnya kembali
running text.
Tercatat dua puluh satu nama pejuang yanggugur dalam pertempuran memperebutkan senjataJepang itu. Mereka adalah:
TrimoDjoewadiSoeparmoSunaryoSurotoMoch. SarehDjasmanA. Djohar NoerhadiBagongSabirinAhmad DjasoeliOemoemAtmosukartoSoedjijonoI Dewa Njoman OkaSarwokoSoemardjoFaridan M.NotoAbubakar Ali
Moch. Mardani
183
Teks nama-nama pejuang yang gugur bergerak
dari bawah ke atas. Tiba-tiba terdengar teriakan.
Nyaring.
“Itu kakek! Kakekku!!.... Ada kakekku di film
itu...!!!”
Semua kepala tertuju ke asal suara. Ini teriakan
seorang siswa. Tapi ruangan bioskop gelap. Siapa?
Teriakan tak berhenti. Terus menyebut-nyebut nama
kakeknya. Terpaksa film dihentikan sebentar. Lampu
ruangan dinyalakan. Siswa yang berteriak itu masih
berdiri dan serta-merta jadi pusat perhatian. Dia masih
memanggil-manggil kakeknya.
Muda Mahendra Putra, di rumah dipanggil
Hendy.
Berteriak-teriak menyebut nama kakeknya, I
Dewa Njoman Oka. Salah satu pejuang yang gugur
dalam film Serangan Fajar.
184
Mba Tuti menikah. Dia harus ikut suaminya.
Mereka tinggal di kompleks perumahan yang dibangun
pemerintah untuk para pegawai. Letaknya tidak jauh
dari pasar Flamboyan. Hendy tidak rela sebenarnya jika
harus pisah rumah dengan Mba Tuti. Namun, dia tak
punya kuasa apa-apa. Untunglah jarak antara rumah
Mba Tuti dan Mahmud Akil tidak terlalu jauh. Jadi,
sesekali Hendy masih bisa mengunjungi Mba Tuti.
Saking seringnya Hendy berkunjung ke rumah
Mba Tuti, dia jadi akrab dengan anak-anak kompleks.
Sore hari mereka sering bermain bersama. Yang laki-
laki kadang main perang-perangan. Yang perempuan
bermain lompat tali. Kadang-kadang juga, anak laki-
Dua puluh satu
Insiden Perkenalan
185
laki itu bermain lompat tali dan anak perempuan yang
ikut main perang-perangan. Kalau musim lebaran,
mereka bermain tapuk kaleng. Setelah hompimpah,
para pemenang bersembunyi. Sedangkan satu anak
yang kalah mendapat tugas ganda, yaitu menemukan
anak-anak yang bersembunyi sekaligus menjaga
sesusun kaleng. Seru. Harus pintar-pintar menemukan
tempat persembunyian strategis. Bagi anak yang
menjaga kaleng, harus cekatan dan waspada. Dia wajib
menjaga susunan kalengnya tetap utuh. Jika rubuh
karena dilempar atau ditendang anak lain, dia harus
menyusunnya seperti semula. Setelah disusun ulang,
kembali dia harus mencari anak-anak yang
bersembunyi.
Sore hari, jika tidak ada agenda belajar agama
di Sekolah Islamiyah, juga jika tidak ada janji bermain
bersama Harsa dan teman-teman lainnya, Hendy
bermain bersama anak-anak di kompleks perumahan
Mba Tuti. Kalau di sekolah, semua teman memanggilnya
dengan nama Muda. Sedangkan di kompleks perumah-
an Mba Tuti, teman-teman barunya memanggil dengan
nama Hendy. Persis nama panggilannya di rumah. Sebab
186
Mba Tuti yang memperkenalkannya.
Saat pertama kali diperkenalkan kepada anak-
anak kompleks, Hendy masih malu-malu. Sebentar-
sebentar, setelah tersenyum, dia menunduk. Tapi saat
ia menunduk lebih lama dari sebelumnya, telinganya
menangkap suara bisik-bisik. Terdengar juga suara
cekikikan. Hendy mengangkat wajah. Cekikikan hilang.
Tapi Hendy yakin, cekikikan tadi bersumber dari tiga
anak perempuan yang berdiri berdekatan. Mereka
menutup mulut dengan sebelah tangan masing-masing.
Meski demikian, mulut mereka mendesis saling
berbisik. Mata mereka tertuju ke arah Hendy. Tiba-tiba
saja tubuh salah seorang di antara mereka berguncang.
Sebelah tangan di mulut, sebelah tangan lagi di perut.
Sekian detik berikutnya tawanya lepas. Terpingkal-
pingkal. Anak-anak yang lain saling pandang dengan
jidat berkerenyit. Mereka berkumpul mendekati si anak
yang sedang tertawa.
Hendy masih berdiri di samping Mba Tuti. Posisi
mereka agak berjarak dengan anak-anak kompleks yang
sedang berkumpul. Bibir Mba Tuti sunggingkan
senyum. Kepalanya mengangguk-angguk pelan.
187
Benaknya mencerna kejadian. Sepertinya telah dan
sedang terjadi persekongkolan antar anak-anak
kompleks. Laki-laki dan perempuan. Mereka berkumpul.
Bibir mereka mengulum senyum. Sedangkan satu di
antara mereka, tetap tak mampu menahan tawa.
Namanya Ocha. Sesekali, di antara tawanya, Ocha
mengeluh perutnya sakit.
“Ada apa ini?” tanya Mba Wati mencoba
mencairkan suasana, “apa yang kalian tertawakan?”
Hendy masih kikuk.
Ocha berusaha mengatur napas dan meredakan
tawanya. Tinggal bibirnya yang melengkung. Hendy
melirik. Manis juga, batinnya. Tapi manis senyum Ocha,
tak mampu menghalau kedongkolan hatinya. Hendy
tidak terima telah jadi bahan tertawaan.
“Ocha, ayo cerita. Kenapa kamu tertawa.”
Ocha melirik ke teman-temannya. Meminta
persetujuan. Teman-temannya mengangguk. Awalnya
ragu. Tapi karena sudah disetujui semua teman, Ocha
berani buka mulut.
“Ndak apa-apa kok, Mba Tuti. Teman-teman cuma
bilang, gigi keponakan Mba Tuti seperti gigi kelinci.”
188
Seketika tawa anak-anak kompleks pecah
berderai. Bahkan ada yang rela berguling-guling di
rerumputan. Mereka tidak peduli kalau nanti harus
dijewer oleh Mba Tuti karena sudah mengolok-olok
keponakannya di hari pertama perkenalan. Benar-benar
tidak peduli. Hendy geram. Dadanya menyimpan
dendam. Tangannya mengepal tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Dia tahu, berkelahi dengan anak kompleks
bukan solusi. Dia bisa hanya sabar sambil berharap
Mba Tuti memarahi mereka.
Mba Tuti mendiamtenangkan anak-anak. Nah,
kini giliran Hendy yang akan tertawa jika Mba Tuti
memarahi mereka. Rasakan, kata Hendy dalam hati.
Mba Tuti memperhatikan wajah anak-anak
kompleks, satu per satu. Saat matanya tertuju ke arah
Ocha, Mba Tuti menajamkan tatapan. Agak lama.
Suasana menegang. Tak ada lagi tawa. Hanya tinggal
seorang anak yang sakit perutnya dan berbaring di
rumput. Apakah Mba Tuti akan meledakkan amarahnya
ke Ocha?
“Ocha. Sana kamu, minta maaf,” perintah Mba Tuti.
Ocha mengangguk. Mau melangkah, tapi ragu.
189
Hendy memalingkan wajah ke arah lain.
Tiba-tiba giliran Mba Tuti yang tersenyum.
Pandangannya tertuju ke Hendy yang masih berpaling.
“Hey, Gigi Kelinci. Tidak boleh marah begitu,
dong. Ayo, sana. Bergabung bersama yang lain.”
Hendy merasa dadanya sesak. Bukannya
membela keponakan dengan cara memarahi anak-anak
kompleks, Mbak Tuti malah setuju dan ikut
memanggilnya sebagai Gigi Kelinci. Tawa anak-anak
kompleks kembali pecah berderai. Seseorang yang
terbaring di rumput, kembali berguling-guling. Perutnya
semakin sakit.
“Ayo, Gigi Kelinci. Bermain bersama kami,” kata
Ocha seraya mendekat. Tangannya terulur ke arah
Hendy. Ajakan persahabatan.
***
Selepas magrib, di rumah Mba Tuti, Hendy
mengomel. Dia protes dengan buliknya. Bukannya
membela, tetapi malah mendukung anak-anak
kompleks.
190
“Kan aku malu diejek kayak gitu.”
“Tidak perlu malu. Mereka itu anak-anak baik.
Wajarlah kalau diejek. Kan bercanda? Besok-besok,
mungkin kamu bisa gantian mengejek mereka,” ujar
Mba Tuti sambil mengusap kepala Hendy.
“Cewek tadi itu, siapa namanya?”
“Oh, itu namanya Rosalina. Orang tuanya
memanggilnya Ocha. Kami semua juga memanggilnya
demikian. Rumahnya pas di sebelah rumah ini,” kata
Mba Tuti sambil menunjuk ke arah luar jendela, ke arah
rumah tetangga.
“Orang tua Ocha dari Sambas. Mereka taat
beragama. Keturunan orang alim. Baik sekali. Ocha juga
anak yang baik. Tidak pernah rewel. Juga alim. Kalau
mengaji, suaranya merdu.”
Meskipun Mba Tuti memuji-muji keluarga
sebelah rumah, namun kejadian tadi sore belum bisa
dilupakan Hendy. Hatinya masih dongkol. Ia masih
sewot dengan anak-anak kompleks.
Terutama dengan anak sebelah rumah. Ocha.
Ia tidak rela dipanggil Gigi Kelinci.
191
Setamat SD Islamiyah, Hendy melanjutkan
sekolah ke SMP N 1 Pontianak. Memasuki masa awal
remaja, dia tumbuh menjadi lelaki yang nakal. Teman-
temannya semakin banyak dan berasal dari beragam
kalangan. Prestasinya di sekolah menurun. Dia punya
hobi baru. Menunggang sepeda motor trail. Bukan
hanya Hendy seorang, tetapi ketiga abang dan adik
bungsunya juga demikian. Kalau soal ngebut di jalan
raya pada malam minggu, sudahlah, tak perlu lagi
diajarkan.
Tak hanya itu. Masalah khas yang dialami
semua remaja, Hendy pun mengalaminya. Jatuh cinta.
Bertemu dengan gadis satu sekolah. Anak-anak muda
Dua Puluh Dua
Disidang Ayah
192
menyebutnya pacaran. Putus cinta. Jatuh cinta. Jelas,
ini persoalan mengkhawatirkan. Ayahnya beberapa kali
menasehati agar Hendy tidak melupakan pendidikan.
Begitu juga dengan ibunya. Oleh sang ibu, Hendy
diminta untuk menjaga akhlak ketika berada di luar
rumah. Silakan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Tetapi
etika, benar-benar harus dijaga. Untuk hal satu ini
Puspitawati tidak mau main-main. Ia tidak mau nama
keluarga tercoreng akibat perilaku kurang baik anak-
anaknya.
Tapi, ya, begitulah anak remaja. Banyak yang
memamah begitu saja pemeo pergaulan bahwa belum
keren kalau tidak nakal. Termasuk Hendy remaja. Dia
merasa keren. Keren karena nakal. Dia menjadi anak
bermasalah di sekolah. Beberapa kali orang tua
dipanggil oleh Kepala Sekolah. Beberapa kali Hendy
ketahuan tidak masuk kelas padahal dari rumah
berangkat sekolah. Beberapa kali ibunya harus cemas
karena Hendy belum pulang padahal sudah larut
malam.
Mahmud Akil mengambil sikap. Hendy dipanggil
ke ruang kerjanya. Sidang.
193
Dalam obrolan empat mata antara ayah dan
anak tersebut, Mahmud Akil bercerita tentang masa
remajanya. Diceritakan bahwa sejak tamat SD, dirinya
sudah merantau ke Kota Pontianak dan melanjutkan
perantauan ke Jogjakarta. Merantau saat usia masih
begitu belia. Alasannya, pendidikan.
“Lalu, apakah selama dalam perantauan
ayahmu ini tidak nakal?” Mahmud berhenti sebentar.
Mematikan rokoknya. Mengambil sebatang lagi.
Membakarnya. Suasana ruang kerja menjadi mirip
dengan ruang interogasi. Menegangkan. Tapi tidak
demikian apa yang dirasakan Hendy. Dia malah senang
dengan kemarahan ayahnya. Dia merasa begitu dekat
dan akrab. Ini adalah peristiwa langka. Hendy banyak
diam. Mahmud melanjutkan.
“Saat seusiamu, semua orang bilang ayah
nakal. Pihak keluarga. Pihak sekolah. Siapa saja bilang
bahwa ayah nakal. Kemudian apa yang ayah pikirkan
ketika stempel nakal melekat pada diri ayah?”
Hendy masih diam. Dia menikmati nasihat
ayahnya.
“Pembuktian. Kelak, orang-orang akan tahu
194
bahwa Mahmud Akil mampu membuat mereka
bangga!”
Hendy terkesiap. Kata-kata itu tegas, menderas
dan meresap dalam sanubarinya. Kalimat ayahnya
barusan membuat dadanya membuncah. Hendy
mengangguk-angguk seraya mengatur napas. Dia haru
dan bangga sebagai anak Mahmud Akil. Iya. Baik. Janji.
Dia juga harus membuktikan diri.
“Pembuktian tidak harus dilakukan dengan
kebut-kebutan di jalan. Pembuktian pun tidak dengan
memperkenalkan banyak pacar ke orang tuamu.
Pembuktian juga tidak dengan kelakuan bolos sekolah.
Bukan itu. Tapi pendidikan! Belajar. Membaca. Bagus
pendidikanmu, maka bagus hidupmu di masa
mendatang.”
Pintu diketuk. Ceramah sang ayah terhenti. Di
luar ada tamu. Mahmud Akil keluar ruangan. Hendy
ditinggal sendirian. Mumpung tidak ada orang, Hendy
remaja menuju meja kerja ayahnya. Duduk di kursi.
Membayangkan diri menjadi Mahmud Akil.
Sebuah buku tebal tergeletak di atas meja kerja.
Semula, tak ada rencana Hendy untuk menyentuhnya.
195
Tapi entah. Tulisan di sampul buku membuat Hendy
penasaran. Di bagian atas tertulis ‘Mohammad Hatta’.
Lalu ada gambar dua orang lelaki. Kemudian di bagian
bawah ada tulisan ‘Memoir’. Bahwa Mohammad Hatta
adalah wakil presiden pertama, Hendy tahu itu.
Ayahnya sering menyebut-nyebut nama Hatta. Ayahnya
kerap menggunakan kata sapaan ‘bung’. Sama seperti
ketika menyebut nama Sukarno. Masih ada satu lagi,
Syahrir. Ketiga nama ini kerap disebut-sebut Mahmud
Akil dengan sapaan bung. “Bung Karno, Bung Hatta,
Bung Syahrir adalah tiga orang yang tidak boleh kita
lupakan. Jasa mereka begitu besar terhadap republik
ini,” begitu kira-kira ucapan Mahmud Akil kepada anak-
anaknya.
Bagi Hendy, tak ada masalah dengan nama
Mohammad Hatta di buku itu. Tapi kata ‘memoir’,
terasa asing. Baru kali ini dia menemukannya. Dalam
hatinya, jangan-jangan ini adalah kata ‘memori’ yang
salah cetak. Tapi, apa mungkin percetakan tidak teliti
dan kemudian menyebarkan buku yang salah cetak?
Hendy tidak percaya begitu saja. Buku tebal itu
diraihnya. Ada 567 halaman dengan halaman terakhir
196
memamerkan foto Bung Hatta, Istri, dan anaknya. Tak
ada penjelasan tentang “memoir’ di halaman paling
belakang. Pun di halaman depan. Sampai akhirnya
Hendy memutuskan untuk membaca paragraf awal di
halaman pertama.
Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12Agustus 1902. Bukittinggi adalah sebuah kota kecil yangterletak di tengah-tengah dataran tinggi Agam.Letaknya indah di ujung kaki gunung Merapi dan gunungSinggalang dan di sebelah utaranya kelihatan pulamelingkung cabang-cabang bukit barisan. AntaraBukittinggi dan gunung Singgalang terbentang sebuahngarai yang dalam dan bagus pemandangannya. Agakjauh dari tempat itu pada jurusan sebelah timur tampakgunung Sago. Apabila tidak ada kabut, kelihatan darijauh sebelah barat laut gunung Pasaman yang kesohordalam dongeng sebagai gunung yang mengandungemas. Ngarai dan gunung-gunung serta Bukit-BukitBarisan yang kelihatan sekitarnya itu memberikankepada kota Bukittinggi suatu pemandangan yang indahsekali. Hawanya sejuk, pada malam hari malahandingin. Berbagai jenis bunga subur tumbuhnya di sana.Orang-orang yang datang bertamasya dari daerahpesisir sering menamai Bukittinggi “Kota kebun bungamawar”. Selain dari indah pemandangannya, kota itubersih pula. Jalan-jalan raya disapu selalu oleh orang-
197
orang hukuman yang mendapat hukuman berat yangdidatangkan dari tempat-tempat yang jauh. Ini muslihatpemerintah jajahan untuk mengalangi supaya merekajangan melarikan diri. Letak rumah-rumah dalam kotakecil itu tersusun baik. Tiap-tiap rumah tempat tinggalmempunyai pekarangannya. Di sebelah muka biasanyaditanami bunga-bunga, pada sebelah belakang tumbuhbeberapa pohon buah-buahan.
Takjub. Hendy terpana dengan deskripsi yang
dipaparkan. Mohammad Hatta ternyata adalah
penulisnya. Ia mengambil kesimpulan sendiri, “Jangan-
jangan ‘memoir’ itu artinya buku harian. Jadi ini adalah
buku harian tentang kisah hidup.
Tapi Hendy segera mengabaikan kata ‘memoir’.
Paragraf pertama di halaman pertama telah menyita
perhatiannya. Pemerian tentang Bukittinggi
membuatnya terkesima. Ini adalah daerah yang indah.
Gunung merapi, Singgalang dan Bukit Barisan. Ngarai.
Hendy ingin bisa ke sana. Hendy ingin bisa melihat jam
gadang dari dekat.
Hendy memberanikan diri mengambil buku
tersebut. Keluar dari ruang kerja ayah, pindah ke kamar
tidurnya. Melanjutkan membaca. Inilah perkenalan
198
pertama Hendy dengan pemikiran-pemikiran Bung
Hatta. Perkenalan yang menumbuhkan motivasi dan
kesadaran. Ya. Kesadaran bahwa perjuangan akan
menjadi begitu berat jika waktu hanya dihabiskan untuk
kebut-kebutan, pacaran atau pun bolos sekolah.
Dua tahun di SMP N 1 Pontianak, Hendy
dipindahkan ke SMP N 13. Masih kebut-kebutan, tapi
sudah mulai rajin berangkat sekolah. Di sekolah yang
baru, bertemu teman-teman baru. Prestasi akademik
pelan-pelan meningkat. Selesai berkenalan dengan
Memoir Bung Hatta, Hendy meminjam buku-buku lain
milik ayahnya. Maka sejak masih remaja, dia pun sudah
berkenalan pula dengan pemikiran-pemikiran para
tokoh lain seperti Sukarno, Tan Malaka, dan Mahatma
Gandhi.
199
Ini gambar Rosalina di usia remaja menjelang
dewasa. Punya wajah yang begitu teduh. Selalu berseri-
seri dalam berbagai macam kondisi. Punya mata begitu
syahdu. Pemalu. Moralnya masyaAllah. Kulitnya putih
mulus. Halus. Tapi hanya bisa dilihat dibagian wajah
dan pergelangan tangan. Sisanya, tertutup. Menjaga
aurat. Takut. Tunduk. Hanya kepada yang kuasa.
Setamat SMP, gadis ini melanjutkan sekolahnya
di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Yayasan Rumah
Sakit Islam (Yarsi) Pontianak. Sejak dulu dia ingin
menjadi bidan.
Sewaktu kecil, Ocha, panggilan kesayangan,
sering dibawa ke Sambas oleh orang tuanya. Di Sambas,
Dua puluh tiga
Rosalina
200
mereka tidak tinggal di ibu kota Kabupaten, tetapi
masuk ke kecamatan. Akhir 70-an, Sambas merupakan
daerah yang begitu hijau. Ocha senang sekali kalau
berada di Sambas. Menghirup udara segar akan
membuat tubuh sehat. Waktu itu, polusi udara adalah
barang langka.
Meskipun senang saat berada di Sambas, ada
hal yang membuat Ocha sedih. Hatinya teriris jika
melihat orang sakit. Fasilitas kesehatan yang hanya
terletak di pusat kecamatan membuat masyarakat yang
menderita sakit hanya mengandalkan pengobatan
tradisional. Sebagian tertolong, sebagian lain tidak.
Terlebih ketika ekspansi sawit dari Sumatra berpindah
ke Kalimantan.
Awal 80an, 1.400 hektar lahan di Kecamatan
Ngabang berubah menjadi lahan sawit. Dalam waktu
tak terlalu lama, wilayah-wilayah lain di Kalimantan
Barat pun mengalami hal yang sama. Pohon sawit
merajalela. Sebagian kecil masyarakat riang gembira
karena mendapat uang pembebasan lahan. Orang-
orang tidak menyadari, di musim penghujan, pelan-
pelan mulai terjadi banjir yang lebih hebat dari
201
biasanya.Sedangkan di musim kemarau, kekeringan
menjadi lebih lama. Hutan tropis semakin tidak rindang.
Penyakit tiba-tiba saja mengakrabi masyarakat.
Nenek Ocha adalah seorang bidan. Ocha
terinspirasi meneruskan perjuangan nenek. Ocha masih
ingat betul betapa sabarnya neneksaat menghadapi
orang-orang. Berpindah dari satu kampung ke kampung
yang lain. Tak kenal lelah meski sudah larut malam.
“Nyawa manusia memang sudah diatur sama
Allah.Tapi, kita tidak boleh pasrah begitu saja. Bukan
seperti itu maksudnya tawakkal. Manusia wajib
berusaha. Menolong sesama Muslim adalah kewajiban
yang lain.”
Ujaran nenek melekat kuat dalam ingatan Ocha.
Gadis kecil ini pun akan tersenyum dengan mata
berkaca-kaca jika ada pasien nenek yang sembuh.
Baginya nenek tak sekadar bidan, tapi seorang
pahlawan. Kesehatan harus diperjuangkan. Nenek
adalah pejuang.
Alasan itulah yang membuat Ocha sangat yakin
mendaftar di SPK Yarsi setamatnya dari SMP. Terlebih
keluarganya pun mendukung. Mau menjadi apa pun,
202
asal dibarengi dengan ilmu agama, insyaAllah diridai-
Nya. Ocha beruntung dikelilingi orang-orang religius.
Buyut, kakek, sampai orang tuanya, tak pernah lelah
mendidik Ocha dengan pemahaman agama.
“Kau tau cerita tentang Ibnu Sina?”tanya kakek
suatu hari, saat Ocha penasaran dengan ilmu kebidanan
yang dimiliki nenek.
Ocha menggeleng.
“Orang ini bernama asli Abu Ali Husain bin
Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Lahir di daerah
Bukhara. Ibnu Sina sejak kecil sudah akrab dengan ilmu
pengetahuan. Saat usianya 10 tahun seluruh isi Al-
Qur’an dihapalnya. Ibnu Sina adalah orang yang haus
ilmu sejak kecil. Filsafat, sastra, psikologi dipelajari.
Mengkaji isi Al-Qur’an dengan serius. Menemukan
banyak hal dalam mengkaji Kalamullah terutama di
bidang kesehatan. Di usia 15 Ibnu Sina sudah terkenal
memahami teori-teori ilmu kedokteran. Tak hanya itu,
dia juga banyak membantu kesembuhan. Hingga
akhirnya saat usianya 17 tahun seorang Amir yang
sedang sakit, atas izin Allah, berhasil disembuhkan Ibnu
Sina. Amir ini begitu berterima kasih dan Ibnu Sina
203
diperbolehkan membaca buku-buku koleksi
perpustakaan istana. Semakin hari, Ibnu Sina semakin
tersohor. Bahkan dunia barat pun belajar ilmu
kedokteran dari muslim yang di otaknya bersemayam
berbagai macam ilmu pengetahuan ini.”
Kegigihan nenek dan cerita tentang Ibnu Sina
dari kakek, membuat Ocha semakin mantap
mempelajari ilmu kesehatan. Sekolah di SPK, selama
tiga tahun tinggal di Asrama, bukan masalah bagi Ocha.
Pasca hidup di asrama sambil menuntut ilmu, Ocha
diterima bekerja di Yarsi.
***
Sore hari, ba’da ashar, di beranda rumah Ocha
bersantai. Mba Tuti, tetangga sebelah rumah, datang
menyapa. Mereka berdua sudah akrab semenjak lama.
“Mba Ocha, akhir pekan ini sibuk?”
“Kebetulan akhir pekan tidak ada jadwal dinas,
Mba. Jadi, kemungkinan di rumah saja. Ada apa
memangnya?”
Cuaca cerah. Angin sepoi menggoyang
204
reranting akasia di halaman.
“Ndak ada apa-apa. Ini, ada acara kecil di
rumah. Anak Mba ulang tahun. Kalau bisa datang, ya.
Acaranya sore. Tapi kalau ndak keberatan, selesai
sholat zuhur, bolehlah datang ke rumah. Bantu-bantu
siapkan makanan.”
Undangan dari Mba Tuti disetujui Ocha. Kedua
keluarga ini memang sudah sejak lama akrab. Ayah
Ocha adalah teman satu kantor Mba Tuti di Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. Semenjak Ocha
kecil, juga sering main di rumahnya Mba Tuti. Tapi
semenjak Ocha di asrama SPK selama tiga tahun, sudah
tak pernah lagi dia main ke rumah Mba Tuti. Kebetulan
ada hajatan di akhir pekan, tentu saja Ocha setuju untuk
datang. Menjaga silaturrahim itu wajib hukumnya. Jika
ikhlas, pasti berkah.
Hari yang ditentukan tiba. Ocha diminta datang
ba’da Zuhur, tapi gadis ini sudah ada di rumah Mba
Tuti sejak ba’da dhuha. Membantu memasak, juga
bercanda. Siang hari, mereka makan siang bersama.
Ocha juga sholat Zuhur di rumah Mba Tuti. Ba’da Ashar,
satu per satu tamu berdatangan. Teman di kompleks,
205
teman kantor, teman sekolah. Acara dikemas dengan
konsep yang sederhana. Yang penting silaturrahim
terjaga.
Saat tamu mulai ramai, Ocha berada di dapur
mempersiapkan hidangan. Tiba-tiba terdengar suara
heboh di depan. Keponakan kesayangan Mba Tuti
datang. Semenjak dilantik menjadi wakil ketua senat
di kampusnya, Hendy jarang mengunjungi rumah
buliknya ini. Terlebih sebentar lagi skripsi. Belum lagi
agenda-agenda gerakan di kampus. Sibuk.
Kemunculannya di rumah Mba Tuti membuat keluarga
heboh.
“Kamu ke mana saja?” tanya Mba Tuti.
“Ada, Mba.”
Hendy tak bisa menjawab panjang, sebab
beberapa teman kecilnya buru-buru menyapanya.
Mereka bersalaman. Bertukar kabar. Berbagi cerita
hangat.
Seorang gadis berkerudung keluar dari ambang
pintu dapur. Membawa minuman. Anggun. Hendy
terkesima. Dia tersenyum. Gadis berkerudung
membalas senyum. Jantung Hendy rontok berguguran.
206
Kelimpungan. Seperti di wisuda tanpa skripsi.
Penasaran. Siapa gadis ini. Hendy mencari dan
kemudian menemukan Mba Tuti di ruang tengah.
“Mba...” kata Hendy dengan suara serupa
bisikan.
“Kenapa?”
“Sssstttt.”
Hendy menyimpan telunjuknya di depan bibir.
Matanya mendelik.
“Ada apa, tho?”
“Itu yang pakek kerudung, yang barusan bawa
minuman itu siapa?”
“Oalah...” Mba Tuti tertawa. Agak keras. Orang-
orang melihat ke arah Mba Tuti. Hendy jadi kikuk. Dia
coba menenangkan buliknya. Gagal. Buliknya malah
ngeloyor ke dapur, lalu kembali lagi ke ruang tengah
sambil menggandeng tangan seseorang. Hendy makin
kikuk. Seseorang yang digandeng buliknya adalah si
gadis yang tadi membawakan minuman.
“Ini, kenalkan,” kata Mba Tuti kepada gadis
disampingnya, “keponakan Mba Tuti.”
Mba Tutik dan Si gadis sempat saling menatap,
207
saling mengangguk, saling mengulum senyum. Hendy
menarik nafas seraya menyipitkan mata. Aneh, pikirnya.
Benaknya mengendus aroma persekongkolan.
Hendy mengulurkan tangannya dan berharap
bisa saling jabat. Hatinya dag dig dug. Gadis ini cantik
sekali. Tapi gadis ini tidak membalas uluran tangan
Hendy. Malah pura-pura berbisik dengan suara yang
setengah dikeraskan.
“Mba Tuti, ini keponakan Mba Tuti yang giginya
kayak kelinci itu, kan?”
Tawa Mba Tuti dan Ocha meledak. Hendy
tersentak. Benaknya melayang pada kejadian
memalukan bertahun-tahun lalu. Saat dia masih begitu
kecil.
208
Di hari-hari setelahnya, melalui Mba Tuti,
Hendy mendapat informasi yang valid tentang Rosalina.
Lelaki ini tak peduli dengan ejekan masa kecil.
Kecantikan gadis ini membuatnya mabuk kepayang.
“Kamu serius ingin menikahi Ocha?”
“Tentu, Mba. Tentu saja.”
“Mba Tuti tidak ingin kamu main-main. Ocha
adalah gadis dengan wajah yang memikat. Berasal dari
keluarga terhormat. Imannya kuat. Gadis seperti dia
diidam-idamkan banyak orang. Kalau kamu memang
ingin menikahinya, berniatlah karena Allah semata.
Muliakan dirinya, sebab istri yang dimuliakan akan
membuat derajat suami terangkat.”
Dua Puluh Empat
Kamar Pak Rektor
209
Mba Tuti menyampaikan niat keluarga Mahmud
Akil untuk meminang Ocha. Tentu saja setelah melewati
banyak diskusi juga pertimbangan. Keluarga Mahmud
Akil menyerahkan semuanya kepada Hendy. Jika
memang benar itu pilihan Hendy, ayah dan ibunya
merestui. Dengan syarat, tanggung jawab lelaki tak
boleh disimpan di tepi.
Ibu Hendy, tak ingin pertunangan. Jika memang
pihak keluarga Ocha setuju, langsung saja ditentukan
tanggal pernikahan. Lamaran dilakukan. Rosalina
menerima dilamar oleh Muda Mahendra Putra.
Saat itu, Muda masih berstatus mahasiswa.
Semester akhir. Beberapa saat lagi wisuda. Sedangkan
istri, merupakan tenaga pengajar kesehatan di Yarsi.
Meski merupakan anak seorang rektor, bukan berarti
Muda bisa dengan mudah melewati proses perkuliahan
hingga akhirnya sarjana.
Mahmud Akil membenci nepotisme. Semasa
karirnya, lelaki ini sering membantu para mahasiswa,
khususnya mereka yang berasal dari wilayah hulu
sungai kapuas. Sejak lama Mahmud bermimpi bisa
membantu banyak orang demi meratanya pendidikan.
210
Rumahnya di Tanjungsari 169, ia relakan menjadi
markas berkumpulnya para aktivis mahasiswa.
Beberapa di antara mereka, bisa kuliah gratis atas
bantuan dari Mahmud Akil pribadi.
Mahmud Akil merupakan teladan putra daerah
yang wajib diberi penghargaan. Bantuan-bantuan yang
diberikannya, tak berlaku bagi keluarga. Punya
hubungan darah dengan Mahmud Akil, dilarang
merengek-rengek minta bantuan. Mahmud sadar bahwa
dia merupakan keturunan pejuang. Semangat
perjuangan ini harus tertular di keluarga.
Muda Mahendra dibiarkan berjuang lolos ujian
skripsi atas usahanya sendiri. Selama kuliah pun,
ayahnya membiarkan ia bergaul dengan siapa saja.
Mengikuti organisasi kampus. Bergabung dengan senat.
Bahkan terpilih menjadi wakil ketua. Di rumah, saat
para aktivis gerakan sedang menunggu giliran bertemu
Mahmud Akil, Muda sering menemani mereka. Bertukar
pikiran, mendiskusikan berbagai macam persoalan.
Muda juga mempelajari pola ayahnya dalam
membangun hubungan. Betapa tidak, Mahmud Akil
merupakan tokoh yang dicintai banyak orang. Karirnya
211
bagus: pernah menjabat Ketua Partai Politik, menjadi
anggota parlemen, pengacara, bahkan calon gubernur
meski ia sadar bukan dari militer. Terakhir, menjadi
Rektor di Universitas Tanjungpura. Saat menjadi rektor,
namanya begitu tersohor. Kampus negeri di Kalimantan
Barat itu seketika naik pamor. Generasi-generasi
kampus dengan kualitas intelektual yang bernas
bermunculan.
Dulu, di kalangan mahasiswa sempat tenar
sebuah adagium, “jika belum masuk ke kamar Mahmud
Akil, berarti belum diakui sebagai aktivis mahasiswa.”
Istilah ini awalnya hanya gurau belaka, karena saking
banyaknya tamu yang datang ke Tanjungsari 169.
Kadang-kadang, Mahmud Akil menerima para tamu di
kamar tidurnya. Padahal rumah kediamannya cukup
besar. Berbagai ruangan untuk tamu menunggu
disediakan. Tapi tak ada yang bisa mencegah orang-
orang untuk datang. Tamu-tamu tersebut tak hanya dari
kalangan mahasiswa, tapi berbagai lapisan masyarakat.
Beberapa kali Mahmud Akil menyuruh para
mahasiswa masuk ke dalam kamarnya. Sebab ruangan
lain sudah penuh terisi tamu. Tapi para mahasiswa ini
212
menyimpulkan hal berbeda. Mereka menganggap, bisa
masuk ke kamar pribadi pak rektor adalah hal yang luar
biasa. Hanya orang-orang istimewa yang bisa masuk
ke dalam kamar pribadi.
Bemula dari gosip, rumor, berita hangat, cerita
tentang “kamar pak rektor” ini menyebar. Rosyad, salah
seorang mahasiswa dari Jawa yang merantau ke
Pontianak, pernah masuk ke kamar Mahmud Akil.
Pulangnya dia sesumbar. Teman-temannya yang lain
iri. Dia merasa paling aktivis di kampus. Mahasiswa
lain, Kandar, mengalami hal serupa. Demikian juga
dengan Mursal dan Usman. Empat orang mahasiswa
ini hanya sedikit dari sekian banyak mahasiswa yang
merasa direstui sebagai aktivis gerakan dari pak rektor.
Mahmud Akil pribadi senang dengan semangat anak-
anak muda. Mimpinya ketika di Jogja tentang
pendidikan rasanya terbayar. Ia cerdas bukan untuk
dirinya sendiri. Tetapi juga ikut mencerdaskan orang
banyak. Terutama mereka yang dari tanah kelahiran.
Sebab Indonesia, bukan hanya Jawa.
Masuk ke kamar pribadi Mahmud Akil
barangkali hanya jadi guyonan para mahasiswa. Tapi
213
secara tak terduga, nantinya, saat zaman sudah
semakin canggih, para aktivis mahasiswa ini kemudian
menjadi individu-individu membanggakan. Rosyad
mendapat posisi yang bagus, Ketua, di Komisi
Perlindungan Anak. Kandar dan Mursal menjadi jurnalis
di dua media berbeda. Bahkan Kandar, setelah lepas
dari aktivitas rutin di media, kemudian membuat
perusahaan sendiri dan menulis banyak buku biografi.
Sedangkan Usman menjadi sejarawan.
Dari para tamu ayahnya, Muda banyak belajar.
Sejak mahasiswa, ia memahami berbagai macam
persoalan. Ayahnya adalah ilmu berjalan. Di samping
sang ayah, ada Ibu yang setia mendampingi. Sepasang
suami istri ini seimbang, membangun keharmonisan
rumah tangga dengan ilmu pengetahuan.
***
Setelah menikah, Ocha kemudian sangat akrab
dengan Puspitawati. Belajar banyak hal tentang
bagaimana taat dengan suami dan berperan besar bagi
pendidikan anaknya nanti.
214
“Laki-laki itu mengedepankan rasionalitas. Kita
sebagai perempuan harus mampu mengimbanginya
dengan lembutnya perasaan,” demikian nasihat ibu
mertua.
Muda dan Ocha menikah dalam usia muda. Ada
cerita tersendiri di balik pernikahan ini. Ini adalah cerita
tentang keikhlasan, kepasrahan diri terhadap Allah, dan
takut kehilangan karena Allah.
Di Yarsi, Ocha adalah perempuan berprestasi.
Hampir semua perawat, tenaga pengajar, staf,
mengenalnya sebagai perempuan yang rajin. Oleh
Yarsi, ia ditawari beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan di Jakarta atau Bandung. Di satu sisi, tentu
saja Ocha sangat senang. Namun di sisi lain, dia
bimbang. Bimbang karena Muda belum lulus kuliah,
sementara itu keluarga Mahmud Akil sudah serius untuk
mempersuntingnya. Mba Tuti yang sering menjadi
perantara ke orang tua Ocha.
Shalat Istikharah. Minta petunjuk kepada Allah
swt. Ocha memohon agar bisa melanjutkan studi di
Ibukota negara, tetapi dia juga ingin Muda Mahendra
adalah jodohnya. Tapi jika harus memilih satu di antara
215
dua, Ocha tidak sanggup. Menuntut ilmu itu wajib,
menikah itu menjadi pelengkap dari separuh agama.
Memohon kepada Allah solusinya.
Ocha akhirnya menyampaikan perkara ini ke
Mba Tuti, dengan harapan disampaikan ke keluarga
Mahmud Akil, khususnya kepada Muda Mahendra.
Mendengar kabar itu, keluarga besar Mahmud Akil
berunding. Mereka ingin melamar Ocha, tetapi juga
tidak bisa melarangnya untuk mengambil beasiswa.
Setelah melakukan berbagai pertimbangan, keputusan
diambil. Keputusan itu adalah, melakukan prosesi
pernikahan, namun tetap mengizinkan Ocha
melanjutkan kuliah. Risikonya adalah, pengantin baru
ini akan terpisah sebentar dan rencana punya anak
tertunda.
Tapi rezeki datangnya dari Allah, manusia tak
punya kehendak memutuskan. Kadang keputusan Allah
membahagiakan, kadang hasilnya bertolak belakang.
Tapi kita harus senantiasa bersyukur. Meningkatkan
ketakwaan, sebab Allah berjanji akan memberikan jalan
keluar bagi orang-orang yang bertakwa dan
memberikan rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka.
216
Dua Puluh Lima
Berpisah Setelah Menikah
Mba Tuti adalah orang yang paling panik saat
mendengar kabar bahwa Ocha mendapat beasiswa di
Jakarta dan harus berangkat segera. Dia tidak rela
kalau pernikahan dibatalkan atau pun ditunda.
Menurutnya, Ocha adalah pasangan yang pas untuk
Muda. Dia kenal betul tabiat keponakannya, juga kenal
dengan akhlak anak tetangganya. Muda perlu orang
yang mampu benar-benar mendampingi dan tugas
tersebut akan mampu diemban Ocha.
Mba Tuti berkunjung ke Tanjungsari 169.
“Hendy, pokoknya kamu harus menikahi Ocha
sebelum dia berangkat ke Jakarta.”
“Memangnya kenapa, Mba Tuti?”
217
Hendy tersenyum. Berpindah duduk lebih dekat
dengan buliknya. Setelah menyandarkan punggung,
kaki kanan diangkat dan ditumpangkan ke lutut kiri.
Santai.
“Aku yang mau menikah,” kata Hendy sambil
menggoyang-goyangkan kaki kanan, “kok, Mba Tuti
yang panik?”
“Soalnya, Ocha itu anak yang baik. Agamanya
juga baik. Keluarganya juga baik. Lengkap sudah. Jadi,
jangan sampai kamu kehilangan dia.”
“Kan, kalau menikahnya setelah dia selesai
sekolah juga bisa, Mba.”
Hendy masih santai.
“Bisa, sih. Memangnya kamu betah
menunggu?”
“Kalau sama-sama setia, kan tidak ada
masalah, Mba. Jodoh, kan di tangan Tuhan.”
Hendy tetap santai.
Mba Tuti mulai tidak sabar.
“Oalah, cah lanang.... cah lanang. Kukasi tau,
ya. Jakarta itu kota besar. Ini nama sekolah Ocha
nantinya: Akademi Keperarawatan Departemen
218
Kesehatan RI. Jurusan Kimia. Ocha memberitahu Mba
Tuti kemarin. Kamu tau apa artinya?”
Mba Tuti benar-benar panik. Nada bicaranya
penuh hasutan. Persis seperti adegan opera sabun dari
Amerika Latin. Tapi yang diajak bicara malah santai.
Tidak ada beban. Hendy menggeleng. Santai.
Di sinilah hasutan Mba Tuti dilancarkan.
Hasutan bertujuan baik tentu saja.
“Kamu tau, lokasi sekolahnya Ocha di mana?
Bangunannya itu terletak pas di belakang Rumah Sakit
Cipto. Kalau praktik, para mahasiswi akan praktik di
RSCM yang tersohor itu. Dan asal kamu tahu, bangunan
itu tembus ke Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.”
“Terus?”
Hendy benar-benar santai. Tak mengendus
marabahaya yang siap menyergapnya sebentar lagi.
“Terus, mahasiswa kedokteran UI itu ganteng-
ganteng. Terus, dokter-dokter muda di RSCM itu
ganteng-ganteng. Pintar-pintar. Kaya-kaya. Sekali
kedipan mata saja, Ocha akan klepek-klepek. Pasti hasil
diagnosanya menyatakan dada Ocha berdegup sangat
219
sering. Kalau imannya tidak tahan, siapa yang mau
tanggung jawab? Kalau tiba-tiba saja Ocha kirim surat
dari Jakarta bahwa dia sudah dilamar salah seorang
dokter, kamu mau apa?”
Mba Tuti menyerang gencar. Tepat. Telak ke
sasaran. Hendy bergidik. Tak sempat menangkis. Tak
bisa bersantai. Sekarang gantian Hendy yang panik.
“Tidak bisa ini. Tidak bisa dibiarkan. Ocha tidak
boleh menikah dengan dokter. Ocha harus menikah
denganku. Tidak bisa ini. Tidak bisa dibiarkan. Ayah
mana Ayah? Ayo kita melamar sekarang. Ibu mana?”
Hendy bangun dari duduknya. Mondar mandir
di ruangan. Melangkah cepat ke teras. Masuk lagi ke
dalam. Kalang kabut. Lebih kalang kabut dibanding saat
pertama kali dia ditantang berkelahi oleh Ableh dan
gerombolan.
“Eh, bocah lanang. Mbok kamu itu tenang.
Semua pasti ada solusinya.”
Mba Tuti sudah cukup dewasa dalam urusan
satu ini. Giliran dia yang bijak. Adegannya tidak lagi
seperti opera sabun Amerika Latin, tapi lebih mirip ke
serial drama seri Losmen di TVRI.
220
“Yang tidak perlu kamu ragukan, adalah aqidah
Ocha yang kuat. Ketika kamu ikat dia dengan
pernikahan, insyaAllah mau pergi sejauh apa pun, ia
tetap akan amanah. Cincin yang nanti melingkar di jari
manisnya, tak hanya sekadar perhiasan atau tanda
bahwa dia adalah perempuan bersuami. Tetapi
sekaligus pengingat bahwa dia telah berikrar di
hadapan Allah Yang Maha Esa untuk mendampingimu
selamanya. Ini janjinya, terhadap Allah. Dia tidak akan
main-main dalam urusan pernikahan.”
Dari serial drama Losmen, Mba Tuti beralih
beradegan seperti serial drama Rumah Masa Depan.
“Benar juga ya.” Hendy manggut-manggut.
Berusaha tenang. Setenang adegan drama seri Aku
Cinta Indonesia (ACI)
***
Hendy tak mau menunggu waktu lama. Keluarga
dari kedua belah pihak bertemu. Sama-sama setuju.
Pernikahan dilangsungkan sebelum keberangkatan
Ocha ke Jakarta. Risiko ditinggal istri sekolah tak
masalah bagi Hendy, yang jelas cincin pernikahan
221
sudah tersemat. Janji bersama sudah terucap.
Suasananya begitu bahagia. Haru. Bahkan ada pihak
keluarga yang menitikkan air mata. Kejadian itu
berlangsung tahun 1994.
***
Ocha sudah berangkat ke Jakarta. Dia tinggal
di asrama tak jauh dari Akademi. Perbedaannya jika
dibandingkan dengan Yarsi, kali ini kamar asrama
pribadi. Dan tidak ada aturan dari pihak akademi bahwa
siswa dilarang menikah. Hampir tiap akhir pekan selalu
dimanfaatkan Hendy untuk mengunjungi istrinya di
Jakarta.
Hendy sudah sarjana. Ada peluang bekerja di
Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat. Dia
ambil. Sambil mengunjungi istri setiap akhir pekan,
Hendy belajar berbisnis. Jual beli mobil bekas. Usianya
baru 24 tahun kala itu. Tekadnya untuk mendiri luar
biasa.
Tapi Hendy hanya bertahan tujuh bulan di BPD.
Saat ia berada di Jakarta, ibunya menelpon dari
Pontianak. Percakapan antara anak dan ibu tersebut
222
membahas persoalan kemungkinan melanjutkan
pendidikan. Hendy masih muda. Sayang kalau tidak
lanjut sekolah. Percakapan itu menjadi pikiran dalam
diri Hendy.
Ya, dia menyandang nama besar bapaknya.
Mud’A, Mahmud Akil. Laki-laki asli putra daerah
Kalimantan Barat yang betapa gigih upayanya mengejar
pendidikan. Dari sebuah kecamatan kecil bernama Darit,
sendirian menuju Pontianak. Sendirian menuju
Jogjakarta. Pulang lagi ke kampung halaman dan
menjadi salah satu tokoh pendidikan yang dimiliki
provinsi ini. Hendy membatin. Hati kecilnya menyetujui
saran ibu. Sekolah.
223
Setelah mendapat telepon dari Ibu di Pontianak,
Muda berinisiatif mengajak istrinya jalan-jalan ke Jogja
dengan kereta api. Dia ingin membicarakan hal ini
dengan serius di atas kereta. Di Jogja, ada Mbah Oka.
Mereka bisa berkunjung ke sana. Ocha setuju.
Rel kereta api berderit. Peluit menjerit. Stasiun
pelan-pelan mulai menjauh. Masih terlihat satu dua
lambaian tangan dari pengantar. Sampai akhirnya,
gerbong Senja Utama meninggalkan Stasiun Senen
menuju Tugu Jogjakarta.
Ocha dan Muda duduk bersebelahan. Ocha
memilih bagian dekat jendela. Dia senang melihat
pohon-pohon berlari ke belakang. Sedangkan pohon-
Dua puluh enam
Titik Balik
224
pohon di kejauhan, sebaliknya, mengajak berkejaran
ke depan. Apalagi waktu itu kereta berangkat sore. Saat
kereta meninggalkan Jakarta, sebelum gelap, sebelum
matahari jatuh di barat, hampar hijau hutan hujan
begitu memesona. Roda-roda besi terus
menggelinding di atas rel. Kereta semakin jauh
meninggalkan Jakarta. Gemuruh mesin kereta
menambah romantis suasana. Ocha tersenyum sambil
tatapannya terlempar ke luar jendela. Muda tersenyum
melihat istrinya yang bahagia.
Selepas makan malam, Muda mengutarakan
niatnya.
“Bagaimana kalau aku melanjutkan sekolah?”
Singkat dan tiba-tiba.
Ocha merasa perlu mengambil air putih.
Kalimat sang suami barusan membuatnya ingin sekali
membanjiri kerongkongannya. Tarik nafas perlahan.
Tenang.
“Mimpi apa?”
“Tidak mimpi, tapi memang ingin. Biar bisa
pintar kayak kamu.”
“Ah, bercanda kamu.”
225
“Serius, aku ingin sekolah lagi. Masih banyak
ilmu pengetahuan yang belum kupelajari. Lagi pula, biar
aku tidak perlu jauh-jauh mengunjungimu tiap akhir
minggu.”
“Memangnya mau sekolah di mana?” tanya
Ocha sambil melirik suaminya.
“Kereta api ini akan mengantarkan kita ke kota
tempatku melanjutkan sekolah.”
“Oh, begitu, ya,” kata Ocha mengangguk dan
tersenyum simpul, “ngajak jalan-jalan ke Jogja, rupanya
ada udang...hehe...”
Di dalam kereta, pasangan suami istri yang baru
menikah ini bercanda. Romantis. Seperti film India.
Membuat beberapa penumpang lain iri. Membuat
masinis agak segan mengecek karcis mereka.
***
Jogjakarta, 1994.
Muda minta izin pada istrinya untuk agak
berlama-lama di Stasiun Tugu Jogjakarta. Dia ingin
menikmati suasana. Membayangkan para mahasiswa
dari seantero Pulau Jawa yang keluar masuk kota ini.
226
Tak hanya Jawa, orang-orang Nusantara menjadikan
Jogja sebagai tempat favorit menimba ilmu.
Sambil mengamati kesibukan stasiun,
Muda teringat ayahnya. Sewaktu kecil, ayahnya sering
bercerita tentang kota ini. Mahmud gegap gempita
ketika memaparkan aksi demonstrasi. Mahmud
mendayu-dayu saat mengisahkan makna tembang-
tembang Jawa. Mahmud tersedu waktu mengenang
peristiwa lulus kuliah dan meraih gelar sarjana.
Muda tak pernah tahu, bahwa saat ibunya
menelpon dan meminta agar dia berhenti dari BPD
untuk melanjutkan sekolah, sebenarnya itu permintaan
ayahnya. Muda tak pernah tahu, bahwa sesungguhnya
sang ayah benar-benar ingin memiliki penerus. Dan
satu-satunya cara meneruskan estafet perjuangan ini
adalah dengan pendidikan.
Begitulah, Stasiun Tugu Jogjakarta menjadikan
darah Muda mendidih. Di sinilah kemudian dirinya
memahami kenapa begitu banyak tamu yang mencari
ayah setiap hari. Rumahnya, Tanjungsari 169 selalu
ramai. Dari berbagai kalangan. Ayah adalah orang
berilmu. Ayah dibutuhkan masyarakat. Dan hebatnya,
227
ayah tak pernah lelah membantu. Tak pandang kasta.
Tak pandang rupa.
Di Stasiun Tugu, Muda menyaksikan perempuan
perempuan pedagang batik, lelaki renta penjual koran,
gadis-gadis penjaga cafe, orang-orang yang berlibur,
mahasiswa, turis mancanegara. Lengkap. Muda ingin
menjadi bagian denyut nadi Jogjakarta.
Muda menggandeng tangan Ocha. Mereka
keluar dari stasiun. Mencari becak. Menuju
Mangkukusuman, kediaman Mbah Oka. Di atas becak,
Muda membiarkan mata istrinya bekelana menikmati
pemandangan. Menelusuri Malioboro, di perempatan,
berbelok ke arah timur, ke Gondokusuman. Muda masih
belum rela berpisah dengan kenangan. Kali ini sosok
kakeknya yang masuk ke kepala Muda. Lelaki yang lahir
di hari proklamasi ini memang tak pernah bertemu
dengan kakeknya. Tapi nama Dewa Nyoman Oka begitu
akrab di telinga. Ibunya bercerita tentang Nyoman Oka.
Neneknya bercerita tentang Nyoman Oka. Buliknya
bercerita tentang Nyoman Oka. Bahkan, Bioskop Abadi
di Jalan Tanjungpura Pontianak, juga pernah bercerita
tentang Nyoman Oka.
228
Titisan darah dua lelaki pejuang mengalir
dalam tubuh Muda Mahendra Putra. Kakeknya,
berjuang secara fisik. Bahkan sampai harus meregang
nyawa demi tegaknya kemerdekaan. Ayahnya, seorang
intelektual. Berjuang dengan pikiran. Mencerdaskan
masyarakat di kampung halaman. Tidak, tidak dua
lelaki. Tapi tiga. Muda protes terhadap dirinya sendiri.
Dia tak boleh melupakan kakeknya satu lagi. Kimas Akil.
Orang Darit. Orang yang juga berperan memimpin
pemuda untuk mengumumkan kemerdekaan. Bukan
dua lelaki. Tetapi tiga. Di tubuh Muda Mahendra Putra,
menitis darah tiga lelaki pejuang. Dan estafet
perjuangan ini harus diteruskan.
Muda dan Ocha akhirnya bertemu
dengan sang nenek. Mereka bertukar rindu sejenak.
Kemudian serius membicarakan rencana ke depan.
Mbah Oka setuju jika nanti Muda benar-benar mau
melanjutkan kuliah. Muda tak perlu memikirkan tempat
tinggal sebab ada rumah neneknya. Dan juga jarak
Jakarta – Jogja tidak terlalu jauh untuk ditempuh dan
biaya tentunya tidak terlalu mahal. Muda dan Ocha
masih bisa berjumpa.
229
***
Dua per tiga malam. Ocha sengaja bangun.
Mengambil air wudhu. Sholat dua rakaat. Setelah itu
berdoa, memohon agar Yang Maha Kuasa memudahkan
jalan suaminya.
���
Dua puluh tujuh
Berhenti dari BPD positif dilakukan Muda.
Selanjutnya lelaki ini kembali menyandang gelar
mahasiswa. Pendidikan yang ditempuhnya adalah
Sekolah Notariat yang masih merupakan bagian dari
Fakultas Hukum UGM.
Di Jogja, Muda kembali akrab dengan Mbah
Oka. Mbah Oka sendiri, meskipun sudah lanjut usia,
tetapi termasuk orang yang aktif. Dia merasa harus
tetap menjaga hubungan sosial masyarakat. Bahkan,
saat berusia di atas 60 tahun, dia mengikuti kursus
Bahasa Inggris. Muda senang bisa tinggal bersama
Mbah Oka. Dari sepupu, paman, dan pihak keluarga
yang lain, dia sering mendengar cerita tentang ayah
dan ibunya.
Mahasiswa Notariat
���
Di kampus, bisa dikatakan bahwa Muda tak
ingin menjadi mahasiswa biasa. Pertemanannya
dengan para aktivis mahasiswa Universitas
Tanjungpura, mahasiswa-mahasiswa pilihan ayahnya,
membuat pikirannya semakin terbuka. Berdiskusi
hingga larut, sudah biasa. Terlebih di Jogja, banyak
pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Gagasan
semakin berkembang.
“Jangan lupa memberikan solusi,” kata
Mahmud Akil suatu hari. Muda selalu teringat dengan
petuah sang ayah. Berdiskusi tak boleh hanya diskusi
kosong. Harus ada gagasan yang keluar. Dan harus ada
solusi dari gagasan tersebut. Dan yang terpenting
adalah, teori, gagasan, solusi, yang sering muncul
dalam banyak diskusi, harus diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Tak hanya bertemu dengan para aktivis di
kampus, Muda juga sering membawa teman-temannya
ke rumah mbah Oka. Saat kedatangan tamu, Mbah Oka
tentu saja menyambut dengan riang gembira. Apalagi
ketika diminta bercerita tentang masa lalu, orang tua
ini bisa lupa waktu. Tak hanya Mbah Oka yang
���
mengalami hal demikian, tetapi banyak orang. Usia
yang semakin bertambah, membuat orang tersebut
merasa semakin sepi. Begitu juga seperti apa yang
dialami Mbah Oka. Suka melamun jika sedang sendiri.
Gegap gempita bercerita ketika sedang bersama orang
lain. Dari rangkaian cerita Mbah Oka, yang paling
sering, bahkan sudah dihapal oleh sebagaian
mahasiswa, adalah cerita tentang almarhum suaminya,
I Dewa Nyoman Oka.
Beberapa calon notariat dari Bali, begitu senang
dengan cerita ini. Ego kedaerahan muncul. Mereka ikut
bangga salah satu pahlawan yang gugur dalam
Pertempuran Kota Baru, berasal dari Bali. Di kampus,
Muda sering diperlakukan ‘istimewa’ oleh teman-
temannya ini.
“Cucu pejuang mau lewat. Awas. Yang lain
minggir,” kata salah seorang ketika Muda melewati
lorong kampus. Para mahasiswa yang kebetulan berada
di lorong, mengikuti aba-aba. Tentu saja polah tingkah
ini adalah gurauan.
Tapi Muda tidak hanya terkenal sebab sering
bercanda dengan teman-temannya persoalan “cucu
���
pejuang”. Sebagai seorang pribadi, ternyata prestasi
akademik Muda bisa dibilang membanggakan. Dia
punya semangat untuk belajar ilmu-ilmu notariat. Tak
hanya di bidang akademik, masalah pengorganisiran,
lelaki ini juga tak bisa diremehkan.
Waktu itu republik ini, lagi-lagi dilanda krisis.
Kali ini tak hanya dalam negeri, negara-negara di Asia
mengalami krisis finansial. Bermula dari Thailand. Nilai
mata uang berpengaruh. Bursa saham, harga aset
lainnya kacau-balau. Asia panik. Demonstrasi di mana-
mana. Ekonomi internasional bergejolak. Di dalam
negeri, mulai ada gerakan untuk mencoba
menumbangkan rezim yang sudah puluhan tahun
berkuasa.
Mahasiswa bergerak. Pusatnya di pulau Jawa.
Ibu kota negara diserbu ribuan manusia. Tentara kerja
ekstra. Pedagang kaki lima, pegusaha, rakyat jelata,
berlomba-lomba mendukung gerakan besar ini. Tapi
sebagian mahasiswa notariat di Jogja memilih sikap
apatis. Tidak dipungkiri, barangkali karena usia. Tak
semua dari mereka berusia produktif, sebagian sudah
berumur dan memerlukan sertifikat untuk membuka
���
usaha sebagai notaris. Sebagian orang ini memilih
untuk berdiam diri saja di kos atau pun kampus.
Ini membuat Muda gerah. Terlebih waktu itu
Sultan juga akan turun dan memberikan maklumat.
Warga Jogja diminta untuk berkumpul di alun-alun. Di
sinilah semangat juang Muda berkobar. Berawal dari
ajakan biasa, mempengaruhi beberapa kelompok,
sampai naik ke atas meja di dalam kelas, seperti
berorasi, menyeru kepada kawan-kawannya untuk ikut
turun ke jalan mendengarkan maklumat Sultan.
Provokasi Muda berhasil. Hanya sedikit saja
yang absen. Tapi sebagian besar sepakat untuk ikut
turun ke jalan. Menuntut perubahan.
“Tuh, lihat! Cucu orang kita,” kata seorang
mahasiswa Bali berbisik ke temannya yang juga berasal
dari Bali.
***
Sebagai mahasiswa yang sudah menikah,
Muda memanfaatkan murahnya tarif kereta api untuk
mengunjungi istri tercinta. Akhir minggu selalu dia
���
sempatkan ke Jakarta. Bahkan sampai-sampai petugas
pengecek tiket kenal dengan dirinya. Tak hanya itu,
sebagai orang yang dilahirkan pada hari kemerdekaan,
Muda diberi kartu dari perusahaan kereta api yang
menandakan bahwa dalam priode waktu tertentu, dia
bebas naik kereta api tanpa harus membayar.
Tentu saja pertemuan suami istri tersebut tak
hanya terjadi di Jakarta. Sesekali Muda juga membawa
istrinya ke Jogja. Sekaligus refreshing. Penat dengan
kesibukan ibu kota. Dua tempat ini memang berbeda.
Jakarta merupakan pusat negara. Segala macam
kesibukan ada. Padat. Orang-orang sudah akrab untuk
melakukan segala hal dengan tergesa-gesa. Jogja lebih
santai. Tradisi dilestarikan dengan cara diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Memang, ritme kehidupan
agak lambat dibanding Jakarta, tapi banyak orang betah
tinggal di Jogja. Belum lagi soal suasana yang tenang,
udara yang ramah, Muda betah.
Dalam beberapa kesempatan berkunjung ke
Jogja, Muda menyempatkan mengajak istrinya
mengunjungi Makam Pahlawan. Dia ingin memper-
kenalkan kakeknya ke Ocha. Juga jalan-jalan ke wilayah
���
kota baru, sholat di Masjid Syuhada. Jika Mbah Oka
sedang tidak ada aktivitas, biasanya sepuh ini ikut
serta.
***
Sambil menempuh sekolah Notariat, Muda juga
menyambung Pasca Sarjana Fakultas Hukum. Kuliah di
dua jurusan. Muda sibuk dengan aktivitas akademik.
Saat ditanya sang istri, jawabannya tidak lagi “biar
pintar seperti kamu,” tapi, “biar pintar, lalu bisa
memberikan warna tersendiri bagi republik ini, sebab
perjuangan tidak akan pernah berhenti.”
���
Ocha menamatkan akademinya. Pulang ke
Pontianak. Semula, kepulangan ini direncanakan
sebentar saja, hanya untuk menghadiri pernikahan adik.
Muda juga ikut pulang. Sekolah Notariat sudah selesai,
tinggal pasca sarjana yang masih tersisa dua semester.
Sepasang suami istri akhirnya bisa tinggal satu rumah
di Pontianak. Sesekali mereka rindu dengan suasana
stasiun kereta api di akhir pekan. Tetapi, bisa tinggal
serumah tentu saja merupakan mimpi dua orang yang
saling mencinta ini.
Karena pada waktu itu Ocha sudah berada di
Pontianak, dia kemudian bekerja di YARSI. Sebenarnya
Ocha masih memiliki beasiswa untuk melanjutkan
Dua puluh delapanBuah Jatuh Tak Jauh dari Pohon
���
pendidikan hingga jenjang strata satu. Dengan
konsekuensi kelak, ketika lulus, dia menjadi tenaga
pendidik di YARSI. Ocha senang mengajar. Namun izin
tidak diberikan oleh suami. Ocha taat. Bukan karena
takut suami, tetapi takut kepada Allah. Muslimah
solihah adalah mereka yang taat kepada sang imam
dalam rumah tangga, sebagai perwujudan taqwa
kepada Allah.
Muda sangat mencintai istrinya. Sama sekali
tak ada niat Muda untuk mengekang sang istri yang
ingin belajar. Muslimah diperbolehkan untuk menuntut
ilmu sebanyak mungkin. Muslimah juga diwajibkan
untuk merawat keluarga, mendidik, dan membina anak-
anak yang lahir dari rahimnya. Demi kewajiban ini, Ocha
memutuskan untuk tidak melanjutkan beasiswa.
Konsekuensinya dia harus mengganti biaya beasiswa
yang sudah diberikan. Tak masalah.
Benar. Doa sepasang suami istri ini dikabulkan.
Seminggu setelah berhenti bekerja di YARSI, Ocha
mengandung. Kabar gembira ini disambut Muda dengan
suka cita. Betapa tidak. Dia ingat persis ejekan teman-
temannya saat masih kuliah. Mereka bilang dirinya
���
bukan lelaki jantan, sebab sudah bertahun-tahun
menikah tapi belum juga punya keturunan.
“Buat apa menjadi cucu pejuang kalau tidak
manjur?” olok seorang teman di sela jam perkuliahan.
“Kalian lihat saja nanti kalau sudah selesai
kuliah,” jawab Muda tak mau kalah.
“Bagaimana kami bisa melihat? Ada-ada saja
kamu. Itu, kan persoalan pribadi suami istri, masak kami
disuruh melihat?” sambut seorang teman lain yang
disusul gelak tawa seisi kelas.
Muda merengut. Gurauan “tidak manjur”
melekat di hatinya.
“Nanti, kalau aku punya anak, aku langsung
punya anak dua,” kata Muda membela diri, tapi teman-
temannya justru kembali tergelak.
Nah, ketika tahu bahwa istri Muda mengandung,
seperti kejadian semasa kuliah, kembali mereka
bercanda ria. Lewat telepon tentunya, sebab kini mereka
dipisahkan oleh jarak. Komunikasi ini membuat Muda
selalu merasa dekat dengan teman-temannya.
Sembilan bulan kemudian Ocha melahirkan. Apa yang
terjadi? Anaknya kembar!
���
Teman-teman kuliah Muda heboh. Perkataan
Muda di masa lalu mujarab.
“Itulah hebatnya kalau kita yakin,” kata Muda.
Tapi tentu saja Muda tak boleh sombong. Dia sangat
menyadari bahwa rejeki keturunan itu adalah titipan
Allah. Tentu saja dia tak boleh menyia-nyiakan titipan
tersebut. Lahirnya si kembar, semakin membuat Muda
memahami tentang nilai-nilai kasih sayang. Semuanya
datang dari Yang Mahamulia. Arrahman. Arrahiim.
Kelahiran si kembar dijalani Muda dengan rasa
syukur. Setelah diberi rejeki keturunan, Muda mendapat
rejeki yang lain, yakni keluarnya Surat Keputusan
Notaris. Muda Mahendrawan resmi menjadi notaris.
Saat memperoleh SK Notaris ini, Muda memutuskan
berhenti dari Fakultas Hukum UGM.
***
Inilah perjuangan sesungguhnya. Ilmu
pengetahuan yang didapat, teman banyak yang dimiliki,
nasehat ayah ketika kanak-kanak, buku yang dibaca,
kenakalan-kenakalan masa lalu, cerita heroik tentang
���
generasi terdahulu, akhirnya menghantarkan Muda ke
sebuah kursi dan meja kerja. Notaris. Pejabat Pembuat
Akte Tanah.
Berkantor di daerah Sungai Raya dalam,
hubungan Muda dengan orang-orang semakin luas.
Namun demikian, Muda tak ingin menghabiskan waktu
dengan hanya bekerja sesuai profesi. Dia tetap ingin
merawat hubungan dengan para mahasiswa.
Kenapa mahasiswa? Tak lain dan tak bukan
karena ayahnya. Sejak Muda kecil, para mahasiswa
sering kali bertamu ke rumahnya. Tak sekadar bertamu.
Ada banyak hal yang dibicarakan. Muda mengagumi
energi yang dimiliki oleh ayahnya. Mahmud Akil tak
pernah lelah meladeni para mahasiswa. Kalau pukul
tiga pagi ada mahasiswa yang datang, pukul tiga pagi
pula Mahmud Akil meladeni.
Apa yang terjadi di rumah, terpatri dalam
memori Muda. Bisa dikatakan mulai dari kecil hingga
hari ini, Muda Mahendrawan tak pernah lepas dari
Mahasiswa. SD, SMP, SMA, Kuliah, Muda selalu
bersama-sama mahasiswa.
“Ayah tidak capek?” tanya Muda saat baru saja lulus SD.
���
“Kalau untuk perubahan ke arah yang lebih baik,
tak ada kata capek,” jawab Mahmud Akil.
Tentu saja, ketika itu, Muda tidak terlalu
mengerti apa yang dimaksud ayahnya dengan
kata”perubahan”. Tapi yang jelas, kelak, saat semakin
beranjak dewasa, dia kemudian memahami bahwa
perubahan merupakan sunnatullah.
Totalitas menjalankan profesi. Itu yang Muda
Mahendrawan pelajari dari ayahnya. Ayah selalu
mampu memotivasi banyak orang untuk tetap
melanjutkan dan menyelesaikan kuliah.
“Harus sarjana!” kata Muda Mahendrawan
kepada seorang mahasiswa yang datang menemuinya.
Kata-kata “harus sarjana” sering dia dengar dari
ayahnya. Kini, saat dia berhadapan dengan mahasiswa,
kata-kata itu ditirunya.
Syahri adalah salah seorang mahasiswa yang
sering mendatangi Muda. Semula, Syahri ingin berjumpa
Mahmud Akil. Sejak kecil, dia sering mendengar nama
itu. Tapi keinginannya tak terwujud. Sebab ketika Syahri
lulus SMA, Mahmud Akil sudah tak lagi menjabat
sebagai rektor Universitas Tanjungpura.
���
Awal mula kedekatan Syahri dan Muda boleh
dibilang tak disengaja. Syahri masih mahasiswa tingkat
bawah ketika organisasinya mengadakan kegiatan di
kampus. Sebagai mahasiswa junior, seperti biasa, para
senior memberinya tugas untuk keliling membawa
proposal, meminta bantuan berbagai pihak guna
menyukseskan kegiatan.
Sudah tiga hari proposal titipan berada di dalam
tas bututnya. Dia masih bingung mencari calon donatur.
“Andai pak Mahmud masih rektor, pasti aku
sudah ke sana,” kata Syahri dalam hati. Menyudahi
kebingungan, Syahri mengikuti hati kecilnya. Hati kecil
yang ternyata memerintahkannya untuk pergi ke
tanjungsari 169, mencari Mahmud Akil, menyodorkan
proposal dan berharap dapat sumbangan.
Inilah pertama kalinya Muda bertemu dengan
seorang teman berdiskusi yang masih muda. Syahri
gagal bertemu dengan Mahmud Akil, tapi dia cukup
lama berbincang dengan Muda. Dimulai dari cerita
kegiatan di kampus, mereka berdua kemudian terlibat
pembicaraan seru tentang perubahan. Syahri
mensyukuri pertemuan pertamanya waktu itu dengan
���
Muda. Bersyukur bukan karena proposal kegiatannya
membuahkan hasil, tetapi lebih dari itu, dia kemudian
bisa akrab dengan Muda Mahendrawan. Sebagai
mahasiswa Fakultas Hukum, tentu saja dia merasa
senang jika bisa berteman dengan senior yang sudah
pasti sudah banyak makan asam garam di dunia
kampus. Terlebih orang ini adalah putra dari putra
daerah yang telah berjasa besar melahirkan intelektual
di Kalimantan Barat lewat Universitas Tanjungpura.
Begitulah, Syahri belajar banyak dengan Muda.
Mereka semakin akrab. Akhirnya Syahri berhasil
menamatkan studinya. Kelak, Syahri tidak akan pernah
bisa melupakan jasa besar Muda dalam menghantar-
kannya menjadi seorang pengacara muda.
���
Dua puluh sembilan
Fana
Muda menyeka air matanya. Ia tak ingin terlihat
sedih meski duka begitu mendalam. Orang-orang masih
ramai melayat. Sangat ramai. Muda gagal tegar.
Rasanya ia ingin pingsan. Sehingga tidak bertemu
orang-orang yang setiap mengucap bela sungkawa,
membuat dadanya sesak. Ia masih tak percaya.
Kehilangan ini begitu pedih. Sangat pedih.
11 Mei 2005. Mahmud Akil meninggal dunia.
Di rumah duka, ribuan orang melayat. Ini tak hanya
kabar duka untuk keluarga. Tapi juga untuk Kalimantan
Barat. ‘Pak Rektor’ sudah pergi, berpindah dunia.
Generasi lahir dari pendidikan. Unsur terpenting
di peradaban, bernama manusia, lahir dari konsep
���
pendidikan. Selama menjadi dosen, dekan, hingga
akhirnya rektor di Universitas Tanjungpura, Mahmud
Akil telah membuat sejarah baru. Keakrabannya dengan
para mahasiswa, membuat banyak para pejabat, para
senior, terkejut. Tidak mudah bergaul dengan anak
muda yang punya banyak kemauan, yang terkadang
berpikir pendek, lebih mengedepankan emosi, masih
labil. Mahasiswa akrab dengan masalah. Mahmud Akil
akrab dengan mahasiswa. Berarti Mahmud Akil akrab
dengan masalah.
Tapi kenyataannya, dari proses keakraban inilah,
generasi membanggakan lahir. Orang-orang di
pedalaman Kalimantan Barat mulai sadar tentang
betapa pentingnya pendidikan. Berbondong-bondong
mereka mencari SMA, setelah itu pergi ke Kota
Pontianak, mendaftarkan diri di Universitas Tanjung-
pura. Kalau nanti sebagian mahasiswa ini kehabisan
biaya kuliah, Mahmud Akil tak pernah segan mengeluar-
kan uang dari sakunya sendiri, membiayai beberapa
mahasiswa ini hingga lulus. Ketika kemudian kabar
Mahmud Akil meninggal dunia, generasi-generasi
gemilang di Kalimantan Barat serta merta dirundung duka.
���
Dapat dibayangkan jika masyarakat berduka,
bagaimana dengan orang-orang yang tidak hanya
memiliki hubungan emosional, tetapi juga hubungan
darah? Aliran darah Mahmud Akil yang terhenti,
membuat para keluarga kelimpungan. Muda Mahen-
drawan, memilih menghindar sebentar dari kerumunan
para pelayan. Ia tidak kuat.
Terlalu banyak kenangan dengan ayahnya.
“Mandirilah. Sebab dengan mandiri, kita bisa
membantu orang lain. Jika kita mandiri, membantu
orang lain tidak setengah-setengah. Totalitas adalah
keharusan,” demikian almarhum pernah berujar. Muda
hapal di luar kepala. Motivasi luar biasa dari sang ayah
untuk generasi penerusnya.
Pelayat terus berdatangan. Muda semakin
merasa kehilangan.
Kesedihan Muda yang begitu dalam tentu saja
beralasan. Bahkan bisa dikatakan ini merupakan puncak
kesedihan. Dua tahun lalu, ia kehilangan dua orang lain
yang sangat dicintainya.
Sugiharti, akrab dengan sapaan Mbah Oka,
orang yang paling sering bercerita tentang perjuangan
���
I Dewa Nyoman Oka, meninggal dunia. Mbah Oka
merupakan buku berjalan. Orang ini hidup menembus
batas generasi. Bisa bercerita tentang Belanda, fasih
bercerita soal Jepang, luwes bercerita kemerdekaan
serta hari-hari setelahnya.
Mbah Oka adalah kitab hidup di keluarga besar
Tanjungsari 169. Keputusannya untuk pulang ke
kampung halaman sebelum kematian dianggap tepat
oleh keluarga. Wajar, jika kemudian Mbah Oka ingin
dekat dengan mendiang suaminya. Meski demikian,
meski keluarga rela, tapi tetap kepergian tidak bisa
menyembunyikan kesedihan.
Muda Mahendrawan merupakan orang yang
betul-betul akrab dengan Mbah Oka saat ia melanjutkan
pendidikan di Jogjakarta. Mbah Oka pula yang
mengantar Muda untuk ziarah ke makam kakeknya di
Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Hingga
kemudian tempat tersebut seperti menjadi agenda
utama untuk dikunjungi setiap Muda ke Jogja. Tak
banyak yang membicarakan I Dewa Nyoman Oka, selain
salah satu pejuang yang ikut tewas bersama 20 pejuang
lainnya saat bertempur dengan Jepang di Kota Baru,
���
Jogjakarta. Itu saja. Tapi cerita hidup tentangnya, hanya
keluarga dekat yang tahu. Muda sangat ingin ada orang
yang menuliskan kisah sang kakek. Satu-satunya Polisi
Negara yang dimakamkan di antara makam para
tentara (BKR). Barangkali polisi pertama setelah
kemerdekaan yang kemudian meregang nyawa karena
ikut bertempur. Muda begitu sedih saat kehilangan ibu
dari ibunya ini.
Tak lama setelah Mbah Oka, kesedihan Muda
semakin menjadi-jadi. Ibu kandungnya. Anak kandung
dari Mbah Oka. Sri Puspitawati. Setelah divonis oleh
dokter beberapa waktu sebelumnya, kanker payudara,
akhirnya menemui ajalnya dua bulan setelah Mbah
Oka. Padahal waktu itu dokter sudah memperbolehkan
Wati untuk pulang.
Di Bandara Soekarno Hatta, tahun 2003, Wati
menaiki tangga pesawat, hendak menuju Pontianak.
Tapi malang, dia terjatuh, sebab penyakit yang
dideritanya kambuh. Sempat dirawat sebentar. Tapi ajal,
siapa yang bisa menahan. Kehendak Allah. Yang
ditinggalkan harus ikhlas.
Muda mencoba ikhlas, tapi tetap, jiwanya
���
goncang. Tak mudah bagi siapa saja jika ditinggal
seorang ibu. Terlebih ibu tersebut adalah seorang Wati.
Seorang wanita anggun, ramah, menjaga etika, halus,
cerdas, bertanggungjawab terhadap keluarga.
Muda menyesali hidupnya saat ia masih remaja.
Tidak mendengar perintah ibu, kadang-kadang juga
membuat ibu jengkel. Jika mengingat semua itu, Muda
kerap diserang sedih. Ini adalah wanita yang
melahirkan Muda. Wanita yang kemudian mejadi
jembatan baginya untuk mengenal sosok sang ayah
lebih dekat.
Jika saja saat itu ayah yang sibuk didampingi
oleh seorang ibu yang memaksakan diri sibuk bersama
istri-istri orang sibuk lainya, barangkali kondisi rumah
dan akhlak orang-orang di dalamnya tidak demikian
adanya. Tapi itu tidak dilakukan Wati. Ia sadar, ada hal
yang begitu penting, yang sudah menjadi tanggung
jawab seorang ibu dalam mendidik makhluk yang dititipi
oleh Allah SWT.
Semaksimal mungkin Wati mencari waktu untuk
mengetahui situasi dan kondisi anak-anaknya. Mba Tuti
sebenarnya bisa melakukan itu. Mba Tuti sebenarnya
���
bisa diperintah oleh tuan rumah mulai dari cara
memandikan anak tata sampai peraturan tentang terbit
ruang sekolah. Tapi Tuti tidak mendapat perlakuan
seperti itu. Perlakuan Wati terhadap Tuti begitu lembut.
Tuti adalah adik sepupunya, bukan pembantunya. Di
sisi lain, Wati juga berkewajiban ‘turun tangan’ dalam
mendidik anak-anaknya.
Setelah sepeninggal Mbah Oka, ibunya juga ikut
meninggal. Sampai di sini Muda semakin menyadari
artinya kefanaan. Sebenarnya kesedihan ditinggal oleh
orang yang dicinta bukan hal pertama yang dialami
Muda.
Lima belas tahun sebelum kematian ibu dan
neneknya, Muda sudah terlebih dahulu kehilangan adik
bungsunya. Usia yang masih sangat belia. Muda
Mahestrawan waktu itu terkena musibah tersengat
aliran listrik di rumahnya.
Nyawanya meregang, kemu-dian ruhnya
melayang, menghadap, menemui sang Khalik.
Kehilangan adik bungsu, teman bermain, partner in
crime, pada saat itu Muda yang masih begitu labil tidak
bisa menerima begitu saja. Duka yang begitu dalam.
���
Muda protes sama Tuhan.
Kenapa Tuhan harus mengambil orang-orang
yang dicinta begitu cepat? Tapi ‘protes’ ini terjawab
beberapa saat setelahnya. Tuhan punya hak
menghidupkan. Tuhan punya hak mematikan. Kapan
saja kejadiannya itu hak Tuhan.
Terserah apakah yang dihidupkan dan dimatikan
tersebut adalah orang yang dicinta, itu hak Tuhan.
Ketetapan Tuhan harus diimani oleh manusia. Ikhlas
beribadah adalah salah satu caranya. Sebab memang
itulah tujuan manusia dan jin diciptakan. Beribadah
kepada-Nya.
Pelajaran hidup demi pelajaran hidup
menghampiri Muda. Kehilangan adik di usia remaja
membuat Muda tumbuh dewasa sekaligus bijaksana.
Ia menyadari bahwa waktu itu Allah yang menciptakan.
Bahkan Allah bersumpah demi waktu. Manusia ini
dzalim. Bodoh. Rugi.
Mereka yang beriman adalah yang beruntung.
Mereka yang saling menasihati dalam kebenaran.
Mereka yang menasehati supaya menetapi kesabaran
adalah yang beruntung.
Muda belajar sabar. Muda yakin dalam
menapak hidupnya di hari-hari ke depan. Hingga
���
kemudian ia kehilangan mbah Oka. Hingga kemudian
ibu yang telah mengandungnya juga meninggal dunia.
Dan puncaknya adalah kepergian sang ayah. Muda
Mahendrawan dirundung duka. Dalam. Sangat dalam.
���
Desa harus jadi kekuatan ekonomiAgar warganya tak hijrah ke kota.Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri
Walau lahan sudah menjadi milik kotaBukan berarti desa lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan sejatiNegara harus berpihak pada para petani
(Iwan Fals)
Kepergian Mahmud Akil memang membuat
orang-orang yang ditinggalkan merasa berduka.
Terlebih para keturunannya. Lebih khusus lagi Muda
Mahendrawan. Betapa tidak, ayahnya meninggal saat
apa yang menjadi cita-cita rakyat belum terwujud.
Padahal dalam hati kecil, Muda sangat berharap, jika
kelak gagasan ini terwujud, ia akan mengajak ayahnya
Tiga puluhTotalitas bersama Orang-Orang Muda
���
merayakan pesta kecil di sawah bersama orang-orang
desa. Cita-cita rakyat itu bernama pemekaran. Gagasan
itu bernama pemekaran. Cita-cita dan gagasan ini, oleh
Muda Mahendrawan bersama sebagian masyarakat
desa Kabupaten Pontianak, diperjuangakan. Usia Muda
masih begitu muda pada waktu itu.
Begini kronologis peristiwanya.
Semenjak menjadi Notaris, Muda sering
berhubungan dengan orang-orang desa. Urusan tanah
misalnya. Komunikasi Muda dengan para Kepala Desa,
sering sekali terjadi. Sesekali Muda bersama Kepala
Desa berangkat ke Mempawah untuk menyelesaikan
urusan administrasi. Jika dari Pontianak, perjalanan ke
Mempawah bisa memakan waktu 1,5 jam atau bahkan
lebih. Awalnya tak pernah menjadi permasalahan,
karena memang begitulah peraturannya. Mempawah
merupakan ibu kota kabupaten. Segala macam urusan
ada di sana.
Tapi wilayah Kabupaten Pontianak begitu luas.
Tak hanya urusan administrasi saja yang pada akhirnya
membuat repot. Tapi banyak hal. Ya, terlalu luas. Pasca
reformasi, isu otonomi dan pemekaran wilayah,
���
memang sempat menjadi pembahasan di beberapa
media nasional. Jumlah provinsi yang awalnya 27
mekar menjadi 35. Kabupaten baru banyak
bermunculan di daerah Jawa-Sumatra. Sama halnya
dengan daerah timur Indonesia. Landasannya adalah
Undang-undang nomor 32 tahun 2004
Tapi peristiwa pemekaran ini bukan pertama
kali terjadi. Pertama kali Republik ini berdiri, pada waktu
itu wilayahnya hanya terdiri dari delapan provinsi;
Sumatra, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada masa
pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia
mengalami perubahan wilayah akibat kembalinya
Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah
“negara-negara boneka” dibentuk Belanda dalam
wilayah negara Indonesia. Hasil Konferensi Meja
Bundar di Den Haag tahun 1949, Belanda mengakui
Indonesia dalam bentuk serikat yang terdiri dari 15
negara bagian plus 1 Republik Indonesia. Beberapa
bulan kemudian, sejumlah negara-negara bagian
menggabungkan diri ke negara bagian Republik
Indonesia. Jumlah provinsi di Indonesia bertambah.
���
Pasca peristiwa KMB, pemekaran terus
berlangsung. Di era demokrasi terpimpin, orde lama,
orde baru, bahkan hingga reformasi. Wacana
pemekaran memang bukan wacana baru. Beberapa
analisis kenapa pemekaran perlu dilakukan muncul di
media. Orang-orang berdiskusi. Berdebat. Bahkan
sampai ada yang berkelahi. Politik praktis berlaku.
“Politik itu akibat, bukan tujuan.” Muda teringat
kata-kata almarhum ayahnya. Orang-orang yang
menjadi politik sebagai tujuan akhirnya berperilaku
pragmatis. Proses. Proses. Proses. Sering Muda
dinasehati untuk menghargai proses. Pada tahap inilah,
gagasan menjadi perlu.
Sebagai notaris, hubungan Muda dengan para
Kepala Desa, membuat dia kemudian menjadi sangat
dipercaya untuk menjadi yang terdepan dalam gagasan
pemekaran ini. Awalnya Muda tak percaya dengan
dukungan yang begitu besar ini. Usia Muda masih
begitu muda. Di republik yang sudah terjebak dengan
pemikiran asing ini, anak-anak muda sering tidak
dianggap. Psikologi pendidikan mengarahkan anak-
anak muda sebagai sebuah kelompok labil yang
���
pemikiran-pemikirannya masih dianggap belum
matang.
Semakin hari, Muda semakin banyak dukungan.
Tak hanya dari kalangan Kepala Desa, tetapi juga dari
para aktivis sosial. Orang-orang yang ketika mahasiswa
berteman akrab dengan rektor mereka, kini menjadi
teman akrab si anak rektor.
Siang malam menggodok konsep. Mengumpul-
kan data. Menganalisis teori. Berdiskusi dengan pelaku
media. Terus menerus seperti itu. Tak kenal lelah.
Didapat kesimpulan. Desa! Desa adalah sember
kekuatan. Dan selama ini desa dilupakan.
Ical, dahulunya akrab dengan Mahmud, diajak
berdiskusi. Temanya desa. Ical teringat dengan Kandar
yang pada waktu itu menjadi pemimpin redaksi sebuah
media cetak. Tawaran konsep untuk para intelektual.
Tentang desa. Harus dituliskan. Sayembara
dikumandangakan. Gagasan pemekaran ini terus
mendapat respon dari banyak pihak.
Orang-orang mendorong agar Muda bergabung
ke dalam partai politik. Muda ragu. Tapi dorongan
masyarakat begitu kuat. Bagi Muda partai politik, jika
���
dilakukan dengan instan, juga bukan jawaban. Muda
bertanya dengan banyak pihak. Meminta pendapat.
Keputusannya Muda masuk ke dalam partai politik.
Totalitas! Hal ini membuat orang-orang yakin
dan percaya bahwa orang muda bernama Muda ini tidak
main-main dalam berjuang. Perjuangan yang
dilakukannya sama sekali tidak instan. Gagasan-
gagasannya cemerlang. Oleh Muda, pemekaran tak
hanya sampai pada tingkat wacana, tetapi harus
diperjuangkan hingga terwujud. Lalu sendiriankah Muda
dalam memperjuangkan terwujudnya pemekaran
kabupaten ini? Tidak! Siapa orang-orang di sekitarnya?
Orang-orang muda!
���
2007
Bangun subuh, Ocha terkejut. Orang-orang tidur
di lantai dua. Ocha mengenali wajah beberapa di
antara mereka. Para kepala desa. Ada Kepala Desa
Terentang, Kubu, Batu Ampar dan lainnya. Setelah
sholat subuh, Muda baru tidur. Sepanjang malam Muda
dan banyak orang lainnya berkumpul di rumah.
Ocha kasihan dengan kondisi suaminya.
Matanya terlihat lelah. Kondisi fisiknya apalagi. Tapi
ia heran, semangatnya tidak pernah lelah. Suatu hari
mereka pernah berdialog.
“Apa yang ayah cari?” tanya Ocha kepada
suami.
Tiga puluh satuDoa Istri Sholihah
���
“Keridhaan Allah,” jawab Muda. Hati Ocha
bergetar. Ada kesungguhan dalam diri suaminya
tentang pemekaran. Ini bukan hanya soal kekuasaan.
Ini bukan hanya soal popularitas. Ini soal keihklasan.
Membantu orang jangan setengah-setengah. Akan
banyak hal menjadi mudah jika kabupaten ini
dimekarkan. Pemilihan nama sudah didapat. Kubu
Raya. Tapi pengesahan harus dilakukan.
Tapi Ocha masih penasaran.
“Bagaimana kalau kemudian gagasan ini tidak
terwujud? Sementara sudah banyak waktu, energi,
biaya, yang keluar. Banyak orang-orang yang stres
ketika tujuan mereka tidak berhasil, Ayah. Apalagi
politik di negara ini tidak sehat.”
“Ibu, kalau yang kita cari itu keridhaan Allah,
apa pun yang terjadi itu kehendak Allah. Dan manusia
yang lemah dan bodoh seperti kita ini, harus terus
bertakwa di jalan-Nya. Apa pun hasilnya bukan
keputusan Bupati, Gubernur, menteri, atau kepala
negara. Tapi Allah, Bu. Allah. Tentu saja barangkali
Ayah bersedih jika apa yang kita yakini benar ini tidak
terwujud. Tapi itu kesedihan yang wajar. Kesedihan yang
���
tidak boleh berlebih-lebihan. Ibu berdoa saja, ya.
Semoga kita semua diberi kemudahan.”
Tanpa disuruh pun, Ocha setiap harinya berdo’a
untuk kemudahan suaminya. Ia mendukung penuh dan
semakin mantap ketika mengetahui yang dicari adalah
keridhaan. Banyak orang-orang yang membutuhkan
bantuan. Dan sebagai sesama muslim, membantu itu
adalah kewajiban. Posisi Muda sebagai notaris, adalah
jembatan untuk bertemu dengan akar masalah. Kepala-
kepala desa tersebut merupakan pemimpin di
wilayahnya masing-masing. Bertanggungjawab atas
ribuan masyarakat. Sementara pusat ibu kota begitu
jauhnya di Mempawah sana.
Muda optimis. Perjuangan ini tidak akan boleh
dihentikan.
Waktu merambat. Angka-angka kalender
bertanggalan. Jalan terang semakin terlihat. Pemekaran
Kabupaten Kubu Raya tak hanya isu. Muda berhasil
mengupayakannya, hingga kemudian sebagian besar
masyarakat mencapai kata sepakat. Persoalan
administrasi hampir beres. T inggal menunggu
keputusan dari Jakarta. Satu langkah lagi. Cita-cita
���
besar masyarakat akan tercapai.
Tiket pesawat sudah dibeli. Tak hanya Muda
seorang. Tetapi puluhan Kepala Desa dari berbagai
kecamatan juga diagendakan untuk berangkat ke
Jakarta. Mendengarkan hasil keputusan tentang
pemekaran. Wajah mereka sumringah. Bangga sebab
telah berkenalan dengan orang muda yang tak lelah
berjuang bernama Muda.
“Bang Muda, nanti kalau kabupaten baru
berhasil dimekarkan, bang Muda saja yang menjadi
bupati,” kata salah seorang kepala desa. Yang lain
mengamini.
“Eh, jangan gitulah, Pak. Target kita, bagaimana
kabupaten ini bisa mekar. Bisa berhasil saja, harus kita
syukuri. Jangan dulu bermimpi jauh sampai ke sana.
Nanti kita tidak total kalau sudah berpikir yang macam-
macam sampai jauh. Soal siapa pun yang jadi bupatinya,
itu diserahkan kepada rakyat. Tugas kita berjuang. Atau
kalau ternyata Bapak Kepala Desa yang memang layak
menjadi bupati, kenapa tidak? Betul tidak, Bapak-
Bapak?” jawab Muda tersenyum. Yang lain tertawa.
“Justru saya berterima kasih kepada Bapak-
���
Bapak. Seandainya nanti kabupaten ini benar-benar
mekar, sungguh, itu bukan karena saya. Tapi karena
Bapak-Bapak sekalian. Coba bayangkan kalau saya
hanya sendirian mengerjakannya. Apa yang terjadi?
Pemekaran tidak akan pernah terwujud”Tapi selah satu kepala desa tetap ngotot.
“Pokoknya, kalau kita berhasil mekar, kita akan
usung bang Muda menjadi bupati,” katanya.
“Pak, tugas manusia hanya bertawakkal.
Berikhitiar. Berdoa. Selanjutnya ada pihak lain yang
berkehendak memutuskan, Allah Yang Maha
Berkehendak.”
Orang-orang semakin tidak sabar untuk
berangkat ke Jakarta.
Muda mendapat telepon. Ada info penting dari
Jakarta tentang keputusan atas usulan pemekaran.
Setelah menerima telepon, Muda tiba-tiba masuk ke
kamar. Meninggalkan para kepala desa yang tinggal
menunggu waktu saja untuk pergi ke bandara. Cukup
lama Muda di dalam kamar.
Di kamar, setelah menerima telepon, Muda
berbaring di pangkuan Ocha. Tangan istri membelai
���
kepala suaminya. Memijat pelan pundaknya. Mereka
berdua tak berkata-kata. Sesekali memang Ocha
bersuara. Tapi lirih. Sangat lirih.
“Istighfar, Ayah.... Sabar...”
Terus berulang-ulang Ocha meminta suaminya
untuk istighfar. Suasana dalam kamar begitu hening.
Tiba-tiba telapak tangan Ocha merasakan ada air
mengalir di pipi suaminya. Air mata. Muda menangis.
“Bukankah yang Ayah cari adalah keridhaan?”
tanya Ocha dengan lembut.
Muda sadar dirinya sedang dilanda kesedihan.
Tetapi dia juga sadar bahwa kesedihan ini tidak boleh
berlebihan. Keridhaan Allah yang paling utama. Orang-
orang di luar menunggu. Hingga akhirnya Muda keluar
dari kamar. Istrinya mendampingi. Airmata tentu saja
sudah di seka sebelumnya.
Agak terbata, Muda bersuara.
“Bapak-Bapak sekalian, agenda keberangkatan
kita ke Jakarta di tunda. Ketok palu belum bisa
dilakukan besok.”
Seketika suasana rumah menjadi riuh. Orang-
orang yang awalnya sudah sangat begitu senang,
���
berubah menjadi panik. Bagaimana kalau ternyata
orang pusat tidak mengabulkan gagasan pemekaran
ini? Bagaimana kalau ternyata ada orang-orang yang
berusaha menjegal? Bagaimana kalau ini? Bagaimana
kalau itu?
Ocha menggandeng tangan suaminya. Seperti
menyalurkan energi luar biasa ke diri Muda.
“Bapak-Bapak tenang. Tidak perlu panik. Jika
Allah mengizinkan, jalan keluar pasti ada.”
Muda seperti mendapat kekuatan untuk
menenangkan masa yang berkumpul. Dia tidak gusar.
Dia tidak panik. Dia percaya, segala sesuatunya sudah
ada yang merencanakan.
***
Ternyata benar. Apa yang dirisaukan orang-
orang tidak terjadi. 17 Juli 2007, pengumuman
disampaikan. Kabupaten Kubu Raya diresmikan. Orang-
orang kembali gembira. Muda Mahendrawan, dalam
harinya berucap: “Alhamdulillah.”
Muda masuk ke dalam kamar. Ia mendapati
istrinya sedang duduk menghadap kiblat. Lengkap
dengan sajadah yang terbentang. Tubuhnya tertutup
���
mukena. Kepalanya tertunduk, tetapi kedua tangannya
tengadah. Kini giliran air mata Ocha yang mengalir
disela-sela do’a yang dipanjatkan.
***
Muda menatap foto ayah dan ibunya di ruang
tamu Tanjungsari 169. Kedua orang ini telah menjadi
inspirasi besar. Kedua orang ini telah mengajarkan
banyak hal. Tak hanya itu, cerita tentang semangat I
Dewa Nyoman Oka juga tidak boleh dikesampingkan.
Juga ada lelaki pemimpin bernama Kimas Akil
Abdurrachman. Muda tak henti berucap syukur kepada
Yang Maha Kuasa telah dilahirkan dari nasab yang
betul-betul mampu menerjemahkan dan mengaplikasi-
kan makna perjuangan.
Kabupaten Pontianak telah berhasil
dimekarkan. Lahir kabupaten baru bernama Kubu Raya.
Orang-orang dekat menyebut bahwa kabupaten ini
adalah anak keempat Muda Mahendrawan.
***
Pemilihan Kepala Daerah untuk kabupaten yang
baru lahir akan diselenggarakan tahun 2008. Orang-
orang terus mendesak Muda untuk ikut mencalonkan
���
diri. Muda enggan sebenarnya. Baginya, bahwa
Kabupaten ini sudah bisa lahir, dia sudah cukup
bahagia. Buah dari perjuangan. Toh, Muda sendiri sudah
keluar dari partai politik. Tapi begitulah, perjuangan
takkan pernah berakhir. Dan ternyata jalan dimudahkan.
Beberapa bulan sebelum pilkada, DPR RI mensyahkan
bahwa calon independen boleh mengikuti pilkada.
Mengetahui keputusan ini, masyarakat desa bergerak.
Dukungan penuh diberikan kepada sang penggagas
pemekaran.
���
2008 Muda Mahendrawan terpilih menjadi Bupati
Pertama di Kabupaten Kubu Raya
***
Pada masa-masa awal kepemimpinannya, Muda
Mahendrawan melakukan gebrakan di luar perkiraan
orang banyak; jatah kendaraan operasional
berupa mobil Toyota jenis Camry ditolaknya.
Pengalihan dana dari pembelian kendaraan tersebut,
menurutnya direncanakan buat menunjang kerja
pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh
para guru,kepala desa, bidan desa serta para
penyuluh-penyuluh pertanian di desa-desa
Buah dari perjuanganyang takkan pernah berakhir
���
Pada tahun 2012, Muda Mahendrawan masuk
pilihan Majalah Tempo sebagai salah satu dari ketujuh
Kepala Daerah pilihan. Bupati pilihan lain
adalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati
Enrekang La Tinro La Tunrung, Bupati Wonosobo Abdul
Kholiq Arif, Walikota Banjar Herman Sutrisno, Wali Kota
Sawahluto Amran Nur, dan Bupati KeeromYusuf Wally
***
Sampai hari ini Muda Mahendrawan masih dan
selalu akrab dengan anak-anak muda. Sebab ia
begitu percaya, peradaban lahir dari tangan dan otak
anak-anak Muda
���
Tentang penulis
Pay Jarot SujarwoMerupakan salah satu penulismuda paling produktif diKalimantan Barat. Lahir diPontianak, 5 Juli 1981, selepas SMAmelanjutkan pendidikan diJogjakarta. Semenjak tahun 1999tulisannya sudah tersebar diberbagai media cetak, antaranya:Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat,Harian Bernas, Minggu Pagi,
Solopos, Lampung Post, Suara Pembaruan, MajalahAnnida, Tabloid Nyata, Majalah Bhakti, Majalah Muda,Majalah Pendapa, Pontianak Post, Equator, BorneoTrribune, dan lain-lain.
Selain mempublikasikan tulisannya di MediaCetak, penulis muda ini beberapa kali memenangkansayembara kepenulisan tingkat nasional, di antaranya:Sayembara Penulisan Cerpen yayasan Cakra Pustaka,Surakarta (2002). Salah satu cerpennya yang lain masukdalam Kumpulan Cerpen Terbaik Balairung, Yogyakarta(KCTB, 2003). Salah satu puisinya masuk dalam puisi terpujipada sayembara penulisan puisi nasional yangdiselenggarakan oleh Tabliod Nyata, Surabaya (2008).
Aktivitas lainnya adalah: Aktif di Sanggar TeaterKSP Jogjakarta. Pendiri Komunitas Sastra KalimambuJogjakarta. Pernah terlibat aktif di Forum Keluarga PelajarMahasiswa Kalimantan Barat (KPMKB) Jogjakarta, di
���
bidang seni budaya. Koordinator Diskusi Wacana diorganisasi Sindikat Penyair Pinggiran (SPP) Jogjakarta.Aktif di Forum Kebudayaan Rakyat (FKR) Jogjakarta. 2004Pindah ke Jakarta, melakukan pembinaan Pekerja RumahTangga di salah satu LSM, melalui pelatihan teater danpenanaman mental. Sempat menjadi aktor di salah satuProduction House dengan program ‘Ngerjain’ yang tayangdi Televisi Pendidikan Indonesia TPI.
Pada tahun 2005, penulis muda ini pulang ke tanahkelahirannya di Pontianak. Melakukan kampanye bacatulis ke sekolah-sekolah, memotivasi siswa di seluruhKalimantan Barat untuk membaca dan menulis. Mengelolapenerbitan bernama Pijar Publishing.Lelaki yang mencintai traveling ini, pada bulan Februari –Juni 2010 bertolak ke Bulgaria. Di salah satu Negara EropaTimur tersebut, selain jalan-jalan, dia juga menulis buku.Dan kembali berangkat ke Bulgaria pada Januari – April2011 untuk melanjutkan perjalanan dan melanjutkanmenulis buku. Pada perjalanannya di Bulgaria, sempatmempresentasikan buku yang dia tulis tentang Bulgaria.Beberapa kali mengikuti pertemuan penulis Bulgaria.Akhir 2011 berkesempatan mengunjungi Belanda dan padatahun 2012 traveling ke Spanyol dan perbatasan portugal.
Beberapa bukunya, selain tersebar di Indonesia,juga menjadi koleksi Cornel University Library AmerikaSerikat dan KITLV, Leiden, Belanda, Nasional Library ofAustralia, Yale University Amerika Serikat.
e-mail: [email protected]