DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP STATUS
PERKAWINAN DAN ANAK (Studi Analisis Penetapan Nomor
0244/Pdt.P/2012/PA.JS)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
RIDWANSYAH MAULANA
NIM : 109044100046
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
I}AMPAK PENOLAKAI\I ITSBAT NIKAH TERIIADAP STATUS
PERKAWINAN DAI\[ ANAK (Shdi Analisis Penetapan Nomor
4244{PdLPn 10?PAJS)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Eukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarianr Syariah (S.Sy)
Oleh:
Ritlwanryat Mflulane
NrM. r090441fim46
KONSENTRASI PERADILAN AGAMAPROGRAM STUDI HT]I(UM KELUARGA ISLAM
FAKT'LTAS SYARIAII DAN HT]KTIM
TTNrVERSIITAS ISLAM NEGERI
SYARIT'HIDAYATT}LLAN
JAKARTA1434II20r3 M
ii
Bawah l
$NIP. 195E1 n8r994031001
vtf ,-wu,
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Dampak Penolakan ltsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan
dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244tPdt.Pl20l2tPA.JS)" telah diajukan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga
Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3 Januari 2014.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-l) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam.
Jakarta, 3 Januari2}l4
Mengesahka
Dekan,
NIP. 19550505198203 1012
PANITIA UJIAN MT]NAQASYAH
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing
4. Penguji I
5. Penguji II
Drs. H. A. Basiq Djalil. SH. M.A..
NIP. 19500306197603 100 I
Hj. Rosdiana. M.A.
NIP. I 96906102003 122001
Dr. H. Supriyadi Ahmad. M.A.
NIP. 19581 128199403 1001
Dr. Moh. Ali Wafa. S.Ae. M.Ag-
NIP. 1 9730 4242002121007
Hi. Hotnidah Nasution. M.A..
NIP. I r97 10630t997 032002
lll
LEMBAR PER}TYATAAI\I
Dengan ini saya menyatakan batrwa:
1. Skripsi ini merupalcan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
mtu persyaratan mempercleh gelar sfata I di Universitas Islam Negeri (trII\$
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universias Islam Negeri Gm\D Syarif
Hidayahrllah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bulcan hasil lcrya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri CIn\$ Syarif Hidayatullatr
Jakarta.
Jakart4 03 Januari 2014
tv
v
ABSTRAK
Ridwansyah Maulana. NIM : 109044100046. DAMPAK PENOLAKAN
ITSBAT NIKAH TERHADAP STATUS PERKAWINAN DAN ANAK (Studi
Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS). Program Studi Hukum
Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2013 M. ix + 75 halaman 12
halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hakim dalam memutus suatu
perkara, khususnya tentang itsbat nikah dan dampak penolakan itsbat nikah terhadap
perkawinan dan anak. Karena masih sedikit sekali pengetahuan masyarakat mengenai
pentingnya melakukan nikah tidak dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah dan
tercatat di KUA.
Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan Penelitian
kepustakaan (library research) dari buku fikih dan hukum-hukum positif serta
wawancara dengan hakim yang memutus sebagai pendukung penelitian.
Kesimpulan penelitian ini adalah perkawinan atau pernikahan tidak sah
apabila syarat dan rukun nikahnya tidak terpenuhi. Salah satunya yaitu saksi. Saksi
menjadi peranan penting dalam perkawinan. Karena orang yang menyaksikan
memberitahu tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Pernikahan sah apabila
disaksikan oleh dua orang saksi, dua orang laki-laki maupun satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan.
Adapun dampak penolakan istbat nikah yaitu: dampak yang akan datang dapat
menimbulkan mudharrat oleh pihak yang telah mengajukan itsbat nikah di
Pengadilan, antara lain: 1. Tidak ada kepastian hukum 2. Tidak bisa dilindungi dari
adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang bertanggung jawab
3. Menimbulkan mudharrat terhadap isteri dan /atau anak yang dilahirkan terkait
dengan hak-hak mereka seperti nafkah dan hak waris apabila ada perselisihan di
kemudian hari 4. Akibatnya dirasakan pada hak-hak sipil keperdataan anak yang lahir
dari pasangan suami isteri.
Kata kunci : Penolakan Itsbat Nikah, Perkawinan, dan Anak.
Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A.
Daftar pustaka : 1995-2013
vi
KATA PENGANTAR
al-Hamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga
berkat pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda Melih H.M. dan Ibunda
Karnamah yang tidak pernah berhenti memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayang
dan doa. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala melimpahkan rahmat dan kasih sayang
kepada mereka.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini,
penulis tidak akan dapat menyelesaikanya jika tanpa dukungan, bantuan dan saran
dari berbagai pihak, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis
sampaikan dengan tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai
motivator penulis selama ini.
vii
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Ibu Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., Dosen pembimbing skripsi yang
tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan dan memotivasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
mengarahkan penulis sejak awal masuk perkuliahan.
5. Ibu yanti, terima kasih atas bantuan administrasi pengurusan skripsi dari
awal hingga akhir.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang membantu proses
administrasi penulis.
7. Seluruh staff Pengadilan Agama Jakarta Selatan, khususnya Bapak
Fahrurozi, S.H. Panitera Muda Hukum dan Ibu Dra. Hj. Athiroh Muchtar,
S.H., M.H.
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan
dalam mengumpulkan referensi kepada penulis.
9. Kakanda Agus Rahmadi selalu memberikan motivasi dan dukungan dalam
berbagai hal sehingga penulis bersemangat. Dan sepupu Arben tak lupa.
viii
10. Seluruh keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren Mumtaz Ibadurrahman
yang selalu memberikan support dan motivasi yang penulis tidak sebutkan
namanya satu persatu.
11. Yuni Herliawati Lubis, terima kasih atas support dan doanya.
12. Keluarga Besar Alm Bapak. H. Mahmud dan Keluarga Besar Bapak
Batong Bo’o selalu memberikan dorongan semangat yang tak terhingga,
dari materi maupun doa.
13. Teman-teman Keluarga Besar Peradilan Agama angkatan 2009 kelas A
dan B yang menjadi teman seperjuangan. Khusus kepada Mufti,
Syaefudin, Helmi, Rouf, Ihsan, Mamduh, Iyas, Fauzan, Yusuf, Kosim,
Eni, Fajar, Jefri, Rudini, Fahmi, Fikri, Awal, Reza, Najwa, Dewi, Farhan,
Icha, Lia, Marjuki dan Sarah. Terima kasih atas pinjaman buku dan
motivasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian
selamanya.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya, hanya
doa semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada semua
pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Ciputat, 03 Januari 2014
Ridwansyah Maulana
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6
D. Review Studi Terdahulu ............................................................................ 8
E. Metodologi Penelitian ................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II PERKAWINAN MENURUT FIKIH DAN HUKUM POSITIF
A. Perkawinan Menurut Fiqih ..................................................................... 15
B. Perkawinan Menurut Hukum Positif ………...……………………… 17
x
C. Syarat dan Rukun Nikah Menurut Fikih dan Hukum Positif ..... 22
D. Saksi Dalam Perkawinan ............................................................ 38
BAB III PERNIKAHAN SIRRI (DI BAWAH TANGAN) DAN ITSBAT
NIKAH
A. Nikah Sirri ……….…………………………...................................... 48
B. Itsbat Nikah dan Landasan Hukumnya ....................................... 52
C. Fatwa MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan ............................ 59
BAB IV ANALISIS PENETAPAN Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS
A. Deskripsi Putusan Perkara ........................................................... 63
B. Kebijakan Hakim Dalam Memutus Perkara ................................ 65
C. Analisis Penulis ……………………………..……………………………………68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………….…………..…..…….. 71
B. Saran ………………………………...……………………………………… 72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut Hukum Islam sebagaimana ditegaskan dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) sama artinya dengan pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya sebagai ibadah.1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 ayat
(1) dinyatakan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2
Dalam pasal 2 ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun
nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) maka perkawinan
tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi
sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan
lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat 2
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007. h. 282.
2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1.
2
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang di
dalamnya terdapat tentang pencatatan perkawinan.3
Untuk mencapai ikatan lahir batin yang kuat seperti yang dimaksud di
atas, Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat (2) telah menentukan keharusan
adanya pencatatan pada tiap-tiap perkawinan, pencatatan perkawinan bertujuan
untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Pasal tersebut berbunyi: “Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.4
Pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan
lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami dan
istri, atau salah satunya tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat
melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-
masing. Karena dengan akta tersebut, suami dan istri memiliki bukti otentik atas
perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.5
Persoalan muncul ketika perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak
dicatatkan sehingga tidak medapatkan akta nikah. Di dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) sudah ditegaskan bahwa, “Tiap-tiap perkawinan
3 “Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang menikah di Bawah Tangan
Berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku Tentang Perkawinan”, artikel ini diakses pada 23
Maret 2013 dari https://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-
istri-yang-menikah-di-bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan.
4 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal: 2.
5 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Cet Ke-1, h. 108.
3
dicatat menurut peeraturan perundang-undangan yang berlaku”.6 Ayat 2 Pasal (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di atas dipertegas lagi dalam Kompilasi
Hukum Pasal 5 ayat (1), “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Yang mana teknik pelaksanaannya
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu, (1) Untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan
di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perkawinan yang dilakukan
diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.7
Bagaimanapun juga pencatatan perkawinan itu sangat besar maslahahnya
bagi umat manusia, lebih-lebih di era globalisasi sperti sekarang ini. Adapun
oknum-oknum yang tidak mencatat perkawinannya karena mungkin perkawinan
yang dilakukan bermasalah, misalnya melaksanakan nikah mut’ah, kawin sirri,
atau melakukan poligami liar dan sebagainya, pasangan tersebut tidak mempunyai
akta perkawinan yang sah, untuk itu memerlukan pengukuhan kembali terhadap
perkawinan yang sudah dilakukan yang lebih dikenal dengan istilah itsbat nikah.8
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang
masing-masing suami istri mempunyai salinannya. Namun dalam prakteknya, tak
dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang masih sering terjadi perkawinan yang
6 Depatemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Serta Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:
2004), h. 14.
7 Ibid, h. 129.
8 Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah
Diberlakukan UU. No. 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Ahkam IV,
no. 8 (2002): h. 70.
4
dilakukan secara “Ilegal” yang sering juga disebut dengan nikah sirri “perkawinan
di bawah tangan” karena tidak di catat secara resmi oleh pegawai pencatat nikah.9
Itsbat nikah adalah penetapan nikah yang tidak terdaftar di Pengadilan
Agama setempat. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta
nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan
kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbath nikah (penetapan nikah)
kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan
hukum dalam ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) mengungkapkan sebagai
berikut:
Ayat (2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Melihat penjelasan di atas, kita memahami bahwa Pengadilan Agama
mempunyai sebuah wewenang dalam menangani “itsbat nikah” pernikahan di
bawah tangan. Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana dan kenapa
itsbat nikah yang di tolak oleh Pengadilan Agama yang disebabkan saksinya 1
(satu) orang laki-laki dan selebihnya perempuan, dan hakim meragui akan lafadz
ijab kabul yang telah dilaksanakan akadnya itu oleh amil. Terkait dengan hal
tersebut, bagaimana kedudukan beberapa anak kandung yang disebabkan
ditolaknya itsbat nikah tersebut.
Kendati belum ditopang oleh penelitian resmi, fakta dilapangan banyaknya
pasangan suami istri yang baru menyadari akan pentingnya pencatatan
9 Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan, h. 69.
5
perkawinan ketika dihadapkan oleh problematika hukum misalnya, ketika terjadi
perceraian, pihak perempuan tidak dapat menuntut pembagian harta bersama, hak
waris, perwalian anak, akta kelahiran anak, dan lain sebagainya. Dengan demikian
eksistensi itsbat nikah sangat perlu pada setiap warga negara yang tidak
didaftarkan dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat karena
ketidaksadaran masyarakat akan hal itu.
Dengan demikian dengan dampak negatif dari maraknya pernikahan di
bawah tangan, terutama pihak pasangan suami istri dan anaknya, termasuk di
antaranya tentang penolakan permohonan itsbat nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama, maka penulis tertarik untuk mengangkat dalam sebuah
penelitian dengan judul “DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH
TERHADAP STATUS PERKAWINAN DAN ANAK (Study Analisis
Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis mengemukakan masalah pernikahan di
bawah tangan (tidak tercatat) dan praktek pelaksanaan itsbat nikah seperti diatur
dalam peraturan perundang-undangan menurut konteks hukum Islam dan hukum
positif. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hal itu, maka penulis
membatasi pembahasan pada praktek itsbat nikah dari pernikahan di bawah
tangan dengan menganalisa putusan dan kebijakan hakim dalam memutus perkara
yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
6
0244/Pdt.P/2012/PA.JS tentang penetapan itsbat nikah yang tidak dapat diterima
oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Perumusan Masalah
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) dan (3) yang menjelaskan
kesempatan peluang bagi pelaku nikah di bawah tangan untuk mengisbathkan
nikahnya di Pengadilan Agama untuk dicatatkan dan mendapatkan akta nikah.
Sedangkan Pengadilan tidak dapat menerima itsbat nikah pelaku.
Agar lebih terperinci perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana alasan Hakim tidak menerima Itsbat Nikah Yang Diajukan
Dengan perkara Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS?
b. Bagaimana status Perkawinan dan Anak setelah dan sebelum
dilaksanakannya itsbat nikah dan tidak diterimanya itsbat tersebut oleh
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
c. Bagaimana Kedudukan Saksi Dalam Perkawinan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
a. Pertimbangan apa saja yang diambil oleh hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam memberikan putusan atas penolakan itsbat nikah,
khususnya dalam masalah tersebut.
b. Untuk mengetahui status Perkawinan dan Anak setelah dan sebelum
dilaksanakannya itsbat nikah dan ditolaknya itsbat tersebut oleh
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
7
c. Untuk mengetahui kedudukan saksi dalam perkawinan dalam amar
putusan hakim.
2. Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang bergunam serta diharapkan
mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya
dapat bermanfaat diantaranya :
a. Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas
mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan oleh PPN (Pegawai Pencatat
Nikah) dan kaitannya dalam konsep itsbat nikah dalam perkawinan.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu yang menyangkut pemahaman urgensi pernikahan
yang tidak dicatatkan bagi calon pengantin.
c. Untuk memberikan kontribusi yang positif terhadap pembaca dan para
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum sebagai bagian dari peningkatan
kualitas intelektual atau pengetahuan (sains).
d. Untuk memberikan masukan tambahan serta menambah cakrawala
wawasan bagi mahasiswa atau kaum akademisi yang akan bergerak
sebagai praktisi hukum kelak.
e. Untuk menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja khususnya pembaca
yang berkepentingan dengan penanganan pernikahan sirri.
f. Untuk dijadikan pedoman atau referensi dalam hal-hal yang berhubungan
dengan prosedur Itsbat Nikah dari pernikahan sirri.
8
D. Review Studi Terdahulu
Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi terdahulu
pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang
akan di angkat oleh penulis yaitu:
No. IDENTITAS JUDUL PEMBEDA
1. Indro
Wibowo/20704410042
5/Peradilan
Agama/Syariah dan
Hukum/2011 M
Itsbat Nikah Dalam
Perkawinan (Analisis
Yuridis Penetapan
Nomor :
083/Pdt.P/2010/PA. JS
Indro Wibowo hanya
membahas kebijakan hakim
memberikan penetapan itsbat
nikah dan alasan yang
menyebabkan itsbat nikah yang
dilakukan oleh M. Nasir bin
Marmin dan Dahliana binti
Matsanih mengajukan itsbat
nikah, dan pertimbangan
hakim. Sedangkan Penulis
membahas dan mengkaji
putusan (penetapan) itsbat
nikah yang ditolak dengan
alasan kesaksian dan shigot
lafaz kurang memenuhi syarat.
Perkawinan yang
dilangsungkan sebelum lahir
UU. No. 1 Tahun 1974.
2. Rifqy
Yatunnisa/106043101
316/Perbandingan
Madzhab
Fiqih/Syariah dan
Praktek Itsbat Nikah
Pernikahan Sirri
(Analisis Putusan
Hakim Peradilan
Agama Jakarta Selatan
Rifqi Yatunnisa hanya
membahas menganalisis
perbandingan putusan perkara
setelah tahun 1974, dan
menganalisis akan kurang
9
Hukum/2010 M Nomor
10/Pdt.P/2007/PA.JS
dengan Nomor
040/Pdt.P/2008/PA.JS)
tepatnya pertimbangan hakim
dalam menerima itsbat nikah
setelah tahun 1974. Sedangkan
Penulis membahas dan
mengkaji putusan (penetapan)
itsbat nikah yang ditolak
dengan alasan kesaksian dan
shigot lafaz kurang memenuhi
syarat. Perkawinan yang
dilangsungkan sebelum lahir
UU. No. 1 Tahun 1974.
3. Ria
Amaliyah/1050442014
63/Administrasi
Keperdataan
Islam/Syariah dan
Hukuam/2009 M
Dampak Penolakan
Itsbat Nikah Terhadap
Hak Perempuan
Ria Amaliyah hanya
membahas tentang studi
analisis perkara Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs yakni
pemohon perempuan di
poligami ingin di itsbatkan
pernikahannya ke Pengadilan
Agama Tigaraksa akan tetapi
di tolak. Sedangkan Penulis
membahas dan mengkaji
putusan (penetapan) itsbat
nikah yang ditolak dengan
alasan kesaksian dan shigot
lafaz kurang memenuhi syarat.
Perkawinan yang
dilangsungkan sebelum lahir
UU. No. 1 Tahun 1974.
10
E. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan untuk
membuat karya ilmiah yang baik dan bermanfaat, Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah
Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya
yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara
lain:
a. Pendekatan normatif, yaitu analisis data didekati dari norma-norma
hukum, maksudnya mengalisa dalil dan metode penetapan hukum yang
digunakan dalam al-Quran, hadits Nabi dan Fiqih.
b. Pendekatan kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis.
2. Data Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
11
Penelitian kepustakaan merupakan metode penelitian yang dimaksudkan
untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang timbul
dengan menggunakan bahan-bahan :
1) Bahan Primer
Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian yang
terdiri dari :
a) Kitab-kitab Fiqih
b) Buku-buku Fiqih
c) Buku kaidah Fiqih
d) Kitab KHI
e) Peraturan Perundang-Undangan
2) Bahan Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai kajian terkait, yang
terdiri dari :
a) Buku-buku
b) Artikel Ilmiah
c) Arsip-arsip terkait yang mendukung
d) Publikasi dari Lembaga terkait.
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan :
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan, yaitu pengumpulam data dengan mencari konsepsi-
konsepsi, teori-teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan erat dengan
pokok permasalahan. Kepustakaan berupa Kitab atau buku Fiqih, Karya ilmiah
para sarjana, laporan lemabaga dan sumber-sumber lainnya.
b. Wawancara (Intervew)
wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua
orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada dua
pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. satu pihak berfungsi sebagai
pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai
pemberi informasi atau informan (Responden).10
Wawancara dilakukan penulis dengan salah satu Penetapan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan/ Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS kepada hakim.
4. Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam menganalisa data adalah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis. Dari semua data yang
10
Soemitro Romy H, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta:Ghalia Indonesia,
1990), h. 71.
13
terkumpul yang selanjutnya akan diolah untuk menjawab dari rumusan masalah
yang ada.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian agar menjadi lebih terarah, penulis melakukan sistematika
punulisan ke dalam lima bab, masing-masing terdiri dari sub-bab menganai
penelitian terkait. Sistematika yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
Untuk Sistematika dalam penulisan ini, penulis membagi pembahasan menjadi
empat bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bagian.
Adapun sistematika ini diuraikan sebagai berikut:
BAB I adalah Pendahuluan, dalam bab ini yang memuat tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II membahas tentang Tinjauan Umum Tentang Perkawinan menurut
Hukum Islam dan Hukum Positif, dalam bab ini membahas Pernikahan Menurut
14
Hukum Islam dan Hukum Positif, Syarat dan Rukun Nikah Dalam Fikih dan
Hukum Positif, Saksi dalam Perkawinan.
BAB III membahasa tentang Teori Umum Pernikahan Sirri, Itsbat Nikah,
dalam bab ini membahas Pengertian pernikahan sirri dan itsbat nikah yang
meliputi pasal-pasal terkait dan landasan hukumnya.
BAB IV membahas Deskripsi Putusan Perkara, Nomor
0244/Pdt.P/2012/PA.JS, kebijakan hakim dalam memutus perkara, Analisis
Penulis.
BAB V adalah Penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam
bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis
lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab.
Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut
berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
15
BAB II
PERKAWINAN MENURUT FIKIH DAN HUKUM POSITIF
A. Perkawinan Menurut Fikih
1. Pengertian Perkawinan
Nikah, menurut bahasa: al-jam‟u dan al-dhamu yang artinya kumpul.
Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad
nikah. Juga bisa diartikan (wath‟u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.
Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim,
bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar
atau asal kata dari kata kerja (fi‟il madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja”
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah
sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.1
Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata
perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”,
yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”2 Istilah “kawin” digunakan secara
umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generatif
secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena
mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama
1H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7.
2Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), h. 456.
16
menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses
pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan
Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah bisa juga
diartikan sebagai bersetubuh.3
Adapun menurut syarak: nikah adalah akad serah terima antara laki-laki
dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan
untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat
yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara
keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau tazwij. Hal ini sesuai
dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah Darajat dan kawan-kawan yang
memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
ج انى كاح بهفظ طئ إباحتخضمه عمذ انخض أ ىا ماأ مع
“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin
dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan
bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan
demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya
3H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7.
17
dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang
sakral.4
B. Perkawinan Menurut Hukum Positif
1. Arti perkawinan
Menurut Paul Scholten, Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara
seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui
oleh negara.
Terdapat perbedaan konsepsi perkawinan antara BW dan UU Perkawinan.
BW mennganut konsepsi perkawinan perdata, artinya menurut BW suatu
perkawinan itu adalah sah bila telah dilangsungkan berdasarkan ketentuan
undang-undang dan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh undang-
undang. Hal sedemikian sesuai dengan perumusan pasal 26 BW yang berbunyi
“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata”.5
Sedangkan konsepsi perkawinan menurut UU Pekawinan pada pokoknya
adalah:
(1) Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri
4 Ibid., h. 8.
5 Kama Rusdiana dan Jaenal Arifin. Perbandingan Hukum Perdata. (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 4.
18
(2) Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Syarat Perkawinan Menurut Hukum Perdata
Syarat Perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus
dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum pernikahan
dilangsungkan.
Persyaratan Perkawinan menurut BW dibedakan menjadi dua yaitu: (a)
syarat internal dan (b) syarat eksternal.6
a. Syarat Internal
Syarat intern merupakan syarat terhadap para pihak terutama mengenai
kehendak, wewenang dan persetujuan orang lain yang diperlukan oleh para
pihak untuk mengadakan perkawinan.
Syarat intern ini dapat dibedakan lagi menjadi syarat internal mutlak dan
syarat internal relative yaitu:
1) Syarat Internal Mutlak
Syarat internal mutlak berisikan syarat-syarat yang harus dipenuhi para
pihak untuk dapat melangsungkan perkawinan. Bila syarat-syarat ini tidak
terpenuhi maka perkawinan tidak dapat dilakukan7. Syarat internal mutlak terdiri
dari:
a) Asas monogami mutlak (Pasal 27 BW);
6 Ibid., h. 7.
7 Ibid., h. 7.
19
b) Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 28 BW);
c) Mencapai batas umur tertentu, untuk laki-laki berumur 18 tahun sedang
wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 BW);
d) Lewat masa tunggu bagi wanita yang ingin menikah lagi, yaitu 300 hari
(Pasal 34 BW);
e) Memperoleh izin kawin (Pasal 35 BW).
2) Syarat Internal Relatif
Syarat ini berarti bahwa dalam suatu keadaan tertentu mereka dapat
melangsungkan perkawinan. Syarat internal relatif ini berisikan larangan-larangan
perkawinan,8 yaitu:
a) Larangan perkawinan karena adanya hubungan kekeluargaan, karena
hubungan darah dan hubungan perkawinan (Pasal 30 BW);
b) Larangan perkawinan karena salah satu pihak dijatuhi hukuman oleh hakin
karena terbukti melakukan zina (Pasal 32 BW);
c) Larangan perkawinan karena adanya perkawinan terdahulu (Pasal 33 BW).
b. Syarat Eksternal
Syarat eksternal adalah syarat-syarat dan formalitas yang harus
dipenuhi oleh para pihak baik sebelum maupun pada waktu mereka
melangsungkan perkawinan, misalnya pendaftaran ke kantor Catatan Sipil (KCS).
Persyaratan perkawinan menurut UU Perkawinan terdiri dari syarat
materiil dan syarat formiil. Syarat materiil adalah syarat-syarat yang ada dan
melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga
8 Ibid., h. 7-8.
20
sebagai “syarat subyektif”. Syarat formiil ialah tata cara atau prosedur
melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga
sebagai “syarat obyektif”, adapun syarat materiil dan formiil yaitu:9
a. Syarat Materiil
UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan syarat-
syarat perkawinan sebagai berikut10
:
1) Asas monogami relatif11
(Pasal 3 Ayat (1) UU Perkawinan);
2) Persetujuan bebas kedua belah pihak (Pasal 6 UU Perkawinan);
3) Mencapai batas umur, untuk laki-laki 19 tahun dan gadis 16 tahun (Pasal 7
ayat (1) UU Perkawinan);
4) Lewat masa iddah (Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan);
Masa iddah ini diatur perincian pada pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
a) 130 hari, apabila perkawinan putus karena kematian;
b) 90 hari atau 3 X Quru‟, apabila perkawinan putus karena perceraian;
c) Sampai bayi dilahirkan, apabila perkawinan putus karena perceraian dan
isteri dalam keadaan hamil.
Masa iddah ini dihitung berdasarkan sejak jatuhnya putusan perkawinan
yang telah in kracht van gewijsde untuk perkawinan yang putus karena
9Kama Rusdiana dan Jaenal Arifin. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.
10 Ibid., h. 8.
11 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, al-Hikmah, 2001), h. 132
21
perceraian. Untuk yang putus karena kematian, dihitung sejak tanggal
kematian.12
d) Tidak terhalang oleh larangan perkawinan.
Pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan perkawinan bagi dua yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
b. Syarat Formiil
Syarat formiil sama halnya dengan syarat eksternal perkawinan menurut
BW, yaitu syarat-syarat dan formalitas yang harus dipenuhi oleh para pihak baik
sebelum maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan.13
12
Ibid., h. 9.
13 Kama Rusdiana dan Jaenal Arifin. Perbandingan Hukum Perdata. (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 9.
22
Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur bahwa setiap orang yang
akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada
pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya
10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3). Pemberitahuan ini
dilakukan secara tertulis atau lisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau
wakilnya (Pasal 4).14
Bagi yang beragama Islam pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama
(KUA) dan bagi yang beragama non Islam pencatatan dilakukan di Kantor
Catatan Sipil (KCS).
C. Syarat dan Rukun Nikah
1. Menurut Fikih
Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di
antara para ulama.
Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat, yaitu (1) sighah (ijab
dan qabul), (2) calon isteri, (3) calon suami dan (4) wali. Ini berbeda dengan
Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan
qabul, tidak ada yang lain.15
Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun
nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus
14
Ibid., h. 9.
15Asrorun Ni‟am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. (Jakarta:
eLSAS, 2008), h. 13.
23
disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) isteri (suami dan isteri ini disyaratkan
bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram)
dan (5) sighah.16
Sedangkan Syafi‟iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun
sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua
saksi dan (5) sighah.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat
mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Sementara, selain pada dua
hal tersebut, mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah
selain ijab dan qabul adalah suami, isteri, dan wali. Sedangkan Syafi‟iyah
berpendirian, selain keduanya rukun nikah yang lain adalah suami, isteri, wali,
dan dua saksi. Adapun menurut Malikiyah, selain ijab dan qabul yang termasuk
rukun nikah adalah suami, isteri, wali, dan mahar.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang rukun nikah, baik yang disepakati
maupun yang tidak disepakati, maka berikut ini akan dijelaskan satu persatu.
a. Wali
Mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat di kalangan
ulama.
Pendapat pertama oleh jumhur ulama, bahwa suatu pernikahan tidak sah
tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash al-Qur‟an dan hadits.
16
Abd Al-Rahman al-Jaziri, selanjutnya disebut al-Jaziri, al-Fiqh „Ala Madzahib al-
Arba‟ah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996) jilid 4, h. 14.
24
Adapun nash al-Qur‟an disebutkan dalam Surah al-Baqarah [2]: 232 berikut ini:
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya”.17
Ayat di atas menunjukkan peran dan fungsi seorang wali, jika tidak maka
wewenang “menghalangi” dalam ayat di atas tidak punya arti apa-apa bagi
seorang wali.
Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy‟ari.:
إلاو كاحلا ن ب
“Bahwa sebuah pernikahan tidak sah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud).
Maksud dari hadis di atas adalah sebuah pernikahan tidak sah jika wali
tidak ada, karena seorang wanita tidak punya kapasitas unutuk menikahkan
dirinya tanpa adanya seorang wali atau mewakilkannya kepada orang lain jika
wali berhalangan untuk menikahkannya, dan jika ia lakukan hal itu maka
nikahnya tidak sah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
شأة أما ش وكحج ام اإرن بغ ن ا م فى كاح )دادأبساي)باط
“Bahwa wanita siapa saja yang menikah tanpa seizing walinya maka
nikahnya tidak sah.” (HR. Abu Daud).
Pendapat kedua dikemukakan oleh Hanafiyah, bahwa wanita berakal yang
sudah baligh, baik gadis atau janda, dapat menikahkan dirinya dan anak
perempuannya, dan boleh mewakilkannya kepada orang lain. Karena wali dalam
17
Kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain
25
hal ini tidak wajib melainkan sunnah saja. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu
Hanifah dan Abu Yusuf.
Dalil pendapat ini adalah Surah al-Baqarah [2]: 230 berikut:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang
lain.”
Dan Surah al-Baqarah [2]: 232 berikut:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya.”
Menurut Hanafiyah, khitab (sasaran pembicaraan) dala ayat di atas adalah
para suami dan bukan para wali sebagaimana pendapat jumhur. Selanjutnya
disebutkan dalam Surah al-Baqarah [2]: 234 berikut:
“Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka18
menurut yang patut.”
Ayat ini sangat jelas menunjukkan kebolehan wanita menikahkan dirinya
karena Allah meminta membiarkan mereka berbuat yang patut untuk diri mereka.
Selanjutnya Hanafiyah juga berargumen dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Abbas ra.:
18
Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
26
اأحكانثب ه بىفس ام ن ش انبك خأمش اح س إرو ا ح ك (.مسهمساي)س
“Seorang janda lebih berhak menikahkan dirinya daripada walinya. Dan
seorang gadis diminta persetujuannya, jika diam berarti ia telah setuju”. (HR.
Muslim).
Hadis di atas lebih mempertajam eksistensi seorang wali dalam suatu
pernikahan dan memperjelas lemahnya posisi wanita dalam masalah ini.
Selanjutnya Wahbah Zuhaili mengomentari hadis di atas. Zuhaili
mengatakan bahwa, berdasarkan hadis tersebut seorang wanita tidak berhak
menikahkan dirinya maupun orang lain, tidak punya peran dan sangkut paut
dalam proses ijab dan qabul, tidak boleh menikahkan dirinya seizin maupun tidak
seizin walinya, dan tidak boleh menikahkan orang lain baik kapasitasnya sebagai
seorang wali maupun wakil wali.
b. Sighah (Ijab dan Qabul)
Adapun bentuk ijab dan qabul adalah apabila seorang wali nikah
mengatakan, “Saya nikahkan engkau” atau “Saya kawinkan engkau”. Lalu si
calon suami menjawab, “Saya terima nikahnya”. Atau, si calon suami
mengatakan terlebih dahulu sebelum wali, “Saya menikahinya atau
mengawininya”, lalu wali menjawab, “Saya nikahkan atau saya kawinkan engkau
dengannya”. Maka dengan pernyataan itu nikah sudah dianggap sah.
Mengenai masalah ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya
seorang suami mengatakan sebelum wali dalam sighah, “Saya menikahi putri
anda”, lalu wali menjawab, “Saya telah menikahkan kamu dengannya”, maka
27
akadnya sah secara hukum, tetapi tidak dibolehkan karena mendahulukan sighah
qabul daripada ijab karena seharusnya ijab didahulukan dari qabul.
Dalam hubungannya dengan lafaz nikah yang diucapkan saat akad,
setidaknya ada tiga hal yang hendak dikemukakan yaitu pertama, lafaz yang
disepakati penggunaannya dan disepakati tidak digunakan. Kedua perbedaan
pendapat para ulama mengenai keabsahan akad yang diucapkan tidak
menggunakan lafaz nikah dan zawaj, dan ketiga hukum menggunakan lafaz
mengandung makna nikah tapi bukan dalam bahasa Arab.
1) Lafaz yang disepakati digunakan dan yang disepakati tidak digunakan.
Para ulama sepakat mengenai sahnya suatu akad yang dilakukan dengan
menggunakan lafaz nikah dan lafaz zawaj berdasarkan nash al-Qur‟an.
Adapun lafaz nikah, dijelaskan dalam Surah an-Nisa‟ [4]: 22 berikut:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.
Dan lafaz zawaj, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Ahzab [33]: 37
berikut:
28
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia19
supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya20
. dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi”.
Kedua ayat di atas memberi keterangan yang jelas tentang penggunaan
lafaz nikah dan lafaz zawaj.
Sedangkan lafaz-lafaz yang disepakati oleh ulama tentang ketidakabsahan
akad nikah jika menggunakannya adalah lafaz yang tidak mengandung maksud
kepemilikan atau hanya mengandung unsure kepemilikan yang bersifat sementara,
seperti al-ibahah (membolehkan), al-i‟arah (meminjamkan), al-ijarah
(menyewakan), al-mut‟ah (menikmati), al-wasiyah (mewasiatkan), al-rahn
(menggadai), al-wadi‟ah (menitip) dan lain-lain.
2) Akad Selain Lafaz Nikah
Dalam menggunakan lafaz selain nikah dan zawaj pada saat ijab dan
qabul, terdapat perbedaan di antara para ulama yang terbagi ke dalam dua
pendapat.
19
Maksudnya: setelah habis idahnya.
20 Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah
Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk
Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya
dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini
bekas isteri anak angkatnya.
29
Pendapat pertama oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa lafaz ijab
dan qabul selain dua lafaz di atas (nikah dan zawaj) yang mengandung arti
kepemilikan akan sesuatu adalah sah, seperti lafaz hibah (pemberian), at-tamlik
(memiliki), al-sadaqah (bersedekah), al-tiyyah (pemberian), dan lain-lain. Tetapi
dengan syarat niat nikah atau diketahui maksudnya oleh para saksi.
Alasan-alasan yang dikemukakan pendapat ini adalah:
a) Terdapat penggunaan kata hibah dalam al-Qur‟an Surah al-Ahzab [33]: 50
berikut:
“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi
mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin.”
b) Penggunaan lafaz tamlik sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh Sahl bin Sa‟ad ra. :
ل ل ل س الل صهىانش سهمعه م ه ك نم ن شج مالام م شا مذ خالذ :م مهك
همعكبما أن م (.نبخاسيساي)انمش
“Sabda Rasulullah Saw. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai harta
untuk dijadikan mahar, lalu Nabi berkata kepadanya: “Aku telah memilikkan
(menikahkan) kamu dengannya, dengan apa yang kamu hafal dari ayat al-
Qur‟an.” (HR. Bukhari).21
21
Shahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Bab Tazwij al-Mu‟sir, hadis no. 5087.
30
c) Suatu lafaz dapat digunakan dengan tujuan majaz22
karena bentuk majaz
tidak terbatas penggunaannya dalam lafaz-lafaz bahasa saja tetapi berlaku
juga dalam lafaz-lafaz syar‟i.
d) Sighah adalah setiap perkataan yang mengandung saling rela dan
menerima dari calon suami, wali atau yang mewakili keduanya seperti
perkataan, “Saya menikahkan”, “Memberikan (hibah)”, Mensedekahkan”,
dan lain-lain sambil menyebutkan mahar.
Pendapat kedua, oleh ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, yang mengatakan
bahwa akad tidak sah apabila diucapkan selain lafaz nikah dan zawaj karena
keduanya telah disebutkan dalam al-Qur‟an. Karena itu, seharusnya cukup hanya
menggunakan keduanya tanpa membolehkan menggunakan lafaz yang lain.
Alasan pendapat ini adalah:
a) Penggunaan dua lafaz ini (nikah dan zawaj) terdapat dalam al-Qur‟an yang
telah disebutkan sebelumnya.
b) Berdasarkan sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan Jabir bin „Abdillah ra. :
االل م انىساء فىإحم هفإوك ههخ م الل بأماوت أخزح م خح اس ج ه الل ب كه مت ف ش
(.ماجابهأبدادساي)“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya
kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan halal bagimu
menggauli mereka karena kalimat Allah”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah).23
22
Lafaz Majaz adalah lafaz yang penggunaannya untuk menunjukkan makna lain yang
benar berdasarkan qarinah (alasan) selain makna awal (dasar) yang dimaksudkan dari lafaz
tersebut. (Muhit al-Muhit, h. 136).
23 Sunan Abu Dawud, Kitab al-Manasik, Bab Sifatu Hajjati an-Nabi, hadis no. 1905, jilid
2, h. 455; dan Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Manasik, Bab Hajjatu Rasulillah, hadis no. 3074, jilid
2, h. 1022.
31
Yang dimaksud “kalimat Allah” dalam hadis di atas adalah kalimat yang
terdapat dalam kitab-Nya, dan tidak ada kalimat tentang sighah dalam kitab-Nya
selain kedua lafaz di atas.24
c) Menggunakan qiyas tidak dibolehkan dalam masalah ini karena nikah
termasuk ibadah. Maka tidak sah sighah kecuali kedua lafaz di atas.
d) Disebutkan dalam Surah al-Ahzab [33]: 50 berikut:
“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi
mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin.”
Penggunaan lafaz hibah dalam ayat ini sangat jelas bahwa penggunannya
hanya khusus terhadap Nabi dan tidak berlaku untuk yang lain. Sedangkan hadis:
الذ خ همعكب مامهك أن م (.عهمخفك)انمش
“Aku memilikkan (menikahkan) kamu dengannya, dengan apa yang kamu
hafal dari ayat al-Qur‟an.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menurut riwayat yang sahih hadis di atas menggunakan kata “qad
ankahtuka”, “Aku menikahkanmu dengannya”.
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan
tentang kebolehan menggunakan lafaz selain lafaz nikah dan zawaj dalam akad,
mengingat:
24
Asrorun Ni‟am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta:
eLSAS, 2008.
32
a. Klaim dari pendapat kedua bahwa hanya ada dua lafaz yang dikemukakan
oleh al-Qur‟an, yaitu lafaz nikah dan zawaj, tidak dapat diterima
sepenuhnya karena nash ayat maupun hadis yang dijadikan dalil oleh
pendapat kedua adalah bantahan atas klaim tersebut.
b. Khususiyah (pengkhususan) penggunaan kata hibah terhadap Nabi Saw.
dalam ayat di atas adalah tidak tepat karena khususiyah yang dimaksud
adalah kebolehan Nabi menikah tanpa mahar bukan penggunaan kata
hibah. Ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qurtubi25
, “Perlakuan khusus
terhadap Nabi di sini adalah seandainya wanita itu meminta mahar
sebelum bercampur (berhubungan badan) maka tidaklah dapat dipenuhi,
karena meminta mahar sebelum berhubungan hanya berlaku di antara kita
bukan kepada Nabi Saw.”26
Di sinilah letak kekhususan itu.27
c. Kemudian di dalam menggunakan kata selain lafaz nikah disyaratkan niat
untuk mengetahui kepastian akad yang dilakukan agar para saksi
mengetahui maksudnya. Karena ibrah yang menjadi pijakan dalam
melakukan akad itu adalah diketahuinya maksud pernyataan bukan karena
berdasarkan lafaz-lafaznya.
25
Al-Qurtubi adalah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Faraj al-Ansari, al-
Khazraji, al-Andalusi, terkenal dengan sebutan al-Qurtubi. Beliau dikenal ahli dalam bidang tafsir
dan termasuk salah satu pengikut mazhab Maliki, wafat di Mesir pada bulan Syawal 671 H/1273
M. (Mu‟jam al-Muallifin, Jilid 8 h. 239).
26 Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, selanjutnya disebut al-Qurtubi, al-
Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an (Beirut: Dar Ihya‟ al-Turats al-Arabi, tt.) jilid 14, h. 210.
27Asrorun Ni‟am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta:
eLSAS, 2008.
33
3) Akad Dengan Lafaz Selain Bahasa Arab
Lafaz selain bahasa Arab akan berlangsung karena ada dua kemungkinan:
Pertama, lafaz diucapkan oleh orang yang tidak mengetahui bahasa Arab.
Mengenai keabsahan akad ini tidak ada perbedaan di antara para ulama. Mereka
sepakat tentang keabsahan dengan syarat setiap yang terlibat dalam proses akad,
seperti calon suami, wali maupun para saksi, mengetahui dan memahami maksud
dari lafaz tersebut.
Kedua, kemungkinan lafaz itu timbul dari orang tidak cakap dalam
berbahasa Arab. Mengenai hal ini jumhur ulama memandang sah kecuali dalam
sebuah riwayat Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, memandang hal
tersebut tidak sah.
c. Dua Saksi
Para ulama sepakat bahwa keberadaan dua saksi adalah salah satu syarat
sah nikah berdasarkan nash hadis.28
Ini sebagaimana hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh „Aisyah
ra.:
د إلاو كاحلا ب ش
“Tidak sah pernikahan kecuali ada saksi.” (HR. ad-Daruqutni).29
28
Lihat al-Kasani, jilid 2, h. 376. Al-Khatib,Mugni al-Muhtaj ila Ma‟rifah Ma‟ani Alfadz
al-Minhaj, jilid 3, h. 144.
29 Lihat, Sunan al-Daruqutni, jilid 3, h. 225 hadis no. 11, 21 dan 22.
34
Selanjutnya hadis riwayat „Aisyah ra. :
إلاو كاحلا ذي بن شا ل ماعذ ه كان ش عهىو كاح م رن كغ م ف فإن باط
ا هطان حشاجش فانس ن لامه ن (.انخشمزيساي)ن
“Nikah tidak sah kecuali ada dua orang saksi dan apabila pernikahan diadakan
tanpa dua orang saksi maka pernikahan itu batil, dan apabila mereka berselisih
maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak punta wali.” (HR. at-
Tirmidzi)30
Berdasarkan hadis Nabi di atas, keberadaan saksi dalam pernikahan adalah
merupakan sesuatu yang pasti dan telah disepakati oleh para ulama.
d. Calon Suami dan Isteri
Salah satu unsur penting dalam keabsahan nikah adalah pasangan calon
suami isteri. Namun untuk mengetahui layak atau tidak mereka melangsungkan
pernikahan, dapat diketahui melalui criteria berikut ini:
1) Calon suami diharuskan memiliki kriteria berikut ini:
a) Keahlian bertindak. Artinya calon suami tersebut harus mampu melakukan
sendiri akad itu, baik terhadap dirinya maupun terhadap lain. Dan
disyaratkan sudah mumayyiz. Tetapi jika belum mumayyiz atau umurnya
belum cukup tujuh tahun atau dia tidak punya akal maka akad tidak dapat
dilakukan karena tidak terpenuhinya tujuan dan maksud dari akad ini
sebagaimana ditetapkan oleh syara‟.31
b) Dapat mendengar perkataan. Maksudnya setiap dari keduanya dapat
mendengar perkataan satu sama lain atau yang serupa dengan itu, seperti
30
Sunan at-Turmudzi, jilid 4, h. 58. Hadis no. 1103.
31 Zuhaili, jilid 9, h. 6534.
35
menulis perihal akad jika si wanita tidak di tempat. Ini supaya dapat
dipahami maksudnya, yaitu melangsungkan akad atas dasar persetujuan
masing-masing dari keduanya.32
2) Adapun calon isteri disyaratkan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Benar-benar seorang wanita artinya diketahui dengan jelas jenis
kelaminnya.karena pernikahan tidak sah terhadap orang yang tidak
diketahui apakah ia laki-laki atau perempuan.
b) Statusnya diketahui dengan pasti bahwa ia bukan wanita yang haram
dinikahi. Ini meliputi anak perempuan, saudari perempuan, bibi dari pihak
bapak maupun ibu, perempuan yang masih berstatus isteri orang lain,
perempuan yang sedang menjalani masa iddah, wanita muslimah tapi
dinikahi oleh non muslim - karena pernikahan dengan kondisi seperti ini
tidak sah.33
2. Menurut Hukum Positif
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya
Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip
dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan
dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
32
Ibid, h. 6535.
33 Ibid, h. 6535.
36
Dewasa ini berlaku berbagai Hukum Perkawinan bagi berbagai golongan
warga negara dan berbagai daerah seperti berikut:34
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum
Agama yang telah diresepeier dalam Hukum Adat (pasal 134 ayat (2) I.S).
b. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku Hukum Adat.
c. Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijke
Ordonantie Cristen Indonesia (S. 1933 No. 74).
d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia kturunan Cina
berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan.
e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia
Keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.
f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
g. Sejak 1 Oktober 1975 berlaku efektif untuk semua golongan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaannya.
Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, harus:35
34
M. Idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dari Segi Perkawinan Islam. Ed. Rev. Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990, h. 54.
35M. Idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dari Segi Perkawinan Islam. Ed. Rev. Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990, h. 57.
37
1) Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon istri,
berarti tidak ada paksaan di dalam perkawinan.
2) Pada dasarnya perkawinan itu adalah satu istri bagi suami dan sebaliknya
hanya satu suami bagi satu istri, kecuali mendapat dispensasi oleh
Pengadilan Agama dengan syarat-syaratnya yang berat untuk boleh beristri
lebih dari satu dan harus ada izin dari istri pertama, adanya kepastian dari
pihak suami bahwa mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil, terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka.
3) Pria harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam
belas) tahun.
4) Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali
dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 (dua puluh
satu) tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama
apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun.
5) Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 (dua) orang yang:
a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas.
b) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping yaitu antara
saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan seorang neneknya.
c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan
Ibu/Bapak tiri.
38
d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibi/paman susuan.
e) Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi atau
keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri, lebih dari
seorang.
f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
6) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali
dispensasi oleh Pengadilan.
7) Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
8) Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu.
9) Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang
diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan
Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah Talak dan
Rujuk.
D. Saksi Dalam Perkawinan Menurut Fikih
1. Definisi Kesaksian
Kesaksian berasal dari kata asy-syahadah, diambil dari kata al-
musyahadah berarti melihat langsung dengan mata, karena orang yang
menyaksikan memberitahu tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.
39
Maksudnya adalah pemberitahuan tentang apa yang diketahuinya dengan lafal;
aku menyaksikan, atau; aku telah menyaksikan. Ada yang mengatakan bahwa
kesaksian diambil dari makna kata al-„ilam dalam firman Allah swt., “Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan Melainkan Dia.” („Ali „Imran [3]: 18)
Maksudnya, mengetahui. Saksi adalah orang yang membawa kesaksian dan
melaksanakannya, karena dia menyaksikan apa yang tidak diketahui oleh orang
lain.36
Salam Madkur mengartikan kesaksian sebagai berikut:
حك لإثباث انشادة بهفظ انحكم مجهس فى إخباسصذق عهىانشادةعباسةعه
انغش
“Kesaksian adalah istilah pemberitahuan seseorang yang benar di depan
Pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain.”37
Ibnul Hammam mengemukakan sebagai berikut:
إخباسصذقلإثباثحكبهفظانشادةفىمجهسانمضاء
“Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan
kesaksian di depan sidang pengadilan.”38
2. Tidak Ada Kesaksian Kecuali dengan Pengetahuan
Tidak boleh seseorang bersaksi kecuali dengan pengetahuan. Pengetahuan
didapatkan melalui penglihatan, pendengaran, atau pengetahuan umum terkait apa
yang tidak dapat diketahui pada umumnya tanpa pengetahuan tersebut.
36
Al-Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 5. Tahkik dan Takhrij: Muhammad Nasiruddin Al-
Albani. (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 459.
37 Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakri, Kamus Arab-Indonesia-Inggris (Jakarta: Mutiara,
tt), h. 155.
38Abdurrahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum
Islam,(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1996), h. 40.
40
Pengetahuan umum yaitu kemasyhuran yang membuahkan dugaan kuat atau
pengetahuan. Kesaksian boleh dilakukan dengan pengetahuan umum menurut
Madzhab Syafi‟I dalam hal nasab, kelahiran, kematian, pemerdekaan budak,
kekerabatan, perwalian, wakaf, pengasingan, pernikahan dan hal-hal terkait,
penilaian terhadap integritas dan kapabilitas, wasiat, usia dewasa, kondisi mental
yang tidak normal, dan kepemilikan. Abu Hanifah berkata, “Dibolehkan dalam
lima hal; pernikahan, percampuran suami istri, nasab, kematian, dan jabatan
kehakiman.” Ahmad berkata, “Dan sebagian penganut Madzhab Syafi‟I
menyatakan sah dalam tujuh hal; pernikahan, nasab kematian, pemerdekaan
budak, kekerabatan, wakaf, dan kepemilikan mutlak.”39
3. Hukum Saksi Dalam Pernikahan
Jumhur ulama sepakat bahwa pernikahan tidak sah tanpa ada kejelasan di
dalam pernikahan itu sendiri. Pernikahan akan sah apabila dihadiri oleh para saksi
ketika akad nikah dilangsungkan, meskipun kabar tentang pernikahan itu telah
disampaikan melalui sarana yang lain.40
39
Al-Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 5. Tahkik dan Takhrij: Muhammad Nasiruddin Al-
Albani. (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 460.
40 Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa kesaksian bukanlah sesuatu
yang diwajibkan di dalam pernikahan. Pernikahan hanya cukup untuk disebarkan dan diumumkan.
Mereka mendasarkan pendapat mereka dari praktik jual beli. Di dalam praktik jual beli, kesaksian
tidak termasuk kewajiban yang harus dipenuhi di dalam pelaksanaan praktik itu. Adapun kesaksian
di dalam pernikahan yang notabene tidak pernah disinggung secara langsung, lebih leluasa untuk
tidak dijadikan sebagai salah satu hal pokok yang harus dipenuhi karena inti dari kesaksian adalah
pemberitahuan dan pemberitaan sehingga hal itu dapat menyelamatkan keturunan dari
ketidakjelasan nasab.
Dalam beberapa keadaan, kesaksian boleh dilakukan setelah akad, apabila para saksi
hadir setelah akad selesai kemudian memberikan kesaksian atas pernikahan (sebelum kedua
mempelai melakukan hubungan suami-isteri), maka pernikahan itu tetap sah. Tetapi, apabila
kesaksian diberikan setelah pasangan suami-isteri itu melakukan hubungan suami-isteri, maka
keduanya harus dipisahkan.
41
Apabila di dalam suatu pernikahan ada saksi yang menghadiri dan
menyaksikan pernikahan itu, tapi pihak yang menikah meminta mereka untuk
merahasiakan dan tidak menyebarkan pernikahan itu, maka pernikahan yang
dilakukan adalah tetap sah secara hukum. Hal itu berdasarkan dalil-dalil berikut
ini.
a. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
ش بىت انبغ بغ هأوفس ه .ا:انلاح ى ىك ح “Pelacur adalah perempuan-perempuan yang menikahkan diri mereka sendiri
tanpa ada saksi.”41
b. Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
ل عذ ذي شا ن .لاو كاحإلاب“Pernikahan itu tidak sah, kecuali dengan kehadiran seorang wali dan dua
orang saksi yang adil.”42
Kesaksian merupakan syarat sah pernikahan. Apabila hal itu tidak
terpenuhi, maka pernikahan menjadi tidak sah.
c. Abu Zubair al-Makki meriwayatkan bahwa Umar bin Khathab r.a. menerima
pengaduan tentang pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Dia berkata, “Ini adalah pernikahan siri dan aku tidak
41
Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam Sunan Tirmidzi, Kitab an-Nikah, Bab Ma Ja‟a
La Nikaha illa bi-Bayyinah, jilid III, hlm. 403, hadis nomor 1107. Abu Isa meriwayatkan bahwa
Yusuf bin Hamad berkata, “Abdul A‟la menjadikan hadis ini sebagai hadis marfu‟ di dalam kitab
tafsir dan menjadikannya sebagai hadis mauquf di dalam kitab talak.” Menurut Abu Isa, hadis ini
tidak terjaga sehingga tidak diketahui siapa yang menjadikannya marfu‟, kecuali hadis yang
diriwayatkan oleh Abdul A‟la dari Sa‟id dari Qatadah secara mauquf.
42 Diriwayatkan oleh Daruquthni di dalam Sunan Daruquthni, Kitab an-Nikah,jilid III, h.
225-226, hadits nomor 22.
42
memperbolehkannya. Andai aku hadir ketika itu, tentu aku akan merajam para
pelakunya.”43
Menurut Tirmidzi, hal ini diterapkan dengan baik oleh para ulama dari
kalangan para sahabat Nabi saw. dan dilanjutkan oleh para tabi‟in dan ulama yang
datang setelah mereka.
Mereka mengatakan, “Suatu pernikahan tidak sah, kecuali dihadiri oleh
para saksi.”44
Belum ada pihak yang membantah pendapat di atas, kecuali salah satu
golongan dari ulama muta‟akhirin.45
d. Kesaksian berhubungan dengan hak pihak lain yang tidak turut melaksanakan
akad, yaitu anak-anak. Karena itu keasksian disyaratkan di dalam sebuah
pernikahan agar kelak sang Ayah (suami) tidak mengingkari keberadaan
keturunannya sehingga anak-anak tidak kehilangan nasab mereka.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pernikahan tanpa kehadiran para saksi
dianggap sebagai pernikahan yang sah secara hukum. Di antara ulama yang
berpendapat seperti itu adalah ulama dari Mazhab Syi‟ah. Selain itu,
Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Ibnu Mundzir, dan Dawud juga
menganut pendapat yang sama. Pernikahan seperti ini telah dipraktikkan oleh
43
Diriwayatkan oleh Malik di dalam Muwatha‟ Malik, Kitab an-Nikah, Bab Jami Ma La
Yajuzu min an-Nikah, jilid II, h. 535, hadits nomor 26. Hadis ini dan dua hadis sebelumnya
termasuk hadits dhaif, tapi masing-masing hadis itu saling menguatkan antara satu dan yang lain.
44 Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam Sunan Tirmidzi, Kitab an-Nikah, Bab Ma Ja‟a La
Nikaha illa bi-Bayyinah, jilid III, h. 403, hadits nomor 1104.
45 Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2010, Cet. II), h. 273.
43
Ibnu Umar dan Ibnu Zubair. Begitu pula, diriwayatkan bahwa Hasan bin Ali
menikah tanpa kehadiran saksi. Kemudian, ia mengumumkan pernikahan itu.46
Ibnu Mundzir mengatakan, “Tidak ada hadits yang menetapkan syarat
kehadiran dua orang saksi di dalam pernikahan.”
Yazid bin Harun berkata, “Allah Swt. memerintahkan umat-Nya untuk
menghadirkan saksi di dalam praktik jual beli dan tidak memerintahkan untuk
menghadirkan saksi di dalam pernikahan. Para ulama rasionalis mensyaratkan
kesaksian di dalam pernikahan dan tidak mensyaratkannya di dalam jual beli.”
Ketika sebuah akad pernikahan terlaksana, tapi kemudian dirahasiakan,
dan para saksi diminta untuk menyembunyikannya, maka akad itu tetap sah,
meskipun dianggap makruh karena melanggar perintah diumumkannya suatu
pernikahan. Ini merupakan pendapat Syafi‟i, Abu Hanifah, dan Ibnu Mundzir.
Sementara itu, ulama yang menganggap bahwa pernikahan itu sebagai pernikahan
yang makruh adalah Umar, Urwah, Sya‟bi, dan Nafi‟. Menurut Imam Malik,
pernikahan itu harus difasakh (dibatalkan).47
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik tentang seorang laki-laki yang
menikahi perempuan dengan dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Kemudian
kedua mempelai meminta para saksi untuk merahasiakan pernikahan mereka.
Imam Malik berkata, “Keduanya harus dipisahkan dengan talak satu dan mereka
tidak boleh melakukan hubungan suami-isteri. Apabila keduanya telah melakukan
hubungan itu, maka sang istri berhak secara penuh atas mahar yang diterimanya
dan kedua orang saksi itu tidak dipersalahkan atau dihukum.”
46
Ibid., h. 273.
47 Ibid., h. 273.
44
Apabila kita melihat Undang-Undang Ahwal Syakhshiyyah Syria (Pasal
12) mengambil pendapat Mazhab Hanafi dalam masalah persaksian. Di dalamnya
tercantum bahwa, “ Dalam sahnya akad nikah disyaratkan kehadiran dua orang
saksi lelaki, atau seorang lelaki dan dua orang perempuan, yang beragama Islam,
berakal, baligh serta mampu mendengar ucapan ijab dan qabul sekaligus
memahaminya.”48
4. Syarat-syarat Saksi
Untuk diterima kesaksian menjadi saksi, seorang saksi harus memenuhi
beberapa syarat. Dibawah ini penulis kemukakan syarat-syarat saksi:49
a. Islam
Islam adalah syarat untuk dapat diterima kesaksian saksi. Dalam hal
ini, Imam Taqiyuddin mengutarakan: “Maka saksi tidak dapat diterima dan
orang kafir zalim atau kafir harabi, baik kesaksiannya terhadap muslim
maupun terhadap kafir, Imam Rofi‟I berhujjah dengan sabda Saw.:
عهى ل ذ ع نفإو م ه م س ان م إلا م ه أ ه د ش عهىغ ه د م أ انشادة لاح مبم
)سايانشصاق(. م ش عهىغ أو فس م
“Tidak dapat diterima kesaksian pemeluk suatu agama terhadap yang bukan
pemeluk agama mereka, kecuali orang-orang Islam karena mereka itu adalah
orang-orang yang adil baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.”
(HR. Abdur Rozzaq).50
48
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, (Jakarta: Darul Fikir, 2011), h.
79.
49 H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 111.
50 Imam Taqiyuddin, Op. Cit., h. 275.
45
b. Balig
Balig adalah syarat untuk dapat diterimanya saksi, dalam Sabda Nabi
Saw.:
ثت :لاثه عم انمهعف :س مهس هعىالل هصانىب ه اعى عالل ض ستشائ عه ع
م خ حخىس انىائ م ب عه حخىك ش انصغ عه مم ع خىحن ى ج انمه عشظ ك ف أ
)سايأحمذالأسبعتإلاانخشمزي(
“Dari Aisyah r.a., Nabi Saw., bersabda: “Bebas dari tindakan hukum terhadap tiga
orang, yaitu: orang tidur sampai ia bangun, anak-anak sampai ia dewasa, dan
orang gila sampai ia berakal atau sadar”. (HR. Ahmad dan Imam yang empat
kecuali Tirmidzi).51
Khusus dalam perbuatan yang melukai bagian badan ataupun pembunuhan
di antara sesame anak-anak, menurut Imam Malik yang dikutip oleh
Abdurrahman Umar (1986: 48-49) kesaksian anak-anak dapat diterima dengan
syarat anak-anak itu tidak berlainan pendapat dan memang tidak ada orang
dewasa yang turut bersama-sama mereka ketika peristiwa itu terjadi.52
c. Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi. Hadis yang diriwayatkan oleh
Aisyah di atas menunjukkan hal tersebut.
d. Adil
Persyaratan adil ini termaktub dalam firman Allah Swt. dalam surat Al-
Thalaq ayat 2 yang artinya:
51
Al-Shan‟ani, Op. Cit., h. 180-181, Abdurrahman Umar, Op. Cit., h. 48.
52 H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 112.
46
…
“ … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu …”
Pengertian adil, menurut Syafi‟i, adalah orang yang selalu berbuat shalih,
tidak pernah melakukan perbuatan dosa besar dan kecil yang berkaitan dengan
hak-hak orang (seperti mencuri sepotong roti) dan perbuatan sehari-harinya tidak
terlepas dari sifat muru‟ah (adat-adat kesopanan) semisal menghindari makan-
makan di tengah jalan, buang air di jalanan, dan sebagainya.53
Bagi Hanafi, orang yang menjadi saksi untuk kelangsungan akad nikah
tidak disyaratkan orang yang adil. Bahkan keberadaan saksi, menurut ulama dari
kalangan zhahir, tidak diperlukan atau bukan termasuk rukun nikah, yang
dibutuhkan hanya keberadaan wali dari pihak perempuan.54
e. Ingatannya Baik
Kesaksian orang yang kemampuan daya ingatnya sudah tidak normal,
pelupa, dan sering tersalah, jelaslah tidak dapat diterima kesaksiannya. Kesaksian
orang yang demikian ini diragukan kebenarannya, sebab akan banyak sekali yang
memengaruhi ketelitiannya, baik dalam mengingat maupun dalam menggunakan
kesaksiannya. Oleh karena itu, kesaksiannya tidak dapat diterima.
f. Bersih dari Tuduhan
53
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h. 55.
54 Ibid., h. 57.
47
Persyaratan bersih dari tuduhan ini berdasarkan kepada hadis Nabi
Muhammad Saw., yang artinya sebagai berikut:
“Dari „Abdullah bin Umar r.a. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak
diperbolehkan kesaksian yang khianat laki-laki dan perempuan, orang yang
mempunyai permusuhan terhadap sudaranya dan tidak diperbolehkan kesaksian
pembantu rumah tangga terhadap tuannya.” (HR. Abu Dawud).
Dalam hal kesaksian, seorang yang mempunyai rasa benci dan
permusuhan tidak diperbolehkan menjadi saksi atas perkara lawannya, sebab
perasaan benci itu dapat memengaruhi secara negatif terhadap dirinya dalam
memberikan kesaksian. Demikian pendapat jumhur ulama, kecuali Imam Abu
Hanifah.55
55
H.M.A Tihami dan Sohari. Sahrani Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 114.
48
BAB III
PERNIKAHAN SIRRI (DI BAWAH TANGAN) DAN ITSBAT NIKAH
DALAM PERKAWINAN
A. Nikah Sirri
Nikah sirri secara bahasa berarti menikah secara sembunyi-sembunyi atau
secara rahasia. Kata sirri dalam bahasa Arab berasal dari kata sirrun-asrar yang
berarti rahasia.1 Menurut arti terminologis nikah sirri setidaknya mempunyai dua
pengertian, yaitu:
1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, sebagaimana yang ditulis
oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri, yaitu:
a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa
pencatatan. Para ahli fikih bersepakat melarang nikah sirri semacam ini.
b. Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tapi mereka diharuskan
untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fikih berbeda pendapat
mengenai sahnya nikah sirri sepperti ini, sebagian ulama seperti Hanafiyah
dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan
terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah sebab
adanya saksi telah menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi (menjadi
nikah „alaniyah). Sebagian ulama yang lain seperti Imam Malik dan ulama
yang sependapat dengannya, berpendapat bahwa adanya pesan untuk
merahasiakan pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan tujuan
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung
49
disyariatkannya, yaitu publikasi (i‟lan) oleh karena itu maka pernikahan
tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum nikah sirri
semacam ini adalah makruh.2
2. Pengertian nikah sirri yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia
pada umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi
syarat dan rukun pernikahan yang terdapat dalam syariat Islam, tetapi
tanpa melalui Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga pernikahan tersebut
tidak dicatat dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.3
Perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan yang
dilaksankan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan.
Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan,
dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang jelas ketentuan Pasal 2 Ayat 2 yang
mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 1
yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum
agama dan kepercayaannya.4
2 Muhammad Sahnun bin Said al-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra (Beirut: Dar al-
Sadr, 1322 H), III:192-194. Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara Studi Terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia (Jakarta:
INIS, 2002), hlm. 143. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr,
1984), VII :71.
3Kamal Muchtar. “Nikah Sirri di Indonesia”, dalam al-Jami‟ah Jurnal Ilmu
Pengetahuan Agama Islam No.56, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1994, h. 14.
4 Abd. Shomad, Hukum Islam (Pennormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia).
Jakarta: Kencana, 2010. H. 309.
50
Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri adalah sah,
asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan
perundangan perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan.
Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak
berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan.5
Yang biasanya bisa menjadi korban akibat adanya perkawinan model ini,
yang biasanya muncul jika ada masalah, bentrokan dan suatu kepentingan, dalam
bentuk pengingkaran terjadinya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan dan
tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu juga tidak diakui.
Terkadang muncul permasalahan juga dalam hal pembagian waris.6
Pasal 42 dan 43 UUP mengatur bahwa anak sah ialah anak yang dilahirkan
dalam perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Karena
menurut hukum Islam, perkawinan sirri itu sah, maka anak yang dilahirkan dari
perkawinan itu adalah sah. Problema akan muncul berkaitan dengan masalah
administratif berkenaan dengan surat kelahirannya.7
a. Persepektif Fikih Konvensional
5 Abd. Shomad, Hukum Islam (Pennormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia).
Jakarta: Kencana, 2010. H. 309.
6 Ibid., h. 309.
7 Ibid., h. 310.
51
Dalam perjalanan hukum Islam, Nikah Sirri bukanlah masalah yang baru,
karena di dalam kitab al-Muwatha karya Imam Malik telah termaktub, bahwa
istilah nikah sirri berasal dari perkataan Umar Ibnu al-Khathab r.a.:
ه اب سبز. أن عمز بزجم ف وكاح نم شد عه إلا رجم اخبزوا مهك. ع
وكاح انسز لا وجشي ن كىت تقدمت ف نزجمت.امزأة: ذا
Artinya: “Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang
menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu
Umar berkata: Ini nikah sirri, Aku tidak membolehkannya, seandainya kamu
melakukannya pasti aku rajam.”
Pengertian nikah sirri dalam perspektif Umar tersebut adalah bahwa syarat
jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah
ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat
dipandang sebagai nikah sirri.8
Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian
bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat
pada saksi itu sendiri.
Imam Abu Hanifah dan Syafi‟i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia)
tidak boleh.9 Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang
saksi dan keduanya diamanati untuk merahasiakan pernikahan, apakah hal ini
dianggap nikah sirri atau tidak?.
8http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR
PERKAWINAN.pdf, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2013).
9 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris
Abdullah, (Semarang: CV. As-Syifa‟, 1990), Cet. Ke-1., h. 383.
52
Imam Abu Hanifah dan Syafi‟i berpendapat bahwa hal itu bukan nikah
sirri. Tetapi Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri.
Perebedaan pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan saksi dalam
perkawinan merupakan hukum syara‟, ataukah dengan saksi itu dimaksudkan
untuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran?
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara‟,
maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya
pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi
adalah untuk menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi sebagai
syarat kelengkapan.
B. Itsbat Nikah dan Landasan Hukumnya
1. Pengertian Itsbat Nikah
Itsbat Nikah merupakan gabungan dari dua kalimat, yakni itsbat dan
nikah, yang kata masdarnya terambil dari asal kata إثباتا –ثبت –أثبت yang
mempunyai makna penetapan atau pembuktian. Sedangkan kata nikah adalah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam dua kalimat di atas dapat digabungkan bahwa itsbat nikah adalah
penetapan oleh Pengadilan atas ikatan atau akad yang membolehkan terjadinya
hubungan suami isteri. Sebagaimana yang dirumuskan dalam Kamus Besar
53
Bahasa Indonesia, itsbat nikah ialah penetapan tentang kebenaran (keabsahan)
nikah.
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64
berbunyi: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan-peraturan lama adalah sah.10
Pada dasarnya Syari‟at Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan pada
setiap terjadinya akad pernikahan, namun dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan
nikah amat sangat diperlukan, karena pencatatan nikah dapat dijadikan sebagai
alat bukti yang otentik agar seseorang mendapat kepastian hukum. Hal ini sejalan
dengan ajaran Islam sebagaimana Firman Allah Swt., yang termaktub dalam
Surah al-Baqarah ayat 282, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar...”.11
Sebagai warga yang berkeyakinan kepada Agama Islam dan warga negara
yang baik, taat kepada aturan pemerintah merupakan suatu kewajiban, selama
aturan tersebut tidak melanggar Syari‟at, maka dengan adanya pasal 5 dan 6
10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
11 Surah al-Baqarah ayat 282, Juz I.
54
dalam KHI, setiap akad pernikahan haruslah dicatat menurut aturan dan prosedur
yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.12
2. Itsbat Nikah Menurut Fikih
Dalam hal ini Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang
mengatur pernikahan kepada dua kategori13
:
a. Peraturan Syar‟i, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidaknya
sebuah pernikahan, peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh
Syari‟at Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para pakarnya dalam
buku-buku fikih dari berbagai mazhab, yang pada intinya adalah
kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang
berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majlis yang sama,
dengan menggunakan lafal yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan
kabul yang diucapkan masing-masing dari dua orang yang mempunyai
kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara‟, serta dihadiri
oleh dua orang saksi yang telah balig, berakal lagi beragama Islam dimana
dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung
lafal ijab dan kabul tersebut. Dua orang saksi hendaklah mengerti betul
12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
13http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR
PERKAWINAN.pdf, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2013).
55
tentang isi ijab dan kabul itu, serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah
di bentangkan dalam kajian fikih.14
Oleh ulama besar ini, ketentuan-ketentuan tersebut dianggap sebagai
unsur-unsur pembentuk bagi akad nikah, apabila unsur-unsur pembentuknya
seperti diatur dalam syariat Islam itu telah secara sempurna dapat dipenuhi, maka
menurutnya akad nikah itu secara syara‟ telah dianggap sah, sehingga halal
bergaul sebagaimana layaknya suami-isteri itu sudah dianggap sebagai anak sah.15
b. Peraturan yang bersifat Tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang
bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi
tercatat dengan memakai surat akta nikah secara resmi yang dikeluarkan
oleh pihak yang berwenang secara administratif, ada peraturan yang
mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga
perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategi
dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif
dari pihak-pihak yang bertanggung jawab. Misalnya, sebagai antisipasi
dari adanya pengingkaran adanya akad nikah oleh seorang suami di
belakang hari, yang meskipun pada dasarnya dapat dilindungi lagi dengan
adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang itu. Namun
demikian, menurut fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali al-Haq, tanpa memenuhi
14
M. Zein Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet. Ke-2, h. 33.
15http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR
PERKAWINAN.pdf, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2013).
56
peraturan perundang-undangan itu. Secara syar‟i nikahnya sudah dianggap
sah, apabila melengkapi segala syarat dan rukunnya seperti diatur dalam
syariat Islam.16
Lebih jelas lagi, dalam buku al-fiqh al-islami wa adillatuhu oleh Wahbah
az-Zuhaili secara tegas ia membagi syarat nikah menjadi syarat syar‟i dan syarat
tawsiqy. Syarat syar‟i, maksudnya suatu syarat di mana keabsahan suatu ibadah
atau akad tergantung kepadanya. Sedangkan syarat tawsiqy adalah sesuatu yang
dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan
sebagai antisipasi adanya ketidakjelasan di kemudian hari.17
3. Landasan Hukum Itsbat Nikah
Adapun yang menjadi landasan atau dasar hukum dari itsbat nikah
terdapat dalam Bab XIII pasal 64 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan-peraturan lama adalah sah.18
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku 1 pasal 7, yang
terkandung dalam pasal 64 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang
16
M. Zein Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet. Ke-2, h. 34.
17 Ibid., h. 35.
18http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR
PERKAWINAN.pdf, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2013).
57
perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan
“Itsbat Nikah”.
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan dan menetapkan sebagai berikut:19
a. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
b. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
c. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
1) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian Perceraian
2) Hilangnya Akta Nikah
3) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan
4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974, dan
5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
d. Yang berhak mengajukan permohonan Itsbat Nikah ialah pihak suami
istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu.
19
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
58
Dalam pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam20
mengenai pencatatan
perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:
Pasal 5;
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22
tahun 1946 (Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk), jo. Undang-
Undang No. 32 tahun 1954 (Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk).
Pasal 6;21
1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Apabila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dipergunakan, dapat
segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, sebaliknya
akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang telah ditetapkan. Tetapi
untuk pernikahan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan
20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
21Ibid.,
59
alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah
dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika
sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari Pejabat yang berwenang.22
Dalam permohonan itsbat tersebut, sebaiknya status anak dimohonkan
pula sebagai anak dalam perkawinan sehingga kelak anak dikemudian hari dapat
dikatakan secara hukum sebagai anak kandung.
Setelah ada penetapan itsbat nikah dari Pengadilan Agama, dapat
mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada Kantor Pencatatan
Sipil di wilayahnya. Kelak berdasarkan penetapan itsbat tersebut, Kantor
Pencatatan Sipil akan menerbitkan Akta Kelahiran istimewa.
C. Fatwa MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan
Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih atau hukum
Islam. Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.23
22
http://Islamiccenterfordemocracyandhumanrightsempowermwntt.net/2010/15/pentingny
a itsbat-nikah.html. (diakses pada tanggal 27 Agustus 2013).
23 Asrorun Ni‟am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. (Jakarta:
eLSAS, 2008), h. 147. Wawancara dengan KH. Ma‟ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia
yang membidangi masalah fatwa keagamaan, sekaligus mantan Ketua Komisi Fatwa MUI,
dilakukan pada 2 Februari 2008 di Kantor Majelis Ulama Indonesia, Masjid Istiqlal Jakarta.
Penyebutan dengan istilah Nikah di Bawah Tangan untuk membedakan dengan nikah sirri yang
mempunyai konotasi lain. Kalau nikah sirri, dalam pengertian nikah yang dilakukan hanya berdua
saja, tidak memakai syarat dan rukun nikah lainnya, bisa dipastikan pernikahan semacam ini tidak
sah.
60
Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Ma‟ruf Amin
menegaskan bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan
rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian,
“Haramnya itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi
menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga ia berdosa karena
mengorbankan isteri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah
uniknya.
Dalam menyikapi masalah pernikahan di bawah tangan, Ijtima Ulama
Komisi Fatwa se-Indonesia sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak
negatif/mudlarah (saddan li adz-dzari‟ah).24
Disamping pertimbangan sadd adz-dzari‟ah, pelarangan nikah di bawah
tangan didasarkan pada keharusan adanya ketaatan terhadap pemimpin negara
(ulil amri), sebagaimana firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa „ [4]: 59)
24
Asrorun Ni‟am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. (Jakarta:
eLSAS, 2008), h. 148.
61
Di tilik dari aspek keteladanan Nabi Saw., nikah di bawah tangan jelas
bertentangan dengan petunjuk dan praktek pernikahan yang dilakukan Nabi dan
sahabatnya. Dalam beberapa hadis diterangkan tentang adanya tuntunan untuk
mempublikasikan pelaksanaan pernikahan, melalui resepsi walimah, sebagaimana
sabda Nabi Saw. ketika mengetahui bahwa salah satu sahabatnya, Abdurrahman
ibn „Auf menikah:
بشاة )راي انبخاري مسهم( ن نم سهم أ ل الله صهى الله عه قال رس
“Selenggarakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih satu ekor
kambing”. (HR. al-Bukhari Muslim)25
Pada riwayat lain, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk
mempublikasikan pernikahan dan membolehkan memainkan alat musik pukul
dalam rangka resepsi pernikahan tersebut. Sabdanya:
ب اضزبا عه اندف )راي انحاكم أحمد انتزمذي(أعهىا انىكاح
“Umumkanlah pernikahan, lakukanlah pernikahan dimasjid dan pukullah duff
(sejenis alat music pukul)”. (HR. al-Hakim, Ahmad dan at-Tirmidzi)26
Perintah melakukan publikasi pernikahan dimaksudkan agar orang lain
mengetahui sebuah pernikahan, untuk memperjelas status, serta agar tidak
memungkinkan terjadinya penyimpangan.
Secara yuridis, sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah “kawin
bawah tangan” dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah
25
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 – 1987), cetakan ketiga,
juz 5, h. 1979, hadis nomor 4858.
26 Ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1379), juz 9, h. 226. Pada
hadis ini, Ibn Hajar menjelaskan bahwa tambahan perintah memukul duff merupakan riwayat
Imam at-Turmudzi dan Ibn Majah dari „Aisyah, namun dianggap sebagai riwayat yang dla‟if,
sementara perintah publikasi pernikahan mempunyai derajat shahih.
62
peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang
tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-
undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur
dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
Dampak negatif lain akibat nikah bawah tangan dirasakan pada hak-hak
sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami-isteri (pelaku nikah di
bawah tangan). Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut
hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata
hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap
ayahnya.27
Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar
nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan
berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan
berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Dari sisi penggunaan dalil sad adz-dzari‟ah dalam penetapan fatwa nikah
di bawah tangan, Ijtima‟ Ulama menggunakannya secara eksplisit, menggunakan
pendekatan manhaji serta corak ijtihadi intiqa‟i.28
27
Sebagaimana ketentuan dalam pasal 42 dan pasal 43 UU Nomor 2 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, serta pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
28Asrorun Ni‟am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. (Jakarta:
eLSAS, 2008), h. 149.
63
BAB IV
ANALISIS PENETAPAN Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS
A. Deskripsi Penetapan Perkara
1. Alasan Pemohon I dan Pemohon II memohon isbath nikah yang telah
melangsungkan akad nikah di Desa Karanganyar, Kecamatan Kedung
Banteng, Kabupaten Slawi dengan wali ayah kandung Pemohon II yang
bernama (pulan) tidak dicatatkan karena tidak mempunyai biaya;
2. Bahwa pada saat perkawinan dilangsungkan Pemohon II berada di kamar
sehingga tidak dapat menerangkan prosesi perkawinan;
3. Pemohon I menerangkan ia menikahi Pemohon II menjalani prosesi
sebagaimana orang lain melaksanakan perkawinan, yaitu Pemohon I
berjabatan tangan dengan ayah kandung Pemohon II lalu dinikahkan;
4. Bahwa yang hadir pada saat pelaksanaan akad nikah Pemohon I dan
Pemohon II. Ialah Pemohon I, ayah kandung Pemohon II (pulan) dan
Ustadz serta dua saudara perempuan Pemohon II yang bernama (pulan) 1
dan (pulan) 2 dan tidak ada yang lainnya lagi;
Tentang Hukumnya: bahwa Para Pemohon mohon agar perkawinan yang
telah dilangsungkan pada tanggal 10 Juli 1997 agar diisbathkan, karena tidak
tercatat dengan alasan tidak memiliki biaya;
Bahwa untuk mengetahui sah atau tidaknya sebuah perkawinan, maka
harus dilihat dari tata cara pelaksanaan perkawinan sudah sesuai dengan agama
yang bersangkutan atau tidak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2)
64
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.;
Bahwa oleh karena Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam, maka
Majelis Hakim harus meneliti tentang pelaksanaan akad nikah tersebut sesuai
ketentuan agam yang dianut keduanya, sebagaimana ketentuan Pasal 14
Kompilasi Hukum Islam (KHI), “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a.
Calon Suami b. Calon Istrei c. Wali Nikah d. Dua Orang Saksi dan e. Ijab dan
Kabul”.
Bahwa dalam pernikahan Pemohon I dan Pemohon II rukun nikah huruf a,
b dan c sudah terpenuhi, huruf d tidak terpenuhi, karena saksi laki-laki hanya satu
orang dan lainnya perempuan, sedangkan huruf e (ijab Kabul) belum jelas;
Bahwa Majelis Hakim mengambil pendapat ulama fiqih dari kitab Fathul
Muin IV halaman 253, yang diambil sebagai pendapat Majelis Hakim:
وف الدعىي بنكاح عل إمرأة ذكر صحته وصحته وشروطه
Artinya: “Di dalam dakwa telah nikah kepada perempuan harus menerangkan
shahnya nikah dan syarat-syaratnya.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, terbukti bahwa
pernikahan Pemohon I dan Pemohon II belum memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud menurut hukum Islam, dan dengan demikian permohonan Para
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk verklaart);
65
Bahwa berdasarkan penetapan sela tanggal 22 Januari 2013, Para Pemohon
dibebaskan dari membayar biaya perkara;
Hakim Menetapkan:
1. Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (Niet
Onvakelijk Verklaart);
2. Membebaskan Para Pemohon dari membayar biaya perkara.
Demikian penetapan ini dijatuhkan pada hari Selasa tanggal 05 Maret
2013 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Akhir 1434 Hijriyyah, oleh
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
B. Kebijakan Hakim Dalam Menetapkan Perkara
Dalam pasal 2 ayat 1, bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini
berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau
ijab Kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) maka perkawinan tersebut adalah
sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Khusus bagi orang
Islam pelaksanaannya di KUA dan Khusus bagi non Islam di Catatan Sipil
Negara. Dan bagi orang Islam dicatatkan oleh KUA pencatatan perkawinannya,
sedangkan orang non Islam dicatatkan oleh Catatan Sipil Pusat, sebagaimana
66
pencatatan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat 2: “ Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”1
Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk
mengajukan permohonan itsbath nikah (Penetapan nikah). Pasal 7 ayat (2) dan (3)
mengungkapkan sebagai berikut:
Ayat (2), “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.”
Lalu kemudian dibatasi dengan ayat (3), “Itsbat nikah yang dapat diajukan
ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:2
1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
2. Hilangnya Akta Nikah;
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
4. Adanya perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974;
5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Selanjutnya beliau mengatakan dalam rukun dan syarat perkawinan harus
terpenuhi semua dan disebutkan dalam: Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
1 Wawancara dengan Hakim Ketua Majelis Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama
Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H., M.H. pada tanggal 18 September 2013.
2 Ibid., Wawancara.
67
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1. Calon Suami 2. Calon Isteri
3. Wali nikah 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul.
Kemudian dalam Perkara Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA. JS tentang
permohonan itsbat nikah, bahwa terbukti pernikahan Pemohon I dan Pemohon II
belum memenuhi syarat, karena huruf d tidak terpenuhi, karena saksi laki-laki
hanya satu orang dan lainnya perempuan, sedangkan huruf e (ijab Kabul) belum
jelas.
Beliau berpedoman kepada Kitab Fiqih Qolyubi:
ف النكاح والطلق لا تقبل شهادة النساء ف الحدود ولا 3
Artinya: “Tidak dapat diterima kesaksian perempuan di dalam masalah jinayah
dan juga di dalam perkawinan dan talak.”
Kesaksian perempuan itu tidak dapat diterima di dalam masalah jinayah
(pidana) dan begitu juga dalam masalah perkawinan dan talak tidak diperbolehkan
wanita menjadi saksi, saksi itu harus laki-laki, kecuali dalam hal transaksi jual beli
atau mua’amalah diperbolehkan wanita menjadi saksi. Dan perempuan tidak bisa
menjadi saksi dalam ijab Kabul suatu pernikahan, hanya laki-laki yang harus
menjadi saksi. Begitu juga lafaz ijab Kabul yang belum jelas dalam akad nikah
yang masih diragui oleh hakim.4
Sehingga permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijk Verklaart). Dengan alasan satu orang saksi laki-laki dan dua orang
perempuan itu tidak boleh menjadi saksi, dan harus laki-laki semua saksinya.
3 Wawancara dengan Hakim Ketua Majelis Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama
Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H., M.H. pada tanggal 18 September 2013.
4 Ibid., Wawancara.
68
C. Analisis Penulis
Permohonan Itsbat Nikah dengan nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS. apabila
kita kaji dengan seksama, terdapat suatu yang kurang pas dalam penetapan
perkara tersebut. Karena memang rukun dan syarat perkawinan telah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 14 yang berbunyi:
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1. Calon Suami 2. Calon Isteri
3. Wali nikah 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul.
Para Pemohon untuk mengajukan istbath nikah karena memang mereka
ingin nikahnya tercatatkan di KUA, pernikahan mereka belum tercatatkan karena
memang mereka tidak mempunyai akan biaya untuk itu. Pemohon I umur 56
tahun, beragama Islam, Pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di Jl. Harun
RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dan Pemohon II
umur 36 tahun, beragama Islam, pekerjaan ibu rumahtangga, tempat tinggal di Jl.
Harun RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Mereka telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak:
a. Anak I, lahir pada tanggal 30 September 1998;
b. Anak II, lahir pada tanggal 12 September 1999;
c. Anak III, lahir pada tanggal 22 September 2003
Apabila kita melihat seperti itu memang sungguh memprihatinkan, karena
mereka mempunyai 3 (tiga) orang anak yang belum mempunyai akta kelahiran
yang sah menurut hukum. Karena Pemohon I dan Pemohon II nikahnya belum
dicatatkan dan belum mempunyai akte nikah yang sah, sehingga akte lahir anak
pun belum dibuat. Oleh karena itu, Pemohon I dan Pemohon II mengajukan itsbat
69
nikahnya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan berharap untuk dapat disahkan,
sehingga nanti akan mempunyai akte nikah yang sah, dan apabila sudah disahkan
oleh Pengadilan maka anak merekapun akan mudah dalam mengurus akta
lahirnya.
Di dalam salinan penetapan perkara No. 0244/Pdt.P/2012/PA.JS. terdapat
Posita dan Petita (Petitum) yang telah diberikan keterangan oleh Para Pemohon
dengan yang sebenar-benarnya. Hakimpun seharusnya lebih analisis dan cermat,
dalam hal membandingkan hukum-hukum fikih yang ada dan lebih kaya akan
literatur-literatur kitab-kitab fikih klasik dan kontemporer terutama kitab fikih
ulama-ulama Mutaqaddimin dan kitab fikih ulama-ulama Muta’akhirin, sehingga
dikomulasikan kebijakan yang akan tercipta dari berbagai ilmu-ilmu fikih,
khususnya untuk Hakim Pengadilan Agama.
Hakim tidak dapat menerima itsbat nikah Para Pemohon, karena beralasan
pada pasal 14 mengenai rukun dan syarat perkawinan belum memenuhi syarat
sahnya. Sehingga beliau berbeda haluan yang diinginkan Para Pemohon, itulah
hasil ijtihad Majelis Hakim.
Adapun yang menjadi titik tolak yang menyebabkan tidak diterimanya
itsbat nikah Para Pemohon yakni karena kesaksian yang kurang memenuhi syarat
dan ijab dan kabul kurang jelas di mata hakim.
Majelis Hakim mengacu kepada kitab Qolyubi: “Tidak dapat diterima
kesaksian perempuan di dalam masalah jinayah dan juga di dalam perkawinan dan
talak.”
70
Penulis tidak setuju dengan Majelis Hakim menetapkan tidak dapat
diterima isbath nikah dengan alasan syarat dan rukun nikah belum terpenuhi, yaitu
satu saksi laki-laki dan selebihnya perempuan (dua perempuan), apabila kita
melihat Undang-Undang Ahwal Syakhshiyyah Syria (Pasal 12) mengambil
pendapat Mazhab Hanafi dalam masalah persaksian, “Dalam sahnya akad nikah
disyaratkan kehadiran dua orang saksi lelaki, atau seorang lelaki dan dua orang
perempuan. Majelis Hakim harus lebih bijaksana dalam menetapkan perkara dan
tidak bertitik tolak pada satu mazhab sekaligus melihat maslahahnya.
Dalam suatu pernikahan di bawah tangan tidak diisbathkan lagi oleh
Pengadilan akan menimbulkan dampak negatif, dan mendatangkan kemadharatan
di masa yang akan datang kelak. Karena apabila perkawinan sudah dicatatkan
kelak akan mempunyai kekuatan hukum, dan para pihak terlindungi, baik pihak
isteri maupun anak, sehingga akan memperoleh hak-haknya di kemudian hari.
Perkawinan yang sudah dicatat oleh pegawai pencatat nikah, maka perkawinannya
diakui oleh negara.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Itsbat nikah adalah penetapan oleh Pengadilan atas ikatan atau akad yang
membolehkan terjadinya hubungan suami isteri.
Perkawinan di bawah tangan seringkali menimbulkan mudharrat terhadap
istri dan/atau anak yang dilahirkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan
lain sebagainya. Secara sosial, pasangan suami isteri pelaku nikah bawah tangan
cenderung sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai isteri simpanan
atau isteri tidak sah.
Adapun alasan hakim tidak menerima Itsbat Nikah para pemohon yaitu
karena kesaksian yang kurang memenuhi syarat dan Ijab Kabul kurang jelas di
mata hakim. Majelis Hakim mengacu kepada Kitab Qolyubi, isinya adalah
sebagai berikut: “Tidak dapat diterima kesaksian perempuan di dalam masalah
jinayah dan juga di dalam perkawinan dan talak”.
Sehingga di kemudian hari apabila Majelis Hakim tidak menerima
permohonan itsbat nikah para pemohon, maka akan menimbulkan dampak negatif
(mudlarah) terhadap isteri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-
hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan
hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak
adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
72
Dalam suatu perkawinan dengan kehadiran saksi adalah sangatlah penting.
Penulis tidak setuju akan kebijakan Majelis Hakim yang tidak menerima
permohonan Itsbat Nikah dengan alasan 1 saksi Pria dan 2 Saksi perempuan tidak
sah nikahnya. Dijelaskan dalam kitab fikih Hanafiyah pernikahan yang dihadiri 1
saksi laki-laki dan 2 saksi perempuan itu sah. Oleh karena itu kesaksian harus
disyaratkan di dalam sebuah pernikahan agar kelak sang Ayah (suami) tidak
mengingkari keberadaan keturunannya sehingga anak-anak tidak kehilangan
nasab mereka.
B. Saran
1. Para Pemohon Itsbath Nikah sebenarnya masih bisa untuk mengajukan
permohonan itsbath nikah kembali, dalam wawancara penulis hakim
memberikan keterangan, bahwasanya itsbat nikah yang tidak dapat diterima
itu dapat diajukan kembali permohonannya, karena permohonannya tidak
dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard/N.O) yaitu permohonan
mengandung cacat “error in persona” dalam bentuk plurium litis consortium
dalam arti permohonan yang diajukan tidak lengkap dan kurang pihak yang
ditarik sebagai keterangan dalam persidangan, dan para pemohon dapat
mengajukan banding, akan tetapi para pemohon tidak mengajukan banding.
2. Masyarakat sekiranya jangan melakukan praktik nikah di bawah tangan,
karena dampak negatifnya sangat besar bagi yang melakukannya. Dan tidak
mempunyai kekuatan hukum, khsususnya bagi kaum hawa jangan mudah
terayu oleh pria yang mengajak nikah bawah tangan.
73
3. Untuk instansi yang berwenang dalam masalah hal perkawinan, sekiranya
sama-sama untuk memberi peringatan kepada masyarakat untuk tidak
melakukan nikah bawah tangan karena sebagai langkah preventif untuk
menolak dampak negatif/mudharrat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Amin Suma, Muhammad. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada 2004.
A.Rasyid, H. Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet-14, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakri, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, Jakarta:
Mutiara, tt.
Az-Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Jakarta: Darul
Fikir, 2011.
Asmawi, Mohammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta:
Darussalam, 2004.
Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Serta Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: 2004).
Djalil, H. A. Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana, 2010.
Hosen, KH. Ibrahim. Fiqh: Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia. Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Tahun 1997/1998.
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Lubis, Sulaikin, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Cet-3, Jakarta:
Kencana, 2008.
M. Zein, H. Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Dari Segi Perkawinan Islam. Ed. Rev. Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990.
75
Rusdiana, Kama dan Arifin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama, dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Shahih Muslim, Kitab an-Nikah, Bab 9. Dar – ihya‟ al-kutub al-arabiyyah, 1336
H/1918 M.
Sofyan,Yayan “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah
Diberlakukan UU. No. 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan”, Ahkam IV, no. 8 (2002).
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 5. Tahkik dan Takhrij: Muhammad Nasiruddin Al-
Albani. Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
Syakiri, Muhammad Fu’ad. Perkawinan Terlarang: al-misyar (kawin perjalanan),
al-„urfi (kawin bawah tangan), as-sirri (kawin rahasia), mut‟ah. Jakarta:
CV. Cendikia Sentra Muslim, 2002.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga.
Jakarta: eLSAS, 2008.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
Shomad, Abd, Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia). Jakarta: Kencana, 2010.
Tihami , H.M.A dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
Umar, Abdurrahman, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum
Islam,Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1996.
https://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-istri-
yang-menikah-di-bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-
tentang-perkawinan.
76
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR
PERKAWINAN.pdf, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2013).
::'. ?i
Ftrffi**ii..eH &&eeE* J,ffi*T* StrtAT&H,JL HffiscncR.M. N6, t ft&unan, PasmMi*ggru, Jakarbfulaten
rep (021| 78M0(If3, Fax. (t21) 78ffigf43 Jakarta 12550
uebsib : uiww.p+iakarhsdatar.go.id +mail : kefua@paiakarHseta&n.go.id.
$TIR&T I€F"TEEAfEGAfiINomor \Al9 .A4t 8o'l!? /HK.G5/tXl?t)1 3
Wekit F*nitera Feng#*tm Agerna Jakaxt* '$elatan, Ms&E surdUniversitrs lslam Negeri (UIN) $yarif Hidayat*rllah Jakarta, NornorUn0tJF4/i{tf, W-frZJ3HffiJZO1 3, tanssal 3t Juli 2013, rnererangiran hahwa :
NamaNomcr FokokTempaUTerrggal laftirSernesterJunsasrlKorrmntrasiAlamat
: RsE*tfiAilS?All {**rlr Jl|e: 109O{41ffiG48: Jaftar&, 20 M#et tgffi: Vlll {ddryan): Ahlrmlu Slr*kh"iyy"h / Perdilan Agama: *{p. Atastua Rt. OO1/04 l(elumhan $ernar}an,
t{eearnatan }{elkHe.g, Jalsare Sarat
Bemar teldl rnehEanal**n $*anr$arrc*ra di Pee$*djlail,Agerna J*e Sdatan;&lam rang& pen.utlsan.striFci'Wa$,&mi*nilul :
,,DAffiFAK FET'IOLAI(AST ISTEAT ISKAH TERHAT}AP STATT'S PESU{AEfI$'AT{
DAI'T AI{AK {Sru$ ANAUSIS FUTUSATiIPERf(*RA,{ofifr oR o2t4rPdrcrff tzlPAJs"
Demikian surat keterargan ini agar depd dipergunakan sebagaimanamestinya.
.rakadA SCI Sepfernbs 2*ll3
Pa*itera,
HEfiYA6
PERTANYAAN-PERTAI\-YAAII WAWA}iCARA UNTUK PERKARA NOMOR
a244tPdLPt2012tPA.JS
Pertanyaan dltujukan untuk Ibu Dra. Hj. Athiroh Muchtar, SH., M.H. yaitu:
Kenapa Ibu Hakim menolak Penetapan Istbat Nikah Pihak I dan tr dalam perkara
Nomor 02441P dt.P /2012/P A.JS dan apa kebijakannya?
Dalam Perkara Nomor A244lPdt.P/2012iPA.JS Syarat dan Rukun Nikah terutama
Huruf D (Para Saksi) itu menurut Ibu Tidak Terpenuhi, dan Huruf E (Ijab Qabulnya
belum jelas) Kenapa Ibu Hakim berpendapat seperti itu??
Selanjutnya alasan ibu apa bahwa pernikahan tersebut dalam Rukun dan Syaratnya
tidak sah? Sehingga apabila Rukun dan Syaratrya tidak sah berarti Nikahnya pun
tidak satr?
Sebelumnya saya minta maaf Ibu Flakim, saya sudah bertanya seperti demikia4 karena
saya wawancara dengan Ibu Hakim untuk menyelesaikan Skripsi yang saya sedang garap.
S.II, M.II)
t.
2.
3.
A. Hasil Wawancara
Dalam pasal 2 ayat l, batrwa sebuah perkawinan adalah satr apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayumnya itu. Ini
berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau
ijab Kabul telah dilaksanalorr (bagi umat Islam) mala perkawinan tersebut adatah
sah terutarna di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Khusus bagi orang
Islam pelalsanaannya di KUA dan Khusus bagi non Islam di Catatan Sipil
Negara Dan bagi oratrg Islam dicatatkan oleh KUA pencatatan perkawinannya,
sedangkan orang non Islam dicafatkan oleh Catatan Sipil Pusat, sebagaimana
pencatatan diatur dalam Undarrg-Undang Perkawinan pasat 2 ayat2: * Tiap.tiap
perkawinan dicatat menurut perattnan perundang-undangan yang berlaku." I
Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka unttrk
mengajukan permohonan itsbath niloh (Penetapan nikah). Pasal 7 ayat Q) dan (3)
mengungkapkan sebagai berikul
AyatQ),"'Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikalrnya ke Pengadilan Agama."
LaIu kemudian dibatasi dengan ayat (3), *trtsbat niloh yang dapat diajukan
ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hat yang berkenaan dengan:2
1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
I Wawancara dengan Hakim Ketua Majelis Pengadilan Agama Jalorta Selatan bernamaDra" qi. Athiroh Muchm, S.H., IvLtrL pada tanggal l8 Sept€mber 2013-
2 lbid.,Wawancara
2. Hilangnya AktaNikah;
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salatr satu syarat perkawinan;
4. Adanya perkawinan yang berlaktr sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor I Talun 1974;
5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut {Jndang-Undang Nomor I Tahun 1914.
Selaqiutrya beliau mengatakan dalam ruhm dan syarat perkawinan harus
terpenuhi semua dan disebutkan dalam: Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
Untuk melaksanakan perkawinaa harus ada : 1. Calon Suami 2. Calon Isteri
3. Wali nikah 4. Dua orang sa}si dan 5. Ijab dan Kabul.
Kemudian dalam Perkara Nomor oz44tPdLplzor2lpL. JS tentang
itsbat nikall bahwa t€rbukti pemikahan Pemohon I dan Pemohon II
belum mememrhi syaraL karena huruf d tidak terpenuhi, kmena sal$i laki-laki
hanya satu orang dan lainnya perempuan, sedangkan huntr e (ijab Kabul) belum
jelas.
Beliau berpedoman kepada Kitab Fiqih Qolyubi:
Artinya *ndak dapat diterima *",*,;#;.fi?lf Hif,l#fisf,*danjuga di dalam perkawinan dan talak.,,
Kesaksian perempuan itu tidak dapat diterima di dalam masalatr jinayah
(pidana) dao begitu juga dalaur masalah perkawinan dan talak tidak diperbolehkan
wanita menjadi saksi, saksi itu harus laki-laki, kecuali dalam hal transaksi jual beli
3 Wawancara dengan Hakim Ketrra Majelis Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernamaDra. Hj. Athimh Muchtar, S.H., M.H. pada tanggal lS S€ptemb€r 2013.
atau muaoam&lah diperbolehkan wanita menjadi saksi. Dan perempuan tidak bisa
menjadi salsi dalam [iab Kabul ildu p€rnikaha& hanya laki-lald yang hanrs
menjadi saksi. B€gltu juga ta&z ijab lGbul yang betum jelas dalam akad nikqh
yang masih diragui olehhakim.a
Sehiogga pumohoaan Para Pemohon tidak dapat diterima (Nia
Onva*elijk V€*tatrt). Dengan alasan satu orang salci laki-laki dan dua orang
p€,r€mpum itu tidak boleh menjadi saksi, dan harus laki-laH semua mtcsinya
* Ibid,wawancara"
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
SALINAN
PENETAPAN
Nomor xxx/Pdt.P/2012/PA JS.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan penetan dalam perkara isbath nikah
yang diajukan oleh:
1 Pemohon I, umur 55 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat
tinggal di Jl. Harun RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan,
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai Pemohon I;
2 Pemohon II, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumahtangga, tempat
tinggal d di Jl. Harun RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan,
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai Pemohon II;
Selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II disebut Para Pemohon;
Pengadilan Agama tersebut;
Setelah membaca dan mempelajari berkas perkara;
Setelah mendengar Pemohon I dan Pemohon II;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 17
Desember 2012, yang didaftar pada Buku Register Perkara Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dengan Nomor xxx/Pdt.P/2012/PA JS., telah mengajukan permohonan isbath
nikah dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa PEMOHON I dan PEMOHON II telah melangsungkan pernikahan pada
tanggal 10 Juli 1997 di Desa Karanganyar Rt 05/03, Kecamatan Kedung Banteng,
Kabupaten Slawi, Jawa Tengah dengan wali Nikah bernama Bapak .....wali Nikah
PEMOHON II dengan mahar uang sebesar Rp. 10.000 dan disaksikan oleh saudara dan
kerabat dekat PEMOHON antara lain Bapak ....1 dan ibu ....2;
Hal. 1 dari 6 hal. Pen. No. 0244/Pdt.P/2012/PA JS.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Bahwa, pernikahan PEMOHON I dengan PEMOHON II tidak tercatat pada
Kantor Urusan Agama setempat;
3. Bahwa sewaktu akan menikah PEMOHON I berstatus perjaka dalam usia 41
tahun sementara PEMOHON II berstatus Perawan dalam usia 21 tahun;
4. Bahwa, setelah akad nikah hingga permohonan ini diajukan PEMOHON I dan
PEMOHON II tidak pernah mendapat atau mengurus akta nikah tersebut;
5. Bahwa dari perkawinan PEMOHON I dan PEMOHON II telah dikaruniai 3
(tiga) orang anak yang masing-masing bernama:
• ANAK I, lahir pada tanggal 30 september 1998;
• ANAK II, lahir pada tanggal 12 September 1999;
• ANAK III, Lahir pada tanggal 22 September 2003;
6. Bahwa PEMOHON I dan PEMOHON II sangat membutuhkan bukti pernikahan
tersebut untuk kepastian hukum PEMOHON I dan PEMOHON II;
7. Bahwa antara PEMOHON I dan PEMOHON II tidak ada hubungan mahram
maupun susuan dan sejak melangsungkan perkawinan sampai sekarang tidak pernah
bercerai maupun pindah agama (PEMOHON I dan PEMOHON II beragama Islam);
8. Bahwa oleh karena dalam perkawinan antara PEMOHON I dan PEMOHON II
telah melahirkan tiga orang anak yang masing-masing bernama:
• ANAK I, lahir pada tanggal 30 september 1998;
• ANAK II, lahir pada tanggal 12 September 1999;
• ANAK III, Lahir pada tanggal 22 September 2003;
9. Bahwa PENGGUGAT tidak memiliki kemampuan dalam membayar semua
biaya perkara yang timbul dalam persidangan ini dan mohon agar semua biaya yang
timbul dalam persidangan ini dibebankan kepada Negara;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Maka PEMOHON I dan PEMOHON II mohon agar anak-anak tersebut ditetapkan
secara hukum sebagai orang tua kandung yang sah dari ketiga anak PEMOHON I dan
PEMOHON II tersebut;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON I dan PEMOHON II mohon agar
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkenan memeriksa dan mengadili perkara
ini, selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
PRIMAIR :
1. Mengabulkan permohonan PARA PEMOHON tersebut;
2. Menetapkan menyatakan sah, pernikahan PEMOHON I dan PEMOHON II yang
dilangsungkan pada tanggal 10 Juli 1997 di Desa Karanganyar Rt 05/03, Kecamatan
Kedung Banteng, Kabupaten Slawi, Jawa Tengah, Kotamadya Jakarta Selatan;
3. Menetapkan PEMOHON I dan PEMOHON II secara hukum sebagai orang tua
kandung dari anak-anak yang bernama :
• ANAK I, lahir pada tanggal 30 september 1998;
• ANAK II, lahir pada tanggal 12 September 1999;
• ANAK III, Lahir pada tanggal 22 September 2003;
4. Tidak membebankan biaya perkara sesuai hukum;
SUBSIDAIR:
Atau apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain mohon penetapan lain
yang seadil-adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan, Para Pemohon
telah hadir menghadap dipersidangan;
Menimbang, bahwa Para Pemohon di persidangan telah menambah keterangan
sebagai berikut:
1 Alasan Pemohon I dan Pemohon II memohon isbath nikah yang telah
melangsungkan akad nikah di Desa Karanganyar, Kecamatan Kedung Banteng,
Kabupaten Slawi dengan wali ayah kandung Pemohon II yang bernama .....tidak
dicatatkan karena tidak mempunyai biaya;
Hal. 3 dari 6 hal. Pen. No. 0244/Pdt.P/2012/PA JS.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2 Bahwa pada saat perkawinan dilangsungkan Pemohon II berada di kamar
sehingga tidak dapat menerangkan prosesi perkawinan;
3 Pemohon I menerangkan ia menikahi Pemohon II menjalani prosesi sebagaimana
orang lain melaksanakan perkawinan, yaitu Pemohon I berjabatan tangan dengan
ayah kandung Pemohon II lalu dinikahkan;
4 Bahwa yang hadir pada saat pelaksanaan akd nikah Pemohon I dan Pemohon II.
Ialah Pemohon I, ayah kandung Pemohon II (.....) dan Ustadz serta dua saudara
perempuan Pemohon II yang bernama-----1 dan -----2 dan tidak ada yang lainnya
lagi;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat penetapan ini, maka menunjuk berita
acara persidangan perkara ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa MAKSUD DAN TUJUAN PERMOHONAN Para Pemohon,
adlaah sebagaimana tersebut dalam surat permohonannya;
Menimbang, bahwa Para Pemohon mohon agar perkawinan yang telah
dilangsungkan pada tanggal 10 Juli 1997 agar diisbathkan, karena tidak tercatat dengan
alasan tidak memiliki biaya;
Menimbang, bahwa untuk mengetahui sah atau tidaknya sebuah perkawinan, maka
harus dilihat dari tata cara pelaksanaan perkawinan sudah sesuai dengan agama yang
bersangkutan atau tidak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebautkan “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”;
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam,
maka Majelis Hakim harus meneliti tentang pelaksanaan akad nikah tersebut sesuai
ketentuan agama yang dianut keduanya, sebagaimana ketentuan Pasal 14 Kompilasi
Hukum Islam (K.H.I.) “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b.
Calon isteri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi dan e. Ijab dan Kabul”;
Menimbang, bahwa dalam pernikahan Pemohon I dan Pemohon II rukun nikah
huruf a, b dan c sudah terpenuhi, huruf d tidak terpenuhi, karena saksi laki-laki hanya
satu orang dan lainya perempuan, sedangkan huruf e (ijab kabul) belum jelas;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim mengambil pendapat ulama fiqih dari kitab
Fathul Muin IV halaman 253, yang diambil sebagai pendapat Majelis Hakim:
وشروطه � وصحته � ذكرصحته � �إمرأة على � بنكاح �الدعوى� وفى
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Artinya: “Di dalam dakwa telah nikah kepada perempuan haurs menerangkan shahnya
nikah dan syarat-syaratnya.”
Menimbang, bahwa, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, terbukti
bahwa pernikahan Pemohon I dan Pemohon II belum memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud menurut hukum Islam, dan dengan demikian permohonan Para Pemohon
harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk verklaart);
Menimbang, bahwa berdasarkan penetapan sela tanggal 22 Januari 2013, Para
Pemohon dibebaskan dari membayar biaya perkara;
MENETAPKAN
1. Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (Niet Onvakelijk
Verklaart);
2. Membebaskan Para Pemohon dari membayar biaya perkara.
Demikian penetapan ini dijatuhkan pada hari Selasa tanggal 05 Maret 2013
Miladiyah bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Akhir 1434 Hijriyyah, oleh Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang terdiri dari Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H.,
M.H. sebagai Hakim Ketua Majelis serta Drs. H. Achmad Busyro, M.H. dan Dra. Hj.
Tuti Ulwiyah, S.H., M.H. sebagai hakim-hakim Anggota serta diucapkan oleh Ketua
Majelis pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh para
hakim Anggota serta Harisman, S.H.I. Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Para
Pemohon ;
Ketua Majelis
ttd
Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H., M.H.
Hakim Anggota,
ttd
Drs. H. Achmad Busyro, M.H.
Hakim Anggota,
ttd
Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, S.H., M.H.
Panitera Pengganti,ttd
Harisman, S.H.I.
Hal. 5 dari 6 hal. Pen. No. 0244/Pdt.P/2012/PA JS.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Perincian Biaya Perkara :
1. Biaya Pendaftaran : Rp. 0,-
2. Biaya Administrasi : Rp. 0,-
3. Biaya Panggilan : Rp. 0,-
4. Redaksi : Rp. 0,-
5. Materai : Rp. 0,-
Jumlah Rp. 0,- (nihil).
DISALIN SESUAI DENGAN ASLINYA,PANITERA,
PENGADILAN AGAMA KELAS 1A JAKARTA SELATAN
AHMAD MAJID,S.H.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6