BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang evaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa
Budaya Kertalangu belum pernah diadakan sebelumnya, namun penelitian
terhadap Desa Budaya Kertalangu sudah pernah dilakukan oleh Sukarji Putra, dkk
(2008) dan Wiwiek Agustina (2012). Kedua penelitian ini memfokuskan perhatian
pada hal yang berbeda. Sukarji Putra, dkk (2008) memfokuskan pada evaluasi
pengembangan ekowisata di Desa Budaya Kertalangu dan Wiwiek Agustina
(2012) memfokuskan pada motivasi dan persepsi wisatawan terhadap Desa
Budaya Kertalangu.
Penelitian terhadap Desa Budaya Kertalangu pertama kali dilakukan oleh
Sukarji Putra dkk (2008). Dalam penelitiannya, Sukarji Putra, dkk (2008)
menyatakan bahwa Desa Budaya Kertalangu cocok untuk dikembangkan
ekowisata. Hal ini karena desa budaya ini telah memenuhi lima prinsip
pengembangan ekowisata dari sembilan prinsip utama sesuai dengan lokakarya
ekowisata se-Bali yang meliputi memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung
jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya, peka dan menghormati nilai-
nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat, mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengembangannya didasarkan atas
14
persetujuan masyarakat setempat melalui musyawarah, sistem pengelolaan yang
serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.
Penelitian ini menggunakan metode observasi berperan serta, wawancara
mendalam (in-depth interview), dan teknik kuesioner. Teknik analisis data yang
digunakan yaitu deskripsi kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan secara tepat
dan sistematis data yang diperoleh. Dari hasil penelitian, ada empat kriteria
tambahan yang dapat dilakukan sebagai bentuk alternatif pola pengembangan
ekowisata yang ideal yaitu menyediakan pemahaman yang dapat memberikan
peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan
kecintaannya terhadap alam, memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi
serta sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat
setempat, secara konsisten memberikan kepuasan terhadap konsumen, dan
dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan
harapan (pemasaran yang bertanggung jawab).
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sukarji Putra dkk (2008)
terletak pada objek yang diteliti yaitu mengevaluasi Desa Budaya Kertalangu.
Perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya. Penelitian Sukarji Putra dkk
(2008) fokus penelitiannya terletak pada evaluasi pengembangan ekowisata pada
Desa Budaya Kertalangu, sedangkan penelitian ini fokus penelitiannya terletak
pada evaluasi pelaksanaan programnya.
Penelitian terhadap Desa Budaya Kertalangu juga dilakukan oleh Wiwiek
Agustina (2012). Penelitian Wiwiek mengungkapkan tentang potensi-potensi,
motivasi dan persepsi masyarakat terhadap Desa Budaya Kertalangu sebagai daya
15
tarik wisata. Potensi tersebut dibagi menjadi 2 kategori yaitu potensi budaya dan
alamiah. Motivasi dari wisatawan yang berkunjung ke desa ini dominan untuk
berolahraga dan persepsi wisatawan terhadap desa ini dilihat dari indikator
pemandangan alam, pertanian dan aktivitas masyarakat adalah baik.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiwiek
Agustina (2012) terletak pada lokusnya yaitu Desa Budaya Kertalangu.
Perbedaannya terletak pada fokus yang diteliti. Penelitian Wiwiek Agustina
(2012) fokus pada motivasi dan persepsi wisatawan terhadap Desa Budaya
Kertalangu sebagai usaha daya tarik wisata, sedangkan fokus penelitian ini adalah
mengevaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu
sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar.
Beberapa hasil penelitian lain yang juga dianggap relevan dengan
penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Narendra Putra (2005), Sarah
Choirinnisa (2010), dan Gautama (2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Narendra Putra (2005) bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan kawasan
pariwisata Lovina di Kabupaten Buleleng untuk menuju pariwisata bekelanjutan.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan data hasil penelitian
dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa fisik, ekonomi, sosial dan budaya mengalami kemunduran sehingga
berdampak pada menurunnya perekonomian masyarakat.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Narendra Putra (2005) yaitu
sama-sama melakukan evaluasi terhadap perkembangan suatu destinasi.
Perbedaan penelitian ini terletak pada objek yang diteliti. Penelitian Narendra
16
dilakukan di Kawasan Pantai Lovina di Buleleng, dan penelitian ini dilakukan di
Desa Budaya Kertalangu – Denpasar.
Evaluasi terhadap pengembangan destinasi juga dilakukan oleh Sarah
Choirinnisa (2010). Dalam penelitiannya, Sarah Choirinnisa, menerapkan evaluasi
ex-ante (pre-programme) terhadap aspek fisik dan kelembagaan program
pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi. Evaluasi tersebut dilakukan
sebelum implementasi sebuah program.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi pendahuluan terhadap
aspek fisik dan kelembagaan program pengembangan destinasi Percandian Muaro
Jambi. Ada dua kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan program
pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi yaitu pertama, kualitas
Percandian Muaro Jambi sebagai destinasi wisata dan kedua, aspek kelembagaan
dari organisasi-organisasi yang menangani program pengembangan destinasi
Percandian Muaro Jambi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk memberikan deskripsi dan
analisis terhadap kelayakan aspek fisik dan kelembagaan Program Pengembangan
Destinasi Pariwisata dengan menggunakan evaluasi pendahuluan. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis successive
approximation yang membandingkan antara data temuan dan teori untuk
menjelaskan kesenjangan yang terjadi pada suatu realitas sosial.
Penelitian yang dilakukan Choirinnisa (2010), menunjukkan bahwa
pengembangan percandian Muaro Jambi perlu disertai dengan peningkatan
kualitas amenitas dan kemudahan akses karena keduanya masih dianggap menjadi
17
masalah bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Percandian Muaro Jambi.
Secara kelembagaan, kecakapan organisasi-organisasi yang mengelola program
pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi sudah cukup layak, namun
terdapat permasalahan dari sisi kuantitas dan kualitas SDM dan belum
berkembangnya usaha penunjang pariwisata berskala kecil, menengah dan besar.
Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Choirinnisa (2010)
adalah melakukan evaluasi terhadap program pengembangan suatu destinasi.
Perbedaannya terletak pada fokus penelitian dan teknik analisis datanya.
Penelitian Choirinnisa lebih fokus pada aspek fisik dan kelembagaannya sebelum
program dilaksanakan yang dianalisis dengan teknik successive approximation
dan penelitian ini lebih fokus pada aspek pelaksanaan programnya yang dianalisis
dengan teknik deskriptif kualitatif dengan konversi data melalui skala guttman.
Gautama (2011), juga melakukan evaluasi perkembangan destinasi.
evaluasi dilakukan terhadap perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur. Hasil
evaluasi menunjukkan bahwa terjadi perubahan motivasi wisatawan untuk
melakukan kegiatan wisata bahari, terjadi pencemaran lingkungan, serta
terjadinya permasalahan sosial. Evaluasi dilakukan dengan cara meneliti faktor-
faktor yang menarik wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata bahari di Pantai
Sanur, meneliti karakteristik Pantai Sanur dalam menunjang kegiatan wisata
bahari dan menganalisis langkah-langkah yang dilakukan untuk menciptakan
wisata bahari berkelanjutan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan analisis
deskriptif kualitatif dengan peneliti sebagai alat penelitiannya. Artinya peneliti
18
adalah instrumen kunci dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan metode
observasi, menyebarkan lembar pertanyaan terstruktur serta wawancara mendalam
(in-depth interview).
2.2 Konsep
Ada tiga konsep yang akan dijelaskan pada subbab ini yaitu evaluasi, Desa
Budaya Kertalangu dan daya tarik wisata alternatif. Uraian dari masing-masing
konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
2.2.1 Evaluasi
Evaluasi terkadang sering diartikan secara sempit dan bahkan tidak tepat.
Masih banyak yang memandang evaluasi itu hanya didasarkan pada kegiatan-
kegiatan atau program yang dianggap menonjol. Salah satu kesalahan yang
terjadi, misalnya evaluasi hanya dipandang sebagai sekedar penilaian semata.
Untuk itu, perlu dilakukan pemahaman mengenai apa itu evaluasi. Berikut ini
diberikan definisi evaluasi untuk dapat dijadikan acuan atau perbandingan.
Evaluasi adalah proses mengumpulkan informasi mengenai suatu objek,
menilai suatu objek, dan membandingkannya dengan kriteria, standar dan
indikator (Lamsuri dkk, 2011). Untuk lebih jelasnya, konsep evaluasi menurut
Lamsuri dapat dilihat pada Gambar 2.1
19
Dibandingkan dengan
Gambar 2.1 Konsep Riset Evaluasi
(Sumber: Diadaptasi dari Wirawan dalam Lamsuri dkk, 2011)
Arifin (2012), menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang
sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) daripada
sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu untuk membuat suatu
keputusan. Stufflebeam, 1971 (dalam Mardikanto dan Soebiato, 2013)
mengemukakan bahwa tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui seberapa jauh
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai atau menyimpang dari pedoman
yang telah ditetapkan, atau untuk mengetahui tingkat kesenjangan antara keadaan
yang telah dicapai dengan keadaan yang dikehendaki atau seharusnya dapat
dicapai.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan, evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi
masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan
standar. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui dengan pasti
apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan
Objek riset evaluasi:
Kebijakan Program Proyek Kinerja SDM Sistem Organisasi Manajemen Lain-lain
Kriteria: Manfaat Efektifitas Efisiensi Kesesuaian Dll
Standar Kualitas Kuantitas
Indikator Dampak Hasil, dll
Hasil Riset Evaluasi: Informasi tentang objek riset evaluasi dalam kaitannya dengan kriteria, standar dan indikatornya
Daya Guna Riset Evaluasi: Pengambilan keputusan mengenai objek riset evaluasi
20
rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan
rencana pembangunan di masa yang akan datang.
Di dalam pelaksanaannya, kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada berbagai
tahapan yang berbeda yaitu Evaluasi pada tahap perencanaan (ex-ante), Evaluasi
pada tahap pelaksanaan (on-going) dan evaluasi pada tahan pasca-pelaksanaan
(ex-post). Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante), yaitu evaluasi dilakukan
sebelum ditetapkannya rencana pembangunan dengan tujuan untuk memilih dan
menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan
pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan
pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post) yaitu evaluasi
yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk
melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi
masalah pembangunan yang ingin dipecahkan.
Ada beberapa hal yang merupakan pokok-pokok pengertian evaluasi di
antaranya mencakup: pertama, evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk
mengamati dan menganalisis suatu keadaan, peristiwa, gejala alam, atau sesuatu
objek; kedua, membandingkan segala sesuatu yang diamati dengan pengalaman
atau pengetahuan yang telah diketahui dan atau miliki; dan ketiga, melakukan
penilaian atas segala sesuatu yang diamati, berdasarkan hasil perbandingan atau
pengukuran yang dilakukan.
21
Dari pengertian-pengertian tentang evaluasi yang telah dikemukakan,
dalam penelitian ini, evaluasi yang dimaksud yaitu sebuah proses atau kegiatan
yang dilakukan untuk mengamati dan menganalisis suatu keadaan untuk diketahui
sejauhmana pelaksanaan kegiatan tersebut berjalan, kendala-kendala yang
dihadapi serta dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan
tersebut.
2.2.2 Desa Budaya Kertalangu
Pengertian desa dalam “Desa Budaya Kertalangu”, tidak selalu terikat
sebagai wilayah administrasi pemerintahan ataupun yang ketat dengan batasan
wilayah-wilayah tertentu, melainkan cakupannya lebih luwes, bisa lebih sempit
dari pengertian desa secara administratif (mungkin hanya satu dusun atau
sejumlah dusun). Jika melihat pengertian desa menurut Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, pada Pasal 1 disebutkan bahwa Desa adalah “kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” Hal yang sama juga disampaikan oleh Widjaja (2003), yang
menyatakan bahwa desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa.
Pengertian desa dalam penelitian ini tidak dapat diartikan secara terpisah.
Desa memiliki pengertian yang berbeda dengan pengertian “desa” dalam desa
budaya. Desa budaya dalam penelitian ini merupakan sebuah wilayah yang berada
22
dalam satu dusun di sebuah desa, dimana di dalamnya terdapat sekelompok
manusia yang melakukan aktivitas budaya. Desa budaya yaitu wahana
sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan
sistem kepercayaan (religi), sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem
teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem lingkungan, tata ruang,
dan arsitektur dengan mengaktualisasikan kekayaan potensinya dan
mengkonversinya dengan seksama atas kekayaan budaya yang dimilikinya,
terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata
ruang dan arsitektural.1 Desa budaya juga dapat diartikan sebagai desa khas yang
ditata untuk kepentingan melestarikan budaya dalam bentuk adat atau rumah
adat.2
Berdasarkan pemahaman tersebut, Desa Budaya Kertalangu merupakan
sebuah wilayah yang berada dalam satu dusun di Desa Kesiman Kertalangu, yang
di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya.
Dalam penelitian ini, pengembangan Desa Kertalangu sebagai desa budaya sesuai
dengan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penetapan
Desa Kesiman Kertalangu Kecamatan Denpasar Timur Sebagai Desa Budaya,
terdiri dari penyiapan sarana jalan setapak sebagai jogging track, program
pertanian sebagai atraksi wisata, penyediaan tempat wisata budaya dari pentas
seni tradisional, sentra industri kerajinan rakyat, sarana kolam pancing dan
1 http://www.jogjabudaya.com yang diakses pada tanggal 12 Januari 2015. 2 http://kemahasiswaan.itb.ac.id/web/wp-content/uploads/2011/06/Sosial-Budaya-Masyarakat-
Jawa-kknitb-.pdf yang diakses pada tanggal 11 Januari 2015.
23
pembibitan ikan (Mina Padi), program wisaata kuliner dan masakan desa, dan
fasilitas lain sebagai pendukung Desa Budaya.
2.2.3 Daya Tarik Wisata Alternatif
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada
Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa Daya Tarik Wisata (DTW) adalah “segala
sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi
sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.”
Daya tarik merupakan fokus utama dari industri pariwisata (Ismayanti,
2010). Daya tarik wisata harus dikelola sedemikian rupa agar keberlangsungan
dan kesinambungannya terjamin. Daya tarik wisata dapat dikelompokkan ke
dalam dua bagian yaitu: pertama, daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna; dan kedua, daya tarik
wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, seni
budaya dan tempat hiburan.
Hal senada juga disampaikan oleh Sunaryo (2013), dimana daya tarik
wisata dibagi menjadi tiga jenis yaitu daya tarik wisata alam, daya tarik wisata
budaya dan daya tarik wisata minat khusus. Daya tarik wisata alam adalah
sumber daya alam yang berpotensi serta memiliki daya tarik bagi pengunjung
baik dalam keadaan alami maupun setelah ada usaha budi daya. Pada umumnya
daya tarik ini lebih banyak berbasis pada keindahan dan keunikan yang tersedia
di alam. Potensi daya tarik wisata alam dapat dibagi menjadi empat kawasan
24
yaitu flora dan fauna, keunikan dan kekhasan ekosistem, gejala alam dan
budidaya sumber daya alam.
Daya tarik wisata budaya adalah daya tarik wisata yang berbasis pada hasil
karya dan hasil cipta manusia seperti museum, peninggalan sejarah, upacara adat,
seni pertunjukan dan kerajinan. Daya tarik wisata khusus adalah daya tarik wisata
yang dikembangkan dengan lebih banyak berbasis pada akativitas pemenuhan
keinginan wisatawan secara spesifik. Wisata ini lebih diutamakan pada
wisatawan yang mempunyai minat atau motivasi khusus seperti berburu, mendaki
gunung, arung jeram, agrowisata, pengamatan satwa tertentu dan aktivitas-
aktivitas wisata minat khusus lainnya yang biasanya terkait dengan hobi atau
kegemaran wisatawan.
Daya tarik wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran
wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Oleh karena itu daya tarik wisata harus
dirancang dan dibangun/dikelola secara profesional sehingga dapat menarik
wisatawan untuk datang. Wisatawan hanya akan tertarik pada suatu
daerah/kawasan jika terdapat keunikan atau kekhasan yang tidak dimiliki oleh
daerah lain.
Suwantoro (2004), menyatakan bahwa daya tarik suatu objek wisata
didasarkan atas beberapa hal di antaranya adanya sumber daya yang dapat
menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih, adanya aksesibilitas yang
tinggi untuk dapat mengunjunginya, adanya ciri khusus atau spesifikasi yang
bersifat langka, adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para
25
wisatawan yang hadir serta objek wisata yang mempunyai daya tarik yang tinggi
baik alam maupun budaya.
Daya tarik wisata merupakan salah satu unsur yang berpengaruh dalam
pengembangan destinasi pariwisata. Jackson (dalam Pitana dan Gayatri, 2005),
menyatakan perkembangan suatu daerah menjadi destinasi wisata dipengaruhi
oleh beberapa hal penting, di antaranya: Attractive to client (menarik untuk
klien), Facilities and attractions (fasilitas dan atraksi), Geographic location
(lokasi geografis), Transport link (jalur transportasi), Political stability (stabilitas
politik), Healthy environment (lingkungan yang sehat), No government restriction
(tidak ada larangan/batasan pemerintah).
Dari ketujuh unsur tersebut, atraksi atau daya tarik merupakan faktor yang
utama yang didukung oleh faktor-faktor lain. Atraksi dalam hal ini daya tarik
merupakan komponen yang sangat vital. Seperti yang diungkapkan oleh Gunn
(dalam Pitana dan Gayatri, 2005:102);
the attractions represent the most important reasons for travel to destinations
Atraksi atau daya tarik memegang peranan yang sangat penting, oleh
karena itu suatu tempat wisata (destinasi) harus memiliki keunikan yang bisa
menarik wisatawan. Fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga harus dipenuhi
sehingga wisatawan menjadi betah dan rela menghabiskan waktu di tempat
tersebut.
26
2.3 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang
dianggap relevan dan mampu memecahkan permasalahan sebagaimana
dirumuskan pada Bab I yaitu Teori Evaluasi, Teori Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan dan Teori Pengembangan Wilayah Pariwisata.
2.3.1 Teori Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu komponen penting dari sistem manajemen.
Dengan adanya evaluasi, maka akan diketahui bagaimana kondisi suatu objek
yang dievaluasi baik dari program, pelaksanaan maupun hasilnya. Kegiatan
evaluasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan
perencanaan program. Tujuan evaluasi harus selaras dengan tujuan yang ingin
dicapai yang telah dinyatakan dalam perencanaan programnya. Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, tujuan evaluasi adalah untuk melihat seberapa jauh
tujuan porgram yang telah dapat dicapai, dan seberapa jauh telah terjadi
penyimpangan dalam pelaksanaan program dibanding dengan perencanaannya.
Untuk memberikan gambaran terhadap evaluasi suatu kegiatan, dapat
dilakukan dengan menerapkan beberapa model evaluasi. Tayibnapis, 2008 (dalam
Mardikanto dan Soebiato, 2013), mengemukakan bahwa model evaluasi ada
beberapa macam di antaranya model evaluasi CIPP (context, input, process,
product), evaluasi model UCLA, model Brinkerhoff, model stake atau model
countenance.
Model CIPP membagi evaluasi menjadi empat macam yaitu context
evaluation to server planning decision, input evaluation structuring decision,
27
process evaluation to serve implementing decision, dan product evaluation to
serve recycling decision. Evaluasi model UCLA, diperkenalkan oleh Alkin yang
membagi evaluasi menjadi lima macam yaitu System Assessment, Programme
Planning, Programme Implementation, Programme Improvement, dan
Programme Certification.
Model Brinkerhoff, diperkenalkan oleh Brinkerhoff dimana
mengemukakan tiga golongan evaluasi yaitu fixed and emergent evaluation,
formative vs sumative evaluation, dan esperimental dan Quasi experimental
design vs natural/unobstrusive inquiry. Model Stake atau model Contenance, yang
menekankan dua dasar evaluasi yaitu desciption dan judgement serta adanya tiga
tahap program yaitu antecedents (context), transaction (process) dan outcomes
(output).
Dalam penelitian ini, model evaluasi yang digunakan yaitu model evaluasi
CIPP. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam. Model ini
banyak digunakan oleh para evaluator karena model evaluasi ini lebih
komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Dalam
perkembangannya, model evaluasi ini telah disempurnakan dan digunakan oleh
berbagai disiplin ilmu. Stufflebeam (dalam Zhang, dkk, 2011:61) menyebutkan
bahwa:
CIPP evaluation models is a comprehensive framework for conducting formative and summative evaluations of projects, personnel, products, organizations, and evaluation systems
Model evaluasi CIPP merupakan kerangka kompreherensif untuk
melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap proyek, personil,
28
produk, organisasi maupun evaluasi sistem. Taylor (dalam Mardikanto, 2013)
menyebutkan bahwa evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan terhadap
program atau kegiatan yang telah dirumuskan, sebelum program atau kegiatan itu
sendiri dilaksanakan. Evaluasi sumatif merupakan kegiatan evaluasi yang
dilakukan setelah program selesai dilaksanakan.
CIPP merupakan singkatan dari context, input, process dan product.
Keempat model evaluasi tersebut merupakan satu rangkaian yang utuh tetapi
dalam pelaksanaannya seorang evaluator tidak harus menggunakan
keseluruhannya. Hal yang menjadi unik dari model tersebut adalah pada setiap
tahap evaluasi terdapat perangkat pengambilan keputusan dan operasi sebuah
program.
Wirawan (2012), menguraikan keempat aspek model CIPP sebagai
berikut :
1) Evaluasi konteks
Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu. Dengan kata
lain evaluasi konteks (context evaluation) memberikan informasi bagi
pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan
dilaksanakan.
2) Evaluasi masukan
Merupakan evaluasi yang bertujuan untuk menyediakan informasi bagaimana
menggunakan sumber daya yang tersedia, sarana dan fasilitas yang dimiliki
serta alternatif-alternatif strategi yang harus dipertimbangkan untuk mencapai
suatu program.
29
3) Evaluasi proses
Evaluasi ini digunakan untuk melihat apakah pelaksanaan program sudah
sesuai dengan strategi yang telah dilaksanakan
4) Evaluasi produk
Evaluasi ini merupakan evaluasi mengukur keberhasilan pencapaian tujuan.
Tahap evaluasi ini bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan dan
menilai pencapaian program.
Dalam penelitian ini, teori evaluasi model CIPP digunakan untuk
memberikan gambaran tentang pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya
Kertalangu. Pelaksanaan tersebut sudah sejalan atau menyimpang dari program
yang telah ditetapkan dan program-program yang telah ditetapkan sudah
terealisasi atau belum, dapat diketahui dengan analisis melalui teori ini.
2.3.2 Teori Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan adalah sebuah proses dan sistem pembangunan
pariwisata yang dapat menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya
alam, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi hingga generasi yang akan datang.
Pada prinsipnya, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang aktivitasnya
tetap memperhatikan keseimbangan alam, lingkungan, budaya dan ekonomi agar
pariwisata tersebut terus berlanjut. Dengan kata lain, pengelolaannya harus
memberikan keuntungan secara ekonomi bagi seluruh pihak terkait baik itu
pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat setempat.
30
Pariwisata berkelanjutan merupakan terjemahan lebih lanjut dari
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, menurut The World
Commissions for Environmental and Development (WCED) didefinisikan sebagai:
meeting the needs of the present, without compromising the ability of future generations to meet their own needs Pembangunan berkelanjutan menurut pemahaman WCED merupakan
pembangunan yang dapat “menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang
tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhan mereka sendiri” (Arida, 2009).
Ada beberapa kriteria atau syarat yang harus dipenuhi agar kegiatan wisata
dianggap berkelanjutan (Sunaryo, 2013) yaitu pertama, mampu berlanjut secara
lingkungan yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi
ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus
diupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif
kegiatan wisata (environmentally sustainable).
Kedua, secara sosial dan kultural dapat diterima yaitu mengacu kepada
kemampuan masyarakat lokal untuk menyerap aktivitas pariwisata tanpa
menimbulkan konflik sosial dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan
budaya wisatawan yang cukup berbeda (socially and culturally acceptable).
Ketiga, secara ekonomis menguntungkan dan layak, artinya keuntungan yang
diperoleh dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(economically viable). Keempat, memanfaatkan teknologi yang layak/pantas
untuk diterapkan di wilayah lingkungan tersebut (technologically appropriate).
31
Secara ringkas, pemahaman mengenai kegiatan pariwisata berkelanjutan
dapat digambarkan ke dalam model ilustrasi sebagai berikut:
SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
Gambar 2.2 Model ilustrasi parameter sustainable development
(Sumber: Sunaryo, 2013:45)
Dari ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata
berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumber daya
alam, sosial dan budaya dengan menggunakan teknologi yang pantas
dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata pada generasi ini agar dapat
dinikmati untuk generasi yang akan datang.
Seperti yang disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan,
Pembangunan pariwisata berkelanjutan, adalah pembangunan yang dapat
didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika
dan sosial terhadap masyarakat (Sunaryo, 2013). Pembangunan berkelanjutan
Economically viable
Technologically appropriate
Environmentally sustainable
Socially & culturally acceptable
32
adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup
dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan
pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.
Dalam penelitian ini, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan
digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan
sebagai akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu.
Konsep yang dikembangkan Desa Budaya Kertalangu merupakan konsep
ekowisata yang merupakan bentuk pariwisata alternatif yang menerapkan prinsip-
prinsip pariwisata berkelanjutan.
2.3.3 Teori Pengembangan Destinasi Pariwisata
Pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk
mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisaata
mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara
langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata.
Dalam pengembangan suatu daerah untuk menjadi suatu daerah tujuan
wisata, agar menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial, maka harus
memiliki tiga syarat (Mariotti, 1985 dan Yoeti, 1987 dalam Sunaryo, 2013), yaitu:
pertama, daerah tersebut harus mempunyai apa yang disebut dengan “Something
to see”. Maksudnya, destinasi tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang
bisa dilihat oleh wisatawan, di samping itu juga harus mempunyai atraksi wisata
yang dapat dijadikan sebagai “entertainments” bila orang datang untuk
mengunjunginya.
33
Kedua, daerah tersebut juga harus mempunyai “something to do”. Artinya,
harus disediakan juga beberapa fasilitas rekreasi atau amusements dan tempat atau
wahana yang bisa digunakan oleh wisatawan untuk beraktivitas seperti olahraga,
kesenian maupun kegiatan yang lain yang dapat membuat wisatawan menjadi
betah tinggal lebih lama. Ketiga, daerah tersebut juga harus mempunyai
“something to buy”. Di tempat tersebut harus tersedia barang-barang cinderamata
(souvenir) seperti halnya kerajinan rakyat setempat yang bisa dibeli wisatawan
sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal wisatawan.
Menurut Rev Ron O’Grady (dalam Suwantoro, 2004), pengembangan
pariwisata harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu :
1) Decision making about the form of tourism in any place must be made in consultation with the local people and be acceptable to them.
2) A reasonable share of the profits derived from tourism must return to the people.
3) Tourism must be based on sound enviromental and ecological principles, be sensitive to local cultural and religious traditions and should not place any members of the host community in a position of inferiority
4) The number of tourism visiting any area should not be such that they overshelm the local population and deny the posibility of genuine human encounter.
Menurut Rev Ron O’Grady, keberhasilan pengembangan destinasi
didasarkan pada beberapa aspek yaitu pengembangan suatu destinasi harus dapat
diterima oleh masyarakat lokal dan bahkan keterlibatannya sangat diharapkan.
Keterlibatan dimaksud lebih pada pemanfaatan tenaga lokal dalam setiap kegiatan
sehingga masyarakat lokal merasakan dampak ekonomi dari pengembangan
destinasi tersebut. Selain itu, pengembangan tersebut harus memperhatikan aspek-
aspek lingkungan yang ada. Jangan sampai pengembangan destinasi malah
34
memberikan efek negatif terhadap lingkungan alam yang ada termasuk
lingkungan sosial masyarakat sekitar.
Kondisi ini tentu dapat dijadikan indikator akan keberhasilan
pengembangan suatu destinasi. Sebagaimana disampaikan oleh Suwantoro (2004),
bahwa pengembangan destinasi dapat dikatakan berhasil jika memenuhi beberapa
kriteria kelayakan, yaitu kelayakan finansial, kelayakan sosial ekonomi regional,
layak teknis, dan layak lingkungan.
Kelayakan finansial berarti kelayakan ini menyangkut perhitungan secara
komersial dari pembangunan objek wisata tersebut. Perkiraan untung rugi sudah
harus diperkirakan dari awal dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengembalikan modal yang telah digunakan. Untuk Kelayakan sosial ekonomi
regional dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengembangan destinasi ini
mampu memberikan dampak sosial ekonomi secara regional. Artinya dapat
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan devisa, dapat
meningkatkan penerimaan sektor yang lain seperti pajak, perindustrian dan
perdagangan, pertanian dan lain-lainnya. Dalam hal ini, tidak hanya semata-mata
komersial tetapi juga memperhatikan dampak secara lebih luas.
Layak teknis artinya pengembangan destinasi ini harus dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada.
Begitu halnya dengan layak lingkungan, artinya analisis mengenai dampak
lingkungan dapat digunakan sebagai acuan kegiatan pengembangan suatu
destinasi.
35
Pengembangan destinasi yang menyebabkan rusaknya lingkungan harus
dihentikan pembangunannya. Pengembangan destinasi bukanlah merusak
lingkungan namun sekedar memanfaatkan sumber daya alam untuk kebaikan
manusia dan meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga menjadi
keseimbangan, keselarasan dan keserasian hubungan antara manusia dengan
manusia, manusia dengan lingkungan alam dan manusia dengan Tuhannya.
Teori ini digunakan untuk menganalisis layak atau tidaknya
pengembangan Desa Budaya Kertalangu disebut sebagai daya tarik wisata. Hal ini
mengacu pada penetapan Desa Kertalangu sebagai salah satu desa wisata di Kota
Denpasar.
2.4 Model Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
diperlukan sebuah model penelitian atau kerangka konsep berpikir. Penelitian ini
diawali dengan pemahaman bahwa pariwisata di Bali merupakan salah satu sektor
unggulan selain sektor pertanian dan sektor industri kecil dan menengah.
Pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata berbasis budaya. Namun,
pengembangan pariwisata di Bali pada umumnya cenderung dilakukan semata-
mata untuk kepentingan ekonomi dan mengabaikan kelestarian lingkungan dan
kepentingan masyarakat lokal.
Untuk merespon kondisi tersebut, setiap daerah berupaya untuk
mengembangkan pariwisata alternatif. Berbagai wisata alternatif muncul untuk
menjamin keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Salah satunya yaitu upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dengan berdirinya Desa Budaya
36
Kertalangu. Desa budaya ini muncul sebagai daya tarik wisata baru dan
diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata unggulan.
Pada kenyataannya, dalam perkembangannya kondisi fisik dan lingkungan
desa budaya ini dapat dikatakan kurang terawat dan belum mampu berkembang
dengan optimal. Terdapat fasilitas-fasilitas yang terbengkalai dan tidak
termanfaatkan kembali, bahkan ada program-program yang belum terlaksana
sebagaimana konsep awal pendirian desa budaya ini. Padahal pada tahun 2011,
Desa Budaya Kertalangu mampu memperoleh penghargaan Cipta Award dimana
penghargaan ini diberikan kepada daya tarik wisata yang dianggap memiliki
kepedulian terhadap lingkungan. Untuk itulah perlu dilakukan evaluasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, terdapat tiga permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini yaitu pertama, bagaimanakah pelaksanaan program
pengembangan Desa Budaya Kertalangu yang dilihat dari aspek konteks, input,
proses dan produk?; kedua, apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik
wisata alternatif; dan ketiga, bagaimanakah dampak-dampak yang ditimbulkan
sebagai akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu
sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar?.
Untuk membahas permasalahan tersebut, maka digunakanlah konsep untuk
memberikan batasan terhadap penelitian ini. Konsep yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu konsep evaluasi, Desa Budaya Kertalangu dan daya tarik
wisata alternatif. Teori yang digunakan untuk menjawab dan menganalisis
permasalahan dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang dianggap relevan di
37
antaranya teori evaluasi, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan dan teori
pengembangan destinasi pariwisata.
Mengacu pada teori tersebut, maka diharapkan pelaksanaan program
pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di
Kota Denpasar yang dianalisis dengan model CIPP dapat dievaluasi dengan jelas.
Selain itu, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program
pengembangan Desa Budaya Kertalangu maupun dampak-dampak yang
ditimbulkan akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu
sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar dapat dianalisis dengan baik.
Dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pengembangan desa
budaya ini, maka akan didapatkan suatu rekomendasi yang nantinya dapat
dimanfaatkan untuk mewujudkan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik
wisata alternatif di Kota Denpasar.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat digambarkan kerangka konsep
atau model penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan program pengembangan
Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar,
seperti yang nampak pada Gambar 2.3.
38
Gambar 2.3 Model Penelitian
Desa Budaya Kertalangu (DBK)
Evaluasi Pelaksanaan Program DBK
Kendala-kendala dalam pelaksanaan program
pengembangan
Pelaksanaan program pengembangan
Dampak pelaksanaan program pengembangan
Teori - Teori Evaluasi - Teori Pembangunan
Pariwisata Berkelanjutan - Teori Pengembangan
Destinasi Pariwisata
Hasil Penelitian
Rekomendasi
Konsep - Evaluasi - Desa Budaya
Kertalangu - Daya Tarik Wisata
Alternatif
Pariwisata Alternatif