DAYA DUKUNG PONDASI DALAM BERDASARKAN TES
LAPANGAN
Dalam setiap bangunan, diperlukan pondasi sebagai dasar bangunan yang
kuat dan kokoh. Hal ini disebabkan pondasi sebagai dasar bangunan harus mampu
memikul seluruh beban bangunan dan beban lainnya yang turut diperhitungkan,
serta meneruskannya kedalam tanah sampai kelapisan atau kedalaan tertentu.
Bangunan teknik sipil secara umum meliputi dua bagian utama yaitu struktur
bawah (sub structure) dan struktur atas (upper structure). Struktur atas didukung
oleh struktur bawah sebagai poondasi yang berinteraksi dengan tanah dan akan
memberikan keamanan bagi struktur atas. Struktur bawah sebagai pondasi juga
secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pondai dangkal dan pondasi
dalam. Pemilihan jenis pondasi ini tergantung kepada jenis struktur atas, apakah
termasuk konstruksi beban ringan atau beban berat dan juga jenis tanahnya. Untuk
konstruksi beban ringan dan kondisi lapisan permukaan yang cukup baik,
biasanya jenis pondasi dangkal sudah cukup memadai. Tetapi untuk konstruksi
beban berat (high-rise building) bisanya jenis pondasi dalam adalah menjadi
pilihan, dan secara umum permasalahan perencanaan pondasi dalam lebih rumit
dari pndasi dangkal.
Penyelidikan tanah diperlukan untuk menentukan stratifikasi (pelapisan)
tanah dan karakteristik teknis tanah, sehingga perancangan dan konstruksi pondasi
dapat dilaksanakan dengan ekonomis. Biasanya informasi dari hasil penyelidikan
tanah tidak hanya digunakan untuk perancangan pondasi saja, melainkan untuk
evaluasi dan rekomendasi pekerjaan yang lain, seperti kestabilan galian dan cara
dewatering. Dengan demikian pihak kontraktor juga dapat menyiapkan peralatan
yang sesuai dengan kondisi tanah dan dapat memperkirakan biaya secara lebih
terinci. Informasi mengenai pondasi dari bangunan sekitar lokasi proyek, jalan,
bangunan eksisting disekitarnya, fasilitas tertanam (underground facilities), dan
lain-lain perlu diperoleh sebelum proses perancangan.
Karakteristik tanah pada suatu lokasi umumnya amat variabel dan dapat
berbeda drastis dalam jarak beberapa meter. Oleh sebab itu penyelidikan tanah
1
harus dapat mencakup informasi kondisi tanah sedekat mungkin dengan
kenyataan untuk mengurangi resiko akibat variasi tersebut, dan jumlahnya cukup
untuk dapat merancang pondasi yang mendekati kenyataan. Perencanaan
pengujian tanah menjadi bagian dari explorasi tanah dan perancangan pondasi.
Umumnya penyelidikan tanah dapat dikategorikan atas "confirmatory" atau
"exploratory". Dimana kondisi tanah telah diketahui oleh pelaksana, maka
kategori confirmatory lebih menonjol dan sebaliknya pada daerah yang sama
sekali baru maka bersifat exploratory. Dalam hal yang kedua maka untuk
penghematan sering dilakukan penyelidikan pendahuluan dan kemudian baru
dilakukan penyelidikan terinci. Informasi lain yang penting dalam perancangan
pondasi adalah elevasi dari muka air tanah. Umumnya data ini diperoleh
bersamaan dengan pelaksanaan penyelidikan tanah.
Tahapan penyelidikan tanah dan studi pondasi dalam dapat mengikuti
prosedur sebagai berikut :
1. Evaluasi dan studi kondisi lapangan
Keadaan di lapangan. Pengamatan mengenal topografi, vegetasi, bangunan
yang telah ada, jalan akses, dan lain-lain. Peninjauan seperti ini perlu dilakukan
oleh seorang ahli geoteknik. Informasi lain yang dapat dikumpulkan adalah
kondisi geologi, kegempaan regional, peraturan setempat, dan besarnya beban dari
struktur. Informasi ini akan membantu ahli geoteknik dalam memutuskan tahap
penyelidikan selanjutnya.
2. Penyelidikan Tanah Awal
Pada tahap ini dilakukan pemboran dan uji lapangan dalam jumlah yang
terbatas. Gunanya adalah untuk merencanakan penyelidikan tanah selanjutnya.
Tetapi pada proyek dengan skala kecil, tahap ini ditiadakan. Penyelidikan tanah
awal juga sering digunakan untuk studi kelayakan.
3. Penyelidikan Tanah Terperinci
Pada tahap ini, informasi mengenai keadaan tanah yang dibutuhkan untuk
perancangan dan konstruksi pondasi dalam dikumpulkan. Informasi ini harus
mencukupi perencana dan kontraktor untuk menentukan jenis, kedalaman, daya
dukung pondasi dan untuk mengantisipasi penurunan yang akan terjadi dan
masalah yang mungkin timbul selama konstruksi dan lain-lain. Untuk itu pada
2
tahap ini diperlukan sejumlah pemboran yang dilengkapi dengan SPT,
pengambilan sampel, sondir, pengamatan muka air tanah dan penyelidikan
lapangan yang lain. Faktor yang menentukan disini adalah skala proyek,
kepentingan penyelidikan tanah untuk perancangan dan konstruksi bangunan,
ketersediaan dana, ketersediaan waktu dan ketersediaan informasi dari sumber
sumber yang lain. Pada beberapa proyek besar, beberapa kontraktor melakukan
penyelidikan tanah tambahan untuk memastikan bahwa konstruksi dapat
dilaksanakan sesuai spesifikasi yang tertulis dalam dokumen perencanaan.
Analisis pondasi sebaiknya diikuti dengan pengujian pondasi di lapangan.
Jumlah dan kedalaman pemboran amat bergantung kepada kondisi
dilapangan. Pada kategori ‘confirmatory’, maka kedalaman pengujian pada
umumnya, dapat ditetapkan secara lebih pasti, tetapi pada kategori ‘exploratory’
maka kedalaman pemboran ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam
penyelidikan tanah. Perencanaan penyelidikan tanah meliputi penentuan jumlah
banyaknya titik bor, kedalaman pemboran, jumlah sampel yang hendak diambil
dan diuji dilaboratorium, jumlah test pit, pengamatan muka air tanah dan lain –
lain. Biasanya, jika kondisi tanah setempat diketahui dari laporan geologi atau
pengujian terdahulu, jumlah pekerjaan penyelidikan tanah dapat mengalami
perubahan selama pelaksanaan dilapangan.
Uji lapangan menjadi populer karena dapat memberikan informasi profil
tanah secara kontinu dan dewasa ini telah dikembangkan untuk perancangan
pondasi tiang secara langsung dengan korelasi empirik.
1. Uji Sondir (Cone Penetration Test)
Uji sondir saat ini merupakan salah satu uji lapangan yang telah diterima
oleh para praktisi dan pakar geoteknik. Uji sondir ini telah menunjukkan manfaat
untuk pendugaan profil atau pelapisan (stratifikasi) tanah, karena jenis perilaku
tanah telah dapat diidentifikasi dari kombinasi hasil pembacaan tahanan ujung dan
gesekan selimutnya. Sondir standar memiliki luas penampang ujung konus
sebesar 10 cm2 dan sudut puncak 60°. Luas selimut 150 cm2. Kecepatan penetrasi
2 cm/det. Standar alat yang pada saat ini secara luas diterima tercantum dalam
ASTM D3411–75T. Pada sondir mekanis, penetrasi ujung konus dilakukan
mendahului selimutnya, gaya pada konus diukur, kemudian baru penetrasi ujung
3
dan selimut dilakukan bersama–sama sehingga tercatat perlawanan total. Selisih
antara pengukuran perlawanan kedua dan pertama adalah gaya yang bekerja pada
selimut sondir, sehingga gesekan selimut, fs, dapat ditentukan.
Penggunaan Uji sondir yang makin luas terutama disebabkan oleh beberapa
faktor: Cukup ekonomis dan dapat dilakukan berulang kali dengan hasil yang
konsisten.
1. Korelasi empirik yang telah berkembang semakin andal.
Perkembangan yang semakin meningkat khususnya dengan ada
penambahan sensor pada sondir listrik seperti batu pori dan stress cell untuk
mengukur respon tekanan lateral tanah.
2. Kebutuhan untuk pengujian di lapangan (insitu test) dimana sampel tanah
tidak dapat diambil (tanah lembek dan pasir).
3. Dapat digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dengan baik.
4
Gambar 1. Skema Uji SondirSumber : Joseph E. Bowles
Pengujian awal dengan sondir dapat merupakan arahan untuk pemilihan
jenis uji tanah berikutnya dan dapat membantu menentukan posisi (kedalaman)
untuk uji lapangan yang lain (misalnya pressuremeter dan uji geser baling (vane
shear test) maupun lokasi pengambilan contoh tanah untuk uji laboratorium.
Untuk uji lapangan, sebaiknya uji sondir dilaksanakan lebih dahulu. Penggunaan
hasil uji sondir untuk klasifikasi tanah juga berdasarkan data secara empiris,
demikian pula untuk kepentingan interpretasi parameter tanah yang lain seperti
kuat geser dan kompresibilitas tanah. Oleh sebab itu pembaca diminta
memperhatikan keterbatasan pemakaian korelasi yang ada. Dalam praktek
dianjurkan agar uji sondir didampingi dengan uji lain baik uji lapangan maupun
uji laboratorium.
5
Gambar 2. Data – Data Uji SondirSumber : Mochamad Sholeh
Uji ini memberikan perlawanan ujung qc dan gesekan selimut fs. Nilai
perlawanan ujung dengan gesekan selimut ini dapat memberikan indikasi jenis
tanah dana beberapa parameter tanah seperti konsistensi tanah lempung, kuat
geser, kepadatan relatif dan sifat kemampatan tanah meskipun hanya didasarkan
pada korelasi empiris. Parameter-parameter tersebut amat bermanfaat untuk
perancangan pondasi dalam.
Sejak penggunaan data sondir untuk menentukan daya dukung tiang
dikembangkan mula-mula di Belanda dan Belgia, di Indonesia juga telah menjadi
semacam kesepakatan untuk melakukan aplikasi uji sondir ini khususnya untuk
keperluan design pondasi tiang. Horvitz et al. (1981) telah melakukan studi dalam
skala penuh pada beberapa pondasi tiang kayu dan tiang bor yang diuji hingga
mencapai keruntuhan (failure) dan menyatakan bahwa terdapat korelasi yang amat
baik antara hasil perhitungan analitis dengan beban keruntuhan (ultimate) dan
pondasi tiang. Perhitungan analitis yang dimaksud adalah metoda yang diusulkan
oleh Svhmertmann dan Notingham (1975).
Perhitungan daya dukung aksial pondasi tiang berdasarkan data uji sondir sering
disebut ekstrapolasi dengan atau tanpa koreksi. Hal ini adalah karena komponen-
komponen yang terukur dari sondir (tahanan ujung dan gesekan selimut)
merupakan representasi dari komponen daya dukung tiang. Perbedaan utama
antara alat sondir dan pondasi tiang terletak pada ukurannya, bentuk ujung, sifat
permukaan dan mekanisme keruntuhannya. Dalam tulisan ini dikemukakan
beberapa metoda yaitu metoda langsung (direct cone method), mehode
Schmertmann dan Nottingham (1975), metoda Lambda Cone (metode Tumai &
Fakhroo, 1981), metode Cone M dan metoda Tomlinson.
Metoda Langsung
Metoda ini diantaranya dikemukakan oleh Meyerhof (1956) yang menyatakan
bahwatahanan ujung tiang mendekati tahanan ujung konus sondir dengan rentang
2/3 qc hingga 1,5 qc dan Meyerhof menganjurkan untuk keperluan praktis agar
digunakan, sebagai berikut :
q p=qc
6
Selanjutnya tahanan selimut pada tiang dapat diambil langsung dari gesekan total
(jumlah hambatan lekat =JHL) dikalikan dengan keliling tiang, sehingga formula
untuk metoda langsung dapat dituliskan :
Qult=qp A p+JHL∗kll
Rumusan ini diambil di Indonesia dengan mengambil angka keamanan 3 (tiga)
untuk tahanan ujung dan angka keamanan 5 (lima) untuk gesekannya. Sehingga
daya dukung ijin pondasi dapat dinyatakan dalam :
Q ult =qp A p
3+JHL∗kll
5
Dalam tulisan ini hanya dibahas daya dukung ultimate tiang sehingga angka
keamanan tidak disertakan. Schmertmann dan Nottingham (1975) menganjurkan
perhitungan daya dukung ujung pondasi ting menurut cara Begemann, yaitu
diambil dari nilai rata-rata perlawanan ujung sondir 8 D diatas ujung tiang dan
0,7D sampai dengan 4,9D dibawah ujung tiang. Rumusan tersebut dihitung
sebagai berikut :
q p=qc1+qc2
2∗A p
Dimana qp adalah daya dukung ujung tiang, qc1 adalah nilai qc rata-rata 0,7D-4D
dibawah ujung tiang, qc2 adala nilai qc rata-rata 8 D diatas ujung tiang dan Ap
adalah proyeksi penampang tiang. Bila zona tanah lembek dibawah tiang masih
terjadi pada kedalaman 4D – 10D, maka perlu dilakukan reduksi terhadap nilai
rata-rata tersebut. Pada umumnya nilai perlawanan ujung diambil tidak lebih dari
150 Kg/Cm2 untuk tanah pasir dan tidak melebih 100 Kg/Cm2 untuk tanah
kelanauan. Untuk mendapatkan daya dukung selimut tiang maka digunakan
formula :
Dimana Ksc adalah faktor koreksi fs dengan harga Kc untuk tanah lempung dan
Ks untuk tanah pasir, z adalah kedalaman dimana fs diambil, D adalah diameter
tiang,As adalah luas bidang kontak tiap interval kedalaman fs, L adalah total tiang
terbenam. Untuk tanah kohesif, gesekan selimut dihitung dengan menggunakan
formula : D adalah diameter tiang.
7
Sedangkan daya dukung berdasarkan Schmertmann (1987) pada tanah non
kohesif adalah sebagai berikut :
Menerus : qu = 28 – 0,0052 (300-qc)1,5
Bujur Sangkar : qu = 48 – 0,0090 (300-qc)1,5
Lalu daya dukung batas pada tanah kohesif adalah sebagai berikut :
Menerus : qu = 2 + 0,28 qc
Bujur Sangkar : qu = 5 + 0,34 qc
Qu dan qc dalam tsf atau kg/cm2
2. Standard Penetration Test (SPT)
Standard Penetration Test (SPT) telah memperoleh popularitas dimana–
mana sejak tahun 1927 dan telah diterima sebagai uji tanah yang rutin di
lapangan. SPT dapat dilakukan dengan cara yang relatif mudah sehingga tidak
membutuhkan ketrampilan khusus dari pemakainya. Metoda pengujian tanah
dengan SPT termasuk cara yang cukup ekonomis untuk memperoleh informasi
mengenai kondisi di bawah permukaan tanah dan diperkirakan 85% dari desain
pondasi untuk gedung bertingkat menggunakan cara ini. Karena banyaknya data
SPT korelasi empiris telah banyak memperoleh kemajuan. Alat uji ini terdiri dari
beberapa komponen yang sederhana, mudah ditransportasikan, dipasang, dan
mudah pemeliharaannya. Pandangan para ahli masih sama yaitu bahwa alat ini
akan terus dipakai untuk penyelidikan tanah rutin karena relatif masih ekonomis
dan dapat diandalkan.
Uji penetrasi standar (SPT) adalah penyelidikan tanah dengan uji dinamis
yang berasal dari Amerika Serikat. SPT adalah metoda pengujian di lapangan
dengan memasukkan (memancangkan) sebuah Split Spoon Sampler (tabung
pengambilan contoh tanah yang dapat dbuka dalam arah memanjang) dengan
diameter 50 mm dan panjang 500 mm. Split spoon sampler dimasukkan
(dipancangkan) ke dalam tanah pada bagian dasar dari sebuah lobang bor. Metoda
SPT adalah metoda pemancangan batang (yang memiliki ujung pemancangan) ke
dalam tanah dengan menggunakan pukulan palu dan mengukur jumlah pukulan
perkedalaman penetrasi. Alat ini sudah populer penggunaanya di dunia karena
sederhana, praktis, cepat dan dapat mengetahui jenis tanah secara langsung. Alat
8
ini perlu distandarisasi karena hasil yang didapat berupa nilai N (jumlah
pukulan/30 Cm) sangat bergantung pada tipe alat yang digunakan.
Alat uji berupa sebuah tabung yang dapat dibelah (split tube, split spoon) yang
mempunyai driving shoe agar tidak mudah rusak pada saat penetrasi. Pada bagian
atas dilengkapi dengan coupling supaya dapat disambung dengan batang bor (drill
rod) ke permukaan tanah. Sebuah sisipan pengambil contoh (sampel insert) dapat
dipasang pada bagian bawah bila tanah yang harus diambil contohnya berupa
pasir lepas atau lumpur. Gambar 1.1. menunjukkan split spoon sampel dan sampel
insert.
Prosedur Uji mengikuti urutan sebagai berikut :
1. Mempersiapkan lubang bor hingga kedalaman uji.
2. Memasukkan alat split barrel sampel secara tegak.
3. Menumbuk dengan hammer dan mencatat jumlah tumbukan setiap 15 cm.
Hammer dijatuhkan bebas pada ketinggian 760 mm.
9
Gambar 3. Prosedur dalam Pengujian SPTSumber : Mochamad Sholeh
4. Nilai tumbukan dicatat 3 kali (N0, N1, N2) dimana harga N = N1 + N2.
Split spoon sampler diangkat ke atas dan kemudian dibuka. Sampel yang
diperoleh dengan cara ini umumnya sangat terganggu.
5. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik untuk diuji di
laboratorium. Pada plastik tersebut harus diberikan catatan nama proyek,
kedalaman, dan nilai N.
Secara konvensional, uji SPT dilakukan dengan interval kedalaman 1.5 m –
3.0 m dan sampel tanah yang diperoleh dari tabung SPT digunakan untuk
klasifikasi. Penting untuk ditegaskan disini bahwa identifikasi dari jenis tanah
pada SPT harus dilakukan karena interpretasi dari data SPT hanya dapat
dilakukan dengan baik bila dikaitkan dengan kondisi tanah tersebut.
Interpretasi hasil SPT bersifat empiris. Untuk tanah pasir, maka nilai N-SPT
mencerminkan kepadatannya yang dapat pula diprediksi besar sudut geser dalam
(φ) dan berat isi tanah (γ), kapasitas daya dukung pondasi dan penurunan pondasi.
Sedangkan pada tanah lempung, hasil SPT dapat menentukan secara empiris
konsistensi tanah, kapasitas daya dukung pondasi dan penurunan pondasi. Hasil
SPT pada tanah lempung ini tidak begitu dapat diandalkan karena umumnya tanah
lempung mempunyai butiran halus dengan penetrasi yang rendah, sehingga pada
tanah lempung ditentukan berdasarkan kekuatan gesernya yang dapat diperoleh
dari uji tekan bebas (Unconfined Compression Test).
Daya dukung satu tiang pancang berdasarkan data SPT (Standard
Penetration Test),
Qu = (40*Nb*Ap)
Dimana :
Qu = Daya dukung batas pondasi tiang pancang
N = Nilai N-SPT rata-rata pada elevasi dasar tiang pancang = (N1 + N2) / 2 ;
N1 = Nilai SPT pada kedalaman 3D pada ujung tiang ke bawah
N2 = Nilai SPT pada kedalaman 8D pada ujung tiang ke atas
Ap = Luas penampang dasar tiang pancang (m2)
Daya dukung gesek / friction tiang pancang berdasarkan uji lapangan SPT
(Standard Penetration Test),
Qsi = qs*Asi
10
Pada lapisan tanah hingga kedalaman 1-10 m adalah jenis tanah lempung dan
lapisan tanah pada kedalaman 10-12 m adalah pasir.
qs = untuk pasir 0,2N
qs = untuk lempung 0,5N
Asi = Keliling penampang tiang pancang (tebal = 2π∗25 R)
Lalu rumusan yang digunakan untuk memperkirakan daya dukung pondasi
tiang dengan menggunakan data SPT adalah sebagai berikut :
Qult ( ton)=mNa A p+nNAs
Dimana m adalah koefisien perlawanan ujung tiang, n adalah koefisien
gesekan, N adalah nilai SPT (pukulan / 30 cm = blows/ft). Untuk nilai N-SPT ini
biasanya dianjurkan untuk koreksi menjadi sebagai berikut :
- Untuk N pada ujung tiang
Na=0,5 (N 1+N2)≤40
Dengan N1 adalah nilai N pada ujung tiang, N2 adalah nilai N dari ujung
tiang hingga 4 B diatas ujung tiang, B adalah lebar tiang.
- Untuk jenis tanah pasir yang sangat halus (fine sand) atau tanah pasir
kelanauan (Silty Sanfd) yang terletak dibawah muka air tanah (jenuh air)
dimana nilai N cenderung lebih tinggi karena permeabilitas tanah yang kecil
maka di koreksi menjadi sebagai berikut :
N=15+0,5 ( N−15) ; N>15
Dimana N adalah nilai N SPT dilapangan.
Terdapat beberapa pakar yang merekomendasikan besarnya koefisien
koefisien m dan n diantaranya diperlihatkan pada Tabel 1 berikut :
11
Tabel 1 Nilai m dan n
Contoh kasus :
Daya dukung satu tiang pancang berdasarkan data SPT/Standart Penetration Test
Qu =( 40 x Nb x Ap )
Dimana ;
Qu : Daya dukung batas pondasi tiang pancang
N : Nilai N-SPT rata-rata pada elevasi dasar tiang pancang
N1 : Nilai SPT pada kedalaman 3D pada ujung tiang ke bawah
N2 : Nilai SPT pada kedalaman 8D pada ujung tiang ke atas
Ap : Luas penampang dasar tiang pancang (m2)
Data SPT disajikan pada gambar dibawah berikut :
12
Gambar 4. Tabel Boring LogSumber : Kajian Rony Siregar
Direncanakan tiang pancang lingkaran diameter 40 m2 akan dipancang hingga
kedalaman 2,5 meter. Dari data SPT diperoleh nilai N-SPT rata-rata pada elevasi
dasar tiang pancang adalah sebagai berikut :
N1=49+45
2=47 N2=
38+452
=41,5
N=N1+N 2
2=47+41 ,5
2=44 , 25
Qu=( 40 x N x Ap)
= 40 x 44,25 x (0,25⋅π⋅0,42 )
= 222,42 kg
3. Uji Geser Baling (Vane Shear Test)
Uji geser baling dilakukan dengan cara memasukkan baling pada kedalaman
titik uji dan memutar baling tersebut dengan kecepatan 6°/menit hingga runtuh.
Torsi(T) diukur dan nilai kuat geser undrained Su dapat ditentukan berdasarkan
formula :
Dimana :
D = diameter dari baling (cm)
T = torsi (kg.m)
13
Gambar 5. Alat-Alat pada Vane Shear TestSumber : Mochamad Sholeh
4. Uji Pressuremeter
Uji Pressuremeter (Gambar 6. ) dikembangkan oleh Menard, berupa silinder
karet yang dimasukkan kedalam lubang bor dan dikembangkan. Respon tanah
(perubahan volume atau jari-jari lubang) terhadap pengembangan karet di ukur
dan interpretasikan ke dalam besaran kuat geser dan sifat kemampatan tanah.
Keuntungan dari uji ini adalah karena modulus tanah dapat diperoleh di lapangan
(in–situ), demikian pula besarnya tekanan tanah at rest. Besaran besaran lain
seperti kuat geser tanah dan tekanan air pori juga dapat diperoleh dari uji ini.
14
Gambar 6. Uji Pressure meter dan Hasil Uji TipikalSumber : Mochamad Sholeh
Tabel 2. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Test Pressuremeter
5. Uji Dilatometer
Flat Dilatometer Test (DMT) dibuat dan dikembangkan di Itali oleh Silvano
Marchetti pada tahun 1975. Pada awalnya diperkenalkan di Amerika Utara dan
Eropa pada tahun 1980 dan saat ini telah digunakan di lebih dari 40 negara
sebagai alat uji penetrasi in-situ dalam bidang investigasi geoteknik. Peralatan
DMT, metode pengujian dan korelasi awal disajikan dan digambarkan oleh
Marchetti pada tahun 1980 dalam In-situ Test by Flat Dilatometer, dan
selanjutnya DMT telah secara luas digunakan dan dikalibrasi terhadap endapan
tanah yang diuji di seluruh dunia. Uji dilatometer (Marchetti 1980, Schmertmann,
1988) merupakan uji sederhana untuk mengukur modulus tanah. Alat ini berupa
suatu blade dengan lebar 95 mm dan tebal 15 mm. Ditengahnya terdapat suatu
plat lingkaran yang dapat bergerak keluar jika dikembangkan. Prosedur pengujian
dilatometer mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
1. Dilatometer dimasukkan kedalam lubang galian, lakukan pembacaan setelah
dikoreksi (p1).
2. Membran dikembangkan dan tekanan dibaca saat mencapai 1.1. mm (p2).
3. Tekanan diturunkan dan saat membran kembali keposisi semula, kembali
dibaca (p3).
4. Dilatometer diturunkan ke titik berikutnya dan langkah 1 s/d 3 diulang
kembali.
Setiap pengujian hanya membutuhkan waktu 1-2 menit. Keuntungan utama
dari dilatometer adalah bahwa alat ini dapat memperkirakan tekanan at rest di
lapangan. Disamping itu kemampatan tanah dapat diperoleh (modulus subgrade).
Dari data diatas dapat diperoleh beberapa parameter dilatometer sebagai berikut :
1. Modulus dilatometer, Ed
Ed = 34,7 (p2 – p3)
2. Indeks Teganga Lateral, Kd
Kd=p1−u
pu'
3. Indeks Material, ID
I D=p2−p1
p2−u
15
Berdasarkan parameter tersebut, maka jenis tanah, modulus, dan kekuatan
gesernya dapat diperkirakan
16
Gambar 7. Korelasi Antara Jenis Tanah dengan Indeks Material dan Modulus Dilatometer
(Sumber : Lacasse & Lunne. 1986)