Download - Desa Seribu Punten
1
DESA SERIBU PUNTENDESA SERIBU PUNTENDESA SERIBU PUNTENDESA SERIBU PUNTEN
Potret Pendidikan Di Sudut Sempit Pusat
Indonesia
Gambar: Courtesy Bowie
Oleh:
Jodhi P. Giriarso
Novel ini ditulis sesuai sudut pandang penulis. Setiap opini dan interpretasi di
dalamnya sepenuhnya tanggung jawab penulis
2
1 Rencana jitu sudah kusiapkan untuk menyelesaikannya. Penelitian
sudah mencapai tahap paling menjemukan, menunggu tetesan air jatuh
dan mengukur hasil partikel yang tertahan membuatku tidak tahan. Uji
rejeksi dan semuanya akan selesai, sebentar lagi. Hanya tinggal
menunggu kompresor datang dan kucoret semua to-do list. Rupanya
rencana tinggal rencana. Sebelum berangkat KKN harusnya sudah
kuselesaikan uji rejeksi tapi ternyata rencanaku berkhianat. Persiapan
KKN menyita waktu dan tenaga. Disitulah rencanaku mulai berantakan.
Semua jadwal molor tak terkendali.
Pada daftar teman sekelompokku tertera deretan nama perempuan.
Hanya satu nama laki-laki, Fo. Entah minus mataku makin parah, tapi
ternyata saat pertemuan pertama pada acara diklat dua orang laki-laki
datang dan menyatakan diri sebagai anggota kelompok. Ade dan Bowie.
Dari mereka kutahu ada dua orang yang tidak datang. Jo sedang
mengikuti festival gamelan internasional di Yogyakarta. Hebat kali ini
anak, ujarku. Sementara Asep menunggui ayahnya yang dirawat.
Disinilah sebenarnya rencana penelitianku berantakan. Kami
hanya diberi waktu dua hari untuk survey tempat dan menyiapkan
segalanya.
Perjalanan ke Subang yang kutempuh tidak sama dengan yang
kubayangkan. Aku dan Fo memulai perjalanan dengan Qorni dan Pei dari
desa lain. Di bibir Subang, kami bertemu dengan Lala dan pacarya.
Mereka orang Subang, kuharap bisa menyingkat pencarian desa-desa
yang harus kami datangi. Ternyata salah.
Lala malah bikin kami bingung. Sampai di Dangdeur kami harus
bertanya di hampir setiap pangkalan ojek. Setelah melewati kota, kami
masuk desa Cidahu, melalui jalan beraspal bagus dan lurus. Setelah
sekitar 7 km, kami menemukan sebuah tugu. Kami bertanya pada seorang
kuli angkut. Menurutnya desa tujuan kami ada di jalan ke sebelah kanan.
Jalannya sangat parah. Di sepanjang jalan terhampar sawah hijau
menguning yang sudah tinggal sebulan lagi dipanen. Selain itu juga ada
beberapa balong –empang– yang luas. Balong-balong sedikit
menyegarkan mata walaupun nyatanya udara begitu pengap seakan
dikurung di sebuah ruang tertutup, oksigen sepertinya sulit berkompromi
dengan hidungku.
Setelah berkendara sekitar 5 km, kami sampai. Satu hal yang
kuperhatikan, desa ini punya terlalu banyak warung. Kami bertanya ke
satu warung ke warung, mereka selalu bilang rumah pak Kades itu ada
3
warungnya. Alhasil kami berhenti di setiap warung untuk menanyakan
apa itu rumah pak Kades atau bukan. Kami berhenti sekitar tujuh kali.
Mengesalkan!
Matahari bersinar luar biasa terik. Sepengalamanku Subang itu
singin. Tapi kemudian aku mengingatkan diri bahwa itu masih di Jalan
Cagak, belum sampai Subang kota. Pasrahlah aku harus menjalani 40 hari
di tempat segerah ini.
Pak kades tak ada di rumah, beliau sedang ada pertemuan di
sekolah. Kami mengejarnya karena harus memberikan surat pengantar
dari kampus. SD Ciung Wanara tempatnya mengadakan pertemuan. Pak
Kades itu masih muda, sekitar umur 40-an dengan kumis tipis
menggantung di bawah lubang hidungnya. Kami disambut baik dan
dicarikan tempat tinggal.
Rumah tersebut milik Pak Usta. Letaknya tak jauh dari rumah
Kades, terhalang satu rumah yang hancur tak terawat dengan jalan desa.
Kami melewati kebun rambutan. Rumahnya sederhana, menghadap ke
selatan. Tadinya rumah itu ditinggali ibu pak Usta. Beliau sudah
meninggal sekitar delapan bulan yang lalu. Bale untuk memandikan
jenazahnya ada di kamar depan. Kamar sebelahnya dua kali lebih besar
dari kamar depan. Temboknya kusam entah kenapa, kaca ventilasinya
pecah sebagian. Anehnya lagi, selot pengunci ada di bagian luar bukan di
bagian dalam, seperti mencegah sesuatu keluar daripada menahan orang
yang masuk.
“Entar beli cat buat kamar ini.” Bisik Fo padaku.
Aku cuma mengangguk karena dia menyelaku saat pembicaraan
tentang sewa rumah yang akan kami tinggali ini. Setelah kesepakatan
menjadi persetujuan, kami pulang. Aku menghubungi Pei yang mensurvei
desanya. Tapi dia sudah di jalan. Akhirnya aku, Lala dan Fo pulang. Lala
hanya ikut sampai Subang kota. Jadilah aku berdua bareng Fo pulang ke
Bandung. Di Jalan Cagak kami sempat makan siang dengan ayam goreng
yang nikmat.
2 Selasa hari ketujuhbelas bulan ketujuh dua ribu tujuh kami
berangkat dengan serangkaian khayalan tentang liburanyang
menyenangkan. Minibus L300 disewa dengan harga bersahabat karena
kami bersahabat dengan pacar Lala yang bersahabat dengan supirnya.
Persahabatan memang indah. Sedikit kudeskripsikan pria botak berwajah
culas itu. Hatinya luar biasa baik.
4
Hari diawali dengan perasaan kesal. LPM, penanggung jawab
KKN, menyuruh kami berkumpul di kampus, di depan gedung pentagon.
Padahal kami sudah bersiap di terminal Ledeng. Kedua tempat itu hanya
terpisah jalan Setiabudhi. Tapi untuk masuk ke kampus harus memutar.
Budaya telat di Indonesia makin menjadi saat melibatkan ratusan
orang. Keberangkatan tertunda satu jam. Kami sampai di Subang sekitar
jam sepuluhan. Itu sudah termasuk kelalaian supir kami yang mengira
kami harus langsung ke desa. Padahal aku sudah bilang berkali-kali kami
harus ke pendopo untuk penyambutan. Mungkin panas yang menyengat
menguapkan kata-kataku sebelum sampai ke telinganya. Jadinya kami
menjadi salah satu rombongan terakhir yang tiba di pendopo.
Pendopo kota Subang cukup megah, khas kantor pemerintahan
yang konservatif dan formal. Dan saat itu benar-benar luar biasa
panasnya. Matahari terik yang biasanya menyerangku sekitaran jam dua
belas di Bandung sudah mendera sekitar jam sepuluh di kota ini.
Penyambutan dilakukan di aula besar. Mimbar panjang di depan.
Spanduk penyambutan terpampang garang. Penyambutan ini dihadiri
beberapa orang yang katanya pejabat LPM dan pemko Subang.
“Bapak tidak akan berbicara banyak, karena nampaknya sudah
diwakili oleh...” ucap salah seorang pejabat LPM.
Justru sambutannya lebih panjang dari pejabat sebelumnya.
Kurang ajar, pikirku, dalam satu kali bicara saja sudah nggak
konsisten.
Aku jadi teringat cerita dosenku ketika kuliah Organik 2. Dosenku
itu sekretaris senat. Beliau bercerita senat itu banyak dikuasai orang-
orang sosial. Rapat sebelumnya disetujui suatu aturan. Namun rapat
berikutnya aturan itu dilanggar dan kembali ke aturan baru. Kemudian,
rapat selanjutnya ketika dosenku menyiapkan rapat dengan aturan lama,
ketuanya malah meminta memakai aturan baru. Dosenku terheran-heran,
namun sang ketua hanya berkata,
“Inilah bedanya sosial dengan ilmu eksak…”
Aku nggak tahu dia sedang menyindir keeksakan kimia atau
memuji inkonsistensi pribadinya.
Ruangan itu berpendingin. Hanya saja 1000 manusia di dalamnya
membuat energi yang dipakai untuk mendinginkan ruangan terbuang
percuma. Udara dingin tak mampu mengkondensasi kegelisahan dan aura
panas tubuh kami. Setelah kubuka jas almamater, aku masih keringatan.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Subang memberikan
wejangan yang cukup mengena soal permasalahan yang akan kami
5
hadapi di lapangan. Entahlah, teman-temanku yang sudah KKN tak
pernah bercerita ada masalah yang mereka hadapi soal-soal seperti ini.
“Masyarakat akan mengedepankan masalah ekonomi sebagai
alasan utama mereka tidak menyekolahkan anaknya.” Kata bapak kurus
berkumis, kalau diperhatikan seksama beliau mirip Doyok, pelawak yang
pernah terjerat masalah narkoba.
Beliau memberikan alternatif solusi bahwa di setiap sekolah ada
bantuan-bantuan yang bisa dimaksimalkan untuk membantu masyarakat
kurang mampu. Cara bicaranya yang tegas, berapi-api plus sedikit
candaan garing membuat seolah masalah-masalah itu bisa diselesaikan
dengan mudah. Namun, menurut beliau juga bahwa sebenarnya alasan
utama adalah masalah budaya. Masalah ini sangat berakar dan sangat sulit
dipecahkan.
Aku mendengar semua omong kosong itu sambil lalu, sebenarnya
sambil tidur juga.
Usai acara penyambutan itu, Wahyu, koordinator kecamatan
Pagaden, meminta para ketua untuk ikut ke kecamatan terlebih dahulu.
Dan aku adalah salah satu orang sial itu. Aku menyuruh para anggotaku
pergi ke desa duluan. Aku dibonceng Asep ikut ke kecamatan.
Di sana aku bertemu dengan para ketua dari kecamatan Pagaden.
Selain itu, nggak ada lagi yang menarik.
“Saya atas nama perangkat kecamatan,” ucap pak Camat sambil
duduk di belakang mejanya yang terlihat nyaman, “mengucapkan selamat
datang di kecamatan Pagaden. Namun, kami juga meminta maaf bila desa
tempat KKN para mahasiswa sekalian tidak mengadakan
penyambutan…”
Kesalahan teknis atau kelambatan birokrasi? Tebakku tanpa
mendengarkan penjelasan selanjutnya.
Mungkin aku harus berhenti berprasangka. Pernah kudengar,
sebagian prasangka itu merugikan. Dan benar, ternyata pada survey yang
lalu, korcam lupa membawa daftar desa yang akan kami diami. Mungkin
kalau bisa bertemu lagi, aku akan meminta maaf atas prasangka burukku.
3 Saat datang ke rumah pondokan, aku diberondong laporan.
Tempat belanja yang jauh, ada pun nggak enak, nggak ada warung nasi,
yang jualan sayuran juga nyaris nggak ada dan bla… bla… bla… Dari
semua laporan, nggak ada yang bisa membuatku tersenyum.
6
Yah, inilah desa Sumur Gintung. Berbagai terkaan melintas di
kepalaku mengenai penamaan itu. Apakah Gintung berhubungan dengan
gantung? Atau mungkin pernah ada yang tergantung di atas sebuah
sumur? Atau hanya benda biasa yang menggantung di atas sumur? Katrol.
Aku menyingkirkan semua terkaan sebelum menyentuh persoalan mistis.
Tuh kan, pasti mulai mistis! Dari sekian banyak kabupaten yang masih
erat dengan mistis, Subang adalah salah satu yang paling santer berkaitan
dengan hal itu.
Letak desa ini cukup dekat dengan kecamatan kota Subang.
Hanya masalahnya posisi desa ini di antara desa Gunung Sembung dari
arah jalan raya Pagaden, dan Balingbing dan Cidadap dari arah lainnya.
Boleh dibilang kami agak terisolasi dari jalan utama. Belum lagi
infrastuktur jalan yang berlubang dimana-mana menghambat perjalanan
keluar desa ini. Bermotor membutuhkan waktu 15-20 menit, padahal
kalau jalannya bagus mungkin bisa kurang dari 10 menit. Belum lagi
penerangan yang minim di sepanjang jalan membuat perjalanan malam
serasa mengarungi lautan dengan sampan tanpa dayung dan jauh dari
mercusuar.
Sesuai pesanan Fo waktu itu, kami bergantian mengecat kamar
dengan warna pink. Tadinya aku hanya bercanda saat menyuruh Asep
membeli cat warna pink di Jalan Cagak. Tapi karena sudah ada, ya
sudahlah. Sementara Asep dan Jo membantu Ladies di dapur karena
kompor yang dibawa Nunu nggak menyala. Jadilah, mereka memasak
makan siang dengan tungku yang ada di dapur. Kemampuan bertahan
hidup di alam liar nampaknya akan berguna selama kami tinggal di sini.
Aku berhasil menyalakan kompor gas portabel itu, tapi percuma
saja. Heni melapor katanya tidak ada yang jual gas kalengan di desa ini.
Aku mulai khawatir dengan kelangsungan hidupku dan orang-orang ini
selama KKN. Pak Usta menawarkan bantuan kompor minyak. Mulai
lega.
4 Pak Usta adalah seorang bapak dengan wajah yang halus.
Walaupun kulitnya gelap namun tampak bersinar. Perawakannya kecil
membuat otot-ototnya makin terlihat kencang. Anak perempuan yang
pertamanya sudah besar, menikah dan punya anak perempuan bernama
Nur, tapi aku tak pernah melihat suaminya. Anak satunya lagi, Yuli,
masih sekolah di SD Ciung Wanara. Perbedaan umur keduanya cukup
membuatku mengira Yuli adalah kakaknya Nur.
7
Satu keuntungan jadi anak tunggal adalah seluruh warisan jatuh
padanya. Itulah yang terjadi pada pak Usta. Biarpun penampilannya
sederhana, kuketahui dari orang desa, pak Usta adalah salah satu orang
paling kaya di desa. Selain rumah, kebun rambutan, beberapa balong juga
miliknya. Rumah yang ditinggalinya ada di sebelah pondokan kami.
Kedua rumah itu nyari sama sederhananya, hanya saja rumahnya
diberikan sentuhan modern semacam keramik dan cat anti noda.
Kekayaan seabrek itu tidak membuatnya terlihat mencolok.
Tuturkatanya cukup halus untuk ukuran orang Subang yang dikenal kasar
ber-basa sunda. Logatnya itu sangat khas, tidak mewakili daerahnya, tapi
mewakili dirinya sendiri. Setiap katanya seakan memanjang dan
bergelombang, menurutku itu unik dan menarik perhatian.
Hari berikutnya kami habiskan dengan membersihkan rumah.
Kebun rambutan yang tadinya menarik, menjadi memuakkan. Setiap pagi
harus ada yang menyapu daun-daun yang berguguran. Kalau cuma pagi
hari mungkin tak menjadi masalah, tapi sorenya aku harus melakukan hal
yang sama karena daun-daun berjatuhan sama banyaknya. Teman-
temanku yang tadinya berinisiatif pun akhirnya malas melakukannya.
Aku juga.
Sosialisasi pertama kami lakukan di balai desa. Acara itu
sebenarnya adalah rapat sosialisasi pembuatan KTP massal. Kami hanya
menumpang mumpung para kepala dusun hadir. Dalam pertemuan itu
dibicarakan biaya yang harus dikeluarkan setiap pemohon KTP. Yang
tersirat jelas adalah adanya upaya Kades untuk memasukkan penjualan
rokok merek Djarum dalam pembiayaan itu.
Cara yang jenius, menurutku. Desa membutuhkan dana untuk
acara Agustusan. Mereka membuat proposal ke produsen rokok
bersangkutan. Proposal mereka dikabulkan dengan syarat rokok mereka
dipasarkan secara besar-besaran. Cara jenius, bukan cara biadab memang,
tapi bagiku ada yang mengganjal dengan cara ini. Bagaimanapun rokok
yang dipasarkan harus habis. Artinya sebanyak stok tertentu akan habis
dalam acara-acara seperti ini. Aroma kapitalis begitu memuakkan sampai
merasuk ke desa-desa.
Ketua BPD menolak cara ini. Pembuatan KTP massal ini gratis
dan harus tetap begitu, menurutnya. Ada biaya dari pemerintah kabupaten
untuk ini, hanya saja terbatas, jadi mereka menerapkan sistem kuota.
Akomodasi petugas dan bla… bla… bla... dijadikan alasan untuk
mewajibkan setiap pemohon membayar. Aku nggak tahu pasti, tapi
terdengar selentingan petugas pembuat KTP sudah mendapat jatah,
kenapa harus diberi lagi? Memang terlalu baik kita ini.
8
Saat mereka selesai, waktunya kami beraksi.
“Sesuai dengan tema KKN yaitu Wajar Dikdas 9 tahun, maka
semua kegiatan akan kami fokuskan ke bidang pendidikan.” Kataku
setelah pembukaan yang membosankan, aku saja bosan, gimana mereka?
“Berdasarkan UU no 20 tahun 2003, setiap warga negara usia 7-15 tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar. Sebenarnya target akhir program wajar
dikdas adalah tahun 2005. Namun karena terjadi krisis ekonomi maka
target diperpanjang sampai 2009.”
Itu tertulis di buku kuning, buku panduan yang diberikan oleh
LPM di kampus. Jadi aku nggak sehebat itu sampai bisa melakukan orasi
dengan data yang akurat.
Pengukuran tingkat pendidikan dilihat dari APK dan APM (angka
partisipasi kasar dan murni). Sebuah parameter yang coba diterapkan
untuk menghitung sejauh mana tingkat pendidikan di Indonesia. Nah,
kami di sini untuk misi itu.
“Pada tahun 2006 tingkat APK mencapai 85,22%. Sementara
target 2009 adalah 95%,” lanjutku kembali melihat kitab kuning, “berarti
ada kekosongan yang harus dikejar, minimal setiap tahunnya harus ada
peningkatan 3,26%.”
Udara pengap, bernafaspun membutuhkan energi. Walaupun aku
berdiri di depan aparat desa dan berbicara selancar mungkin tetap saja
panas ini menggangguku. Tubuhku bereaksi dahsyat terhadap panas
layaknya logam natrium yang dimasukkan ke dalam air. Keringat
menyeruak dari setiap ujung akar rambutku, membuatku tidak nyaman.
“Di Jawa Barat ada 14 kabupaten dengan APK di bawa 85,22%.
Dan kabupaten ini adalah salah satunya. Jadi kami ditugaskan oleh
kampus untuk menghitung perkembangan yang terjadi tahun ini.”
Begitulah kuakhiri pidatoku dengan penawaran bantuan apapun
yang bisa kami berikan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan desa.
5 “Itu kali balai desanya!” teriak Jo diboncengan Fo.
Kami menyurvei setiap balai dusun. Rencananya malam ini ada
pertemuan di balai dusun. Para kepala dusun akan mensosialisasikan apa
yang mereka dapat tadi pagi. Menurut mereka akan sulit untuk
mengumpulkan warga lagi, itulah sebabnya kami ikut dalam pertemuan
itu untuk perkenalan. Sekali lagi menumpang.
9
Kami tak mau tersesat di malam tanpa penerangan, apalagi tanpa
tahu tujuannya. Kami memakai dua motor, punya Asep dan Fo. Aku
berpikir ulang untuk membawa motor dari Bandung.
Desa ini memiliki enam dusun. Bila diurut dari arah barat maka
dimulai dengan dusun Sumur Gintung, Ciwaru –ini tempat kami tinggal–,
kemudian Keresek Baru, lalu Keresek Tua mengapit Babakan Kamarung
–ke arah utara– lalu yang paling dekat dengan Desa Gunung Sembung
adalah dusun Panyingkiran.
Kami tersesat.
Tak ada petunjuk di mana dusun Babakan Kamarung berada.
Kami malah lurus terus menyusuri jalan rusak. Walaupun tersesat tapi
aku menikmatinya. Sore-sore mengitari desa dengan pemandangan indah.
Sawah-sawah masih berwarna kekuningan tanda sebentar lagi panen.
Struktur tanah yang melandai dan meninggi di beberapa tempat membuat
sawah harus dibangun secara terasering. Belum lagi kilauan air balong
yang memantulkan cahaya kuning mentari. Apalagi yang kubutuhkan?
Ya, jalan pulang. Jo bertanya pada seorang kakek tua. Akhirnya kami
menemukannya. Kami meneruskan perjalanan ke Panyingkiran.
Setelah Maghrib kami membagi orang-orang yang akan pergi ke
desa mana saja. Pertemuan di setiap dusun dilakukan secara bersamaan.
Sebenarnya aku ingin semua hadir di setiap pertemuan, tapi nggak
mungkin karena semuanya dilakukan dalam waktu bersamaan.
Jadilah kami membaginya; Aku dan Della akan menghadiri
pertemuan di dusun Sumur Gintung, dan Ciwaru. Keresek Baru akan
dihadiri oleh Heni dan Bowie, lalu Fo dan Iin ke dusun Babakan
Kamarung, lalu Jo dan Lala ke Keresek tua dan Panyingkiran. Sementara
itu Asep menjaga posko dan Nunu pulang karena ada undangan
pernikahan temannya.
Pembagian ini juga bermasalah. Motor kami hanya dua, artinya
harus ada yang berkorban. Tega nggak tega juga sih. Apalagi tanpa
penerangan yang cukup bisa membuat bulu kuduk berdiri saat melewati
pohon besar di pinggir lapangan sepakbola atau balong-balong yang
dingin dan sunyi.
Yang berkorban jalan kaki adalah Heni dan Bowie berhubung
dusun yang harus mereka datangi paling dekat. Jo memakai motor Asep
dan Fo membawa motornya sendiri. Sementara aku dan Della tak
mungkin jalan kaki, jarak dusun Sumur Gintung sama jauhnya dengan
langsung ke Panyingkiran, hanya saja dari Ciwaru ke dusun itu dibatasi
lahan pesawahan yang luas, sementara dari Ciwaru ke Panyingkiran
melewati dusun-dusun lainnya, masih ada tanda-tanda kehidupan.
10
Atas kebaikan hati –lagi-lagi– pak Usta, kami meminjam motor
tetangga. Motor yang kupinjam tidak bisa dibilang baik-baik saja, untuk
menyalakannya saja butuh usaha keras. Motor tipe Honda Prima jaman
dahulu kala yang tak terawat baik. Untuk menyalakannya tak perlu kunci
kontak, aku hanya perlu memutar choke di dekat karburator. Yang
kukhawatirkan adalah bagaimana kalau perjalanan kami tidak mulus?
Bagaimana kalau tiba-tiba mati di tengah jalan menuju dusun Sumur
Gintung yang dikelilingi balong? Aku buta otomotif. Sinyal ponsel di sini
nggak terlalu bagus, jadi akan sulit meminta bantuan kalau semuanya
tidak berjalan sesuai rencana. Ada suara menderu tak jelas dan krotak-
krotak yang menyeramkan dari sistem suspensinya sepanjang perjalanan
membuat pikiran-pikiran buruk terus menyerbu masuk sendi-sendi
impulsku.
“Takut berhenti di jalan...” komentar Della sewaktu kami
melewati jalan yang dikelilingi hamparan balong yang luas. Cahaya yang
bisa kulihat hanya memayungi saung di tengah-tengah balong.
Aku tak menanggapinya. Ketakutanku juga sama. Aku
menjalankannya sehati-hati mungkin. Selain motornya lambat, jalan rusak
pula. Jadi aku tak punya alasan untuk menggebernya.
Di balai dusun Sumur Gintung semua sudah berkumpul. Begitu
kami datang, acara dimulai. Aku tak bisa lama-lama di sini karena
diwaktu bersamaan Ciwaru juga punya pertemuan yang harus kuhadiri.
Aku merasa tidak nyaman ketika semua orang memperhatikan pidato
perkenalanku.Kucoba menebar senyum semeyakinkan mungkin,
masyarakat yang hadir makin menatapku lekat-lekat.
“...jadi tolonglah masalah penerangan juga bisa diakomodasi oleh
para mahasiswa KKN.” ucap seorang yang tampak paling berpendidikan
diantara semuanya.
Sialan … itu bukan tugasku! Protesku dalam hati.
Menurut pandangan mereka mahasiswa adalah orang sakti, punya
banyak uang dan pandai. Padahal semua itu jauh dari yang kumiliki.
Aku mencoba berdiplomasi sehalus mungkin bahwa
pembangunan infrastruktur bukanlah bidang kami. Kami bukan datang
dari jurusan tehnik sipil! Kami datang dari berbagai jurusan. Aku sendiri
dari kimia. Della dari sejarah. Fo dari keolahragaan. Asep dari teknik
mesin. Heni dari manajemen perkantoran. Iin dari matematika. Nunu dari
sastra Inggris. Lala dari pendidikan biologi. Jo dari seni musik. Dan
Bowie dari psikologi. Jelas tak ada yang berkompeten dalam bidang
infrastruktur! Hanya saja kebetulan kami datang dari universitas yang
bernaung di bawah nama pendidikan, jadilah pendidikan harus menjadi
11
spesialisasi kami untuk sementara waktu. Aku harus melupakan
sementara apa itu termokimia, apa itu feromon, apa itu membran dan
apapun itu tentang DNA, karena itu sama sekali tak berguna di sini.
Dalam kedua pertemuan malam ini aku mengatakan hal yang
sama seperti yang kuucapkan tadi pagi, atau setidaknya intinya seperti itu.
Aku bersyukur motor yang kami kendarai menjalankan tugasnya
dengan baik sampai kami tiba di pondokan lagi.
Tak ada cerita luar biasa dari anggota lainnya. Semuanya biasa
saja. Mungkin cerita Heni tentang perjalanannya melewati lapang
sepakbola dengan pohon beringin yang besar itu yang menurutnya sangat
menyeramkan, tapi menurutku sedikit –atau malah banyak– polesan
hiperbolis menghiasinya. Lagipula, aku tidak terlalu mempercayai
perempuan ini.
6 Dalam rapat karang taruna esok harinya aku mengulang lagi orasi
kemarin. Bosan aku dibuatnya. Karena sudah terlanjur mengajukan
bantuan dalam bentuk semampu kami, kena getahnyalah kami. Kami
diserahi tanggung jawab menjadi panitia, seksi acara dan dokumentasi,
untuk kejuaran voli antar dusun.
Hari minggunya, saat kejuaraan voli digelar, tiba-tiba ponselku
berbunyi. Aku tak tahu itu nomor siapa. Ternyata itu Wahyu yang
memintaku ikut rapat di posko KKN desa Pagaden. Aku terpaksa
meninggalkan teman-temanku yang membantu kejuaraan voli. Aku
senang bukan kepalang meninggalkan mereka menderita.
Pondokan di desa Pagaden membuatku iri setengah mampus.
Terletak di pinggir jalan dengan akses cukup jalan kaki ke kantor
kecamatan. Bentuk rumahnya modern dengan peralatan lengkap, kamar
mandi yang nyaman, dapur yang bersih. Aku berharap pindah saja ke sini.
Dalam rapat itu dibicarakan kesulitan yang ditemukan di
lapangan. Ada yang kesulitan bersosialisasi karena ada persaingan karang
taruna setempat sehingga tim KKN tersebut terjebak ditengah-tengah.
Mampuslah kalian, kubilang dalam hati. Ada juga yang kesulitan
mendapatkan data warga. Yang lain terhambat karena jumlah RT
setempat lebih dari 40 RT. Mendengar semua keluh kesah itu aku merasa
keadaanku lebih baik dari mereka semua.
Melihat kemewahan orang lain memang tak pernah membuat hati
dingin. Justru dengan melihat ke bawah membuatku bisa menepuk dada.
Aku hanya mendengarkan semua keluh kesah itu. Pengalamanku sangat
12
sedikit berkaitan dalam kegiatan organisasi Aku tak peduli apa yang
orang bicarakan selama itu tak menyangkut diriku. Dalam forum ini aku
makin yakin sifat dasar manusia adalah mengeluh, seperti yang
kulakukan.
Tetap saja hati ini panas melihat listrik yang dihambur-hamburkan
di sini. Mereka punya televisi yang menyala dan komputer yang terus
mendengung. Listrik adalah masalah yang kami temui selanjutnya.
Tinggal di rumah kampung seperti itu hanya memiliki daya listrik yang
standar. Saat menyalakan magic jar kami harus mematikan beberapa
lampu. Bahkan untuk mengisi ulang baterai ponsel saja kami harus
membuat jadwal. Ketiadaan komputer juga menjadi masalah. Memang
ada laptop Nunu, hanya saja –tanpa mengecilkan arti laptop yang aku tak
punya– laptop itu sudah heubeul. Bahasa Indonesianya laptop itu sudah
kuno, bermereka Toshiba, kotak abu-abu tebal itu baterainya sudah tidak
berfungsi dan harus dicolokkan ke stop kontak agar bisa menyala. Belum
lagi penggunaan Windows 98 yang berarti membatasi penggunaan
flashdisk.
Akhirnya Bowie memutuskan untuk pulang dan membawa
komputer. Dia pulang lalu kembali lagi sehari berikutnya lengkap dengan
keluarganya. Bowie dan keluarganya sangat akrab.
“Si ayah mah orang gila yang kabur dari rumah sakit.” Ucap
Bowie enteng.
Aku dan teman lainnya terbelalak mendengar Bowie begitu
mudahnya mengatakannya. Kalau aku bilang begitu di depan ayahku, bisa
dipastikan aku langsung digorok.
Ternyata keluarga Bowie memang penuh canda. Ayahnya adalah
seorang pejabat partai yang yang membawa SBY berkuasa di negeri ini.
Tubuhnya gempal, jauh dari kesan Bowie yang kurus, pembawaannya
juga kalem. Mereka juga datang dengan makanan yang berlimpah. Perlu
kuakui, walaupun selama hampir dua minggu kami tak pernah kelaparan,
tapi jelas kami tak pernah makan makanan yang memadai. Tanpa
mengurangi rasa hormat pada Ladies yang memasak, tapi makanan yang
kami santap sehari-hari selalu berputar antara sarden kalengan, mie
goreng, nasi goreng, bihun kecap, dan kembali lagi ke awal. Bukannya
masakan mereka tidak enak, tapi memang benar ternyata intensitas bisa
mengaburkan penilaian. Makanan enak pun kalau berulang-ulang
akhirnya bosan juga. Ladies juga mengakui kebosanan mereka, tapi akses
ke pasar yang jauh membuat kami memilih bahan-bahan yang tahan lama
agar tidak sering-sering menghabiskan waktu dan bensin dengan pergi ke
pasar.
13
7 Makan besar hari itu diakhiri dengan masalah listrik yang semakin
mendesak. Dalam beberapa hari sebelumnya Fo membujuk pak Kades
untuk me-loss-kan daya listrik di rumah ini selama kami di sini. Setahuku
itu perbuatan itu kriminal yang bisa dituntut pidana. Tapi apalagi yang
kubisa?
Setelah hampir dua minggu melakukan diet ketat listrik. Aku
mendatangi seseorang yang ditunjuk pak Kades untuk melakukan
tindakan kriminal itu. Namanya Ajip –bukan nama aslinya, saking tidak
pentingnya aku sampai lupa namanya. Katanya dia ini lulusan STM
elektro. Tapi dari obrolan yang kutangkap darinya bahwa dia ini seorang
pengangguran yang mengambil pekerjaan apapun. Dia sudah punya istri-
anak. Aku mengenalnya ketika ada di pasar malam. Pasar malam di
tempat ini digelar pada malam minggu, tempatnya di dusun Keresek
Baru.
Esok sorenya kami bisa menikmati daya listrik tanpa batas. Kami
bebas memakai komputer, sambil masak nasi, mengisi ulang baterai
semua ponsel bahkan kalau perlu menyalakan lampu yang tak perlu. Itu
dosa terbesar kami selama KKN.
8 Dengan listrik tanpa batas berarti kami bisa memulai pekerjaan
kami. Komputer pasti menyala kecuali kami tidur atau tugas keluar
semua. Pengambilan data warga dilakukan dengan pembagian tugas sama
persis dengan saat perkenalan ke tiap dusun. Tapi tetap saja tak semua
menjalankan tugasnya. Akhirnya aku dan Jo yang mengambil kebanyakan
dari data itu.
Pengambilan data ternyata tak segampang yang kupikirkan.
Beberapa kepala dusun baru saja terpilih dan belum punya data warga
lengkap. Dari kepala dusun sebelumnyapun masih tak bisa dan malah ada
kadus yang berseteru dengan kadus sebelumnya. Akhirnya solusi datang
dari Ladies agar memintanya ke ibu bidan. Dari Lala tepatnya.
Di desa seperti ini untuk menjadi populer sangat gampang, salah
satunya adalah dengan menjadi ibu bidan. Ibu bidan ini bernama Iin,
orangnya kecil, berkerudung. Beliau sangat baik. Siapapun mengenalnya.
Beberapa kali aku dan Jo tak bisa menemuinya, kadang pasiennya sedang
14
antri, kadang mengurus kelahiran bayi, kadang mengecek kesehatan ibu
pasca kelahiran dan itu dilakukan dengan mendatanginya langsung.
Namun dengan usaha berkali-kali juga dengan bantuan anggota kelompok
lainnya semua data bisa terkumpul.
“Kenapa?” Tanya Jo ketika kami berada di rumah bidan Iin yang
sedang melayani pasien. Kami duduk di ruang tamu yang cukup megah.
Sejak tadi aku memang tak banyak bicara. Mungkin Jo menyadari
kebungkamanku sehingga dia bertanya.
“Temanku, dia kehabisan bahan untuk penelitiannya.” Kataku
suram, “Dia minta bahan yang kusisakan untuk cadangan penelitianku.”
Perasaanku tak karuan, padahal penelitianku tinggal tahap akhir.
Aku menjelaskannya pada Jo. Dan dia memberikan masukan yang positif.
Akhirnya aku sms temanku untuk mengizinkannya mengambil bahanku
yang kusimpan di laboratorium riset.
9 Sudah kubilang kabupaten ini masih kuat pengaruh mistisnya
Masjid di pinggir jalan dekat SD Ciung Wanara memang tak pernah
kosong, tapi pekuburan di seberang desa juga selalu penuh.
Ya, malam jum’at kedua kami berada di desa itu adalah malam
jum’at kliwon. Ajip datang ke pondokan. Awalnya aku nggak tahu apa
maksudnya. Tapi perlahan dia mengajak kami ke acara Kliwonan. Acara
ini khusus diadakan setiap malam jum’at kliwon. Katanya acara ini
banyak didatangi oleh orang dari luar kota bahkan Jakarta. Ajakannya
kutolak dengan alasan rapat evaluasi. Aku tidak percaya urusan omong
kosong itu.
Pak Usta menjelaskan soal acara kliwonan itu setelah rapat
evaluasi selesai. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika
mendengar penjelasannya. Jadi acara itu dikamuflasekan dengan khotbah
di komplek pekuburan di jalan menuju desa Jabong. Kemudian setelah
khotbah maka para hadirin akan mengantri di sumur yang ada di dua
tempat untuk dimandikan. Yang satu adalah sumur Rizki (sudah jelas apa
maksudnya) yang kedua sumur Jodoh (ini juga tak mungkin keliru).
Sekitar pukul sepuluh, aku sudah bersiap ingin tidur. Kemudian
datang para pemuda dengan motor-motornya. Suara knalpot motor
mereka nggak ada yang waras, semuanya berderum keras dan atau
menjerit melekit. Mengganggu usahaku untuk tidur saja!
Penjelasan pak Usta bikin penasaran. Fo dan Jo mengajakku. Aku
berpikir sejenak. Nggak tiap hari aku menemukan hal seperti ini. Di kota
15
semuanya dipikirkan secara logis dan realistis, setidaknya aku salah satu
diantaranya. Ya sudahlah, aku ikut saja setelah memastikan Asep tinggal
menjaga pondokan dan Ladies yang tak mau ditinggal sendirian.
Aku dibonceng oleh pemuda bernama Somad. Anak ini adalah
lulusan SMKN 2 Subang jurusan otomotif, di desa dia membuka bengkel
kecil di pinggir jalan. Somad adalah objek penderita para pemuda desa.
Tampangnya yang bodoh, cara bicaranya nggak jelas, selalu melantur,
dan merasa benar sendiri. Apapun perkataannya selalu menjadi lelucon.
Kami berempati dan berusaha selalu mendengar ocehannya. Tapi
memang dasar dia juga nggak tahu diri. Setelah dua hari kami sampai di
sini dia mulai datang setiap malam ke pondokan. Sekali-dua kali kami tak
ada masalah, tapi kalau setiap malam dia datang dan baru pulang setelah
hampir tengah malam kami jadi kesal juga. Lagu kesukaannya adalah
‘Dokter Cinta’ dari Dewi-Dewi dan ‘Ucing Garong’. Dia selalu mereques
lagu-lagu itu. Anaknya memang polos jadi kami nggak tega mengusirnya,
jadi kami melayani semua ocehannya sampai dia bosan. Tapi tampaknya
dia tak pernah bosan.
Sesampainya di kompleks pekuburan aku takjub melihat mobil-
mobil yang diparkir di halaman. Hampir semuanya dari luar kota, banyak
juga yang dari Jakarta. Para pedagang kaki lima yang berhubungan
dengan mistis juga berderet di sana, yang paling menarik perhatian adalah
minyak buaya yang katanya bisa membesarkan penis dan keampuhan
tangkur buaya dalam meningkatkan gairah seks.
Anak-anak seumuran SMP juga ikut berkerumun di sana.
Aku dan Jo masuk ke dalam komplek pekuburan. Ternyata di sana
terang benderang. Orang-orang yang berpeci putih, berkerudung rapih
ataupun kerudung seadanya berkumpul di tengah-tengah komplek
memperhatikan pria yang berada di depan.
“Yak, tinggal 100 ribu, siapa lagi yang mau menggenapkan?” kata
seorang bapak berkumis tebal sambil berdiri dan memegang mikrofon.
Aku bertanya pada Ajip yang kutemui di depan tentang maksud si
bapak.
“Jadi shodaqohnya harus terkumpul satu juta, baru mulai
pengobatan.”
“Pengobatan apa?”
“Yaa…apa aja.”
Aku mengerutkan kening dan memutuskan untuk tidak bertanya
lagi, kecuali kalau ingin jawaban tolol keluar lagi dari mulutnya.
Seorang ibu berbedak tebal dan berlipstik merah norak maju
sambil menahan kerudung seadanya agar tidak jatuh. Menurutku dia
16
nggak perlu pakai kerudung sekalian. Si ibu memberikan selembar 50
ribu pada bapak berkumis yang memegang mikrofon.
Aku tidak melihat prosesi pengobatan karena memang belum
genap satu juta. Selain itu, Bowie mengajakku keluar, ke sumur karamat
–itu sebutan mereka. Aku mengikut saja. Para pemuda desa menggiring
kami menyusuri jalan setapak menuju sumur pertama. Sumur ini berada
di pinggir kali. Sumur itu ditutup oleh tenda yang seakan membuatnya
istimewa.
Aku melihat dari jauh bersama Bowie, sementara Fo dan Jo lebih
mendekat. Sumur ini dipercaya bisa memberi jodoh. Seorang bapak baru
keluar dari tenda dan digantikan oleh seorang pemuda. Cukup banyak
yang mengantri, bahkan Somad juga mengajakku bergabung.
“Moal akh…tiris!” ucapku beralasan, padahal selama di Subang
aku tak pernah berkenalan dengan kedinginan.
Setelah beberapa pemuda mandi di sumur itu, kami digiring ke
sumur selanjutnya yang ada di seberang jalan dan harus menyusuri tepian
sungai kecil untuk sampai ke sana. Ternyata Somad sudah mendahului
kami. Di sumur itu aku melihatnya mencuci muka dari air sumur. Tak
pelak dia menjadi guyonan pemuda yang lain.
“Kalau bukan jumat kliwon sumur ini dipakai apa?” tanyaku pada
seorang pemuda yang sering kulihat tapi belum kukenal namanya.
“Yaa… dipakai sumur biasa, buat mandi.” Katanya disela-sela
tawanya.
Aku merasa cukup dengan acara tak berguna ini. Aku mengajak
yang lainnya pulang.
10 Di akhir minggu kedua kami kedatangan dua orang tamu. Yang
pertama bernama pak Otoy, beliau adalah ketua dewan sekolah SD Ciung
Wanara. Yang kedua masih muda, kepalanya botak, dia adalah ketua
karang taruna desa yang belum pernah kami temui. Setelah lama sakit
akhirnya kami bisa bertemu dengannya.
Kedatangan kedua orang itu bukan hanya untuk bersilaturahmi.
Mereka juga memberikan undangan untuk ikut berpartisipasi dalam
kegiatan jumat bersih yang akan dilaksanakan di sekolah. Undangan ini
sangat mendadak karena acaranya besok harinya. Namun ini acara biasa
yang tak butuh persiapan apapun. Kami menyetujuinya.
Selain itu juga Pak Otoy menyampaikan beberapa hal pada
masyarakat. Beliau percaya para mahasiswa KKN jauh lebih dipercaya
17
daripada sekedar aparat desa. Mereka nggak tahu saja apa yang kami
lakukan di kampus!
“Jadi BOS itu hanya sekedar bantuan,” katanya penuh antusias
mulai mempengaruhi kami, “Tapi masyarakat tahunya bahwa sekolah
gratis berarti benar-benar gratis. Itu nggak benar. Dana BOS dilimpahkan
ke setiap sekolah dan sekolah secara otonom mengelolanya sendiri dana
tersebut. Jadi jalan atau tidaknya dana itu tergantung sekolah.”
“Tapi dana itu lancar setiap tahunnya?” tanyaku tak peduli
memotong pembicaraannya.
“Iya, dari pemerintah memang begitu. Hanya saja pada
pelaksanaannya, setiap sekolah memiliki prioritas yang berbeda-beda.
Ada yang dihabiskan dengan membangun sarana-prasarana sekolah, ada
juga yang dialokasikan untuk penyediaan buku...”
“Tapi kan ada juga BOS buku?” kali ini Jo yang memotong.
“Memang, tapi itu baru mencakup buku tiga pelajaran
matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Itupun dipinjamkan,
bukan diberikan. Jadi kalau sekolah merasa perlu maka dana BOS bisa
dipakai untuk meng-cover kebutuhan buku lainnya.”
Intinya sudah kutangkap. Sebenarnya ini yang ingin beliau
sampaikan pada kami. Undangan jumsih dan silaturahmi hanya
pengantar. Selama ini yang kutahu juga bahwa dana BOS adalah untuk
semua anak. Tapi ternyata pandanganku keliru. Seperti yang disebutkan
pak Otoy, itu hanya bantuan. Yang berarti bantuan itu tidak mengganti
semua biaya tapi menutupi kekurangan. Hanya saja dengan gembor-
gembor media sekolah gratis maka masyarakat menginginkan semuanya
gratis. Itu yang perlu diluruskan.
Aku merasa iklan Dik Doang perlu dicerna secara komprehensif,
bukan ditelan bulat-bulat. Di iklan selalu digambarkan bahwa sekolah itu
gratis sampai pendidikan dasar.
“Tapi sebenarnya semua misi itu sudah terkandung dalam semua
iklan Dik Doang itu.” Kilah Jo saat aku membahasnya lebih lanjut setelah
pak Otoy pulang.
Dia benar. Untuk ukuran mahasiswa apalagi yang pintar, iklan itu
memang mengandung semua misi seperti yang diinginkan pak Otoy.
Hanya saja, tingkat pendidikan para orang tua murid mungkin tidak
cukup untuk mencapai pemahaman itu. Memang tak ada yang bisa
disalahkan dalam kesalahpahaman persepsi ini. Ini tugas bersama untuk
meluruskannya.
18
11 Kami telat pada acara Jumsih. Acara jam tujuh kami datang jam
delapan. Kayaknya telat menjadi kebiasaanku. Belum lagi kami tak
membawa peralatan. Aku dan Bowie balik lagi ke rumah membawa
parang dan sapu lidi untuk membuat diri kami berguna sekaligus berganti
celana pendek. Kami bersama warga lain membersihkan halaman
sekolah, memotong rumput, memunguti sampah mengumpulkannya di
satu tempat dan membakarnya. Kegiatan sederhana yang membina
silaturahmi.
Setelah kegiatan itu kami berfoto bersama warga. Tak ada yang
istimewa dalam acara itu. Bahkan kupikir tadinya kami punya
kesempatan untuk berbicara dengan warga meluruskan hal yang semalam
kami bahas, tapi nyatanya tidak. Kami pulang dengan keringat yang
membuat mandi pagiku percuma.
Setelah aku mandi lagi, kami kedatangan tamu. Kali ini dari SD
Sumur Gintung. Pak Harim adalah pembina pramuka di SD Sumur
Gintung dan SD Sindang Sono yang berlokasi di satu tempat itu. Beliau
juga menyodorkan undangan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan
Persami di SD. Selain itu kami juga diminta melatih anak pramuka SD
itu. Kami menyanggupinya.
Di antara kami semua hampir tak ada yang memiliki latar
belakang pramuka. Waktu SD aku pernah ikut dalam tim yang
dilombakan tingkat sekolah, tapi aku cuma jadi cadangan. Aku lupa
tentang Dasa Darma, Morse, Semaphore, atau tali temali –yang kutahu
hanya simpul mati dan simpul lainnya kukarang sendiri kalau mengikat
barang untuk diantarkan ke Astana Anyar. Asep dan Lala memiliki solusi.
Karena mereka berdua orang Subang, kusuruh mereka untuk datang ke
almamaternya, SMAN 1 Subang.
Setelah jumatan mereka berdua kembali dengan membawa solusi
dan masalah baru. Solusinya bahwa mereka mendapatkan beberapa buku
panduan pramuka dan pengetahuan umum. Masalahnya bahwa pacarnya
Lala tahu Asep jalan dengan Lala. Awalnya kami tak mengira ini akan
jadi masalah.
Sorenya kami melatih anak pramuka. Ini pertama kalinya kami
berkenalan dengan anak-anak SD setempat. Aku dan Bowie mengajari
mereka mengenai pengetahuan umum. Aku merasa lucu sendiri karena
dulu waktu SD aku paling jago untuk ini. Hanya saja sekarang aku
melupakan hampir semua yang kuketahui. Aku cuma tersenyum-senyum
19
sendiri ketika mengajarkan anak-anak SD itu sesuatu yang tampaknya
sudah lama kulupakan.
Asep dan Jo mengajarkan baris-berbaris dan menerapkan standar
yang terlalu tinggi untuk anak-anak itu. Jo adalah mahasiswa Seni Musik
yang mendapat beasiswa militer. Jadi setelah selesai kuliah, dia akan
masuk akademi militer angkatan darat dengan pangkat letnan dua dan
sangat mungkin memimpin korps musik angkatan darat. Mana ada anak
musik yang jadi tentara? Ternyata ada dan aku akan bersamanya sampai
40 hari ini.
Dengan standar militer, Jo membentak anak-anak SD itu. Anak-
anak yang kulatih selalu kutakuti untuk kukirim ke posnya kalau tak bisa
menjawab pertanyaanku. Anak-anak itu tampak merengut saat aku
mengancam seperti itu.
Bowie membawakan pengetahuan pramukanya dengan begitu
ceria. Aku baru tahu dia bisa seperti itu. Padahal biasanya dia selalu
menolak meladeni Nur. Malah pernah mengancamnya dengan pisau.
Bowie adalah seniman sejati. Kemampuannya terkubur sebelum
kami punya komputer. Aku mengutak-atik windows explorer dan
menemukan ratusan gambar yang bagus, ditambah foto-foto yang di-
retouch dengan photoshop. Selama ini retoucher photoshop terbaik yang
kukenal adalah Pei –dia adalah pemimpin umum di buletin kampus, juga
sebagai lay-outer paling berbakat. Tapi melihat hasil karya Bowie, aku
yakin dia jauh lebih hebat dari Pei. Mungkin gaya mereka memang
berbeda, Bowie ahlinya gambar karakter manga dan anime Jepang,
sementara Pei lebih bergaya pop art. Di komputer itu ada banyak sekali
karakter diri Bowie yang diubah dalam gaya manga ataupun anime.
Keren pokoknya!
Fo mengajarkan mereka tali temali. Sementara Nunu dan dan
Heni memberikan pelajaran tentang pertolongan pertama dan obat-obatan
tradisional. Iin dan Della mengambil jatah pulang sejak hari kamis dan
akan kembali hari sabtu besok. Ketiadaan Della cukup menyulitkan
karena ada beberapa tanggal dalam sejarah yang perlu kutanyakan
padanya.
12 Setelah sore yang melelahkan dengan melatih anak-anak pramuka,
malamnya ada kejutan yang jauh lebih melelahkan. Awalnya beberapa
pemuda yang kukenal main ke pondokan. Kami menggelar lesehan
dengan suguhan seadanya, sebenarnya suguhannya cuma rokok dan kopi,
20
kombinasi mematikan yang menjadi favorit banyak orang. Awalnya aku
ikut mengobrol bersama mereka. Makin malam makin banyak pemuda
yang datang, beberapa dari mereka datang dengan keadaan mabuk.
Keadaan makin tak terkendali. Mereka menyanyi sambil berteriak,
menggenjreng gitar sekeras mungkin. Entah berapa banyak lagu yang
mereka nyanyikan tanpa diselesaikan. Aku malu pada warga sekitar,
apalagi sama pak Usta yang rumahnya tepat di samping pondokan kami.
Ladies yang tersisa hanya tinggal di kamar, enggan keluar.
Menurutku juga mereka tak perlu keluar. Aku sudah mengantuk berat
sebelum jam sebelas. Aku coba bertahan dengan harapan mereka segera
pulang. Tapi sampai jam dua belas mereka makin menggila. Bahkan
saking khawatirnya aku membawa semua barang pribadiku dan masuk ke
kamar depan.
Aku tahu aku terlalu khawatir. Tapi aku sedang berada di negeri
antah berantah dengan budaya yang samar bagiku. Ditambah lagi mereka
mabuk, tak ada yang tahu apa yang bisa mereka lakukan. Masih mending
aku tak mengusir mereka. Walaupun sebenarnya aku tak berani mengusir
orang sebanyak itu. Dari dalam kamarpun kudengar Fo dan Jo nggak
terlalu banyak omong, padahal mereka yang paling antusias menanggapi
pemuda setempat.
Setelah melewati tengah malam barulah mereka berangsur
menghilang. Aku segera menggelar kasur di ruang tengah. Kamar depan
memang tak cukup untuk dipakai tidur berlima, jadi hanya dipakai untuk
menyimpan pakaian, ruang ganti dan tempat sholat. Selama ini kami tidur
di ruang tengah, menghampar kasur.
Mataku terpejam tapi bayangan-bayangan di otakku masih
berseliweran. Walaupun sulit terlelap, aku tetap memejamkan mata
karena besok harus ke SD.
Anjing menggonggong di luar. Gonggongan yang bersahutan
membuatku menebak ada tiga anjing di luar sana.
“Wahh… aya naon yeuh!” kata Fo.
“Usir aja, Fo!” timpal Jo.
Aku mendengar Fo bangun dan membuka pintu depan. Dia
mengusir anjing-anjing itu.
“Rumah ini emang nggak beres!” kata Bowie tak lama setelah itu.
“Ada yang mengawasi kita.” Ujar Jo.
“Di kamar mandi sama di kamar Ladies tuh!” lanjut Fo.
“Benar tuh di kamar mandi,” tambah Bowie membenarkan,
“Kemarin waktu mandi habis Maghrib ada yang lewat di dapur, padahal
nggak ada siapa-siapa!”
21
Mulai lagi deh… aku tak mau mendengarnya, tapi aku tak bisa
apa-apa. Mataku terpejam tapi tetap mendengarkan ocehan mereka
tentang hantu.
Sejak awal memang Bowie dan Fo selalu merasa ada mahluk
halus di rumah ini. Perkiraan mereka didukung oleh selentingan yang
mengatakan kalau ibunya pak Usta ditemukan meninggal di kamar
mandi.
Jujur saja, aku juga terkadang merinding kalau sendirian di kamar
mandi. Apalagi kalau mau wudhu buat sholat Isya. Tapi ketakutanku
tidak membuatku melihat hal-hal aneh. Aku tak pernah percaya konsep
kebangkitan kembali lagi orang mati ke dunia hanya untuk menakuti
manusia. Katanya Bowie sudah dibuka mata cakranya atau apapun itu
namanya, tapi tanpa mengurangi rasa hormat, aku tak percaya. Entah
kenapa Bowie dan Fo selalu membenarkan cerita itu, Jo juga mulai
mendukungnya, padahal selama aku mandi setelah Maghrib tak ada
apapun di sana.
Keesokan harinya Bowie tak membahas soal hantu lagi dan hanya
berkata,
“Kalau semalam mereka bikin ribut, bisa jadi masing-masing dari
kita melawan delapan sampai sepuluh orang.” Aku tersenyum getir
mendengarnya. Melawan sepuluh orang setempat di mana aku dan teman-
temanku hanya menumpang sementara nampaknya jelas bukan pilihan
yang bijak.
13 Benar saja, besoknya kami kesiangan. Belum lagi aku harus
mencetak file soal-soal untuk Persami. Kalau di kota mungkin itu hanya
masalah kecil yang bisa selesai dalam beberapa menit. Tapi di sini ini
adalah masalah besar. Aku tak tahu dimana rental komputernya.
Aku meminjam motor Fo dan menuju desa Gunung Sembung.
Aku dan Pei berangkat satu motor mencari hal yang nyaris mustahil.
Awalnya kami menuju Subang kota, tapi tak menghasilkan apapun. Kami
menuju Pagaden. Setelah menempuh setengah jarak dari desaku ke
Kecamatan Pagaden, ada rental di pinggir jalan di desa Sukamulya,
tempat KKN Mimi. Gila, harganya seribu perak per lembar!
Aku kembali dengan mata yang sayu karena kantuk. Ketika
sampai di SD ternyata aku harus mencetak lagi beberapa file. Aku dan Jo
berangkat untuk mencetaknya. Sialnya, di tengah jalan Jo menyadarkanku
kalau ada razia yang dilakukan polisi. Aku ingat tak meminta STNK
22
motor yang kutunggangi. Akhirnya aku membelokkan motor ke sebuah
jalan di daerah pesawahan.
“Gimana nih?” kami duduk di sebuah saung kosong pinggir jalan.
“Lo bawa SIM ga?” tanya Jo, gayanya nyaris seperti anak Jakarta
dengan bahasa ‘Lo-Gue’-nya. Anak ini memang berasal dari Pontianak
jadi dia belum bisa memakai bahasa Sunda dengan lancar, sehingga
percakapan dengannya mutlak menggunakan bahasa Indonesia.
“SIM sih bawa tapi tetep aja kalo nggak ada STNK percuma.”
Seorang bapak tua datang dengan menenteng perkakas sawah.
“Punten pak, dupi kaditu aya jalan?” tanyaku padanya.
“Aya, engke kaluarna di Gunung Sari.”
Gunung Sari adalah desa tempat KKN Wahyu.
Kami tak punya pilihan lain. Setelah beberapa diskusi lewat
telepon dengan Fo dan Asep, akhirnya kami kembali ke desa dengan
menyusuri jalan yang tak kuketahui. Kupetakan jalan sesuka hati asal
menuju jalan raya. Beruntung kami bisa kembali. Akhirnya file yang
harusnya kami cetak ditulis tangan dan difotokopi di desa Gunung
Sembung. Bukan solusi pintar tapi setidaknya menyelesaikan masalah.
Saat kukembali ke SD, acara sudah dimulai. Anak-anak berbaris
di lapangan. Persami ini diikuti lima SD, dua dari Gunung Sembung, tiga
dari Sumur Gintung. Datang juga beberapa orang yang tampaknya
penting dengan memakai seragam coklat pramuka. Aku makin lelah.
Karena ini merupakan acara gabungan makanya anak-anak KKN dari
Gunung Sembung juga ikut mengurus acara ini. Dan aku bersyukur
karenanya. Saking lelahnya aku nyaris tak melakukan apapun dalam
acara itu. Bowie menangkapku dalam foto saat aku berdiri melamun
bersandar di tembok sementara yang lainnya sibuk berlalu lalang di
sekitarku. Foto itu menjadi salah satu kenang-kenangan paling menarik
saat KKN. Bowie berhasil menangkap momen ‘sendiri dalam keramaian’
untukku.
14 Kegiatan Persami ternyata menyemaikan benih cinta. Dari
selentingan yang pernah kudengar, KKN bisa bikin orang putus sama
pacarnya. Bagaimana tidak? Selama 40 hari bersama orang yang sama.
Sudah menjadi watak manusia yang terasing dari lingkungannya. Sama
seperti orang yang pergi ke Perancis dan di sana bertemu dengan orang
Indonesia, pasti mereka langsung dekat walaupun ternyata asal daerah
mereka berbeda pulau. Itulah yang terjadi saat KKN. Kalau bertemu di
23
kampus mungkin aku takkan menoleh sedikitpun, tapi di tempat ini
bertemu dengan orang satu almamater nampaknya bagai saudara sendiri.
Dengan cepat kami dan mahasiswa KKN desa Gunung Sembung
akrab layaknya teman lama, bahkan ketika istirahat sholat kami mengajak
mereka ke pondokan. Masing-masing dari kami memang punya kenalan
satu sama lain dengan anak KKN Gunung Sembung, seperti aku dan Pei,
jadilah itu katalis untuk mempercepat persahabatan kami.
Ada satu gadis bernama Reri, teman Pei, kulitnya putih dan kurus,
dia memakai kerudung. Di universitasku, gadis berkerudung bukan hal
yang jarang, malah terlalu banyak. Di tim KKN-ku pun hanya Lala yang
belum memakai kerudung. Reri ini, seperti yang kuperhatikan, orangnya
cerewet, gampang bergaul. Siapapun yang ngaheureuyan pasti
ditanggapinya dengan candaan lagi. Tak pelak beberapa kali aku
menggodanya. Asep setia menemaniku menggodanya.
Saat lomba Sandi (seperti Morse, Semaphore, dan Rumput) aku
lagi-lagi tidak terlibat. Untuk membunuh kantuk yang mendera aku
bercanda dengan Asep dan Reri di bagian belakang. Nah, di situlah benih-
benih cinta bersemai. Persami Bersemi.
15 Persami keesokan harinya, kami tidak terlibat. Ingin sekali
membantu, tapi hanya sekedar membantu, bukan mengerjakannya sendiri
layaknya itu acara kami yang bikin. Pengalaman dari mulai pelatihan
anak-anak SD sampai pelaksanaan seakan kitalah yang punya acara.
Mereka datang dua hari yang lalu meminta kami membantu, tapi fakta di
lapangan justru kamilah yang mengerjakan hampir semuanya.
Aku tak peduli lagi dengan mereka. ini jadwalku untuk pulang. Jo
mengantarku ke terminal. Kebetulan hari minggu ini Jo akan ke gereja. Jo
adalah tipe Kristen yang taat. Diantara teman-teman Muslim di kelompok
KKN, Asep adalah yang paling mendekati kriteria itu.
Jo biasanya bangun paling pagi diantara kami semua. Bahkan dia
selalu berteriak-teriak menyuruh kami bangun untuk sholat. Sekali waktu
aku pernah menantangnya bangun lebih pagi agar kebagian jatah mencuci
pakaian. Aku bangun jam setengah empat, aku lihat Jo sudah tidak ada di
atas kasur. Aku kalah dan tidur lagi.
Setiap sholat subuh, aku mendengar Jo berdoa. Sebelum ini aku
nggak pernah tahu bagaimana orang kristen beribadah, setahuku sih
mereka ke gereja tiap hari minggu. Tapi yang kulihat setiap hari minimal
Jo berdoa tiga kali sehari, yaa … hampir seperti minum obatlah. Ketika
24
aku shalat Subuh di kamar depan, Jo ada di sampingku, membelakangi
arahku shalat dan berdoa seperti bergumam, sementara di sisiku yang lain
Asep berdzikir dengan khusyuk. Entah apa yang terjadi di Palestina-Israel
atau Ambon dan Poso, tapi yang jelas potret hubungan antar umat
beragama yang kualami selama KKN sangat jauh dari kesan sangar.
Kembali ke Bandung berarti kembali ke peradaban yang kukenal.
Menonton televisi dengan bebas, membeli makanan yang tak ditemukan
di Subang –steak– juga menikmati udara yang sejuk. Ternyata benar apa
yang dibilang Nunu ketika kembali dari Bandung ke pondokan,
“Kalau udah di Bandung teh nggak mau balik lagi…” katanya
penuh antusias.
Itulah perasaanku. Seumur hidup aku tinggal di kota yang dijuluki
Parisj Van Java, aku tak pernah tinggal lebih dari sebulan di kota lain.
Tapi aku harus bersiap kembali lagi ke Subang. Terlebih setelah ada sms
dari Fo,
“Pak Ketu,” itu panggilannya untukku, “Cepat balik ke Subang,
aya masalah.”
Aku membalasnya, menanyakan apa yang terjadi tapi dia tak
membalasnya lagi.
Aku kembali dengan motorku. Aku membawanya karena alat
transportasi merupakan alat yang sangat vital saat KKN. Pei mungkin
nggak terlalu penting karena letak pondokan dekat ke jalan utama
sehingga bisa langsung naik angkot untuk ke kantor kecamatan Pagaden
ataupun ke Subang kota. Sementara bagi kami, dua motor sangat
menyulitkan, benar-benar menghambat kinerja kami.
Ketika kembali ke desa aku disuguhi masalah yang pelik. Selama
aku pulang dua hari, Ladies mendata minat anak kelas 6 SD yang akan
melanjutkan ke SMP. Diantara anak-anak dari ketiga sekolah di desa
kami ada satu anak yang minatnya terhambat. Namanya Mega, katanya
dia anak seorang buruh tani miskin yang tak sanggup membiayai
pendidikan anaknya.
Malamnya aku menghampiri pak Usta yang sedang beristirahat di
bale-nya. Aku berbasa-basi mengenai kepulanganku ke Bandung. Pak
Usta juga berbasa-basi tentang balong-balong-nya yang katanya sebentar
lagi akan panen dan mengajak kami ikut ke sana,
“Ameng ka Balong…” katanya dengan logat khasnya.
Aku mengarahkan pembicaraan ke pokok. Kami berkomunikasi
dengan bahasa Sunda yang terpatah-patah diselingi bahasa Indonesia
yang baku. Aku tak bisa berbahasa Sunda halus, sementara bahasa
25
Indonesia pak Usta tidak bagus. Jadilah gado-gado bahasa tersaji dalam
menu percakapan kami.
Aku menjelaskan permasalahannya. Pak Usta manggut-manggut
tanda mengerti gado-gado bahasaku. Kemudian dengan gado-gado
bahasanya, beliau menjelaskan keadaan keluarga Mega. Anak itu berasal
dari pasangan Carli dan Carmi. Pasangan yang serasi, pikirku. Ayahnya
hanya seorang buruh ngepak, buruh tani, pokoknya melakukan semua
pekerjaan yang bisa didapat dari orang kaya di desa ini macam pak Usta.
Penghasilan yang tidak tetap, membuat keluarga itu menikahkan kakak
Mega sewaktu berusia 15 tahun. Pak Usta juga mengatakan kalau
keluarganya selalu mendapat bantuan dari warga desa lainnya dalam hal
finansial.
“Ari bumina dipalih mana, Pak?” tanyaku dengan hati-hati.
“Ada di belakang rumah pak Kades,” inilah yang selalu
membuatku geli. Sementara aku berusaha menyesuaikan bahasaku agar
terdengar tidak asing di telinganya, beliau juga melakukan hal yang sama
kepadaku, “Lamun bade ka rumahnya, ulah wengi, teu aya listrik.”
“Besok siang atuh, Pak…” tawarku.
“Sumuhun atuh.”
Sial! Beliau malah menjawab dengan bahasa Sunda.
16 Pesan pendek dari Wahyu menggetarkan ponsel di saku celanaku
ketika aku menyapu kebun rambutan yang tertutupi daun-daun keringnya.
“Rapat di posko Pagaden.”
Hanya itu yang tertulis di layar ponsel.
Rapat mendadak membuyarkan rencana ke rumah Mega.
Aku meminta maaf pada pak Usta karena mungkin membatalkan
rencana kami. Jam sepulu aku dan Asep berangkat ke Pagaden. Kami
sengaja mampir ke Gunung Sembung agar pergi bersama Pei dan Pagie,
ketua kelompok KKN Gunung Sembung. Di pondokan mereka kami
bertemu dengan Reri lagi.
Rapat itu diadakan mendadak gara-gara kecamatan Pagaden
meminta partisipasi mahasiswa KKN untuk perayaan Agustusan di
kecamatan. Rencananya akan diadakan karnaval pada hari H. Wahyu
meminta pendapat para ketua kelompok untuk mengikutsertakan anggota
kelompok masing-masing dalam penjurian karnaval tersebut.
Aku tahu semuanya sibuk. Kurasa di setiap desa pun akan
menggelar kegiatan perlombaan atau semacamnya untuk memeriahkan
26
hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 ini. Dan aku yakin setiap
kelompok KKN punya agenda sendiri di desa. Tapi toh tiba-tiba
permintaan itu datang. Tentu saja panyak pro-kontra yang menghiasi
rapat ini.
“Karena mereka meminta langsung, saya pikir kita harus
mempertimbangkannya.” Kilah Wahyu untuk menahan kontra dari ketua
Sumbersari, “Itulah makanya kita harus berpartisipasi, walaupun cuma
sedikit.”
Perasaan ‘nggak enak’ memang terlihat jelas. Kita sudah
menumpang, diberi berbagai fasilitas untuk menjalankan tugas, masa kita
menolak permintaan dari yang punya daerah. Memang alasan Wahyu
sangat logis, tapi pendapat-pendapat dari para ketua yang lainpun benar.
Nggak mungkin tiba-tiba mengubah rencana.
Pendapat yang paling logis kudengar dari ketua Cidadap,
“Masalahnya lokasi desa kami ke kecamatan itu sangat jauh, belum lagi
kami nggak punya motor. Masa harus sengaja datang ke kecamatan buat
ikut karnaval. Kami dari Cidadap nggak sanggup mengongkos ke sini
sesering itu.”
Dalam rapat itu nggak banyak yang bisa diambil karena memang
setiap ketua harus berdiskusi dengan para anggotanya sebelum
memutuskan. Dalam rapat itu akupun nggak banyak bicara. Bukannya
nggak mau berpendapat tapi aku malas berdebat seperti pada rapat rutin
pada minggu pertama yang lalu. Waktu itu aku memberikan solusi untuk
para ketua dari desa lain yang memiliki kesulitan untuk memperoleh data.
Waktu itu aku bilang, “Di desa biasanya ada ibu bidan yang
mempunyai data lengkap warga. Yang harus dilakukan cuma tinggal
minta data itu lalu datangi ibu kader di setiap dusun dan konfirmasi
mengenai kebenaran data itu biar up to date…”
Tapi salah satu ketua yang aku lupa dari desa mana menyanggah
dengan alasan keadaan di desanya yang tidak seperti itu. Aku bilang
padanya bahwa setiap desa punya keadaan masing-masing, aku hanya
memberi solusi sesuai dengan apa yang ada di desaku, mungkin saja bisa
digunakan di desa lain. Tapi kemudian dia berkilah lagi. Aku nggak
mendengarkan alasannya lagi. Aku memang bukan manusia yang terbiasa
duduk di forum dan berdebat tentang satu hal –yang sebenarnya nggak
terlalu penting. Apalagi aku hanya menawarkan alternatif solusi, kalau
istilah sunda-nya ditarima heug, teu kajeun!
Rapat mendadak tak menghasilkan apapun. Kami pulang. Siang
itu begitu menyengat. Saat sampai Gunung Sembung, Asep mengajakku
dzuhur di sana. Aku, yang tak tahan dengan teriknya mentari, menurut
27
saja. Lagipula, di sana aku bisa nonton televisi yang merupakan
kemewahan bagiku selama KKN. Setelah sholat, Reri dan temannya yang
kukenal dengan panggilan Ceuceu baru kembali dari sekolah.
Sambil menonton serial Heroes, kami ikut beristirahat di sana.
Aku nggak tahu siapa yang punya DVD bajakan itu, tapi serial itu
memang seperti yang dibicarakan orang-orang, seru. Dalam serial itu ada
orang-orang yang punya keistimewaan. Ada yang bisa terbang, ada yang
tak bisa terluka, ada yang bisa mengeluarkan radiasi nuklir. Bagiku serial
ini nampak seperti X-Men yang dibuat dengan latar belakang dan setting
yang lebih realistis meskipun menampilkan karakter-karakter imajiner.
Cerita seru memang menjadi jaminan serial yang aslinya disiarkan oleh
TV kabel itu, untuk itulah mereka membayar untuk menonton. Hanya
saja, menurutku orang terlalu terlibat secara emosional dengan serial
macam itu. Orang akan sering berkhayal bisa terbang, bisa menghilang.
Aku menangkapnya dari obrolan teman-teman kampusku yang berkata
sambil memperagakan, “Bagusan yang bisa terbang…”, “tapi kayaknya
yang bisa memainkan waktu lebih hebat, jadi bisa bolak-balik ke masa
lalu!”, “Enakan yang bisa punya semua kekuatan itu atuh…” Yah, maaf
bila seperti itulah obrolan mahasiswa harapan bangsa. Berkhayal itu
penting untuk membangun impian tapi kalau khayalannya tentang
kekuatan supranatural, itu cuma buang-buang waktu.
Tak terasa aku tertidur saat menonton Heroes. Ketika bangun, TV
sudah beralih ke acara gosip. Asep baru saja selesai sholat Ashar ketika
aku memutuskan untuk mengajaknya pulang. Asep menyuruhku sholat
dulu.
17 Rapat evaluasi malam itu nggak terlalu banyak yang dibahas.
Hanya tentang sistematika laporan dan pengisian instrumen yang
diberikan dari LPM. Permintaan untuk juri karnaval pun kubicarakan
selewat karena aku tahu mereka nggak terlalu bersemangat
menyambutnya. Dan aku benar, tak ada yang mau ikut dalam penjurian
itu.
Setelah rapat evaluasi, Heni dan Iin berebut komputer dengan Fo.
Mereka ingin duluan main Bounce, game yang sudah kutaklukkan
setahun yang lalu dengan nilai di atas 700 ribu, jadi aku tak terlalu
berminat memainkannya apalagi kalau sampai harus rebutan dulu.
28
Aku melihat Asep duduk di bale depan rumah pak Usta. Aku
menghampirinya. Dia sedang duduk merangkul lututnya sendiri di atas
bale. Aku berbaring di sampingnya. Aku tahu dia duduk sambil sms-an.
“Kumaha nya?” tanyanya padaku yang coba memejamkan mata.
“Apaan?” tanyaku spontan.
“Si Reri.”
Aku bangun dari posisiku. Aku rasa sesuatu yang menarik sedang
terjadi.
“Kenapa Reri?”
Lalu dia bercerita, saat aku tidur di Gunung Sembung tadi dia
saling menukar nomor telepon dengan gadis itu. Sekarang dia sms-an
dengannya. Sejak Persami aku bisa merasakan ketertarikan Reri pada
temanku ini, tapi aku nggak terlalu memedulikannya. Ketika kubilang
cinta bersemi, cinta Reri pada Aseplah yang kumaksud.
Asep adalah pria melankolis yang latar belakangnya belum
kuketahui dengan jelas. Barulah malam ini dia menceritakan kisahnya.
Saking melankolisnya, kisahnya kupikir layak diangkat ke layar sinetron.
Waktu itu Asep sedang ada di Sagalaherang, kampung
halamannya ketika liburan semester. Dia bersama temannya main ke
salah satu SMA di sana. Sekolah itu baru bubaran. Asep melihat gadis
manis berkerudung dan berkacamata yang membuatnya semakin terlihat
intelek. Singkat waktu Asep memberanikan diri untuk berkenalan
dengannya. Namanya Winda, rumahnya di Wanayasa.
Dulu aku pernah ke Sagalaherang, ke rumah Cecep, teman
sekelasku. Dan aku juga pernah berkendara dengan motor ke Danau
Wanayasa, danau yang memiliki sebuah pulau kecil yang rindang. Jalan
menuju Wanayasa sangat jauh, mungkin hampir 15 km dari rumah Cecep.
Setelah kenalan itu Asep dan Winda beberapa kali jalan bareng.
Winda akan segera lulus SMA sementara Asep mahasiswa tingkat tiga,
jarak yang cukup untuk menjalin kasih.
Suatu malam minggu Asep mau berkunjung ke rumah Winda.
Semangatnya sedang berada di puncak. Puncaj gairah untuk
menumpahkan kasih yang memenjara. Di jalan ponselnya berbunyi. Asep
tak kenal nomornya.
“Ya?”
“Ini Asep ya?” tanya dari seberang telepon.
“Iya, ini siapa?”
“Saya Agung, pacarnya Winda.”
Jelas Asep tak bisa menahan emosinya. Maksud kunjungannya ke
rumah Winda adalah untuk menyatakan cintanya. Tapi dengan pengakuan
29
ini, tak mungkin dia meneruskan maksudnya. Dia kembali ke rumahnya
di ujung Sagalaherang demi meredam emosinya.
Keesokan harinya Asep meminta konfirmasi pada Winda.
“Nda, sayang sama Aa Asep, tapi nggak bisa ninggalin Agung.”
Kuketahui dari cerita selanjutnya kalau Agung sudah bekerja
(entah di Purwakarta atau di Karawang, aku tak peduli). Winda tak bisa
memutuskannya karena kasihan. Mendua tak hanya monopoli kaum
Adam, ternyata.
Jawaban itu menggantungkan hubungannya. Sudah kubilang Asep
adalah pria melankolis yang tak tahan melihat perempuan menangis,
apalagi perempuan itu disayanginya. Akhirnya hubungan segitiga itu
berlanjut sampai hari Asep menceritakannya padaku.
“Itulah makanya … setiap saya bertanya dia selalu menangis dan
itu bikin saya nggak tega menanyakannya lagi.” Jawabnya saat
kutanyakan soal ketegasan.
“Tapi tetap aja, kamu harus tegas!” ucapku sok bijak, “Itu
makanya kamu bingung sama Reri?”
Asep mengangguk.
Kutanyakan perasaannya.
Dia menggeleng.
“Kenapa saya?” ucapnya lirih.
“Aku juga menggodanya, tapi senyumnya lebih lebar waktu
mendengar leluconmu.”
Sang cinta sudah bersemi, sang penabur harus menuai.
18 Besoknya, aku dan Pei pergi ke Pagaden untuk memberitahukan
hasil keputusan kelompok. Dalam rapat itu kami ditanya masing-masing
mengenai kesiapan peran serta dalam karnaval.
“Kelompok saya belum siap untuk menyatakan siap,” kata orang
yang dulu pernah berdebat denganku.
Semua kelompok menyatakan ketidaksiapannya sampai tiba
giliranku menjawab.
“Kelompok saya siap,” sudah ada senyum lebar yang terkembang
di ruangan itu, apalagi Wahyu, “untuk menyatakan tidak siap!” lanjutku
dengan nada datar. Derai kekecewaan mengambang lagi. Masalah ini tak
mungkin selesai kalau hanya menanyakan kesiapan masing-masing
kelompok.
30
Secara musyawarah diputuskan bahwa yang akan ikut dalam
penjurian adalah yang desanya dekat dengan kantor kecamatan. Itu berarti
mencakup lima desa, Pagaden, Gunung Sari, Sukamulya, Kamarung, dan
Sumbersari. Menurutku itu cukup adil.
Saat kembali ke pondokan aku langsung terkapar. Iin dan Nunu
sedang mengajar anak-anak kecil yang datang ke pondokan, sementara
yang lain ada yang main game di komputer atau hanya sekedar
menggenjreng gitar. Baru saja aku terpejam beberapa menit, pak Usta
datang ke rumah. Dia menanyakan kapan aku bisa ke rumah Mega. Aku
baru ingat telah membatalkan rencana itu dua kali. Aku merasa malu,
kenapa harus pak Usta yang menagih? Harusnya aku yang memintanya
dengan sopan.
Dengan mata yang masih terpicim dan wajah bengkak karena
panas memicu keringat dan minyak di wajahku membuatnya
mengembang –dalam istilah kimia mengembang disebut swelling. Aku
tersenyum karena itu mengingatkanku pada penelitian yang
kutinggalkan– aku mengikuti langkah pak Usta. Beberapa kali aku
menanyakan pertanyaan nggak penting untuk mengisi perjalananku
menuju rumah Mega. Maklumlah pak Usta bukan tipe orang tua yang
suka berkoar tanpa ditanya.
Rumah Mega sangat sederhana –itupun kalau bisa disebut rumah.
Hanya seukuran kamarku di Bandung dengan teras sekotak kecil di sudut
depan rumah itu. Berbentuk rumah panggung bangunan itu terbuat dari
kayu dan bilik bambu yang sudah kusam. Aku memutuskan untuk
mengobrol di teras saja daripada membuat diri tidak nyaman dengan
berdesakan di dalam ruangan. Di bilik tergantung sebuah lampu minyak
yang sudah karatan.
Desa ini bukanlah desa yang sangat miskin, makanya aku agak
heran melihat penampakan rumah ini. Bahkan desa ini dikenal sebagai
penghasil ikan karambah paling besar se-kecamatan. Setelah mengobrol
tentang keinginan Mega untuk meneruskan sekolah aku tahu bahwa
sebenarnya Mega ingin sekali melanjutkan ke SMP. Persoalan biaya
menjadi alasan utamanya. Aku jadi teringat ucapan Kepala Dinas
Pendidikan sewaktu di Pendopo.
Aku berusaha keras untuk menyamakan frekuensi dengan
berbahasa Sunda. Kalau pak Usta masih terbata-bata bahasa
Indonesianya, ibunya Mega tampaknya tak tahu kalau bahasa Indonesia
itu pernah ada. Di rumah itu aku tak melihat Mega, bahkan aku tak
pernah melihatnya sebelumnya karena aku sangat jarang ke SD, berita
itupun aku tahu dari Ladies. Hanya ibunya yang berbicara denganku,
31
ayahnya ada di situ tapi dia sedang mengotak-atik sepeda motor, entah
punya siapa. Aku juga melihat kakak Mega yang sudah menikah, dilihat
dari tampangnya dia memang masih muda. Aku jadi takut Mega juga
bernasib sama dengannya.
Aku berjanji untuk membicarakannya dengan anggota lainnya
untuk mencari pemecahannya. Dalam hati aku berharap janjiku bukan
janji para pemimpin negeri ini.
19 Malamnya, kami mendiskusikan cara membebaskan Mega dari
masalah. Hanya saja kami tak tahu apa yang harus kami lakukan. Dari
awal aku berpandangan KKN hanya liburan saja, tak pernah terpikir akan
menghadapi hal seperti ini. aku dicekoki cerita-cerita liburan oleh teman-
temanku. Aku kira mereka benar, tapi ternyata salah besar.
Nyaris tak ada pemecahan, Della menyodorkan buku kuning
panduan KKN. Aku pernah jalan dengan gadis jurusan sejarah ini ke kota
untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Waktu itu dia mengaku awalnya tak
berminat mempelajari sejarah. Kemudian dia menjelaskan,
“Dalam laporan KKN nantinya kita harus memasukkan solusi
untuk pemecahan permasalahan pendidikan di desa ini. Di buku ini ada
beberapa pilihan, pembentukan SD-SMP satu atap, program SMP
terbuka atau bahkan membuka SMP baru di daerah ini. Kita hanya perlu
menganalisisnya dan menemukan solusi apa yang pas untuk desa ini.”
Baru kali ini, sejak tiba di desa, aku begitu peduli soal pendidikan.
Dari berita televisi aku tahu kalau masih banyak anak Indonesia yang
tidak sekolah, aku sering melihatnya di jalanan tapi tak pernah
memedulikannya. Hanya merasa miris tapi tak pernah tergerak untuk
membantu.
Anak putus sekolah di desa mungkin lebih baik daripada di kota.
Walaupun keduanya sangat menyedihkan setidaknya di desa mereka
masih bisa bekerja menjadi buruh tani atau ngepak. Tapi keadaannya
akan berbeda dengan di kota. Anak-anak terbengkalai itu akan menjadi
peminta-minta di setiap perempatan jalan seperti Riau-Ahmad Yani,
Soekarno-Hatta-M. Toha dan banyak tempat lainnya. Memang salah
untuk membiarkan mereka tetap di jalanan, tapi mahasiswa berkapasitas
sepertiku tak bisa melakukan banyak hal untuk menolongnya. Memberi
mereka akan menjadi pelajaran moral yang buruk. Kalau bisa mendapat
dari meminta buat apa bekerja? Negeri ini sudah dibangun di atas fondasi
32
peminjaman hutang, mengemis akan menjadi tiang rapuh yang
melemahkan moral bangsa ini.
Bandung bukanlah kantung kemiskinan di Indonesia. Aku tak tahu
apa status itu akan bertahan lama. Dengan cara menyingkirkan mereka
dari jalanan malah menambah masalah.
Belakangan aku melihat salah satu strategi yang jenius dari para
perencana tata kota seperti yang diterapkan di perempatan Merdeka-Aceh
dekat BIP, di sana semuanya disatu-jalurkan, tak ada rambu lampu yang
membuat kendaraan berhenti di perempatan sehingga tak ada kesempatan
untuk pengamen dan pengemis untuk menjalankan profesinya. Solusi itu
sukses, tak ada lagi anak jalanan, pengamen, pengemis yang berpusat di
sana. Tapi kemana mereka? Menyingkir dari jalanan bukan berarti
kehidupan mereka lebih baik, walaupun jelas tinggal di jalanan bukan
yang terbaik untuk mereka.
Mudah untuk memutuskan apa yang baik untuk desa ini. Tapi
tetap saja harus dilakukan analisis terhadap permasalahan ini.
“Besok kita harus bertemu sama kepala sekolahnya.” Ucapku.
“Kayaknya kita perlu ketemu sama kepala dinas!” usul Jo. Aku
tahu maksudnya adalah kepala dinas pendidikan, “Waktu di Pendopo
dulu dia kan bilang banyak bantuan yang bisa dimanfaatkan dari sekolah,
bantuan Gubernur. Nah, kita perlu memastikan sejauh apa bantuan itu
bisa dimanfaatkan untuk masalah ini.”
Aku mengangguk tanda mengerti.
“Kalau begitu besok senin kita temui Kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten!”
Besoknya kami hanya ke sekolah Mega. Hari sabtu menghalangi
rencana kami ke dinas pendidikan. SD Sumur Gintung yang satu lokasi
dengan SD Sindang Sono itu terlihat lebih modern, bangunannya lebih
baik dari sekolah kembarannya. Setalah bertanya-tanya, ternyata
diketahui kalau mereka baru saja mendapat bantuan dana sebanyak 45
juta rupiah yang kemudian digunakan untuk merenovasi sekolah.
Perbincangan dengan kepala sekolah tua itu kemudian menyentuh
permasalahan Mega.
“Setiap tahunnya sekolah ini mendaftarkan semua lulusannya ke
SMP yang mereka inginkan tanpa terkecuali. Hanya saja memang ada
yang tidak memanfaatkannya dengan baik.” Kata kepala sekolah yang
keriputnya sudah tercetak jelas di wajahnya, “Seperti kasus tahun
kemarin, ada anak yang sudah dimasukkan ke SMP Jabong, tapi ternyata
dia nggak masuk terus. Masalahnya biaya transportasi.”
33
Tak ada jaminan yang bisa didapat dari pembicaraan ini. Kami
harus menunggu sampai bertemu pak Doyok.
20 Malamnya, kami diundang ke acara Rajaban di dusun Keresek
Baru. Kami menghadirinya di Balai Dusun yang bersangkutan. Acara ini
ceramah tentang Isra Miraj Rasulullah yang dibawakan oleh seorang
ustadz dari Pamanukan, dekat pantai utara.
Ceramahnya agak kasar. Dia sendiri mengakuinya dengan
berdalih itu sebagai karakter orang yang berasal dari pantai utara. Dia
mengkritik orang yang mendengarkan ceramah sambil makan, dan juga
mengkritik terang-terangan pada panitia yang hanya memberinya waktu
sedikit untuk berceramah dengan sindiran,
“Seperti orang yang datang jauh-jauh ke sebuah undangan masa
hanya dua menit lalu pulang lagi…”
Inti dari ceramah ini mudah ditebak, sesuai dengan perintah yang
didapatkan Rasulullah saat Isra Miraj, ceramah ini juga membicarakan
tentang sholat lima waktu. Aku tak tahan dengan kantuk yang mendera,
sesekali aku tertidur tapi terbangun lagi karena nggak mau ketahuan, tapi
akhirnya aku tertidur lagi dan terus seperti itu sampai acara selesai.
Fo, Bowie dan Jo nggak ikut acara itu. Mereka lebih tertarik pada
konser Naif di Subang Kota. Aku pernah melihat konser mereka, aksi
panggungnya gila, apalagi David, sang vokalis. Mereka berangkat
bersama para pemuda desa naik motor mereka. Sulit untuk melarangnya,
harus ada keseimbangan yang terus dijaga. Hubungan dengan aparat desa
menjadi prioritasku. Asep lebih ke segi kerohanian desa. Ladies dengan
masyarakat sekitar rumah. Sisanya memfokuskan pada sosialisasi dengan
karang taruna dan pemuda desa. Sayangnya berbagai proritas itu seolah
mengkotak-kotakkan kami.
Besoknya, sejak pagi kami sudah diajak ke balong oleh pak Usta
dengan logat khasnya,
“Ameng ka balong…”
Setelah membereskan rumah dan mandi, aku, Heni, Asep, Iin, Fo
dan Nunu beranjak ke balong. Kami membawa kamera untuk
mengabadikan momen-momen yang mungkin didapatkan. Ternyata
balong-balong pak Usta sangat luas. Aku melihat empat petak balong
dengan luas masing-masing sebesar setengah lapangan sepakbola.
Beberapa orang desa menceburkan diri ke dalam balong dan masing-
masing memegang ujung jaring. Kami disambut antusias oleh pak Usta
34
yang berdiri mengawasi jalannya panen. Memang benar, banyak momen
yang bisa kuambil.
Ikan-ikan mas kecil yang berwarna-warni itu berkumpul di satu
tempat. Aku beranjak ke saung di tengah balong dimana Heni dan Nunu
sedang menaburkan parab lauk. Aku mengambil keranjang makanan ikan
dan menaburkannya. Serentak ikan-ikan itu berebutan mengejar
makanannya. Kutaburkan lagi ke beberapa tempat. Ikan-ikan itu bergerak
lagi seperti gumpalan emas kemerahan yang diayun-ayunkan di dalam air
berwarna coklat. Aku memotret keindahan yang jarang kulihat itu dengan
antusias.
Kegiatan orang-orang desa yang menjaring ikanpun kuabadikan.
Mereka berpose malu-malu. Ikan-ikan kecil berukuran dua jari
menggelepar-gelepar di atas jaring. Ikan-ikan itu kemudian dipindahkan
ke jaring di sebelahnya. Ikan-ikan kecil itu dijual ke waduk Jatiluhur di
Purwakarta untuk dibesarkan. Ada raut kebahagiaan di wajah mereka.
Maklum dalam sekali panen, satu balong menghasilkan keuntungan
hampir lima juta rupiah. Kalau musim panas seperti ini harganya lebih
mahal lagi.
Ketika pulang dari balong ada dua undangan, dari dusun Ciwaru
dan dusun Sumur Gintung. Setelah makan malam bersama pak Usta dan
keluarganya kemudian kami lebih memilih perayaan Rajaban di Ciwaru.
Pertimbangannya jelas, kami tinggal di dusun ini dan seperti yang dulu
kualami dengan Della, dusun Sumur Gintung terlalu jauh untuk dicapai
apalagi pada malam hari.
Dalam acara itu kami disambut bak selebritis. Kami ditunggu
untuk memulai acara. Berlebihan!
21 Seminggu berikutnya adalah awal dari perjuangan yang akan kami
tegakkan. Setelah minggu pertama pandangan kami soal KKN berubah
sedikit-demi-sedikit. Awalnya kami bertekad untuk menyelamatkan Mega
dari masa depan yang suram, namun yang kami dapat justru jauh
melebihi harapan kami semua.
Senin pagi, sekitar jam sembilan, aku, Jo, Della dan Nunu
berangkat ke Subang Kota bersama Asep dan Reri. Mereka berdua akan
pulang ke Bandung bersama untuk menyelesaikan registrasi. Selama
seminggu yang lalu Asep bergulat dengan perasaannya sendiri. Setiap
Reri sms, dia bertanya padaku sebelum membalas. Atau kalau tidak ada
aku, maka dia bertanya pada Fo atau Bowie. Semua itu mengarah pada
35
perjodohan mereka. Akhirnya ketika Reri tahu Asep akan ke Bandung
hari ini, maka Reri minta untuk ikut.
Cukup tentang mereka berdua.
Tujuan utama kami ke Subang Kota adalah untuk bertemu dengan
kepala dinas pendidikan. Asep pergi begitu saja ketika kami sampai di
depan gedung itu. Kami masuk ke lobby kemudian menjelaskan maksud
kedatangan kami kepada beberapa petugas yang berlalu-lalang di sana. Di
situlah kami merasa malu berat.
“Maaf, Dik, ini adalah Dinas Pendidikan Kecamatan Subang
Kota.” Kata seorang bapak berkumis tebal.
Mampus, kami saling berpandangan. Sialan si Asep!
Dengan sopan aku meminta maaf dan meminta petunjuk di mana
Dinas Pendidikan Kabupaten berada. Petugas itu menjelaskan pada kami
arah yang harus kami tuju.
Sebelum kami pergi, bapak itu berkata lagi,
“Untuk permasalahan itu, sebaiknya ke Dinas Pendidikan
Kecamatan Pagaden dulu.”
Kami hanya iya-iya saja. Tekad kami untuk bertemu langsung pak
Doyok sudah terlalu berkobar. Lagipula kalau kami harus ke Dinas
Pendidikan Kecamatan Pagaden, berarti kami harus menempuh jalan
yang sangat jauh. Karena sudah terlanjur di Subang Kota maka kami
sepakat untuk menyambanginya dulu.
Di depan kantor dinas pendidikan kabupaten, kami kecele.
Awalnya aku ragu apa yang kulihat itu pak Doyok atau bukan. Setelah
berdebat saling meyakinkan yang malah makin membuat kami ragu, kami
masuk ke kantornya. Di sana kami diberitahu kalau beliau baru saja
berangkat. Sekretarisnya juga tidak tahu kapan beliau akan kembali.
“Tuh kan!” ujar Jo.
“Kita ke dinas kecamatan.” Ucapku lirih.
Udara yang pengap dan teriknya mentari tak menyurutkan tekad
kami. Untuk mencapai dinas pendidikan kecamatan Pagaden berarti kami
harus menempuh dua kali perjalanan menuju pondokan. Itu berarti sekitar
20 km.
Kami buta soal letak dinas pendidikan Pagaden. Jadilah aku dan
teman-temanku ini menuju ke kantor kecamatan untuk menanyakan pada
petugas di sana. Menurut petugas yang kutemui di depan kantor
kecamatan, kantor dinas pendidikan berada di desa Kamarung, di pinggir
jalan sebelum belok ke arah desa Sukamulya.
Kami bergegas. Di sana kami bertemu pak Otoy. Beliau memang
bekerja di sana. Dengan bantuan beliau kami bertemu dengan pejabat
36
PLS (Pendidikan Luar Sekolah). Kepala dinasnya sedang keluar, katanya.
Pejabat PLS itu adalah seorang ibu berkerudung, tubuhnya lumayan
gemuk, namun cukup cantik untuk seumurnya. Gaya semiformal dengan
hiasan bahasa Sunda seakan menjadi keharusan sebagai tanda kesopanan.
Padanya kami bertanya mengenai SMP terbuka yang merupakan
solusi paling memungkinkan untuk Mega. Sebelumnya kami memang
berdiskusi tentang ini dan memutuskan SMP terbuka adalah yang paling
memungkinkan.
“SMP terbuka itu memiliki sekolah induk. Di kecamatan ini ada
dua sekolah induknya, yaitu SMPN 1 dan 2 Pagaden.”
Lokasi SMPN 1 Pagaden Aku tidak tahu, tapi SMPN 2 aku tahu.
Sekitar seminggu yang lalu kami diajak kami berenang ke water boom.
Gaya oge Subang boga water boom… decakku membaca ajakan
Pei melalui sms waktu itu.
Water boom yang lumayan megah untuk ukuran kabupaten
macam Subang. Memang tidak terlalu luas layaknya Water Boom di
Cikarang, tapi cukup untuk membuat kami bersenang-senang. Di sana Jo
diajari berenang oleh Fo dan aku mengikutinya. Setelah belajar berenang
di kolam besar dan dalam, kami pindah ke kolam yang lebih kecil. Kolam
yang dalamnya hanya sepinggangku itu punya dua seluncuran, seluncuran
lurus dan melingkar.
Kami bolak-balik menuruni seluncuran itu sembari difoto oleh
Ceuceu atau Reri. Dua gadis itu ikut walaupun tidak berenang. Mereka
memotret aksi gila kami. Kami berderet di pinggir kolam dan berpose
seperti orang gila. Tak pinggir kolam, kami masuk ke dalam kolam dan
berderet seperti anak kecil bermain kereta-kereta apian. Sungguh waktu
itu kami tak memikirkan orang lain yang ada di sekitar karena memang
tak banyak yang berenang di sana. Peduli amat kalau mereka
menganggap kami orang gila, tak sudi kami balik ke sini lagi.
Belum cukup di dalam kolam, kami naik ke tempat seluncuran. Di
tingkat paling atas anginnya sangat kuat. Rambut gondrongku melambai-
lambai ketika difoto. Water Boom ini terletak di pinggir jalan utama dan
di belakangnya hamparan sawah hijau yang sangat luas. Baru kali ini aku
melihat tempat berenang berada di sekeliling pesawahan yang indah. Dari
atas sana juga aku bisa melihat lokasi SMPN 2 Pagaden. Lokasinya tepat
di seberang jalan. Di plangnya aku juga membaca tulisan SMP Terbuka.
“Jadi konsep dari SMP terbuka itu,” lanjut ibu yang dipanggil
mama Mia oleh rekannya, panggilan itu mengingatkanku pada suatu
acara di TV nasional yang tak pernah kutonton, “tiga hari belajar di desa,
tiga hari belajar di sekolah induk. Ini diperlukan karena fasilitas seperti
37
lapangan olahraga atau komputer yang hanya ada di sekolah. Selain itu
semua perlakuannya sama.”
Pertanyaan kami beralih ke program kejar paket B dan C.
Permasalahan ini juga kami angkat karena ternyata banyak orang desa
yang berminat mengikuti ujian persamaan ini.
“Untuk kejar paket, baik B ataupun C harus menunggu kucuran
dana dari pemerintah kabupaten. Nah, dari dana tersebut akan didirikan
kelompok belajar di satu desa setiap kecamatan. Tapi kalaupun dananya
turun tetap saja tidak bisa didirikan begitu saja.”
“Kalau peminatnya banyak?” Tanya Jo.
“Itu juga menjadi salah satu pertimbangan.” Jawab si ibu, “Kita
harus menganalisis dengan penuh pertimbangan.”
Jadi intinya walaupun di desa Sumur Gintung banyak peminatnya
kalau peminat di desa sekitarnya kurang, maka akan sulit didirikan
kelompok belajar. Aku menangkap kesan tidak mungkin untuk
mendirikan kelompok belajar di Sumur Gintung karena sudah ada
kelompok belajar di desa lain. Dan katanya dana untuk alokasi kejar
paket tidak akan turun setiap tahun.
Peluang untuk kejar paket seakan tertutup. Kami akan
memfokuskan pada solusi SMP terbuka. Untuk itu, tujuan selanjutnya
adalah SMPN 1 Pagaden. Letaknya dekat kantor kecamatan. Kalau ke
kantor kecamatan belok ke kiri dari jalan raya Pagaden, maka SMPN 1
mengambil jalan lurus kemudian belok kanan sebelum pintu lintasan
kereta api.
Terik mentari mencapai di ubun-ubun. Anak-anak bercelana biru
berlarian, berteriak dan berlalu lalang. Beberapa anak perempuan
berbisik-bisik waktu kami memarkirkan motor. Saat istirahat ini banyak
mereka manfaatkan dengan berjalan-jalan di luar sekolah. Aku nggak
tahu apa aturan SMP sudah berubah, atau ini hanya di sini saja, seingatku
waktu aku SMP aku tak bisa berkeliaran seenaknya di luar sekolah.
Setelah menunggu beberapa saat kami diberitahu kalau bu
Nunung, pengelola SMP terbuka, tidak ada di tempat. Katanya beliau
sedang mengikuti penataran di Bandung. Dengan kecewa kami kembali
ke pondokan tanpa menghasilkan apapun seharian ini.
22 Tekad kami terlanjur membumbung. Besoknya, kami meluncur
kembali ke Subang Kota. Kami kembali menelan kekecewaan ketika
38
petugas yang sama menyatakan pak Doyok tak ada di tempat. Kemudian
ketika menuju SMPN 1 Pagaden hasilnya sama juga.
Hari kamis, aku dan Jo masih pantang menyerah menyambangi
kantor dinas pendidikan kabupaten. Lagi-lagi beliau masih sibuk. Petugas
yang kami temui mungkin bosan melihat kami bolak-balik tiap hari, kali
ini memberikan nomor telepon untuk menghubungi kalau-kalau pak
Doyok sudah kembali. Tanpa membuang waktu kami meluncur lagi ke
SMPN 1 Pagaden. Akhirnya kami bisa menemui bu Nunung.
Kami diajak ke sebuah ruangan di dalam gedung sekolah. Kala itu
pelajaran olahraga nampak sedang berjalan. Anak-anak SMP
mengenakan kaus olahraga putih kombinasi biru. Mereka berlari
berkeliling. Lagi-lagi beberapa anak perempuan berbisik-bisik pada
temannya ketika kami lewat.
Aku mencoba menebak-nebak apa yang mereka pikirkan. Melihat
mereka aku jadi bertanya-tanya; apa mereka bercita-cita mengenakan jas
almamater dari sebuah universitas terkenal? Apa mereka sudah
menentukan profesi yang akan mereka geluti nantinya? Apa hanya
sekedar menikah setelah lulus SMP? Hanya menjadi ibu rumah tangga
yang memiliki kemampuan intelektual standar sehingga standar itu juga
yang diterapkan pada anaknya kelak?
Lalu kapan negeri ini bisa maju?
Aku teringat anggota dewan terhormat yang diberi insentif lebih
setiap undang-undang yang mereka sahkan, mobil dinas yang harganya
cukup untuk membiayai semua anak di sekolah ini, tunjangan untuk
renovasi rumah dinas yang mereka sendiri jarang tinggal di dalamnya.
Kemudian pikiranku beralih kepada kebijakan pemerintah yang berbelit-
belit tentang pendidikan, kurikulum yang terus berganti hampir tiga atau
empat tahun sekali, kadang hanya berganti nama tanpa program yang
benar-benar baru. Sekarang kukenal KTSP tapi tiga tahun yang lalu masih
berseragam KBK. Kupikir tanpa kurikulum yang konsisten anak-anak ini
nggak mungkin mengerti tujuan mereka belajar.
Waktu masih bersekolah dulu, kurikulum 1984 berlaku sampai
1994, lalu direvisi dengan kurikulum 1999, aku nyaris tak pernah belajar.
Mungkin memang karena kemampuan otakku yang lambat, tapi tentu saja
kurikulum yang tidak konsisten mempengaruhi kesiapan mental untuk
belajar. Kemampuanku terasa tertinggal dari beberapa temanku yang lain.
Ketika kelas 3 SMP, mengerjakan soal aljabar seperti membakar
kepalaku, begitu juga saat dua tahun pertama di SMA, akhirnya baru di
tahun ketiga SMA aku mengerti cara yang baik untuk menyelesaikan
aljabar. Namun itu sudah terlambat, teman-temanku yang lain sudah
39
menghajar soal-soal diferensial dan integral, sementara aku baru merasa
sukses dengan keberhasilan aljabarku.
Pengalamanku itu mungkin saja berulang pada anak-anak ini. Saat
melihat gelagat pemuda-pemuda di desa Sumur Gintung, aku yakin
mereka berlari sejauh mungkin dari hal-hal yang berhubungan dengan
belajar. Somad dan teman-temannya bergaya terlalu kota, televisi sudah
meracuni mereka. Kupikir mereka tidak tahu gaya topi dimiringkan khas
penyanyi R&B kulit hitam, rambut Mohawk a la David Beckham yang
terlihat konyol di kepala mereka, rantai yang bergelang di pinggang
mereka seperti rantai kapal yang sedang mengangkat sauh, dan ponsel-
ponsel Nokia terbaru mereka membuatku minder dengan ponsel yang
kumiliki. Sejak awal kupikir segala kesederhanaan yang akan kulihat di
desa, tapi aku salah besar.
“Ini punya kalian?” tanya bu Nunung sambil menunjukkan
payung berwarna biru.
Aku dan Jo saling memandang.
“Kemarin ada anak KKN juga kemari, mereka ketinggalan ini.
Tapi yang kemarin memang perempuan. Bukan kalian?”
Apa yang membuatnya berpikir kami mirip perempuan?
Terik mentari Subang memang menyayat. Kurasa beberapa
mahasiswi yang takut kulit putih mulusnya menjadi gelap gulita berusaha
mengurangi intensitas cahaya matahari dengan memakai payung.
Sejujurnya akupun khawatir kulitku yang tidak putih ini semakin
menghitam. Tapi memakai payung jelas tidak ada dalam kartu pilihanku.
Kami meninggalkan urusan payung.
Aku dan Jo mulai bergantian menceritakan maksud kedatangan
kami. Penjelasan bu Nunung hampir sama dengan yang dijelaskan si
mama Mia di dinas pendidikan kecamatan, hanya saja teknisnya lebih
jelas.
“Hak mereka sama. Bahkan yang mendapatkan juara siswa
teladan tahun kemarin berasal dari SMP terbuka.” Kata bu Nunung
dengan kebanggaan yang tersirat dari pipinya yang mulai semerah
kerudungnya, “Kalau ada perlombaan mereka juga akan diikutkan.
Pokoknya semua disamakan.”
“Tapi gengsi bisa berbeda kan?” celoteh Jo.
“Memang ada beberapa anak yang minder, tapi tampaknya itu
bukan masalah. Malah ada anak yang mampu tapi dia tidak bisa masuk ke
SMP reguler, mereka memilih masuk SMP terbuka di sini daripada
masuk swasta.”
40
“Rupanya masuk swasta lebih mengerikan daripada SMP
terbuka.”
Kami terkekeh beberapa saat.
Ponselku bergetar di saku celana sebelah kiri. Aku mematikannya
karena bu Nunung mulai membahas masalah pendaftaran.
“Setiap tahun kami melakukan sosialisasi kepada setiap kepala
sekolah dasar di seluruh kecamatan agar mendaftarkan anak-anak yang
kurang mampu ke SMP terbuka, namun memang siswa di sini masih
kurang. Padahal kalau dilihat ke lapangan, justru masih banyak anak usia
sekolah yang tidak sekolah.”
Masalah budaya. Penjelasan bu Nunung mengingatkanku lagi
pada perkataan pak Doyok di Pendopo. Sudah bukan rahasia bahwa
masih banyak orang tua yang belum menganggap pendidikan sebagai hal
yang penting. Dan kalau sosialisasi yang dikatakan bu Nunung memang
sudah dijalankan berarti budaya ‘pendidikan tidak penting’ memang
harus didobrak dengan kekuatan jutaan panser.
“Lalu pendaftarannya?”
“Kalau saat ini memang sudah terlambat.”
Kami menjelaskan masalah Mega. Aku berkali-kali mematikan
ponsel tanpa melihat siapa yang menghubungi.
“Jadi, kami bisa mendata anak-anak yang berminat, lalu
menyerahkan daftarnya ke sini?” tanyaku sambil mematikan lagi
ponselku.
Bu Nunung menjawab dengan penjelasan yang cukup panjang.
Aku penasaran dengan ponselku yang terus berdering walau sudah
kumatikan berkali-kali. Aku minta izin untuk keluar ruangan. Ponselku
masih berdering saat aku keluar ruangan.
Ternyata pacarku. Ketika kuterima dia memanggil namaku sambil
merengek. Dia memintaku pulang ke Bandung. Draft skripsinya harus
diajukan besok sementara hasil bimbingannya siang ini dengan dosen
banyak yang harus direvisi. Aku bingung. Pulang ke Bandung memang
tak memakan waktu banyak, paling lama satu jam setengah, tapi situasi
menuntut kehadiranku di sini.
Setelah urusan dengan bu Nunung selesai, aku menceritakan soal
pacarku pada Jo. Dengan bijak dia menyuruhku untuk pulang. Lagipula
belum ada yang bisa dilakukan lagi sebelum kami bertemu pak Doyok.
Aku menyetujuinya, tapi aku akan berusaha menemui pak Doyok
sebelum pulang sore ini.
Waktu masih menunjukkan pukul sebelas. Matahari sudah
memanggang sedari tadi. Aku mulai tak memedulikan efeknya pada
41
kulitku. Sinar UV makin memacu enzim tirosinase dalam tubuhku untuk
meningkatkan produksi melanin secara massal yang membuat kulitku
semakin menghitam, tapi yang jelas aku harus membuat sesuatu yang
berarti untuk membayar hitamnya kulitku. Itu yang membuatku, juga
mungkin Jo dan yang lainnya, tetap bertahan menghadapi kondisi alam
yang cukup ‘ekstrem’ ini.
Aku menghubungi petugas dinas pendidikan kabupaten
sesampainya di pondokan Gunung Sembung. Sengaja kami nggak
langsung pulang agar tidak menghabiskan bensin.
Bensin adalah komponen yang paling kami perhatikan. Harga
bensin subsidi adalah momok berbahaya. Sekarang saja dengan harga Rp
4.500 sudah sangat kerepotan karena jarak satu tempat-ke tempat lain di
sini cukup jauh. Kita tahulah betapa pada sektor ini negara kita dalam
krisis. Aku tidak akan terkejut kalau nantinya pemerintah akan
menaikkan harga BBM lagi atau pembatasan bensin bersubsidi.
Kebijakan pemerintah di sektor ini entah kenapa banyak yang mental.
Sebut saja program langit biru, program bahan bakar nabati (BBN) dari
tanaman jarak, dan yang paling baru program konversi minyak ke gas.
Langkah terakhir itu juga masih menuai protes karena masyarakat kita
sudah terlalu tergantung minyak. Gas dengan segala teknologinya
dianggap terlalu sulit dipahami penggunaannya. Belum lagi ada
kekhawatiran meledaknya tabung gas.
Jusuf Kalla sebagai pengusung utama menegaskan kalau tabung
gas aman. Rakyat kita nggak percaya begitu saja. Mereka lebih rela
mengantri berjam-jam untuk minyak tanah ketimbang belajar
menggunakan teknologi baru. Rakyat harus belajar, pemerintah harus
berbenah kalau tidak mau dua dekade setelah ini kita babak belur gara-
gara krisis energi. Aku yakin sekali siapapun pemimpinnya, tak ada yang
akan bisa menghentikan laju harga minyak dunia yang menyebabkan
penaikan harga minyak bersubsidi, apalagi non-subsidi. Oposisi yang
meneriakkan ketidakbecusan pemerintahpun tak mungkin bisa
mengatasinya. Satu-satunya cara adalah dengan berhemat, tapi itupun
tidak cukup. Produksi bahan bakar nabati macam bio-etanol dan bio-fuel
dari minyak jarak perlu dikembangkan lagi untuk mengatasi krisis energi
di masa depan. Entah bagaimana perilaku harga minyak bumi di masa
depan, tapi berhemat adalah suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar!
Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia. Dua
puluh lima persen potensi dunia ada di Indonesia, dan empat puluh
persennya ada di pulau Jawa. Islandia saja memanfaatkan sumber panas
buminya yang jauh lebih sedikit dari Indonesia untuk menyalakan listrik
42
di setiap rumahnya. Kadang kita harus belajar pada negara yang jauh
lebih kecil dari Nusantara ini.
Aku sempat tidur di Gunung Sembung. Sebelum tidur aku melihat
Reri. Aneh karena Asep bilang dia akan kembali ke Subang jumat sore
bareng Reri. Aku tak bertanya apapun pada Reri dan menjelang tidur
lelapku menunggu dzuhur.
23 Ruang kerja kepala dinas mencerminkan kekuasaannya. Dan dia
cukup sinting dengan merokok di ruangan ber-AC. Kombinasi asap rokok
dengan udara AC bereaksi begitu kompleks dan menghasilkan zat yang
sangat berbahaya. Setelah sebatang rokok habis dia tak membiarkan
udara mengkondensasi dirinya sendiri dan membakar batang berikutnya.
Aku yakin ini bukan sekali ini saja. Aku tidak akan terkejut kalau nanti
dia mengidap penyakit berbahaya. Bukannya menyumpahi tapi merokok
adalah kontrak mati dengan berbagai penyakit, minimal jantung atau
kanker.
Tidak merokok telah membatasi pengeluaranku. Seorang teman
dari desa lain mengatakan dia menghabiskan lebih dari separuh dana
KKN untuk rokok. Ternyata isu pembakaran rokok juga diangkat oleh
kepala dinas,
“Mereka yang mengaku miskin itu ternyata suka merokok. Tapi
mereka bilang nggak ada uang untuk transportasi, baju seragam, buku-
buku buat anaknya sekolah. Biasanya mereka menghabiskan satu
bungkus, itu minimal! Kalau diambil harga paling murah sekitar 5000
rupiah per bungkus per hari, anda bisa menghitung sendiri berapa banyak
yang mereka punya yang harusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan
anaknya selama sebulan!”
Entah apa dia ingat atau tidak tiap hisapan rokoknya saat
mengatakan itu. Aku paksakan senyumku terus mengembang.
Ya, rokok memang bukan barang terlarang. Justru itu
menyebabkan perubahan perilaku masyarakat secara umum. Rokok
adalah barang legal sehingga tak ada yang bisa menghentikan aksi para
perokok. Dengan tak ada alasan untuk berhenti, maka dengan mudah
rokok bisa menjangkiti setiap sendi masyarakat. Empat puluh tujuh
persen laki-laki adalah perokok sementara perempuan hanya dua belas
persen saja. Tapi aku yakin data ini sama sekali tidak akurat untuk
sekarang ini.
43
Promosi rokok memang dibatasi. Di iklan produk rokok tak ada
sama sekali orang yang merokok. Iklan rokok di televisi hanya boleh
tayang setelah malam menjelang. Bahkan di Jakarta ada Perda yang
mengatur kebebasan merokok di ruang publik yang hanya menjadi macan
ompong.
Kehebatan para lulusan manajemen pemasaran yang bekerja di
perusahaan rokok memang pantas dibayar mahal. Walaupun dibatasi,
mereka bisa dengan gencar mempromosikan produknya. Satu hal yang
menggelitikku adalah siaran olahraga. Entah bagaimana di negara lain
tapi di Indonesia siaran olahraga, terutama sepakbola, justru banyak
disponsori produk rokok. Sungguh mereka punya selera humor yang
ironis. Dan seperti yang kulihat di desa Sumur Gintung, dan aku yakin
terjadi di banyak desa lainnya, produsen rokok menyalurkan produk
mereka ke desa-desa sebagai syarat untuk meloloskan proposal bantuan
dana untuk peringatan Agustusan. Ironis, miris, dan sungguh tragis.
Dan uniknya, walaupun Amerika Serikat didaulat sebagai negara
bebas, mereka justru lebih ketat dalam urusan ini. Di sana orang yang
bisa membeli rokok adalah orang yang sudah dewasa, sementara di
Indonesia yang adat ketimurannya dianggap masih terjaga, anak kecilpun
bisa membelinya di warung.
Aku membayangkan seorang ayah menyuruh anaknya pergi ke
warung untuk membeli rokok. Kalau imajinasiku boleh dibiarkan lebih
liar, tinggal menunggu waktu sampai si anak membeli rokok bukan hanya
untuk ayahnya, tapi juga untuk dirinya sendiri. Lalu bila imajinasiku
boleh lebih menggila, tak perlu menunggu waktu lama untuk membuat si
anak memperlihatkan rokoknya pada teman-temannya dan mengajak
mereka bergabung. Dalam urusan ini negara kita justru lebih bebas dari
sang adikuasa Paman Sam itu.
Dari yang kupelajari dikuliahan, rokok memiliki 599 bahan aditif.
Celakanya, tak ada satupun dari 599 itu adalah bahan terlarang, semuanya
legal sebagai bahan tambahan makanan yang disetujui dalam daftar FAO
dan WHO. Hanya saja masalahnya bukan bahan-bahan aditif itu.
Masalahnya muncul saat rokok itu dibakar. Berbagai reaksi pembakaran
yang kompleks menghasilkan 4000 senyawa kimia berbahaya yang
memiliki sifat beracun dan karsinogen.
Nah lho…!!!
Nikotin adalah senyawa laknat yang menyebabkan kecanduan. Zat
ini hanya butuh waktu sepuluh detik untuk sampai ke otak dan
mempengaruhi impuls untuk terus menghisap dan menghisap lagi. Jelas
perokok tidak punya kesempatan berpikir untuk berhenti.
44
Sedangkan untuk urusan kanker, ada dua yang bertanggung
jawab, senyawa radioaktif dan non-radioaktif.
Radioaktif yang terkandung dalam rokok adalah Timbal-210 dan
Polonium-210. Timbal-210 akan meluruh menjadi Radium-226,
kemudian menjadi Radon-222. Timbal-210 juga bisa meluruh menjadi
Bismut-210. Peluruhan senyawa-senyawa tadi diikuti oleh pelepasan
sinar alfa, beta ataupun gamma. Nah yang bikin senyawa tadi bersifat
karsinogen adalah pelepasan sinar alfa, beta dan gamma bisa membuat
sel-sel tubuh bermutasi dan menyebabkan kanker.
Proses itu didukung senyawa non-radioaktif yang bernama
benzopiren dan nitrosamine. Keduanya terbentuk setelah pembakaran,
jadi saat rokok masih utuh keduanya tidak pernah eksis. Keduanya bisa
menyebabkan mutasi gen yang berakibat kesalahan penerjemahan pada
replikasi DNA dan membuat tubuh mengembangbiakkan sel kanker.
Kebiasaan merokok juga bisa menyebabkan kemandulan. Hal ini
bisa terjadi karena tembakau mengandung logam kadmiun. Logam
kadmium sangat mirip dengan logam seng (dalam sistem periodik unsur
kimia, kadmium berada tepat di bawah seng yang berarti mereka
memiliki kemiripan sifat. Dalam kuliah kuliah Anorganik 2 aku membuat
kajian tentang pemurnian kadmium, dari situ aku tahu bahwa dalam
setiap logam seng yang diisolasi mengandung setidaknya 2% logam
kadmium dan untuk memurnikannya membutuhkan proses yang amat
sangat panjang sekali). Kadmium bisa saja menggantikan seng pada DNA
polimerase, suatu enzim pada pembentukan sperma. Dengan penggantian
ini kemungkinan produksi sperma akan terganggu atau hasil produksi
nggak seperti seharusnya. Untuk perempuan juga nggak kalah
berbahayanya. Kebiasan merokok pada ibu hamil sangat beresiko tinggi
terjadinya keguguran.
World Health Organization mencatat 560 orang meninggal setiap
harinya gara-gara kebiasaan merokok. Dalam setahun ada 4,9 juta jiwa
melayang. Dan pada abad ke-20 ada satu milyar kematian yang
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Yang paling mengerikan
berdasarkan hasil penelitian Royal College Of Phisycian, Inggris pada
tahun 1971, sebatang rokok dapat memperpendek umur lima menit.
Walaupun aku tidak bisa membantah kematian itu adalah hak prerogatif
Tuhan, tapi data itu tak bisa diabaikan begitu saja.
Belum lagi dampak lingkungan akibat asap rokok. Banyak
industri yang dilarang beroperasi gara-gara menyumbang asap untuk
pemanasan global, tapi asap rokok juga salah satu penyumbang terbesar.
Pemanasan global yang berujung ketidakpastian iklim, mencairnya es
45
kutub, naiknya permukaan laut juga mesti kita sikapi dengan serius.
Pemerintah dan para pejabat dunia bisa membuat regulasi untuk
menghentikan pemanasan global. Tapi aku jelas tak bisa membuat
perubahan sebesar itu. Hal kecil yang bisa kulakukan adalah dengan tidak
merokok.
Kampanye anti-rokok nyaris tak ada yang berhasil, dan aku yakin
kampanyeku ini tak akan membuat perubahan besar.
Urusan rokok beralih ke sejarah pak Doyok ketika dia kuliah di
kampus yang sama denganku.
“Bapak dulu waktu kuliah nggak punya kosan. Bapak tinggal di
Al-Furqon buat tidur dan belajar sambil bekerja. Akhirnya sampai bisa
menyewa kost-an. Jadi intinya bukan kemampuan finansial untuk
membiayai sekolah yang jadi masalah, tapi pemikiran mereka yang
kurang mendukung pentingnya pendidikan!” katanya berapi-api.
Aku mengamini pendapatnya. Aku tahu benar bagaimana urusan
finansial berperan dalam pendidikan. Keluargaku memang tidak
kekurangan tapi pendidikan tinggi adalah suatu kemewahan bagi kami,
mungkin juga bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sebelum pergi KKN sedang musim-musimnya ujian saringan
masuk perguruan tinggi. Setiap universitas pemilik status BHMN tak
menyia-nyiakan kesempatan untuk membuka ujian masuk sendiri,
termasuk universitasku. Ini adalah indikator yang jelas bahwa pendidikan
adalah barang mewah di negeri ini. Bila terus seperti ini aku yakin lulusan
SPMB –yang namanya terus berganti entah kenapa– sepertiku suatu saat
tidak akan dipandang sebagai anak pandai, tapi anak miskin! Bergesernya
persepsi itu akan memunculkan paradigma baru bahwa masuk melalui
saringan khusus lebih bergengsi daripada lulusan SPMB. Dulu waktu aku
lulus SPMB ibuku sangat bahagia. Tapi nanti kurasa lulus SPMB bukan
suatu hal yang hebat lagi.
Kemudian pembicaraan kami menyentuh isu politik.
“Sebenarnya Indonesia belum mampu menyediakan pendidikan
gratis,” kata pak Doyok, “hanya saja di konferensi internasional dituntut
agar semua negara menyediakan pendidikan gratis setidaknya sampai
pendidikan dasar agar posisi di peringkat dunia bisa naik. Makanya
digembor-gemborkanlah ke dunia internasional kalau Indonesia sudah
memberikan pendidikan gratis pada masyarakatnya. Sekolah gratis, buku
gratis, semuanya untuk politik.”
Jujur saja, untuk yang satu ini aku baru tahu. Kupikir pendidikan
dan politik punya garis batas yang tegas layaknya air dan eter dalam
corong pisah pada proses ekstraksi, tapi aku salah.
46
“Sementara masyarakat memahaminya dengan cara yang berbeda,
gratis ya harus gratis semuanya!” lanjutnya, “Tapi sebenarnya tidak bisa
begitu dana BOS itu hanya bantuan…”
Perkataannya berlanjut dan mengingatkanku pada perkataan pak
Otoy ketika mengundang kami kerja bakti di SD Ciung Wanara.
“Sebenarnya bapak lebih senang jadi kepala sekolah.” Katanya
setelah ocehannya tentang politik selesai.
Aku teringat bahwa Asep pernah bilang kalau saat dia sekolah di
SMAN 1 Subang, pak Doyok inilah kepala sekolahnya. Menurut Asep,
pak Doyok memang kepala sekolah yang sangat baik, beliau
menggratiskan anak yang tidak mampu untuk tetap sekolah. Julukan pak
Doyok pun diamininya sebagai julukan yang disetujui walaupun
sebenarnya beliau punya nama yang sangat bagus, pak Makmur. Mungkin
berdasarkan namanya dia ingin memakmurkan anak-anak putus sekolah.
“Jabatan kepala dinas ini sangat berat,” lanjutnya dengan
bersahaja, “Kemarin saja saya baru dipanggil oleh DPRD. Mereka ingin
tahu apa bisa menaikkan tingkat pendidikan di kota Subang ini. Saya
bilang dengan tegas, ‘Bisa!’. Memang berat, tapi saya yakin bisa. Kalian
sudah menghitung nilai APM dan APK di desa kalian?”
Aku mengangguk dan menyebutkan angka pastinya.
“Tapi itu masih kasar, sebenarnya kita harus menggunakan APM
untuk menghitungnya, tapi karena hasilnya sangat kecil, maka nilai APK-
lah yang dipakai.” Katanya lagi.
APK dihitung dengan membagi jumlah siswa pada jenjang
tertentu (SD atau SMP) dengan jumlah penduduk pada kelompok usia
tertentu dan dikali 100%. Sementara APM dihitung berdasarkan jumlah
siswa usia sekolah pada jenjang tertentu dibagi dengan jumlah penduduk
pada usia tertentu dan dikali 100%.
Awalnya aku bingung kenapa persentase APK bisa lebih dari
100%, secara matematis itu sama sekali tidak mungkin. Tapi hasil
pembicaraan ini mencerahkanku.
“Sekarang begini, di kota Bandung persentase APK pasti lebih
besar dari 100%. Ini disebabkan adanya anak-anak dari kabupaten yang
sekolah di kota. Jadi jumlah anak yang sekolah bisa saja melebih anak
usia sekolah yang seharusnya di kota Bandung. Jadilah APK di kota
Bandung bisa lebih dari 100%.” Jelasnya, “dinas pendidikan Jawa Barat
rebutan tuh sama Jakarta. Kata dinas pendidikan Jawa Barat, ‘Itu anak
dari daerah saya!’ tapi kata Jakarta, ‘Tapi mereka sekolah di Jakarta!’. Ini
semua tak bisa dijadikan parameter keberhasilan tingkat pendidikan.”
47
Aku mengagumi penjelasan ini. Ternyata memang ada perbedaan
antara pengalaman dan pembelajaran di kelas.
“Memang berapa orang yang terancam putus sekolah?” tanyanya
mengakhiri curhatnya.
Kami gelagapan menjawabnya. Kami belum punya data pasti.
Saat ini, pada saat yang sama ketika aku dan Jo mengobrol dengan kepala
dinas, teman-temanku berpanas-panas mendatangi orang-orang yang
mungkin ingin sekolah tapi tidak mampu untuk didata. Berpanas ria
seakan menjadi kebiasaan baru bagi kami.
“Sepuluh orang!” jawab Jo tegas, aku tahu dia mencari jumlah
yang cukup banyak untuk membuat kepala dinas percaya kalau memang
dibutuhkan dibangunnya SMP terbuka atau bahkan SMP baru, tapi
jumlah itu cukup sedikit untuk kami bisa mencari sepuluh orang yang
memang putus sekolah. Dia berpikir cepat dan aku menyukai karakternya
yang satu ini.
“Sekarang memang sudah terlambat untuk memasukkan anak ke
sekolah, tapi itu tak ada masalah.” Benar katanya, ini sudah bulan
Agustus sementara kebanyakan sekolah dimulai bulan Juli, “Kalau kalian
menemukan anak yang putus sekolah ditingkatan apapun masukkan
mereka ke sekolah terdekat. Tapi untuk lanjutan tingkat atas, kalian bisa
masukkan ke SMKN 2 Subang. Saya masih punya kewenangan di sana.
Kalian masukkan mereka, kalau ada hambatan dari kepala sekolahnya,
kalian hubungi saya!”
Dimulai pembicaraan inilah kami mulai menuliskan cerita yang
patut dikenang di kabupaten Subang ini.
24 Sebelum pulang ke Bandung aku harus mengantar Jo dulu
kembali ke pondokan. Ladies heran karena aku langsung bersiap-siap
untuk pergi lagi. Mereka ingin melaporkan temuan mereka. Aku
menjelaskan keadaannya dan menyuruh mereka menceritakan harinya
pada Jo, sekalian Jo menceritakan pertemuan kami dengan bu Nunung
dan pak Doyok. Sebelum berangkat aku mengirim sms pada Asep agar
kembali ke sini hari ini.
Perjalanan ke Bandung hanya memakan waktu satu setengah jam.
Namun aku teringat perutku yang belum diisi lagi setelah sarapan tadi
pagi. Saat kembali ke pondokan tadi Ladies belum menyediakan makanan
karena mereka juga baru kembali. Lagipula kalaupun ada makanan aku
48
tak sempat untuk memakannya. Aku ingin sampai di Bandung sebelum
gelap.
Aku menjemput pacarku di kampus. Sambil mendengarkan
rengekannya kami langsung menuju ke rumahnya. Di perjalanan aku
memutuskan untuk makan dulu untuk mengisi kekosongan dan mendesak
angin yang tampaknya sudah begitu terakumulasi di dalam perutku. Sore
menjelang Maghrib itu makanan kami cukup istimewa. Aku memesan
udang asam manis dan pacarku meminta cumi bakar.
Begitu sampai, kami langsung menyalakan komputer dan
membagi tugas. Ternyata revisiannya cukup banyak. Aku menangani
kesalahan ketik dan penempatan teks. Sementara dia membetulkan
konsep dan mengolah hasil penelitiannya dengan statistik yang rumit.
Walaupun sama-sama kimia tapi aku kurang memiliki pengetahuan untuk
menangani konsep kependidikan. Materinya tentang pembelajaran
kontekstualpun hanya kukuasai sedikit sekali.
Ketika mengerjakannya perutku bereaksi tak enak. Sangat terasa
ada menyodok-nyodok di ujung kerongkonganku. Aku minum Tolak
Angin, andalanku saat masuk angin, tapi itu tidak berguna. Lewat tengah
malam aku tak bisa menahan lagi. Alam membereskan perbedaan tekanan
udara dengan menyeimbangkannya. Malam itu aku keluarkan semua yang
sudah kumakan sore tadi. Setelah kukeluarkan semua aku jadi sangat
lemah. Minum teh tak cukup membantu mengganti cairan tubuhku. Mau
mencari makanan sudah terlalu larut.
Pagi-pagi kami berangkat ke kampus. Mencetak ulang draft dan
berhasil menyerahkannya sebelum jumatan.
Sekembalinya ke posko aku dihujani laporan mengenai anak-anak
putus sekolah.
“Namanya Heri, dia DO pas SMP, “ Ucap Lala, “dulu pas mau
lulus dia malah keluar dan masuk pesantren. Sekarang bakal susah kalau
memaksakan dia masuk SMK padahal dia pengen banget sekolah”
Selanjutnya laporan dari Della,
“Ada dua anak namanya Dadan dan Didin, mereka tamat SD dan
sudah putus sekolah setahun. Dadan tuh merasa dirinya nakal dan nggak
pantas melanjutkan ke SMP. Sementara Didin alasannya klasik, soal
biaya. Kita sudah memotivasi mereka tapi kayaknya susah. Mungkin Pak
Ketu sama Jo atau Fo bisa motivasi mereka lagi.”
Aku hanya mengangguk, aku terlalu lelah untuk langsung
menindaklanjutinya.
49
25 Esok harinya kami sepakat untuk membagi tugas lagi. Aku dan Jo
mendatangi SMPN Cidadap dan SMKN 2. Sementara yang lain
mempersiapkan pertemuan untuk hari selasa, pertemuan yang kami
harapkan untuk menggerakkan masyarakat agar lebih peduli pada
pendidikan anaknya.
Kami menuju sekolah-sekolah itu untuk mengkonfirmasi kesiapan
sekolah untuk menerima murid baru. Kepala SMPN Cidadap tidak
keberatan bila ada anak yang masuk lagi. Tentunya berbekal rekomendasi
dari kepala dinas.
SMKN 2 agak sulit ditemukan. Kami lewat Cidahu karena
menurut orang-orang yang kami tanyai lebih dekat dari situ. Bodohnya,
kami malah melewatkan sekolah itu dan berputar ke Subang Kota.
Ternyata kami tertawa sendiri ketika menemukannya. Letak sekolah itu
ada di jalan menuju Purwakarta. Seharusnya dari Cidahu kami langsung
belok kanan, bukan ke kiri. Dari pertigaan itu hanya berjarak sekitar 300
meter. Perjalanan kami nampak tidak berguna, tapi aku menikmatinya.
Di jalan masuk kami bertemu seorang guru yang gempal dan
gelap. Nampaknya ibu itu bukan sekedar guru yang mengajar di kelas.
Kami menanyakan ruang kepala sekolah.
“Kepala sekolah sedang rapat, baru saja mulai.” Katanya dengan
senyum.
Kami menunggu sambil melihat motor Kanzen yang dipajang, ada
dua motor; satu bergaya motor bebek, yang satu lagi bergaya trail. Papan-
papan yang berdiri di sekeliling kami memberitahu tentang kegiatan yang
dilakukan jurusan masing-masing. Kuhitung ada jurusan otomotif yang
menyuplai beberapa komponen kelistrikan motor Kanzen, perikanan,
pelayaran yang memiliki program pelayaran ke Jepang, tata boga, analis
kimia, pariwisata dan beberapa lagi. Ini benar-benar sekolah kejuruan
yang serius nampaknya.
Kami bertanya-tanya lagi dimana kami bisa mendapatkan
informasi tentang setiap jurusan yang ada di sekolah ini. Kami harus
menemui bapak anu, ibu itu, bapak ini. Setelah dipingpong ke beberapa
orang akhirnya kami harus menemui ibu Merry yang ternyata adalah ibu
yang kami temui pertama kali tadi. Bodohnya!
“Akhirnya ke sini juga…” candanya.
Walaupun tak bisa kubilang menarik, bu Merry ini sangat baik.
Kami menjelaskan maksud kedatangan kami.
50
“Ohh… jadi pak Makmur yang menyuruh, bilang sama dia di
belakang rumah saya masih banyak anak-anak putus sekolah!” kata-
katanya serius tapi nadanya bergurau, kami ikut terkekeh bersamanya.
Menurutnya sekolah ini memiliki dua program, kelas reguler dan
kelas mandiri. Kelas reguler adalah kelas biasa dimana si anak bersekolah
membayar seperti biasa. Sedangkan kelas mandiri tidak membayar,
mereka boleh memakai seragam yang ditentukan ataupun tidak. Hanya
saja untuk kelas mandiri tidak semua jurusan menyediakannya. Hanya
beberapa seperti otomotif, perikanan, pariwisata dan tata boga. Sekolah
mereka akan berorientasi produksi. Jadi lebih banyak praktek ketimbang
belajar di kelas. Hasil produksi mereka akan dijual dan keuntungan yang
didapatkan dialokasikan untuk membiayai sekolah mereka sendiri.
“Kalau transportasi gimana bu?” tanyaku setelah penjelasannya
selesai, “Soalnya orang tua lebih mengkhawatirkan biaya transportasi
daripada biaya sekolah itu sendiri.”
“Di sini ada asrama, tapi sedang direnovasi. Kemungkinan beres
pas bulan puasa dan akan mulai digunakan setelah lebaran.”
Itu menjelaskan keberadaan tumpukan pasir, batu bata dan karung
semen di tempat yang kami lewati ketika kami dipingpong.
Bu Merry minta ijin keluar sebentar. Kemudian datang seorang
bapak berkumis ke ruangan itu. Dia menanyakan siapa kami. Aku dan Jo
bergantian menjawab pertanyaannya dengan mengulangi penjelasan pada
bu Merry tadi. Si bapak itu nampak antusias mendengarnya.
“Kalian pasti tahu kan inti dari belajar itu bukan berarti masuk
kelas dan mendengarkan guru saja. Belajar itu bisa dimana saja,” katanya
berapi-api, “Kami saja memakai media radio untuk pembelajaran,” aku
agak tercengang mendengarnya, “jadi siswa cuma butuh radio, saat
mereka di sawah atau di balong mereka bisa belajar dengan mendengar
radio saja.”
Setelah mengobrol lebih jauh kuketahui kalau beliau adalah
kepala sekolah jauh, masih cabang dari sekolah ini juga. Dia bekerja di
desa Cibinong yang entah aku tak tahu dimana tempatnya. Seorang bapak
lain lewat dan menyapa kami. Si bapak yang mengobrol dengan kami
memberitahu bahwa yang tadi lewat adalah kepala sekolah jauh juga. Aku
baru tahu konsep sekolah yang seperti ini. Sepertinya KKN ini memang
berguna, setidaknya untukku.
Malam harinya rasa jenuh menyergap. Biasanya malam minggu di
Bandung dihiasi segala kemeriahan metropolitan. Kadang aku muak
dengan hingar-bingar Bandung, tapi jujur saja kali ini aku rindu
keramaiannya.
51
“Ke kota yuuk!!!” Usul Fo.
Kami menyetujuinya, bahkan Ladies yang tersisa meminta ikut.
Della pulang, sementara Lala dijemput pacarnya.
Armada kami cukup. Aku membonceng Heni. Jo duet bareng
Bowie. Asep dengan Iin. Dan Nunu dibonceng Fo.
Malam minggu di Subang Kota layaknya malam minggu di Dago
ketika aku masih SMA. Suasananya sangat padat dan ramai membuat
kami sulit mencari tempat parkir. Di depan Wisma Karya dibuat seperti
kafe pinggir jalan. Banyak atraksi yang dihadirkan di sana mulai dari
mengamen sampai skate-board. Orang banyak terkonsentrasi di lapangan
depan Pendopo. Kami berhenti mencari tempat makan. Suasana ini benar-
benar menghidupkan fantasiku tentang malam minggu yang sebenarnya.
26 Tantangan berikutnya menyampaikan informasi yang kudapat
pada ketua kelompok yang lain. Kesempatannya pada rapat rutin hari
minggu. Kali ini Heni memaksa ikut karena ingin bertemu dengan
temannya di Pagaden sekaligus pulangnya langsung ke pasar untuk
belanja mingguan. Sementara empat Ladies lainnya menindaklanjuti ke
anak putus sekolah lainnya Mella dan Vini.
Heni paling jarang berkumpul saat persiapan KKN, selalu saja
berhalangan. Gadis cantik dengan jadwal bekerja yang tidak pasti, dan
hanya punya waktu sedikit untuk aktifitas kampus, hampir bisa
dipastikan gadis itu bekerja di McDonald. Aku tahu karena pernah
bekerja di perusahaan Amerika itu, familiar dengan kebiasaan kerjanya.
Dia sudah lama bekerja di sana, pasti sudah mahir melakukan segalanya.
Selama KKN Heni mengurusi keuangan kami. Tak ada pilihan,
secara keilmuan dia memang memiliki kompetensi paling sesuai. Dengan
program studi manajemen perkantoran pada Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial, dia sering mengeluh tentang masa depannya.
Bagaimana tidak, program studi manajemen tapi setelah lulus gelarnya
sarjana pendidikan. Jelas menjadi masalah saat mencari kerja.
Hampir mirip denganku, program studi kimia tapi dibawah
naungan jurusan pendidikan kimia. Berdasarkan pengalaman para alumni,
gelar sarjana sains kami akan dipertanyakan di industri ketika melamar
pekerjaan. Satu pertanyaan yang sering diajukan industri; bagaimana
mungkin sebuah universitas pendidikan menghasilkan sarjana sains?
Polemik ini pernah bergulir begitu deras. Jurusan sampai
mengadakan acara dengar pendapat bersama para alumni, para dosen,
52
perwakilan senat dan aku bersama teman-temanku yang hampir lulus.
Pada akhir acara disepakati beberapa usaha untuk lebih memperkenalkan
lulusan non-kependidikan UPI ke industri. Saat ini usaha-usaha itu sudah
berjalan, walaupun hasilnya belum terlihat, tapi aku yakin ini semua akan
berhasil. Kupikir bukan hanya jurusan saja yang harus mengusahakannya,
kami para mahasiswa dan para alumni pun harus ikut terlibat. Kalaupun
harus menjelaskan berulang-ulang apa itu UPI, mungkin memang harus
begitu caranya. Program studi ini memiliki fasilitas memadai untuk
proses pembelajaran seorang peneliti. Tapi yah, memang segalanya butuh
proses.
Ya, segalanya memang butuh proses. Bahkan ketika aku
memaparkan hasil pertemuanku dengan kepala dinas, tak sedikit yang
mencemooh atau tidak memperhatikan. Agak khawatir juga sih Wahyu
menganggapku menyerobot kewenangannya. Tapi untungnya dia tidak
begitu. Dia bahkan memuji usaha kelompok kami yang berinisiatif
mendatangi kantor dinas.
Program kerja kami sebenarnya hanya mendata anak usia sekolah
dan menyimpulkan angka pendidikan di desa kami. Hanya sebatas itu! Itu
terlalu sederhana. Petugas kelurahan rendah bisa melakukannya. Justru
malah aku merasa mahasiswa KKN dimanfaatkan terlebih oleh guru.
Kami memang diminta ikut membantu proses belajar mengajar di
sekolah. Tapi banyak guru yang justru melimpahkan tugasnya pada kami,
alasannya rapatlah, atau apalah!
“Akhh…mumpung ada anak KKN…” mungkin seperti itu pikiran
mereka.
Padahal sebelum kami datang, walaupun ada rapat atau tugas lain
mereka masih bisa menjalankan tugasnya. Tapi kok sekarang malah tugas
itu dilimpahkan semuanya? Bukannya tidak ridho, tapi kurasa itu terlalu
sederhana. Tak ada sesuatu yang bisa ditinggalkan di sana.
Pada rapat minggu pertama ada anak KKN dari desa lain bertanya
program konkrit apa yang bisa dilakukan untuk orang-orang desa. Inilah
yang kelompok kami tawarkan. Agak terlambat sih karena waktu kami
tinggal dua minggu lagi, tapi ketimbang nggak sama sekali? Hanya
meninggalkan kesan bersenang-senang, liburan dan akhirnya program
KKN tidak bermanfaat besar bagi kita sendiri atau orang-orang desa.
Hanya sedikit yang merespon pemaparan tentang hasil pembicaraan
dengan kepala dinas. Tapi aku tidak bisa bergantung pada respon mereka,
apapun tanggapan mereka program kami akan tetap berjalan.
Setelah pertemuan itu aku dan Heni belanja di pasar Subang.
Acara belanja yang cukup melelahkan. Aku hanya mengikutinya saja dan
53
membawakan barang belanjaan tapi udara panas membuat segalanya
terasa tidak nyaman.
Diperjalanan pulang Heni mengeluh sakit kepala. Aku ingat hari
ini dia puasa. Ladies sering memaksakan puasa untuk menekan
pengeluaran, tapi imbasnya seringkali nggak ada makanan untuk makan
siang. Kami para pria sering mengeluh karenanya. Aku mempercepat laju
motorku agar dia bisa lebih cepat beristirahat. Aku mengoceh tentang
detoksifikasi alami yang dialami oleh orang yang berpuasa, tapi kurasa
dia tidak mendengarkanku.
Sesampainya di pondokan aku baru tahu ada undangan bermain
sepakbola di desa Pagaden lawan pemuda desa sana. Dari kelompokku
hanya Fo yang akan bermain, yang lain hanya ikut mendukung. Setelah
kupastikan Ladies akan baik-baik saja, aku memutuskan ikut bersama
mereka.
Pada pertandingan itu kami diwakili oleh para mahasiswa jurusan
keolahragaan dan teknik. Lapangannya ada di belakang pondokan
mahasiswa KKN Pagaden setelah melewati rel kereta. Di sana aku
bertemu banyak mahasiswa lain, laki-laki maupun perempuan.
Beberapa hari sebelumnya Fo juga mewakili kelompok kami
bermain di daerah Pamanukan. Dia mengaku masih cedera, tapi katanya
dia masih mampu. Fo berasal dari Banjar, perbatasan Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Dia bisa berbicara bahasa Jawa dan sering
mempraktekkannya. Dia ingin menjadi polisi. Jadi kemungkinan besar
setelah lulus dia akan mendaftar di akademi kepolisian.
Aku tidak menonton penuh karena rasa laparku mendera. Aku
mengajak Pei mengganjal kekosongan perutku. Saat kembali ke lapangan,
roti yang kubeli langsung ludes. Tak lama, Jo mengajakku mencari
makan. Dia juga kelaparan karena Ladies lagi-lagi tak menyediakan
makan siang. Aku bisa menahan rasa laparku, tapi Jo? Dia tak bisa.
Walaupun tubuhnya kurus tapi nafsu makannya gila-gilaan. Dia, Fo dan
Bowie adalah gerombolan si Berat di kelompokku dalam urusan makan.
Mereka memelihara naga di dalam perutnya. Akhirnya kami menemukan
warung bakso di depan kantor kecamatan.
“Tuh cewek-cewek pada nggak mau masak sekarang!” keluhnya
sambil menghabiskan baksonya.
Selama beberapa hari ini kami memang kelaparan. Makan paling
hanya sarapan dan makan malam. Malah aku pernah memasak sarapan
karena Ladies puasa. Sebenarnya aku tidak terlalu
mempermasalahkannya. Tapi aku tak heran kalau gerombolan si Berat
kami mengeluhkannya.
54
Sepulangnya dari pertandingan Iin dan Nunu melaporkan bahwa
usahanya untuk membujuk Mella dan Vini agar mau bersekolah lagi
menemui kegagalan. Ibu mereka berdua sedang ada di Arab, jadi TKW,
dan katanya akan pulang tahun depan. Mereka mau menunggu ibu
masing-masing untuk melanjutkan ke SMA.
27 Kami jadi terbiasa kerja mulai hari senin, akhir pekan libur total.
Mirip karyawan. Agenda pertama minggu ini adalah menemui Dani,
seorang anak putus sekolah yang pernah sekolah di SMK swasta jurusan
perhotelan. Dia berhenti karena keluarganya tidak sanggup membayar
biaya PKL sebesar satu juta rupiah. Terbukti lagi pendidikan adalah
barang mewah di negeri ini.
Untuk hidup sehari-hari Dani mengisi waktu dengan menganyam
rotan. Pekerjaan ini memang tampak populer di dusun Panyingkiran,
Keresek Tua dan Babakan Kamarung. Setiap lewat dusun-dusun tadi aku
selalu melihat beberapa orang menangani anyaman kursi atau meja. Dari
informasi yang kudengar ada sebuah perusahaan yang memberikan bahan
mentah rotan untuk dianyam. Seminggu kemudian kursi atau meja rotan
jadi diambil. Mereka punya penghasilan sampai 300 ribu seminggunya,
walau tidak pasti.
Awalnya kupikir itu rotan betulan, ternyata bukan. Saat
mengobrol dengan seorang penganyam kulihat dari dekat ternyata bukan
rotan, hanya serat polimer yang berbentuk sangat mirip dengan serat
rotan. Dengan warna hitam atau coklat, orang akan percaya itu rotan
kalau dilihat dari jauh.
“Bapak mah sekarang gimana Dani, kalau Dani mau sekolah
sebisa mungkin bapak akan biayai.” Kata Ayahnya ketika kami
menawarinya sekolah di kelas mandiri. Ayahnya adalah seorang pegawai
pos keliling yang penghasilannya hanya 500 ribu sebulan.
Setelah beberapa diskusi dan doktrin mengancam dari Jo dan Fo,
dia tetap bergeming. Dia ingin kembali ke sekolah perhotelannya yang
dulu.
“Kami tak punya apa-apa lagi selain SMKN 2 yang mau
menerima murid baru di kelas mandiri.” Kataku final.
Aku tak boleh membuang waktu dengan membujuknya. Ada anak
lain yang harus kami temui. Namanya Zezen, dia sudah berumur tujuh
tahun tapi belum masuk SD. Aku mendapatkan Informasinya dari Iin dan
Lala. Ibu Zezen jadi TKW dan sudah lama tidak pulang. Sementara
55
ayahnya menikah lagi dan terkesan tidak mau mengurusnya. Sekarang dia
dan Riki, kakaknya, tinggal besama neneknya. Riki sudah bersekolah
kelas empat di SD Sumur Gintung. Neneknya tidak sanggup
menyekolahkan keduanya, dan Zezen menjadi korbannya.
Baru kali ini aku ke rumahnya. Bowie pernah ke rumahnya
bersama Nunu beberapa hari yang lalu ketika menemukan kejanggalan
data dalam daftar anak usia sekolah yang kami susun. Rumahnya …
bagaimana aku menjelaskannya … kalau kandang domba bisa disebut
rumah, maka rumah Zezen harus kusebut kandang dombanya. Aku
menyerah mencari analogi lain yang lebih pantas.
Kami berpikiran bahwa anak ini perlu bantuan penuh. Sementara
Jo, Bowie dan Fo berbicara dengan neneknya, aku mencoba
menghubungi kepala dinas. Setelah berkali-kali menghubungi aku
diberitahu kalau pak Doyok sedang menjadi saksi penikahan dan tak bisa
diganggu sampai besok. Aku mendengus sambil coba menenangkan diri.
“Ok, kalian urus Dani,” kataku pada Jo dan Fo.
Aku dan Bowie mengurus surat keterangan tidak mampu dari
kepala dusun Babakan Kamarung. Kami pulang ke pondokan dan
mengambil formulir isian yang sebelumnya sudah dicetak dan dikopi. Di
pondokan hanya ada Heni dan Lala. Asep dan Nunu sedang memfotokopi
undangan pertemuan yang akan diadakan besok. Sementara Della dan Iin
ada jadwal mengajar di SD.
Aku dan Bowie membawa Zezen menemui kepala SD Sumur
Gintung. Dari pembicaraan kami, beliau sangat senang kami membawa
Zezen. Sebenarnya beliau malu karena ada anak usia SD yang tidak
sekolah. Tapi itu bisa terjadi dimanapun terutama di sebuah negeri yang
belum memandang pendidikan sebagai komponen penting pembangunan
bangsa. Alokasi 20% APBN untuk pendidikan masih menjadi bunga tidur
yang terlalu sempurna untuk terjadi di dunia nyata.
Kami tidak membawa Zezen kembali ke rumahnya, tapi ke
pondokan. Ada baiknya juga rupanya, Ladies mau memasak untuk
memberi makan Zezen sehingga kamipun kebagian makan siang hari itu.
Sore harinya kami membagikan undangan ke setiap kepala dusun,
perangkat desa dan ibu kader. Tapi sebelumnya Lala mengeluh,
“Pak Kades rada marah karena harus menandatangani surat segini
banyak. Harusnya katanya ditanda tangan lalu fotokopi dan baru dicap.”
Kurang ajar… kayak yang dia tahu saja sejauh apa jarak yang
harus Asep tempuh untuk mencetak dan memfotokopi undangan. Manja
banget sih… Bukannya untuk itu dia dibayar.
56
“Satu hal lagi,” kata Asep, “Besok saudara pak Kades menikah di
Cirebon, jadi pada kepala dusun dan perangkat desa akan pergi ke sana
untuk menghadirinya. Kemungkinan nggak banyak yang datang soalnya
sekitar seratus orang akan pergi pakai dua bus.”
Aku tersenyum mengejek. Memangnya saudara pak Kades peduli
apa kalau semua kepala dusun dan perangkat desa hadir di
pernikahannya?!! Ini yang aku benci dari konsep resepsi pernikahan di
negeri ini!
“Bagikan saja…” perintahku, “Kita lihat saja, aku akan buktikan
tak ada yang peduli pendidikan di sini, kecuali kita…” lanjutku
bergumam, aku tidak yakin yang lain mendengarnya.
28 Rapat evaluasi malam, Bowie mengatakan sesuatu yang masuk
akal,
“Zezen harus diberi perlengkapan sekolah, kalau tidak dia bisa
minder dan buntutnya nggak mau sekolah. Itu bahaya!”
Hei, kita punya pendapat professional dari calon psikolog. Hanya
masalahnya siapa yang akan membelikan perlengkapan itu dan dana apa
yang bisa dialokasikan untuk itu. Aku berdiskusi dengan Heni sebagai
pemegang kekuasaan keuangan.
“Kita bisa sisihkan, tapi seterusnya kita harus berhemat.” Katanya
setelah menghitung-hitung. Aku membantunya menghitung ulang. Dulu
dia pernah membuat sedikit salah perhitungan ketika memberikan laporan
pengeluaran mingguan. Hampir saja aku memarahinya, tapi dia minta
maaf sambil merengek hampir menangis.
“Tapi kita bisa berhemat kan?” tanyaku.
“Itu mah tergantung kamu,” katanya merengut.
“Kok aku?”
“Kamu kan ketuanya.” Jawabnya lagi.
Aku berpaling pada yang lain, “Ada yang keberatan?”
“Kita sudah berhemat selama ini. Satu setengah minggu lagi
rasanya nggak ada masalah.” Tanggap Lala.
“Belikan saja dia tas dan baju yang bagus!” ucap Fo.
Jadilah, keesokan harinya aku dan Della mengajak Zezen ke
Subang Kota. Sementara Asep dan Iin membeli makanan untuk konsumsi
pertemuan sore nanti.
Entah karena caraku menjalankan motor atau hanya sekedar cuaca
panas yang membuat Zezen memuntahkan isi perutnya ketika kami
57
berhenti sejenak mencari untuk mencari tempat parkir. Beruntung saat itu
dia sudah turun dari motor dengan Della. Yang pasti Jo langsung
berinisiatif membeli obat cacingan saat kumemberitahunya.
Berkali-kali aku tersenyum geli sendiri ketika mengantarnya
membeli perlengkapan sekolah. Aku berasa menjadi orang tua yang
mengantar anaknya sendiri. Kami membeli seragam dan tas baru, juga
membeli alat tulis. Della yang mengurusi semua pembelian itu, aku hanya
–sekali lagi– membawakan barang belanjaan.
Sepulang berbelanja kami membawa Zezen ke pondokan. Lagi-
lagi cara ini berhasil untuk membuat Ladies memasak untuk makan siang.
Pertimbangan utamanya bukan agar kami semua bisa makan siang tapi
karena nampaknya Zezen memang perlu makan. Penampilannya yang
kurus kering dengan kulit gelap membuatnya semakin mirip kerangka
manusia berbalut kulit.
Sore harinya sesuai jadwal pertemuan digelar. Hanya ada empat
orang yang datang, dua ibu dan dua bapak. Salah satu bapak yang datang
adalah kepala SD Sindang Sono. Beliau sangat malu karena kami
menemukan anak usia sekolah yang tidak sekolah, padahal tak ada biaya
yang akan dipungut untuk masuk sekolah, gratis. Selain itu beliau juga
memberi masukan bahwa ada seorang gadis pintar yang tidak
melanjutkan ke SMP karena kakeknya tidak mengizinkannya. Orang tua
gadis itu tidak tinggal bersamanya dan kakeknya adalah seorang
paranormal. Beliau menunjukkan rumah yang sering dikunjungi banyak
orang.
Acara itu sebenarnya digelar dengan mengedepankan pentingnya
pendidikan. Namun, apapun yang kami katakan rasanya memang tidak
efektif karena orang yang datangpun bukan sasaran utama yang kami
tuju. Bapak lainnya hanya seorang polisi, jelas dia bukan target favorit
kami untuk mendapatkan informasi seperti ini. Bahkan beliau meminta
keluar duluan karena ada keperluan lagi.
Salah satu ibu yang datang adalah ibunya Dadan. Setelah acara
selesai sang ibu menjelaskan mengapa Dadan tidak sekolah. Dadan
memang begundal, waktu SD dia membuat masalah. Semenjak itu
kakeknya tidak mempercayainya lagi sehingga tidak diijinkan untuk
sekolah lagi. Padahal keluarga mereka tidak tergolong miskin walaupun
bukan orang kaya. Ayah Dadan meninggal ketika mereka masih tinggal di
Jakarta lima tahun yang lalu. Sejak saat itu mereka tinggal di desa ini.
Mungkin perbedaan suasana yang begitu drastis membuat mental Dadan
yang masih kecil tidak memadai untuk mengimbanginya.
Hanya seperti itu acara yang kami gelar.
58
Kami menyudahinya tanpa meninggalkan kesan apapun. Acara ini
benar-benar gagal total, berantakan. Kami pulang ke pondokan sebelum
Maghrib.
Sesampainya di rumah Jo mengamuk!
“Ngomong yang bener, La!” teriaknya pada Lala, “Tadi lo bilang
mo traktir, mana? Jangan asal ngomong!”
Kami memang sering bercanda seperti ini. Kali ini pun ada kesan
bercanda dari Jo tapi kelewatan. Dia mengejar Lala ke dapur, mengitari
teras ke belakang rumah. Sampai-sampai Della dan Nunu berusaha
menghentikannya.
“Jo, udah, nggak lucu!” timpal Della disela-sela bentakan Jo.
Kami para pria membiarkannya. Pak Usta dan anaknya yang
pertama beserta beberapa tetangga kaget melihatnya.
“Ahh…teu nanaon, Pa,” kataku pada pak Usta, “Heureuy
hungkul.” Kataku berusaha menutupi rasa maluku karena Jo berteriak-
teriak seperti orang kesetanan.
Aku tahu Jo hanya bercanda. Dia mungkin kesal karena acara tadi
tidak berlangsung seperti yang kita inginkan. Pelampiasan yang
berbahaya karena kalau sampai pacarnya Lala tahu pasti akan ada
pertengkaran hebat.
29 Setelah sholat subuh aku langsung mandi. Hari ini pacarku sidang.
Tadinya aku mau ke Bandung kemarin, tapi sudah terlalu sore sehingga
aku menundanya sampai hari ini. Lagipula sidang pacarku jam sepuluh
dan Pei juga ingin ke Bandung. Jam enam kurang aku sudah sampai di
posko Gunung Sembung. Dan seperti yang kuduga, Pei baru bangun.
Beruntung korelasi antara waktu dan apa yang Pei lakukan di kamar
mandi untuk membersihkan tubuhnya tidak lepas kendali.
Perjalanan bersama Pei selalu membuat jantung berdebar lebih
kencang. Aku harus secepat mungkin untuk mengimbangi lesatan Jupiter
MX-nya. Kami akan pulang ke rumah masing-masing setelah menonton
sidang, jadi harus membawa motor sendiri-sendiri.
Tak ada yang menarik ketika sidang berlangsung. Aku bisa
merasakan ketegangan yang mengambang begitu aku masuk
laboratorium. Mereka, para peserta sidang begitu gugup dan kelihatan
seperti orang linglung. Rekan penelitianku juga begitu.
59
“Uji tariknya nggak jadi.” Katanya ketika kubertanya
penelitiannya, “asetilasi kemarin gagal. Kata bu Galuh kamu yang
lakukan uji tarik.”
Aku mengangguk, hanya sekedar sedikit menenangkannya
menjelang sidang. Hal itu bukan hanya berarti aku harus mengulang
semua penelitian, tapi pekerjaanku juga bertambah. Tapi aku yakin ada
manfaatnya, agar aku lebih banyak membaca buku tentang karakterisasi
material, misalnya.
Ketegangan sidang nggak berarti apa-apa dibandingkan saat
pengumuman. Peserta sidang hanya sedikit sehingga siangnya sudah bisa
diketahui hasilnya. Ketegangan membuncah ketika sebuah nama disebut
kemudian kelulusannya beserta nilai yudisiumnya. Pacarku lulus dengan
yudisium sangat memuaskan. Segala kesusahan menjelang sidang
terbayar sudah.
Besoknya aku kembali ke Subang agak siang, sementara Pei pagi-
pagi sekali karena ada yang perlu dikerjakannya di sana. Aku tidak
menggeber motorku secepat kemarin, tak ada alasan untuk itu, lagipula
menikmati pemandangan pegunungan di pagi hari menjelang siang
bukanlah pilihan yang buruk.
Ketika mencapai tugu pertigaan Jalan Cagak, lalu lintas mulai
memadat. Ada peringatan untuk mengambil jalan ke kiri bagi yang mau
ke Subang Kota, tapi aku tetap mengambil ke kanan, jalur konvensional
yang biasa kulalui. Ketika melewati pasar aku mulai menyesali pilihanku.
Lalu lintas seakan membeku. Sulit sekali mencari ruang untuk bergerak.
Walau begitu aku mencoba mengikuti permainan jalan ini.
Sedikit ke depan tampak jelas apa yang sedang terjadi. Sebuah
parade massal, karnaval untuk menyambut Agustusan. Ini pertama
kalinya aku melihat langsung. Di daerah tradisi ini rupanya masih sangat
kental. Setiap desa membawa hasil buminya masing-masing, semua
kendaraan dihias dengan bunga-bungaan. Makin ke depan makin riuh,
suara musik gamelan terus mengalun mengiringi para penari yang
berjaipong sambil berjalan.
Tiba di tugu Nanas lalu lintas makin sulit bergerak. Kalau sejak
tadi aku bisa terus merayap, sekarang aku harus menyingkir ke tepian.
Jalan menuju Subang tak mungkin dilalui saking padatnya parade. Aku
diarahkan ke jalan satunya, seorang hansip meyakinkanku bahwa ada
jalan menuju Subang. Aku juga yakin ada jalan menuju Subang tapi aku
buta arah di jalan ini.
Aku berhenti dan menelepon Asep,
60
“Itu mah jalan ke Sumedang!” teriaknya karena suara riuh rendah
menggema di sekelilingku, “Balik lagi ke Sagalaherang. Di depan SMAN
1 ada belokan. Masuk ke sana!”
“Dimana nih?”
“Di Mekarwangi.”
“Mekarwangi?” setahuku itu desa yang cukup jauh dari Sumur
Gintung.
“Nganter Heri…”
Aku sudahi teleponnya.
Menuruti saran Asep berarti melawan arus. Mengikuti saja cukup
sulit apalagi harus melawannya. Tapi aku menurutinya, setidaknya jalan
ke Sagalaherang cukup kukenal karena aku pernah melaluinya beberapa
kali ketika ke rumah Cecep, teman sekelasku.
Terik mentari mulai menjalar ketika aku melewati jalanan padat
itu. Begitu masuk ke jalan menuju Sagalaherang, aku bisa menghirup
udara segar. Aku berjalan pelan agar tak melewatkan SMAN 1. Ternyata
pemandangan melalui jalan itu sangat luar biasa. Pesawahan terbentang
begitu luas, sengkedannya membuatku berdecak kagum.
Di setiap persimpangan yang kutemui aku bertanya. Ketika
melewati pemukiman aku mencium baru yang kukenal. Samar-samar bau
cengkeh kucium. Bau ini cukup akrab di hidungku karena semester
kemarin ketika mulai masuk laboratorium riset ada kakak tingkatku yang
memakai minyak cengkeh sebagai objek penelitiannya. Minyak cengkeh
itu digunakan sebagai bio-aditif untuk minyak solar. Tujuan penelitiannya
agar bisa menghemat penggunaan solar. Aku tidak tahu pasti bagaimana
hasilnya, tapi yang jelas temanku sekarang ada yang mengkaji
aplikasinya langsung pada mesin diesel.
Ternyata benar, bunga cengkeh yang masih hijau sedang dijemur
di halaman rumah. Aku baru menyadari bahwa bunga cengkeh itu
berwarna hijau atau kemerahan. Sebelumnya aku hanya tahu cengkeh
berwarna coklat yang menghiasi kue nastar lebaran.
30 “Masalah Heri ini susah banget.” Kata Lala sedikit berbisik
karena Heri sedang mengobrol di luar dengan Asep, “Dia tuh dulu
sekolah di Madrasah Ibtidaiyah. Tapi pas mau ujian malah keluar,
katanya sih pindah ke pesantren salafiyah. Mereka mengira dia pindah ke
SMP lain. Dia nggak punya ijazah SMP. Kita nggak mungkin minta
ijazah kayak kasus Iwan. Minta ujianpun nggak mungkin.”
61
“Satu-satunya cara Paket B?”
Lala mengangguk. Ini terbentur masalah lagi. Sejak awal program
Kejar Paket agak sulit dilakukan.
Setelah laporan Lala selesai, aku bergabung dengan Asep dan
Heri.
“Sekarang mah cuma ngepak.” Kata Heri ketika kutanya
kesibukannya sekarang, “tapi nggak punya balong, dulu punya tapi dijual
gara-gara bapak sakit. Padahal biaya operasi cuma lima juta, tapi sampai
jual balong.”
Dia lalu menjelaskan bahwa uang hasil penjualan balong
menguap begitu saja, tak berbekas.
“Dulu disuruh bapak pindah ke pesantren salafiyah.” Jawabnya
ketika kutanya tentang sekolahnya.
Tak lama setelah Heri pulang Jo, Fo dan Bowie datang. Mereka
membawa berita yang bertolak belakang dengan tim pertama, berita
kesuksesan.
“Iwan dan Rina sudah diterima,” ujar Fo, “tapi baru sekedar
gentleman agreement.” Keren kali bahasanya! Dalam transfer pemain
sepakbola istilah itu cukup populer, mengingat dia mahasiswa jurusan
keolahragaan nggak heran dia tahu istilah itu, “Nanti kita datang lagi
dengan orang tuanya sekaligus tes kesehatan buat pendaftaran secara
administratif.”
“Tapi tadi pas ngambil ijazah,” timpal Bowie. Rina dan Iwan agak
terbentur masalah karena ijazahnya belum diambil, “mereka dimintai
uang. Untung kita lihat. Kata mereka sih, ‘anak yang mau melanjutkan
harus membayar biaya administrasi.’ Kita bilang, ‘Kita yang masukkan
mereka ke SMK, jadi nggak perlu bayar!’ dan mereka nggak jadi bayar.”
Membayar biaya administrasi ke sekolah baru memang wajar.
Tapi aku baru tahu kalau sekarang anak yang mau melanjutkan harus
bayar biaya administrasi ke sekolah sebelumnya. Entah ini benar sesuai
peraturan atau hanya sekedar permainan. Tapi aku yakin perbuatan
teman-temanku itu benar.
“Jo, gimana si Zezen kemarin?” tanyaku.
“Lancar, nggak ada masalah. Zezen sama neneknya kelihatan
seneng banget. Tuh ada fotonya di komputer!” katanya.
Aku beranjak ke depan komputer, memaksa Heni menghentikan
dulu MagicBall-nya, permainan yang kudapat dari laptop Pei beberapa
hari yang lalu. Permainan ini sudah menggeser Bounce dari daftar
permainan favorit kami selain Counter-Strike dan Ragnarok Offline.
“Gimana sidang cewek lo?” Tanya Jo lagi.
62
Aku hanya mengacungkan jempolku sambil mencari-cari foto
Zezen yang memakai seragam sekolahnya.
31 Dimanapun, perlombaan Agustusan selalu menarik. Lomba-lomba
klasik macam balap karung, balap makan kerupuk dan balap sendok
kelereng selalu bisa menyajikan momen yang bisa dikenang. Dusun
Ciwaru menyelenggarakannya dengan cukup heboh. Sayangnya,
perlombaan macam ini dilakukan per dusun tidak satu desa langsung.
Padahal ini momen yang bagus untuk lebih saling mengenal, apalagi
waktu kami hanya tinggal sepuluh hari lagi.
Perlombaan yang melibatkan satu desa hanya tercakup oleh
kejuaraan sepakbola. Sorenya final antara dusun Ciwaru vs dusun
Keresek Baru digelar di lapangan sebelah kantor desa. Pohon besar di
sana menjadi tempat favorit untuk berkumpul, lain halnya kalau malam
hari, menjadi momok yang menakutkan.
Sejak awal Fo dibujuk untuk menjadi wasit. Dia tidak mau.
Pilihan yang bijak, menurutku, mengingat kejuaraan tarkam selalu
menyajikan sesuatu yang lebih seru daripada sepakbola itu sendiri. Desa
inipun tidak termasuk dalam daftar pengecualian.
Awalnya pertandingan berlangsung seru. Kedua tim menyerang
silih berganti. Ada satu orang yang menonjol dari Keresek Baru, si nomor
10.
“Eta saha urang tara ningali?” tanyaku pada Somad.
Dengan gayanya yang terburu-buru dia menjelaskan kalau dia
pemain dari Purwakarta. Dia coba menjelaskan dengan susah payah jenis
pemain yang kusebut sebagai pemain profesional.
Kedua tim saling mencetak gol. Keresek Baru lebih unggul
dengan skor 2-1.
Silih ejek antar suporter tak terelakkan lagi, bahkan ini justru yang
membuat pertandingan ini makin menarik. Silih ejek naik level menjadi
saling lempar botol. Dan akhirnya tarkam diakhiri dengan tradisi tawuran
setelah Usep terlihat menangis begitu emosional
Sebelum tawuran memuncak aku sudah menyuruh Ladies pulang.
Sementara, aku sibuk mengabadikan momen pamuncak ini. Pak kades
turun tangan untuk menghentikannya dibantu pak sekdes. Para tokoh desa
ikut menenangkan massa. Tawuran itupun berhenti tanpa mengakibatkan
orang terluka.
63
“Sebenernya Ciwaru udah menerima kekalahan mereka.” Kata Fo
ketika kami sudah selamat sampai di pondokan, “yang bikin masalah ada
anak Kerbar yang ngomong, ‘Anjing, Ciwaru mah eweuh nanaonan!!!’
sekarang anaknya lagi dicari.”
“Trus ngapain si Usep sampai nangis?” Tanya Jo.
Itu juga yang mau kutanyakan kenapa dalam sebuah tawuran laki-
laki yang lebih tua dariku sampai menangis untuk sesuatu yang anarkis
bukan melankolis? Bukannya dia harusnya bertarung sampai mati
mempertahankan timnya? Sebodoh apapun alasan yang diajukan untuk
tetap bertarung!
“Yah…si Usep teh dulunya tinggal di Kerbar. Dia merasa
berperan besar untuk sepakbola Kerbar, tapi tadi ada yang menghinanya.”
Inilah yang terjadi ketika emosi dibiarkan terlibat dalam sebuah
kompetisi. Tapi kompetisi tanpa emosi akan basi, kan?
32 Hari berlibur tiba juga. Setelah hanya mengandai-andai dan
mencemburui liburan kelompok KKN lainnya akhirnya kami berlibur
juga. Kelompok KKN lain banyak yang berlibur ke pantai utara,
Pamanukan dan Pondok Bali. Kami menolak semua opsi berlibur ke
pantai utara. Di sini sudah cukup panas, kami butuh liburan yang
menyejukkan.
Pilihannya adalah Curug Cijalu. Apalagi kami punya tuan rumah
yang baik. Letak Cijalu di Sagalaherang, kampungnya Asep. Sejak
malam kemarin kami sudah menyiapkan perbekalan. Pagi harinya kami
langsung berangkat. Empat motor. Aku dan Della. Asep dan Iin. Fo dan
Heni. Jo dan Bowie. Sementara Nunu dan Lala menunggu kekasih hati
masing-masing yang sengaja diundang untuk mengatasi kendala
transportasi.
Perjalanan sangat menyenangkan kecuali dibagian harus menyalip
sebuah truk buah-buahan. Kami harus berjuang ekstra keras untuk
menyalipnya. Truk itu tampak tak mau mengalah. Kami semua seperti
kesetanan menjalankan motornya. Heni, Iin dan Della berteriak-teriak
histeris ketika kami beraksi. Berasa tolol juga sih kalau ingat itu.
Jalan menuju Sagalaherang cukup kukenal. Pesawahan bertingkat-
tingkat, rupanya di sini belum waktunya panen. Sementara di Sumur
Gintung sudah hampir semuanya panen. Kalau dulu hamparan hijau
kekuningan yang menyejukkan sekarang yang terlihat di desa kami
64
adalah tumpukan jerami dengan bekas bakaran di tengahnya dan tanah
kering yang pecah-pecah.
Suasana selanjutnya, pemukiman yang cukup padat. Beberapa
truk pengangkut sayuran melintas berlawanan. Mobil berhias
menggantungkan plang nama sebuah desa dan bak terbukanya berisikan
tumpukan hasil bumi. Rupanya karnaval masih berlangsung di sini. Lalu,
hamparan kebun teh kembali menyejukkan mata. Udarapun mulai
bersahabat dengan kami. Aku masih mengenali jalan yang kulalui karena
dulu pernah melaluinya ketika menuju ke danau Wanayasa.
“Curugnya di sana!” kata Asep setelah menepikan kendaraannya.
Kami masih berada di pinggir jalan dekat kebun teh sementara
arah yang ditunjuk Asep sangat jauh. Samar-samar aku melihat air terjun
di sudut pegunungan yang berada di seberang jauh kami berada.
Ok, ini namanya liburan! Kataku dalam hati sebelum kembali
melajukan motorku.
Perjalanan yang kami tempuh memang seperti yang ditunjukkan
Asep, sangat jauh dan menanjak. Dan satu hal yang menjengkelkanku
adalah permukaan jalan yang rusak. Kami harus berhati-hati, apalagi ada
beberapa bagian yang tergenang air, ada yang berbatu-batu. Rasanya
motor bebekku tiba-tiba berubah menjadi motor trail.
Kami tinggalkan motor di pemukiman terakhir. Jalan yang sulit
membuat kami harus berjalan. Namun perjalanan itu seakan terbayar
dengan sendirinya. Pemandangan saat kami membunuh jarak dengan
berjalan sangat luar biasa. Kebun teh yang melandai dan meninggi
disambung oleh perbukitan yang hijau perawan. Awan yang bergerak
nampak seperti gumpalan asap yang tertiup angin seakan bukan
kondensasi titik-titik air yang solid.
“Beautiful…” gumamku mengagumi keagungan ilahi yang
berwujud lanskap menakjubkan ini.
“Makasih.”
Aku melirik ke sebelah. Heni di sana nyengir. Aku tersenyum
mengejek padanya. Dia membalas senyumanku dengan artian mengejek
juga.
Tak lama kemudian kami masuk area wisata. Panas mentari mulai
menyengat. Pemanasan global dan lubang ozon memang sudah parah
mendera bumi ini. Sebenarnya ini nggak perlu terjadi karena
pembentukan ozon itu berlangsung secara berkesetimbangan –ozon akan
terurai kemudian membentuk ozon lagi, mirip seperti proses daur ulang,
walaupun tidak persis seperti itu– melalui reaksi Chapman. Aksi CFC
dan kawan-kawannya membuat reaksi itu terganggu dan melubangi ozon.
65
Pelubangan ozon tidak terjadi begitu saja. CFC dan kawan-kawan
membutuhkan waktu lima tahun untuk mencapai stratosfer dan akan
bertahan sampai 150 tahun ke depan. Jadi sebenarnya ketika kita tahu
ozon berlubang, itu sudah terlambat. Tapi lebih baik terlambat.
Sebenarnya CFC adalah senyawa yang sangat stabil. Ada kondisi
tertentu yang membuatnya terurai. Kondisi pertama adalah pembentukan
vorteks polar yaitu pusaran yang bisa mengisolasi udara di dalamnya.
Vorteks polar itu akan bergabung membentuk Polar Stratospheric Cloud
(PSC) atau sering disebut Mother of Pearl yang suhunya bisa mencapai -
80°C. Di sinilah proses penguraian CFC menjadi klor yang aktif.
Klor aktif itu nggak begitu saja menyerang ozon. Kondisi lainnya
yang nggak kalah penting adalah adanya gelombang ultraviolet dari sinar
matahari. Dalam reaksi Chapman, gelombang UV berperan mengurai
ozon ke dalam bentuk radikalnya yang kemudian akan bereaksi lagi
menjadi ozon (O3). Tapi dengan adanya klor aktif, begitu ozon terurai
oleh gelombang UV dia langsung diserang oleh klor sehingga tidak
menjadi ozon lagi. Dan satu atom klor bisa melahap 100.000 molekul
ozon. Bayangkan berapa banyak limpahan atom klor di stratosfer
sekarang?
Kondisi lainnya yang bisa mendukung adalah adanya CO2. Isu
lingkungan yang paling santer saat ini adalah tentang pemanasan global.
Dalam hal ini CO2 adalah senyawa yang paling bertanggung jawab. CO2
yang berkumpul di udara akan memberikan efek rumah kaca. Sinar
inframerah yang dikirim oleh sinar matahari terhalang oleh CO2 sehingga
tidak dipantulkan lagi ke luar angkasa. Inilah yang membuat bumi kita
semakin memanas, es kutub meleleh dan permukaan air laut naik.
Rupanya bukan cuma itu dampaknya. Penghalangan oleh CO2
bukan hanya sinar inframerah yang keluar tapi juga yang masuk sehingga
suhu di stratosfer makin dingin. Ini berarti makin banyak peluang
terbentuknya Mother of Pearl.
Amerika Serikat sudah menghentikan pemakaian CFC sejak tahun
90’an. Indonesia berencana menghentikannya pada tahun 2010. Aku
nggak tahu apa akan mengalami perpanjangan seperti program Wajar
Dikdas atau bisa tepat waktu sehingga nantinya cuaca tidak lebih panas
lagi dari sekarang.
Masuk area wisata, kami berjalan lagi dan masih menanjak. Aku
menantang Asep untuk berlari menuju air terjun yang sudah terlihat. Di
sini suasananya masih asri. Bahkan di beberapa tempat dijadikan tempat
berkemah. Aku jadi teringat saat-saat berkemah dulu.
66
Air terjunnya luar biasa. Jatuh dari ketinggian kemudian
memercik dengan deras sehingga butiran air mendifraksikan cahaya,
memberikan warna-warna aslinya dan membentuk pelangi di sekitar air
terjun. Kami tidak menyia-nyiakannya dan langsung berenang. Airnya
segar, panas yang terasa segera hilang.
33 Tak lama kemudian Nunu dan pacarnya tiba. Pacarnya ikut
bergabung dengan kami menceburkan diri di cekungan hasil deburan air.
Pacar Nunu adalah kakak tingkat Asep, dia sering jauh-jauh berangkat
dari Bandung hanya untuk mengantar Nunu, kisah kasih yang manis
bukan?
Sementara Nunu bergabung dengan Ladies lain yang berfoto-foto.
Mereka juga memoto aksi kami memecah gelombang. Makin siang makin
banyak orang berdatangan. Banyak diantaranya para siswa SMA lokal.
Beberapa diantaranya masuk berenang bersama kekasihnya. Juga ada
suami istri campuran, ayahnya orang timur tengah sementara istrinya
orang Indonesia. Melihat anak-anak dari keluarga campuran selalu
menarik. Seolah mempertegas apa yang difirmankan Allah dalam Quran.
Ada juga anak-anak KKN dari Sagalaherang, salah satunya kukenal
sebagai kakak tingkatku yang sering mengulang.
Kelelahan mendera ketika waktu berlalu dan matahari meninggi.
Kami ingin sekali segera membantai perbekalan tapi Lala dan pacarnya
belum datang juga. Kami menunggu sembari menonton orang berenang
atau bercakap-cakap dengan orang Korea. Ya, orang-orang negeri ginseng
ini bisa berbahasa Indonesia, namun aku dan Bowie memilih untuk
berkomunikasi dengan bahasa Inggris untuk menekan kesombongan
mereka.
Lala datang, makan menjelang. Rasa lapar dibunuh dengan nasi
kepal yang harum dan lauk-pauk tradisional macam tempe kacang,
perkedel, telur dadar dan pastinya sambal buatan Iin yang luar biasa.
Sungguh nikmat, apalagi ditambah penutup berupa semangka yang
diberikan oleh orang-orang Korea tadi.
Waktu menjelang sore ketika kami memutuskan meninggalkan
curug. Aku bertemu dengan beberapa teman sekampusku. Mereka bukan
anak KKN, kebanyakan dari mereka ikut sidang dengan pacarku kemarin.
Mereka hanya berlibur sepertiku.
Pemandangan yang sama belum beranjak dari tempatnya, bahkan
semakin indah karena posisi miring dari matahari membuat segalanya
67
menguning seperti kilauan emas. Kami lelah tapi senang. Aku berpikir
untuk kembali ke sini bersama teman-teman sekelasku nanti.
Pulangnya kami menuju rumah Asep kecuali Lala dan Nunu
bersama pacar masing-masing. Begitu keluar dari jalan ke curug, kami
langsung masuk ke jalan di seberangnya. Kami langsung bertemu dengan
turunan yang curam dan berbatu. Aku nggak tahu apa motorku bisa
memanjatnya ketika pulang nanti. Jalanan yang ditempuh berkelok-kelok
berhias sengkedan sawah yang menakjubkan dan untaian sungai dengan
airnya yang mengalir bening, cocok seperti nama tempatnya,
Sagalaherang (dalam bahasa Indonesia berarti ‘segalanya bening’).
“Kirain di sini…” ucap Della di belakangku.
Aku juga sama tertipunya. Aku pikir rumahnya ada di kampung
yang kami lewati tadi. Sebenarnya sudah dua kali aku tertipu. Ternyata
rumah Asep sangat jauh. Setelah perkampungan keempat yang dilewati
kami bertemu dengan padang rumput yang melandai dan meninggi. Jalan
yang kami lewati berada di tepian gunung yang membentuk jurang yang
melandai ingin membentuk lembah. Dari situ aku bisa melihat bukit yang
dilatarbelakangi perbukitan, lalu dilatarbelakangi gunung yang juga
dilatarbelakangi pegunungan. Sejauh mata memandang pegunungan
seolah tak ada habisnya. Walaupun lelah, aku takjub melihatnya. Padang
rumput itu sangat sepi, sejauh dua kilometer kami tak menemukan
pemukiman. Jalannya memang tegas memanjang tapi kami harus meliuk-
liuk melewatinya karena rusak di banyak tempat.
Akhirnya kami bertemu dengan perkampungan lagi. Tapi lagi-lagi
bukan itu akhir tujuan kami. Setelah melewati dua perkampungan lagi
barulah Asep mengisyaratkan kami untuk berhenti. Desa di balik gunung
ini bernama Ponggang, tertulis jelas di atas gapura sederhana.
“Sep, jauh pisan?!!” tanyaku ketika memarkirkan motor, “Kalau
pulang malam lewat situ juga?”
“Mau lewat mana lagi?!!” jawab Asep enteng.
Geblek…
Di Sumur Gintung sinyal Indosatku agak redup sementara
Telkomselku meraja. Tapi di sini sinyal kedua operator yang kugunakan
menghilang total. Kata Asep di titik-titik tertentu sinyal Telkomsel bisa
muncul, tapi itupun malu-malu. Aku mencoba berdiri di beberapa tempat
sambil mengawasi ponsel Telkomselku, tapi tetap saja dia tak berdenyut
ditelan maut. Kalau aku menyebut Sumur Gintung sebagai negeri antah-
berantah, entah sebutan apa yang pantas untuk desa ini. Aku heran
bagaimana orang-orang di sini menemukan tempat ini dan memutuskan
untuk tinggal.
68
Sambutan dari ibu Asep sangat ramah, ayah Asep yang baru
sembuh pun menyambut kami. Beliau langsung menyuguhkan segala
penganan ringan tradisional, yang paling istimewa adalah ranginangnya
yang sangat renyah, baru kali ini aku menikmati ranginang segaring ini.
Asep bilang sih itu buatan sendiri.
Sambil melepas lelah kami sholat ashar bergantian karena tak ada
ruangan yang cukup luas untuk berjamaah sekaligus. Rumah Asep sangat
sederhana. Tradisional tapi cukup mapan. Ruangannya banyak, tapi kecil-
kecil.
Hidangan tiba, ini acara puncaknya. Hidangan ini lebih mewah
daripada yang kita makan di curug. Ayam gorengnya sangat gurih dan
kulitnya renyah. Lalabannya segar dan manis. Dan yang paling juara
adalah sambalnya. Namanya sambal goang, jenis sambal sederhana
berbahan cabe rawit dan garam, pedas dan nikmatnya selangit. Menurut
ibu Asep teknik mengulek bisa menentukan cita rasa sambal yang
dihasilkan. Orang sederhana dengan ilmu tradisionalnya kadang
mengejutkan orang berpendidikan tinggi.
Walaupun keluarga Bowie pernah membawa makanan yang lebih
banyak dan lebih bervariatif tapi hidangan di rumah Asep ini harus
kuakui sebagai makanan terlezat yang pernah kunikmati selama KKN.
Biasanya aku tidak menambah porsi saat makan di pondokan, di sini aku
nambah dua kali. Seluruh tubuhku berkeringat hebat gara-gara pedasnya,
tapi kenikmatan yang tiada taranya kurasakan begitu hebat.
Kenikmatan bertambah. Setelah makan selesai, Asep mengajak
kami ke kebunnya untuk memetik kelapa. Dia memanjat pohon kelapa
yang tidak terlalu tinggi. Dia memutar-mutar buah kelapa layaknya
monyet pemetik kelapa dan menjatuhkannya. Aku memungutinya
sekaligus membelah satu butir. Ladies memuji karena aku bisa membelah
kelapa dengan tangan kosong. Mereka nggak tahu saja kelapa itu retak
akibat hentakan gravitasi, aku hanya memanfaatkan retakan itu untuk
membukanya secara paksa. Airnya yang khas kuminum dengan rakus,
daging kelapanya kuserut dengan potongan batoknya, teksturnya lembut
nan manis.
Kami memutuskan untuk menginap dan kembali besok pagi-pagi
sekali.
Tiba-tiba ponsel Heni berbunyi. Rupanya dia menemukan titik
dimana Telkomsel bisa hidup. Kamipun mengkonsentrasikan ponsel di
tempat itu, di rak sebelah televisi. Dan ponsel kami bertempur semalaman
memperebutkan sinyal.
69
“Sep, di sini ada wartel nggak?” tanya Heni setelah membaca
pesan di ponselnya.
“Ada sih, tapi jauh…”
“Emang kenapa, Hen?” Tanya Fo.
“Ini…si Aa, dia suruh Heni nginep di rumahnya aja.”
Aku mengerutkan dahi. Aku nggak tahu ada masalah apa pria-pria
Subang dengan asmara. Pacar Heni, pacar Lala, dan Asep contoh
konkretnya. Ada saja masalah mereka dengan perempuan.
Pacar Heni rumahnya di Sagalaherang tapi cukup dekat ke
peradaban, tak seperti tempat ini. Heni pernah menginap di rumahnya
ketika ada hajatan. Masalah utamanya kepercayaan pacar Heni, kami
memanggilnya Kuden, sangat parah. Dulu saat aku pulang pertama
kalinya ke Bandung, sebenarnya Heni akan ikut denganku. Semalam
sebelum pulang aku mengantarnya ke wartel di dusun Keresek Baru. Saat
aku membeli Coca-Cola di warungnya, aku mendengar Heni sedang
bertengkar di telepon. Akhirnya Heni pulang dijemput pacarnya dan aku
pulang sendiri. Begitupun ketika akan kembali ke Subang. Aku
menawarkan pada Heni untuk pergi bersama karena aku akan membawa
motor. Waktu itu dia bilang,
“Heni mau dianter sama Aa…”
Kali ini dia tidak percaya kalau kami menginap semua di rumah
Asep. Dia orang sini, harusnya tahu jarak yang harus kami tempuh untuk
ke rumahnya kalau ada yang harus mengantar Heni.
“Anter Heni ke depan donk…” pintanya padaku.
“Hen, ini hampir Maghrib, kamu tahu kan track-nya jauh banget.”
Sergahku, lagipula kami semua terlalu lelah dan kekenyangan, bahkan
Bowie sudah meninggalkan kami bertualang di alam mimpi, “Bilang
sama si Kuden, besok pagi kita anter kamu ke rumahnya!” kataku sambil
mencoba terlelap, “Teu mikir kitu jelema teh!” gumamku.
Pacar Lala juga sama saja, bahkan lebih parah. Jangankan dia
mendengar gosip Lala selingkuh, hanya bermimpi pacarnya selingkuhpun
bisa jadi masalah besar. Lala sering jalan bareng dengan Asep karena
memang diperlukan, dan sebanyak itu pula dia datang ke pondokan walau
malam sekalipun. Saking takutnya, dia sering menelepon anggota
kelompok lain untuk memastikan keberadaan Lala. Dasar freak!
Dan Asep? Awal minggu lalu dia jadian dengan Reri. Saat itu
sudah malam, Asep menelepon Reri. Ketika percakapan mereka
menghangat, para pria lainnya mengompori agar lebih panas. Dengan
dorongan itu, akhirnya Asep memutuskan untuk berpacaran dengan Reri
walau sebagian hatinya masih terdampar pada Winda. Tapi apa yang
70
terjadi akhir minggu ini? Mereka putus. Asep lebih memilih menunggu
gadis yang dicintainya dan mengabaikan cinta gadis yang bebas.
Walaupun dia tahu menunggu Winda akan menyakitinya, tapi dia
memilih menantang nasibnya.
Aku ikut senang untuk Asep. Sejak awal menurutku selingkuh
adalah jalan tak terelakkan baginya. Bukan untuk menyakiti –walau pada
akhirnya ada yang tersakiti– tapi untuk meyakinkan diri sendiri siapa
yang betul-betul dicintainya. Aku senang karena dia sudah memilih.
Memilih dengan benar, bukan hanya memilih karena terpaksa atau
memilih karena memang tak ada pilihan.
Dan untuk Reri, aku ikut menyesal. Tapi dia gadis yang manis.
Dia pasti akan bertemu pria lain yang, kuharap, tidak sebrengsek Asep.
Aku sempat menonton Batman di RCTI sebelum terlelap. Agak
dingin tapi aku menikmatinya mengingat selama ini aku seakan tidur di
dalam oven –nggak jarang bangun dengan peluh sekujur tubuh.
34 Kami tiba di pondokan pagi hari. Rupanya Lala dan Nunu juga
tidak pulang. Lala pulang ke rumahnya, sedangkan Nunu dibawa ke
Cirebon, ke rumah pacarnya.
Selain Lala yang paling sering pulang, Nunu juga sering diculik
oleh pacarnya. Jo pernah mengeluhkannya walau tak pernah
mempermasalahkannya. Mereka mungkin ingin kencan berdua, berjalan-
jalan di Subang. Lagipula pulangnya mereka selalu membawa makanan,
itu yang penting.
Pagi itu pak Usta bertanya-tanya tentang kepergian kami. Aku
sedikit menceritakan perjalanan kami padanya.
Seperti hari minggu yang lalu-lalu, aku mengikuti rapat rutin di
posko Pagaden. Aku berharap ada yang menindaklanjuti pemaparanku
minggu lalu, tapi ternyata tak ada. Hanya Pei dan kelompoknya di
Gunung Sembung yang punya niatan mengikuti apa yang kami lakukan.
Rapat rutin itu membahas mengenai seminar kabupaten yang akan
dilangsungkan tanggal 23 agustus nanti. Seminar itu akan membahas
hasil-hasil temuan kita di lapangan dan dikemukakan di depan kepala
dinas pendidikan dan pihak universitas. Wahyu meminta kami untuk
mengisi formulir dengan data yang kami temukan. Data yang diperoleh
dari masing-masing ketua kelompok akan dirangkum lagi menjadi
kesimpulan satu kecamatan.
71
Isu kedua yang dibahas adalah tentang kepulangan kami. Sudah
bukan rahasia kalau kami semua sudah mencapai pada titik jenuh sampai
kerinduan akan peradaban yang kami kenal mengeras tersedimentasi di
dasar hati. Kami semua ingin segera pulang. Beberapa ketua
mengusulkan untuk mempercepat kepulangan. Itu juga yang kurasakan
dengan semua anggota kelompokku. Tapi dalam satu minggu terakhir ini
ada banyak hal yang harus kami lakukan. Bahkan aku memprediksikan
bahwa kami akan bekerja sampai detik terakhir sebelum pulang.
Aku pulang dengan kekecewaan karena tak ada yang menanggapi
penjelasanku minggu lalu. Kekecewaan bertambah ketika aku harus
memutar jalan untuk menghindari panggung hajatan. Inilah yang menarik
di akhir masa KKN, banyak sekali yang hajat. Sekarang memang sedang
musim panen. Di sini, musim panen berarti musim hajat. Perayaan
apapun mulai dari pernikahan, sunatan, syukuran, bahkan orang yang tak
punya peringatan untuk dirayakan juga sengaja membuat pesta untuk
merayakan dirinya selamat dari kejaran anjing.
Ketika kutanyakan pada pak Usta barulah aku mengerti. Ini bukan
masalah sebuah perayaan, hanya budaya dan tradisi yang, menurutku,
sangat parah. Sama sekali tidak efek positifnya untuk kemajuan bangsa.
Budaya ini disebut gantangan. Kalau aku mau hajat, maka
temanku harus menyumbang, misalkan sekarung beras. Kemudian kalau
temanku itu menggelar hajatan, maka aku harus menyumbang sekarung
beras juga. Bentuk sumbangan bisa apapun, makanan, kambing, sapi,
uang dan lain-lain. Yang tidak mendidik, menurutku, adalah mereka
mencatat semua yang telah disumbangkan dan pada siapa. Dan pada
waktunya kita hajat maka kita akan menagihnya. Jadi terkesan seperti
hutang-piutang. Kalau tidak membayar maka akan ditagih, sanksi
sosialnya dikucilkan dari pergaulan. Dan uniknya, surat undangan yang
dibagikan itu harus dibayar karena di dalamnya ada sebungkus deterjen
cuci atau pasta gigi atau makanan ringan.
Jujur saja, menurutku tradisi macam ini harusnya dilenyapkan dari
bumi Pertiwi. Sama sekali nggak mendidik orang untuk menolong, tapi
mental rentenir yang dikedepankan. Kata pak Usta, ada yang sampai
menjual rumah untuk menyumbang tetangganya yang hajat. Ini
keterlaluan karena di musim panen seperti ini, setiap hari pasti ada hajat.
Bukan cuma ada satu, dalam satu hari bisa ada hajatan di dua atau tiga
tempat.
Yang lebih parah, mereka tampaknya sangat senang ketika
menonjolkan kemewahan. Aku dan Bowie pernah mencari makan sampai
ke desa Pagaden karena Ladies lagi-lagi tidak memasak. Kemudian pas
72
pulangnya kami tertahan karena ada parade sisingaan. Kami menunggu
mereka lewat sambil menonton. Hebat, seorang anak yang duduk di atas
sisingaan berselendangkan uang lembar limapuluh ribuan yang
disambung dengan stapler. Itu bukan satu anak, ada sekitar lima anak.
Parade musik terus berdendang sambil mengikuti sisingaan. Sound
system dinaikkan ke atas roda, mereka membawa generator portabel
sendiri yang bisa didorong-dorong. Para penandu sisingaan tetap menari
selama parade, begitu juga para pengikut parade itu, semuanya
bergoyang. Pokoknya suasananya sangat ramai. Keramaian ini bagus
untuk meningkatkan silaturahmi, tapi mereka terlalu menonjolkan
kemewahan.
35 Hari senin terakhir dimasa KKN menjadi awal perjuangan
sebenarnya. Ladies kutugaskan mendaftar orang-orang yang berminat
mengikuti program Kejar Paket B. Ini perlu dilakukan agar Heri bisa
difasilitasi karena tak mungkin mengajukan program kejar paket hanya
untuk satu orang. Walaupun tak ada kepastian tentang pembentukan
kelompok belajar ini, kami harap banyaknya peminat bisa mengubah
kebijakan pejabat PLS di kecamatan.
Sementara itu, Jo dan Fo bertugas membawa Iwan dan Rina
mendaftar ulang ke SMKN 2 bersama orang tua masing-masing. Aku dan
Asep mendatangi rumah Dadan dan Didin untuk mengajak mereka
mendaftar ke SMPN Jabong. Bowie kebagian piket di pondokan dan
merapikan laporan.
Ibunya Dadan berbinar saat kami datang.
Bukan perjuangan kalau tak menemukan masalah. Didin tiba-tiba
tak mau sekolah. Motivasinya kurang. Dari wajahnya kulihat banyak
sekali ketakutan. Aku tak menyalahkannya melihat kondisi keluarganya.
Dia itu anak yatim piatu. Selama ini tinggal bersama nenek angkatnya
yang tuna netra. Pendapatan mereka hanya dari kemampuan neneknya
memijat, selain dari uang pensiun yang tidak bisa diandalkan. Didin
punya kakak yang sudah menikah dan tinggal di Subang Kota.
Menurut Dadan, Didin memang agak terbelakang sehingga sangat
sulit berkomunikasi dengannya. Dan memang, Asep yang lebih halus
bahasa sundanya pun kesulitan meyakinkannya untuk sekolah. Dia harus
mau sekolah karena kalau tidak Dadan juga nggak mau sekolah.
“Kalau kamu nggak sekolah, kamu cuma akan jadi pesuruh.”
Kataku dalam bahasa sunda yang halus. “Desa ini kaya. Orang kota
73
nggak mungkin melewatkannya. Dalam beberapa tahun pasti banyak
orang kota yang membeli tanah di sini. Lalu mereka membangun rumah,
bikin usaha. Kalau kamu nggak sekolah, mereka nggak akan mau
mempekerjakan kamu!” lanjutku agak tegas.
Asep membantu dengan lebih halus.
“Sok ayeuna Didin hoyong kumaha?”
Kami memintanya mengeluarkan ijazah yang dia punya. Tapi
ternyata yang dia perlihatkan hanya selembar akta kelahirannya sendiri
dan kakaknya. Katanya, ijazahnya disimpan lemari yang kuncinya ada di
rumah kakaknya di Wera, Subang Kota.
Kami mengantarnya ke Subang Kota dengan harapan dia mengerti
keinginan kami agar dia sekolah. Setelah beberapa kali salah alamat,
kami menemukan rumah yang dituju. Kakaknya tidak ada di rumahnya.
Kata tetangganya dia sedang menunggui anaknya di sekolah. Aku
meminta alamat sekolahnya dan mengejar ke sana. Kami bertemu
dengannya. Kuncinya kami dapatkan.
Kami kembali ke rumah Didin sambil terus menumbuhkan
motivasinya. Akhirnya dia menyerah dengan usaha kami. Dia
mengeluarkan ijazah dari lemari, tapi ternyata itu ijazah punya kakaknya.
Setelah kusuruh mencari lagi, dia mengambil beberapa lembar dokumen
dari lemari pertama. Jadi sebenarnya ijazah itu di lemari yang sama
dengan tempat akta kelahirannya. Ini menjadikan kepergian kami ke
Wera sama sekali tak ada gunanya. Asep naik pitam dengan kelakuan
anak ini.
“Goblog, mun eweuh ninina ku urang dicitak ieu budak!”
geramnya padaku.
Hari sudah menjelang Dzuhur. Tak mungkin membawa mereka ke
sekolah siang-siang, yang ada juga mereka sudah pada pulang. Ketika
kami keluar dari rumahnya, ada seorang ibu menunggu kami. Dia
meminta kami menumbuhkan motivasi anaknya yang tidak mau sekolah.
Ya Tuhan, sejak saat itu kamu jadi motivator amatir
Nama anaknya Gandi. Dia adalah siswa kelas tiga SMPN Jabong.
Sudah seminggu ini dia tidak mau sekolah. Alasannya konyol banget. Dia
malu karena wajahnya berbercak putih, dalam bahasa sunda disebut balas
bogo. Alasan lainnya karena dia pakai kacamata.
Hei … apa masalahnya? Aku juga pakai kacamata! Ingin sekali
aku meneriakkannya.
Sekali lagi Asep menunjukkan kehebatannya dalam
berkomunikasi dengan bahasa sunda. Dengan sedikit permainan kata,
74
Asep berhasil membujuknya untuk sekolah. Dan kamipun pulang.
Setidaknya ada hasil dari perjalanan kami hari ini.
Besoknya, aku dan Asep kembali menjemput Dadan dan Didin.
Terjadi masalah lagi, Didin menghilang sejak pagi. Aku tahu Asep
berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya. Kami meyakinkan Dadan
agar mau sekolah walaupun tanpa Didin. Akhirnya dia mau.
SMPN Jabong berada di desa Jabong yang berada di kecamatan
Subang kota. Kami melewati pemakaman yang dulu dipakai Kliwonan
untuk mencapai sekolah itu. Cukup jauh, tapi kata Dadan ada jalan pintas
yang hanya bisa dilewati oleh sepeda.
Ini pertama kalinya aku mengunjungi sekolah ini. Beberapa hari
yang lalu Jo dan Bowie mengunjungi sekolah ini untuk
menginformasikan bahwa ada anak yang akan kami bawa. Kata Bowie
kepala sekolahnya sombong banget, mentang-mentang dia alumnus UPI
juga kali. Sebelas duabelas dengan Bowie, aku juga tidak menyukai sikap
kepala sekolahnya. Walaupun begitu mereka menerima Dadan sekolah di
sana. Pendaftarannya dipermudah–tentu saja karena kami mempersenjatai
diri dengan rekomendasi langsung dari kepala dinas.
Kami mengantar Dadan pulang ke rumahnya. Ternyata Didin
sudah pulang. Sekali lagi kami menanyakan kesungguhannya. Akhirnya
dia mau.
Kami membawanya ke pondokan. Aku harus mengambil file foto
anak-anak yang kami masukkan ke sekolah. Iwan dan Rina belum
mempunyai foto untuk pendaftaran, alhasil hari ini mereka mendaftar
tanpa membawa foto. Beruntung pihak sekolah membolehkan fotonya
menyusul. Makanya aku harus mencetak semua foto termasuk Didin.
Dalam hal ini Bowie berperan sangat vital. Dengan kemampuan
retoucher-nya, dia mengubah foto di depan rumah menjadi sebuah foto
studio yang berkelas.
Lala ikut dengan kami. Dia dan Asep kusuruh untuk pergi ke
Subang. Mereka harus memesan plakat untuk kenang-kenangan. Sangat
sulit mencari tukang plakat di sini. Dua hari yang lalu kami tahu dari
Sidiq, mahasiswa KKN Gunung Sembung yang juga teman sejurusan
Asep.
Kami berempat kembali ke SMPN Jabong. Kami mengulangi
proses pendaftaran untuk Didin. Kali ini si kepala sekolah makin
songong.
Pendaftaran selesai. Lala dan Asep langsung melesat ke Subang,
sementara aku mengantar Didin pulang. Kemudian aku juga melaju ke
75
Subang untuk mencetak foto. Sebenarnya di Gunung Sembung ada
tempat mencetak foto, tapi harganya selangit. Aku lebih memilih tempat
yang lebih jauh, sekalian jalan-jalan.
Rupanya berita tentang pemasukan anak-anak ke sekolah sudah
menyebar di kalangan pemuda. Malam harinya beberapa pemuda datang
ke pondokan. Iwan dan Aang, keduanya anak SMKN 2, memperkenalkan
Aep. Dia didaftarkan juga seperti Iwan. Aku bilang padanya agar
menyiapkan segala persyaratan dan mencatat nomor teleponnya. Dia
mencatat nomorku di ponsel nokia terbarunya. Aku jadi minder melihat
ponsel yang digenggamnya. Dia pakai nokia terbaru tapi nggak mampu
sekolah. Ughh …
Malam itu pacar Lala datang juga. Sepertinya dia tahu tadi siang
Lala pergi bersama Asep. Kali ini aku tidak terlalu menanggapinya.
36 Jo dan Fo menindaklanjuti keinginan Aep untuk bersekolah lagi.
Mereka mendatangi rumahnya. Asep mengantar Dadan dan Didin untuk
bersekolah di hari pertamanya. Aku membiarkannya pergi sendiri karena
ibu Dadan akan membawa motor untuk mengantar Dadan. Sementara
yang lain menyempurnakan persiapan presentasi tanggal 24 agustus nanti.
Kami harus memaparkan temuan-temuan kami di hadapan aparat desa.
Aku berangkat sendiri ke Pagaden untuk memberikan data
lapangan pada Wahyu. Segala kegiatan dipusatkan di Pagaden agar lebih
mudah dijangkau. Pasalnya pondokan KKN Wahyu di Gunung Sari
terlalu jauh dari jalan utama. Aku pernah ke poskonya untuk sekedar
diskusi. Desa itu terlihat sangat luas. Kalau di Sumur Gintung didominasi
balong maka di Gunung Sari berhamparkan pesawahan yang indah.
Pondokan mereka sangat jauh dari kantor desa dan sekolah. Plus mereka
hanya punya satu motor membuat mobilitas mereka terbatas. Tapi aku
kagum, dengan keadaan seperti itu mereka masih bisa bekerja dengan
baik.
Selain aku, ada beberapa ketua lain yang datang. Mereka dengan
sukarela membantu Wahyu mengolah data. Wajah runyam Wahyu
membuatku tergugah untuk ikut membantu. Dia kurang tidur gara-gara
pengerjaan persiapan seminar kabupaten ini. Beberapa desa terlambat
memberikan datanya. Padahal hari ini harusnya sudah selesai.
“Sore ini mesti ke Bandung euy, koordinasi sama LPM.”
keluhnya.
76
Tugas kordinator kecamatan memang sangat berat. Tugasnya
bukan hanya memimpin kelompok KKN-nya saja, tapi mencakup
keseluruhan kelompok di satu kecamatan. Makanya dulu aku bersikeras
menolak posisi ini.
Wilayah kecamatan Pagaden paling luas dibanding kecamatan lain
di Subang ini. Selain itu desa-desanya banyak dan begitu tersebar.
Menurut yang kudengar dari pak Kades, kecamatan ini akan dimekarkan
menjadi dua. Bayangkan saja ada 17 desa dalam satu kecamatan, 15
diantaranya menjadi ‘jajahan’ KKN. Sementara dari yang kutahu satu
kecamatan lain paling banyak hanya sepuluh atau sebelas desa.
Aku menepuk pundaknya, “Sabar bos, pahalanya gede!”
Dia tersenyum dan melanjutkan pengecekannya.
Ketika pulang aku disuguhi cerita Jo,
“Jadi si Aep itu ibunya baru pulang dari Taiwan. Dia bilang nggak
punya biaya untuk melanjutkan. Tadi kita dibawa kita ke rumahnya. Gue
sih nggak yakin itu rumahnya. Gue tahu karena pas gue tanya, ‘ini foto
siapa?’ dia gelagapan menjawabnya. Mungkin itu rumah kakeknya, gue
lihat foto si Aep bareng kakeknya.”
Walaupun fakta yang dilihat Jo sangat mengherankan, ditambah
ponsel nokia Aep yang sama dengan punya Heni, kami tetap berpikiran
positif. Mungkin saja ibunya memang kehabisan uang.
Cerita Asep juga tak kalah seru,
“Didin menghilang lagi. Kami nggak bisa terus menunggunya.
Dadan belajar untuk pertama kalinya hari ini.”
“Dan Didin?” tanyaku lirih membayangkan apa isi kepala anak
itu. Kami ingin membantunya, tapi malah membuatnya ketakutan.
“Kata tetangga dia biasa begitu. Nanti juga dia pulang.”
Aku melihat kelelahan di mata Asep. Bukan hanya lelah karena
menempuh jarak atau menerjang panas, tapi juga menyesali
kelemahannya, bukan … kelemahan kami sehingga tak bisa meyakinkan
seorang anak untuk menatap masa depannya dengan lebih baik.
Terkadang orang harus kalah dalam usahanya. Man proposed, God
disposed. Kuharap ada orang lain yang bisa meyakinkan Didin untuk
kembali sekolah.
Kami lupakan segala masalah. Saatnya bersenang-senang!
Beberapa hari yang lalu, kepala dusun Keresek Tua, pak Toyib,
mengundang kami ngaliwet di balong. Namanya mengingatkanku pada
sebuah lagu dangdut yang beraransemen musik lagu ‘Pintu Sorga’.
Undangan yang menarik, pastinya. Selama ini kami lebih sering
77
berinteraksi dengan istrinya. Beliau sangat baik dalam membantu kami
mensosialisasikan program kami. Sementara pak Toyib, aku mengikuti
deskripsi Jo saja, itu orang kampung dengan gaya kota dan tentunya sama
baiknya seperti istrinya. Jo mengenalnya ketika sosialisasi pertama di
balai dusun Keresek Tua.
Ngaliwet memang kegiatan favorit kami. Kami digiring ke balong
yang berada di tengah-tengah pesawahan. Letaknya memasuki hutan
pinggir jalan. Setiap melewati jalan itu aku selalu bertanya-tanya ada apa
di dalam hutan itu. Ternyata pemandangan indah terhampar dengan
pesawahan berundak. Sudah pada panen tapi tak mengurangi pesonanya.
Yang paling membosankan saat ngaliwet adalah saat
memasaknya. Ladies membantu bu Toyib membuat sambal. Sementara Jo
dan Fo mengobrol dengan pak Toyib di saung tengah balong. Heni dan
Iin asyik berfoto. Asep menyiapkan alas daun pisang. Sementara aku
sudah bosan memanjat pohon mangga yang berdiri di sebelah saung, lalu
aku berjalan-jalan di pematang sawah.
Pesawahannya berbentuk sengkedan sehingga kadang aku harus
memanjat atau melompat. Tak sadar aku berjalan terlalu jauh. Mereka-
mereka seperti semut dalam pandanganku. Alih-alih kembali, aku lebih
tertarik menghampiri petani yang sedang bekerja sendiri. petani itu
sedang menggebuk tanaman padi ke sebilah papan untuk merontokkan
bulir padi. Kami mengobrol dan berkenalan. Namanya pak Ukar tinggal
di desa Jabong.
Jauh banget… pikirku.
Aku menanyakan apa yang sedang dikerjakannya.
Dia menjawab, “Ieu namina ngagebot.” Katanya polos.
“Abdi nyobian atuh, Pa…”
Awalnya dia menolak karena tak ingin membuat bajuku kotor.
Aku meyakinkan diriku sendiri, sekarang aku berada di sebuah negeri
asing, kalau aku menolak melakukan sesuatu yang baru hanya karena
takut baju kotor maka sebaiknya sejak awal aku tak perlu ada di sini.
Aku meyakinkannya juga, dan diapun memberikan kesempatan itu.
Ternyata tanaman padi agak berat bila disatukan. Ketika aku
memukulkannya ke papan, buir-bulir padi rontok dan berjatuhan di
sekelilingnya bagai hujan yang disapu badai. Ini perasaan baru bagiku.
Perasaan sederhana, tapi menakjubkan.
Petani harusnya mendapat prioritas penting di negeri ini…ucapku
dalam hati.
Sudah rahasia umum bahwa menjadi petani di negeri ini adalah
profesi yang terombang-ambing. Satu sisi mereka adalah tumpuan
78
masyarakat yang bekerja untuk menyediakan bahan pangan. Tapi di sisi
lain kesejahteraan mereka tidak pernah mencapai posisi yang nyaman.
Latar belakang presiden kita menentukan prioritas utama
pembangunan Indonesia. Saat Orde Baru swasembada pangan menjadi
prioritas karena presidennya anak petani. Kemudian ketika Habibie
menjabat, teknologi menjadi landasan utama. Lalu berganti Gus Dur,
moral pluralitas menjadi tumpuan. Di masa sekarang ini, keamanan
nasional selalu menjadi isu penting. Maklumlah SBY seorang
purnawirawan jenderal. Maka menderitalah petani yang tak pernah
menjadi prioritas lagi. Mungkin nanti presidennya harus seorang guru
agar pendidikan menjadi porsi terbesar dalam menu pembangunan.
Teriakan memanggilku dari jauh. Rupanya semuanya sudah siap.
Aku meninggalkan pak Ukar dan berlari sepanjang pematang sawah.
Melompat lagi, memanjat lagi. Aku sedang kembali ke masa laluku, masa
ketika bangunan sekolah dasarku berada di antara pesawahan. Aku
berhasil melewati semua pematang sawah dengan mulus, tanpa terpeleset
sekalipun. Bukan prestasi hebat, tapi aku menyukainya.
37 Nasi liwet belum pernah senikmat ini. Mungkin suasananya yang
membuat hidangan sederhana ini menjadi begitu istimewa. Pantaslah
sajian di rumah makan daerah Cihideung dibandrol selangit. Makan satu
orang di sana bisa buat tiga orang di rumah makan normal. Rasa berbalut
suasanalah yang dicari.
Usai makan besar kami membereskan semua peralatan dan
mengembalikannya ke rumah bu Toyib sebagai ungkapan terima kasih
dan sopan santun. Ternyata seorang anak sudah menunggu kami. Dalam
obrolan saat makan tadi Bu Toyib menyebutkan ada anak yang ingin
sekolah juga. Dan inilah dia. Namanya Rudi. Dia tinggal tepat di depan
rumah pak Toyib. Rumahnya sederhana, tidak jelek tapi juga tak bisa
dibilang bagus. Dia putus sekolah setelah SMP dan memutuskan bekerja
serabutan seperti menganyam, ngepak, jadi kuli angkut di pabrik. Untuk
ukuran kuli angkut, sikap dan tutur katanya sangat terpelajar.
Keinginannya didukung oleh orang tuanya. Tapi Rudi ini ternyata cukup
banyak omong.
“Tunggu, saya masih nggak mengerti tentang kelas mandiri?”
tanyanya.
Jo mengulangi penjelasannya. Kemudian tanya jawab berlangsung
cukup lama mengenai kejelasan program yang sedang kami lakukan ini.
79
Ayahnya mendorongnya untuk sekolah. Ayahnya itu menyesal
karena meninggalkan sekolah. Katanya sendiri, waktu muda dia adalah
anak yang cukup pintar dan berprestasi. Dia pernah memenangi kejuaran
bulutangkis se-kabupaten. Bahkan pernah ditawari beasiswa oleh Djarum.
Namun waktu itu orang tuanya tidak mengijinkannya pergi dengan alasan
yang sesuai jargon, ‘makan nggak makan asal ngumpul.’. Suatu jargon
yang tidak mendidik orang untuk maju. Bukannya dengan adanya
makanan acara berkumpul menjadi lebih menarik? Apa yang terjadi kalau
kita tetap berkumpul tapi perut kosong?
Itulah yang disesalinya. Ayahnya tak mau apa yang terjadi
padanya terulang pada Rudi. Oleh sebab itu, dia akan berusaha memenuhi
kebutuhan sekolah Rudi. Menurutnya kelas mandiri memang bisa bebas
biaya, tapi transportasi dan makan jelas masuk anggaran yang tak bisa
dihindari. Aku terenyuh oleh kesungguhan orang tua ini.
Ayah Rudi sungguh orang yang bersahaja. Kuketahui dari bu
Toyib bahwa ayah Rudi adalah salah satu pemuka agama di dusunnya.
Lalu penghasilannya juga termasuk sebagai jasa paranormal yang katanya
cukup sakti. Aku tidak begitu mengerti hubungan antara pemuka agama
dan paranormal dalam satu tubuh, tapi memang beliau terlihat sangat
agamis.
Seperti biasa, kami meminta klien menyiapkan segala dokumen
yang disyaratkan. Dan karena dia bilang tidak punya foto, saatnya Bowie
beraksi kembali. Rencananya besok Jo dan Fo akan mengantar Aep, dan
sekalian dengan Rudi. Sedangkan aku harus menghadiri seminar di
pendopo.
Setelah Maghrib ada sms masuk yang isinya,
“Kang, ini sama Metha dari desa Kamarung. Saya mau nanya
tentang program yang akang jalankan dengan kelompok. Kami punya dua
anak yang ingin sekolah di SMKN 2.”
Aku menghembuskan nafas lega seraya tersenyum sendiri. Lala
dan Heni yang sedang baca komik di depanku menyadari ke-tampak-tak-
warasanku. Biarlah. Akhirnya penjelasanku di Pagaden lebih dari
seminggu yang lalu ada gunanya juga. Aku membalasnya dengan
penjelasan singkat. Aku meminta mereka untuk membawa kedua anak itu
besok pagi-pagi sekali ke pondokan Gunung Sembung yang aksesnya
lebih mudah.
“…nanti kalian kami jemput.” Tulisku di akhir sms pada gadis itu.
Sebenarnya aku tidak ingat memberikan nomor ini padanya. Tapi
untuk apa aku mengingatnya? Dia bisa mendapatkannya dari manapun.
80
“Cowok di Kamarung mah nggak ada yang bener.” Katanya Fo
setelah aku memberikan kabar yang, mungkin gembira tapi agak
merepotkan ini, “Katanya suasananya agamis banget, masa makan Slai
Olai aja nggak boleh. Emang lesitin dari babi ya?” Tanyanya padaku.
“Dari kedelai juga bisa.” Jawabku singkat.
Dia punya teman di sana. Suasananya tidak kondusif, terlalu
banyak peraturan. Para prianya tidak betah. Malah teman Fo lebih sering
pulang ke Bandung daripada bekerja di desa. Makanya para wanitanya
sangat bersemangat kerja. Kuharap begitu. Waktu kami tinggal beberapa
hari, harus bersemangat agar semuanya berguna.
38 “Kita bikin dia kaget!” ujar Jo pagi harinya. Aku masih terkantuk-
kantuk sambil menyapu.
Dia sudah menyelidiki tentang Aep pada pemuda sekitar.
Rumahnya, latar belakangnya, dan motifnya sudah dia simpulkan dalam
sebuah hipotesis yang komprehensif. Sekarang dia mengajakku untuk
menguji hipotesis itu. Kemarin dia bilang akan bertemu jam delapan,
sementara sekarang belum jam tujuh pagi. Itulah efek kejutan yang
dimaksud Jo.
Ternyata benar, rumah Aep terlalu besar untuk ukuran anak yang
putus sekolah. Bangunannya bukan sekedar bilik dan kayu, tapi dari batu
bata biasa, berlantai dua, lebih bagus dari rumah pondokan yang kami
tinggali. Halamannya juga luas.
Seorang wanita membukakan pintu untuk kami. Kata Jo, dia
ibunya. Aep dipanggil. Dia baru bangun tidur. Entah kenapa aku justri
membayangkan Fo yang juga bangun tidur. Diantara kami semua dialah
yang paling sering bangun terlambat. Walaupun diakuinya kalau dia
susah tidur, kadang baru tidur jam empat Subuh, tapi hal itu pernah jadi
masalah. Ketika itu Ladies sudah jarang masak. Para pria
mengeluhkannya. Kemudian mereka membela diri dengan mengatakan,
“Kalian juga sudah jarang beres-beres.”
Harus kuakui semakin lama KKN kami, khususnya para pria,
semakin jarang menyapu halaman, membakar sampah atau sekedar
membereskan tempat tidur. Bukannya aku nggak mau cepat-cepat
membereskan tempat tidur, tapi Fo hampir selalu masih tergeletak di
sana. Untuk membangunkannya perlu usaha keras dan waktu yang lama.
Masalah ini pernah membawa kami ke dalam suasana yang sangat
emosional. Jo memarahi mereka karena jarang masak. Lala dan Nunu
81
sampai menangis terseguk-seguk karena merasa dipojokkan. Fo sebisa
mungkin menahan amarahnya. Namun pada akhirnya disepakati bahwa
seminggu terakhir ini kami harus bekerja semuanya, tak ada yang diam.
Bowie yang tidak bisa bawa motor harus rela ditinggal membereskan
pondokan agar pemakaian kendaraan lebih efisien.
Ya … Bowie adalah satu-satunya pria di kelompok ini yang tidak
bisa mengendarai motor. Ini terkadang menyulitkan karena itu berarti
harus ada yang memboncengnya, dan itu membuat kinerja kami tidak
efisien. Selama KKN dia belajar mengemudikannya bila ada waktu
kosong. Fo mengajarinya dengan sangat baik. Bahkan hanya dalam sekali
latihan Bowie sudah sanggup membawa motor ke Gunung Sembung,
walau kehati-hatian dan jalan yang rusak menghambatnya untuk
mengejar kami yang sudah pro.
Satu orang lagi yang pernah belajar mengendarai motor selama
KKN adalah Heni. Dia sangat penasaran dengan motor Mio Asep.
Sewaktu pertama kali mengendarainya dia terjatuh. Sayang, aku sedang
nggak memegang kamera. Padahal momen konyol itu sangat menarik
untuk diabadikan.
Seperti yang diharapkan, Aep terkejut dengan kehadiran kami.
Kami berkilah,
“Cuma mau mengecek kesiapan persyaratan pendaftaran. Sekalian
juga mau bikin foto. Kamu belum punya pas foto kan?”
Perabotan rumahnya cukup mewah untuk ukuran keluarga yang
tak bisa menyekolahkan anaknya. Ruang tamu sempit malah makin
sempit karena ada motor Aep yang diparkir di sana. Tak perlu jadi montir
hebat untuk mengetahui kalau motor Aep sudah dimodifikasi sedemikian
rupa. Walaupun bukti-bukti sudah menunjukkan kalau dia tak perlu
meminta bantuan kami untuk masuk sekolah, tapi kami tetap akan
mengantarnya ke sekolah pagi ini.
Aku teringat janji untuk menjemput Metha dan kedua anak dari
desa Kamarung. Aku mengajak Jo dan Fo. Tapi Fo sedang mandi.
Makanya aku pergi duluan ke Gunung Sembung. Ternyata mereka sudah
menunggu.
Ceuceu kaget pagi-pagi kedatangan tamu tanpa pemberitahuan
sebelumnya. Aku minta maaf karena tidak memberitahu siapapun di
Gunung Sembung sebelumnya. Semalam aku sudah kepayahan, lagipula
sinyal yang merem melek membuatku malas berkomunikasi dengan
ponsel.
“Kita juga mau masukin anak ke SMP Jabong.” Lanjut Ceuceu.
“Oh ya? Kita sudah masukin kemarin.” Kataku, “berapa orang?”
82
“Cuma dua, pengennya sih ada lagi, tapi waktunya udah mepet.”
“Mestinya KKN-nya setahun ya?” candaku.
“Maneh weh sataun!!!” Sergah Eful, anak fakultas keolahragaan,
sambil menggosok rambutnya setelah mandi.
Waktu ke Water Boom dulu dia juga mengajariku berenang. Dia
membuat Lala sedikit terpesona. Tapi mengingat betapa posesifnya si
Gingin, menjodohkan mereka untuk sekedar bahan gurauan nampaknya
bukan ide yang bagus.
“Gie, siap?” tanyaku.
Pagie adalah ketua kelompok Gunung Sembung yang sebenarnya,
tapi perannya seakan tenggelam karena dia sangat pandai berbagi peran
dengan Pei dan Sidiq. Tapi pagi ini aku akan mengikuti seminar bareng
Pagie karena yang diundang hanya ketua. Nama yang unik. Tapi menurut
Pei namanya tidak menggambarkan perilaku bangun paginya.
Jo dan Fo datang dengan motor masing-masing. Kami mengantar
Metha dan kedua anak itu ke Sumur Gintung. Dari sana mereka akan
melanjutkan perjalanan bersama Aep dan Rudi ke SMKN 2. Setelah itu
aku kembali ke Gunung Sembung, menjemput Pagie dan berangkat ke
kota.
39 “Abis ini kita langsung pulang.” Kata Topan, ketua kelompok
desa Pagaden, menanggapi isu kepulangan cepat yang sedang
berkembang.
Semua kondisi sudah lewat jenuh. Aku tak bisa menyalahkan
mereka yang ingin pulang cepat. Bahkan kabar yang beredar anak-anak
KKN di kabupaten Bandung seperti di Ciwidey sudah menghentikan
kegiatan KKN dua hari yang lalu dan pulang ke rumah masing-masing.
Kontan berita itu makin bikin iri. Beberapa kelompok di Blanakan juga
pulang hari ini, katanya.
“Kita besok euy!” timpal si gendut. Aku nggak pernah tahu nama
aslinya. Si gendut ini temannya Bowie. Dia pernah datang ke pondokan
beberapa kali dengan mobil jeep merahnya, “Kalian kapan?”
“Kayaknya sih sesuai jadwal.” Jawabku setelah jeda sedetik,
“Hari ini Jo sama Fo lagi nganter empat anak ke sekolah. Besok malam
kita baru presentasi. Lagian kita belum pesan mobil.”
Lalu kudengar namaku dipanggil. Aku melirik ke arah suara.
Qorni, teman survei dulu, berjalan ke arahku.
“Minta nomornya pak Kadis dong!”
83
“Emang kenapa?”
“Kita punya anak yang selalu keluar-masuk sekolah. Dia nakal
banget. Bahkan guru-guru di sekolah sana udah nggak percaya saking
bandelnya. Kita sih pengen masukin dia ke sekolah lagi.”
“Dia mau sekolah?”
Qorni mengangguk, “Ya, cuma masalahnya itu tadi. Sekolah udah
nggak mau nerima.”
“Dicoba ke sekolah lain?” tanyaku.
“Dia nggak mau. Maunya cuma ke sekolah itu.” Qorni mengusap
keringat di dahinya, “Bagusnya gimana ya?”
“Ya bagusnya sih masukin aja ke sekolah. Mungkin kalian bisa
bikin perjanjian sama pihak sekolah kalau dia bikin ulah konsekuensinya
seperti apa. Nih nomor pak Kadis.” Kataku sambil menyodorkan
ponselku. Biasanya aku tak pernah memberikan nomor pak Doyok ke
orang lain untuk melindungi privasinya. Tapi kurasa kali ini sudah mepet.
Aku memberikannya dengan membuatnya berjanji tidak akan
memberikannya pada siapapun lagi.
Acara dimulai. Aula besar itu terasa begitu menyejukkan. Tak
kurang lima mesin AC berdiri dipasang di ujung kiri dan kanan. Rasanya
sangat berbanding terbalik dengan keadaan di luar. Terlebih jumlah orang
yang datang tidak sebanyak ketika pertama kali datang. Hari ini yang
datang hanya para ketua dari masing-masing desa dan beberapa orang
yang mengekor ketua.
Pengantar yang membosankan lagi-lagi diberikan oleh pejabat
LPM dan aparat kabupaten. Selama pidato pengantar aku mengobrol
dengan Dini, gadis matematika teman sekelompok Wahyu. Aku
mengenalnya pertama kali ketika kuliah olahraga dulu.
“Si Wahyu kasihan banget, lecek amat tampangnya.” ujarku.
“Dia baru balik ke Subang tadi pagi-pagi, terus langsung ke sini.”
Sahut gadis mungil berkerudung ini sambil tersenyum manis, “Beberapa
hari ini dia kurang tidur.”
Bagian yang paling menarik dimulai. Presentasi hasil temuan
mahasiswa KKN di kabupaten Subang dibawakan oleh dua orang
kordinator kecamatan. Kecamatan Pagaden, Cipunagara dan
Pusakanagara dibawakan oleh Irfan. Dia anak jurusan pendidikan kimia
angkatan 2004. Aku mengenalnya karena dia aktif di himpunan sehingga
selalu eksis di setiap acara jurusan. Tiga kecamatan lainnya seperti
Blanakan, Ciasem dan Legonkulon dibawakan oleh mahasiswa yang tidak
kukenal. Sementara kordinator kecamatan lainnya seperti Wahyu hanya
84
menjadi pencatat jalannya acara atau sebagai operator yang menganti
slide presentasi.
Dalam kedua presentasi itu dipaparkan penemuan yang tidak jauh
berbeda. Anak-anak putus sekolah yang masih banyak, gedung-gedung
sekolah yang tidak layak. Bahkan ketika Irfan presentasi disetelkan video
tentang keadaan sekolah di satu desa,
“Itu punya kita.” Kata Pagie di sebelahku.
Pak Doyok menanggapi semua temuan para mahasiswa. Dia
masih orang yang sama sejak terakhir aku menemuinya. Kebiasaan
merokoknya mulai membahayakan kami semua yang ada di ruangan itu.
Bayangkanlah suatu ruangan besar, mesin AC berjajar di kiri dan kanan,
sementara di depan orang merokok tak ada habisnya. Yang terjadi adalah
asap rokok terpenjara di tengah-tengah ruangan, dikawal kiri-kanan oleh
hembusan udara, udara itu tidak bercampur karena kerapatannya memang
berbeda. Alhasil asap rokok yang keluar dari mulut dan hidung pak
Doyok mengambang di tengah-tengah. Aku bisa melihat jelas perbedaan
kerapatan udara yang mengambang. Asap rokok itu menggumpal bagai
kumulunimbus.
Setelah tanggapan dari kepala dinas pendidikan selesai, seorang
mahasiswa mengacungkan tangannya dan bertanya,
“Sepertinya segala yang kita lakukan di lapangan sangat kurang
untuk memenuhi ekspektasi masyarakat. Kita hanya mendata anak usia
sekolah, sementara anak putus sekolah tidak bisa kita bantu. Apa langkah
konkrit yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?”
Dia adalah orang yang sama yang menanyakan pertanyaan ini
dalam rapat rutin setiap minggu di Pagaden. Dulu aku tidak
memperhatikan apa orang ini mendengar pemaparanku setelah bertemu
pak Doyok atau tidak. Atau dia tidak datang waktu itu? Aku nggak tahu,
lupa.
“Dulu ada anak yang datang menghadap saya dan menanyakan
pertanyaan ini. Mana anaknya? Ada di sini?” jawab pak Doyok.
Dengan debaran jantung yang makin cepat aku mengangkat
tanganku untuk menunjukkan kehadiranku. Tak pelak semua mata tertuju
padaku.
“Gimana sudah diputuskan solusi mana yang paling tepat?”
tanyanya lagi.
Aku menelan ludah sebelum menjawab. Bagiku berbicara di
depan forum sebesar ini sangat jarang kulakukan.
“Kami belum memutuskan mana yang lebih tepat, SMP terbuka
atau SD-SMP satu atap.” Kataku lantang. Aku duduk agak belakang dan
85
di pinggir, jadi perlu tenaga ekstra untuk menyampaikan jawabanku,
“Tapi sesuai rekomendasi langsung dari bapak, kami berhasil
memasukkan satu anak ke SD, dua anak ke SMP dan dua anak ke SMKN
2. Hari ini teman saya sedang mengantar empat anak lagi untuk
mendaftar ke SMKN 2.”
“Berapa anak yang diminta oleh SMKN 2?”
“Sebenarnya mereka menantang kami untuk mencari 100 anak,
tapi kami baru sanggup memasukkan enam anak dengan yang hari ini.”
Ujarku.
Tak pelak dengan fakta yang kuberikan, pak Doyok bisa
menjawab keraguan mahasiswa tadi dengan meyakinkan. Setelah forum
selesai banyak mahasiswa yang mengejar pak Doyok. Tak ubahnya artis
yang kena skandal dikerubuti para wartawan infotainment. Beberapa
mahasiswa bergiliran menyampaikan masalah yang mereka temukan.
Aku juga ingin bicara lagi dengannya, tapi tampaknya antusiasme teman-
teman mahasiswa tak membiarkanku bicara dengannya.
Aku hanya berbicara pada pak Mufid, dosen pembimbing
lapanganku. Beliau pernah datang ke desa ketika Persami dulu.
“Jadi memang sebenarnya sekolah itu punya niat baik untuk
menerima murid baru. Tapi kewenangan kita sebagai mahasiswa KKN
hanya sebatas mendata anak usia sekolah. Kalau menurut saya lebih baik
diprogram KKN yang akan datang setiap kelompok dibekali surat
rekomendasi untuk bisa memasukkan anak-anak ke sekolah. Karena jujur
saja, awalnya juga saya dan teman-teman ragu-ragu untuk bergerak
karena keterbatasan wewenang itu.”
Pak Mufid menganguk-anguk. Aku nggak tahu usulanku ini akan
ditindaklanjuti atau masuk tong sampah seperti biasa. Waktuku kurang
dari empat hari lagi, yang kulakukan bersama teman-temanku tak bisa
lebih dari ini. Kalau saja kami diberi kewenangan ini sejak awal, mungkin
lebih banyak anak yang kami masukkan ke sekolah.
Aku merasa konyol sendiri. Aku selalu mengatakan bahwa frase
‘kalau saja’ hanya diucapkan oleh pecundang. Kurasa aku memang
pecundang kali ini.
Dengan selesainya seminar kabupaten, secara resmi tugasku sudah
selesai. Tapi secara moral masih ada yang harus kuselesaikan.
Tugas selanjutnya yang harus diselesaikan adalah perpisahan
dengan para pemuda dan karang taruna desa. Untuk itu kami mengundang
mereka dalam acara ngaliwet malam ini. Kami kesulitan menghemat dana
untuk ini. Belum lagi kami harus menggelar acara presentasi di desa yang
pastinya membutuhkan dana untuk alokasi konsumsi peserta. Membakar
86
dua ekor ayam jelas tidak mencukupi untuk para monster, termasuk
monster dalam kelompok kami. Disinilah Yang Maha Kuasa menyindir
keraguanku akan nikmat-Nya. Saat pulang ke pondokan Jo dan Fo
membawa kabar menyenangkan.
“Mereka sudah terdaftar,” kata Fo, “Paling besok kita anter lagi
mereka ke puskesmas Cikalapa buat tes kesehatan. Tapi itu kan cuma
formalitas saja.”
“Tadi pas kita di sana kita diajak ke jurusan perikanannya di
belakang sekolah.” Ujar Jo antusias, “Ternyata sekolah itu gede banget
lho … ada kali sebesar kampus kita.”
Aku bisa melihatnya ketika pertama kali datang. SMKN 2 Subang
memiliki lapangan depan yang sangat luas, hampir menyamai lapangan
sepakbola. Pada saat itu lapangan itu dipakai oleh para siswa untuk
latihan taruna. Maklumlah sekolah ini memang dirancang seperti itu.
Setiap siswa juga memakai seragam taruna sesuai jurusannya. Latihan
kepemimpinan, lalu baris-berbaris di bawah terik mentari adalah makanan
mereka setiap hari selain belajar di kelas dan praktek di laboratorium atau
bekerja di lapangan. Makanya jarang sekali siswa di sini berkulit putih,
kecuali mungkin jurusan tertentu seperti pariwisata.
Rupanya Jo dan Fo melihat sekolah itu lebih jauh lagi. Saat
dipingpong dulu aku pernah ke laboratorium analisisnya dan letaknya
sangat jauh dari kantor bu Merry. Dan kabar baiknya terlontar dari mulut
Jo,
“Pas kita di sana, balong dan tambak udangnya gede banget. Kita
malah dikasih udang sama bu Merry, ada kali dua kilo!”
Aku langsung beranjak ke belakang. Heni dan Nunu sedang
membersihkan udang-udang itu, besarnya seukuran dua jari. Aku
tersenyum seraya bersyukur ketika Heni berkata,
“Ini kayaknya cukup buat nanti malam.”
40 Acara semalam sangat gila. Aku tak bisa menghitung lagi berapa
orang yang datang ke pondokan. Semuanya tumplek begitu saja. Aku tak
bisa bilang hidangan kami istimewa tapi mereka sangat bersemangat
melahapnya. Sebenarnya itu hidangan kita bersama karena mereka juga
ikut memasak. Dan yang paling sibuk tentunya sang manusia tereksis,
Somad. Kami makan dialasi beberapa lembar daun pisang. Teras penuh
dari ujung ke ujung. Kehangatan semalam begitu berkesan sehingga tak
mungkin terlupakan.
87
Hari jumat terakhir itu aku dan Della pergi ke dinas pendidikan
kecamatan untuk menyerahkan daftar peminat program kejar paket.
Sementara Jo dan Asep mengantar keempat anak yang kemarin
didaftarkan untuk mengikuti tes kesehatan di puskesmas Cikalapa. Lala
dan Nunu mengambil plakat di Subang. Dan menyediakan konsumsi
untuk acara nanti malam dan tentunya menyelesaikan materi yang akan
disampaikan.
Pejabat PLS yang harus kami temui belum datang padahal saat itu
sudah hampir jam sembilan. Kami menunggunya sambil mengobrol
dengan pegawai dinas di sana. Lalu kami memfotokopi daftar itu untuk
arsip kami dan arsip desa.
Tempat fotokopinya tidak jauh karena kantor dinas ini ada di
pinggir jalan. Lagipula ada sekolah di sekitar sini. Anak-anak SD ramai
berlarian di halaman sekolah.
Ketika menunggu daftar difotokopi, ponselku berdering. Ada sms
masuk dari Metha,
“Kang, kami dari Kamarung pulang duluan hari ini. Terima kasih
sudah membantu kami memasukkan anak-anak ke sekolah. Harusnya
akang lihat kebahagiaan orang tua mereka karena anak-anaknya bisa
sekolah lagi. Sukses buat programnya!”
Aku terenyuh membacanya. Sesaat terdiam merenungi apa yang
kurasakan. Tak pernah aku melakukan sesuatu untuk orang lain dan
imbalannya adalah senyum kebahagiaan dan ucapan terima kasih yang
tulus. Apa yang lebih baik dari semua perasaan dibandingkan
kebahagiaan telah membantu orang lain? Apa yang lebih baik dari
senyum kebahagiaan orang tua? Ketulusan Metha dan teman-temannya
melebihi semua yang telah kulakukan untuk mereka. Aku hanya
membuka jalan. Mereka, walaupun jauh, walaupun tak ada motor, rela
mengantar kedua anak itu ke desa kami. Yang paling berjasa di sini
adalah Jo dan Fo. Ketika mereka sampai di Sumur Gintung kemarin,
mereka kekurangan armada untuk membawa semuanya. Lalu Jo dan Fo
berinisiatif mengajak Somad dan temannya yang punya motor untuk
mengantar mereka semua ke SMKN 2.
Aku menunjukkan ponselku pada Della. Dia tersenyum penuh arti
setelah membacanya, tatapannya seakan berkata kerja bagus, teman.
Pesan pendek itu memberi kami bahan bakar untuk menghadapi sisa dua
hari terakhir.
Sampai pukul sepuluh kami tak bisa bertemu dengan pejabat PLS.
Kami menyerahkan daftar itu ke petugas di sana. Kami tak bisa berlama-
lama. Banyak sekali pekerjaan untuk malam nanti. Ada makanan ringan
88
yang harus dibungkus, ada hasil temuan yang harus ditulis ke atas karton
besar –kalau saja di sini ada digital proyektor, pekerjaaan ini sangat tidak
perlu, belum lagi ruang balai desa yang harus dibersihkan –kemarin
kondisinya seperti pesawat yang baru jatuh dari ketinggian seribu meter;
berantakan dan tak berlampu.
Sore itu kami melakukan segala persiapan. Lala dan Della
berkonsentrasi menulisi karton besar dengan informasi yang akan kami
berikan di depan forum. Iin, Heni dan Nunu mengurusi konsumsi. Asep,
Fo dan Bowie membersihkan balai desa dan memasang lampu. Sementara
aku dan Jo mengembalikan buku-buku daftar warga ke kepala dusun atau
ke ibu kader setiap dusun, juga mengembalikan catatan kesehatan warga
ke bidan Iin.
Sejak semalam Jo mendapat berita kalau adiknya yang kuliah di
Jakarta masuk rumah sakit. Tapi sudah ada pacar adiknya yang mengurus
sehingga dia tak perlu buru-buru berangkat ke Jakarta. Tapi dia masih
khawatir saja.
Segala persiapan sudah selesai. Segera setelah Maghrib kami
membawa semua peralatan dan konsumsi ke balai desa. Undangan sudah
disebar sejak dua hari yang lalu. Ada beberapa orang yang
mengisyaratkan tidak akan datang. Bahkan pak Kades memberitahu akan
terlambat karena harus menghadiri hajatan dulu di dusun Sumur Gintung.
Inilah repotnya menjadi pejabat, terlebih di desa. Kalau tidak datang
dianggap tidak menghargai yang mengundang, padahal mungkin saja
memang ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Kami bertekad kalaupun
pak Kades tidak datang, kami akan tetap melangsungkan acara.
Aku dan Jo menjemput Zezen dan neneknya. Setelah bersekolah
ada raut berbeda yang di wajah anak kecil itu. Selain acara presentasi, ini
juga sekaligus perpisahan sebelum kami pulang hari minggu nanti.
Makanya kami sengaja mengundang semua anak yang berhasil kami
masukkan ke sekolah. Rina dan Iwan beserta orang tuanya hadir.
Sementara Aep hanya sendiri, ibunya harus menghadiri hajatan.
Sedangkan Rudi malah membawa teman-temannya dari karang taruna
dusun Keresek Tua. Bu Toyib hadir tanpa suaminya yang sedang ke luar
kota.
Pesan yang dikatakan pak Kades memang terjadi. Sampai adzan
Isya berlalu beliau masih belum datang. Aku sudah bolak-balik mengirim
sms untuk memastikan kedatangannya. Kami memutuskan untuk
menunggunya sepuluh menit lagi.
89
Sepuluh menit berlalu harapan pun berlalu. Kami memutuskan
untuk memulai acara. Namun ketika Lala membuka acara, rombongan
pak Kades, Sekdes dan perangkat desa lainnya datang. Acara terhenti
sesaat untuk penyambutan sekedarnya.
Acara dimulai kembali setelah penyambutan selesai. Lala ditugasi
membawakan acara. Iin membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Setelah
aku memberikan kata sambutan, kemudian giliran pak Kades. Acara inti
dibawakan oleh Jo yang memaparkan hasil temuan kami di lapangan.
Keadaan memanas ketika memasuki sesi tanya jawab. Jo
menerangkan bahwa harus adanya perubahan paradigma pada masyarakat
tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anak. Dalam hal ini Jo
menekankan agar hal itu dimulai dari orang tua selaku pihak yang masih
bertanggung jawab pada anak. Pak Kades menyanggahnya dengan
berdalih bahwa sekuat apapun orang tua menyuruh anaknya untuk
sekolah, semuanya kembali pada kemauan si anak. Perdebatan ini makin
memanas ketika ketua LPM mendukung pernyataan pak Kades.
Menurutku memang untuk usia anak baru SD atau SMP orang tua
memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk masa depan dalam
koridor pendidikan. Sementara bila anak sudah memasuki masa SMA, si
anak sudah bisa berpikir lebih jauh mengenai masa depannya.
Ketua BPD mengemukakan pendapat dengan cara yang lebih
terpelajar. Kami semua mencair. Keadaan kembali tenang setelah
perdebatan sengit itu. Akhirnya acara selesai dan kamipun berjabat
tangan. Aku menyerahkan secara simbolis plakat kepada pak Kades.
Setelah acara selesai aku mengantar Zezen dan neneknya.
Sementara yang lain masih membereskan balai desa dan ada yang
mengobrol dengan pak Kades dan perangkat desa lainnya. Ketika aku
kembali ke balai desa mereka masih mengobrol. Aku bergabung lagi
dengan mereka.
“Di desa Gunung Sari, tahun kemarin ada yang KKN dari
STPDN,” kata pak Kades bersemangat, entah dia tidak tahu kalau
STPDN sudah berubah nama menjadi IPDN atau hanya kebiasaan yang
sulit dihilangkan, “mereka itu sangat royal. Tiap malam minggu
Kadesnya diajak ke kota. Sehari bisa habis tiga sampai lima juta … hebat
kan?”
Itu juga yang diceritakannya dengan bangga ketika aku meminta
tanda tangan beberapa hari yang lalu. Mungkin dia juga berharap kami
seperti anak-anak IPDN itu. Anak IPDN bisa begitu karena biasanya
mereka itu anak-anak pejabat di daerahnya. Belum lagi mereka disuapi
uang saku oleh pemerintah. Sedangkan kami berangkat dari keluarga
90
yang latar belakangnya berbeda-beda. Bowie dan Fo mungkin bisa seperti
itu, tapi kebanyakan dari kami tak sanggup kalau harus hidup KKN
seperti itu.
“Maaf pak, ini ada yang salah dalam plakat, tanggalnya.” Kataku
mengalihkan pembicaraan.
Pak Kades celingukan mencari tanggalnya. Aku menunjukkannya
dengan jempol adat timur. Kami semua tertawa lepas, beberapa
diantaranya dibuat-buat.
Bukan hanya sekedar pengalih perhatian, tapi memang benar-
benar ada kesalahan dalam penulisan tanggal KKN kami. Tertulis 17 Juli
2007 – 26 Agustus 2008. Sialan, memangnya siapa yang mau KKN
selama itu?!! Tapi kesalahan pada plakat anak-anak Gunung Sembung
lebih parah. Kami memang memesannya berbarengan. Desa tempat KKN
mereka dituliskan dengan nama desa kami, Sumur Gintung.
41 Setelah pertemuan selesai, Jo mendapat berita buruk. Setelah
beberapa hari yang lalu adiknya sakit, sekarang giliran pacarnya. Dede,
sebutan Jo untuk pacarnya, juga mahasiswa KKN di kecamatan Ciasem,
Subang. Dulu Jo pernah membawanya ke pondokan. Waktu itu dia dan
pacarnya baru kembali setelah hampir seminggu pulang ke Bandung.
Walaupun malam sudah makin kelam tapi Dede minta diantar langsung
ke desanya. Padahal kami sudah menawarinya untuk menginap dan
melanjutkan perjalanan besok paginya. Dia tidak mau. Akhirnya Jo
meminjam motor Fo yang lebih fit mengantarnya ke desanya yang
letaknya hampir di pantai utara.
Malam itu Jo marah-marah di telepon. Dia memarahi teman-
teman dedenya karena tak bisa menjaganya dengan baik. Setelah itu dia
minta ijin untuk pergi ke Ciasem. Kami semua menolaknya. Malam
sudah terlalu larut. Kalau di Bandung sih mungkin nggak terlalu masalah,
tapi siapa yang tahu keadaan Pantura di malam hari. Jo menyerah, dan dia
berangkat sebelum fajar menyingsing.
Pagi ini kita punya kejutan lain. Ada beberapa pucuk surat yang
ditinggalkan di depan rumah. Ada sepuluh surat untuk sepuluh orang.
Surat-surat itu berisi ucapan terima kasih yang dirangkai dengan gaya
penulisan surat cinta tahun 70’an. Saking konyolnya kami tertawa
terpingkal-pingkal membacanya. Della menjadi primadona Rudi dengan
memanggilnya dengan panggulan Kak Lulu, menurutnya Della mirip
dengan Lulu Tobing. Well, aku tak bisa berkomentar untuk yang satu ini.
91
Bukannya kami nggak menghargai surat-surat ini, tapi kami tak bisa
menahan tawa ketika membacanya. Untuk mengucapkan terima kasih dia
tak perlu meninggalkan surat melankolis a la Romeo and Juliet dari
Verona.
Hari sabtu terakhir nyaris tak ada kegiatan yang berarti. Kami
mengisinya dengan mengerjakan laporan KKN. Kami harus
menyelesaikannya sebelum pulang ke Bandung besok.
Menurut Pei semalam, hanya tinggal beberapa kelompok yang
masih tinggal di Subang. Hampir semuanya sudah pulang. Tadinya kami
akan bergabung dengan kelompok Gunung Sembung agar menghemat
biaya. Namun setelah banyak pertimbangan kami memilih untuk pulang
masing-masing. Lagipula besok mereka pulang pagi, katanya mau main
dulu ke Ciater.
Jadilah setelah Dzuhur aku dan Lala pergi memesan mobil untuk
besok. Awalnya Lala takut ketahuan jalan bersamaku. Aku menegaskan
bahwa ini dilakukan hanya karena memang tak ada pilihan lain. Hanya
dia yang tahu rumah supir itu. Aku tak mungkin membiarkan Lala dan
Nunu yang berangkat memesan mobil. Masalahnya, kami memesan
langsung ke orangnya, dan dia tak ada di terminal Subang. Si supir juga
tak punya telepon untuk dihubungi, makanya siang itu aku membonceng
Lala ke desa Cijambe –letaknya diantara kecamatan kota Subang dan
Sagalaherang.
Pemesanan mobil tak ada masalah. Dia adalah supir yang sama
yang mengantar kami ke Subang. Jadi aku tak perlu lagi menunjukkan
letak desa kami.
Diperjalanan pulang aku mengajak Lala menikmati es rumput laut
di tempat favoritku. Penjual es rumput laut itu mangkal di jalan raya
Pagaden, sangat dekat ke pondokan Pei di Gunung Sembung. Kalau aku
pergi sendiri aku selalu menyempatkan menikmatinya sebelum pulang.
Rasa dingin dan segar memang tak cukup mengalahkan panas yang
mendera, tapi setidaknya asupan giziku lumayan terpenuhi.
Si mang tukang es rumput laut ini mangkal hanya sampai jam
tigaan. Padahal sore hari pun cukup menyegarkan untuk menikmatinya.
Dulu ketika aku mengantar Heni belanja mingguan, aku ingin
membelinya untuk dibawa ke pondokan sekalian untuk Ladies berbuka
tapi sudah nggak ada. Asalnya Lala menolak, tapi dia tak kuasa menahan
ketika kutawarkan minuman itu gratis untuknya. Saat menikmati
minuman kaya serat ini barulah aku tahu kenapa dia menolak.
92
“Tagihan telepon di rumah hampir dua ratus ribu.” Katanya sedih,
“si mama cuma mau bayar setengahnya, jadi sisanya mesti Lala yang
bayar.”
“Jadi ceritanya kamu lagi ngirit sekarang teh?”
Lala mengangguk.
Kami pulang setelah menikmati es rumput laut itu. Seperti biasa
ketika melewati jalan desa banyak orang ngaso di depan rumah masing-
masing. Aku harus melambatkan motor ketika melewati mereka dan
mengucap,
“Punten…” dengan sedikit anggukan a la keramahan sunda
Ketika aku mengucap punten untuk kesekian kalinya Lala berbisik
padaku,
“Desa seribu punten!”
Aku terkikik mendengarnya. Memang begitu, entah berapa ribu
punten yang sudah kami ucapkan ketika bertemu orang-orang desa. Tapi
ini menunjukkan bahwa kesopanan merupakan bagian utama dari
silaturahmi a la Timur, bahkan mungkin sebelum Islam berpengaruh di
negeri ini melalui Samudra Pasai.
Della dan Iin masih mengerjakan laporan saat kami sampai.
“Udah beres belum?” tanyaku.
“Tinggal disusun aja…” jawab Iin, “Lembar pengesahannya udah
belum?”
Aku jadi teringat lembar pengesahan yang harus ditandatangani
pak Kades. Aku mencarinya ditumpukan kertas di samping komputer.
Ketika menemukannya aku langsung mengajak Asep untuk menemaniku
ke rumah pak Kades.
Tak ada masalah meminta tanda tangan pak Kades. Kami
mengobrol beberapa hal tentang pendidikan. Beliau berjanji akan lebih
memperhatikan masalah pendidikan. Maklumlah ketika kami datang
beliau baru terpilih, banyak pekerjaan yang harus ditanganinya. Makanya
selama bekerja kami memilih untuk tidak terlalu banyak melibatkan
pengurus desa agar tidak mengganggu –walaupun mereka dengan senang
hati akan membantu.
Aku kembali ke pondokan dengan perasaan lega. Dengan tanda
tangan ini, aku tak perlu kembali dalam waktu dekat hanya untuk
meminta tanda tangan untuk laporan.
Hari menyentuh Ashar yang tenang. Tampaknya itu tak berlaku
untuk Lala. Gingin berdiri di teras, Lala duduk merengut di sampingnya.
“Hai,” aku menyapanya sekedar basa-basi.
“Hai, darimana?” tanyanya.
93
Kami berjabat tangan.
Aku mengangkat beberapa lembar kertas yang kupegang dan
berkata, “Tanda tangan pak Kades.”
“Gimana mobil buat besok?”
“Tadi kita sudah pesan. Besok kita pulang agak siang. Lagian
bapaknya Bowie bakal jemput, jadi di mobil besok paling cuma barang-
barang aja…”
“Pesan lewat telepon?” tanyanya memotong penjelasanku.
Aku tahu ini pertanyaan jebakan. Aku yakin dia sudah tahu kalau
tadi aku jalan dengan Lala. Aku menimbang-nimbang untuk mengatakan
kebenaran. Tapi aku ingin balik mengujinya, makanya aku berbohong.
“Ya, lewat telepon.”
Tak ada tanggapan untuk beberapa saat. Padahal aku sudah
bersiap kalau memang harus melakukan yang terburuk. Dia hanya
berkata,
“Saya mau ajak Lala pulang duluan. Udah nggak ada apa-apa
kan?”
Aku menimbang-nimbang sekali lagi. Mungkin saja dia akan
marah kalau aku menolak. Di hari terakhir aku tak ingin ada masalah.
Terlebih banyak orang yang berlalu lalang mempersiapkan hajatan di
sebelah kebun rambutan. Kalau terjadi masalah pasti berujung keributan.
Akhirnya aku mengiyakannya.
Lala berpamitan pada semuanya. Suasana sedih mulai mendera.
Setelah empat puluh hari bersama, perpisahan kecil ini membawa kami ke
dalam suasana melankolis, walaupun sebenarnya terganggu oleh deru
generator hajatan yang disimpan tepat di samping pondokan.
Lala adalah anggota yang paling sering pulang. Pernah dia
mengeluh ketika melihat foto-foto selama KKN,
“Kok foto Lalanya sedikit sih?”
Aku spontan menjawan, “Kamu kan banyak nggak adanya!”
Jo tertawa puas mendengarnya.
Sebenarnya Jo juga tidak sesempurna itu. Kalau Lala paling sering
pulang, Jo paling lama pulang. Yang lain paling lama pulang ke Bandung
hanya dua hari, tapi si Jo pulang selama hampir seminggu! Memang ada
alasan dibalik kepulangannya yang lama itu. Kala itu dia harus
mengambil motor ke Sumedang dan mengurus pajak STNK. Ternyata
pengurusan pajak agak bermasalah hingga berlarut-larut. Tapi dia
membayarnya dengan kerja kerasnya yang luar biasa di ujung masa KKN
kami.
94
Lain lagi dengan Fo. Dia paling sering keluyuran ke desa lain saat
tidak ada kerjaan –terutama di awal masa KKN. Tapi inipun ternyata
berguna. Waktu menjelang peringatan Agustusan dulu, kami dimintai
tolong untuk menjualkan rokok oleh panitia. Walaupun tidak suka dengan
cara itu, kami tak bisa menolaknya. Kami membayar dimuka dua pak
rokok, kemudian Fo beredar menjualkannya ke teman-teman di desa lain.
Kepulangan anggota kelompok pernah menjadikan pondokan
sangat sepi. Pernah sekali waktu hanya menyisakan aku, Heni dan Della
sampai kami mengikrarkan diri sebagai penghuni terakhir. Sebenarnya
Asep tidak pulang, tapi dia mengikuti acara reunian di almamaternya.
Namun acara itu berlangsung sampai larut malam sehingga Asep
memutuskan untuk menginap di rumah temannya.
Celakanya ketika hanya bertiga, Heni tak bisa tidur. Della tak mau
tidur duluan karena alasan-alasan mistis yang menaungi kamar Ladies.
Sementara aku tak mungkin tidur duluan karena mereka menonton film
tepat di samping tempat tidurku. Akhirnya kami menghabiskan waktu
menonton The Sixth Sense Bruce Willis kemudian dilanjutkan Gie
Nicholas Saputra. Aku sengaja membawa film-fil dari rumah untuk
membunuh kebosanan yang melanda. Sesekali Della melayang ke dunia
mimpi. Hanya aku dan Heni yang masih menonton ditemani suara krik-
krik jangkrik. Dan ketika sudah bosan menonton, akhirnya Heni
menyerah karena Della sudah tak bisa menahan matanya untuk terbuka.
Mereka masuk kamar, dan aku harus bertarung dengan nyamuk-
nyamuk ganas untuk bisa tidur. Ini satu alasan yang membuat tidurku
tidak nyenyak. Biasanya ada tiga sampai lima orang yang menjadi sasaran
keganasan para penghisap darah itu, tapi sekarang hanya darahku yang
menjadi santapan mereka. Bahkan Soffel yang kugunakan tidak mempan
menghadapinya. Dan dengungannya itu, aku benci mereka!
Ketika Lala sudah pulang Heni menegurku,
“Kenapa kamu biarin Lala pulang duluan?”
“Trus mau gimana?” tanyaku balik.
“Kan harusnya diomongin dulu sama anggota kelompok.”
“Emang kamu mau nahan dia?”
“Eeerr… nggak sih!”
Sore itu Fo mengingatkanku untuk menemui dewan sekolah SD
Sumur Gintung. Semalam, nenek Zezen mengatakan bahwa kedua
cucunya ditagih uang untuk pembangunan sekolah. Tagihannya hanya 20
ribu seorang, murah sih tapi itu jelas tak bisa dipenuhi oleh sang nenek.
Tadi malam aku berjanji akan membicarakannya dengan ketua dewan
sekolah yang bersangkutan.
95
Pembicaraan dengan ketua dewan sekolah tidaklah sulit. Beliau
sangat memahami kondisi keluarga Zezen, malah beliau memberi
informasi mengenai ayahnya Zezen. Ayah anak itu waktu mudanya
pernah mengadu nasib di Jakarta dan Purwakarta. Tapi nasibnya tak
pernah mencapai puncak kesuksesan. Walaupun begitu ketika kembali ke
desa dia sangat menolak dikatakan sebagai orang tidak mampu. Bahkan
dia menolak uang BLT dari pemerintah hanya karena rasa gengsinya.
Menelantarkan kedua anaknya adalah sebuah harga mahal yang harus
dibayarnya ketika meneguhkan hati atas nama harga diri.
42 Setelah dari rumah ketua dewan, kami mampir ke rumah Rudi.
Saat membahas suratnya tadi pagi kami tertawa terpingkal-pingkal.
Obrolan kami terputus sholat Maghrib.
Setelah Maghrib obrolan berlanjut ditambah satu anggota.
Namanya Vivi, gadis desa berumur 20 tahun ini memiliki paras yang
manis, dan tubuhnya merupakan magnet yang memabukkan bagi para
pria. Gadis lulusan SMEA ini ikut dengan kami ketika acara ngaliwet di
balong pak Toyib, dan juga hadir pada acara perpisahan kemarin. Gadis
inilah yang disebutkan dalam surat-suratnya tadi pagi, terutama untuk
para pria,
“… bersainglah secara sehat …” begitu tulisnya.
Sekarang aku mengerti maksudnya. Ketika Vivi beranjak Rudi
mengatakan,
“Vivi tuh kasihan, banyak cowok yang ngedeketin tapi nggak ada
yang serius. Ibunya udah nyuruh dia menikah terus.”
Aku berusaha memahaminya. Budaya menikah muda di desa
masih sangat kental. Berumur duapuluh dan belum menikah seakan aib
yang menjijikan. Itulah sebabnya Rudi menginginkan salah satu di antara
kami untuk mendapatkannya, setidaknya itu yang tersirat dalam setiap
celotehannya tentang Vivi.
Semua pria di kelompok ini tak ada yang kosong. Semuanya
sudah memiliki tambatan hati. Kalaupun ada yang belum punya pacar,
aku tidak yakin ada yang bersedia menempuh jarak hanya untuk secercah
kecantikan di sudut desa ini. Hei … Bandung masih berjuluk Kota
Kembang, dan itu bukan tanpa alasan!
Kami pulang setelah adzan Isya berkumandang.
Pasar malam kali ini agak sepi karena ada dua hajat yang digelar,
satu di dekat pondokan dan satu lagi di dusun Panyingkiran. Aku tak mau
96
melewatkan kesempatan terakhirku ini. Sejak pasar malam pertama aku
sangat penasaran dengan es krim yang dijual di atas mobil bak ini. Jadi
aku mengajak Jo yang sudah pulang dari Ciasem untuk membelinya. Dia
mengatakan bahwa keadaan dedenya sudah mendingan, tak perlu sampai
membawanya ke rumah sakit. Kami buru-buru agar tidak ketinggalan
pasar malam. Maklumlah walaupun namanya pasar malam tapi hanya
digelar sampai jam sembilanan, setelah itu desa ini menjadi seperti desa
mati.
Harga es krim ini hanya seribu rupiah. Memang tidak seenak es
cone McDonald, tapi untuk ukuran harga segitu es krim ini cukup untuk
mengobati kerinduan akan peradaban modern dunia es krim.
Sepulang dari pasar malam kami sedikit menikmati acara hajatan
di dekat pondokan. Aku nggak tahu pasti apa yang dijadikan alasan untuk
menggelar hajat kali ini. Kami banyak bertemu dengan para pemuda dan
dedengkot desa.
Setelah selesai menikmati pesta semua berkumpul di pondokan.
Gara-gara hajatan kami tak bisa tenang malam ini. Sebuah
generator listrik disimpan tepat di samping pondokan. Di situ memang
ada saung untuk menyimpan kayu bakar. Generator disimpan di situ
karena alasan keterlindungan kala hujan turun.
Usaha kami untuk membuat suasana sakral di malam terakhir ini
gagal total karena generator itu. Tak ada yang bisa menyesapi setiap kata-
kata penuh arti yang terlontar dari setiap bibir kalau suara mesin
bergemuruh bercampur musik dangdut yang heboh. Alhasil hanya sedikit
perasaan haru yang menyelusup ke dalam dada, walaupun tentunya kami
semua berterima kasih atas apa yang terjadi selama ini.
Selama empat puluh hari ini kami, orang-orang yang tidak saling
mengenal sebelumnya, dipaksa untuk hidup bersama. Kami harus saling
berlapang dada menerima karakter yang sisuguhkan. Bersama-sama
berpikir untuk menentukan langkah yang terbaik untuk program yang
kami susun. Konflik jelas ada, tapi kegembiraan yang kami alami benar-
benar tak terkira.
Untukku sendiri, aku mendapatkan sebuah pengalaman baru yang
tak kudapatkan di Bandung. Diam-diam aku bersyukur karena aku
ditakdirkan mengambil KKN tahun ini, bukan tahun lalu, walaupun
kuliahku harus terpaksa memanjang satu semester.
Dalam kuliah Anorganik, pak Ali pernah menjelaskan bahwa
untuk melihat sifat suatu senyawa kamu harus melihat keseluruhan orbital
dalam molekul, bukan hanya per bagian. Fusi berbagai senyawa bisa
menghasilkan senyawa baru yang lebih berguna. Orang-orang dalam
97
kelompok ini adalah analogi yang cocok untuk menjelaskan teori
Molecular Orbital yang awalnya sulit kupahami ini.
Natrium adalah logam yang sangat reaktif, klor adalah gas yang
beracun, tapi ketika mereka bersatu mereka memanjakan kita dengan rasa
asin yang menggoyang lidah. Begitulah kami memberi rasa baru dalam
sebuah hubungan.
Bahan gelas mudah pecah, bahan plastik sangat elastis tapi ketika
keduanya dicampurkan dengan perbandingan tertentu bisa menghasilkan
material sekuat baja. Seperti itulah kami saling menguatkan ketika
konflik mendera.
Malam itu kujelang dengan lelapan tidur yang terganggu deru
mesin. Sebuah tidur tanpa mimpi. Kekosongan ini menuntunku
merenungkan makna sebuah keberartian dalam suatu komunitas, makna
dari eksistensi manusia di dunia. Tidurku ini menjadi garis batas tegas
antara empat puluh hari di dunia nyata ini dan sisa hidupku dalam
keterasingan dunia yang kukenal.
43 “Tuh, mobilnya datang!” teriakku.
“Kita masukin barang-barang dulu, baru makan!” ajak Jo yang
tidak sabar menikmati hidangan yang dibawa keluarga Bowie.
Ya, untuk kedua kalinya orang tua Bowie datang. Kali ini juga
mereka membawa makanan yang istimewa. Setelah kami menaikkan
barang-barang ke mobil, kami menikmati makanan termewah yang
pernah kami makan selama KKN.
Pak Usta dan keluarganya ikut makan bersama layaknya sebuah
keluarga besar. Di teras depan tak ada tempat yang tersisa. Semuanya
berisi makanan mulai dari gurame asam manis sampai ayam goreng,
mulai dari salad sampai sambal goreng kentang. Kami terpaksa memakai
peralatan makan yang sudah Ladies cuci pagi tadi.
Sambil makan candaan terus bergulir,
“Wah … Om tuh si Bowie udah bisa bawa motor, katanya minta
dibeliin Nova Sonic!” celoteh Jo.
Ayah Bowie masih tetap ayah yang tenang. Dia sangat kalem
menanggapi apapun. Mungkin itu yang membuatnya berguna di
partainya, tentunya selain kompetensinya.
“Wah bensin full-tank nih sampai Bandung!” komentar Fo sambil
mengelus-elus perutnya.
98
Usai makan besar itu, kami berfoto bersama. Suasana haru
menyelimuti perpisahan dengan pak Usta dan keluarganya. Beliau telah
menjadi bapak kami selama di sini. Terlihat kilasan-kilasan jernih sebuah
ketulusan di matanya. Kalau suatu hari aku kembali ke tempat ini, hanya
beliaulah alasanku melakukannya.
Aku senang tak ada pesta besar-besaran untuk perpisahan kami.
Hanya ada keluarga pak Usta, keluarga Bowie dan kami di rumah ini
sekarang. Seakan memberi kami sebuah pesta perpisahan yang sangat
privat.
Sebelum berangkat kami berpamitan dengan para pemuda desa
yang ikut membantu hajatan. Deru emosi tidak sekencang perpisahan
dengan keluarga pak Usta, tapi memang banyak memori yang kami lalui
bersama para pemuda. Mereka mengingatkan kami untuk kembali lagi
suatu hari nanti.
Setiap jengkal desa ini yang terlewati kutandai dalam hatiku.
Rumah pak Usta. Balong-balongnya. Lapangan sepakbola. Kantor desa.
Dusun Keresek Baru. Wartel dipinggir jalan. Dusun Panyingkiran.
Ketika empat motor kami melaju di Panyingkiran, seorang anak
yang sedang menyeberang berteriak,
“Eta barudak KKN!!!”
Aku tersenyum. Entah kesan apa yang kami tinggalkan untuk
mereka, tapi desa ini punya kesan mendalam dalam hatiku. Biarlah cerita
kami hanya sesaat dan terlupakan, tapi cerita mereka menjadi suatu
prasasti abadi yang takkan terhapus jaman. Kami terus melaju
meninggalkan desa yang telah kami tinggali selama empat puluh hari ini.
Yang jelas, tempat ini sudah tercetak dalam peta dunia dalam hatiku.
Sebuah tempat yang kujajarkan setara dengan sebuah kota yang selalu
kuimpikan dalam keterjagaanku.
Aku memperhatikan pondokan Pei yang sudah kosong saat
melewati Gunung Sembung, spanduk KKN-nya sudah diturunkan.
Barulah aku ingat belum menurunkan spanduk kami di desa. Jalan raya
Pagaden tak pernah senyaman ini, begitu tenang seakan hanya empat
motor kami yang melaju di sana. Begitupun ketika memasuki Subang
Kota. Banyak kenangan terukir di kota ini, kenangan yang tak mungkin
terlupakan. Kenangan yang membuatku bersemangat menuliskannya
suatu hari nanti.
Kami melaju sejajar ketika menjelang gapura ‘Selamat Tinggal’.
Dari kiri ke kanan, aku, Jo, Fo dan Asep. Kami serentak, walau tidak
janjian, mengangkat tangan kiri dan menempelkannya di ujung helm
seolah berkata,
100
Epilog Setelah bangun pagi aku tak bisa tidur lagi. Aku tak sabar
melanjutkan penelitian. Banyak yang harus kukerjakan, memulai lagi,
tapi yang jelas aku merasa bukan seperti orang lama. Pengalaman 40 hari
di desa seolah telah menjadi kawah candradimuka yang memberiku
pandangan baru tentang bagaimana kehidupan seharusnya berjalan.
Kesulitan adalah jalan yang ditunjukkan Allah ketika kita
meminta kekuatan.
Masalah adalah pernik yang dihiaskan Allah ketika kita meminta
kebijaksanaan.
Bahaya adalah bom yang dilemparkan Allah ketika kita meminta
keberanian.
Kebencian adalah sifat yang diselusupkan Allah ketika kita
belajar tentang ketulusan.
Dan kepanikan adalah bumbu yang diracikkan Allah ketika kita
memohon kesabaran.
Aku tak pernah mendapatkan apa yang kupinta, hanya yang
kubutuhkan. Dan aku bersyukur memiliki apa yang kumiliki sekarang.
“Jot, kamu item banget?!!” ekspresi kagetnya dinodai oleh nada
yang mencela dan tatapan yang mengejek. Perempuan teman sekelasku
ini memang seperti ingin memakanku.
I know, but it’s worth! Bisikku dalam hati sambil memasang
rangkaian set alat penelitian.
Selesai.
Jodhi P. Giriarso Bandung, 26 September 2007 – 14 Mei 2008
101
Karya Lainnya:
Konspirasi Nuklir (Tiga Kelana, Imprint Tiga Serangkai) Sebuah pertemuan internasional yang akan diselenggarakan
di Bandung, terancam menjadi ladang pembantaian. Seorang
mahasiswi Kimia, dua orang wartawan, satu inspektur polisi
dari Polwiltabes Bandung, dan dua anggota terbaik Paskhas
Anti-terror harus menguraikan pesan-pesan yang tersandikan
dari seorang agen intelejen untuk menemukan sebuah bom
nuklir yang ditanam di Bandung. Mereka diburu waktu untuk
menyelamatkan dunia dari Perang Dunia Abad 21. Dan, tanpa
mereka sadari, seorang pembunuh berbahaya tengah
mengintai mereka!
Rangkuman Kimia SMA (GagasMedia)
Buku rangkuman Kimia paling atraktif. Cetak ulang TIGA kali
dalam waktu TIGA BULAN!!!
Sekarang masuk dalam cetakan kelima.
SuperLengkap Kimia SMA (GagasMedia)
Rangkuman beserta soal latihan plus CD interaktif. Sudah
masuk cetakan ketiga.